Negara: Tepi Barat

  • AS Tangguhkan Persetujuan Visa Bagi Hampir Semua Warga Palestina

    AS Tangguhkan Persetujuan Visa Bagi Hampir Semua Warga Palestina

    Washington DC

    Otoritas Amerika Serikat (AS) telah menangguhkan persetujuan visa bagi hampir semua pemegang paspor Palestina. Langkah ini memperluas pembatasan visa untuk para pengunjung dari Jalur Gaza, yang sebelumnya diumumkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

    Kebijakan terbaru Washington tersebut, seperti dilansir Reuters dan Anadolu Agency, Senin (1/9/2025), diungkapkan oleh media terkemuka AS, New York Times, dalam laporan terbarunya, yang mengutip sejumlah pejabat, pada Minggu (31/8) waktu setempat.

    Kebijakan terbaru ini akan mencegah warga negara Palestina bepergian ke AS untuk perawatan medis, untuk kuliah, dan untuk perjalanan bisnis, setidaknya untuk sementara.

    Pembatasan ekstensif yang diuraikan dalam kabel Departemen Luar Negeri AS yang dikirimkan ke misi-misi diplomatik AS di seluruh dunia pada 18 Agustus lalu, menurut empat sumber AS, juga akan mencegah banyak warga negara Palestina dari Tepi Barat dan komunitas diaspora Palestina untuk mendapatkan visa non-imigran.

    Penangguhan visa bagi warga Palestina ini menyusul pembatasan visa yang diumumkan dua pekan lalu, ketika Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa pihaknya menangguhkan semua visa kunjungan bagi individu-individu dari Jalur Gaza, sembari mereka melakukan peninjauan “sepenuhnya dan menyeluruh”.

    Langkah tersebut menuai kecaman dari kelompok-kelompok pro-Palestina.

    Menurut analisis data bulanan yang tersedia pada situs resmi Departemen Luar Negeri AS pada saat itu, Washington telah mengeluarkan lebih dari 3.800 visa kunjungan B1/B2 — yang memungkinkan warga negara asing untuk berobat di AS — kepada para pemegang dokumen perjalanan Otoritas Palestina.

    Tonton juga video “Gebrakan Baru Trump! Pemohon Visa AS Wajib Setor Rp 245 Juta” di sini:

    Angka tersebut mencakup 640 visa yang dirilis pada Mei lalu.

    Kebijakan terbaru pemerintahan Trump ini diambil menyusul penolakan dan pencabutan visa para pejabat Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas, yang dijadwalkan menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, pada September ini.

    Langkah Washington itu dilakukan setelah Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum PBB. Keempat negara itu akan bergabung dengan 147 negara lainnya yang telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Akan Caplok Tepi Barat Jika Prancis Cs Akui Negara Palestina

    Israel Akan Caplok Tepi Barat Jika Prancis Cs Akui Negara Palestina

    Tepi Barat

    Pemerintah Israel sedang mengkaji aneksasi atau pencaplokan wilayah Tepi Barat. Langkah itu disebut sebagai kemungkinan respons pemerintah Israel atas pengakuan resmi yang diberikan Prancis dan beberapa negara Barat lainnya terhadap negara Palestina.

    Pertimbangan otoritas Tel Aviv untuk pencaplokan Tepi Barat itu, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Senin (1/9/2025), diungkapkan oleh tiga pejabat Israel, yang enggan disebut namanya. Disebutkan juga bahwa gagasan tersebut dibahas lebih lanjut oleh otoritas Israel pada Minggu (31/8) waktu setempat.

    Israel yang menghadapi kritikan internasional yang semakin meningkat atas perang Gaza, marah dengan janji-janji Prancis, Inggris, Kanada dan Australia untuk secara resmi mengakui negara Palestina dalam pertemuan puncak Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September ini.

    Perluasan kedaulatan Israel ke Tepi Barat — aneksasi de-facto atas wilayah yang direbut dalam perang Timur Tengah tahun 1967 silam — disebut masuk dalam agenda rapat kabinet keamanan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, pada Minggu (31/8) malam, yang fokus membahas perang Gaza.

    Tidak diketahui secara jelas di mana tepatnya langkah semacam itu akan diterapkan dan kapan, apakah hanya di area permukiman Israel atau beberapa di antaranya, atau di wilayah-wilayah tertentu di Tepi Barat seperti Lembah Yordan, dan apakah akan ada langkah konkret, yang kemungkinan memerlukan proses legislatif yang panjang, menyusul pembahasan tersebut.

    Setiap langkah menuju aneksasi di Tepi Barat kemungkinan akan menuai kecaman luas dari Palestina, yang menginginkan wilayah tersebut untuk negara mereka di masa depan. Kecaman juga mungkin datang dari negara-negara Arab dan Barat.

    Belum diketahui secara jelas di mana posisi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam masalah ini.

    Juru bicara Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, tidak merespons permintaan komentar mengenai apakah sang menteri membahas langkah tersebut dengan Menlu AS Marco Rubio selama kunjungannya ke Washington DC pekan lalu.

    Tonton juga video “PM dan Sejumlah Menteri Houthi Yaman Tewas Akibat Serangan Israel” di sini:

    Kantor Netanyahu juga tidak segera menanggapi permintaan komentar mengenai apakah sang PM Israel mendukung aneksasi Tepi Barat, dan jika iya, di mana area yang akan dianeksasi.

    Janji Netanyahu sebelumnya untuk mencaplok area permukiman Yahudi dan Lembah Yordan dibatalkan pada tahun 2020 demi normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, melalui Perjanjian Abraham yang dimediasi Trump pada masa jabatan pertamanya.

    Kantor Presiden Palestina Mahmoud Abbas belum menanggapi laporan tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Tak Seharusnya Batasi Akses Pejabat Palestina ke PBB

    Tak Seharusnya Batasi Akses Pejabat Palestina ke PBB

    Paris

    Prancis melontarkan kritikan terhadap Amerika Serikat (AS) yang baru saja mengumumkan akan menolak visa untuk para pejabat Otoritas Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas, yang dijadwalkan menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York bulan depan.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Prancis Jean-Noel Barrot dalam tanggapannya, seperti dilansir AFP, Sabtu (30/8/2025), mengatakan bahwa seharusnya tidak ada pembatasan akses untuk Sidang Umum PBB yang dijadwalkan pada September mendatang di markas besar PBB di Manhattan, New York.

    “Pertemuan Sidang Umum PBB… seharusnya tidak dikenakan pembatasan akses apa pun,” kata Barrot saat berbicara dalam pertemuan para Menlu Uni Eropa di Denmark.

    Sejumlah Menlu negara-negara Eropa yang menghadiri pertemuan di Copenhagen menyuarakan seruan senada dengan Prancis, yakni agar AS mengizinkan akses masuk bagi delegasi Palestina.

    Langkah luar biasa Washington itu muncul saat Prancis bersama beberapa negara sekutu AS lainnya, seperti Inggris, Kanada, dan Australia, berencana memberikan pengakuan resmi untuk negara Palestina di hadapan Majelis Umum PBB yang menggelar pertemuan tahunan di New York pada September mendatang.

    Langkah semacam ini juga menyelaraskan pemerintahan Presiden Donald Trump dengan pemerintah Israel, yang terus melancarkan perang di Jalur Gaza.

    Dalam pengumuman pada Jumat (29/8), pemerintahan Trump menyatakan akan menolak dan mencabut visa untuk para pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina, yang berbasis di Tepi Barat, menjelang Sidang Umum PBB karena telah “merusak prospek perdamaian”.

    Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, yang enggan disebut namanya, mengatakan bahwa Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya terdampak oleh langkah tersebut.

    Departemen Luar Negeri AS membenarkan keputusannya itu, dengan melontarkan kembali tuduhan lama soal PLO dan Otoritas Palestina telah gagal dalam menolak ekstremisme, sambil mendorong “pengakuan sepihak” atas negara Palestina.

    “Ini demi kepentingan keamanan nasional kami untuk meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan karena merusak prospek perdamaian,” sebut Departemen Luar Negeri AS dalam pernyataannya.

    Kantor PM Palestina mengatakan pihaknya terkejut dengan keputusan AS tersebut, yang disebutnya bertentangan dengan “hukum internasional” dan telah melanggar “perjanjian markas besar” PBB.

    Berdasarkan “perjanjian markas besar” PBB tahun 1947, AS secara umum diwajibkan untuk mengizinkan akses bagi para diplomat asing ke markas PBB di New York. Namun, Washington mengatakan mereka dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.

    Otoritas Palestina, dalam tanggapannya, menyerukan AS untuk membatalkan keputusan tersebut.

    Abbas telah merencanakan perjalanan ke New York untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, pertemuan tingkat tinggi yang digelar secara tahunan, di New York.

    Abbas juga dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak, yang digelar oleh Prancis dan Arab Saudi, di mana Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina.

    Lihat juga Video: Prancis Akan Akui Negara Palestina

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Presiden Palestina Dilarang Masuk AS Jelang Sidang Umum PBB

    Presiden Palestina Dilarang Masuk AS Jelang Sidang Umum PBB

    Washington DC

    Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa mereka tidak akan mengizinkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk melakukan perjalanan ke New York, bulan depan, untuk menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana beberapa negara sekutu AS akan mengakui negara Palestina.

    Pemerintahan Presiden Donald Trump, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Sabtu (30/8/2025), telah menolak dan mencabut visa untuk para pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina, yang berbasis di Tepi Barat, menjelang Sidang Umum PBB karena telah “merusak prospek perdamaian”.

    Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, yang enggan disebut namanya, mengatakan bahwa Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya terdampak oleh keputusan yang diumumkan pada Jumat (29/8) waktu setempat.

    Abbas telah merencanakan perjalanan ke New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB tingkat tinggi yang digelar secara tahunan di markas besar PBB di Manhattan, New York, AS. Tahun ini, Sidang Umum PBB akan digelar pada September mendatang.

    Abbas juga dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak, yang digelar oleh Prancis dan Arab Saudi, di mana Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina.

    Kantor Abbas mengatakan pihaknya terkejut dengan keputusan AS menolak dan mencabut visa tersebut. Ditegaskan bahwa keputusan semacam itu melanggar “perjanjian markas besar” PBB.

    Berdasarkan “perjanjian markas besar” PBB tahun 1947, AS secara umum diwajibkan untuk mengizinkan akses bagi para diplomat asing ke markas PBB di New York.

    Namun, Washington mengatakan mereka dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.

    Departemen Luar Negeri AS membenarkan keputusannya itu, dengan melontarkan kembali tuduhan lama soal PLO dan Otoritas Palestina telah gagal dalam menolak ekstrmisme, sambil mendorong “pengakuan sepihak” atas negara Palestina.

    “Ini demi kepentingan keamanan nasional kami untuk meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina atas ketidakpatuhan mereka terhadap komitmen mereka, dan karena merusak prospek perdamaian,” sebut Departemen Luar Negeri AS.

    Para pejabat Palestina menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa perundingan-perundingan yang dimediasi AS selama puluhan tahun telah gagal mengakhiri pendudukan Israel dan mengamankan negara Palestina yang merdeka.

    Dikatakan Departemen Luar Negeri AS bahwa mereka mendesak PLO dan Otoritas Palestina untuk “secara konsisten menolak terorisme”, termasuk serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Abbas, dalam surat kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Juni, mengecam serangan Hamas dan menyerukan pembebasan sandera.

    Departemen Luar Negeri AS juga menambahkan bahwa mereka terbuka untuk kembali terlibat “jika Otoritas Palestina/PLO memenuhi kewajiban mereka dan secara nyata mengambil langkah konkret untuk kembali ke jalur kompromi yang konstruktif dan hidup berdampingan secara damai dengan negara Israel”.

    Lebih lanjut, Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa misi Palestina untuk PBB, yang terdiri atas para pejabat yang bermarkas permanen di sana, akan terhindar dari pembatasan tersebut.

    Menanggapi situasi tersebut, juru bicara PBB Stephane Dujarric menyatakan PBB akan membahas masalah visa dengan Departemen Luar Negeri AS “sesuai dengan perjanjian markas besar PBB antara PBB dan AS”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Kasus Infeksi Bakteri Pemakan Daging Meningkat, Ilmuwan Ungkap Dugaan Pemicunya

    Kasus Infeksi Bakteri Pemakan Daging Meningkat, Ilmuwan Ungkap Dugaan Pemicunya

    Jakarta

    Kasus infeksi bakteri pemakan daging makin banyak dilaporkan di Amerika Serikat (AS). Hal ini juga terjadi pada Linard Lyons yang sehari-harinya menjadi nelayan di tepi barat daya New Orleans.

    Kala itu, ia tengah menangkap kepiting untuk cucu-cucunya, tetapi ia kemudian menyadari ada sebuah goresan kecil di kaki. Luka yang ternyata hampir merenggut nyawa Lyons.

    Semula, Lyons tetap beraktivitas seperti biasa. Namun keesokan harinya ia terbangun dalam kondisi delusi, disertai demam dan muntah. Semula ia mengira hanya sakit biasa, hingga kemudian menemukan luka hitam menyebar di kaki kirinya.

    Lyons segera menemui dokter keluarga. Dokter kemudian mengenali kondisinya dan segera mengirim Lyons ke ruang gawat darurat. Tak sampai satu jam kemudian, ia sudah berada di meja operasi rumah sakit.

    Infeksi Bakteri Pemakan Daging

    Goresan kecil di kaki Lyons ternyata menjadi pintu masuk bagi Vibrio vulnificus, bakteri yang dikenal sebagai ‘pemakan daging’. Luka hitam yang muncul adalah tanda fasciitis nekrotikans, infeksi serius yang merusak jaringan di bawah kulit, menurut Cleveland Clinic.

    Bakteri berbahaya ini berkembang biak di perairan pesisir yang hangat, terutama di perairan payau tempat air tawar bercampur dengan laut. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mencatat kasus infeksi Vibrio di Pantai Timur melonjak hingga 800 persen antara 1988 dan 2018

    Peluang Hidup

    “Saya diberi pertanyaan ‘Apakah saya boleh melakukan apa yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan hidup Anda?” kenang Lyons, dikutip dari CNN.

    Itu adalah kata-kata terakhir yang ia dengar sebelum dibius untuk operasi. Lyons menyadari betul kakinya terancam diamputasi. Saat itu, dokter memberi vonis peluang bertahan hidup ‘hanya’ 50 persen.

    Beruntung, tim medis berhasil menghentikan penyebaran infeksi tanpa harus mengamputasi kaki. Setelah tiga hari di unit perawatan intensif, tiga minggu dirawat di rumah sakit, serta berbagai terapi antibiotik, Lyons akhirnya dinyatakan bebas dari bakteri tersebut. Meski sudah lebih dari tiga bulan berlalu, proses pemulihan masih panjang.

    Bagi Lyons yang juga menderita diabetes, masa pemulihan terasa berat dan ia menggambarkannya sebagai ‘penderitaan’. Ia kini menaruh harapan pada prosedur cangkok kulit agar kakinya bisa kembali pulih.

    Siapa yang Paling Berisiko?

    Menurut Kepala Dinas Kesehatan Mississippi, AS, Dr Daniel Edney, infeksi Vibrio vulnificus umumnya tidak fatal bagi orang sehat.

    Namun, individu dengan sistem kekebalan tubuh lemah lebih rentan mengalami kondisi serius. Ia mengingatkan, bila berencana masuk ke perairan pantai, anggap saja perairan tersebut terkontaminasi Vibrio. “Hindari air jika memiliki luka terbuka atau luka yang berpotensi terinfeksi,” ujarnya.

    Inikah Pemicunya?

    Para ahli menilai perubahan iklim mempercepat penyebaran bakteri ini. Lautan yang semakin hangat dan naiknya permukaan laut menciptakan kondisi ideal bagi Vibrio untuk berkembang. Profesor Oliver dari UNC Charlotte menambahkan, mencairnya gletser juga menurunkan kadar salinitas laut, sehingga membuat lingkungan lebih ramah bagi bakteri tersebut.

    “Air laut yang terlalu asin tidak cocok untuk Vibrio vulnificus. Tapi ketika tercampur air tawar, kondisinya menjadi lebih menguntungkan,” jelasnya.

    Seiring iklim yang semakin hangat, lebih banyak bakteri bertahan melewati musim dingin, sehingga wabah di musim panas semakin parah. Dr. Rachel Noble, profesor di University of North Carolina di Chapel Hill yang meneliti Vibrio sejak awal 2000-an, menyebut fenomena ini sebagai pola global.

    “Ini bukan satu-satunya patogen yang meningkat akibat perubahan iklim,” ujarnya.

    “Tetapi kasus Vibrio bisa menjadi contoh nyata bagaimana iklim memengaruhi kesehatan manusia.”

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Melihat Dampak Perubahan Iklim yang Semakin Nyata”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Meski Diprotes Massal, Israel Lanjutkan Serangan di Kota Gaza

    Meski Diprotes Massal, Israel Lanjutkan Serangan di Kota Gaza

    Jakarta

    Tank-tank Israel semakin merangsek masuk di pinggiran Kota Gaza pada hari Rabu (27/08), memaksa lebih banyak warga Palestina mengungsi, sementara militer Israel bersiap melaksanakan rencana pemerintah Israel untuk menaklukkan Gaza dan merebut apa yang mereka sebut sebagai “benteng terakhir Hamas.”

    Sehari sebelumnya, puluhan ribu warga Israel kembali turun ke jalan untuk mendesak pemerintah menyetujui kesepakatan untuk memulangkan 50 sandera yang tersisa. Para pengunjuk rasa saat mereka berbaris menuju Lapangan Sandera di pusat kota Tel Aviv.

    Area ini telah menjadi simbol perjuangan untuk memulangkan para sandera yang disandera selama serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023.

    Di antara para pengunjuk rasa pada hari Selasa (24/08) adalah Naama, seorang mahasiswa psikologi yang kehilangan salah satu teman dekatnya dalam serangan militan di festival musik Nova.

    “Saya di sini untuk mendukung keluarga-keluarga, dan itu minimal yang bisa saya lakukan. Saya tidak punya kendali atas apa yang terjadi. Selama dua tahun, ini bagaikan roller coaster antara harapan dan keputusasaan,” ujar Naama, yang menolak menyebutkan nama belakangnya, kepada DW di alun-alun.

    Ia mengatakan ia ingin percaya bahwa pemerintah Israel sedang melakukan segala yang mereka bisa untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 22 bulan, “karena jika saya tidak percaya ini, saya tidak akan bisa bangun pagi-pagi. Saya sangat berharap mereka tidak menutup mata terhadap apa yang terjadi di sini.”

    ‘Hari Disrupsi’ bertujuan untuk mengakhiri perang di Gaza

    Protes hari Selasa (24/08) diselenggarakan oleh Forum Keluarga Sandera dan Hilang, yang mewakili mayoritas keluarga, dan dijadwalkan bertepatan dengan rapat Kabinet Keamanan Israel.

    Beberapa anggota kabinet koalisi sayap kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan menuduh para pengunjuk rasa “membantu Hamas” dan merugikan negara dengan aksi demonstrasi mereka.

    “Para perusuh yang melayani Hamas telah kembali,” tulis Hanoch Milwidsky, seorang anggota parlemen senior dari partai Likud pimpinan Netanyahu, di X, bersamaan dengan video pengunjuk rasa membakar ban di jalan raya.

    Di sebuah kios yang menjual kaus dan pin untuk mendukung para sandera, Dan Perlman, seorang relawan, berusaha terdengar optimistis. “Kita semua di sini memiliki secercah harapan bahwa keadaan akan berubah, meskipun ada banyak kekecewaan. Ibu saya, yang telah menjadi relawan di sini sejak hari ketiga, mungkin lebih optimistis daripada saya. Saya tidak. Saya pikir sungguh gila jika situasi ini terus berlanjut selamanya,” katanya.

    Israel belum tanggapi kesepakatan gencatan senjata

    Einav Zangauker, ibu dari sandera Matan Zangauker yang masih ditahan Hamas, mengatakan kepada kerumunan yang berkumpul di Tel Aviv bahwa “seluruh bangsa ini terbebani oleh pemerintah ini.” Ia mengkritik Netanyahu karena melanjutkan “kampanyenya untuk menggagalkan kesepakatan” potensi gencatan senjata dengan Hamas.

    Para mediator internasional mengatakan mereka masih menunggu tanggapan resmi dari Israel terkait perjanjian gencatan senjata yang didukung AS saat ini, yang disetujui Hamas pekan lalu. Seorang perwakilan Kementerian Luar Negeri Qatar, yang telah mengoordinasikan perundingan antara kedua belah pihak, mengatakan “upaya untuk mengulur waktu dengan memindahkan lokasi atau taktik lain sudah jelas bagi komunitas internasional, dan sudah saatnya bagi Israel untuk memberikan jawaban serius atas apa yang telah disepakati sebelumnya.”

    Netanyahu baru-baru ini tampaknya telah bergeser dari mengejar kesepakatan parsial, yang akan membebaskan 10 sandera hidup dan 18 sandera mati dengan imbalan tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Kini, ia tampaknya hanya bersedia membahas kesepakatan komprehensif untuk membebaskan seluruh 50 sandera.

    Namun, pada saat yang bersama,an Netanyahu juga telah memerintahkan militer Israel untuk mempercepat persiapan serangan daratnya di Kota Gaza. Ia telah mengabaikan peringatan dari kepala stafnya bahwa serangan skala besar di Kota Gaza akan membahayakan nyawa sekitar 20 sandera yang diyakini masih hidup, yang membuat marah banyak kerabat dan mantan sandera.

    “Saya tidak bersedia mengorbankan siapa pun demi ambisi mesianis untuk menghancurkan Hamas,” kata mantan sandera Gadi Moses dalam sebuah wawancara dengan Radio Angkatan Darat pada hari Selasa. Ia mengatakan kondisi Hamas tidak berubah sejak Oktober 2023, dan bahwa pemerintah Israel harus menyetujui kesepakatan tersebut. “Mereka [Hamas] tidak mundur dari posisi mereka. Mereka terus mengatakan hal yang sama: Akhiri pertempuran dan tinggalkan Gaza.”

    Lebih dari 62.000 warga Palestina tewas dalam perang Gaza

    Rencana terbaru tentara Israel untuk menyerbu Kota Gaza akan menjadi bencana bagi warga Palestina yang telah berjuang melawan kelaparan, pengungsian, dan pemboman terus-menerus. Meskipun invasi penuh dilaporkan direncanakan pada pertengahan September, Israel terus menyerang Gaza dalam beberapa hari terakhir, dengan tank-tank menyerbu beberapa permukiman di Kota Gaza di tengah kemarahan global yang intens atas serangan ganda Israel terhadap rumah sakit Khan Younis pada hari Senin (23/08) yang menewaskan 20 orang, termasuk tenaga medis dan lima jurnalis.

    Di antara para pengunjuk rasa, minoritas kecil juga mengadvokasi diakhirinya penderitaan warga Palestina di Gaza. Namun, jajak pendapat terbaru oleh pusat aChord menunjukkan bahwa 42% publik Yahudi setuju dengan klaim pemerintah bahwa tidak ada orang tak bersalah di Gaza, sementara 34% sebagian setuju dengan hal ini.

    “Jumlah korban Palestina sekarang di atas 62.000, di antaranya banyak anak-anak,” ujar Maya Rosenfeld, seorang sosiolog di Universitas Ibrani Yerusalem yang ikut serta dalam demonstrasi lain akhir pekan lalu di Yerusalem, kepada DW. “Jika kita telah mencapai titik ini dan hal ini belum menyebabkan sebagian besar masyarakat Israel turun ke jalan demi rakyat Palestina, saya tidak yakin transformasi seperti itu akan terjadi dalam waktu dekat.”

    Dalam beberapa pekan terakhir, puluhan ribu warga Israel telah menerima surat panggilan untuk bertugas di militer cadangan mulai 2 September dan seterusnya. Belum jelas berapa banyak yang akan merespons, mengingat mereka telah menjalani beberapa tugas di Gaza, di perbatasan Israel dengan Lebanon atau Suriah, atau di Tepi Barat yang diduduki selama 22 bulan terakhir.

    “Begitu banyak orang memiliki anak di militer dan hampir mustahil bagi mereka untuk menganggap anak-anak mereka sebagai pelaku genosida,” kata Rosenfeld, merujuk pada perdebatan internasional yang menggambarkan perang di Gaza sebagai genosida. “Dan mereka percaya bahwa mungkin setelah semua ini berakhir, mereka akan dapat kembali ke kehidupan normal mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa.”

    Dan Cohen, yang juga ikut serta dalam protes hari Sabtu lalu, mengatakan penting baginya untuk mengingatkan pemerintah bahwa mereka seharusnya melayani rakyat, bukan sebaliknya.

    Saat berbicara dengan DW, seorang pengunjuk rasa sayap kanan mengangkat sebuah spanduk di dekatnya dalam bahasa Ibrani bertuliskan, “Pendudukan, deportasi, pemukiman” — sebuah slogan yang menggaungkan kebijakan yang dipromosikan oleh beberapa anggota kabinet Netanyahu untuk warga Palestina di Gaza. Namun, jajak pendapat secara konsisten menunjukkan bahwa hingga 80% publik Israel mendukung kesepakatan dan diakhirinya perang — sebagian besar karena khawatir akan dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi Israel. Namun, tidak semua orang turun ke jalan.

    “Suara dan tuntutan kami untuk mengakhiri perang, untuk mengakhiri penderitaan, untuk membawa kembali para sandera adalah suara yang sangat penting, tidak hanya di luar Israel, tetapi terutama di dalam Israel,” kata Cohen. “Suara-suara ini digaungkan oleh banyak orang di dalam ruangan dan dalam percakapan di rumah, kami menyuarakannya di jalan dan memastikan orang-orang akan melihatnya.”

    Serangan dari Yaman

    Sementara itu militer Israel mengatakan telah mencegat sebuah pesawat tanpa awak yang diluncurkan dari Yaman pada hari Kamis (26/08) , setelah sirene berbunyi di permukiman dekat Jalur Gaza.

    Tidak ada yang langsung mengaku bertanggung jawab atas pesawat tanpa awak tersebut, tetapi pemberontak Houthi Yaman yang didukung Iran telah berulang kali meluncurkan rudal dan pesawat tanpa awak ke Israel sejak serangan sekutu Palestina mereka, Hamas, pada Oktober 2023 ke Israel memicu perang Gaza.

    “Setelah sirene infiltrasi pesawat musuh berbunyi beberapa saat yang lalu di permukiman dekat Jalur Gaza, sebuah UAV yang diluncurkan dari Yaman berhasil dicegat oleh (angkatan udara Israel),” demikian pernyataan militer Israel.

    Pada hari Rabu (26/07) juga, militer Israel mengatakan telah mencegat sebuah rudal yang ditembakkan dari Yaman. Rudal tersebut kemudian diklaim oleh pemberontak Huthi.

    Houthi, yang mengaku bertindak untuk mendukung Palestina, menghentikan serangan mereka selama gencatan senjata dua bulan di Gaza yang berakhir pada bulan Maret, tetapi melanjutkannya setelah Israel melanjutkan operasi besar. Israel telah melancarkan beberapa serangan balasan di Yaman, menargetkan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Huthi dan bandara di ibu kota Sanaa yang dikuasai pemberontak.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    Lihat Video ‘303 Orang Tewas Termasuk 117 Anak Akibat Bencana Kelaparan di Gaza’:

    (ita/ita)

  • Duduki Kantor Bos untuk Protes Israel, 2 Pegawai Microsoft Dipecat

    Duduki Kantor Bos untuk Protes Israel, 2 Pegawai Microsoft Dipecat

    Jakarta

    Dua pegawai Microsoft dipecat setelah berpartisipasi dalam aksi menduduki kantor presiden perusahaan untuk memprotes hubungan perusahaan dengan Israel, yang sedang melancarkan perang di Gaza.

    Seorang juru bicara Microsoft mengatakan bahwa para karyawan tersebut dipecat setelah “pelanggaran serius terhadap kebijakan perusahaan dan kode etik kami” yang berasal dari “pembobolan di kantor eksekutif.”

    Anna Hattle dan Riki Fameli menerima pesan suara yang memberi tahu bahwa mereka dipecat, kata kelompok protes No Azure for Apartheid dalam sebuah pernyataan, dilansir kantor berita Reuters dan Al Arabiya, Kamis (28/8/2025).

    Mereka termasuk di antara tujuh pengunjuk rasa yang ditangkap pada hari Selasa lalu setelah menduduki kantor presiden perusahaan tersebut, Brad Smith. Lima lainnya adalah mantan karyawan Microsoft dan orang-orang di luar perusahaan.

    “Kami di sini karena Microsoft terus memberi Israel alat-alat yang dibutuhkannya untuk melakukan genosida sambil melakukan gaslighting dan menyesatkan para pekerjanya sendiri tentang kenyataan ini,” kata Hattle dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (27/8) waktu setempat.

    No Azure for Apartheid, yang namanya merujuk pada perangkat lunak Azure milik Microsoft, telah menuntut perusahaan tersebut untuk memutuskan hubungan dengan Israel dan membayar ganti rugi kepada warga Palestina.

    Sebelumnya, Smith mengatakan : “Kami menghormati kebebasan berekspresi yang dinikmati setiap orang di negara ini selama mereka melakukannya secara sah.”

    Investigasi media bersama menyatakan bahwa badan pengawasan militer Israel menggunakan perangkat lunak Azure milik Microsoft untuk menyimpan rekaman panggilan telepon seluler yang tak terhitung jumlahnya, yang dilakukan oleh warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Gaza.

    Investigasi bersama yang dilakukan oleh Guardian, publikasi Israel-Palestina +972 Magazine, dan outlet berbahasa Ibrani Local Call tersebut, juga menyatakan bahwa Israel mengandalkan cloud Microsoft untuk pengintaian yang luas terhadap warga Palestina.

    Menanggapi hal ini, Microsoft mengatakan bulan ini bahwa mereka akan meminta bantuan firma hukum Covington & Burling LLP untuk melakukan peninjauan.

    Karyawan Microsoft lainnya sebelumnya juga telah memprotes hubungan perusahaan tersebut dengan Israel.

    Pada bulan April, pernyataan CEO Microsoft AI Mustafa Suleyman disela oleh seorang karyawan pro-Palestina yang berunjuk rasa saat perayaan ulang tahun ke-50 perusahaan teknologi tersebut atas hubungannya dengan Israel. Karyawan tersebut dan seorang karyawan lain yang berunjuk rasa juga dipecat.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Pasukan Israel Menyerbu Permukiman Nablus Tepi Barat, Puluhan Orang Terluka

    Pasukan Israel Menyerbu Permukiman Nablus Tepi Barat, Puluhan Orang Terluka

    JAKARTA – Puluhan orang terluka dalam serangan militer Israel di kota Nablus di Tepi Barat, Palestina, yang diduduki.

    Beberapa orang dilaporkan terkena peluru tajam, dalam serangan yang dimulai Rabu, 27 Agustus pagi, kata sumber medis kepada Al Jazeera.

    Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan kepada Al Jazeera, tim mereka merawat 36 orang, termasuk beberapa yang menderita keracunan gas air mata selama bentrokan di Nablus.

    Serangan dimulai sekitar pukul 03.00 dini hari waktu setempat, kata warga. Tentara Israel menyerbu beberapa permukiman di kota tua, yang berpenduduk sekitar 30.000 orang.

    Militer Israel mengerahkan penembak jitu dan kendaraan militer, lapor kantor berita Palestina Wafa.

    Pasukan Israel menembakkan gas air mata untuk membubarkan para pengunjuk rasa.

    Sementara video lain mendokumentasikan pemuda melemparkan batu ke kendaraan militer dan tentara di tengah operasi kejar-kejaran, termasuk penangkapan seorang anak selama bentrokan.

    “Tentara menyerbu dan menggeledah rumah-rumah dan toko-toko di dalam kota tua, sementara beberapa rumah telah diubah menjadi pos militer,” kata Ghassan Hamdan, kepala organisasi Bantuan Medis Palestina di Nablus.

  • Negara Kaya Ini Hukum Israel, Good Bye Perusahaan & Bank Yahudi

    Negara Kaya Ini Hukum Israel, Good Bye Perusahaan & Bank Yahudi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dana kekayaan negara terbesar di dunia, Norges Bank Investment Management (NBIM), resmi menghentikan investasi pada produsen mesin asal Amerika Serikat Caterpillar Inc. serta lima bank Israel. Langkah ini diambil setelah dewan etik NBIM menilai ada risiko tak dapat diterima terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah pendudukan Tepi Barat.

    NBIM, yang mengelola dana sekitar US$2 triliun (Rp33.400 triliun) atas nama rakyat Norwegia, menyatakan keputusan divestasi didasarkan pada rekomendasi etik.

    “Ada risiko yang tidak dapat diterima bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berkontribusi pada pelanggaran serius terhadap hak-hak individu dalam situasi perang dan konflik,” ujar manajemen NBIM dalam keterangan resmi, Senin (25/8/2025).

    Menurut NBIM, buldoser Caterpillar digunakan otoritas Israel dalam penghancuran properti warga Palestina yang dinilai melanggar hukum. Per akhir 2024, NBIM memegang saham Caterpillar senilai US$2,4 miliar (Rp40,1 triliun), setara 1,2% kepemilikan.

    NBIM juga akan melepas kepemilikan pada sejumlah bank, yakni First International Bank of Israel, FIBI Holdings, Bank Leumi, Mizrahi Tefahot Bank, dan Bank Hapoalim. Kelima institusi tersebut dinilai memberikan layanan keuangan bagi pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat yang dianggap ilegal oleh hukum internasional.

    Keputusan ini muncul di tengah meningkatnya tekanan politik domestik, dengan pemilu Norwegia yang hanya bersisa dua pekan. CEO NBIM Nicolai Tangen bahkan mengakui dana tersebut menghadapi “krisis” karena keterlambatan melaporkan kepemilikan saham di perusahaan jet tempur Israel saat konflik Gaza memanas.

    Awal bulan ini, NBIM juga mengumumkan akan meninjau investasi di 56 perusahaan Israel. Hingga pertengahan Agustus, jumlah tersebut telah dikurangi menjadi 38. Selain itu, NBIM berkomitmen menjual saham Israel di luar indeks acuannya serta mengakhiri kontrak dengan manajer aset eksternal di negara tersebut.

    Meski menghadapi tekanan politik, NBIM menegaskan tetap menjaga mandat utamanya: menghasilkan imbal hasil maksimal. Sekitar 55% portofolio ekuitas dana ini berada di AS, dengan sektor teknologi menjadi motor laba tahunan sebesar US$222 miliar (Rp3.707 triliun) tahun lalu. Namun pada kuartal I-2025, dana ini merugi sekitar US$40 miliar (Rp668 triliun).

    Wakil CEO NBIM Trond Grande menekankan, divestasi ini bukan semata pengurangan bobot investasi, melainkan penyelarasan portofolio dengan pedoman etik.

    “Yang penting bagi kami adalah kami tidak berinvestasi di perusahaan yang dapat berkontribusi pada pelanggaran pedoman etika yang kami miliki,” kata Grande kepada CNBC International.

    Peneliti Oxford University, Ana Nacvalovaite, menilai langkah NBIM ini menunjukkan benturan tak terelakkan antara bisnis dan hak asasi manusia.

    Pengecualian oleh NBIM menyoroti bahwa mandat etik diterapkan secara universal, baik untuk industri AS maupun pemberi pinjaman Israel,” ujarnya.

    Meski begitu, kritikus menilai NBIM masih berinvestasi di aset negara lain yang juga menghadapi tuduhan pelanggaran HAM, termasuk sektor minyak. Menariknya, Bursa Efek Tel Aviv justru mencatat rekor tertinggi tahun ini meski Israel tengah menghadapi perang di berbagai front.

    Bagaimana dampak jangka panjang keputusan NBIM terhadap portofolio globalnya masih harus dilihat, namun secara historis, kebijakan etik dana tersebut tidak banyak mempengaruhi imbal hasil jangka panjang.

    (tfa/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Israel Lakukan Penggerebekan di Tepi Barat, Uang Rp 7,3 M Disita

    Israel Lakukan Penggerebekan di Tepi Barat, Uang Rp 7,3 M Disita

    Tepi Barat

    Pasukan keamanan Israel melakukan operasi penggerebekan di wilayah Tepi Barat, yang diwarnai penyitaan uang sebesar 1,5 juta Shekel, atau setara Rp 7,3 miliar, yang disebut sebagai “dana teror”. Sembilan tersangka ditangkap dengan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka dalam operasi Israel tersebut.

    Laporan Bulan Sabit Merah, seperti dilansir AFP, Rabu (27/8/2025), menyebut pasukan keamanan Israel menargetkan tempat penukaran uang di area Ramallah, Tepi Barat, pada Selasa (26/8) waktu setempat, yang menyebabkan puluhan warga Palestina mengalami luka-luka.

    Israel sering melakukan operasi penggerebekan di Tepi Barat, di mana ketegangan tetap tinggi selama perang berkecamuk di Jalur Gaza. Namun, aksi penyerbuan ke pusat kota Ramallah, kantor pusat Otoritas Palestina, relatif jarang dilakukan.

    Pernyataan dari juru bicara Kepolisian Israel, pada Rabu (27/8), menyebutkan bahwa para personel kepolisian perbatasan dan militer Israel “menggerebek sebuah bisnis penukaran uang di jantung kota Ramallah yang digunakan untuk mentransfer dana ke kelompok Hamas”.

    “Pasukan menyita sejumlah besar uang dalam bentuk mata uang asing dan lokal, dengan total nilainya sekitar 1.528.832 Shekel, termasuk dolar AS, dinar Yordania, Euro, dan beberapa mata uang asing lainnya,” demikian pernyataan juru bicara Kepolisian Israel.

    “Sembilan tersangka yang dicari dan dituduh terlibat dalam aktivitas teror telah ditangkap dan dibawa, beserta barang bukti yang disita, untuk penyelidikan,” imbuh pernyataan tersebut.

    Sejak dimulainya perang Gaza pada Oktober 2023, serangan Israel terhadap pusat-pusat populasi Palestina di Tepi Barat, khususnya di bagian utara wilayah tersebut, semakin intensif.

    Beberapa operasi Israel sebelumnya, pada awal tahun ini dan pada Desember 2023, juga menargetkan kantor-kantor penukaran mata uang di Tepi Barat, yang diduduki Tel Aviv sejak tahun 1967 silam.

    Pasukan atau pemukim Israel di Tepi Barat, menurut penghitungan AFP berdasarkan Otoritas Palestina, telah menewaskan sedikitnya 972 warga Palestina, termasuk militan dan warga sipil, sejak awal perang Gaza.

    Dalam periode yang sama, menurut data otoritas Israel, sedikitnya 36 warga Israel, baik tentara maupun sipil, tewas dalam serangan atau selama operasi militer di wilayah tersebut.

    Lihat Video ‘Trump soal 5 Jurnalis Tewas Kena Serangan Israel: Saya Tidak Suka!’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)