Negara: Tepi Barat

  • Kelaparan, Putus Sekolah & Jadi Yatim, Ini Realita Anak-Anak di Gaza

    Kelaparan, Putus Sekolah & Jadi Yatim, Ini Realita Anak-Anak di Gaza

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Selama dua tahun terakhir, puluhan ribu anak di wilayah Gaza, Palestina telah terbunuh, terluka, dan menjadi yatim piatu. Masa kanak-kanak yang indah tak lagi mereka rasakan dan menyisakan trauma mendalam.

    Seperti yang dirasakan Rahma Abu Abed berusia 12 tahun yang mengaku rumahnya di Gaza Selatan telah rata dengan tanah akibat perang dengan Israel. Sebagian besar pakaiannya tertimbun reruntuhan.

    Rahma sekarang tinggal di gudang peralatan memancing bersama orang tua dan empat saudara kandungnya, yang berbagi tempat dengan beberapa keluarga pengungsi lainnya. Ia biasanya makan satu kali sehari.

    Melansir laporan The New York Times, setelah 22 bulan kondisi perang, masa kanak-kanak di Gaza hampir tidak terasa. Terdapat sekitar 1,1 juta anak di wilayah tersebut dan membutuhkan dukungan kesehatan mental atau psikososial, menurut penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    PBB mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka telah putus sekolah selama hampir dua tahun. Setelah blokade pangan Israel selama 11 minggu tahun ini, semua anak di bawah usia 5 tahun berisiko mengalami malnutrisi akut.

    Operasi militer Israel, yang dimulai setelah serangan yang dipimpin Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023, telah menewaskan lebih dari 18.000 warga Palestina di bawah usia 18 tahun, menurut otoritas kesehatan Gaza, yang tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan.

    Investigasi New York Times tahun lalu menemukan bahwa sejak dimulainya perang, militer Israel telah secara signifikan melonggarkan perlindungan yang dimaksudkan untuk melindungi warga sipil, termasuk anak-anak.

    “Tanda-tanda normal masa kanak-kanak telah hilang, digantikan oleh kelaparan, ketakutan, dan trauma yang menguras tenaga. Perang ini dilancarkan seolah-olah masa kanak-kanak tidak memiliki tempat di Gaza,” kata James Elder, juru bicara UNICEF yang secara rutin mengunjungi Gaza selama perang.

    Militer Israel menyatakan bahwa mereka berupaya meminimalkan kerugian bagi semua warga sipil, termasuk anak-anak, dan menyalahkan militan Hamas karena bersembunyi di antara mereka dan terkadang bersama keluarga mereka sendiri.

    Tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melaporkan melihat anak-anak digunakan sebagai pengintai oleh kelompok militan Palestina, yang juga menculik dan membunuh anak-anak pada 7 Oktober 2023.

    “Kerusakan yang disengaja terhadap warga sipil, terutama anak-anak, dilarang keras dan sepenuhnya bertentangan dengan hukum internasional dan perintah mengikat IDF,” kata militer dalam sebuah pernyataan.

    Hidup dalam kelaparan

    Kehidupan di Gaza telah dipenuhi kelaparan. Israel telah membatasi pasokan makanan ke wilayah kantong itu sejak awal perang, dan situasinya semakin memburuk sejak Maret, ketika Israel memulai blokade.

    Pada akhir Mei, Israel mengizinkan sebagian distribusi makanan kembali ke wilayah tersebut, dengan menggunakan kontraktor swasta untuk mendistribusikan makanan dari beberapa lokasi.

    Namun bagi keluarga seperti Rahma, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Sebab untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut sangat berbahaya dan melelahkan, bahkan sebagian lokasi dibangun di belakang garis militer Israel dan jauh dari tempat tinggal kebanyakan orang.

    Ratusan orang telah ditembak dan dibunuh oleh tentara Israel saat mereka mencoba mencapai lokasi tersebut, dan mereka yang berhasil sampai di sana tanpa cedera seringkali mendapati makanan telah diambil.

    Meskipun beberapa makanan tersedia di pasar, harganya seringkali tidak terjangkau bagi keluarga seperti Rahma; orang tuanya, seperti sebagian besar warga Gaza, tidak memiliki pekerjaan. Meskipun harga pangan telah turun dalam beberapa hari terakhir setelah peningkatan pengiriman, harganya masih sangat tinggi.

    Pada 13 Agustus, menurut Kamar Dagang dan Industri Gaza, harga tepung lebih dari 10 kali lipat harga sebelum perang.

    Untuk meringankan krisis pangan, yang menuai kecaman global, Israel baru-baru ini melonggarkan pembatasan konvoi pangan PBB dan mengizinkan angkatan udara asing untuk menjatuhkan paket bantuan melalui udara di atas Gaza.

    Dunia tanpa sekolah

    Di Gaza saat ini, permainan berpura-pura sebagai guru merupakan cara paling dekat bagi kebanyakan anak untuk mendapatkan sekolah. Sekitar 95 persen sekolah rusak akibat pertempuran, menyebabkan sebagian besar anak-anak kehilangan pendidikan selama hampir dua tahun ajaran, menurut data PBB.

    Banyak sekolah telah diubah menjadi kamp pengungsian. Israel secara teratur menyerang mereka, dengan mengatakan bahwa para pemimpin Hamas telah menggunakannya sebagai kedok.

    Di kamp pengungsian, saat ini tidak ada sekolah. Selama beberapa bulan, para relawan di kamp tersebut menjalankan ruang kelas darurat, mengajar kelas ad hoc di tenda, tetapi sistem itu berakhir ketika gencatan senjata terakhir berakhir pada bulan Maret.

    PBB mencoba menyediakan pengajaran dasar melalui portal daring. Beberapa guru juga mengirimkan materi pendidikan kepada orang tua melalui WhatsApp. Namun, bagi beberapa keluarga, internet seringkali tidak dapat diakses.

    Sulit untuk terhubung ke jaringan telepon dalam waktu lama, dan baterai telepon cepat habis. Tak jarang, beberapa orang tua lebih memilih mengajarkan anaknya sendiri.

    Masa kecil tanpa orang tua

    Israel terus merampas masa kecil dari anak-anak Gaza. Tak cukup dengan membunuh tubuh dan mengebiri pendidikan, mereka juga mencabut anak-anak dari pelukan orang tua.

    Di salah satu halaman buku catatannya, Sajed al-Ghalban yang berusia 10 tahun, ia menggambar ibu dan ayahnya di rumah lama mereka di Khan Younis, Gaza selatan. Di halaman lain, terdapat gambar ibunya yang sedang mengajaknya ke kios sayur.

    Inilah pelukan terdekat yang bisa Sajed dapatkan dari orang tuanya. Ayahnya, Muhammad, dan ibunya, Shireen, tewas dalam serangan yang juga menghancurkan rumah mereka pada minggu ketiga perang di tahun 2023.

    Militer Israel mengatakan rumah itu telah digunakan untuk tujuan teror dan menolak berkomentar apakah Muhammad al-Ghalban adalah targetnya. Salah satu bibi Sajed yang masih hidup, Amany Abu Salah, mengatakan ayah Sajed tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan Hamas. 

    Sajed selamat dari serangan itu tanpa cedera, tetapi saudara perempuannya, Alma, yang kini berusia 12 tahun, dan saudara laki-lakinya, Abdallah, yang kini berusia 8 tahun, mengalami cedera kepala, menurut video setelah kejadian dan kerabat mereka yang selamat. Alma kemudian dievakuasi ke Turki untuk perawatan, ungkap kerabat kepada The Times.

    Selama hampir dua tahun, Sajed dan Abdallah dirawat oleh seorang bibi lain. Kemudian, pada bulan Juli, bibi tersebut tewas dalam sebuah serangan di tenda terdekat yang juga melukai kedua anak laki-laki tersebut, menurut Abu Salah, bibi yang selamat. Kini, mereka tinggal di tenda lain bersama Abu Salah dan ketiga anaknya.

    Kedua bersaudara itu termasuk di antara sedikitnya 40.000 anak yang telah kehilangan sedikitnya satu orang tua sejak dimulainya perang, menurut statistik yang diterbitkan oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang mempekerjakan ribuan pejabat di Gaza.

    Anak-anak tersebut tinggal di sebuah perkemahan yang dibangun oleh para relawan lokal, terutama untuk merawat mereka yang yatim piatu akibat perang; di kamp ini saja, terdapat sekitar 1.200 anak yatim piatu.

    Tanpa orang tua dan seorang adik laki-laki yang harus dirawat, Sajed berada dalam kondisi terombang-ambing antara masa kanak-kanak dan dewasa dini. Terkadang ia menggambar gambar-gambar kekanak-kanakan di buku catatannya. Atau ia bermain kelereng dan petak umpet dengan anak-anak lain di kamp. Namun, ia juga semakin berupaya membantu bibinya menjaga keutuhan rumah tangga sementara mereka.

    “Sayalah orangnya sekarang. Saya akan pergi membeli apa yang kita butuhkan,” kata Sajed kepada bibinya.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Visi ‘Israel Raya’ Netanyahu Tuai Kecaman

    Visi ‘Israel Raya’ Netanyahu Tuai Kecaman

    Jakarta

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ingin mewujudkan visi ‘Israel Raya’ dan mencaplok sejumlah negara Arab. Rencana ‘gila’ itu langsung dikecam sana-sini.

    Dirangkum detikcom, Jumat (15/8/2025), hal itu diungkap Netanyahu ketika ditanya pada Selasa (12/8) oleh wartawan i24NEWS, Sharon Gal, soal apakah dirinya mendukung “visi Israel Raya” tersebut, Netanyahu menjawab: “Tentu saja.”

    “Jika Anda bertanya kepada saya mengenai apa yang saya pikirkan, kami siap,” katanya.

    Dia kemudian beralih membahas soal pendirian Israel dan “misi besar”untuk memastikan keberlangsungan keberadaannya.

    Kalangan ultra-nasionalis Israel telah menyerukan pendudukan terhadap wilayah-wilayah tersebut.

    Istilah “Israel Raya” merujuk pada interpretasi Alkitab mengenai wilayah negara tersebut pada masa Raja Salomo, atau Raja Sulaiman, yang tidak hanya mencakup wilayah Palestina saat ini, yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, tetapi juga sebagian wilayah Yordania, Lebanon dan Suriah era modern.

    Negara-negara Arab Mengecam

    Negara-negara Arab ramai mengecam pernyataan Benjamin Netanyahu, yang mendukung gagasan “Israel Raya” itu. Gagasan itu dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Arab saat ketegangan memuncak di kawasan Timur Tengah.

    Yordania, negara tetangga Israel, seperti dilansir AFP, Jumat (15/8/2025), mengecam keras pernyataan Netanyahu tersebut, yang disebut sebagai “eskalasi berbahaya dan provokatif”, serta merupakan “ancaman terhadap kedaulatan negara-negara”.

    Dalam pernyataan pada Rabu (13/8), juru bicara Kementerian Luar Negeri Yordania menegaskan penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai retorika “provokatif| dan “klaim delusi” Netanyahu.

    Mesir juga memberikan reaksi keras, dengan mengatakan pihaknya telah “meminta klarifikasi terkait masalah ini”. Kairo menilai pernyataan Netanyahu itu sama-sama dengan “penolakan terhadap opsi perdamaian di kawasan tersebut”.

    Pernyataan Netanyahu itu disampaikan di tengah perang selama 22 bulan antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, yang berulang kali merembet ke Timur Tengah dan memicu kecaman keras terhadap Tel Aviv dari seluruh dunia Arab.

    Kecaman lainnya datang dari Irak, dengan Kementerian Luar Negeri Baghdad mengatakan pada Kamis (14/8) bahwa pernyataan Netanyahu itu mengungkapkan “ambisi ekspansionis” Israel dan merupakan “provokasi yang jelas terhadap kedaulatan negara-negara”.

    Qatar, yang merupakan mediator gencatan senjata Gaza, juga mengecam pernyataan Netanyahu, yang disebut sebagai pernyataan “absurd” dan “menghasut”.

    Upaya perluasan wilayah Israel juga menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich,anggota kabinet Netanyahu, menuntut penaklukan Jalur Gaza dan aneksasi Tepi Barat, setelah pemerintah Tel Aviv baru-baru ini menyetujui pemukiman baru yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.

    Arab Saudi, pada Rabu (13/8), menyatakan “penolakan total terhadap gagasan dan rencana kolonisasi dan ekspansi yang diadopsi oleh otoritas pendudukan Israel”, dan menegaskan kembali “hak historis dan hukum rakyat Palestina untuk mendirikan negara mereka yang merdeka”.

    Indonesia Turut Mengecam

    Pemerintah Indonesia mengecam keras ide Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membuat visi ‘Israel Raya’ dengan mencaplok sejumlah negara Arab yang mayoritas muslim termasuk Palestina. Pemerintah Indonesia menyebut rencana itu semakin mengecilkan perdamaian Palestina dan Timur Tengah.

    “Indonesia menolak dan mengecam keras visi Perdana Menteri Israel tentang ‘Israel Raya’ melalui aneksasi penuh atas wilayah Palestina dan negara-negara lain di kawasan,” tulis Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam pernyataannya di akun X (Twitter), Kamis (14/8).

    “Visi tersebut nyata-nyata melanggar hukum internasional dan semakin mengecilkan prospek perdamaian di Palestina dan Timur Tengah,” imbuhnya.

    Kemlu menerangkan ide Netanyahu itu melanggar hukum internasional. Kemlu menegaskan Indonesia memegang prinsip perdamaian yang adil hanya dapat terwujud dengan menegakkan hak yang tidak dapat dicabut rakyat Palestina.

    “Bagi Indonesia, perdamaian yang adil & berkelanjutan hanya dapat terwujud dg menegakkan hak yang tidak dapat dicabut rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri serta hidup berdampingan dengan Israel berdasarkan solusi dua negara, sesuai parameter internasional yang telah disepakati,” tulis Kemlu.

    Indonesia mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menolak segala pendudukan permanen oleh Israel di Palestina maupun di negara Arab yang mayoritas muslim. Indonesia meminta PBB segera mengambil langkah untuk menghentikan kebijakan Israel yang merusak perdamaian.

    “Indonesia menyerukan kepada komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, untuk menolak segala bentuk aneksasi dan pendudukan permanen oleh Israel – di Palestina atau di mana pun di kawasan,” tulis Kemlu.

    “Serta mengambil langkah konkret guna menghentikan kebijakan Israel yang merusak prospek perdamaian,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 3

    (lir/lir)

  • Pemerintah Israel Wacanakan Perluasan Pendudukan di Tepi Barat

    Pemerintah Israel Wacanakan Perluasan Pendudukan di Tepi Barat

    Jakarta

    Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada hari Kamis (14/8) mengungkap rencana perluasan pemukiman di Tepi Barat yang diduduki Israel. Ekspansi pemukiman akan semakin menggerogoti wilayah Palestina dan dipandang sebagai batu sandungan terbesar bagi kedaulatan Palestina.

    Pendudukan Israel di Tepi Barat telah berlangsung sejak tahun 1967.

    Smotrich mengisyaratkan, ekspansi juga diniatkan untuk mencegah lebih banyak negara mengakui kedaulatan Palestina.

    Juru bicara PBB sebabnya mendesak Israel untuk membatalkan rencana ekspansi pemukiman karena akan mengakhiri prospek Solusi Dua Negara. PBB kembali menegaskan bahwa pemukiman Israel di Tepi Barat bertentangan dengan hukum internasional.

    Bagaimana rencana perluasan pemukiman?

    Menteri keuangan dari blok ekstrem kanan itu mengumumkan rencana perluasan pemukiman Israel, Maale Adumim, dengan membangun 3500 apartemen baru di sebidang tanah seluas 12 km2 di sebelah timur Yerusalem, yang dikenal sebagai wilayah East 1 (E1).

    Rencana perluasan area pemukiman Israel ini menurut para pakar akan “secara efektif” membelah wilayah Tepi barat, Israel menjadi dua bagian. Dalam pernyataan yang dirilis Smotrich, pihaknya akan “mengubur gagasan tentang negara Palestina.”

    Pengumuman Smotrich datang bersamaan dengan rencana Prancis, Inggris, dan Kanada untuk secara formal mengakui kedaulatan Palestina pada Sidang Umum PBB di bulan September mendatang.

    “Siapa pun di dunia yang saat ini mencoba mengakui negara Palestina, akan mendapat jawaban dari kami di lapangan,” tambahnya.

    Smotrich, yang juga pemimpin Partai Religious Zionism, mengancam akan menegaskan kedaulatan penuh Israel di semua wilayah Yudea dan Samaria, jika Prancis, Inggris, dan Kanada melanjutkan rencana pengakuan mereka atas negara Palestina.

    Istilah “Yudea dan Samaria” sering digunakan Israel merujuk wilayah Tepi Barat yang diduduki.

    Apa reaksi AS terhadap rencana Smotrich?

    Rencana perluasan pemukiman Yahudi di wilayah E1 sempat dibekukan sebelumnya pada masa pemerintahan AS di bawah Presiden Obama dan Biden dari partai Demokrat.

    Dalam konferensi pers tersebut, Smotrich menyebut Presiden Trump dan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, sebagai “sahabat sejati”, yang selalu memperkuat posisi Israel.

    Namun juru bicara Departemen Luar Negeri AS, mengelak memberikan tanggapen terkait ekspansi pemukiman, dan hanya mengatakan bahwa “Tepi Barat yang stabil ikut menjaga keamanan Israel ,dan sejalan dengan hal tersebut perdamaian di kawasan dapat tercapai.”

    Meski demikian, Trump dan Huckabee belum memberikan komentar atas rencana tersebut.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu juga belum memberikan tanggapan resmi kepada publik terkait rencana Smotrich, meski Smotrich mengklaim Netanyahu dan Trump telah mendukung pembangunan unit perumahan baru.

    Posisi Smotrich sebagai menteri keuangan dalam pemerintahan koalisi, memberinya ruang untuk mendulang dukungan dari pemilih konservatif dan pemukim Yahudi garis keras.

    Meski belum mendapat persetujuan resmi dari Netanyahu atau Trump, agenda Smotrich berpotensi memperkuat pengaruh sayap kanan, dan mempengaruhi arah kebijakan pemerintah Israel.

    Rencana E1 masih membutuhkan persetujuan resmi dari pemerintah. Jika disetujui, pembangunan perumahan baru di pemukiman Maale Adumim bisa dimulai dalam waktu sekitar satu tahun.

    Bagaimana reaksi Palestina?

    Manuver untuk pembangunan kawasan E1 mendapat kecaman dari pejabat Palestina, kelompok hak asasi, dan negara-negara Arab.

    Kementerian Luar Negeri Otonomi Palestina di Tepi Barat dan kaum ekspatriat Palestina juga mengecam rencana tersebut, dan menuntut “pemberian sanksi” pada Israel untuk menghentikan pendudukan baru di E1. Mereka menyebut rencana ini sebagai kelanjutan rencana Israel untuk “menghancurkan eksistensi negara Palestina.”

    Organisasi kemanusiaan Israel Peace Now, yang memantau pemukiman Yahudi di Tepi Barat, menyebut rencana pemerintah “membunuh masa depan Israel, dan mematikan setiap peluang tercapainya solusi-dua negara yang damai.”

    Solusi-dua negara mengacu pada visi dua negara merdeka, Israel dan Palestina, yang hidup berdampingan secara damai.

    Kecaman negara-negara Arab

    Kritik juga datang dari kawasan Teluk. Qatar menilai rencana perluasan pemukiman di Tepi Barat sebagai “pelanggaran nyata terhadap legitimasi internasional,” dan menekankan urgensi “tindakan dari komunitas internasional untuk bersatu menghentikan Israel memperluas pemukiman dan, untuk mematuhi resolusi internasional.”

    Kementerian Luar Negeri Mesir mengecam keras rencana perluasan pemukiman Yahudi tersebut, dan mengecam “pernyataan ekstrem menteri Israel yang menyerukan perluasan pemukiman dan kedaulatan Israel di Tepi Barat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor :Rizki Nugraha/Agus Setiawan

    Lihat juga Video ‘Trump Ingin Jurnalis Dapat Akses Masuk Gaza’:

    (ita/ita)

  • Negara-negara Arab Kecam Netanyahu Soal Visi ‘Israel Raya’

    Negara-negara Arab Kecam Netanyahu Soal Visi ‘Israel Raya’

    Amman

    Negara-negara Arab ramai-ramai mengecam pernyataan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, yang mendukung gagasan “Israel Raya”. Gagasan itu dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Arab saat ketegangan memuncak di kawasan Timur Tengah.

    Istilah “Israel Raya” merujuk pada interpretasi Alkitab mengenai wilayah negara tersebut pada masa Raja Salomo, atau Raja Sulaiman, yang tidak hanya mencakup wilayah Palestina saat ini, yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, tetapi juga sebagian wilayah Yordania, Lebanon dan Suriah era modern.

    Kalangan ultra-nasionalis Israel telah menyerukan pendudukan terhadap wilayah-wilayah tersebut.

    Ketika ditanya pada Selasa (12/8) oleh wartawan i24NEWS, Sharon Gal, soal apakah dirinya mendukung “visi Israel Raya” tersebut, Netanyahu menjawab: “Tentu saja.”

    “Jika Anda bertanya kepada saya mengenai apa yang saya pikirkan, kami siap,” katanya.

    Dia kemudian beralih membahas soal pendirian Israel dan “misi besar”untuk memastikan keberlangsungan keberadaannya.

    Yordania, negara tetangga Israel, seperti dilansir AFP, Jumat (15/8/2025), mengecam keras pernyataan Netanyahu tersebut, yang disebut sebagai “eskalasi berbahaya dan provokatif”, serta merupakan “ancaman terhadap kedaulatan negara-negara”.

    Dalam pernyataan pada Rabu (13/8), juru bicara Kementerian Luar Negeri Yordania menegaskan penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai retorika “provokatif| dan “klaim delusi” Netanyahu.

    Mesir juga memberikan reaksi keras, dengan mengatakan pihaknya telah “meminta klarifikasi terkait masalah ini”. Kairo menilai pernyataan Netanyahu itu sama-sama dengan “penolakan terhadap opsi perdamaian di kawasan tersebut”.

    Pernyataan Netanyahu itu disampaikan di tengah perang selama 22 bulan antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, yang berulang kali merembet ke Timur Tengah dan memicu kecaman keras terhadap Tel Aviv dari seluruh dunia Arab.

    Kecaman lainnya datang dari Irak, dengan Kementerian Luar Negeri Baghdad mengatakan pada Kamis (14/8) bahwa pernyataan Netanyahu itu mengungkapkan “ambisi ekspansionis” Israel dan merupakan “provokasi yang jelas terhadap kedaulatan negara-negara”.

    Qatar, yang merupakan mediator gencatan senjata Gaza, juga mengecam pernyataan Netanyahu, yang disebut sebagai pernyataan “absurd” dan “menghasut”.

    Upaya perluasan wilayah Israel juga menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, anggota kabinet Netanyahu, menuntut penaklukan Jalur Gaza dan aneksasi Tepi Barat, setelah pemerintah Tel Aviv baru-baru ini menyetujui pemukiman baru yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.

    Arab Saudi, pada Rabu (13/8), menyatakan “penolakan total terhadap gagasan dan rencana kolonisasi dan ekspansi yang diadopsi oleh otoritas pendudukan Israel”, dan menegaskan kembali “hak historis dan hukum rakyat Palestina untuk mendirikan negara mereka yang merdeka”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Jerman Serukan Israel Setop Bangun Permukiman di Tepi Barat!

    Jerman Serukan Israel Setop Bangun Permukiman di Tepi Barat!

    Berlin

    Jerman menolak keras rencana Israel untuk membangun ribuan rumah baru di wilayah Tepi Barat. Berlin menyerukan pemerintah Israel untuk “menghentikan pembangunan permukiman” di wilayah Palestina yang diduduki tersebut.

    “(Jerman) Sangat menolak pengumuman pemerintah Israel tentang ribuan permukiman baru di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel,” tegas Kementerian Luar Negeri Jerman dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (15/8/2025).

    Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, menyatakan dukungan untuk rencana pembangunan sebanyak 3.400 rumah di area yang sangat kontroversial di Tepi Barat yang diduduki. Smotrich juga menyerukan aneksasi terhadap Tepi Barat untuk menanggapi rencana beberapa negara untuk mengakui negara Palestina.

    Israel telah sejak lama berambisi untuk membangun permukiman di atas lahan sensitif di Yerusalem Timur, yang dikenal sebagai E1. Rencana itu telah dibekukan selama beberapa dekade karena banyak ditentang komunitas internasional.

    Permukiman Israel di Tepi Barat dianggap ilegal menurut hukum internasional. Para pengkritik dan komunitas internasional memperingatkan bahwa pembangunan rumah baru di lahan seluas sekitar 12 kilometer persegi itu akan merusak harapan terbentuknya negara Palestina yang berdampingan di masa depan, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

    Area yang terletak di antara kota kuno dan permukiman Yahudi Maale Adumim, yang dekat dengan rute yang menghubungkan bagian utara dan selatan wilayah Palestina. Terdapat juga rencana terpisah, yang belum terwujud, untuk memperluas tembok pemisah Israel agar mencakup area tersebut.

    Smotrich, dalam pernyataannya pekan ini, mengatakan pekerjaan akan dimulai untuk pembangunan permukiman yang telah lama tertunda yang akan membagi Tepi Barat dan memisahkannya dari Yerusalem Timur. Langkah ini disebut akan “mengubur” gagasan negara Palestina.

    “Mereka yang ingin mengakui negara Palestina hari ini akan menerima respons dari kami di lapangan… Melalui tindakan nyata: rumah-rumah, lingkungan, jalanan, dan keluarga-keluarga Yahudi yang membangun kehidupan mereka,” cetusnya saat berbicara di acara untuk memajukan rencana pembangunan di lahan E1.

    “Pada hari penting ini, saya menyerukan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menerapkan kedaulatan Israel di Yudea dan Samaria, untuk meninggalkan gagasan pembagian negara untuk selamanya, dan untuk memastikan bahwa pada September, para pemimpin Eropa yang munafik tidak akan memiliki apa pun lagi untuk diakui,” ucap Smotrich, menggunakan istilah Alkitab untuk menyebut Tepi Barat.

    Prancis dan Inggris termasuk di antara beberapa negara yang telah mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang. Negara-negara itu mengatakan pengakuan itu dimaksudkan untuk menjaga solusi dua negara tetap hidup.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Parahnya Situasi Fasilitas Kesehatan di Gaza, RS Beroperasi Melebihi Kapasitas

    Parahnya Situasi Fasilitas Kesehatan di Gaza, RS Beroperasi Melebihi Kapasitas

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan peringatan keras bahwa sistem kesehatan di Gaza berada dalam kondisi ‘katastrofik’. Rumah sakit kewalahan, persediaan obat menipis, dan ancaman penyakit baru terus bermunculan, di tengah ketidakmampuan bantuan medis untuk masuk dengan cepat.

    Dr. Rik Peeperkorn, Perwakilan WHO untuk Tepi Barat dan Gaza, menyatakan bahwa kurang dari separuh rumah sakit di Gaza dan di bawah 38 persen pusat layanan kesehatan primer berfungsi, itupun dengan kapasitas minimal.

    Kapasitas tempat tidur di fasilitas utama sudah melebihi batas. Dr. Peeperkorn menyebutkan bahwa:

    RS Shifa beroperasi dengan kapasitas 250 persenRS Nasser di 180 persenRS Al-Rantisi di 210 persenRS Al-Ahli melebihi 300 persen

    Situasi ini semakin diperparah dengan tingginya jumlah korban luka dari area distribusi makanan, yang juga menyebabkan kelangkaan darah dan plasma.

    Krisis semakin parah

    Kekurangan kritis obat dan bahan habis pakai terus berlanjut. Menurut Dr. Peeperkorn, 52 persen obat-obatan dan 68 persen bahan habis pakai sudah mencapai “stok nol.”

    Kelaparan dan malnutrisi juga memburuk dengan cepat. Sejak awal tahun 2025, 148 orang, termasuk 49 anak, meninggal karena malnutrisi. Pada Juli, hampir 12.000 anak di bawah usia lima tahun didiagnosis menderita malnutrisi akut, angka bulanan tertinggi yang pernah tercatat.

    Ancaman Penyakit Baru dan Sulitnya Akses Bantuan

    Penyebaran penyakit menambah tekanan pada sistem kesehatan yang lumpuh. Kasus suspek meningitis mencapai 452 pada Juli hingga awal Agustus, jumlah tertinggi sejak eskalasi dimulai. Sindrom Guillain-Barré juga melonjak, dengan 76 kasus suspek sejak Juni. Kedua kondisi ini sangat sulit diobati karena stok obat penting, seperti imunoglobulin, sudah habis.

    Akses bagi tim medis dan pasokan internasional tetap menjadi kendala besar. Dr. Peeperkorn menyebutkan bahwa prosedur masuk sangat lambat dan tidak dapat diprediksi.

    “Kami mendengar lebih banyak pasokan kemanusiaan diizinkan masuk, tetapi itu tidak terjadi, atau terjadi terlalu lambat,” ujarnya.

    WHO menyerukan agar lebih banyak pintu perbatasan ke Gaza dibuka, prosedur dipermudah, dan hambatan akses dicabut untuk mencegah krisis ini semakin parah.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Israel Setujui Permukiman Yahudi di Sekitar Yerusalem, Arab Saudi Geram!

    Israel Setujui Permukiman Yahudi di Sekitar Yerusalem, Arab Saudi Geram!

    Riyadh

    Arab Saudi mengutuk keras persetujuan yang diberikan pemerintah Israel terhadap pembangunan permukiman Yahudi di sekitar Yerusalem. Otoritas Riyadh menyebut langkah semacam itu sebagai “kebijakan ekspansionis ilegal” yang terus dilakukan oleh Tel Aviv.

    Saudi juga mengecam komentar yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, yang menolak pembentukan negara Palestina. Riyadh menyebut penolakan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional.

    Ditegaskan oleh Saudi bahwa pembentukan negara Palestina merupakan hak rakyat Palestina “yang tidak dapat dicabut” untuk menentukan nasib mereka sendiri dan untuk bernegara.

    Kementerian Luar Negeri Saudi dalam pernyataannya, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (15/8/2025), mengutip resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang relevan, khususnya Resolusi 2234 (2016), yang menyerukan Israel untuk menghentikan aktivitas pembangunan permukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan menegaskan sifat ilegal dari permukiman Israel di wilayah yang diduduki sejak tahun 1967 silam itu.

    Pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi itu juga menyinggung soal saran pendapat (advisory opinion) Mahkamah Internasional (ICJ) yang “menegaskan ilegalitas aneksasi wilayah Palestina yang diduduki dan menekankan perlunya mengakhiri pendudukan Israel”.

    Kementerian Luar Negeri Saudi menyebut keputusan dan pernyataan tersebut menyoroti “kebijakan ekspansionis ilegal” pemerintah Israel yang sedang berlangsung dan “hambatannya terhadap upaya perdamaian, dan ancaman serius yang ditimbulkan terhadap potensi solusi dua negara”.

    Ditekankan juga bahwa situasi semacam ini menuntut komunitas internasional untuk memikul tanggung jawab hukum dan moral, memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina, dan menegakkan hak-hak sah mereka, termasuk pengakuan atas negara Palestina.

    Hal itu, menurut Kementerian Luar Negeri Saudi, juga berarti mewajibkan Israel untuk menghentikan serangan terhadap Jalur Gaza, mengakhiri tindakan-tindakan ilegalnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan “menghentikan kejahatan terhadap rakyat Palestina — khususnya yang merupakan genosida — sembari meminta pertanggungjawaban para pelaku”.

    Riyadh juga menegaskan kembali “penolakan mutlak terhadap kebijakan Israel yang didasarkan pada perluasan permukiman, pemindahan paksa, dan penolakan terhadap hak-hak sah warga Palestina”.

    Terakhir, Kementerian Luar Negeri Saudi menyerukan kepada komunitas internasional, terutama anggota tetap Dewan Keamanan PBB, untuk segera mengambil tindakan guna memaksa otoritas Israel “mengakhiri kejahatan mereka terhadap rakyat Palestina dan wilayah Palestina yang diduduki, serta untuk mematuhi resolusi PBB dan hukum internasional”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Akan Bangun 3 Ribu Rumah Pemukim, Kubur Ide Negara Palestina

    Israel Akan Bangun 3 Ribu Rumah Pemukim, Kubur Ide Negara Palestina

    Jakarta

    Menteri garis keras Israel Bezalel Smotrich mengumumkan bahwa ia berencana untuk menyetujui tender pembangunan lebih dari 3.000 unit rumah di proyek permukiman E1 yang sangat kontroversial antara Yerusalem dan Ma’ale Adumim di Tepi Barat. Dia mengatakan bahwa langkah tersebut “mengubur ide tentang negara Palestina.”

    Proyek tersebut sebelumnya telah dibekukan selama beberapa dekade, di tengah pertentangan sengit dari komunitas internasional, yang khawatir lingkungan permukiman baru tersebut akan menghalangi pembentukan negara Palestina.

    “Persetujuan rencana pembangunan di E1 mengubur gagasan negara Palestina dan melanjutkan berbagai langkah yang kami ambil di lapangan sebagai bagian dari rencana kedaulatan de facto yang telah kami mulai laksanakan dengan pembentukan pemerintah,” kata Smotrich yang menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam sebuah pernyataan, dilansir The Times of Israel, Kamis (14/8/2025).

    Proyek kontroversial yang akan membagi Tepi Barat menjadi utara dan selatan itu telah dibekukan selama beberapa dekade karena tekanan internasional.

    “Setelah puluhan tahun tekanan dan pembekuan internasional, kami melanggar konvensi dan menghubungkan Ma’ale Adumim dengan Yerusalem. Inilah Zionisme yang terbaik – membangun, menetap, dan memperkuat kedaulatan kami di Tanah Israel,” kata Smotrich, yang juga seorang menteri di Kementerian Pertahanan yang bertanggung jawab atas isu-isu sipil Tepi Barat.

    Potensi pembangunan permukiman baru untuk permukiman Ma’ale Adumim di zona yang disebut E1, telah lama menimbulkan kekhawatiran di komunitas internasional. Hal ini akan membagi Tepi Barat menjadi wilayah utara dan selatan dan mencegah pembangunan kota metropolitan Palestina yang menghubungkan Yerusalem Timur dengan Betlehem dan Ramallah, yang telah lama diharapkan oleh Palestina akan menjadi fondasi negara masa depan mereka.

    Tonton juga video “Israel Gempur Gaza, Ratusan Orang Tewas dalam Sehari” di sini:

    Namun, menurut lembaga pengawas permukiman Peace Now, rencana yang disetujui bukanlah untuk proposal E1 yang asli, melainkan permukiman terpisah dari Ma’ale Adumim.

    “3.300 unit rumah di Ma’ale Adumim mewakili peningkatan sekitar 33% dalam stok perumahan permukiman tersebut – sebuah ekspansi yang sangat besar untuk permukiman yang populasinya stagnan di sekitar 38.000 jiwa selama dekade terakhir dan telah mengalami migrasi keluar bersih. Tender tersebut ditujukan untuk sebuah lingkungan besar yang akan menghubungkan kawasan terbangun Ma’ale Adumim dengan kawasan industri di sebelah timurnya,” demikian pernyataan Peace Now.

    Sebelumnya pada bulan Maret, kabinet keamanan Israel menyetujui pembangunan jalan pintas “Fabric of Life” khusus Palestina di wilayah Yerusalem, dalam upaya untuk memisahkan lalu lintas Israel dan Palestina serta memperkuat kehadiran Israel di luar Garis Hijau.

    Lihat Video ‘Israel Dikabarkan Berunding dengan 5 Negara untuk Terima Warga Gaza’:

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Bocah Palestina Mengeluh Sakit Mata dan Nyaris Buta, Berawal dari Sakit Gigi

    Bocah Palestina Mengeluh Sakit Mata dan Nyaris Buta, Berawal dari Sakit Gigi

    Jakarta

    Seorang bocah 6 tahun di Tepi Barat, Palestina mengalami infeksi gigi parah hingga membuat matanya nyaris buta. Anak yang tidak disebutkan namanya itu dilarikan ke rumah sakit karena merasakan nyeri di gigi geraham belakang kanan, sakit kepala, pembengkakan di mata kanan, dan demam 40 derajat celcius.

    Dalam jurnal BMC Oral Health yang dirilis pada Februari 2025, disebutkan pasien awalnya diberi parasetamol untuk menurunkan demam dan antibiotik oral untuk melawan infeksi, tapi kondisinya semakin parah. Bocah itu juga sempat dua kali muntah.

    Dikutip dari Live Science, dokter lalu memberikan antibiotik jenis intravena yang biasanya digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri yang sulit diobati. Meski begitu, kondisi bocah tersebut tetap tidak membaik.

    Mata kanan bocah tersebut mulai menonjol keluar dari rongga matanya, mengalami penglihatan ganda, dan sensitif pada cahaya. Gerakan mata kanannya terbatas dan area sekitarnya tampak bengkak, mengkilap, kemerahan, dan terasa hangat saat disentuh.

    Dokter akhirnya memutuskan untuk melakukan CT scan. Hasilnya, mereka mendiagnosis bocah tersebut mengalami infeksi bakteri orbital cellulitis. Infeksi tersebut menyerang jaringan lemak dan otot di sekitar mata, tapi tidak mengenai bola mata secara langsung.

    Kondisi ini dapat menyebabkan kebutaan permanen dengan merusak pembuluh darah dan saraf mata. Kondisi tersebut bahkan bisa mengancam nyawa bocah tersebut jika infeksi menyebar ke aliran darah atau otak.

    Dokter menyimpulkan bakteri berasal dari infeksi gigi yang menyebar ke sinus, lalu mencapai mata.

    Dokter lalu melakukan operasi untuk mengangkat abses dan mengurang tekanan pada mata pasien. Beberapa hari kemudian, operasi lanjutan dilakukan untuk mencabut dua gigi yang terinfeksi.

    Pasien terus menerima antibiotik intravena, dan kondisinya cepat membaik. Pada kunjungan kontrol delapan bulan kemudian, matanya tampak normal tanpa kehilangan penglihatan maupun pergerakan.

    (avk/kna)

  • Bentrokan di Tepi Barat, Warga Palestina Ditembak Mati Pemukim Israel

    Bentrokan di Tepi Barat, Warga Palestina Ditembak Mati Pemukim Israel

    Jakarta

    Pejabat Palestina mengatakan seorang pemukim Israel menembak mati seorang warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki. Militer mengonfirmasi seorang tentara yang sedang tidak bertugas menembak seseorang yang disebut sedang melempar batu.

    Dilansir AFP, Kamis (14/8/2025), konfrontasi ini menandai bentrokan fatal terbaru di wilayah Palestina, tempat kekerasan telah muncul sejak dimulainya perang Gaza.

    “Thameen Khalil Reda Dawabsheh (35 tahun) tewas oleh tembakan pemukim di kota Douma, selatan Nablus,” kata Kementerian Kesehatan Otoritas Palestina dalam sebuah pernyataan.

    Dihubungi oleh AFP, kepala dewan desa Duma, Suleiman Dawabsheh, mengatakan bahwa konfrontasi pecah ketika sekelompok pemukim Israel memasuki lahan di utara kota saat para petani menggarap lahan mereka.

    “Sekelompok pemukim tiba dengan traktor dan kendaraan lain, dan langsung mencoba menculik seorang anak laki-laki berusia sekitar 14-15 tahun, membawanya pergi,” katanya kepada AFP.

    Dawabsheh mengatakan bahwa penduduk berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, tetapi selama pertengkaran berikutnya, “salah satu pemukim melepaskan tembakan langsung ke arah pemuda Thameen Dawabsheh.”

    Tentara mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa selama pekerjaan rekayasa di dekat Douma, puluhan warga Palestina melemparkan batu ke arah warga Israel, termasuk seorang tentara yang sedang tidak bertugas dan seorang warga sipil, istilah yang biasa digunakan tentara untuk menyebut para pemukim.

    Tentara yang sedang tidak bertugas, yang juga seorang pemukim menurut wali kota, melepaskan tembakan peringatan pada awalnya, dan ketika lemparan batu berlanjut, ia melepaskan tembakan lagi hingga “teridentifikasi adanya tembakan.”

    Tentara mengatakan bahwa tentara kemudian dikerahkan untuk melerai insiden tersebut. “Akibat lemparan batu tersebut, warga sipil dan tentara tersebut mengalami luka ringan dan menerima perawatan medis di tempat kejadian,” tambahnya.

    Duma sebuah kota di Tepi Barat utara, sering menjadi lokasi kekerasan pemukim. Pada tahun 2015, sepasang suami istri Palestina dan bayi mereka terbakar hingga tewas setelah para pemukim menyerang desa tersebut, sebuah tragedi yang masih diingat penduduk hingga kini.

    Pada April 2025, ratusan pemukim menyerang Duma dan menikam seorang penduduk desa setelah seorang remaja Israel yang sering mengunjungi pos permukiman terdekat ditemukan tewas.

    Tepi Barat adalah rumah bagi sekitar tiga juta warga Palestina, serta sekitar 500.000 pemukim Israel. Kekerasan di wilayah Palestina, yang telah diduduki Israel sejak 1967, telah muncul sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang Gaza.

    Sejak itu, pasukan dan pemukim Israel telah menewaskan setidaknya 968 warga Palestina, termasuk banyak militan, menurut data Kementerian Kesehatan.

    Selama periode yang sama, setidaknya 36 warga Israel, termasuk pasukan keamanan, telah tewas dalam serangan Palestina atau selama operasi militer Israel, menurut data resmi.

    Halaman 2 dari 2

    (rfs/rfs)