Negara: Suriah

  • Bagaimana Pemerintah Baru Suriah Bisa Inklusif?

    Bagaimana Pemerintah Baru Suriah Bisa Inklusif?

    Damaskus

    “Satu, satu, satu! Rakyat Suriah itu satu!” Sejak protes antipemerintah dimulai di Suriah lebih dari satu dekade yang lalu, ini menjadi salah satu teriakan paling populer dalam demonstrasi. Namun, pada saat yang bersamaan, seruan ini sebenarnya tidak mencerminkan kenyataan sehari-hari di Suriah.

    Sebelum perang saudara Suriah dimulai, sekitar 68% warga Suriah adalah muslim Sunni. Sekitar 9% hingga 13% adalah anggota kelompok etnoreligius Alawi atau Alawite, dan sekitar 8% hingga 10% berasal dari etnis Kurdi. Selain itu, ada juga kelompok Druze, Kristen, Armenia, Circassian, Turkmen, Palestina, dan Yazidi.

    Selama keluarga Bashar al Assad berkuasa, mereka memanfaatkan perbedaan di antara berbagai kelompok di Suriah untuk mempertahankan kendali kekuasaan.

    Namun, sejak rezim otoriter itu digulingkan pada bulan Desember lalu, Uni Eropa dan negara-negara lain menegaskan bahwa untuk mencabut sanksi, semua komunitas di Suriah harus bisa diikutsertakan dalam pemerintah yang baru.

    ‘Kesenjangan yang signifikan’

    Akhir minggu lalu, pemerintah sementara Suriah merilis versi pertama dari konstitusi baru negara itu, yang bersifat sementara.

    Dalam konstitusi ini, para ahli konstitusi mencatat bahwa tidak ada penyebutan tentang kelompok minoritas di Suriah. Warga setempat juga mengeluhkan kurangnya keterwakilan kelompok-kelompok etnis dan sektarian dalam acara Dialog Nasional Suriah baru-baru ini.

    Selain itu, seperti yang disoroti oleh Karam Shaar Advisory, sebuah konsultan yang mengkhususkan diri dalam ekonomi Suriah, pemerintah sementara masih sangat terkait dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang memimpin serangan yang menggulingkan diktator Suriah, Bashar Assad, pada awal Desember tahun lalu.

    “Ini sebagian bisa dimaklumi mengingat kondisi luar biasa saat pelantikan dilakukan,” tulis Advisory, seraya menambahkan bahwa jika ini berlanjut, akan menjadi masalah.

    Bagaimana menjamin representasi?

    Orang-orang Suriah sendiri tampaknya tidak yakin bahwa sistem kuota akan berhasil. “Banyak kelompok minoritas, dan ini adalah kenyataannya,” tutur Alaa Sindian, yang berusia 32 tahun, seorang muslim Syiah yang melarikan diri dari Suriah selama perang setelah dikejar oleh pemerintah Assad, tetapi baru-baru ini kembali ke Damaskus.

    “Namun, pada saat yang bersamaan, saya pribadi tidak ingin melihat kursi di parlemen hanya diperuntukkan bagi kaum Syiah, Alawi (lAlawite), atau sekte lainnya,” ungkapnya kepada DW.

    “Pemerintah harus mencari individu yang berkualitas dari dalam kelompok minoritas.”

    Ini bukan sikap yang tidak biasa. Dalam riset dengan metode kelompok diskusi terfokus yang diadakan pada pertengahan 2024 oleh Swisspeace, sebuah lembaga yang berbasis di Basel, Swiss, yang meneliti pembangunan perdamaian, peserta diskusi asal Suriah menyatakan mereka tidak menginginkan sistem kuota karena mereka telah melihat bagaimana sistem ini diterapkan di Irak dan Lebanon, yang menimbulkan masalah jangka panjang.

    “Dalam pertemuan dengan komunitas internasional, sering kali ada fokus pembicaraan pada perlindungan minoritas,” tambah Anna Myriam Roccatello, Wakil Direktur Eksekutif di International Center for Transitional Justice (ICTJ) yang berbasis di New York.

    “Namun, banyak orang Suriah yang saya ajak bekerja sama, baik di pemerintahan maupun masyarakat sipil, lebih resisten terhadap hal ini. Apa yang terjadi di Lebanon sangat menonjol di benak mereka dan pembagian cabang-cabang pemerintahan di sana adalah sesuatu yang sangat mereka benci,” catat Roccatello.

    Apa yang salah di Irak dan Lebanon?

    Di Lebanon, Perjanjian Taif tahun 1989 mengakhiri perang saudara negara itu dan mengalokasikan bagaimana kelompok-kelompok sektarian yang berbeda, yang sebelumnya saling bertempur, harus terwakili suaranya dalam pemerintahan.

    Di Irak, setelah invasi AS pada 2003 dan berakhirnya kediktatoran di sana, otoritas AS memutuskan bahwa kekuasaan harus dibagi antara tiga kelompok demografis utama negara itu.

    Namun, Alaa Sindian juga berpikir bahwa harus ada forum-forum berbeda di mana minoritas Suriah dapat didengar dan diberdayakan.

    “Saya menentang kuota sektarian, baik di pemerintahan maupun di tempat lain,” tambah Shadi al-Dubisi, seorang aktivis masyarakat sipil Druze berusia hampir 30 tahun.

    “Saya mendukung ide pemerintahan teknokratik, di mana individu dilihat berdasarkan kompetensi dan kemampuan, daripada afiliasi sektarian, agama, atau etnis mereka,” katanya kepada DW. Dalam ilmu politik, sistem ini dikenal sebagai “konvensional” atau “konsosiasional.”

    “Gagasan di balik konvensionalisme adalah memberi setiap kelompok etnis dan agama suara dalam pemerintahan untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi,” tulis peneliti Nour Mohsen dalam makalah 2021 untuk jurnal Flux: International Relations Review.

    “Namun, pada akhirnya ini adalah sistem yang gagal untuk mengelola pluralisme etnis dan agama,” dia berpendapat, “karena hal itu mengarah pada sektarianisme, yang menyebabkan ketidakstabilan akibat korupsi.”

    Meskipun sistem konvensional telah mengakhiri konflik, sistem ini menyebabkan masalah dalam jangka panjang, termasuk kepemimpinan yang tidak kompeten atau kelompok yang bersaing untuk mendapatkan hak istimewa. Ini juga berarti prioritas agama atau sektarian selalu menjadi bagian dari politik, bahkan jika pemilih lokal tidak menginginkannya.

    “Hal ini juga membuka pintu untuk campur tangan asing,” ujar Mohsen. “Kesetiaan yang lebih kuat pada sekte daripada pada negara telah membuat setiap kelompok politik etnis atau agama mencari dukungan dari kelompok serupa di negara lain.”

    Apa yang harus dilakukan Suriah?

    Sayangnya, tidak ada formula mudah untuk memastikan bahwa semua orang mendapatkan suara dalam pemerintahan pascakonflik.

    Untuk setiap strategi yang mungkin mendorong representasi yang lebih baik untuk minoritas, ada argumen tandingan.

    Misalnya, federalisme adalah opsi lain, sistem yang digunakan oleh beberapa demokrasi terbesar dan paling kompleks di dunia, termasuk Jerman, AS, dan Rusia.

    Sistem federal memiliki dua tingkat pemerintahan: Satu beroperasi di tingkat nasional dan yang lainnya di tingkat subnasional, atau negara bagian. Yang pertama sering kali bertanggung jawab atas hal-hal seperti pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri, sementara yang kedua membuat keputusan di tingkat yang lebih lokal, tetapi juga dapat mempengaruhi pemerintahan nasional.

    Namun, bahkan sistem seperti ini tergantung pada keadaan dan bisa “digunakan untuk menyembunyikan dominasi oleh beberapa komunitas etnis atas yang lainnya,” tulis John McGarry, seorang profesor studi politik di Queen’s University di Ontario, Kanada, dalam makalahnya di tahun 2024.

    Dia menunjukkan bagaimana Afrika Selatan pada masa apartheid membentuk “tanah air independen” untuk berbagai komunitas Afrika, padahal pada kenyataannya, minoritas kulit putih tetap berkuasa.

    Semua ini bergantung pada situasi yang sangat bervariasi, tandas Sahar Ammar, seorang pejabat program di Swisspeace dan peneliti utama proyek pembagian kekuasaan Suriah organisasi tersebut.

    “Pemerintah harus inklusif, tetapi harus didukung oleh proses dari bawah ke atas di tingkat lokal, untuk membina budaya dialog dan membangun kembali kepercayaan,” demikian dia berpendapat, sambil menambahkan bahwa hal ini akan menjadi kelanjutan alami dari upaya masyarakat sipil Suriah baru-baru ini.

    Semua ini juga membutuhkan waktu, imbuh Roccatello dari ICTJ. “Meski internasional cemas, kita perlu memberi orang Suriah ruang untuk mencari solusi mereka sendiri,” katanya kepada DW.

    “Hak-hak dasar, termasuk hak-hak minoritas, tentu harus digunakan sebagai parameter… tetapi saat ini, kita bahkan belum berada dalam situasi di mana kita bisa menilai dengan pasti kesediaan pemerintah saat ini untuk melakukannya karena mereka masih menghadapi kurangnya kontrol dan keamanan di sebagian besar negara.”

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Pasukan Keamanan Suriah Melanggar Gencatan Senjata dengan Lebanon – Halaman all

    Pasukan Keamanan Suriah Melanggar Gencatan Senjata dengan Lebanon – Halaman all

    Pasukan Keamanan Suriah Melanggar Gencatan Senjata dengan Lebanon

    TRIBUNNEWS.COM- Pasukan militer Suriah yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) tetap berada di wilayah Lebanon dan menjarah rumah dan properti meskipun ada perjanjian gencatan senjata yang bertujuan menghentikan bentrokan perbatasan selama dua hari dan serangan terhadap Lebanon oleh pasukan Damaskus. 

    “Pasukan pemerintahan baru Suriah memasuki wilayah Lebanon sejauh lima kilometer pada pukul 02.00 dini hari dan terus bergerak maju sepanjang pagi, memperluas kendali mereka atas kota tersebut,” kata Ali Mohammad Nasser al-Din, wali kota kota Hawsh al-Sayyed Ali yang terletak di perbatasan – yang sebagian wilayahnya berada di wilayah Lebanon. 

    Menurut walikota, pasukan Suriah merebut sebuah sekolah umum di kota itu dan telah mengungsikan 500 keluarga yang tinggal di daerah itu. “Rumah-rumah dibakar dan dijarah selama operasi militer,” kata Nasser kepada Annahar .

    Pasukan Lebanon dilaporkan telah mencapai pintu masuk Hawsh al-Sayyed Ali untuk operasi penentuan batas perbatasan dengan Suriah. 

    Anggota parlemen Lebanon, Ihab Hamadeh, mengatakan kepada Al Mayadeen bahwa pasukan Suriah adalah “penjajah dalam segala arti kata, dan merekalah yang memimpin pertempuran.”

    “Terjadi pendudukan di wilayah Lebanon, dan kami menyampaikan hal ini kepada Presiden Republik, karena kami tahu bahwa tentara sedang menghadapi para penjajah,” katanya, seraya menambahkan bahwa “tidak lama lagi tentara akan memasuki kota Hawsh al-Sayyed Ali, karena saat ini kota tersebut sedang dijarah oleh militan pendudukan.”

    Ia menambahkan bahwa tentara Lebanon telah memperkuat kehadirannya di sepanjang perbatasan dengan Suriah. 

    Kementerian Pertahanan Suriah dan Lebanon mencapai kesepakatan gencatan senjata pada Senin malam untuk mengakhiri pertempuran antara pasukan Suriah yang dipimpin HTS di satu sisi, dan Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) serta suku Lebanon di sisi lain. 

    “Kesepakatan antara Kementerian Pertahanan Suriah dan Lebanon menetapkan gencatan senjata di perbatasan dan peningkatan koordinasi dan kerja sama antara kedua belah pihak,” Kementerian Pertahanan Suriah mengumumkan.

    Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam telah menunjuk komite menteri yang bertujuan untuk menerapkan langkah-langkah ketat untuk pengendalian perbatasan dan penyelundupan, serta koordinasi yang tepat antara Beirut dan Damaskus. 

    “Apa yang terjadi di perbatasan timur dan timur laut tidak dapat dilanjutkan,” kata Presiden Lebanon Joseph Aoun. 

    Serangan militer Suriah terhadap Lebanon selama dua hari terakhir telah menewaskan tujuh warga Lebanon dan melukai lebih dari 50 orang, termasuk warga sipil dan anak-anak. Sebelas anggota tentara Suriah tewas dalam bentrokan dengan suku Bekaa dan pasukan Lebanon. 

    Pihak berwenang Suriah mengklaim mereka memerangi Hizbullah di perbatasan, meskipun gerakan perlawanan Lebanon mengeluarkan pernyataan tegas membantah keterlibatannya dalam peristiwa terkini.

    Pertempuran dimulai beberapa jam setelah tiga pejuang HTS ditemukan tewas di wilayah Lebanon dan diserahkan ke Damaskus oleh Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) dan Palang Merah pada 16 Maret.

    Kantor media Kementerian Pertahanan Suriah mengatakan kepada media pemerintah Suriah SANA bahwa “milisi Hizbullah” menculik tiga pejuang di perbatasan, membawa mereka ke wilayah Lebanon, dan “mengeksekusi mereka di tempat.” Laporan lain mengatakan ketiganya sudah berada di wilayah Lebanon saat mereka dibunuh.

    Pasukan Suriah membalas dengan menculik dan membunuh dua pemuda Lebanon dan meninggalkan jasad mereka di daerah Matraba tempat mereka ditemukan pada hari Senin.

    Pertempuran baru ini terjadi lebih dari sebulan setelah bentrokan hebat meletus pada awal Februari antara pasukan militer Suriah dan suku Lebanon. Saat itu, pasukan Suriah mengerahkan pasukan untuk mendirikan pos pemeriksaan dalam apa yang mereka katakan sebagai upaya untuk menggagalkan penyelundupan. 

    Setelah setuju dengan LAF, suku-suku tersebut mundur dari perbatasan, dan pertempuran pun berakhir.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Israel Gempur Suriah, Arab Saudi Desak DK PBB Bertindak!

    Israel Gempur Suriah, Arab Saudi Desak DK PBB Bertindak!

    Jakarta

    Pemerintah Arab Saudi mengutuk keras serangan udara Israel di wilayah Suriah, menyebutnya sebagai “pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional”. Saudi pun mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mengambil tindakan.

    Dilaporkan kantor berita Saudi Press Agency (SPA), dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Saudi, pemerintah Saudi mengecam serangan tersebut. Pemerintah Saudi mengatakan bahwa serangan itu merupakan bagian dari pelanggaran berulang Israel yang mengancam keamanan dan stabilitas regional.

    Menurut SPA, dilansir kantor berita AFP, Rabu (19/3/2025), Riyadh menyerukan respons internasional untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan memastikan akuntabilitas.

    Pemerintah Saudi menegaskan kembali solidaritasnya dengan pemerintah Suriah dan rakyatnya, serta mendesak negara-negara anggota DK PBB untuk mengambil sikap “tegas dan serius” terhadap agresi Israel tersebut.

    Kerajaan tersebut juga menekankan perlunya mencegah perluasan konflik lebih lanjut di wilayah tersebut, dan menyerukan mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakannya.

    Kecaman itu muncul beberapa jam setelah sumber keamanan di Suriah melaporkan bahwa jet-jet tempur Israel menggempur benteng militer di desa Shinshar dan Shamsin, selatan kota Homs.

    Militer Israel belum mengomentari serangan terbaru tersebut, tetapi sebelumnya mengakui menargetkan posisi militer di Suriah, dengan mengklaim bahwa posisi tersebut menampung senjata dan peralatan militer.

    Telah terjadi lonjakan operasi Israel di Suriah, dengan serangan terbaru di provinsi Daraa menewaskan sedikitnya dua orang dan melukai 19 orang, menurut laporan setempat. Israel telah melakukan serangan udara di pangkalan militer Suriah selama bertahun-tahun, dengan alasan ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok yang didukung Iran yang beroperasi di negara tersebut.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Menag Nazarudin Umar Peringati Nuzulul Quran Bersama Jokowi di Masjid Sheikh Zayed Solo

    Menag Nazarudin Umar Peringati Nuzulul Quran Bersama Jokowi di Masjid Sheikh Zayed Solo

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia Nasaruddin Umar bersama Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) memperingati malam Nuzulul Quran di Masjid Sheikh Zayed Solo, Jawa Tengah, pada Selasa (18/3/2025).

    Pada ceramahnya, Menag mengatakan Al Quran diturunkan dan dibumikan untuk melangitkan kembali manusia.

    “Karena kita tahu manusia itu diciptakan di surga lalu jatuh ke bumi penderitaan ini, meninggalkan langit kebahagiaan dan Allah menciptakan manusia dengan cinta, lalu mengirimkan surat undangan agar kita pulang ke kampung halaman rohani kita di surga dalam bentuk Alquran,” kata Nasaruddin dikutip dari Antara, Rabu (19/3/2025) .

    Oleh karena itu, kata dia, Al Quran adalah surat undangan menuju pangkuan Tuhan di surga.

    “Sekaligus sebagai tiket untuk masuk ke dalam surga. Undangan Allah dalam bentuk barang siapa memahami dan mengamalkan undangan Allah pasti kita akan berjumpa dengan para kekasihnya yang lain di surga,” katanya.

    Ia mengatakan Al Quran juga memberikan petunjuk sampai akhir zaman karena Al Quran adalah kitab suci terakhir yang Allah turunkan.

    Nasaruddin menambahkan makin canggih ilmu pengetahuan makin tersingkap kebenaran Al Quran.

    “Al Quran merupakan kitab suci yang tidak masuk akal ditinggalkan oleh pemeluknya. Tidak ada buku yang paling laris di dunia ini mengalahkan Al Quran. Tidak ada penerbitan yang mampu mengalahkan oplah penjualan Al Quran di dunia, di Indonesia pun demikian,” katanya.

    Sementara itu, selain peringatan Malam Nuzulul Quran, pada kesempatan yang sama juga dilakukan peringatan Haul Sheikh Zayed.

    Beberapa tamu kehormatan hadir pada acara tersebut, salah satunya Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.

    Selain itu, juga ada tamu kehormatan dari luar negeri, di antaranya Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) untuk Indonesia Abdulla Salim Aldaheri, Duta Besar Kerajaan Maroko untuk Indonesia Ouadia Benabdellah, Duta Besar Bahrain untuk Republik Indonesia Ahmed Abdulla Alhajeri, Duta Besar Yordania untuk Republik Indonesia Sudqi Al Omoush.

    Kemudian Duta Besar Republik Arab Suriah untuk Republik Indonesia Abdul Monem Annan, Duta Besar Bosnia dan Herzegovina untuk Republik Indonesia Armin Limo.

    Ada pula Duta Besar Azerbaijan untuk Republik Indonesia Ramil Rzayev dan Direktur Manajemen Proyek dan Program Yayasan Zayed untuk Kegiatan Sosial dan Kemanusiaan Abdulaziz Al Zaidi.

    Peringatan tersebut diharapkan menjadi momentum refleksi spiritual sekaligus memperkuat hubungan persaudaraan antarumat Muslim di tingkat nasional maupun internasional.

  • Rusia Kutuk Israel Kembali Serang Gaza, Buat 413 Orang Tewas

    Rusia Kutuk Israel Kembali Serang Gaza, Buat 413 Orang Tewas

    Jakarta CNBC Indonesia – Rusia mengutuk pemboman Israel yang kembali di Jalur Gaza. Serangan itu menjadi yang paling mematikan sejak gencatan senjata berlaku antara Israel dan Hamas, Januari.

    Hingga kini serangan yang terjadi Selasa (18/3/2025) telah menewaskan ratusan orang. Menurut kementerian kesehatan Gaza, setidaknya 413 orang tewas dalam serangan terbaru itu.

    “Moskow sangat menyesalkan dimulainya kembali operasi militer Israel di Jalur Gaza,” kata kementerian luar negeri Rusia, dikutip AFP.

    “Rusia mengutuk keras tindakan apa pun yang menyebabkan kematian warga sipil dan penghancuran infrastruktur sosial.”

    Kremlin mengatakan sebelumnya bahwa mereka khawatir serangan tersebut akan menyebabkan eskalasi spiral. Pemerintah Presiden Vladimir Putin mengaku memantau situasi dengan sangat cermat.

    “Kami menunggu situasi kembali damai,” kata juru bicara Dmitry Peskov kepada wartawan.

    Sebelumnya, (PM) Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan operasi itu diperintahkan setelah “penolakan berulang Hamas” untuk membebaskan sandera yang ditawan selama serangan Oktober 2023. Operasi itu sendiri dikatakan diketahui oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Sejak melancarkan serangan ke Ukraina, Rusia telah menjalin hubungan yang lebih erat dengan Iran, yang mendukung Hamas dan Hizbullah, sambil mempertahankan hubungan yang umumnya baik dengan Israel. Pengaruh Moskow di kawasan itu sebenarnya sedikit berkurang sejak sekutunya Bashar al-Assad digulingkan oleh pemberontak Suriah tahun lalu.

    Sebelumnya, Qatar, Mesir, dan AS memediasi fase awal gencatan senjata, yang mulai berlaku pada 19 Januari. Fase ini sebagian besar menghentikan pertempuran selama lebih dari 15 bulan di Gaza.

    Fase pertama itu berakhir pada awal Maret, dan meskipun kedua belah pihak sejak itu menahan diri dari perang habis-habisan, mereka belum dapat menyetujui langkah selanjutnya untuk perundingan gencatan senjata. Israel juga telah melakukan serangan hampir setiap hari di Gaza, tetapi tidak dalam skala operasi hari Selasa.

    Dalam sebuah posting di Telegram pada dini hari Selasa, tentara Israel mengatakan bahwa mereka “melakukan serangan besar-besaran terhadap target teror milik organisasi teroris Hamas di Jalur Gaza”. Israel memerintahkan semua sekolah yang dekat dengan wilayah tetangga Gaza ditutup, karena pemerintah mengatakan akan meningkatkan aksi militer terhadap Hamas.

    Hamas merespons hal itu seraya mengatakan Israel memutuskan untuk mengorbankan sanderanya dengan meluncurkan kembali operasi militer besar-besaran di Jalur Gaza. Langkah Negeri Zionis tersebut telah menghancurkan periode tenang sejak gencatan senjata bulan Januari.

    (sef/sef)

  • Pasukan Keamanan Suriah Melanggar Gencatan Senjata dengan Lebanon – Halaman all

    Tentara Suriah Terlibat Baku Tembak dengan Tentara Lebanon dan Kelompok Bersenjata di Lebanon – Halaman all

    Tentara Suriah Terlibat Baku Tembak dengan Tentara Lebanon dan Kelompok Bersenjata di Lebanon

    TRIBUNNEWS.COM- Pasukan Suriah terlibat baku tembak dengan tentara Lebanon dan kelompok bersenjata di timur laut Lebanon semalam dan hingga hari ini dalam putaran baru bentrokan di sepanjang perbatasan, Reuters melaporkan.

    Telah terjadi ketegangan di sepanjang perbatasan pegunungan dalam beberapa bulan sejak pemberontak menggulingkan Bashar Al-Assad di Suriah dan mendirikan institusi serta tentara mereka sendiri.

    Kemarin malam, Kementerian Pertahanan Suriah menuduh Hizbullah menyeberang ke wilayah Suriah dan menculik serta membunuh tiga anggota tentara baru Suriah.

    Hizbullah membantah terlibat. Sebuah sumber keamanan Lebanon mengatakan kepada Reuters bahwa tiga tentara Suriah telah menyeberang ke wilayah Lebanon terlebih dahulu dan dibunuh oleh anggota bersenjata dari sebuah suku di Lebanon timur laut yang khawatir kota mereka diserang.

    Sebagai balasan atas kematian mereka, pasukan Suriah menembaki kota-kota perbatasan Lebanon pada malam hari, menurut Kementerian Pertahanan Suriah dan tentara Lebanon. Penduduk kota Al-Qasr, kurang dari satu kilometer dari perbatasan, melarikan diri lebih jauh ke pedalaman untuk menghindari pemboman.

    Presiden Lebanon Joseph Aoun mengatakan ia memerintahkan tentara untuk menanggapi sumber tembakan dari perbatasan utara dan timur dengan Suriah, menurut pernyataan dari kantornya. Aoun mengatakan negara tidak akan membiarkan bentrokan di sepanjang perbatasan terus berlanjut.

    Militer Lebanon mengatakan dalam sebuah pernyataan hari ini bahwa mereka telah menyerahkan jenazah tiga warga Suriah yang terbunuh kepada otoritas Suriah, dan bahwa mereka telah menanggapi tembakan dari wilayah Suriah dan mengirim bala bantuan ke daerah perbatasan.

    Tentara Suriah mengirim konvoi pasukan dan beberapa tank ke perbatasan hari ini, menurut seorang reporter Reuters di sepanjang perbatasan. Pasukan Suriah melepaskan tembakan ke udara saat mereka bergerak melalui kota-kota dalam perjalanan menuju perbatasan.

    “Bala bantuan militer dalam jumlah besar dikerahkan untuk memperkuat posisi di sepanjang perbatasan Suriah-Lebanon dan mencegah pelanggaran apa pun dalam beberapa hari mendatang,” kata Maher Ziwani, kepala divisi tentara Suriah yang dikerahkan ke perbatasan.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR

  • Jerman Janjikan 300 Juta Euro atau Rp 5,4 Triliun untuk Pemerintah Suriah – Halaman all

    Jerman Janjikan 300 Juta Euro atau Rp 5,4 Triliun untuk Pemerintah Suriah – Halaman all

    Jerman Janjikan 300 Juta Euro untuk Pemerintah Suriah

    TRIBUNNEWS.COM- Jerman menjanjikan bantuan tambahan sebesar €300 juta ($326 juta) untuk warga Suriah melalui PBB dan organisasi tertentu, Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock mengumumkan pada 17 Maret.

    Lebih dari 1.500 warga sipil Alawite dieksekusi oleh pasukan keamanan Suriah dan orang-orang bersenjata yang berafiliasi dalam serangkaian pembantaian yang dimulai pada 7 Maret.

    Lebih dari separuh dana yang disediakan akan digunakan untuk membantu rakyat di Suriah dan akan didistribusikan melalui LSM dan badan PBB, melewati pemerintahan transisi negara tersebut, kata Baerbock pada konferensi pers menjelang konferensi donor yang dipimpin Uni Eropa di Brussels.

    Dana tersebut akan digunakan untuk menyediakan makanan, layanan kesehatan, tempat penampungan darurat, dan tindakan perlindungan bagi mereka yang sangat rentan, menurut Kementerian Luar Negeri.

    Pengungsi Suriah dan masyarakat tuan rumah di Yordania, Lebanon, Irak, dan Turki juga akan menerima dukungan, lanjutnya.

    Baerbock mengulangi perlunya proses politik yang inklusif untuk memastikan masa depan yang damai bagi Suriah.

    “Sebagai warga Eropa, kita bersatu untuk rakyat Suriah, untuk Suriah yang bebas dan damai,” ungkapnya.

    Peningkatan bantuan Jerman untuk pemerintah Suriah, yang dipimpin oleh mantan komandan Al-Qaeda di Irak Ahmad al-Sharaa (yang dikenal dengan nama samaran Abu Mohammad al-Julani), dilakukan setelah kekerasan genosida yang menargetkan minoritas agama Alawite di negara tersebut.

    Pada tanggal 7 Maret, ribuan pria bersenjata yang berafiliasi dengan pasukan keamanan Sharaa mendatangi desa-desa dan kota-kota di wilayah pesisir Suriah, mendatangi rumah-rumah dan membantai warga Alawi, termasuk, terkadang, seluruh keluarga. 

    Angkatan bersenjata menjarah rumah-rumah berisi uang tunai dan emas sebelum membakarnya.

    Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), 1.557 warga sipil Alawi dibunuh dan dieksekusi oleh anggota Kementerian Dalam Negeri dan Pertahanan Suriah serta pasukan tambahan.

    “Seorang teman dari Banyas, Suriah mengirimi saya foto-foto ini yang diambil di luar gedung apartemennya. 1. diambil pada tanggal 9 Maret 2025 yang memperlihatkan mayat-mayat. 2. Yang kedua pada tanggal 10 Maret, memperlihatkan pembakaran mayat-mayat dan toko-toko” tulis Joshua Landis (@joshua_landis) 13 Maret 2025.

    Diplomat tertinggi Uni Eropa, Kaja Kallas, mengatakan pada hari Senin bahwa pembunuhan tersebut meningkatkan kebutuhan untuk mendukung pemerintahan baru Suriah dengan pendanaan dan keringanan sanksi.

    “Pecahnya kekerasan benar-benar mengkhawatirkan. Ini menunjukkan bahwa harapan di Suriah benar-benar tergantung pada seutas benang. Ini menunjukkan bahwa kita perlu berbuat lebih banyak untuk benar-benar menunjukkan bahwa Suriah bergerak ke arah yang benar,” tambahnya.

    Seorang pejabat senior Uni Eropa mengatakan minggu lalu bahwa mereka berharap pendanaan tambahan akan membantu Suriah “membalikkan halaman” setelah 14 tahun perang.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • AS dan Israel Pertimbangkan Kirim Warga Gaza ke Suriah, Pemerintahan Julani Baru Seumur Jagung – Halaman all

    AS dan Israel Pertimbangkan Kirim Warga Gaza ke Suriah, Pemerintahan Julani Baru Seumur Jagung – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat dan Israel dilaporkan sedang mempertimbangkan sejumlah negara yang bisa menjadi tujuan migrasi warga Palestina dari Jalur Gaza.

    Selain Somalia dan Sudan, baru-baru ini Suriah disebut menjadi salah satu kandidat tujuan warga Gaza.

    Seorang narasumber CBS News mengatakan AS di bawah Presiden Donald Trump sudah berusaha menghubungi pemerintahan baru di Suriah melalui pihak ketiga.

    Adapun narasumber lainnya menyatakan pemerintah Suriah memang sudah dihubungi. Namun, belum jelas apakah sudah ada tanggapan dari Suriah.

    Seorang pejabat senior Suriah berkata pihaknya belum mengetahui adanya upaya AS dan Israel untuk menghubungi pemerintah Suriah untuk keperluan pemindahan warga Gaza.

    Saat ini pemerintahan baru Suriah dapat dikatakan baru seumur jagung. Pemerintahan itu didirikan setelah rezim Presiden Bashar al-Assad ditumbangkan oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS).

    Suriah kini dipimpin oleh Presiden Ahmed Al-Sharaa yang juga dikenal sebagai Abu Muhammad al-Julani.

    AHMED AL-SHARAA – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera pada Senin (10/3/2025) memperlihatkan Presiden Suriah Ahmed Al-Sharaa. (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera)

    Pemindahan warga Gaza

    Ide pemindahan warga Gaza itu sudah disampaikan berulang kali oleh Trump sebagai bagian dari upaya membangun kembali Gaza dan mengakhiri perang Israel-Hamas.

    Trump juga sempat mengusulkan agar AS mengusai Gaza dengan cara membelinya.

    Ide Trump itu mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, terutama Hamas dan negara-negara Arab.

    Sebaliknya, para pejabat sayap kanan Israel menyambut baik ide itu dan meminta warga Palestina untuk menyetujuinya.

    Namun, beberapa waktu lalu sikap Trump tampak melunak. Dia mengatakan tidak siapa pun yang akan mengusir warga Palestina di Gaza.

    Sudan dan Somalia dipertimbangkan

    Dua negara di Afrika, yakni Sudan dan Somalia, turut dipertimbangkan menjadi tujuan perpindahan warga Gaza.

    Dua narasumber diplomatik CBS mengatakan pejabat AS dan Israel disebut sudah berkomunikasi dengan kedua negara itu.

    Namun, Duta Besar Somalia untuk AS, Dahir Hassan, mengklaim baik AS maupun Israel belum menghubungi Somalia untuk membahas rencana pemindahan warga Gaza.

    “Penyebaran informasi yang tidak terverifikasi semacam itu berisiko memicu propaganda rekrutmen untuk kelompok ekstremis seperti ISIS dan Al-Shabaab, berpotensi memperbesar tantangan keamanan di kawasan ini,” kata Hassan.

    Saat ini Somalia tidak dalam situasi baik. Di negara itu terdapat kelompok Al Shabaab yang terus melakukan pemberontakan. 

    Sementara itu, Sudan masih dilanda perang saudara dan bencana kelaparan.

    Ada puluhan ribu pengungsi Sudan yang berusaha mencari suaka di Israel dalam dua dasawarsa terakhir. Namun, mereka ditahan di tempat penahanan atau dibiarkan saja tanpa status formal.

    Israel rampungkan persiapan pemindahan warga Gaza

    Israel dilaporkan sudah merampungkan persiapan untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza.

    Menurut pemberitaan media Israel Hayom, sudah ada negara-negara yang bersedia menerima warga Gaza.

    Dalam beberapa minggu terakhir, Menteri Pertahanan Israel Katz sudah menetapkan mekanisme yang memungkinkan 2.500 warga Gaza pergi dari Gaza setiap hari.

    Adapun saat ini ada lebih dari dua juta warga Palestina yang menetap di Gaza.

    Menurut narasumber yang didapatkan media Israel itu, ada satu negara yang sudah tertarik menerima pekerja bangunan dari Gaza. Meski demikian, adanya kontroversi membuat perkembangan hal itu mandek.

    Pemindahan warga Gaza bisa dilakukan melalui jalur laut, yakni melalui Pelabuhan Ashdod di Israel.

    Sementara itu, pemindahan lewat udara bisa dilakukan melalui Pelabuhan Ramon di Eilat.

    Rute udara ini disebut sudah dioperasikan selama beberapa bulan untuk mengangkut korban luka. Sudah ada sekitar 1.500 warga Palestina yang keluar dari Gaza untuk pergi ke negara lain.

    Adapun jalur lainnya ialah melalui perlintasan Rafah. Dilaporkan sudah ada sekitar 35.000 warga Gaza yang pergi ke Mesir pada awal perang Gaza. Beberapa di antara mereka pergi lagi dari Mesir ke negara lain.

    Media itu mengklaim Israel tertarik untuk mengizinkan sebanyak mungkin warga Palestina untuk meninggalkan Gaza.

    (*)

  • Pasukan Keamanan Suriah Melanggar Gencatan Senjata dengan Lebanon – Halaman all

    Hizbullah Dituding Menculik 3 Orang, Pasukan Suriah dan Tentara Lebanon Bentrok 3 Jam di Perbatasan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pasukan Suriah yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) terlibat bentrok tentara Lebanon di perbatasan kedua negara itu.

    Bentrokan hari Minggu, (16/3/2025), itu terjadi setelah pasukan Suriah melepaskan tembakan artileri dan meluncurkan roket ke kota-kota perbatasan di Lebanon. Tentara Lebanon lalu membalas serangan itu.

    Al Mayadeen melaporkan Lembah Bekaa di Lebanon terus dihujani serangan selama tiga jam dengan roket dan artileri dari wilayah Suriah.

    Pasukan Suriah juga disebut meluncurkan drone atau pesawat nirawak ke Lebanon.

    Beberapa roket yang ditembakkan dari area pedesaan di Qusayr dilaporkan menghantam Kota Qasr di perbatasan Lebanon.

    Dilaporkan ada korban tewas di pihak Lebanon, termasuk seorang anak. Sementara itu, Al Jazeera menyebut ada delapan anggota Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Suriah yang tewas dalam bentrokan tersebut.

    Pertempuran dimulai beberapa jam setelah ada tiga pejuang HTS yang ditemukan tewas di wilayah Lebanon.

    Ketiganya diserahkan kepada pihak Suriah oleh Angkatan Bersenjata Lebanoan dan organisasi Sabit Merah.

    Kantor Kemenhan Suriah mengatakan “milisi Hizbullah” menculik tiga pejuang itu di perbatasan. Ketiganya lalu dibawa ke perbatasan Lebanon dan dibunuh di sana.

    Adapun laporan lainnya menyebut ketiganya sudah berada di Lebanon dalam keadaan meninggal.

    Sementara itu, surat kabar Lebanon bernama Annahar mengatakan hari ini ada dua pemuda Lebaon yang ditemukan meninggal di area Matraba di dekat perbatasan.

    Mereka dilaporkan diculik dari rumah mereka di Lebanon oleh aparat keamanan Suriah lalu dibunuh.

    Otoritas Suriah mengatakan pihaknya kini melawan Hizbullah di Lebanon. Di sisi lain, Hizbullah melalui pernyataannya sudah membantah bahwa mereka terlibat dalam insiden terbaru itu.

    “Desa dan kota Lebanon di daerah itu menjadi target tembakan dari wilayah Suriah. Satuan militer membalas ke sumber tembakan itu dengan senjata yang sesuai, menguatkan pengerahannya, dan menjaga keamanan,” kata Angkatan Bersenjata Lebanon.

    “Kontak di antara komando tentara dan otoritas Suriah dilanjutkan guna menjaga keamanan dan stabilitas di area perbatasan.”

    Pasukan Suriah dilaporkan sudah mengirim bala bantuan ke perbatasan Lebanon.

    Bentrokan terbaru ini terjadi sebulan setelah bentrokan besar antara pasukan Suriah dan suku-suku Lebanon.

    Saat itu pasukan Suriah mengerahkan pasukan untuk membangun titik pemeriksaan yang disebut bertujuan untuk mencegah penyelundupan.

    Setelah ada kesepakatan dengan Angkatan Bersenjata Lebanon, suku-suku itu menarik diri dari perbatasan dan bentrokan selesai.

    (*)

  • Konferensi untuk Suriah, Jerman Janjikan Bantuan 300 Juta Euro

    Konferensi untuk Suriah, Jerman Janjikan Bantuan 300 Juta Euro

    Jakarta

    Para menteri dan perwakilan dari mitra Barat, serta negara-negara tetangga Suriah, negara-negara Arab lainnya, dan badan-badan PBB ambil bagian dalam pertemuan satu hari di Brussels, Belgia. Pertemuan ini diketuai oleh kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Kaja Kallas.

    Untuk pertama kalinya, Suriah akan menghadiri konferensi kali ini. Sebelumnya ada pertemuan-pertemuan sejenis, namun tanpa kehadiran Suriah. Dalam pertemuan kali ini, Suriah diwakili oleh Menteri Luar Negeri Asaad Hassan al-Shibani.

    Pertemuan darurat

    Konferensi di Brussels diselenggarakan secara tergesa-gesa oleh Uni Eropa untuk mencoba memanfaatkan perubahan yang melanda negara tersebut.

    Pertemuan ini terjadi di saat yang genting. Para pemimpin baru Suriah tengah berupaya mengonsolidasikan kendali atas wilayah yang secara de facto terbagi menjadi negara-negara mini selama hampir 14 tahun perang saudara dan membangun kembali ekonomi dan infrastruktur negara itu.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2017 memperkirakan untuk membangun kembali Suriah, dibutuhkan dana setidaknya USD250 miliar, sementara para ahli mengatakan jumlah itu dapat mencapai setidaknya USD400 miliar.

    Prospek pemulihan ekonomi telah terhambat akibat sanksi keras Barat yang diberlakukan selama pemerintahan Assad dan sebagian besar belum dicabut.

    Pemerintahan sementara kemungkinan akan mengandalkan konferensi Brussels untuk memperkuat legitimasinya di mata masyarakat internasional dengan harapan sanksi akan dicabut, sembari juga berupaya mendapatkan bantuan jangka pendek.

    Jerman janjikan bantuan

    Jerman menjanjikan bantuan tambahan sebesar 300 juta euro untuk warga Suriah melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah organisasi tertentu, kata Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, menjelang konferensi itu. Lebih dari separuh dana yang diberikan akan bermanfaat bagi warga Suriah, kata Baerbock.

    Pendanaan tersebut akan digunakan untuk menyediakan makanan, layanan kesehatan, dan tempat penampungan darurat, serta tindakan perlindungan bagi mereka yang sangat rentan.

    Baerbock mengulangi perlunya proses politik yang inklusif untuk memastikan masa depan yang damai bagi Suriah. “Sebagai orang Eropa, kita bersatu untuk rakyat Suriah, untuk Suriah yang bebas dan damai,” ujarnya.

    Ia juga meminta pemerintah transisi untuk menyelidiki pembunuhan ratusan warga sipil di desa-desa Alawite dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

    Masih terjadi konflik

    Minggu lalu, penyergapan terhadap patroli keamanan Suriah oleh orang-orang bersenjata yang setia kepada Assad memicu bentrokan.

    Beberapa faksi yang bersekutu dengan pemerintah baru melancarkan serangan balas dendam sektarian — terutama menargetkan anggota sekte minoritas Alawite Assad — yang menurut kelompok pemantau telah menewaskan ratusan warga sipil selama beberapa hari.

    Dalam sebuah pernyataan, Uni Eropa menyerukan “penghormatan penuh terhadap kedaulatan, persatuan, dan integritas teritorial Suriah,” dengan mengatakan bahwa mereka hanya akan mendukung “transisi yang damai dan inklusif, jauh dari campur tangan asing yang jahat, yang menjamin hak-hak semua warga Suriah tanpa pembedaan dalam bentuk apa pun.”

    Pelonggaran sanksi

    Suriah juga masuk dalam agenda pertemuan menteri luar negeri Uni Eropa yang akan dipimpin secara terpisah oleh Kallas pada hari Senin (17/03). Blok yang beranggotakan 27 negara itu telah mulai melonggarkan sanksi sektor energi, transportasi, dan keuangan untuk mendorong otoritas baru, tetapi tetap waspada.

    Para penguasa sementara negara tersebut telah berjuang untuk menggunakan kekuasaan mereka di sebagian besar wilayah Suriah sejak kelompok pemberontak Islam, Hayat Tahrir al-Sham, atau HTS, memimpin pemberontakan kilat terhadap Assad.

    Mantan pemimpin HTS Ahmad al-Sharaa kini menjadi presiden sementara, dan pada hari Kamis(13/3) ia menandatangani konstitusi sementara yang membiarkan Suriah di bawah kekuasaan islamis selama lima tahun selama fase transisi.

    Sementara banyak yang senang melihat berakhirnya kekuasaan diktator keluarga Assad selama lebih dari 50 tahun, kelompok minoritas agama dan etnis bersikap skeptis terhadap para pemimpin islamis yang baru dan enggan membiarkan Damaskus di bawah kepemimpinan barunya untuk menegaskan kendali atas wilayah mereka.

    Uni Eropa dapat memberlakukan kembali sanksi jika keadaan tidak berjalan sesuai keinginan para pendukung Barat. Pada saat yang bersamaan, ekonomi, infrastruktur, dan lembaga-lembaga Suriah berada dalam kondisi yang buruk. Sebagai negara yang porak-poranda, negara ini dapat menjadi “surga” bagi para ekstremis.

    Kebutuhan ekonomi dan kemanusiaan

    Orang-orang harus bertahan hidup hanya dengan beberapa jam listrik setiap hari, pasokan air tidak dapat diandalkan dan sering kali tidak aman, pengangguran mencapai 80% atau 90%, dan kerusakan meluas.

    Banyak pegawai pemerintah dan pakar yang dibutuhkan untuk membangun kembali mengungsi setelah gerakan demokrasi Musim Semi Arab 2011 runtuh menjadi konflik dan pemerintahan otoriter di bawah Assad.

    Badan pengungsi PBB mengatakan bahwa tahun lalu sekitar 7 juta orang telah meninggalkan rumah mereka tetapi tetap tinggal di Suriah. Lebih dari 4,7 juta pengungsi terdaftar di negara-negara tetangga, sebagian besar di Turki, Lebanon, dan Yordania. Namun, sejak jatuhnya Assad, hampir 302.000 orang telah kembali.

    Meskipun ada tantangan, kepala kemanusiaan PBB Tom Fletcher, yang akan menghadiri konferensi tersebut, tetap optimistis. “Sekarang lebih mudah bagi kami untuk beroperasi di Suriah dan di seluruh Suriah daripada di bawah rezim Assad,” ujar Fletcher kepada wartawan minggu lalu.

    “Saya telah melakukan percakapan yang sangat baik dengan otoritas sementara,” katanya, seraya mencatat bahwa al-Shibani khususnya telah membantu menjaga agar penyeberangan perbatasan tetap terbuka.

    Meskipun tujuan konferensi hari Senin ini adalah untuk menghasilkan janji bantuan, konferensi ini juga difokuskan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi Suriah, dan itu membutuhkan ketenangan. Infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan harus ditingkatkan. Pekerjaan dan program uang tunai untuk pekerjaan diperlukan agar warga Suriah dapat mulai mencari nafkah.

    ap/hp (rtr,afp,ap)

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu