Negara: Swiss

  • Desa Mendadak Terkubur, Peristiwa Selanjutnya Lebih Parah

    Desa Mendadak Terkubur, Peristiwa Selanjutnya Lebih Parah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Peristiwa desa terkubur salju di Swiss berpotensi terulang di berbagai belahan dunia. Namun, desa di wilayah Asia disebut paling berisiko menjadi korban selanjutnya.

    Sebuah desa di Swiss yang bernama Blatten hancur terkubur salju dari longsoran gletser pegunungan Birch pada 28 Mei 2025. Untungnya, pemerintah Swiss punya sistem peringatan dini membuat semua warga desa tersebut berhasil diungsikan sebelum peristiwa kecuali satu orang yang hilang.

    Ali Neumann, dari Swiss Development Cooperation, menyatakan peran dari perubahan iklim atas peristiwa di Blatten masih perlu penyelidikan lebih lanjut. Namun, dampak “kiamat” pemanasan global akibat perubahan iklim terhadap bagian dari Bumi yang ditutup oleh air yang membeku (cryosphere), sudah sangat jelas.

    “Perubahan iklim dan dampaknya ke cryosphere akan punya dampak kepada penduduk yang tinggal di dekat gletser, dekat cryosphere, dan bergantung kepada gletser,” kata Neumann. Peristiwa di Blatten menunjukkan kemampuan dan pengamatan dalam pengelolaan kondisi darurat bisa mengurangi dampak bencana dengan signifikan.”

    Stefan Uhlenbrook, Direktur bidang Hidrologi, Air, dan Cryosphere di Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), menyatakan longsor di Swiss menunjukkan pentingnya wilayah yang rawan seperti di Himalaya dan wilayah lain di Asia bersiap-siap.

    “Mulai dari pemantauan, berbagi data, simulasi, perhitungan soal kerawanan, semuanya harus diperkuat,” kata Uhlenbrook. “Di banyak negara-negara di Asia, semuanya lemah, datanya tidak saling terhubung.”

    Ahli geologi Swiss menggunakan berbagai metode pemantauan gletser, termasuk sensor dan gambar satelit.

    Menurut PBB, Asia adalah wilayah yang paling banyak terkena bencana iklim dan cuaca buruk pada 2023. Bencana yang paling banyak terjadi adalah banjir dan badai.

    Namun, mayoritas negara di Asia, termasuk yang berbatasan dengan Pegunungan Himalaya, tak punya sumber daya untuk memonitor gletser di wilayah sangat besar.

    Menurut Laporan PBB tentang Pengurangan Risiko Bencana yang diterbitkan pada 2024, hanya 2/3 negara di Asia dan wilayah Pasifik yang mempunyai sistem peringatan dini (early warning system).

    Parahnya, mayoritas negara yang tidak punya sistem peringatan dini adalah negara yang paling rawan bencana. Hasilnya, negara-negara di Asia lebih banyak mencatatkan korban akibat bencana iklim dibanding negara lain.

    Berdasarkan data dari Center for Research on the Epidemiology of Disasters’ Emergency Eventes, jumlah korban jiwa per bencana alam secara global adalah 189 orang. Di Asia dan wilayah Pasifik, jumlah korban jiwa per bencana mencapai 338 orang.

    Area Pegunungan Himalaya adalah wilayah yang paling bergantung pada gletser. Sekitar 2 miliar orang bergantung kepada gletser sebagai sumber air bersih. Kini, gletser Himalayan mencair lebih cepat akibat pemanasan global.

    Dalam beberapa dekade terakhir, ratusan danau baru terbentuk akibat pencairan gletser. Jika batas danau tersebut bobol, penduduk yang tinggal di lembah di sekitarnya rawan menjadi korban. Apalagi, permafrost (es abadi) kini makin melunak sehingga membuat risiko longsor makin besar.

    (dem/dem)

  • Indonesia ingin jadi bagian solusi dunia kerja global

    Indonesia ingin jadi bagian solusi dunia kerja global

    Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan saat menghadiri Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-113 di Jenewa, Swiss, Senin (2/6/2025). (ANTARA/HO-Kemnaker RI)

    Wamenaker: Indonesia ingin jadi bagian solusi dunia kerja global
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Selasa, 03 Juni 2025 – 12:35 WIB

    Elshinta.com – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan mengatakan Indonesia ingin menjadi bagian dari solusi dunia kerja global pada Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-113 di Jenewa, Swiss.

    “Pemerintah Indonesia tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi sebagai bagian dari solusi dunia kerja global,” kata Wamenaker dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

    Adapun konferensi yang berlangsung pada 2–13 Juni 2025 di markas besar ILO dan Kantor PBB itu mengusung tema “Advancing Social Justice: Reshaping The Future of Work in a Polarized World”. Wamenaker menilai ini menjadi momentum penting bagi dunia untuk memperkuat solidaritas global dalam menghadapi ketimpangan dan transformasi dunia kerja pascapandemi, perubahan iklim, serta perkembangan teknologi digital.

    “Semoga dengan hadirnya perwakilan pemerintah, pekerja/buruh, dan pengusaha (tripartit) Indonesia di ILC ini bisa menghasilkan sebuah regulasi yang bisa menjadi standar. Kita sebagai pemerintah bisa menjadi jembatan komunikasi yang baik antara pengusaha dan buruh,” ujar dia.

    Dalam ILC ke-113 ini, Indonesia juga memprioritaskan tiga isu penting yang mencerminkan arah kebijakan ketenagakerjaan nasional sekaligus kepedulian terhadap isu global. Ketiga isu itu adalah regulasi untuk pekerjaan layak dalam ekonomi berbasis platform digital. Kedua, perlindungan terhadap bahaya biologis di tempat kerja.

    “Terakhir, terkait pembahasan transisi pekerja dari sektor informal ke formal guna memperluas jaminan perlindungan sosial dan kepastian kerja,” katanya.

    Ia melanjutkan, kehadiran dalam forum global ini juga menegaskan komitmen Pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional, khususnya dalam membela hak-hak pekerja, membangun hubungan industrial yang harmonis, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas.

    “Kami ingin memastikan bahwa suara Indonesia didengar, dan standar yang dihasilkan relevan serta berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan sosial,” ujar Wamenaker.

     

    Sumber : Antara

  • Rupiah menguat dipengaruhi kekhawatiran eskalasi perang tarif AS-China

    Rupiah menguat dipengaruhi kekhawatiran eskalasi perang tarif AS-China

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah menguat dipengaruhi kekhawatiran eskalasi perang tarif AS-China
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 02 Juni 2025 – 17:39 WIB

    Elshinta.com – Pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menganggap bahwa penguatan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi kekhawatiran peningkatan eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China.

    “Presiden Donald Trump menuduh Tiongkok melanggar kesepakatan dagang baru-baru ini, yang ditegur Beijing. Pasar juga terguncang oleh kenaikan tarif impor baja dan aluminium Trump, yang membuat investor tidak yakin atas kebijakan AS,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    China sendiri dengan tegas menolak tuduhan Trump bahwa negara itu melanggar ketentuan kesepakatan dagang pada pertengahan Mei 2025 di Jenewa, Swiss. Kementerian Perdagangan China mengatakan tuduhan Trump tak masuk akal, dan Beijing akan terus melindungi kepentingannya.

    Adapun Trump tak menyebutkan secara spesifik pelanggaran apa saja yang telah dilakukan oleh China.

    “Tanggapan Tiongkok menambah tanda-tanda ketegangan baru-baru ini dalam hubungan AS-Tiongkok, terutama setelah pejabat AS mengakui minggu lalu bahwa perundingan dagang antara keduanya telah terhenti,” ucap Ibrahim.

    Menurut dia, adanya komentar tersebut dari AS, ditambah kritik berulang China terhadap kontrol AS pada industri chip mereka, memicu kekhawatiran yang meningkat bahwa hubungan dagang antara keduanya memburuk. Karena itu, dikhawatirkan tidak ada kesepakatan perdagangan yang langgeng akan tercapai dalam waktu dekat.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Senin di Jakarta menguat sebesar 74 poin atau 0,45 persen menjadi Rp16.253 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.327 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin juga menguat ke level Rp16.297 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.300 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Gila! Ukraina Bombardir 40 Jet Tempur Rusia Sampai Hancur, Endingnya Zelensky Malah Minta Gencatan Senjata

    Gila! Ukraina Bombardir 40 Jet Tempur Rusia Sampai Hancur, Endingnya Zelensky Malah Minta Gencatan Senjata

    GELORA.CO – Konflik Rusia-Ukraina kembali memanas!

    Dalam laporan terbaru dari intelijen Barat dan media Ukraina, serangan drone Ukraina berhasil menghancurkan sekitar 40 jet tempur milik Rusia.

    Angka ini mengejutkan banyak pihak dan disebut sebagai salah satu pukulan terbesar terhadap kekuatan udara Moskow sejak invasi dimulai pada 2022.

    Serangan itu terjadi di sejumlah pangkalan udara Rusia, termasuk di wilayah Krasnodar dilansir dari CBS. 

    Drone-drone Ukraina menyasar landasan pacu, hanggar, dan pesawat yang tengah parkir.

    Dalam video yang beredar di media sosial, ledakan besar dan kobaran api terlihat jelas menghantam kompleks militer tersebut.

    Kementerian Pertahanan Rusia sendiri belum mengonfirmasi jumlah kerugian, namun analis Barat menyebutkan bahwa sekitar dua skuadron jet tempur, termasuk Sukhoi Su-34 dan Su-35, ikut hancur dalam serangan itu.

    Bila dikalkulasi, kerugian Rusia bisa mencapai lebih dari US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 24 triliun!

    Tak hanya itu, sejumlah sistem radar dan amunisi juga ikut terdampak.

    Para pengamat militer menyebut serangan ini sebagai “game changer”, karena Rusia mulai terlihat kewalahan mempertahankan wilayah-wilayah yang jauh dari garis depan.

    Zelensky Malah Ajukan Gencatan Senjata?

    Namun yang bikin publik bingung — Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky justru membuka wacana gencatan senjata di tengah keberhasilan besar militer negaranya.

    Dalam wawancara dengan media Jerman, Zelensky menyatakan bahwa “Ukraina terbuka pada solusi damai” asalkan wilayah kedaulatan tetap dihormati.

    “Perang ini tak bisa berlangsung selamanya. Kami tak ingin hanya menang di medan tempur, tapi juga di meja perundingan,” ujar Zelensky.

    Ia juga menambahkan bahwa saat ini Ukraina tengah menyiapkan peta jalan untuk menggelar Konferensi Perdamaian Global yang akan digelar di Swiss pertengahan Juni.

    Banyak yang menduga pernyataan Zelensky ini adalah bagian dari strategi diplomasi tingkat tinggi.

    Setelah menunjukkan kekuatan militer yang signifikan, Ukraina ingin memegang kendali narasi — menjadi pihak yang proaktif menawarkan perdamaian.

    Namun, di sisi lain, beberapa analis menilai tawaran gencatan senjata ini juga bisa mencerminkan beban berat yang tengah ditanggung Ukraina.

    Dukungan militer dari Barat mulai melambat, dan tekanan internal pun meningkat.

    Bagaimana Tanggapan Rusia?

    Hingga kini, Rusia belum memberikan respons resmi atas tawaran gencatan senjata tersebut. Kremlin masih terus mengklaim bahwa “operasi militer khusus” mereka akan terus berlangsung hingga tujuan strategis tercapai.

    Namun beberapa diplomat Rusia mulai menunjukkan sinyal bahwa pembicaraan damai bisa jadi opsi terbuka, tergantung sikap Ukraina ke depan. 

    Situasi ini bikin geger dunia internasional. Ukraina makin kuat di medan tempur, tapi Zelensky malah membuka pintu damai. 

  • Trump Murka karena Tuding China Langgar Kesepakatan Jenewa Soal Tarif

    Trump Murka karena Tuding China Langgar Kesepakatan Jenewa Soal Tarif

    Jakarta, Beritasatu.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan China telah melanggar kesepakatan dengan AS terkait pencabutan tarif dan pembatasan perdagangan atas mineral penting.

    Dalam pernyataannya, Trump juga melontarkan ancaman terselubung untuk mengambil langkah yang lebih keras terhadap Beijing.

    “China, mungkin tidak mengejutkan bagi sebagian orang. Mereka telah benar-benar melanggar perjanjiannya dengan kami. Jadi begitulah caranya menjadi ‘Tuan Orang Baik’!” tulis Trump dalam unggahannya di platform media sosial Truth Social miliknya, Jumat (30/5/2025).

    Trump menjelaskan bahwa ia telah membuat kesepakatan cepat dengan pejabat China pada pertengahan Mei. Kesepakatan tersebut mencakup rencana untuk menghentikan tarif tinggi selama 90 hari, demi mencegah krisis ekonomi di China, termasuk penutupan pabrik dan potensi kerusuhan sipil. Tarif yang diberlakukan AS saat itu mencapai 145% atas impor dari China.

    Namun, Trump tidak merinci secara jelas bagaimana China melanggar kesepakatan yang dibuat di Jenewa, Swiss, maupun tindakan apa yang akan diambilnya sebagai respons atas pelanggaran tersebut.

    Seorang pejabat AS yang berbicara kepada Reuters menyebut bahwa China tampak lamban dalam memenuhi janji mereka untuk menerbitkan lisensi ekspor bagi mineral tanah jarang. Sementara itu, Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, mengatakan kepada CNBC bahwa China tidak patuh terhadap isi kesepakatan Jenewa.

    “China memperlambat proses kepatuhan mereka, dan hal itu benar-benar tidak dapat diterima serta harus ditindaklanjuti,” ujar Greer.

    Ia juga menambahkan bahwa aliran ekspor mineral penting dari China belum kembali berjalan seperti yang telah disepakati, menyusul tindakan balasan dagang dari Beijing.

  • Penampakan Desa di Swiss Hancur Terkubur Longsor Gletser

    Penampakan Desa di Swiss Hancur Terkubur Longsor Gletser

    Jakarta

    Dalam sekejap mata sebuah desa berusia ratusan tahun lenyap seketika.

    Desa Blatten di Swiss sebagian hancur setelah bongkahan besar gletser jatuh ke lembah yang menaungi desa tersebut.

    Meskipun desa tersebut telah dievakuasi beberapa hari lalu karena khawatir Gletser Birch akan runtuh, satu orang dilaporkan hilang. Banyak rumah telah rata dengan tanah.

    Wali kota Blatten, Matthias Bellwald, mengatakan “hal yang tak terbayangkan telah terjadi” tetapi berjanji bahwa desa tersebut masih memiliki masa depan.

    EPAPemandangan Desa Blatten sebelum (atas) dan sesudah (bawah) dilanda longsor.

    Pemerintah setempat telah meminta dukungan dari unit bantuan bencana militer Swiss. Dinas pemerintah Swiss juga sedang dalam perjalanan ke lokasi kejadian.

    Bencana yang menimpa Blatten merupakan mimpi buruk terburuk bagi para warga desa di Pegunungan Alpen.

    Sebanyak 300 warga Desa Blatten harus meninggalkan rumah mereka pada 19 Mei setelah para ahli geologi yang memantau daerah tersebut memperingatkan bahwa Gletser Birch tampak tidak stabil.

    Sekarang banyak dari mereka mungkin tidak akan pernah bisa kembali.

    Bellwald yang tampak berusaha menahan tangis berkata: “Kami telah kehilangan desa kami, tetapi bukan hati kami. Kami akan saling mendukung dan menghibur. Setelah malam yang panjang, pagi akan kembali datang.”

    EPARumah-rumah di Desa Blatten tertutup longsor dan banjir dari gletser yang mencair.

    Pemerintah Swiss telah menjanjikan pendanaan untuk memastikan penduduk dapat kembali bermukim, jika tidak di desa itu setidaknya di daerah tersebut.

    Namun, Raphal Mayoraz, kepala kantor regional untuk penanganan bencana alam, memperingatkan bahwa evakuasi lebih lanjut di daerah yang dekat dengan Blatten mungkin diperlukan.

    ReutersRekonstruksi Desa Blatten akan berlangsung rumit.

    Perubahan iklim menyebabkan gletser mencair lebih cepat. Lapisan tanah beku permanen, yang sering digambarkan sebagai perekat yang menyatukan gunung-gunung tinggi, juga mencair.

    Rekaman drone menunjukkan sebagian besar Gletser Birch runtuh sekitar pukul 15:30 pada Rabu (28/05).

    Longsoran lumpur yang melanda Blatten terdengar seperti suara gemuruh yang memekakkan telinga. Longsoran itu juga meninggalkan awan debu yang sangat tebal.

    Ahli glasiologi yang memantau pencairan gletser telah memperingatkan selama bertahun-tahun bahwa beberapa kota dan desa pegunungan Alpen mungkin terancam. Penduduk Blatten bahkan bukan yang pertama dievakuasi.

    EPASebanyak 300 warga Desa Blatten telah dievakuasi sebelum longsor melanda.

    Di Swiss timur, penduduk Desa Brienz dievakuasi dua tahun lalu karena lereng gunung di atas mereka runtuh.

    Sejak itu, mereka hanya diizinkan kembali untuk waktu yang singkat.

    Pada 2017, delapan pendaki tewas dan banyak rumah hancur ketika tanah longsor terbesar dalam lebih dari satu abad terjadi di dekat Desa Bondo.

    Laporan terbaru mengenai kondisi gletser Swiss menunjukkan bahwa gletser-gletser tersebut dapat mencair dalam waktu satu abad, jika suhu global tidak dapat dipertahankan dalam batas kenaikan 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industri, yang disepakati 10 tahun lalu oleh hampir 200 negara berdasarkan perjanjian iklim Paris.

    Banyak ilmuwan iklim menyatakan bahwa target tersebut telah terlewati, yang berarti pencairan gletser akan terus meningkat, meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor, serta mengancam lebih banyak komunitas seperti Blatten.

    Reuters Foto satelit memperlihatkan kerusakan di Desa Blatten. BBC

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Berkaca Mitigasi Swiss Selamatkan Warga Ketika Gletser Alpen Timbun Satu Desa

    Berkaca Mitigasi Swiss Selamatkan Warga Ketika Gletser Alpen Timbun Satu Desa

    Jakarta

    Desa Blatten di kanton Valais, Swiss bagian selatan, tertimbun reruntuhan gletser dari Pegunungan Alpen. Namun menariknya, warga di sekitarnya berhasil selamat berkat pemantauan para ahli geologi.

    Sebelumnya, tepatnya sembilan hari sebelum kejadian naas, 300 penduduk desa dievakuasi setelah para ahli melihat kondisi gletser sudah tampak tidak stabil. Hal itu yang mendasari Pemerintah Swiss bergerak cepat memindahkan warga ke tempat aman.

    Sebagaimana dikutip dari BBC, Jumat (30/5/2025) Kepala Kantor Regional untuk Bencana Alam, Raphael Mayoraz, mengatakan peringatan evakuasi lebih lanjut di daerah dekat Blatten mungkin diperlukan.

    Faktor perubahan iklim menjadi penyebab gletser dan sungai es yang membeku di sekeliling Pegunungan Alpen mencair lebih cepat dari dugaan. Lapisan tanah beku sebagai ‘perekat’ ini di gunung tinggi itu turut mencair.

    Ahli Glasiologi yang memantau pencairan telah memperingatkan selama bertahun-tahun bahwa beberapa kota dan desa Pegunungan Alpen bisa terancam, dan Blatten bahkan bukan daerah pertama yang dievakuasi.

    Di Swiss timur, penduduk Desa Brienz dievakuasi dua pada tahun lalu karena lereng gunung di atas mereka runtuh. Sejak saat itu, mereka hanya diizinkan kembali untuk waktu yang singkat.

    Laporan terbaru tentang kondisi gletser Swiss menunjukkan bahwa semuanya bisa hilang dalam waktu satu abad ini, jika suhu global tidak dapat dipertahankan dalam kenaikan 1,5 celcius di atas tingkat pra-industri, yang disepakati sepuluh tahun lalu oleh hampir 200 negara di bawah perjanjian iklim Paris.

    Banyak ilmuwan iklim menyatakan target tersebut telah terlewati, yang berarti pencairan gletser akan terus meningkat, meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor, dan mengancam lebih banyak komunitas seperti gletser menimbun Desa Blatten.

    Berdasarkan rekaman drone menunjukkan sebagian besar gletser Birch runtuh. Detik-detik longsoran lumpur dari gletser terdengar seperti suara gemuruh yang langsung menyapu bersih Desa Blatten dalam waktu sekejap, dan menyisakan menyembulkan awan debu yang besar ke langit.

    Pemerintah setempat telah meminta dukungan dari unit bantuan bencana tentara Swiss dan anggota Pemerintah Swiss sedang dalam perjalanan ke lokasi kejadian.

    (agt/agt)

  • Pengadilan Banding Kembali Berlakukan Tarif Trump, Gimana Selanjutnya?

    Pengadilan Banding Kembali Berlakukan Tarif Trump, Gimana Selanjutnya?

    Jakarta

    Pengadilan banding federal memberlakukan kembali kebijakan tarif yang ditetapkan Presiden Donald Trump pada Kamis (29/05), sehari setelah Pengadilan Perdagangan Internasional memerintahkan pemblokiran tarif.

    Pengadilan Banding Tingkat Federal di Washington menganulir putusan pengadilan yang lebih rendah untuk sementara guna mempertimbangkan banding pemerintah.

    Pengadilan banding kemudian memerintahkan penggugat dalam kasus tersebut untuk memberi tanggapan paling lambat tanggal 5 Juni. Adapun pemerintah AS juga diminta memberi tanggapan paling lambat tanggal 9 Juni.

    Sebelumnya, Pengadilan Perdagangan Internasional yang berbasis di Manhattan menyatakan bahwa Konstitusi AS memberikan kewenangan secara eksklusif kepada Kongres untuk mengatur perdagangan dengan negara lain.

    Kewenangan eksklusif Kongres ini, menurut pengadilan tersebut, tidak dapat digantikan oleh kewenangan presiden untuk menjaga perekonomian. Karena itu, pengadilan tersebut menyatakan Trump telah melampaui kewenangannya dalam mengenakan bea masuk.

    Apa yang terjadi selanjutnya?

    Tidak ada pengadilan yang membatalkan tarif pada mobil, baja, dan aluminium yang diberlakukan Trump dengan alasan masalah keamanan nasional berdasarkan Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962.

    Ia dapat memperluas pajak impor berdasarkan undang-undang tersebut ke sektor lain seperti semikonduktor dan kayu.

    Pasal 338 Undang-Undang Perdagangan tahun 1930 yang tidak digunakan selama beberapa dekade memungkinkan presiden untuk mengenakan tarif hingga 50% pada impor dari negara-negara yang “mendiskriminasi” AS.

    Namun, saat ini Gedung Putih tampaknya lebih fokus mengajukan banding pada putusan pengadilan. Masalah ini diperkirakan akan berakhir di Mahkamah Agung.

    Jika Gedung Putih tidak berhasil dalam bandingnya, Badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) akan mengeluarkan arahan kepada para petugasnya.

    Hal ini dipaparkan John Leonard, mantan pejabat tinggi di CBP, kepada BBC.

    Di sisi lain, pengadilan yang lebih tinggi kemungkinan akan cenderung mendukung Trump.

    Akan tetapi, jika semua pengadilan menegakkan putusan Pengadilan Perdagangan Internasional, maka entitas bisnis yang harus membayar tarif akan menerima pengembalian dana atas jumlah yang dibayarkandengan bunga.

    Ini termasuk apa yang disebut tarif timbal balik, yang diturunkan menjadi 10% secara umum untuk sebagian besar negara.

    Untuk tarif produk-produk China yang naik menjadi 145% sekarang menjadi 30% menyusul kesepakatan AS-China baru-baru ini.

    Leonard mengingatkan bahwa untuk saat ini belum ada perubahan di perbatasan dan tarif masih harus dibayar.

    Berdasarkan reaksi pasar, sebagian investor seolah “menghela napas lega setelah volatilitas yang menegangkan selama berminggu-minggu yang perseteruan perang dagang,” ujar Stephen Innes dari SPI Asset Management.

    Innes mengatakan hakim AS memberikan pesan yang jelas: “Ruang Oval bukanlah meja perdagangan, dan Konstitusi bukanlah cek kosong.”

    “Pelampauan kekuasaan eksekutif akhirnya menemukan batasnya. Setidaknya untuk saat ini, stabilitas makro kembali muncul.”

    Paul Ashworth dari Capital Economics, mengatakan putusan tersebut “jelas akan mengacaukan dorongan pemerintahan Trump untuk dengan cepat menyegel ‘kesepakatan’ perdagangan selama jeda 90 hari dari tarif”.

    Dia memperkirakan negara-negara lain “akan menunggu dan melihat” apa yang akan terjadi selanjutnya.

    Siapa yang mengajukan gugatan?

    Putusan tersebut didasarkan pada dua kasus terpisah.

    Dalam kasus pertama, lembaga nonpartisan Liberty Justice Center mengajukan gugatan atas nama beberapa usaha kecil yang mengimpor barang dari negara-negara yang terdampak tarif Trump.

    Dalam kasus kedua, koalisi pemerintah negara bagian AS juga menggugat aturan impor tersebut.

    Kedua kasus ini merupakan tantangan hukum besar pertama bagi “Hari Pembebasan”, yaitu hari ketika Trump mengumumkan serangkaian tarif terhadap berbagai negara pada 2 April 2025.

    Panel yang terdiri dari tiga hakim memutuskan bahwa Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (EEPA) tahun 1977 yang dijadikan dasar kebijakan oleh Trump tidak memberinya wewenang untuk mengenakan pajak impor besar-besaran.

    Pengadilan juga memblokir serangkaian pungutan terpisah yang diberlakukan pemerintahan Trump terhadap China, Meksiko, dan Kanada.

    Sebagaimana diketahui, pemerintahan Trump menyebut kebijakan ini dilakukan untuk merespons arus narkoba dan imigran ilegal ke AS.

    Akan tetapi, pengadilan tidak diminta untuk menangani tarif yang dikenakan pada beberapa barang tertentu seperti mobil, baja, dan aluminium yang berada di bawah undang-undang yang berbeda.

    Bagaimana reaksi sejauh ini?

    Dalam permohonan bandingnya, pemerintahan Trump mengatakan pengadilan perdagangan telah memberi penilaian terhadap presiden secara tidak tepat sehingga putusan yang dikeluarkan bakal menggagalkan perundingan perdagangan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.

    “Pilar politik, bukan yudisial, yang membuat kebijakan luar negeri dan memetakan kebijakan ekonomi,” sebut pemerintahan Trump dalam pengajuan banding tersebut.

    Trump mengecam putusan pengadilan perdagangan internasional tersebut dalam sebuah unggahan di media sosial, dengan menulis: “Semoga Mahkamah Agung akan membatalkan keputusan yang mengerikan dan mengancam negara ini, DENGAN CEPAT dan TEGAS.”

    Baca juga:

    Di sisi lain, Letitia James, selaku jaksa agung New York, salah satu dari 12 negara bagian yang terlibat dalam gugatan tersebut, menyambut baik putusan pengadilan federal.

    “Hukumnya jelas: tidak ada presiden yang memiliki wewenang untuk menaikkan pajak sesuka hati,” kata James.

    “Tarif ini adalah kenaikan pajak besar-besaran bagi keluarga pekerja dan bisnis Amerika. Jika terus berlanjut, kebijakan ini akan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi, memburuknya ekonomi bagi bisnis dalam skala mana pun, serta hilangnya lapangan pekerjaan di seluruh negeri,” tambahnya.

    Pasar global merespons positif putusan tersebut.

    Pasar saham di Asia naik pada Kamis (29/05) pagi dan kontrak berjangka saham AS melonjak.

    Dolar AS menguat terhadap mata uang safe haven, termasuk yen Jepang dan franc Swiss.

    Mata uang safe haven adalah mata uang yang nilainya cenderung stabil walau terjadi gejolak pasar.

    Apa yang melatarbelakangi putusan ini?

    Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump (Getty Images)

    Pada 2 April, Trump meluncurkan tarif global yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengenakan pajak impor pada sebagian besar mitra dagang AS.

    Tarif dasar 10% dikenakan pada sebagian besar negara, ditambah tarif timbal balik yang lebih tinggi.

    Puluhan negara dan blok terkena dampak ini, termasuk Uni Eropa, Inggris, Kanada, Meksiko, dan China.

    Trump berargumen bahwa kebijakan ekonomi besar-besaran tersebut akan meningkatkan manufaktur AS dan melindungi lapangan kerja.

    Sejak pengumuman tersebut, pasar global terombang-ambing sejak pengumuman tersebut.

    Berbagai negara silih berganti berunding dengan perwakilan Trump untuk menegosiasikan pembalikan dan penangguhan tarif.

    Ketidakpastian pasar global semakin terganggu dengan adanya perang dagang antara AS dan China.

    Kedua negara adidaya ekonomi dunia terlibat dalam aksi saling menaikkan tarif yang mencapai puncaknya dengan pajak AS sebesar 145% untuk impor China, dan pajak China sebesar 125% untuk impor AS.

    Baca juga:

    AS dan China akhirnya menyetujui ‘gencatan senjata’ melalui kesepakatan bilateral.

    Bea masuk AS untuk China turun menjadi 30%, sementara tarif China untuk beberapa impor AS berkurang menjadi 10%.

    Inggris dan AS juga telah mengumumkan kesepakatan mengenai tarif yang lebih rendah antara kedua pemerintah.

    Di sisi lain, Trump mengancam tarif 50% mulai Juni untuk semua barang yang datang dari Uni Eropa.

    Presiden AS itu mengungkapkan rasa frustrasi dengan lambatnya perundingan perdagangan dengan blok tersebut.

    Trump kemudian setuju untuk memperpanjang tenggat waktu lebih dari sebulan setelah kepala Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan bahwa pihaknya memerlukan lebih banyak waktu.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kiamat ‘Baru’ Muncul di Swiss, Gunung Es Runtuh Hantam Desa

    Kiamat ‘Baru’ Muncul di Swiss, Gunung Es Runtuh Hantam Desa

    Stephane Ganzer, pejabat dari kanton Valais, menyatakan sekitar 90% desa tertutup tanah longsor akibat peristiwa tersebut. Jutaan meter kubik batu dan tanah jatuh dari gunung di belakang gletser, menghancurkan bangunan dan infrastruktur. (REUTERS/Stefan Wermuth)

  • Pengadilan AS Batalkan Kebijakan Tarif Trump, Kabar Baik Buat Dunia?

    Pengadilan AS Batalkan Kebijakan Tarif Trump, Kabar Baik Buat Dunia?

    Bisnis.com, JAKARTA – Upaya Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor luas terhadap negara-negara dengan surplus dagang terhadap AS resmi diblokir oleh pengadilan, yang berpotensi mengubah arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat.

    Melansir Reuters, Kamis (29/5/2025), Pengadilan Perdagangan Internasional menyatakan bahwa presiden telah bertindak melampaui batas kewenangannya, dan bahwa kekuasaan untuk mengatur perdagangan luar negeri sepenuhnya berada di tangan Kongres.

    “Pengadilan tidak menilai apakah penggunaan tarif oleh Presiden itu bijak atau efektif. Yang jelas, undang-undang tidak mengizinkannya,” tulis panel tiga hakim dalam putusan tersebut.

    Pemerintahan Trump langsung mengajukan pemberitahuan banding, mempertanyakan kewenangan pengadilan untuk menilai langkah darurat presiden. Kasus ini bisa berakhir di Mahkamah Agung, tergantung hasil banding di Pengadilan Banding Federal di Washington DC.

    Kebijakan tarif merupakan senjata utama Trump dalam perang dagangnya dan menjadi alat untuk menekan mitra dagang, menghidupkan kembali industri manufaktur domestik, dan memangkas defisit perdagangan barang AS yang kini mencapai US$1,2 triliun.

    Namun, pengadilan menilai bahwa alasan darurat nasional tidak cukup untuk membenarkan tindakan sepihak tersebut di bawah Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

    Dalam pernyataan resminya, juru bicara Gedung Putih Kush Desai menyebut defisit perdagangan menghancurkan komunitas Amerika, merugikan tenaga kerja, dan melemahkan basis industri pertahanan.

    “Bukanlah tugas hakim yang tidak terpilih untuk memutuskan bagaimana cara mengatasi keadaan darurat nasional dengan baik,” ujar Kush Desai.

    Reaksi pasar tergolong positif. Dolar AS melonjak terhadap euro, yen, dan franc Swiss, sementara indeks saham di Wall Street dan Asia ikut menguat.

    Putusan ini berasal dari dua gugatan hukum—satu dari lima pelaku usaha kecil yang diwakili Liberty Justice Center, dan satu lagi dari koalisi 13 negara bagian yang dipimpin Jaksa Agung Oregon, Dan Rayfield. Para penggugat menyebut tarif Trump sebagai kebijakan sembrono yang mengancam kelangsungan usaha mereka dan stabilitas ekonomi secara luas.

    Rayfield menyambut baik putusan tersebut dengan menyatakan bahwa “keputusan perdagangan tidak bisa dibuat sesuka hati presiden.”

    Trump merupakan presiden pertama yang menggunakan IEEPA untuk menetapkan tarif dagang. Biasanya, undang-undang ini digunakan untuk membekukan aset atau menjatuhkan sanksi kepada musuh negara.

    Departemen Kehakiman sebelumnya meminta agar gugatan ditolak, dengan alasan bahwa penggugat belum dirugikan secara langsung dan hanya Kongres yang dapat menggugat status darurat nasional yang ditetapkan presiden.

    Tarif tersebut diumumkan pada awal April dengan besaran 10% untuk semua impor dan tarif tambahan hingga 54% bagi negara dengan defisit perdagangan terbesar terhadap AS, terutama China.

    Namun, dalam waktu sepekan, sebagian tarif ditangguhkan menyusul kesepakatan sementara antara AS dan China yang menurunkan tarif selama 90 hari sambil menyusun perjanjian jangka panjang.