Negara: Taiwan

  • BPOM RI ‘Colek’ Produsen soal Larangan Indomie Soto Banjar di Taiwan, Ini Hasilnya

    BPOM RI ‘Colek’ Produsen soal Larangan Indomie Soto Banjar di Taiwan, Ini Hasilnya

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) tengah menindaklanjuti laporan otoritas Taiwan terkait temuan etilen oksida (EtO) di mi instan Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kuit produksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (Indofood).

    Setelah ditelusuri, produk yang tersedia di Taiwan bukan berasal dari ekspor resmi produsen.

    “Ekspor produk diduga dilakukan oleh trader dan bukan importir resmi dari produsen serta diekspor tanpa sepengetahuan produsen,” beber BPOM RI dalam keterangan resminya, Jumat (12/9/2025).

    Meski begitu, produsen disebut BPOM RI tengah melakukan penelusuran lebih lanjut terkait pemicu temuan etilen oksida di luar ambang batas aman menurut otoritas Taiwan.

    “Hasil penelusuran akan dilaporkan segera kepada BPOM,” lanjut BPOM.

    Menurut BPOM RI, temuan tersebut dilaporkan lantaran Taiwan memiliki kebijakan penetapan kadar EtO total. Standar yang berbeda dengan beberapa negara lain termasuk Amerika, Uni Eropa, dan Indonesia.

    Kebijakan di Indonesia yakni memisahkan batasan syarat untuk EtO dengan kloroetanol (2-CE) sebagai analitnya dan bukan sebagai batasan EtO total.

    “Sampai saat ini, Codex Allimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi internasional di bawah WHO/FAO belum mengatur batas maksimal residu EtO,” tutur BPOM.

    Meski begitu, BPOM RI terus berkomunikasi dengan otoritas di Taiwan dan pihak lain yang tengah melakukan investigasi temuan terkait. Masyarakat diimbau BPOM RI untuk tidak panik, lantaran mi instan varian Rasa Soto Banjar Limau Kuit, sebetulnya sudah terdaftar di data registrasi BPOM.

    “Sehingga dapat beredar di Indonesia dan tetap dapat dikonsumsi,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Uji Coba, Kapal Induk Terbaru China Lintasi Selat Taiwan

    Uji Coba, Kapal Induk Terbaru China Lintasi Selat Taiwan

    Beijing

    Kapal induk terbaru China, Fujian, yang diklaim paling canggih, baru-baru ini berlayar melintasi Selat Taiwan dan memasuki perairan Laut China Selatan, keduanya merupakan jalur perairan yang sangat sensitif.

    Beijing mengklaim pergerakan kapal induk Fujian, yang merupakan kapal induk ketiga negara tersebut, seperti dilansir Reuters, Jumat (12/9/2025), merupakan bagian dari uji coba laut. Aktivitas kapal induk Fujian melintasi perairan sensitif itu terdeteksi menjelang peresmian operasionalnya.

    Pertama kali dipamerkan ke publik tahun 2022, kapal induk Fujian merupakan kapal induk ketiga China dan telah memulai uji coba laut sejak tahun lalu. Kapal induk ini belum beroperasi secara resmi.

    Angkatan Laut China, dalam pernyataannya, menyebut pelayaran tersebut dilakukan untuk melaksanakan misi penelitian dan pelatihan ilmiah.

    “Latihan uji coba dan pelatihan lintas regional untuk Fujian ini merupakan pengaturan rutin dalam proses pembangunan kapal induk tersebut dan tidak diarahkan pada target tertentu,” tegas Angkatan Laut China.

    Aktivitas pelayaran itu dilakukan saat Marinir Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Jepang, menggelar latihan selama dua minggu di pulau terdekat, Okinawa, dengan melibatkan sistem rudal Typhoon dan senjata antikapal canggih lainnya. Latihan gabungan itu dijadwalkan berlangsung hingga 25 September mendatang.

    Kementerian Pertahanan Jepang, pada Kamis (11/9) malam, melaporkan bahwa kapal induk Fujian telah memasuki perairan Laut China Timur, berlayar ke barat daya menuju ke Taiwan, dengan dikawal dua kapal penghancur rudal China.

    Dalam pernyataannya, Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa pihaknya memantau situasi dengan pengawasan intelijen gabungan dan telah mengambil langkah-langkah yang tepat.

    Seorang pejabat keamanan senior Taiwan, yang enggan disebut namanya, menuturkan kepada Reuters bahwa kapal induk Fujian kemungkinan sedang berlayar menuju ke Laut China Selatan untuk mempersiapkan seremoni peresmian operasionalnya.

    Kementerian Pertahanan China belum memberikan tanggapan langsung atas laporan tersebut.

    Kapal induk Fujian, yang dirancang dan dirakit di dalam negeri, berukuran lebih besar dan diklaim lebih canggih dibandingkan dua kapal induk China lainnya — kapal induk Shandong yang beroperasi sejak akhir tahun 2019 dan kapal induk Liaoning yang dibeli oleh Beijing dari bekas Ukraina tahun 1998 lalu.

    Dengan dek datar dan ketapel elektromagnetik untuk meluncurkan pesawat, kapal induk Fujian diperkirakan akan menampung pesawat-pesawat lebih besar dan dengan jangkauan lebih luas daripada dua kapal induk China lainnya — termasuk pesawat peringatan dini dan jet tempur siluman pertama China yang mampu diluncurkan dari kapal induk.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar

    Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar

    Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar

  • Ambisi Besar, Vietnam Dorong Peralihan Massal ke Motor Listrik

    Ambisi Besar, Vietnam Dorong Peralihan Massal ke Motor Listrik

    Jakarta

    Vietnam kini tengah memasuki era baru transportasi. Pemerintah menargetkan sekitar 80 juta pengendara motor beralih dari kendaraan berbahan bakar bensin ke motor listrik dalam beberapa tahun ke depan.

    Pada Juli lalu, Perdana Menteri Pham Minh Chinh mengumumkan bahwa seluruh sepeda motor berbahan bakar bensin akan dilarang melintasi Ring Road 1 Hanoi, jalan lingkar sepanjang 7 kilometer yang mengelilingi pusat ibu kota tersebut, mulai pertengahan 2026.

    Hanoi disebut sebagai “kota dengan tingkat pencemaran tertinggi di dunia” pada 2025. Kebijakan ini berpotensi mempengaruhi sekitar 2 juta orang yang bepergian setiap hari di ibu kota.

    Pemerintah berencana memperluas cakupan larangan tersebut, dengan membatasi akses sepeda motor berbahan bakar bensin di Ring Road 2 pada 2028 dan Ring Road 3 pada 2030, bersamaan dengan pembatasan bagi mobil berbahan bakar bensin yang akan datang.

    Kebijakan serupa sedang dibahas di Ho Chi Minh City. Otoritas setempat ingin menghapus secara bertahap sekitar 400.000 motor ojek online berbahan bakar bensin dari pusat kota pada awal 2026, sebelum dihapus sepenuhnya pada akhir 2028.

    Kementerian Transportasi Vietnam juga telah menetapkan target nasional: 30 persen mobil dan 22 persen motor di Vietnam harus bertenaga listrik pada akhir dekade ini.

    Menurut pakar, dorongan pemerintah ini didasari pertimbangan lingkungan sekaligus industri. “Proses pembuatan kebijakan di Vietnam tidak selalu jelas, jadi sulit untuk mengidentifikasi motif utama pengambilan keputusan tersebut,” kata Nguyen Khac Giang, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, kepada DW.

    “Tentu saja polusi udara menjadi masalah besar di kota seperti Hanoi, dan pemerintah ingin terlihat mengambil langkah nyata,” ujarnya.

    Selain itu, larangan ini turut mendukung rencana pemerintah untuk memperkuat kelompok perusahaan swasta besar seperti VinFast dan Pega, yang kini menguasai pasar motor listrik Vietnam yang berkembang pesat.

    Kota-kota Vietnam yang penuh polusi

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), polusi udara menyebabkan kematian sedikitnya 70.000 warga Vietnam setiap tahun, menjadikannya penyebab kematian terbesar kedua setelah kanker.

    Pada Januari lalu, lembaga pemantau kualitas udara IQAir menyebut Hanoi sebagai “kota paling tercemar di dunia.”

    Beberapa bulan kemudian, konsentrasi partikel berbahaya PM2.5 di Hanoi tercatat 24 kali lipat lebih tinggi dari batas aman WHO. Kabut asap memaksa sekolah dan pabrik ditutup.

    Sebuah studi dari Universitas Ekonomi Nasional Hanoi pada 2020 memperkirakan polusi menimbulkan kerugian ekonomi yang ditaksir antara Rp162 triliun hingga Rp209 triliun, atau setara sekitar 5 persen dari produk domestik bruto tahun itu.

    Pekerja informal bergantung pada motor bensin

    Pendapat publik terkait larangan sepeda motor berbahan bakar bensin masih terbelah, menurut Hanh Nguyen, kandidat doktor asal Vietnam di Australian National University, kepada DW.

    “Ada yang mendukung larangan ini, dan dukungan tersebut bisa dipahami karena Hanoi semakin tercemar dalam beberapa tahun terakhir,” katanya.

    Namun, ada juga anggapan bahwa kebijakan ini terlalu terburu-buru, terutama bagi “pekerja sektor informal yang bergantung pada motor bensin untuk mata pencaharian.”

    Puluhan juta pengendara motor kini menghadapi kemungkinan harus mengganti motor mereka dalam hitungan bulan. Bahkan model motor listrik termurah pun harganya sekitar Rp7 juta, harga yang mahal untuk negara dengan pendapatan rata-rata sekitar Rp4,75 juta per bulan.

    Kekhawatiran lain adalah minimnya stasiun pengisian serta kemampuan jaringan listrik Vietnam yang rapuh untuk menanggung lonjakan permintaan pengisian dalam kurun waktu yang relatif singkat.

    Keuntungan bagi perusahaan kendaraan listrik lokal

    Menurut laporan Kirin Capital pada Juli lalu, Vietnam kini memiliki jumlah pengguna motor listrik terbanyak di Asia Tenggara dan ketiga terbanyak di dunia, setelah Cina dan India.

    Pada 2022, motor listrik telah mencapai 12 persen dari total sepeda motor di Vietnam, naik signifikan dari 5,4 persen pada 2019.

    Awal tahun ini, Partai Komunis Vietnam mengumumkan serangkaian reformasi ambisius yang untuk pertama kalinya menempatkan sektor swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan berjanji mendukung “jagoan nasional”, yakni perusahaan swasta besar yang mampu bersaing secara global seperti VinFast.

    Dalam lima bulan pertama 2025, penjualan motor listrik kecil melonjak 113 persen, sementara penjualan model motor listrik yang lebih besar naik 49 persen, menurut data dari Motorcycles Data.

    Pertumbuhan ini menjadi berkah bagi merek lokal. Raksasa asal Jepang, Honda, masih menguasai 80 persen pasar motor konvensional Vietnam, namun peranannya di segmen listrik nyaris tak terlihat. Sebaliknya, produsen Vietnam seperti VinFast dan Pega menyumbang sekitar 70 persen penjualan motor listrik.

    VinFast, eksportir otomotif global pertama Vietnam, memimpin pasar pada 2021 dengan 43,4 persen dari total penjualan, diikuti Pega dengan 15 persen, serta produsen Taiwan Dibao dan Yadea dari China, menurut International Council on Clean Transportation.

    VinFast mencatat lonjakan penjualan hampir 500 persen pada awal 2025, berdasarkan data dari Motorcycles Data. Perusahaan tersebut memangkas harga hingga 20 persen sejak Mei, dengan model Motio dijual sekitar Rp7,4 juta, sementara model Evo dibanderol di bawah Rp12,2 juta. Pega juga kompetitif di segmen menengah ke bawah.

    Sementara itu, Honda meluncurkan skema sewa motor listrik sekitar Rp950.000 per bulan, tetap belum mengimplementasikan produksi massal roda dua listrik di Vietnam.

    Antara politik dan polusi

    Masih belum pasti apakah Hanoi akan benar-benar menerapkan larangan tersebut tahun depan.

    Asosiasi Produsen Sepeda Motor Vietnam, yang mayoritas anggotanya perusahaan asing, menilai langkah ini terlalu cepat.

    “Warga, pelaku usaha, dan regulator membutuhkan setidaknya dua hingga tiga tahun untuk bersiap,” kata asosiasi itu dalam surat yang ditujukan kepada pemerintah pada Juli lalu, dikutip VNExpress.

    Mereka merekomendasikan agar larangan diterapkan secara bertahap, dimulai dengan membatasi penggunaan motor beremisi tinggi dan kendaraan yang dipakai untuk bisnis, sementara motor pribadi tetap diperbolehkan.

    Asosiasi memperingatkan larangan yang terlalu cepat bisa menimbulkan kehilangan pekerjaan dalam skala besar dan membuat penjualan motor bensin anjlok bagi perusahaan asing.

    Giang, peneliti tamu di ISEAS Singapura, mengatakan tidak akan terkejut jika kebijakan ini nantinya ditunda, mengingat “pemerintah pernah mundur dari kebijakan ambisius sebelumnya ketika implementasinya tidak sesuai.”

    Jika itu terjadi, lanjutnya, pemerintah kemungkinan akan menyebutnya sebagai penyesuaian kebijakan, bukan kegagalan. “Meski hal ini bisa sedikit menurunkan kredibilitas, pemerintah tidak akan menanggung aib besar,” lanjutnya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Pratama Indra dan Adelia Dinda Sani

    Editor: Rahka Susanto

    Tonton juga Video: Review Motor Listrik Polytron Fox 200: Enak, Ringan, dan Canggih!

    (ita/ita)

  • Ada Temuan Residu Pestisida, Bukan Kali Pertama Taiwan Larang Produk Indomie

    Ada Temuan Residu Pestisida, Bukan Kali Pertama Taiwan Larang Produk Indomie

    Jakarta

    Taiwan melaporkan satu batch produk Indomie rasa Soto Banjar Limau Kuit produksi Indonesia yang mengandung residu etilen oksida. Kadar residu yang terdapat dalam Indomie tersebut ada di tingkat yang tidak memenuhi standar negara tersebut.

    Menurut Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, batch Indomie itu memiliki batas kedaluwarsa 19 Maret 2026. Sementara itu, Centre for Food Safety (CFS) Taiwan meminta seluruh produk untuk tidak dikonsumsi.

    “Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” demikian tulis laporan CFS.

    Kejadian ini bukan kejadian pertama bagi Indomie. Pada tahun 2023, Malaysia sempat menarik dua produk mi instan, yaitu Indomie Rasa Ayam Spesial dan Ah Lai Curry Noodles dari Malaysia. Namun, setelah melakukan serangkaian pengujian, Malaysia menyebut kedua produk tersebut dibuat sesuai standar yang berlaku.

    Penarikan yang dilakukan oleh Malaysia menyusul pernyataan Departemen Kesehatan Taiwan yang mengatakan kedua produk itu mengandung etilen oksida.

    Mereka menemukan pada bumbu mi instan produk Indonesia, ditemukan mengandung 0,187 mg/kg etilen oksida, sedangkan pada produk Malaysia ditemukan sebanyak 0,065 mg/kg etilen oksida.

    Pada saat itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memastikan bahwa produk Indomie Rasa Ayam Spesial Aman dikonsumsi karena residu etilen oksida masih berada di bawah ambang batas maksimal 85 ppm. Ini mengacu pada regulasi Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 soal Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida.

    “Dengan demikian, kadar yang terdeteksi pada sampel mi instan di Taiwan (0,34 ppm) masih jauh di bawah batas maksimal residu di Indonesia dan di sejumlah negara lain, seperti Amerika dan Kanada. Oleh karena itu, di Indonesia produk mi instan tersebut aman dikonsumsi, karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar,” kata pihak BPOM.

    Pada tahun 2022, produk Mie Sedaap juga pernah mengalami kasus serupa. Tiga negara termasuk Hong Kong, Singapura, hingga Malaysia meminta warganya untuk lebih hati-hati dalam konsumsi beberapa varian Mie Sedaap.

    Pihak Mie Sedaap saat itu juga sudah membantah adanya kandungan etilen oksida atau pestisida yang kemungkinan dipakai sebagai bahan pengawet.

    Apa Itu Etilen Oksida?

    Etilen oksida dalam produk makanan digunakan sebagai pengawet dan pembunuh bakteri serta jamur. Menurut BPOM, etilen oksida merupakan pestisida yang digunakan sebagai fumigasi dan dalam jumlah kecil juga dapat digunakan sebagai bahan pensteril.

    Dikutip dari Cancer.gov, etilen oksida dalam keadaan suhu kamar merupakan gas yang tidak memiliki warna dan memiliki aroma manis. Etilen oksida dikaitkan sebagai zat karsinogenik yang dapat memicu kanker.

    Limfoma dan leukemia menjadi dua jenis kanker yang paling sering dikaitkan dengan paparan etilen oksida. Etilen oksida juga dikaitkan dengan risiko kanker lambung dan payudara.

    Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Zullies Ikawati mengatakan jumlah residu etilen oksida pada makanan umumnya sangat kecil. Residu biasanya juga menguap melalui proses pemasakan.

    “Biasanya kalau makan mi instan itu dimasak dulu kan? Ketika dimasak itu udah menguap karena itu kan bentuknya gas. Jadi kecil sekali sebetulnya,” jelas Prof Zullies dalam acara detik Pagi, Jumat (28/4/2023).

    “Yang berisiko mengalami karsinogenesis atau kanker dengan etilen oksida adalah mereka yang memang kerjanya itu setiap hari misalnya terpapar itu. Contohnya orang-orang yang memang bekerja di pabrik etilen oksida atau pabrik yang menggunakan etilen oksida sebagai bahan yang digunakan untuk menggunakan bahan lagi di industri kimia,” sambungnya lagi.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Taiwan Larang Warga Konsumsi Indomie Soto Banjar Limau Kuit usai Temuan Pestisida

    Taiwan Larang Warga Konsumsi Indomie Soto Banjar Limau Kuit usai Temuan Pestisida

    Jakarta

    Otoritas Taiwan melarang warganya mengonsumsi mi instan asal Indonesia, Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kuit, setelah menemukan residu pestisida, etilen oksida, pada tingkat yang tak memenuhi standar Taiwan. Batch Indomie tersebut memiliki batas kadaluwarsa 19 Maret 2026.

    Dikutip dari rilis Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, etilen oksida tersebut terdeteksi pada bungkus bubuk penyedap sebesar 0,1 mg/kg.

    Berdasarkan standar Taiwan, etilen oksida tidak boleh ada pada makanan dan tidak boleh melebihi 0,1 mg/kg pada produk yang diperbolehkan.

    “Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Keamanan Pangan dan Sanitasi,” ucap FDA.

    “Produk yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen akan dikembalikan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan,” lanjut FDA.

    Di sisi lain, Pusat Keamanan Pangan atau The Centre for Food Safety (CFS) Taiwan saat ini sedang menyelidiki apakah produk yang dimaksud diimpor ke Hong Kong dan sedang menghubungi otoritas terkait untuk informasi lebih lanjut.

    “Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” demikian tulis laporan CFS.

    Selain itu, produk yang didapatkan melalui pembelian daring atau perjalanan internasional tidak dapat dikecualikan. Sementara itu, pihak CFS akan tetap waspada dan memantau setiap perkembangan baru serta mengambil tindakan yang tepat bila diperlukan.

    Efek Etilen Oksida

    Pakar farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Zullies Ikawati beberapa waktu lalu menjelaskan etilen oksida biasanya digunakan untuk membunuh bakteri lantaran bisa merusak DNA dan mikroba.

    “Dia (etilen oksida) itu bersifat sangat reaktif, bisa berinteraksi dengan DNA, merusak DNA dari mikroba. Makanya dipakai untuk membunuh bakteri,” ujar pakar farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Zullies Ikawati dalam siaran detikPagi, Jumat (28/4/2023).

    “Makanya di rumah sakit banyak alat kesehatan yang disterilisasi menggunakan gas etilen oksida. Kenapa? Karena sterilisasi itu tidak membutuhkan panas. Karena tidak semua bahan-bahan itu bisa dengan pemanasan atau tahan dengan panas. Termasuk makanan,” sambungnya.

    Prof Zullies menjelaskan, sifat etilen oksida yang mampu merusak DNA juga berlaku ketika mengenai tubuh manusia. Jika senyawa ini sampai berinteraksi dengan DNA dalam jangka waktu yang lama, maka bisa terdapat risiko kanker.

    “Dengan sifat reaktifnya itu dari etilen oksida, maka dia juga bisa merusak DNA manusia jika terpapar pada manusia. Maunya kan terpapar pada mikroba, misalnya untuk membunuh (mikroba) juga dipakai untuk pestisida atau insektisida serangga yang mengganggu produk makanan,” jelasnya.

    “Tetapi ketika terpapar pada manusia, maka dia juga bisa berinteraksi dengan DNA manusia yaitu bisa menyebabkan kanker kalau itu terpapar dalam jumlah yang banyak dan terus-menerus. Jadi sifatnya karsinogenik,” pungkas Prof Zullies.

    Ia juga menjelaskan, pada makanan, etilen oksida tidak bekerja sebagai bahan tambahan yang mempengaruhi rasa, melainkan hanya sebagai sisaan (residu). Maka dari itu, umumnya jumlahnya akan sangat kecil.

    detikcom sudah berupaya menghubungi PT Indofood untuk meminta informasi lebih lanjut terkait laporan Taiwan, tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lebih lanjut.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/up)

  • BPOM RI Panggil Produsen Buntut Taiwan Larang Makan Indomie Soto Banjar

    BPOM RI Panggil Produsen Buntut Taiwan Larang Makan Indomie Soto Banjar

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) tengah menelusuri lebih lanjut laporan temuan etilen oksida di luar ambang batas aman pada Indomie Soto Banjar Kuit. Taiwan belakangan menarik produk tersebut dari peredaran dan meminta warganya untuk membuang juga menyetop konsumsi Indomie Soto Banjar Kuit.

    Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menekankan akan segera memanggil produsen terkait laporan Taiwan. Mengingat, ini bukan kali pertama Indomie tersandung kasus etilen oksida.

    “Terkait etilen oksida di mi instan, kami akan memanggil pihak produsen,” beber dia saat ditemui detikcom di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (12/10/2025).

    Adapun pemanggilan tersebut untuk memastikan apakah pangan yang diimpor sudah sesuai dengan standar dan mengikuti mekanisme yang benar.

    BPOM RI juga tidak menutup kemungkinan akan mengkaji kadar laporan cemaran etilen oksida di Indomie Soto Banjar Kuit, termasuk batas aman yang ditolerir.

    “Nanti teknisnya, kami juga akan pastikan apakah sudah sesuai standar,” sambungnya.

    Otoritas Taiwan sebelumnya melaporkan satu batch mi instan merek Indomie Soto Banjar Limau Kuit produksi Indonesia mengandung residu pestisida etilen oksida pada tingkat yang tak memenuhi standar negara tersebut.

    Dikutip dari Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, batch Indomie tersebut memiliki batas kadaluwarsa 19 Maret 2026.

    Apa Itu Etilen Oksida?

    Etilen oksida dalam produk makanan digunakan sebagai pengawet dan pembunuh bakteri serta jamur. Menurut BPOM, etilen oksida merupakan pestisida yang digunakan sebagai fumigasi dan dalam jumlah kecil juga dapat digunakan sebagai bahan pensteril.

    Dikutip dari Cancer.gov, etilen oksida dalam keadaan suhu kamar merupakan gas yang tidak memiliki warna dan memiliki aroma manis. Etilen oksida dikaitkan sebagai zat karsinogenik yang dapat memicu kanker.

    Limfoma dan leukemia menjadi dua jenis kanker yang paling sering dikaitkan dengan paparan etilen oksida. Etilen oksida juga dikaitkan dengan risiko kanker lambung dan payudara.

    detikcom sudah berupaya menghubungi PT Indofood untuk meminta informasi lebih lanjut terkait laporan Taiwan, tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lebih lanjut.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Taiwan Larang Warga Konsumsi Indomie Soto Banjar Limau Kuit usai Temuan Pestisida

    Taiwan Larang Indomie Soto Banjar Limau Kuit, BPOM RI Angkat Bicara

    Jakarta

    Otoritas Taiwan melaporkan satu batch Indomie merek soto banjar limau kuit mengandung residu pestisida etilen oksida. Kadar zat kimia tersebut teridentifikasi melampaui batas standar aman menurut otoritas setempat.

    Centre for Food Safety (CFS) Taiwan sementara menarik seluruh produk Indomie soto banjar limau kulit dari pasaran dan mengimbau masyarakat untuk berhenti mengonsumsinya.

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) mengaku sudah mendapat laporan terkait. Pihaknya masih mendalami kemungkinan cemaran etilen oksida pada Indomie soto banjar limau kuit yang diimpor ke Taiwan.

    “Itu sudah masuk atensi kami, dan sedang berkoordinasi dengan otoritas pangan di Taiwan, laporannya nanti ber-progress ya,” beber Kepala BPOM RI Taruna Ikrar saat ditemui Jumat (12/9/2025).

    Sebelumnya diberitakan, temuan dugaan cemaran pada Indomie diumumkan dalam situs resmi otoritas keamanan pangan Taiwan.

    “Produk yang berasal dari Indonesia ditemukan mengandung residu pestisida, etilen oksida, pada tingkat yang tidak memenuhi standar Taiwan.”

    Produk tersebut memiliki batas kedaluwarsa 19 Maret 2026. “Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” demikian tulis laporan CFS.

    Kejadian ini bukan kejadian pertama bagi Indomie. Pada 2023, Malaysia sempat menarik dua produk mi instan, yaitu Indomie Rasa Ayam Spesial dan Ah Lai Curry Noodles dari Malaysia. Namun, setelah melakukan serangkaian pengujian, Malaysia menyebut kedua produk tersebut dibuat sesuai standar yang berlaku.

    Penarikan yang dilakukan oleh Malaysia menyusul pernyataan Departemen Kesehatan Taiwan yang mengatakan kedua produk itu mengandung etilen oksida.

    Mereka menemukan pada bumbu mi instan produk Indonesia, ditemukan mengandung 0,187 mg/kg etilen oksida, sedangkan pada produk Malaysia ditemukan sebanyak 0,065 mg/kg etilen oksida.

    Pada saat itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memastikan bahwa produk Indomie Rasa Ayam Spesial Aman dikonsumsi karena residu etilen oksida masih berada di bawah ambang batas maksimal 85 ppm. Ini mengacu pada regulasi Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 soal Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida.

    CFS juga tengah menyelidiki apakah produk yang terdampak sudah diimpor ke Hong Kong dan menghubungi otoritas terkait untuk informasi lebih lanjut.

    “Pembelian produk melalui pembelian daring atau perjalanan internasional tidak dapat dikecualikan. Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” imbau CFS.

    CFS disebut tetap waspada dan memantau setiap perkembangan baru untuk mengambil tindakan yang tepat bila diperlukan.

    “Investigasi oleh CFS sedang berlangsung,” demikian tutup informasi situs otoritas pangan Taiwan yang diunggah 9 September 2025.

    detikcom sudah berupaya menghubungi PT Indofood untuk meminta informasi lebih lanjut terkait laporan Taiwan, tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lebih lanjut.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Langkah BPOM Usai Taiwan Larang Produk Indomie Soto Banjar”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Taiwan Temukan Residu Pestisida di Indomie Soto Banjar Limau Kuit

    Taiwan Temukan Residu Pestisida di Indomie Soto Banjar Limau Kuit

    Jakarta

    Otoritas Taiwan melaporkan satu bacth mi instan merek Indomie varian rasa Soto Banjar Limau Kuit produksi Indonesia ditemukan mengandung residu pestisida etilen oksida pada tingkat yang tak memenuhi standar negara tersebut.

    Dikutip dari Food and Drug Administration (FDA) Taiwan, bath Indomie tersebut memiliki batas kadaluwarsa 19 Maret 2026.

    Saat ini, The Centre for Food Safety (CFS) atau Pusat Keamanan Pangan Taiwan sedang menyelidiki apakah produk yang dimaksud diimpor ke Hong Kong dan sedang menghubungi otoritas terkait untuk informasi lebih lanjut.

    “Konsumen harus membuang produk dan tidak mengonsumsinya,” demikian tulis laporan CFS.

    Selain itu, produk yang didapatkan melalui pembelian daring atau perjalanan internasional tidak dapat dikecualikan. Sementara itu, pihak CFS akan tetap waspada dan memantau setiap perkembangan baru serta mengambil tindakan yang tepat bila diperlukan.

    Apa Itu Etilen Oksida?

    Etilen Oksida (EtO) merupakan zat karsinogen atau pemicu kanker di luar ambang batas. Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt, beberapa waktu lalu menyebut zat tersebut merupakan semacam residu bukan bahan tambahan. Tujuannya untuk mensterilkan produk mi instan saat proses produksi atau penyimpanan agar terhindar dari bakteri.

    “Makanya itu jumlahnya sangat kecil dan semua negara sepakat bahwa itu bahan berbahaya atau karsinogen tadi, maka ada batas maksimalnya,” ujar Prof Zullies dalam acara detikPagi, Jumat (28/4/2023).

    “Sehingga artinya apa? Kalau di atas batas itu, ada kemungkinan potensi bahaya. Tetapi kalau sedikit saja, mungkin masih aman walaupun ada. Karena mungkin in certain level kita nggak bisa benar-benar menghilangkan sama sekali residunya,” lanjutnya.

    Prof Zullies menambahkan setiap negara memiliki aturannya masing-masing dalam menentukan batas aman penggunaan EtO. Misalnya, di negara-negara Uni Eropa yang sudah melarang penggunaan EtO.

    “Karena regulasi di berbagai negara ini berbeda-beda, yang ketat ini di Uni Eropa. Di Uni Eropa ini ketat sekali bahkan mereka sudah melarang penggunaan Etilen Oksida untuk sterilisasi,” bebernya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Soal 17+8 Tuntutan Rakyat, Prabowo: Sebagian Masuk Akal, Sebagian Perlu Dirundingkan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)

  • Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 September 2025

    Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru Nasional 12 September 2025

    Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru
    Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED
    DARI
    Jakarta hingga Paris, dari Kathmandu hingga Manila, dunia sedang bergolak. Gedung-gedung parlemen dibakar, perdana menteri dipaksa mundur, dan jutaan orang turun ke jalan dengan kemarahan membara.
    Sekilas, pemandangan ini mengingatkan kita pada momen-momen bersejarah demokratisasi dunia: Revolusi Anyelir di Portugal 1974, kejatuhan Tembok Berlin 1989, atau reformasi Indonesia 1998. Namun, ada yang berbeda kali ini.
    Fundamentally
    berbeda.
    Samuel Huntington, ilmuwan politik legendaris dari Harvard, pernah mendokumentasikan apa yang disebutnya “Gelombang Ketiga Demokratisasi”, periode luar biasa antara 1974-1990-an ketika lebih dari 60 negara bertransisi dari kediktatoran menuju demokrasi.
    Optimisme meluap-luap. Francis Fukuyama bahkan memproklamirkan “akhir sejarah”, seolah demokrasi liberal telah memenangkan pertarungan ideologi untuk selamanya.
    Namun, gelombang protes yang menyapu dunia hari ini, menceritakan kisah yang sama sekali berbeda.
    Para demonstran di Jakarta tidak menuntut hak memilih, mereka sudah memilikinya sejak 1998.
    Generasi Z di Kathmandu tidak berjuang melawan monarki absolut. Nepal sudah menjadi republik sejak 2008.
    Massa yang membakar gedung parlemen bukanlah pejuang demokrasi dalam pengertian klasik. Mereka adalah warga negara yang marah terhadap demokrasi mereka sendiri yang gagal memenuhi janji.
    Inilah paradoks zaman kita: protes massa terbesar justru terjadi di negara-negara yang sudah demokratis, setidaknya secara prosedural.
    Pertanyaannya kemudian: apakah kita sedang menyaksikan “Gelombang Keempat” demokratisasi, atau sesuatu yang sama sekali berbeda?
    Mari kita bedah apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Di Indonesia, percikan awalnya tampak sepele: tunjangan perumahan Rp 50 juta untuk anggota DPR di tengah pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan.
    Namun, kemarahan yang meledak mengungkap luka yang lebih dalam, yaitu persepsi tentang elite yang korup dan terputus dari realitas rakyat.
    Ketika Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis polisi, protes semakin masif dan meluas.
    Lebih dari 1.240 orang ditahan, gedung-gedung pemerintah dibakar. Tunjangan kontroversial tersebut akhirnya dihentikan.
    Protes berdarah yang menewaskan 19 demonstran berakhir dengan pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli.
     
    Namun, ini bukan kemenangan demokrasi, tapi upaya putus asa untuk menekan tombol reset pada sistem yang telah gagal total.
    Filipina menyajikan inovasi menarik: “lifestyle policing” melalui media sosial. Aktivis menggunakan TikTok dan Instagram untuk menyandingkan foto liburan mewah keluarga politisi dengan gambar korban banjir akibat proyek infrastruktur korup.
    Taktik ini mentransformasi konsep abstrak “korupsi” menjadi ketidakadilan yang kasat mata, viral, dan memicu kemarahan.
    Thailand menghadirkan kompleksitas berbeda. Negara ini memiliki pemilu, parlemen, dan konstitusi (20 konstitusi sejak 1932, tepatnya).
    Namun, ketika partai pemenang pemilu 2023 diblokir membentuk pemerintahan oleh Senat yang ditunjuk militer, rakyat memahami kebenaran pahit: suara mereka tidak berarti.
    Protes yang menuntut reformasi monarki—tabu tertinggi dalam politik Thailand—adalah jeritan frustasi terhadap “veto-krasi” yang membuat demokrasi menjadi sandiwara kosong.
    Bahkan Perancis, benteng demokrasi Barat, tidak kebal. Gerakan “Block Everything” melawan kebijakan penghematan Macron menunjukkan bahwa krisis kepercayaan ini bersifat global, melampaui batas antara demokrasi “muda” dan “matang.”
    Huntington berbicara tentang “efek bola salju”, bagaimana kesuksesan demokratisasi di satu negara menginspirasi tetangganya.
    Spanyol menginspirasi Portugal, Polandia menginspirasi Hongaria. Namun, efek bola salju hari ini berbeda. Ia tidak lagi dibatasi geografis atau membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyebar.
    Istilah “nepo babies” yang muncul di Filipina dalam hitungan hari diadopsi aktivis Nepal. Taktik “lifestyle policing” menyebar seperti virus lintas benua.
    Solidaritas tidak lagi membutuhkan kedekatan fisik, “Milk Tea Alliance” menyatukan aktivis Thailand, Hong Kong, dan Taiwan melalui meme dan tagar.
    Bola salju modern adalah algoritma yang memviralkan ketidakadilan, mentransformasi kemarahan lokal menjadi pemberontakan global dalam hitungan jam, bukan tahun.
    Jika protes-protes ini bukan gelombang demokratisasi baru, lalu apa? Jawabannya memerlukan paradigma baru.
    Kita sedang menyaksikan apa yang dapat disebut “respons imun demokrasi global”, satu bentuk reaksi organik dari masyarakat sipil terhadap patogen yang menggerogoti demokrasi dari dalam: korupsi sistemik, elite yang terputus, institusi yang membusuk, dan apa yang ilmuwan politik sebut “democratic backsliding” (kemunduran demokrasi).
    Seperti sistem kekebalan tubuh yang menyerang virus, protes-protes ini adalah mekanisme pertahanan terakhir ketika institusi formal gagal.
     
    Ketika parlemen tidak lagi mewakili rakyat, jalanan menjadi parlemen alternatif. Ketika sistem peradilan gagal menghukum koruptor, media sosial menjadi pengadilan rakyat.
    Ketika pemilu tidak menghasilkan perubahan bermakna, protes menjadi satu-satunya “suara” yang didengar.
    Ini menjelaskan mengapa pola yang sama muncul di konteks berbeda. Demonstran di Jakarta dan Paris, meski hidup dalam sistem politik yang sangat berbeda, berbagi frustrasi yang sama: pemerintah tidak responsif, kebijakan menguntungkan elite, dan institusi kehilangan legitimasi. Krisis kepercayaan adalah pandemi politik abad ke-21.
    Implikasi dari diagnosis ini sangat mendalam. Jika tantangan utama bukan lagi membangun institusi demokratis, tetapi mempertahankan kualitas dan legitimasinya, maka resep kebijakan harus berubah total.
    Tidak cukup mengadakan pemilu berkala. Tidak cukup memiliki parlemen dan konstitusi. Demokrasi abad ke-21 harus menemukan cara untuk memulihkan kepercayaan, memerangi korupsi sistemik, dan membuat institusi benar-benar responsif terhadap aspirasi rakyat.
    Protes-protes ini, meski sering berdarah dan kacau, sebenarnya adalah tanda harapan. Masyarakat sipil masih memiliki vitalitas untuk melawan pembusukan.
    Bahwa generasi muda tidak akan diam melihat masa depan mereka dicuri. Bahkan dalam era sinisme politik, masih ada yang peduli untuk berjuang.
    Namun, respons imun saja tidak cukup. Seperti demam yang terlalu tinggi dapat membunuh pasien, protes yang terus-menerus tanpa reformasi institusional dapat menghancurkan tatanan sosial.
    Pertanyaan kritisnya adalah: akankah elite politik di Jakarta, Kathmandu, Manila, Bangkok, dan Paris mendengar peringatan ini dan melakukan reformasi sejati?
    Atau akankah mereka terus bermain sandiwara demokrasi hingga jalanan benar-benar menjadi satu-satunya parlemen yang tersisa?
    Sejarah belum selesai ditulis. Namun satu hal sudah jelas: kita tidak sedang menyaksikan gelombang baru demokratisasi.
    Kita sedang menyaksikan perjuangan untuk jiwa demokrasi itu sendiri, satu bentuk perjuangan antara harapan akan pemerintahan yang akuntabel dan realitas elite yang tercerabut dari akarnya.
    Hasil dari perjuangan ini akan menentukan apakah demokrasi abad ke-21 dapat memperbarui dirinya, atau akan tenggelam dalam krisis kepercayaan yang semakin dalam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.