Negara: Suriah

  • Israel Izinkan Warga Druze Suriah Bekerja di Wilayah Suriah Diduduki Israel di Dataran Tinggi Golan – Halaman all

    Israel Izinkan Warga Druze Suriah Bekerja di Wilayah Suriah Diduduki Israel di Dataran Tinggi Golan – Halaman all

    Israel Izinkan Warga Druze Suriah Bekerja di Wilayah Suriah yang Diduduki Israel, Disebut Langkah Radikal

    TRIBUNNEWS.COM- Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, secara terbuka mengonfirmasi laporan terkini bahwa Israel akan melakukan “langkah radikal” dengan mengizinkan warga Druze dan Sirkasia Suriah untuk menyeberang ke wilayah Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel untuk tujuan bekerja, The Jerusalem Post melaporkan pada tanggal 9 Maret.

    Surat kabar itu menyebutnya sebagai “langkah yang tidak biasa” untuk mengizinkan “warga negara asing dari negara yang bermusuhan seperti Suriah untuk bekerja di Israel.” 

    Israel memulai persiapan untuk mengizinkan warga Druze Suriah bekerja di kota-kota Israel di Dataran Tinggi Golan yang diduduki pada akhir Februari,  menurut  Perusahaan Penyiaran Israel (KANN).

    Rencana tersebut disusun oleh Jenderal Israel Ghassan Alian, yang mengepalai Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT) dan seorang Druze sendiri.

    Druze Suriah merupakan kelompok minoritas di era Assad yang sebagian besar hidup menyendiri, dengan beberapa sejarah positif di masa lalu dengan Israel, khususnya komunitas Druze Israel, namun sebagian besar masih menentang Israel, The Jerusalem Post mencatat.

    Setelah militan dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin oleh mantan komandan Al-Qaeda Ahmed al-Sharaa, menggulingkan pemerintah Suriah pada bulan Desember, Israel memulai kampanye publik untuk menunjukkan bahwa Druze membutuhkan perlindungan Israel.

    Meskipun secara diam-diam mendukung Sharaa dan HTS dengan uang dan senjata selama perang 14 tahun kelompok itu melawan pemerintahan Assad, Israel kini beralih menekankan masa lalu teroris dan ideologi ekstremis kelompok itu, menggunakannya sebagai dalih untuk menduduki wilayah Suriah tambahan dan untuk memenangkan dukungan di antara Druze Suriah.

    Jerusalem Post mengamati lebih lanjut bahwa, “Selama tiga bulan Divisi 210 IDF berada di Suriah selatan, telah ada upaya untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan Druze Suriah agar mereka tetap tenang mengenai kehadiran Israel di sana dan untuk menghindari ketegangan.”

    “Namun, mengizinkan Druze Suriah untuk bekerja di Israel, bahkan jika dibatasi di Golan, merupakan eskalasi besar dalam upaya memperdalam hubungan antara Israel dan komunitas tersebut,” imbuh surat kabar itu.

    Ini juga merupakan tanda bahwa Israel berencana untuk melanjutkan pendudukannya di Suriah selatan untuk waktu yang lama, meskipun hal itu ilegal menurut hukum internasional. 

    “Secara teknis, tidak ada dasar hukum internasional yang jelas bagi Israel untuk tetap berada di Suriah tanpa batas waktu,” The Jerusalem Post menjelaskan. Namun, klaim Israel bahwa “kehadirannya di Suriah menguntungkan warga Suriah setempat juga dapat membantu dalam perdebatan mengenai legitimasi atas kehadiran IDF di sana.”

    Israel juga menggunakan pembantaian warga Alawi yang dilakukan oleh pasukan keamanan Suriah yang berafiliasi dengan HTS selama tiga hari terakhir sebagai dalih untuk membenarkan pendudukannya atas Suriah.

    Presiden Suriah Sharaa telah “melepas topengnya dan memperlihatkan wajah aslinya: Seorang teroris jihadis dari aliran al-Qaeda yang melakukan tindakan mengerikan terhadap penduduk sipil,” kata Menteri Pertahanan Katz dalam sebuah pernyataan pada tanggal 7 Maret ketika pembantaian di wilayah pesisir Suriah sedang berlangsung.

    “Israel akan mempertahankan diri terhadap ancaman apa pun dari Suriah,” imbuh Katz, sembari berjanji militer akan terus menduduki zona penyangga di sepanjang perbatasan dan terus berupaya menjaga Suriah selatan tetap didemiliterisasi.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Video: RI Dukung Rekonstruksi Gaza, Kemenlu: Harus Libatkan Warga Gaza

    Video: RI Dukung Rekonstruksi Gaza, Kemenlu: Harus Libatkan Warga Gaza

    Jakarta, CNBC Indonesia- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, RolliansyahSoemirat menyampaikan perkembangan dari Konferensi Tingkat Menteri Luar Biasa (KTM-LB) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah, Arab Saudi pada Jum’at (07/03/2025) yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri RI, Sugiono

    Dalam pertemuan ini, Indonesia memastikan dukungan untuk memperjuangkan keadilan rakyat Palestina dan mendorong OKI untuk memainkan peran pentingnya dalam upaya rekonstruksi Gaza.

    Setidaknya terdapat 2 isu penting dalam KTM-LB OKI yakni isu Palestina dan Suriah. Terkait Palestina telah dikeluarkan resolusi negara OKI terkait dukungan OKI untuk mengawal proses gencatan senjata Hamas-Israel sekaligus menolak segala bentu terkait upaya mengusir rakyat Gaza dengan alasan apapun.

    OKI juga mendukung Konferensi Internasional Rekonstruksi Gaza di Mesir sebagai tindak lanjut pertemuan OKI yang akan melibatkan dunia internasional lebih besar. Selain itu didukung pembentukan pemerintahan transisi di Gaza.

    Seperti apa hasil pertemuan OKI terkait Gaza? Selengkapnya simak dialog Andi Shalini dengan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Rolliansyah Soemirat dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Senin, 10/03/2025)

  • Liga Arab, Gaza, dan Bayang-bayang Washington

    Liga Arab, Gaza, dan Bayang-bayang Washington

    loading…

    Eko Ernada. Foto/Istimewa

    Eko Ernada
    Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember

    KETIKA para pemimpin Arab berkumpul di Kairo pada 4 Maret lalu, sorotan dunia tertuju pada mereka. Di balik ruangan megah yang menyimpan sejarah peradaban, tersirat harapan dan kegamangan. KTT Liga Arab kali ini bukan sekadar agenda diplomasi rutin, tetapi sebuah panggilan nurani di tengah puing-puing Gaza yang terus merintih. Di setiap jabat tangan dan senyum protokoler, ada tuntutan moral yang menggelayuti: bagaimana dunia Arab menyikapi luka yang terus menganga di Palestina?

    Dari pertemuan ini, lahirlah sederet komitmen yang, di atas kertas, tampak menjanjikan: rencana rekonstruksi Gaza tanpa pemindahan paksa, penolakan terhadap proyek AS yang hendak mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah,” serta janji pendanaan dari negara-negara Teluk. Namun, janji-janji ini menghadapi ujian di medan realitas. Sejarah menunjukkan bahwa keputusan yang dihasilkan di meja perundingan sering kali berakhir dalam kebuntuan eksekusi, terhambat oleh kepentingan politik dan diplomasi yang saling bertabrakan.

    Dilema Solidaritas dan GeopolitikSejarah mengajarkan bahwa dunia Arab sering tersandera oleh kepentingan yang saling berkelindan. Ada yang mengusung retorika solidaritas, tetapi di balik layar menjalin diplomasi senyap dengan Washington dan Tel Aviv. Ada yang lantang membela Palestina , tetapi ragu melawan arus kepentingan ekonomi dan geopolitik. Pertanyaannya tetap menggantung: apakah ini sekadar retorika yang menenangkan kegelisahan publik, atau benar-benar upaya nyata yang akan mengubah nasib Gaza?

    Beberapa negara Arab, seperti Yordania dan Aljazair, masih mempertahankan sikap tegas dalam mendukung Palestina. Namun, negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki kepentingan ekonomi yang semakin dalam dengan Barat dan Israel. Dalam situasi seperti ini, solidaritas terhadap Palestina sering kali menjadi alat tawar-menawar politik. Bahkan, Arab Saudi yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung utama perjuangan Palestina, kini cenderung mengambil pendekatan pragmatis dengan mempertimbangkan dampak normalisasi hubungan dengan Israel terhadap stabilitas regional.

    Di tingkat global, peran Amerika Serikat menjadi variabel kunci. Steven A. Cook, dalam bukunya The End of Ambition: America’s Past, Present, and Future in the Middle East, menyoroti bagaimana kebijakan AS di Timur Tengah sering kali dipengaruhi ambisi yang tidak sejalan dengan realitas politik kawasan. Di era Trump, kebijakan pragmatis-transaksional AS lebih fokus pada kepentingan jangka pendek ketimbang stabilitas jangka panjang. Trump melanjutkan kebijakan pro-Israel dengan memperkuat hubungan dengan pemerintahan Netanyahu dan mempercepat implementasi Abraham Accords. Dukungan AS terhadap pemukiman ilegal di Tepi Barat dan sikapnya terhadap Gaza memberi tekanan bagi negara-negara Arab untuk menyesuaikan diri dengan strategi Washington.

    Fragmentasi dan Ketidakefektifan Liga ArabFragmentasi internal yang terus berlangsung menjadi tantangan utama bagi Liga Arab dan semakin menghambat efektivitas diplomasi regional. Perpecahan antara negara-negara Teluk, sikap ambivalen Mesir terhadap konflik Gaza, serta kepentingan strategis Turki dan Iran yang sering berbenturan dengan negara-negara Arab lainnya menjadikan langkah kolektif sangat sulit. Tanpa kesatuan visi dan aksi, pernyataan bersama yang dihasilkan dari KTT hanya menjadi dokumen tanpa dampak nyata.

    Kegagalan Liga Arab dalam merespons krisis regional—seperti perang saudara Suriah, intervensi di Yaman, serta normalisasi dengan Israel—menunjukkan betapa besar dampak dari fragmentasi ini. Dalam isu Palestina, misalnya, perbedaan sikap terhadap Israel semakin melemahkan posisi tawar Palestina. Rashid Khalidi dalam The Hundred Years’ War on Palestine menunjukkan bagaimana negara-negara Arab lebih fokus pada agenda domestik daripada membela Palestina secara kolektif.

    Sejarah mencatat bagaimana fragmentasi internal Liga Arab menghambat respons terhadap agresi Israel ke Lebanon pada 1982. Ketika Israel melancarkan invasi untuk menumpas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), tidak ada respons militer atau diplomatik yang solid dari Liga Arab. Fragmentasi serupa juga terjadi dalam menangani konflik Gaza saat ini, di mana perbedaan kepentingan antarnegara anggota menghambat tindakan yang lebih konkret.

    Selain itu, peran Iran dalam mendukung kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk fragmentasi ini. Negara-negara Teluk yang pro-Barat dan negara-negara yang lebih terbuka terhadap pengaruh Iran, seperti Suriah dan Lebanon, memiliki sikap yang berbeda terhadap Tehran. Ketegangan ini semakin memperburuk kebijakan luar negeri negara-negara Arab secara keseluruhan, membuat mereka kesulitan untuk mengembangkan kebijakan kolektif yang efektif.

    Dinamika internal Liga Arab juga mencerminkan ketidakefektifan diplomasi regional akibat kurangnya kesatuan strategis. Shibley Telhami dalam The Stakes: America in the Middle East menegaskan bahwa negara-negara Arab sering kali tersandera oleh dinamika geopolitik global, yang semakin memperburuk fragmentasi. Ketidaksepakatan antarnegara Arab sering dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Rusia untuk memperkuat posisi geopolitik mereka, semakin memperumit krisis di Timur Tengah.

    Jalan ke Depan: Retorika atau Tindakan Nyata?Liga Arab menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka harus membuktikan bahwa pertemuan ini bukan sekadar ritual diplomasi tahunan. Di sisi lain, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tanpa dukungan nyata dari kekuatan global, rekonstruksi Gaza akan tetap menjadi janji yang tak terwujud.

  • Infinity Castle di Berbagai Negara, Indonesia Paling Awal

    Infinity Castle di Berbagai Negara, Indonesia Paling Awal

    JABAR EKSPRES – Setelah sebelumnya sempat bocor jadwal penayangan untuk Indonesia, kini jadwal lengkap perilisan Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle di berbagai negara akhirnya terungkap.

    Film terbaru dari seri fenomenal ini siap mengguncang layar lebar di seluruh dunia.

    Baca juga : Ditengah Hiatus Panjang Kazuki Yao Pensiun Jadi Franky di Serial One Piece

    Film ini akan menghadirkan kelanjutan perjalanan Tanjiro dan kawan-kawan dalam pertempuran epik yang akan membawa kita masuk ke dalam Infinity Castle, markas besar para Iblis yang dipimpin langsung oleh sang antagonis utama, Muzan Kibutsuji.

    Disutradarai oleh Haruo Sotozaki dan diproduksi oleh Ufotable, film ini dipastikan akan memberikan pengalaman visual yang spektakuler, didukung oleh desain karakter dari Akira Matsushima serta musik dari Yuki Kajiura dan Go Shiina.

    Nah, buat kamu yang nggak sabar menantikan tayangnya di bioskop, berikut adalah jadwal lengkap Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba Infinity Castle di berbagai negara:

    Jadwal Rilis Internasional Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle

    14 Agustus: Malaysia, Singapura, Pakistan15 Agustus: Kamboja, Indonesia, Vietnam20 Agustus: Filipina11 September: Meksiko, Cile, Peru, Argentina, Bolivia, Brasil, Karibia (Jamaika, Aruba, Suriname, Trinidad & Tobago, Curacao), Amerika Tengah, Kolombia, Republik Dominika, Ekuador, Paraguay, Uruguay, Venezuela, Australia, Selandia Baru, Thailand, Armenia, Azerbaijan, Bahrain, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Mesir, Etiopia, Georgia, Yunani, Hungaria, Islandia, Irak, Israel, Italia, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Lebanon, Lithuania, Makedonia, Belanda, Oman, Portugal, Qatar, Arab Saudi, Serbia, Slowakia, Slovenia, Swiss (berbahasa Italia), Suriah, Ukraina, Uni Emirat Arab.12 September: India, Mongolia, Spanyol, Bulgaria, Estonia, Finlandia, Kenya, Latvia, Nigeria, Norwegia, Polandia, Rumania, Afrika Selatan, Swedia, Turki, Inggris Raya.17 September: Belgia, Prancis, Afrika berbahasa Prancis, Luksemburg, Swiss (berbahasa Prancis).18 September: Moldova25 September: Austria, Jerman, Swiss (berbahasa Jerman)

    Sebelum menyapa para penggemarnya di seluruh dunia, film ini lebih dulu tayang perdana di Jepang pada bulan Juli sebagai penghormatan bagi negara asalnya.

    Baca juga : Kapan Blue Lock Season 3 Tayang? Ini Chapter di Manga Setelah Season 2

    Bukan sekadar film anime biasa, Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle akan menjadi bagian dari trilogi movie yang dipersiapkan sebagai penutup perjalanan epik Tanjiro dalam membasmi iblis.

  • Ahmad al-Sharaa Kerahkan Kendaraan Lapis Baja Serbu Desa-desa Kelompok Minoritas Alawite Suriah – Halaman all

    Ahmad al-Sharaa Kerahkan Kendaraan Lapis Baja Serbu Desa-desa Kelompok Minoritas Alawite Suriah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, DAMASKUS – Dalam dua hari terakhir, bentrokan antara pasukan keamanan Pemerintah Suriah yang dimotori oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok oposisi di Suriah telah menyebabkan ratusan orang tewas.

    Kejadian ini merupakan bagian dari kampanye keamanan yang lebih luas untuk menargetkan sisa-sisa Angkatan Bersenjata Arab Suriah (SAA) di wilayah pesisir negara tersebut.

    Pasukan Pemerintah Suriah di bawah kepemimpinan Ahmad al-Sharaa, mantan komandan Al-Qaeda di Irak, disebut melakukan serangkaian pembunuhan massal dan eksekusi di luar hukum terhadap anggota minoritas Alawite.

    Menurut laporan dari Observatorium Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR), 69 dari korban yang tewas adalah anggota minoritas Alawite, sementara sisanya termasuk anggota keamanan pemerintah dari sekte Sunni, anggota SAA yang merupakan sekte Alawite, dan warga sipil yang terjebak dalam bentrokan.

    Kejadian ini berlangsung di berbagai lokasi, termasuk desa al-Muktariyya dan Al-Haffeh di pedesaan Latakia, serta kota Waroud di pedalaman utara Damaskus.

    Di Al-Haffeh, 20 orang dilaporkan dibunuh oleh militan HTS, sementara di Waroud, sumber lokal melaporkan bahwa keluarga Alawite diserang di rumah mereka.

    Bentrokan ini terjadi setelah serangkaian serangan oleh sisa-sisa SAA (tentara era Assad) terhadap anggota Komando Operasi Militer Suriah awal pekan ini.

    HTS kemudian mengerahkan pasukan tambahan untuk operasi keamanan besar-besaran di wilayah pesisir Latakia dan Tartous.

    Kekerasan ini dipicu oleh serangan mendadak dari sisa-sisa SAA yang melakukan penyergapan terhadap pasukan pemerintah.

    Sebagai respons, HTS melakukan mobilisasi pasukan untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang strategis.

    SOHR melaporkan bahwa pasukan pemerintah melancarkan serangan besar-besaran di Qardaha, kota asal mantan Presiden Bashar al-Assad, setelah para pejuang dari pemerintah sebelumnya mengambil alih beberapa desa.

    Tank dan kendaraan lapis baja dikerahkan untuk mengembalikan kontrol atas wilayah tersebut.

    Sebelumnya, pasukan pemerintah berhasil merebut kembali Baniyas, sebuah kota pesisir strategis, sementara Jableh masih berada di bawah kendali hampir total pemerintah meskipun perlawanan bersenjata masih terjadi di daerah pegunungan di sepanjang garis pantai.

    Laporan ini didasarkan pada informasi dari Observatorium Hak Asasi Manusia Suriah dan sumber lokal yang melaporkan situasi di lapangan.

    Seperti diketahui, milisi Pemberontak yang dipimpin Hayat Tahrir al-Sham melancarkan serangan kilat yang menggulingkan al-Assad pada tanggal 8 Desember.

    Setelah menggulingkan Assad, para milisi itu kini direkrut menjadi pasukan keamanan Suriah di bawah rezim baru.

    Pasukan keamanan baru negara itu sejak itu telah melancarkan kampanye ekstensif untuk berusaha mengusir loyalis al-Assad dari bekas bentengnya.

    Warga dan organisasi telah melaporkan pelanggaran selama kampanye tersebut, termasuk penyitaan rumah, eksekusi lapangan, dan penculikan.

    Pemerintah baru Suriah menggambarkan pelanggaran tersebut sebagai “insiden terisolasi” dan berjanji akan mengejar mereka yang bertanggung jawab.

    Sementara itu, Pemerintah setempat di kota Tartus, Suriah, mengumumkan jam malam di seluruh kota mulai Kamis malam hingga pemberitahuan lebih lanjut, menyusul kerusuhan baru-baru ini di beberapa wilayah pesisir, yang mencakup insiden kerusuhan dan kekerasan.
    Tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan memastikan keselamatan penduduk dan warga negara – kata pernyataan pihak berwenang.

    Jam malam akan berlaku mulai pukul 10 malam hingga pukul 10 pagi.

  • Ahmad al-Sharaa Kerahkan Kendaraan Lapis Baja Serbu Desa-desa Kelompok Minoritas Alawite Suriah – Halaman all

    Pasukan Suriah dan Milisi Pro-Assad Bentrok di Latakia: 52 Alawi Dieksekusi, Lebih 70 Orang Tewas – Halaman all

    Pasukan Suriah dan Milisi Pro-Assad Bentrok di Latakia: 52 Alawi Dieksekusi, Lebih 70 Orang Tewas

    TRIBUNNEWS.COM – Observatorium Pemantau perang Suriah, Jumat (7/3/2025), mengatakan kalau pasukan keamanan Suriah “mengeksekusi” 52 anggota minoritas Alawite Syiah (kaum Alawi) di provinsi Latakia, Suriah.

    Eksekusi ini menyusul bentrokan di Latakia antara pasukan Suriah rezim baru pimpinan Ahmed Al-Sharaa dengan milisi bersenjata yang setia kepada presiden terguling Suriah, Bashar al-Assad.

    “Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berkantor pusat di Inggris mengatakan “pasukan keamanan mengeksekusi 52 pria Alawite di kota Al-Shir dan Al-Mukhtariya di pedesaan Latakia” berdasarkan video yang diverifikasinya, serta kesaksian yang diterimanya dari kerabat korban,” tulis laporan Al Arabiya, Jumat.

    Bentrokan itu, kata Observatorium Suriah, menewaskan lebih dari 70 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam kerusuhan yang terjadi di sejumlah wilayah pesisir Suriah, pekan ini. 

    “Lebih dari 70 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dan ditangkap dalam bentrokan berdarah dan penyergapan di pantai Suriah antara anggota Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri dan militan dari tentara rezim yang sudah terguling,” kata Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia dalam sebuah unggahan di X.

    Sebelumnya disebutkan kalau bentrokan bersenjata pada Kamis antara pasukan pemerintah dan loyalis al-Assad telah menewaskan 48 orang di kota pesisir Jableh dan desa-desa di sekitarnya.

    Laporan mengatakan kalau itu adalah “serangan paling kejam terhadap pemerintahan baru Suriah sejak al-Assad digulingkan” pada bulan Desember.

    Jumlah korban secara keseluruhan selama kerusuhan minggu ini belum diketahui.

    Pejuang pro-al-Assad menewaskan 16 personel keamanan sementara 28 pejuang yang berpihak pada presiden terguling dan empat warga sipil juga tewas, kata Observatorium pada Kamis.

    TERAPKAN JAM MALAM – Pasukan rezim baru pemerintahan Suriah saat menangani kerusuhan yang terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi basis pendukung Presiden terguling, Bashar Al-Assad, Kamis (6/3/2025). Pasukan Suriah dlaporan menerapkan jam malam di sejumlah wilayah pesisir negara tersebut.

    Serangan Terencana dari Benteng Assad

    Pertempuran sebelumnya terjadi di provinsi pesisir Mediterania Latakia, jantung minoritas Alawite al-Assad yang dianggap sebagai benteng pendukung selama pemerintahannya.

    Mustafa Kneifati, seorang pejabat keamanan di Latakia, mengatakan, dalam “serangan yang direncanakan dengan matang dan terencana, beberapa kelompok sisa milisi al-Assad menyerang posisi dan pos pemeriksaan kami,” yang menargetkan patroli di wilayah Jableh.

    Serangan tersebut mengakibatkan “banyaknya korban jiwa dan luka-luka di antara pasukan kami,” imbuhnya tanpa menyebutkan jumlah korban.

    Kneifati mengatakan pasukan keamanan Suriah akan “berusaha untuk menghilangkan kehadiran mereka.”

    “Kami akan memulihkan stabilitas di kawasan ini dan melindungi properti milik rakyat kami,” katanya.

    Observatorium mengatakan sebagian besar personel keamanan yang tewas berasal dari bekas benteng oposisi Suriah di Idlib di barat laut.

    Si Harimau, Prajurit Kesayangan Assad Ditangkap

    Selama operasi tersebut, pasukan keamanan Suriah menangkap dan menahan mantan kepala intelijen angkatan udara, salah satu badan keamanan keluarga al-Assad yang paling dipercaya, kantor berita negara SANA melaporkan.

    “Pasukan kami di kota Jableh berhasil menangkap penjahat Jenderal Ibrahim Huweija,” kata SANA.

    “Dia dituduh melakukan ratusan pembunuhan selama era penjahat Hafez al-Assad,” ayah dan pendahulu Bashar al-Assad.

    Huweija, yang mengepalai intelijen angkatan udara dari tahun 1987 hingga 2002, telah lama menjadi tersangka dalam pembunuhan pemimpin Druze Lebanon Kamal Bek Jumblatt tahun 1977.

    Direktur keamanan provinsi mengatakan pasukan keamanan bentrok dengan orang-orang bersenjata yang setia kepada komandan pasukan khusus era al-Assad di desa lain di Latakia, setelah pihak berwenang dilaporkan melancarkan serangan helikopter.

    “Kelompok bersenjata yang bentrok dengan pasukan keamanan kami di pedesaan Latakia berafiliasi dengan penjahat perang Suhail al-Hassan,” kata direktur keamanan tersebut kepada SANA.

    Dijuluki “Si Harimau,” al-Hassan memimpin pasukan khusus negara itu dan sering digambarkan sebagai “prajurit kesayangan” al-Assad.

    Ia bertanggung jawab atas kemajuan militer utama yang dicapai oleh pemerintahan al-Assad pada tahun 2015.

    Operasi Keamanan di Jableh

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia sebelumnya melaporkan “serangan yang dilancarkan oleh helikopter Suriah terhadap orang-orang bersenjata di desa Beit Ana dan hutan-hutan di sekitarnya, bertepatan dengan serangan artileri terhadap desa tetangga.”

    SANA melaporkan bahwa milisi pro-al-Assad telah menembaki “anggota dan peralatan kementerian pertahanan” di dekat desa tersebut, menewaskan satu anggota pasukan keamanan dan melukai dua lainnya.

    Sumber kementerian pertahanan kemudian mengatakan kepada SANA bahwa bala bantuan militer besar sedang dikerahkan ke daerah Jableh.

    Para pemimpin Alawite menyerukan dalam sebuah pernyataan di Facebook untuk “unjuk rasa damai” sebagai tanggapan atas serangan helikopter, yang mereka katakan telah menargetkan “rumah-rumah warga sipil.”

    Pasukan keamanan memberlakukan jam malam di wilayah yang dihuni penduduk Alawi, termasuk Latakia, kota pelabuhan Tartus, dan kota ketiga Homs, SANA melaporkan.

    Di kota-kota lain di seluruh negeri, massa berkumpul “untuk mendukung pasukan keamanan,” tambahnya.

    Ketegangan meletus setelah penduduk Beit Ana, tempat kelahiran Suhail al-Hassan, mencegah pasukan keamanan menangkap seseorang yang dicari karena memperdagangkan senjata, kata Observatorium.

    Pasukan keamanan kemudian melancarkan operasi di daerah tersebut, yang mengakibatkan bentrokan dengan orang-orang bersenjata, tambahnya.

    Pembunuhan sedikitnya empat warga sipil selama operasi keamanan di Latakia juga memicu ketegangan, kata pemantau pada hari Rabu.

    Pasukan keamanan melancarkan operasi di wilayah Daatour di kota itu pada hari Selasa setelah penyergapan oleh “anggota sisa-sisa milisi al-Assad” menewaskan dua personel keamanan, media pemerintah melaporkan.

    Milisi Pemberontak yang dipimpin Hayat Tahrir al-Sham melancarkan serangan kilat yang menggulingkan al-Assad pada tanggal 8 Desember.

    Setelah menggulingkan Assad, para milisi itu kini direkrut menjadi pasukan keamanan Suriah di bawah rezim baru.

    Pasukan keamanan baru negara itu sejak itu telah melancarkan kampanye ekstensif untuk berusaha mengusir loyalis al-Assad dari bekas bentengnya.

    Warga dan organisasi telah melaporkan pelanggaran selama kampanye tersebut, termasuk penyitaan rumah, eksekusi lapangan, dan penculikan.

    Pemerintah baru Suriah menggambarkan pelanggaran tersebut sebagai “insiden terisolasi” dan berjanji akan mengejar mereka yang bertanggung jawab.

    Militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah. (PressTV)

    Terapkan Jam Malam

    Pemerintah setempat di kota Tartus, Suriah, mengumumkan jam malam di seluruh kota mulai Kamis malam hingga pemberitahuan lebih lanjut, menyusul kerusuhan baru-baru ini di beberapa wilayah pesisir, yang mencakup insiden kerusuhan dan kekerasan.

    Tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan memastikan keselamatan penduduk dan warga negara – kata pernyataan pihak berwenang.

    Jam malam akan berlaku mulai pukul 10 malam hingga pukul 10 pagi.

    Pengecualian terhadap jam malam mencakup situasi darurat, seperti mengangkut pasien atau menangani kebutuhan kemanusiaan, serta pekerja penting di sektor keamanan, medis, dan layanan publik.

    Pihak berwenang mengeluarkan pedoman berikut:

    Pergerakan di jalan dan tempat umum dilarang selama jam malam
    Warga diimbau untuk mematuhi instruksi resmi
    Pelanggaran jam malam apa pun akan berujung pada pertanggungjawaban hukum

     

    (oln/rntv/alarby/*)

  • Jenderal SDF Suriah Akan Senang Hati Terima Bantuan Israel: Kami Menghargainya – Halaman all

    Jenderal SDF Suriah Akan Senang Hati Terima Bantuan Israel: Kami Menghargainya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pasukan Demokrasi Suriah (SDF) mengaku akan senang menerima bantuan dari Israel.

    Pemimpin SDF yang bernama Jenderal Mazloum Abdi mengatakan akan menyambut baik dukungan dari negara Zionis.

    “(Jika Israel bisa) mencegah serangan terhadap kami dan menghentikan pembunuhan terhadap rakyat kami, kami menyambut baik itu dan menghargainya,” kata Abdi saat diwawancarai Jiyar Gol, wartawan BBC, beberapa hari lalu.

    Abdi berujar Israel adalah sebuah kekuatan yang memiliki pengaruh di Amerika Serikat (AS), Barat, dan Timur Tengah.

    Menurut dia, SDF akan menerima bantuan dari siapa saja.

    “Kami menyambut baik setiap orang di dunia ini yang bisa membantu mendukung hak-hak kami dan melindungi pencapaian kami,” katanya.

    Dalam wawancara itu Jiyar Gol berkata kepada Abdi bahwa ada laporan tentang kontak antara Rojaya (wilayah Suriah yang dikuasai orang Kurdi) dan Israel.

    “Menteri Luar Negeri Israel sudah berulang kali meminta bantuan demi orang Kurdi di Suriah,” kata Jiyar Gol.

    Dikutip dari The Jerusalem Post, SDF adalah kelompok pemberontak yang dibentuk dengan bantuan AS. SDF terutama berisi orang-orang dari etnis Kurdi, tetapi ada pula orang Arab dan lainnya.

    Hingga saat ini SDF punya hubungan erat dengan Komando Pusat AS (CENTCOM).

    Pada tahun 2019 SDF berhasil mengalahkan ISIS sebagian besar wilayah Suriah setelah pertempuran sengit selama bertahun-tahun.

    Komandan CENTCOM Jenderal Michael Kurilla sempat bertemu dengan Abdi pada bulan Januari kemarin untuk membahas operasi anti-Isis dan penahanan ribuan anggota ISIS di wilayah yang dikuasai SDF.

    Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar pernah mengklaim Israel mengadakan kontak dengan beberapa kelompok pemberontak di Suriah, termasuk komunitas Druze dan Kurdi, setelah rezim Bashar Al Assad tumbang tahun lalu.

    Di sisi lain, Turki membenci SDF dan menudingnya punya kaitan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dianggap sebagai kelompok teroris.

    Akhir tahun lalu Kementerian Pertahanan dilaporkan dimintai bantuan oleh kelompok minoritas Kurdi. Kelompok Kurdi itu disebut diserang oleh kelompok yang didukung oleh Turki.

    “Kalian menguasai langit, kalian tidak ragu-ragu untuk menguasai gunung besar itu (Gunung Hermon di Suriah). Setiap orang takut kepada kalian, termasuk Al Julani (pemimpin kelompok Hayat Tahrir Al Sham yang menumbangkan rezim Assad),” kata Awak, seorang panglima SDF.

    “Turki melawan kalian, dan kami mendukung kalian. Kalian harus membantu kami, demi kepentingan kalian sendiri.”

    Dia mengklaim Turki berusaha memanfaatkan keberhasilan SDF dan menaklukkan seluruh Suriah demi membuatnya menjadi negara bawahan Turki.

    Israel Hayom melaporkan Israel menghadapi dilema karena jika Israel ikut campur dalam urusan Kurdi, hubungannya dengan Turki akan terdampak.

    Ofra Bengio, seorang pakar kajian Kurdi di Universitas Tel Aviv, menyarankan Israel untuk membantu Kurdi.

    Bengio menyebut permintaan bantuan dari Kurdi adalah kesempatan bersejarah bagi Israel.

    “Israel harus membantu minoritas Kurdi di Suriah sehingga mereka bisa menjaga otonomi mereka di Suriah timur laut,” kata dia.

    Wilayah orang-orang Kurdi yang berbatasan dengan Irak di sebelah timur menjadi pembatas dengan kelompok-kelompok pro-Iran yang beroperasi di Irak selatan.

    (*)

  • Pasukan Suriah Bentrok dengan Loyalis Assad, 70 Orang Tewas

    Pasukan Suriah Bentrok dengan Loyalis Assad, 70 Orang Tewas

    Damaskus

    Pasukan pemerintah Suriah dan para militan loyalis mantan Presiden Bashar al-Assad terlibat bentrokan berdarah. Lebih dari 70 orang tewas dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka dalam bentrokan tersebut.

    Bentrokan berdarah itu, seperti dilansir AFP, Jumat (7/2/2025), melibatkan pasukan pemerintah dari Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Suriah dengan para militan loyalis Assad, yang pemerintahannya digulingkan pada Desember lalu.

    “Lebih dari 70 orang tewas dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka, dan ditangkap, dalam bentrokan berdarah dan penyergapan di pantai Suriah antara para anggota Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri, dan para militan dari tentara rezim yang sudah tidak ada lagi,” sebut Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris dalam pernyataannya.

    Dilaporkan sebelumnya bahwa bentrokan yang terjadi pada Kamis (6/3) waktu setempat itu menewaskan sedikitnya 48 orang di kota pesisir Jableh dan desa-desa di sekitarnya. Syrian Observatory menyebut bentrokan itu sebagai “serangan paling brutal terhadap otoritas baru sejak al-Assad digulingkan”.

    Jumlah korban tewas secara keseluruhan selama bentrokan pecah pekan ini belum diketahui secara jelas.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {

    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;
    adSlot.innerHTML = “;

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’)
    .addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;
    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”;
    ads[currentAdIndex]();
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function (entries) {
    entries.forEach(function (entry) {
    if (entry.intersectionRatio > 0.1) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    } else {
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.1 });

    function checkVisibility() {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    } else {
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    }

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function () {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) {
    console.error(“❌ Elemen #ad-slot tidak ditemukan!”);
    return;
    }
    ads[currentAdIndex]();
    observer.observe(adSlot);
    });

    var mutationObserver = new MutationObserver(function (mutations) {
    mutations.forEach(function (mutation) {
    if (mutation.type === “childList”) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    });
    });

    mutationObserver.observe(document.getElementById(“ad-slot”), { childList: true, subtree: true });

    Laporan Syrian Observatory menyebut para petempur pro-Assad menewaskan 16 personel keamanan Suriah, sedangkan 28 petempur loyalis Assad dan empat warga sipil juga tewas dalam bentrokan itu.

    Pertempuran sebelumnya terjadi di Provinsi Latakia, yang terletak di pesisir Laut Mediterania, yang merupakan jantung minoritas Alawite — etnis asal Assad. Latakia sebelumnya dianggap sebagai benteng dukungan bagi Assad selama pemerintahannya.

    Seorang pejabat keamanan di Latakia, Mustafa Kneifati, mengatakan bahwa dalam “serangan yang direncanakan dengan baik dan telah direncanakan sebelumnya, beberapa kelompok sisa-sisa milisi al-Assad menyerang posisi dan pos pemeriksaan kami”, menargetkan patroli di area Jableh.

    Serangan itu, menurut Kneifati, menyebabkan “banyak korban tewas dan korban luka di antara pasukan kami”. Dia tidak menyebut lebih spesifik jumlah korban.

    Ditegaskan Kneifati bahwa pasukan keamanan Suriah akan “berusaha untuk menyingkirkan kehadiran mereka”.

    “Kami akan memulihkan stabilitas di wilayah tersebut dan melindungi properti milik rakyat kami,” tegasnya.

  • Kenapa Israel Duduki Wilayah Druze di Suriah Selatan?

    Kenapa Israel Duduki Wilayah Druze di Suriah Selatan?

    Jakarta

    Senin (3/3) malam, bendera Israel mendadak berkibar di Sweida, Suriah selatan, wilayah yang mayoritas dihuni oleh komunitas Druze. Aksi itu sontak direspons warga setempat dengan menurunkan dan membakar bendera Bintang Daud sebagai bentuk protes

    Berkibarnya bendera Israel jauh di dalam wilayah Suriah seakan menabuh genderang konflik, mengingat permusuhan antara kedua negara. Meskipun rezim Bashar al-Assad telah berakhir, relasi terhadap penguasa baru Damaskus tetap dipenuhi kecurigaan dan kewaspadaan.

    Peristiwa ini terjadi setelah insiden lain di Suriah, yang diwarnai baku tembak antara warga Druze dan aparat keamanan Suriah di Jaramana di pinggiran ibu kota Damaskus, yang juga didominasi oleh komunitas Druze.

    Seorang warga Jaramana, yang merahasiakan identitas karena alasan keamanan, kepada DW mengatakan, dirinya mendengar rumor yang menyebut warga Druze yang bertempur melawan rejim baru Suriah memiliki koneksi dengan komunitas Druze di Israel. Mereka disebutkan menerima suplai senjata, dengan tujuan menciptakan ketegangan di wilayah Suriah yang berbatasan dengan Israel.

    Komunitas Druze merupakan minoritas agama di Timur Tengah yang memiliki keyakinan berbeda dari ajaran Islam. Di Israel, sekitar warga 150.000 Druze memegang kewarganegaraan setempat, dengan sebagian besar bertugas di militer dan relatif dianggap setia kepada negara Yahudi.

    Sementara itu, di Suriah, sekitar 700.000 Druze menjadi salah satu minoritas terbesar dan menuntut perlindungan hak di bawah pemerintahan baru Suriah.

    “Beberapa pihak dari organisasi masyarakat sipil bahkan menuduh otoritas agama Druze memainkan isu ini dengan Israel demi memperkuat pengaruh mereka di dalam pemerintahan baru,” kata sumber tersebut.

    Netanyahu: balasan jika Druze diserang

    Pernyataan itu muncul meskipun pemerintahan sementara Suriah, yang dipimpin oleh kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham, HTS, justru menegaskan komitmennya terhadap persatuan nasional dan hak-hak minoritas, termasuk Druze, Kurdi, Kristen, dan Alawit.

    Namun, para pengamat menilai, perhatian Israel terhadap komunitas Druze lebih merupakan strategi geopolitik ketimbang kepedulian terhadap hak-hak minoritas. Trita Parsi, Wakil Presiden Quincy Institute di Washington menjelaskan, Israel sejak lama menjalankan strategi “periphery doctrine”, dengan membangun aliansi dengan minoritas non-Muslim setempat untuk memperlemah pengaruh pemerintah negeri jiran di wilayah teritorialnya sendiri.

    Senada dengan itu, Andreas Krieg, dosen senior di King’s College London, menilai bahwa berbagai kekuatan asing memanfaatkan isu perlindungan minoritas untuk menutupi ambisi imperialis. “Kita telah melihat Rusia menggunakan narasi melindungi Kristen saat Natal, Iran menyebut dirinya sebagai pelindung Syiah, dan kini Israel mengklaim akan membela Druze,” ujar Krieg.

    Dia menambahkan, Israel sebenarnya tidak berkepentingan bertetangga dengan pemerintahan yang stabil dan inklusif di Suriah. “Jika Suriah menjadi stabil, maka mereka akan memiliki kapasitas untuk menantang Israel. Hal ini adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh Israel,” tambahnya.

    Pendudukan Suriah Selatan

    Sejak jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024, Israel semakin gencar melancarkan serangan udara di Suriah. Menurut data Armed Conflict Location and Event Data, ACLED, Israel melakukan lebih banyak serangan udara pada Desember 2024 dibandingkan sepanjang tahun sebelumnya. Bahkan, dalam 48 jam pertama setelah jatuhnya Assad, Israel menghancurkan 70-80% kapasitas militer strategis rezim lama Suriah.

    Serangan udara terbaru kembali dilakukan pekan ini dengan dalih menyerang target militer Suriah. Selain itu, Israel juga mengerahkan pasukan ke zona penyangga, yang sejak tahun 1974 menjaga perjanjian gencatan senjata antara Suriah dan Israel.

    Awalnya, Israel mengklaim pengerahan pasukan ke Suriah hanya bersifat sementara untuk menjaga keamanan di tengah kekosongan pemerintahan di Damaskus. Namun, belakangan pejabat pemerintah menyatakan bahwa pasukan Israel akan tetap berada di Suriah secara permanen.

    Langkah ini mendapat sorotan dari United Nations Disengagement Observer Force, UNDOF, misi pemantauan PBB di Dataran Tinggi Golan. Dalam pernyataannya, UNDOF mengungkapkan keprihatinan terhadap peningkatan aktivitas militer Israel di zona penyangga.

    “Sejak 7 Desember, UNDOF telah mengamati peningkatan signifikan pergerakan Pasukan Pertahanan Israel, IDF, di wilayah pemisah dan sepanjang garis gencatan senjata,” demikian pernyataan UNDOF. “Kami telah memberi tahu pihak Israel bahwa tindakan ini melanggar perjanjian.”

    Citra satelit dari BBC dan Al Jazeera mengonfirmasi keberadaan lebih banyak pasukan Israel di dalam wilayah Suriah. Sementara itu, laporan dari Syria Direct menunjukkan, pasukan Israel mulai membangun jalan baru, merusak rumah dan kebun zaitun, serta menahan warga setempat. Beberapa petani dilaporkan dilarang memasuki ladang mereka. Sebagai gantinya, pasukan Israel menawarkan bantuan berupa air, makanan, listrik, dan pekerjaan di Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki Israel sejak 1967.

    Israel langgar hukum internasional?

    Netanyahu bahkan menyerukan “demiliterisasi total Suriah selatan” dalam pidatonya pada Minggu (2/3).

    Menurut Andreas Krieg, langkah Israel bukan hanya melanggar hukum internasional dengan menduduki wilayah Suriah secara ilegal, tetapi juga menggunakan kekuatan militer untuk menyerang target yang sebenarnya tidak secara langsung mengancam keamanan Israel.

    “Mungkin ini memberi keuntungan jangka pendek bagi Israel, tetapi tidak akan menciptakan keamanan dalam jangka panjang,” ujar Krieg. “Sejak 1948, Israel merasa dikelilingi oleh musuh. Mereka melihat konflik ini sebagai perang berkelanjutan melawan semua tetangganya, sehingga tidak ada ruang untuk membangun kepercayaan.”

    Dosen senior Krieg memperingatkan, strategi konfrontatif seperti ini hanya akan memunculkan kelompok-kelompok perlawanan baru di Suriah, seperti yang pernah terjadi di negara-negara tetangga Israel sebelumnya.

    Tanda-tanda itu mulai terlihat dengan munculnya kelompok bersenjata baru di Suriah selatan bernama “The Islamic Resistance Front in Syria – Great Might”, yang menyatakan siap melawan kehadiran tentara Israel di negara mereka.

    Diadaptasi dari DW Bahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • NATO Mulai ‘Pecah’ dari Dalam, Negara Saling Curiga-Intelijen Ditutupi

    NATO Mulai ‘Pecah’ dari Dalam, Negara Saling Curiga-Intelijen Ditutupi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kecurigaan mulai muncul di antara sekutu aliansi militer Barat, NATO. Sejumlah pihak menyebutkan adanya ancaman penutupan pembagian informasi intelijen di antara para anggota kelompok itu.

    Mengutip Politico, Kamis (6/3/2025), ketidakpercayaan antara anggota aliansi itu sebenarnya telah terjadi antara negara tradisional Barat dan pendatang baru dari Timur bekas komunis. Hal itu makin memburuk setelah serangan Rusia terhadap Ukraina, ketika Hungaria dan Slovakia yang pro-Rusia, dianggap tidak dapat diandalkan.

    Namun kini fokus ketegangan telah bergeser ke dalam dinamika Amerika Serikat (AS) dan Rusia di bawah Presiden Donald Trump, yang mengguncang inti aliansi. Hal ini kemudian mendorong negara-negara untuk bertanya-tanya tentang risiko pembagian informasi intelijen dengan Washington.

    Kebingungan seputar keandalan AS memburuk minggu ini. Muncul laporan bahwa AS untuk sementara waktu menghentikan pembagian informasi intelijen dengan Ukraina demi menekan Kyiv agar datang ke meja perundingan dengan Rusia.

    “Ada banyak bisik-bisik di NATO tentang masa depan pembagian intelijen dalam aliansi,” kata Julie Smith, duta besar AS untuk NATO di bawah Joe Biden hingga November, seraya menambahkan bahwa ia telah “mendengar kekhawatiran dari beberapa sekutu” tentang apakah Washington akan terus membagi intelijen dengan aliansi tersebut.

    Menurut Daniel Stanton, mantan pejabat di Dinas Intelijen Luar Negeri Kanada, pada saat mereka benar-benar membutuhkan lebih banyak intelijen, akan ada lebih sedikit yang membahasnya.

    “Ada lebih sedikit konsensus tentang siapa musuh bersama” dan “orang-orang akan lebih enggan untuk berbagi,” kata Stanton.

    Pilihan Trump untuk direktur intelijen nasional, Tulsi Gabbard, juga menimbulkan kekhawatiran. Hal ini disebabkan Gabbard yang mengambil pendekatan lebih dekat terhadap Rusia dan sekutunya seperti mantan Presiden Suriah, Bashar Al Assad.

    “Gabbard telah menggemakan pokok bahasan Rusia mengenai perang di Ukraina dan Suriah, dan ia bertemu dengan mantan Presiden Suriah Bashar Assad, yang telah diisolasi oleh masyarakat internasional karena penggunaan senjata kimia terhadap warganya sendiri,” ujar Gustav Gressel, seorang analis di National Defense Academy Vienna dan mantan rekan European Council on Foreign Relations.

    Sang Pengendali Intelijen

    Pembagian informasi intelijen di antara 32 anggota NATO tidak pernah sedekat sekutu Five Eyes, yang terdiri dari AS, Kanada, Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Hal ini terutama disebabkan kekhawatiran akan kebocoran dan kecurigaan bahwa beberapa badan intelijen nasional dapat ditembus oleh Rusia.

    “Sekutu tidak benar-benar membagi harta karun mereka dalam hal format seperti itu … Kami tahu mereka didambakan oleh badan-badan yang bermusuhan,” ungkap Stanton, mantan pejabat intelijen Kanada.

    Bulan lalu, Financial Times melaporkan bahwa pejabat tinggi Gedung Putih Peter Navarro tengah berupaya untuk menyingkirkan Kanada dari jaringan berbagi intelijen Five Eyes. Hal ini disebabkan sikap Ottawa yang seringkali sama dengan sikap Eropa Barat dan bukan sejalan dengan Trump.

    Pembagian informasi intelijen bisa sangat kuat, seperti yang terjadi ketika pemerintahan Biden mengumumkan tentang persiapan Rusia untuk menyerang Ukraina. Hal ini kemudian memainkan peran penting dalam memberi tahu sekutu dan menggalang tanggapan.

    Namun tiga tahun kemudian, dan dengan pergeseran politik yang menentukan di bawah Trump, peran intelijen AS di masa depan dipertanyakan.

    “Pertanyaannya sekarang adalah apakah pembagian informasi intelijen akan tetap menjadi fitur utama kerja transatlantik di NATO, mengingat pertanyaan yang diajukan sekutu tentang apakah AS bersikap netral dalam penanganan perang di Ukraina dan negosiasi di masa mendatang,” tambah Julie Smith, yang merupakan mantan Duta Besar NATO.

    (luc/luc)