Negara: Sudan

  • Mendag: Transaksi JMFW 2026 per 9 November capai 19,51 juta dolar AS

    Mendag: Transaksi JMFW 2026 per 9 November capai 19,51 juta dolar AS

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan transaksi Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW) 2026 hingga Minggu 9 November pukul 14:48 WIB mencapai 19,51 juta dolar AS.

    “Transaksi sampai tanggal 9 November, total transaksi tercatat sebesar 19,51 juta dolar AS,” ujar Budi Santoso dalam seremoni penutupan JMFW 2026 di Jakarta, Minggu.

    Total transaksi tersebut melampaui target yang ditetapkan sebesar 10 juta dolar AS.

    Kemudian, kata Budi Santoso, hingga 9 November pukul 14:48 WIB jumlah pengunjung JMFW 2026 mencapai 11.459 pengunjung. Jumlah exhibitor JMFW 2026 tercatat sebanyak 242.

    Selain itu, JMFW 2026 juga banyak dihadiri pembeli (buyer) dari luar negeri yakni Malaysia, Perancis, Italia, Singapura, Uni Emirat Arab, Jepang dan Sudan.

    “Capaian JMFW kali ini cukup bagus,” kata Budi Santoso.

    Kementerian Perdagangan kembali menggelar Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW) 2026 yang ditargetkan dapat mencetak nilai transaksi sebesar 10 juta dolar AS.

    Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Fajarini Puntodewi mengatakan, JMFW tahun lalu mencatatkan nilai transaksi sebesar 20,4 juta dolar AS, melampaui target yang ditetapkan sebesar 3 juta dolar AS.

    Menteri Perdagangan Budi Santoso meyakini Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW) 2026 yang digelar pada 6-9 November 2025 dapat menggerakkan ekosistem fesyen domestik.

    JMFW 2026 merupakan penyelenggaraan yang kelima kalinya sejak dimulai pada 2021.

    Untuk tahun ini, JMFW mengusung tema “Essential Lab”, yakni sebuah konsep laboratorium yang dipenuhi ide kreatif dan inovatif untuk menjadi acuan tren fesyen Muslim tahun depan.

    Pelaksanaan JMFW tahun ini diawali dengan pre-event seperti seminar, co-branding, dan fasilitasi pitching antara pelaku industri fesyen Muslim dengan pembeli internasional.

    Dengan begitu, diharapkan sudah ada pembeli dari luar negeri yang siap melakukan business matching dengan pelaku usaha pada saat puncak acara nantinya.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ngerinya Pembantaian oleh Milisi RSF Tewaskan 2.000 Orang di El Fasher Sudan

    Ngerinya Pembantaian oleh Milisi RSF Tewaskan 2.000 Orang di El Fasher Sudan

    Jakarta

    Sejumlah pria tertawa lepas saat mobil pikap yang mereka tumpangi melaju kencang melewati deretan sembilan mayat yang terbaring di jalanan Sudan.

    “Lihat semua ini. Lihat genosida ini,” teriak salah satu dari mereka sambil tertawa.

    Ia mengarahkan kamera ke wajahnya dan rekan-rekannya. Lambang Rapid Support Forces (RSF) tampak jelas tersemat di pakaian mereka.

    “Mereka semua akan mati seperti ini,” ujarnya sembari menenteng senjata api.

    Para pria itu sedang merayakan pembantaian yang, menurut pejabat lembaga kemanusiaan, dikhawatirkan telah menewaskan lebih dari 2.000 orang di Kota el-Fasher, Sudan, bulan lalu.

    Pada Senin (03/11) lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengumumkan penyelidikan bahwa pasukan paramiliter tersebut diduga telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

    El-Fasher menjadi target utama RSF.

    Selama dua tahun terakhir, konflik tersebut menelan lebih dari 150.000 korban jiwa.

    Kedua pihak sama-sama dituduh melakukan berbagai kejahatan perang. Aksi tersebut banyak yang kembali terulang setelah el-Fasher jatuh.

    Sebuah kota yang terputus dari dunia

    Setelah mengepung kota itu selama hampir dua tahun, RSF bergerak untuk memperkuat posisinya dan memblokade populasi sipil yang tersisa sejak Agustus lalu.

    Citra satelit menunjukkan bahwa tentara pemerintah mulai membangun benteng besar dari gundukan pasir yang ditinggikan di sekeliling el-Fasher, menutup jalur akses dan menghalangi bantuan.

    Pada awal Oktober, cincin itu sepenuhnya telah mengelilingi kota. Penghalang yang lebih kecil melingkari desa di sekitarnya.

    BBCCitra satelit yang diberi penanda untuk menunjukkan gundukan pasir yang mengelilingi el-Fasher.

    Ketika pengepungan semakin intensif, 78 orang tewas dalam serangan RSF terhadap sebuah masjid pada 19 September.

    PBB menyatakan 53 orang tewas dalam serangan drone dan artileri terhadap kamp pengungsian, sebulan setelahnya.

    Video yang dibagikan kepada BBC Verify juga menunjukkan bahwa RSF berupaya memberlakukan blokade terhadap makanan dan kebutuhan sehari-hari.

    Pada Oktober, rekaman memperlihatkan seorang pria dengan tangan dan kaki terikat di belakang tubuhnya, tergantung terbalik dari pohon dengan rantai logam.

    Perekam video menuding pria tergantung itu telah mencoba menyeludupkan pasokan ke dalam kota yang terkepung.

    “Saya bersumpah demi Tuhan kau akan membayar ini,” teriaknya, sebelum memerintahkan tawanan itu untuk memohon agar nyawanya diselamatkan.

    Sementara itu, RSF merangsek ke dalam kota. Pertempuran sengit kemudian berlangsung.

    Baca juga:

    Menjelang matahari terbit pada 26 Oktober RSF berhasil menguasai posisi terakhir militer pemerintah dan merebut markas Divisi Infanteri ke-6.

    Rekaman video memperlihatkan para prajurit yang terbahak saat memasuki markas yang ditinggalkan itu, sembari membawa granat berpeluncur roket.

    Pada hari yang sama, komandan RSF, Abdul Rahim Dagalo saudara kandung pemimpin RSF, Mohammad “Hemedti” Dagalo terlihat memeriksa pangkalan tersebut.

    RSF dibentuk dari milisi Janjaweed yang membunuh ratusan ribu orang di Darfur antara 20032005. Kelompok itu telah lama dituduh melakukan kekejaman terhadap kelompok non-Arab di seluruh Sudan.

    Rekaman yang diunggah ke internet menunjukkan bahwa para personel paramiliter RSF bermaksud melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil di el-Fasher.

    Sebelum RSF merebut el-Fasher, sangat sedikit informasi yang muncul dari kota tersebut selama berbulan-bulan.

    Namun, dalam hitungan jam setelah militer pemerintah mundur, rekaman kekejaman yang dilakukan RSF bermunculan dan menyebar di internet.

    Salah satu rekaman video paling mengerikan yang muncul dan dianalisis oleh BBC Verify menayangkan dampak pembantaian di sebuah gedung universitas di sisi barat kota. Puluhan mayat terlihat terbaring di lantai universitas.

    Seorang pria tua mengenakan jubah putih duduk sendirian di antara mayat-mayat itu. Ia menoleh ketika seorang pria bersenjata berjalan ke arahnya.

    Sambil mengangkat senjatanya, pria bersenjata itu melepaskan satu tembakan ke arah pria tua tersebut yang seketika jatuh ke lantai.

    Rekan-rekannya, seperti tak terusik dengan tindakan itu. Mereka melayangkan pandang ke arah pria lain yang kakinya bergerak di antara tumpukan mayat.

    “Mengapa yang satu ini masih hidup?” teriak salah satu pria bersenjata, seraya menambahkan, “Tembak dia!”

    BBC

    Citra satelit yang diambil pada 26 Oktober mengonfirmasi bahwa eksekusi juga dilakukan di jalan-jalan Kota el-Fasher, demikian laporan terbaru yang diterbitkan Yale Humanitarian Research Lab.

    Para analis lembaga itu menyoroti “kelompok-kelompok besar” yang terlihat dalam citra itu. Gambar-gambar tersebut, menurut mereka, “sesuai dengan ukuran tubuh manusia dewasa dan tidak muncul dalam citra sebelumnya”.

    Laporan itu juga menunjukkan adanya “perubahan warna” yang mungkin merupakan bekas darah manusia.

    Seorang saksi mata yang berbicara kepada BBC mengisahkan bahwa ia menyaksikan “banyak kerabat kami dibantai. Mereka dikumpulkan di satu tempat dan semuanya dibunuh.”

    Saksi lain mengklaim melihat seorang perempuan dibunuh RSF dengan cara “menembaknya di dada sebelum melemparkan tubuhnya ke samping setelah mengambil semua barang miliknya.”

    Baca juga:

    Ketika pasukan utama RSF mengamuk di el-Fasher, sekelompok personel bersenjata lain tetap berada di pinggiran kota. Mereka melakukan eksekusi brutal terhadap sejumlah tawanan tak bersenjata.

    Sebagian besar kekerasan ini berlangsung di radius sekitar delapan kilometer dari el-Fasher.

    Sebuah rekaman video yang diverifikasi menunjukkan puluhan mayat berpakaian sipil beberapa di antara mereka tampak seperti perempuan. Mereka tampak terbaring di parit di sepanjang tepi gundukan pasir yang dibangun RSF.

    Rekaman video lain menampilkan pemandangan kehancuran dengan latar api berkobar dan sisa-sisa truk yang hangus berserakan.

    Video dari lokasi itu juga memperlihatkan mayat-mayat berserakan di antara kendaraan.

    BBC

    Salah satu tokoh kunci dalam kekerasan ini sebelumnya diidentifikasi oleh BBC Verify sebagai komandan RSF. Dia dikenal secara online dengan nama Abu Lulu.

    Ia terlihat mengeksekusi tawanan tak bersenjata dalam dua video. Seorang saksi mata mengatakan kepada BBC bahwa ia “memerintahkan anak buahnya untuk membunuh beberapa orang tak bersalah, termasuk anak-anak.”

    Satu rekaman video memperlihatkan seorang prajurit RSF berusaha mencegah saat Abu Lulu bersiap mengeksekusi seorang pria yang terluka, sementara tawanan itu memohon: “Saya mengenalmu. Saya memanggilmu beberapa hari yang lalu.”

    Abu Lulu menepis permohonan itu dengan ayunan tangannya, sembari berkata: “Saya tidak akan pernah punya belas kasihan. Tugas kami hanya membunuh.”

    Dia lantas melepaskan rentetan peluru yang menembus tubuh pria tak bersenjata itu.

    BBC

    Video lain memperlihatkan ia membunuh sembilan tawanan tak bersenjata.

    Rekaman yang muncul beberapa hari kemudian memperlihatkan mayat-mayat itu dibiarkan di tempat mereka jatuh. Jasad-jasad itu masih dalam posisi berbaris seperti saat dieksekusi, tergeletak di tanah berdebu Darfur.

    Banyak dari mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu mengenakan lambang RSF, termasuk kelompok yang kemudian merayakan pembantaian itu sebagai “genosida.”

    Pemimpin RSF berupaya memoles citra

    Beberapa hari setelah pembantaian, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo selaku pemimpin RSF mengakui bahwa pasukannya telah melakukan “pelanggaran” dan mengatakan insiden itu akan diselidiki.

    Seorang pejabat senior PBB pada pekan lalu mengatakan bahwa RSF telah memberi tahu bahwa mereka menangkap beberapa tersangka di dalam barisan sendiri.

    Di antara mereka yang ditahan adalah Abu Lulu, setelah BBC Verify menerbitkan laporan yang mendokumentasikan aksi pembunuhannya.

    Rekaman yang disunting dengan hati-hati dan diposting di akun Telegram resmi RSF memperlihatkan ia dibawa ke dalam sel di penjara di pinggiran el-Fasher.

    Analis Yale juga menuduh RSF “melakukan pembersihan atas dugaan kejahatan massal mereka”.

    Sebuah laporan yang diterbitkan pada 4 November mencatat bahwa citra satelit menunjukkan pengangkatan “objek-objek yang identik dengan tubuh manusia dari sebuah lokasi di sisi utara gundukan RSF”. Citra satelit juga mengidentifikasi kuburan di dekat rumah sakit anak-anak di el-Fasher.

    Pada 30 Oktober, BBC Verify mengukur objek putih yang terlihat di halaman rumah sakit antara 1,6 meter dan 2 meter panjangnya.

    BBC

    Objek itu serupa dengan tinggi manusia dewasa, persis seukuran tubuh yang dibungkus kain kafan yang jamak terlihat di Sudan.

    Sementara itu, RSF dan akun media sosial yang berafiliasi mulai berupaya membentuk ulang narasi.

    Beragam unggahan di media sosial memperlihatkan para personel RSF membagikan bantuan kepada warga sipil disebarluaskan oleh sejumlah pengguna.

    Sementara kantor media paramiliter itu membagikan beberapa rekaman video yang disebut memperlihatkan perlakuan manusiawi terhadap tawanan perang dari pihak militer.

    Meski kampanye media sosial itu digencarkan oleh RSF, tindakan mereka di el-Fasher sejatinya telah memicu kemarahan global.

    BBC Verify menghubungi RSF dan menawarkan kesempatan untuk menanggapi tuduhan yang terdapat dalam penyelidikan ini, tapi kelompok itu tidak memberikan tanggapan.

    Laporan tambahan oleh Kevin Nguyen, Kumar Malhotra, Richard Irvine-Brown, Daniele Palumbo, Alex Murray, Barbara Metzler, Lamees Altalebi, dan Ahmed Nour. Grafis oleh Jess Carr dan Mesut Ersoz.

    Lihat juga Video ‘UEA Dituding Menjadi Dalang Serangan Drone di Port Sudan’:

    (haf/haf)

  • Perang Sudan, Milisi RSF Terima Tawaran Gencatan Senjata

    Perang Sudan, Milisi RSF Terima Tawaran Gencatan Senjata

    Jakarta

    Pasukan Dukungan Cepat atau RSF, Kamis (6/11) kemarin, menyatakan menerima usulan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan yang dimediasi kelompok “Quad” pimpinan Amerika Serikat. Kelompok paramiliter yang dituduh membantai warga sipil di Darfur itu sudah lebih dari dua tahun berperang melawan militer Sudan.

    Gencatan senjata disepakati lebih dari sepekan setelah RSF merebut kota El-Fasher, yang sebelumnya dikepung selama 18 bulan. Kota yang usai pengungsian massal berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa itu merupakan benteng terakhir militer Sudan di Darfur.

    “RSF menantikan pelaksanaan kesepakatan ini dan segera memulai pembahasan tentang penghentian aksi permusuhan serta prinsip-prinsip dasar proses politik di Sudan, demi mengatasi akar konflik dan mengakhiri penderitaan rakyat Sudan,” demikian pernyataan resmi RSF.

    Seorang pejabat militer Sudan mengatakan kepada Associated Press bahwa pihaknya menyambut baik usulan Quad, namun baru akan menyetujui gencatan senjata bila RSF menarik diri sepenuhnya dari area sipil dan menyerahkan senjata, sesuai perjanjian damai sebelumnya.

    Jutaan warga hadapi kelaparan dan pengungsian

    Perang antara RSF dan militer Sudan pecah pada 2023. Ketegangan itu bermula dari perselisihan dua sekutu lama yang semestinya mengawal transisi demokrasi usai pemberontakan 2019.

    Pertempuran sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 40 ribu orang dan membuat 12 juta lainnya mengungsi, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, lembaga kemanusiaan memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. Sekitar 24 juta jiwa kini mengalami krisis pangan akut, lapor Program Pangan Dunia (WFP).

    Massad Boulos, penasihat urusan Afrika dari pemerintah AS, mengatakan Washington tengah bekerja sama dengan kedua pihak untuk mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan. “Kami telah berupaya hampir sepuluh hari terakhir untuk memfinalisasi rincian kesepakatan ini,” katanya. Rencana yang dipimpin AS itu mencakup gencatan senjata selama tiga bulan, dilanjutkan proses politik sembilan bulan.

    Kerja sama kuartet: AS, Saudi, Mesir, dan UEA

    “Kami mendesak kedua pihak agar segera merespons upaya AS dalam mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan, mengingat urgensi menurunkan eskalasi dan mengakhiri penderitaan rakyat Sudan,” demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS.

    Kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, menjadi salah satu dari dua wilayah yang dilanda kelaparan parah, menurut laporan lembaga pemantau pangan global Integrated Food Security Phase Classification (IPC). Wilayah lainnya adalah Kadugli di provinsi Kordofan Selatan.

    “Penyebab utama kelaparan ini bukan bencana alam, melainkan buatan manusia,” ujar Abdul Hakim Elwaer, perwakilan regional FAO untuk Timur Dekat dan Afrika Utara. “Konflik yang terus berlangsung, ketidakamanan, dan terhambatnya jalur bantuan membuat jutaan orang tidak bisa mendapatkan makanan.”

    Bantuan kemanusiaan terhambat

    Elwaer menambahkan, selama hampir dua tahun, pembicaraan soal pembukaan koridor kemanusiaan aman belum membuahkan hasil. “Saya optimistis pada akhir tahun ini kita bisa menemukan solusi. Kita tak bisa membiarkan jutaan orang mati kelaparan hanya karena bantuan tidak sampai,” ujarnya.

    Organisasi Islamic Relief memperingatkan dapur umum yang menjadi tumpuan banyak keluarga kini terancam tutup. Survei terbaru lembaga itu menemukan 83 persen keluarga di Sudan timur dan barat kekurangan makanan.

    Sudan sejak lama digolongkan sebagai salah satu negara dengan krisis pengungsian paling parah di dunia. Setelah RSF merebut El-Fasher, gelombang pengungsi kembali melonjak. Banyak warga menempuh perjalanan ratusan kilometer menuju kamp Al-Affad di kota Al-Dabbah, Negara Bagian Utara, sekitar 350 kilometer dari ibu kota Khartoum.

    Pelarian dari El-Fasher

    Kepada kantor berita AP, sejumlah pengungsi menuturkan kesaksian mengerikan selama pelarian. Othman Mohamed, seorang guru, mengatakan ia melihat jasad bergelimpangan di sepanjang jalan saat melarikan diri pada akhir September. Banyak yang tumbang karena kelelahan dan kekerasan.

    Ia menggambarkan kehidupan di El-Fasher di tengah serangan drone dan artileri. “Makanan hampir tak ada. Kami hidup dari ombaz — sisa hasil perasan minyak kacang tanah — sampai itu pun sulit diperoleh,” ujarnya.

    Rawda Mohamed, yang berjalan berjam-jam menuju kamp Al-Affad, menambahkan, “Di El-Fasher tak ada selain pemukulan dan pembunuhan oleh drone yang tak terlihat tapi mematikan.”

    Menurut Mathilde Vu dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), warga di El-Fasher bertahan hidup dengan pakan ternak dan air hujan. Mereka berlindung di lubang yang mereka gali sendiri. Banyak yang diserang saat mencoba melarikan diri.

    “Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari, dengan rasa haus, lapar, dan kekerasan ekstrem. Beberapa akhirnya diangkut truk untuk sisa perjalanan terakhir. Ratusan harus segera dirawat. Banyak yang terlalu lemah bahkan untuk berbicara,” katanya.

    *Editor: Yuniman Farid


    (ita/ita)

  • Bisakah Kekuatan Asing Hentikan Konflik di Sudan?

    Bisakah Kekuatan Asing Hentikan Konflik di Sudan?

    Jakarta

    Tanpa dukungan eksternal, tidak ada satu pun pihak di Sudan mampu memperpanjang perang saudara yang tengah berlangsung.

    Konflik ini telah menjadikan negara tersebut sebagai lokasi salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Belakangan, terjadi pembunuhan massal serta kekejaman terhadap warga sipil Sudan di ibu kota regional Darfur, El-Fasher.

    Perang pertama kali meletus pada April 2023 ketika milisi lokal, yaitu pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan militer Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF), berselisih mengenai integrasi RSF ke dalam militer reguler.

    Akibat berlanjutnya pertempuran di Darfur, angka korban hanya bisa diperkirakan, tapi organisasi bantuan dan PBB memperkirakannya di atas 140.000 orang. Sekitar setengah dari 51 juta penduduk Sudan bergantung pada bantuan kemanusiaan. Kelaparan dan penyakit menyebar luas dan sebagian besar infrastruktur serta lahan pertanian negara itu telah rusak.

    Para pengamat mengatakan pemerintah Sudan yang diakui secara internasional di bawah jenderal Abdel-Fattah al-Burhan, yang juga memimpin SAF, mendapat dukungan dari Mesir, Turki, Rusia, dan Iran. Sementara, Mesir dan Arab Saudi membantah memberikan dukungan senjata kepada kelompok apa pun di Sudan. RSF dituding mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), tapi kemudian dibantah oleh UEA.

    “Hasil penelitian menunjukkan bahwa RSF memiliki sejumlah pemasok senjata dan bahan bakar selama perang, tetapi penyedia utama tetap UEA,” kata Hager Ali, peneliti di lembaga kajian German Institute for Global and Area Studies (GIGA), kepada DW.

    Agenda kontroversial UEA di Sudan

    UEA berkali-kali membantah mendukung RSF. Mereka menyebut tuduhan tersebut sebagai kampanye media oleh SAF dan menuntut permintaan maaf.

    Namun, PBB dan organisasi hak asasi manusia sering menemukan bukti pasokan militer dari UEA. Analis independen secara rutin menyimpulkan bahwa senjata dan amunisi yang digunakan RSF berasal dari UEA.

    “Materi tersebut mencakup drone buatan Cina yang canggih berikut senjata ringan, mesin berat, kendaraan, artileri, mortir dan amunisi,” ujar sumber dari US Defense Intelligence Agency dan biro intelijen Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) kepada The Wall Street Journal.

    Pada Januari, ketika pemerintahan AS dipimpin Presiden Joe Biden, Paman Sam menjatuhkan sanksi kepada kedua pihak. Waktu itu, Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi terhadap tujuh perusahaan dari UEA dan menuduh mereka menyediakan senjata, pendanaan dan dukungan lain kepada RSF.

    Lebih jauh, laporan PBB Januari 2024 menyatakan bahwa milisi yang berpihak kepada Jenderal Libya Khalifa Haftar menggunakan jaringan penyelundupan yang sudah ada untuk memasok RSF dengan bahan bakar, kendaraan, dan amunisi.

    “Kami tahu bahwa UEA telah menyelundupkan senjata langsung melintasi perbatasan Libya ke Sudan, tetapi juga via Chad dan Uganda,” kata Ali.

    “Sebagai imbalannya, UEA, sebagai importir emas Sudan terbesar secara tradisional, memiliki kepentingan besar untuk menjaga aksesnya ke emas Sudan.”

    Bagi RSF, sumber daya emas Sudan yang kaya, yang sebagian besar berada di wilayah kekuasaannya, telah menjadi mata uang utama untuk membeli senjata dan menghindari sanksi.

    “Aman untuk diasumsikan bahwa senjata yang sekarang digunakan di Sudan bukan hanya dari sedikit penyedia tetapi senjata yang telah diselundupkan ke seluruh Sahel,” lanjut Ali, sambil menambahkan bahwa pengiriman senjata di medan perang sering dilakukan oleh Africa Corps, divisi Afrika dari kelompok mercenary (militer bayaran) Rusia Wagner yang telah berganti nama.

    Kepentingan lain di Sudan

    Mesir telah menjadi pendukung utama SAF dan mengakui pemerintahan Burhan sebagai pemerintahan resmi Sudan. Menurut tinjauan dari Institute of War, lembaga kajian independen, Mesir juga telah melatih pilot SAF dan menyediakan drone, kemudian hal ini dibantah Kairo.

    Mesir bertujuan menjaga konflik tetap di sisi Sudan dan berharap bisa mengembalikan jutaan pengungsi Sudan.

    Pendukung lain SAF adalah Iran, yang juga telah menyediakan drone. Teheran berharap mengamankan pangkalan angkatan laut di Laut Merah yang akan membantunya terus mendukung milisi Houthi di Yaman. Sudan diketahui telah menjadi pusat logistik bagi Houthi. Turki juga telah menyediakan drone dan misil untuk SAF. Kepentingan Ankara di sini adalah mengamankan aksesnya ke Laut Merah.

    Meski keterlibatan Rusia melalui Africa Corps atas nama RSF ada, Rusia memainkan peran yang relatif kecil di Sudan, menurut Achim Vogt, Direktur Friedrich Ebert Stiftung untuk wilayah Uganda dan Sudan.

    Bisakah ‘inisiatif Quad’ membantu?

    Menurut Vogt, keempat negara yang membentuk apa yang disebut “inisiatif Quad”, yakni AS, Mesir, Arab Saudi dan UEA, akan jadi negara yang bisa memberi pengaruh nyata di Sudan meskipun mereka punya aliansi berbeda dengan kedua pihak. Sasaran inisiatif ini adalah membuat peta jalan untuk mengakhiri perang atau setidaknya gencatan senjata kemanusiaan.

    Vogt mengatakan jika keempat negara ini bersatu, mungkin dengan dukungan negara Eropa, mereka bisa membawa kembali hukum humaniter internasional, mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia dan memperbaiki situasi kemanusiaan bagi warga sipil.

    Namun, pada 26 Oktober 2025, pembicaraan Quad di Washington yang ditujukan untuk membawa pihak yang bertikai bersama-sama menyepakati gencatan senjata tiga bulan, berakhir tanpa hasil. Pada hari yang sama, RSF merebut kontrol atas ElFasher dan meningkatkan pembunuhan massal serta kekejaman lainnya.

    “Mereka punya kepentingan ekonomi terkait ekspor emas dan pelabuhan Port Sudan, tetapi mereka sudah cukup jelas menyatakan bahwa mereka tidak tertarik ikut campur dalam apa yang mereka sebut konflik internal,” katanya.

    Bagi Laetitia Bader, Direktur Horn of Africa di Human Rights Watch, skala dan beratnya pelanggaran terbaru di dan sekitar El-Fasher sekarang memerlukan adanya “konsekuensi bagi pimpinan RSF dan para pendukungnya, khususnya Uni Emirat Arab, yang terus menyediakan dukungan… meskipun ada bukti jelas atas kejahatan,” ujarnya kepada DW.

    “Kami ingin melihat Dewan Keamanan PBB segera bergerak dengan sanksi terhadap pimpinan RSF,” kata Bader.

    “Kami menyerukan agar komunitas internasional memastikan ada akuntabilitas politik dan pidana.”

    Pada hari Jumat (31/10), menghadapi kemarahan internasional atas pembantaian dan kejahatan lainnya, RSF menangkap beberapa anggotanya sendiri. Namun, pengamat mengatakan kekejaman terus berlangsung.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara

    Editor: Muhammad Hanafi dan Melisa Lolindu


    (ita/ita)

  • Legislator dorong RI aktif dalam upaya mediasi perdamaian di Sudan

    Legislator dorong RI aktif dalam upaya mediasi perdamaian di Sudan

    “Peran aktif Indonesia akan sangat berarti dalam mendorong gencatan senjata dan pembentukan dialog yang adil,”

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta mendorong pemerintah Indonesia untuk aktif dalam upaya mediasi perdamaian konflik di Sudan,

    Sukamta menyampaikan hal itu menyusul usulan pemerintah Sudan melibatkan Turki dan Qatar sebagai mediator tambahan dalam negosiasi damai antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

    “Peran aktif Indonesia akan sangat berarti dalam mendorong gencatan senjata dan pembentukan dialog yang adil,” kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis.

    Pernyataan tersebut juga sekaligus merespons keterangan Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali di Jakarta, Rabu (5/11), yang menyampaikan bahwa Sudan menginginkan mediasi yang lebih inklusif.

    Menurut Sukamta, Indonesia memiliki posisi strategis dan modal diplomasi yang kuat untuk turut berkontribusi dalam proses tersebut.

    “Indonesia dikenal sebagai negara yang berpengalaman dalam diplomasi internasional, pendukung kuat penyelesaian konflik secara damai, serta memiliki hubungan baik dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika,” katanya.

    Ia juga menegaskan, langkah ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia serta kontribusi diplomasi RI dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan konstitusi.

    “Kami di Komisi I mendorong Kementerian Luar Negeri untuk memanfaatkan jalur diplomasi bilateral maupun forum multilateral, termasuk di PBB, OKI, dan ASEAN Plus Framework. Indonesia dapat bertindak sebagai bridge-builder atau fasilitator untuk memastikan proses mediasi berjalan inklusif dan menghormati hak-hak rakyat Sudan,” imbuhnya.

    Dia menyebut konflik yang telah berlangsung sejak April 2023 itu telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang besar, termasuk korban jiwa, instabilitas politik, serta gelombang pengungsi.

    Untuk itu, Sukamta menekankan urgensi penyelesaian konflik ini, mengingat dampak kemanusiaan yang terus memburuk.

    Laporan PBB, kata dia, menyebutkan jutaan warga Sudan telah mengungsi dan akses bantuan kemanusiaan menjadi terbatas akibat situasi keamanan yang tidak stabil.

    “Prioritas terpenting saat ini adalah perlindungan warga sipil. Kita harus memastikan jalur kemanusiaan dibuka, bantuan internasional dapat masuk, dan kekerasan segera dihentikan. Indonesia dapat menjadi suara moral dan mediator terpercaya dalam proses ini,” ucapnya.

    Ia lanjut menyerukan pentingnya solidaritas global untuk mendukung tercapainya perdamaian jangka panjang di Sudan.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perang Saudara Sudah Tak Terkendali bak Genosida, PBB Teriak

    Perang Saudara Sudah Tak Terkendali bak Genosida, PBB Teriak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa perang saudara di Sudan telah mencapai titik “tak terkendali”. Ia menyerukan agar kedua pihak yang bertikai segera menghentikan kekerasan dan kembali ke meja perundingan.

    “Krisis mengerikan di Sudan semakin tak terkendali,” ujar Guterres di sela KTT Dunia untuk Pembangunan Sosial di Qatar, dikutip The Guardian, Rabu (5/11/2025).

    “El-Fasher dan wilayah sekitarnya di Darfur Utara telah menjadi pusat penderitaan, kelaparan, kekerasan, dan pengungsian. Ratusan ribu warga sipil terjebak dalam pengepungan, banyak yang sekarat karena kekurangan gizi, penyakit, dan kekerasan,” lanjutnya.

    Peringatan keras ini muncul setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang dilaporkan mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), merebut kota el-Fasher pekan lalu usai pengepungan selama hampir 18 bulan. Sejumlah video yang beredar menunjukkan tindakan brutal pasukan RSF terhadap warga sipil, termasuk di rumah sakit bersalin.

    Perang dua tahun antara angkatan bersenjata Sudan (SAF) dan RSF telah menimbulkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk abad ini. Data PBB menyebut lebih dari 150.000 orang tewas dan 14 juta warga mengungsi dari rumah mereka. Jaksa Pengadilan Pidana Internasional kini tengah mengumpulkan bukti dugaan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya di el-Fasher.

    Di sisi lain, pemerintah Sudan yang berbasis di Port Sudan masih mempertimbangkan usulan gencatan senjata dari Amerika Serikat (AS). Proposal itu mencakup jeda kemanusiaan tiga bulan sebelum menuju gencatan senjata permanen dan transisi sembilan bulan ke pemerintahan sipil.

    Namun, SAF menegaskan bahwa gencatan hanya bisa dilakukan jika RSF menarik pasukannya dari kota-kota besar, termasuk el-Fasher.

    Jatuhnya el-Fasher memberi RSF kendali atas lima ibu kota negara bagian di Darfur, memunculkan kekhawatiran Sudan akan terbelah antara timur dan barat. Meski demikian, Duta Besar Sudan untuk Inggris Babikir Elamin menegaskan bahwa pemisahan bukan solusi.

    “Prioritas kami bukan gencatan senjata, tapi menghentikan pembantaian di el-Fasher,” kata Elamin di London. Ia juga mendesak Washington untuk menetapkan RSF sebagai organisasi teroris dan melarang semua penjualan senjata ke UEA.

    “RSF sekarang secara terbuka bersumpah melakukan kejahatan lebih lanjut. Mereka dengan bangga merekam diri mereka membunuh warga sipil tak berdosa,” ungkapnya.

    Elamin kemudian menuding RSF terus melakukan kekejaman meski perundingan damai tengah dijajaki. “Apa gunanya berbicara damai sementara mereka masih menembaki rakyat?” ujarnya. “Komunitas internasional harus bertindak menghentikan kekejaman dan genosida ini sekarang.”

     

    (luc/șef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Horor Pemerkosaan Massal di Sudan yang Kini Dikuasai Paramiliter

    Horor Pemerkosaan Massal di Sudan yang Kini Dikuasai Paramiliter

    Khartoum

    Amira, seorang ibu asal Sudan, terbangun setiap hari dengan gemetar, dihantui oleh pemandangan pemerkosaan massal yang disaksikannya saat melarikan diri dari El-Fasher setelah kota itu dikuasai pasukan paramiliter.

    Setelah pengepungan selama 18 bulan yang diwarnai kelaparan dan pengeboman, El-Fasher yang merupakan benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur bagian barat, jatuh ke tangan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada 26 Oktober lalu. Militer Sudan dan RSF terlibat perang sejak April 2023.

    Sejak saat itu, seperti dilansir AFP, Rabu (5/11/2025), muncul laporan tentang pembunuhan massal, kekerasan seksual, serangan terhadap pekerja kemanusiaan, penjarahan, dan penculikan di kota El-Fasher yang sebagian besar komunikasinya terputus.

    “Pemerkosaan itu merupakan pemerkosaan bergiliran. Pemerkosaan massal di depan umum, pemerkosaan di depan semua orang, dan tidak ada yang bisa menghentikannya,” tutur Amira yang berbicara dari tempat penampungan sementara di Tawila, sekitar 70 kilometer di sebelah barat El-Fasher.

    Amira yang merupakan ibu empat anak ini berbicara dalam sebuah webinar yang diselenggarakan kelompok kampanye Avaaz bersama beberapa penyintas kekerasan baru-baru ini.

    Di Korma, desa berjarak 40 kilometer sebelah barat laut El-Fasher, Amira menuturkan dirinya ditahan selama dua hari karena tidak mampu membayar para petempur RSF untuk perjalanan yang aman. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, sebut Amira, tidak akan mendapatkan makanan, air minum dan hak untuk pergi, dengan penyerangan massal terjadi di malam hari.

    “Anda akan tertidur dan mereka akan datang dan memperkosa Anda,” tuturnya.

    “Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang yang tidak mampu membayar, dan para petempur mengambil anak perempuan mereka sebagai gantinya. Mereka mengatakan, ‘Karena Anda tidak mampu membayar, kami akan mengambil anak-anak perempuan Anda’. Jika Anda memiliki anak perempuan yang masih kecil, mereka akan segera mengambilnya,” ucap Amira.

    Menteri negara untuk kesejahteraan sosial Sudan, Sulimah Ishaq, mengatakan kepada AFP bahwa sedikitnya 300 perempuan tewas pada harinya jatuhnya El-Fasher ke tangan RSF. “Beberapa di antaranya setelah mengalami kekerasan seksual,” ucapnya.

    General Coordination for Displaced People and Refugees di Darfur, sebuah kelompok kemanusiaan independen, melaporkan sebanyak 150 kasus kekerasan seksual sejak jatuhnya El-Fasher hingga 1 November.

    “Beberapa insiden terjadi di El-Fasher dan yang lainnya terjadi selama perjalanan ke Tawila,” kata juru bicara organisasi tersebut, Adam Rojal.

    Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengonfirmasi laporan mengkhawatirkan yang menyebut 25 perempuan diperkosa bergiliran ketika pasukan RSF memasuki tempat penampungan pengungsi di dekat Universitas El-Fasher.

    Juru bicara kantor HAM PBB, Seif Magango, menyebut bahwa pemerkosaan itu dilakukan “di bawah todongan senjata api”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Dah Jelas Tersangka Masih Dibela

    Dah Jelas Tersangka Masih Dibela

    GELORA.CO – Penceramah terkenal Ustaz Abdul Somad atau UAS berbalik dinasihati oleh penggemarnya. Hal itu terjadi lantaran ustaz kelahiran Asahan, Sumatra, itu terkesan membela Gubernur Riau Abdul Wahid.

    Abdul Wahid ditangkap KPK pada Senin (3/11/2025) dalam operasi tangkap tangan, dan pada Rabu (5/11/2025) sudah dijadikan tersangka kasus pemerasan Rp 7 miliar terhadap bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum Riau.

    Abdul Wahid terlihat di Gedung KPK mengenakan rompi oranye dengan tangan diborgol. KPK juga menahan mantan anggota DPR Ri 2019-2024 dari Fraksi PKB itu.

    Pembelaan Ustaz Abdul Somad terhadap Abdul Wahid, sebagaimana yang terekam dalam unggahan Instagram @ustadzabdulsomad_official, oleh fansnya dianggap terlalu berlebihan.

    Itu sebabnya, banyak fans yang mengingatkan dan menasihati ustaz yang menempuh pendidikan S3-nya di Sudan itu agar tidak terlalu membela Abdul Wahid, meski dia ikut mengkampanyekannya pada Pemilihan Gubernur Riau 2024 lalu.

    Bagaimana bentuk pembelaan Ustaz Abdul Somad  kepada Abdul Wahid?

    Semula, pada unggahan Instagram @ustadzabdulsomad_official, Senin (3/11/2025) malam, UAS mengeluarkan pernyataan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah Kepala Dinas PUPR dan Kepala UPT yang ditangkap oleh KPK, sementara Gubernur Abdul Wahid hanya dimintai keterangan.

    UAS mengatakan, “Jangan cepat menyimpulkan sebelum fakta sebenarnya diketahui. Kita harus berhati-hati agar tidak mencemarkan nama baik seseorang hanya karena informasi yang belum jelas kebenarannya,” katanya.

    Postingan itu sudah tidak terlihat di Instagram Ustaz Abdul Somad sejak Selasa (4/11/2025). Kemungkinan besar sudah  dihapus.

    Sebagai gantinya, muncul postingan baru yang isinya masih berupa pembelaan kepada Gubernur Abdul Wahid, tapi nadanya tidak terlalu vulgar lagi.

    “Sebagai sahabat, saya support dan mendoakan,” ujar UAS. “Semua orang berkumpul untuk memudaratkanmu, tidak akan mampu, kecuali memang sudah takdir Allah. Pena takdir sudah terangkat, kertas takdir sudah kering,” katanya.

    UAS juga menceritakan kedekatannya dengan Abdul Wahid, termasuk pada masa kampanye ia menemani Abdul Wahid yang merupakan Calon Gubernur Riau, berkeliling dari ujung Rokan Hilir hingga Indragiri Hilir.

    Abdul Wahid, kata UAS, harus berhadapan dengan laut politik dengan angin kencang, karang tajam, dipukul ombak, dihempas gelombang.

    Reaksi Fans Ustaz Abdul Somad

    Beragam reaksi bermunculan menyusul postingan UAS di Instagram, seperti saat diakses Harin Fajar pada Rabu (5/11/2025).

    Akun @goezrizal menulis, “Masya Allah Tabarakallah Tuan Guru @ustadzabdulsomad_official. Huznudzon didahulukan dan doa menyertai untuk kebaikan Pak Gub @wahid_simbar.”

    Selanjutnya, @goezrizal mengatakan, “Yang salah mungkin lolos, tapi yang tulus takkan lepas dari ujian. Karena kebaikan sejati selalu ditempa, agar tidak mudah pudar di tengah dunia yang fana.”

    Akun @muslimbinafri menulis, “Katakanlah yang benar walaupun itu pahit.”

    Akun @octagramspeed mengatakan,” Dah jelas jadi tersangka tapi masih dibela. Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit. Jangan buat umat jadi tersesat.”

    Ada pula yang membuat pantun, seperti @rizqiyurnalis. Katanya, “Pergi jalan ke teluk kuantan, bawa oleh-oleh buah semangka. Ustaz bilang dia cuma diminta keterangan, alamak rupanya dia sudah jadi tersangka.”

    Akun @tuah_ridho memberi nasihat panjang. “Menentukan pilihan boleh, dan memilih adalah kewajiban. Tapi, tolong, Tuan Guru. Janganlah seperti kemaren terlalu dalam engkau terjun, Tuan Guru.”

    Dia melanjutkan, “Jangan dijadikan alat untuk kepentingan semata, Tuan Guru. Jangan sampai karena nila setitik hancur susu sebelanga. Seperti kata Tuan Guru, ingin menjadi setitik embun di tengah sahara. Jangan ada lagi hal seperti itu untuk kedua kalinya.”

    Akun @junnardan_1001 menulis, “Semoga ada hikmah yang dapat diambil dari kejadian yang menyeret orang yang didukung Ustaz Abdul Somad. Semoga jadi pelajaran.”

    Meski banyak yang mengkritik dan seolah memberi nasihat, banyak juga komentar yang tetap memberi dukungan moral kepada Ustaz Abdul Somad.*

  • Konflik di Sudan, ICC Telusuri Dugaan Kejahatan Perang

    Konflik di Sudan, ICC Telusuri Dugaan Kejahatan Perang

    Jakarta

    Perang saudara di Sudan mencatat tragedi baru setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) merebut kendali atas kota El-Fasher, benteng terakhir pasukan pemerintah di wilayah Darfur. Kini, Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mencurigai terjadinya kejahatan perang terhadap warga sipil.

    Kantor Kejaksaan ICC atau Office of the Prosecutor (OTP) pada Senin (3/11) menyampaikan “keprihatinan mendalam dan kekhawatiran besar” atas laporan dari El-Fasher mengenai pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan lain yang diduga telah terjadi.

    “Sebagai bagian dari penyelidikan yang sedang berlangsung, kantor ini segera mengambil langkah-langkah terkait dugaan kejahatan di (El-Fasher) untuk menjaga dan mengumpulkan bukti yang relevan guna digunakan dalam proses penuntutan di masa depan,” papar kejaksaan ICC dalam pernyataan resminya.

    Kekejaman di El-Fasher bagian dari ‘pola kekerasan yang lebih luas’

    ICC pada Senin (3/11) memperingatkan mengenai situasi di El-Fasher, yang direbut RSF setelah pengepungan selama 18 bulan. Kantor kejaksaan ICC menyoroti laporan mengenai sejumlah kejahatan yang dilakukan oleh pasukan paramiliter tersebut.

    “Kekejaman ini merupakan bagian dari pola kekerasan yang lebih luas yang telah melanda seluruh wilayah Darfur sejak April 2023,” kata pernyataan itu.

    “Tindakan semacam ini, jika terbukti benar, dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma,” merujuk pada teks pendirian ICC.

    Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 65.000 orang telah melarikan diri dari El-Fasher, termasuk sekitar 5.000 orang ke kota terdekat, Tawila. Namun, puluhan ribu orang lainnya masih terjebak dan sebagian tidak diketahui keberadaannya setelah melarikan diri.

    Palang Merah: ‘sejarah terulang’ di Darfur

    Sementara itu, kepala Palang Merah mengatakan bahwa sejarah sedang berulang di Darfur.

    Pada Jumat (31/10), kantor hak asasi manusia PBB menyebut bahwa ratusan warga sipil dan pejuang tak bersenjata mungkin telah terbunuh selama perebutan kota tersebut.

    “Situasi di Sudan mengerikan,” kata Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Mirjana Spoljaric, dalam wawancara dengan kantor berita Reuters pada akhir pekan.

    “Ini adalah sejarah yang terulang, dan setiap kali suatu tempat direbut oleh pihak lain, keadaannya menjadi lebih buruk,” ujarnya.

    Menurut Spoljaric, puluhan ribu orang telah melarikan diri dari El-Fasher setelah RSF merebut kota tersebut, dan puluhan ribu lainnya kemungkinan masih terjebak di sana tanpa akses terhadap makanan, air, atau bantuan medis.

    Bertahun-tahun kekerasan yang didorong oleh faktor etnis menyusul penindasan terhadap pemberontak Darfur pada medio 2000-an menyebabkan ratusan ribu orang tewas, situasi yang secara luas disebut sebagai genosida. RSF sendiri berakar dari milisi “Janjaweed” yang dimobilisasi oleh pemerintah di Khartoum pada masa itu.

    Adakah peran negara lain dalam konflik berdarah Sudan?

    Uni Emirat Arab berulang kali dituduh mendukung RSF, yang dibantah penguasa di Abu Dhabi. Tudingan berdasarkan temuan senjata di lapangan yang mengemban nama negeri di Teluk Arab tersebut.

    Sebaliknya, junta militer di Khartoum juga memiliki donor asing, termasuk Mesir.

    Ketika ditanya mengenai pesannya kepada pihak asing yang terlibat dalam konflik di Sudan, Spoljaric mengatakan:

    “Terutama negara-negara yang memiliki pengaruh terhadap pihak-pihak yang berkonflik memiliki tanggung jawab untuk melakukan tindakan yang diperlukan guna menahan mereka dan memastikan bahwa mereka melindungi penduduk sipil.”

    Konflik di Sudan yang dimulai pada April 2023 telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat hampir 12 juta orang mengungsi, menjadikannya krisis pengungsian dan kelaparan terbesar di dunia saat ini.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rahka Susanto
    Editor: Rizki Nugraha


    (ita/ita)

  • DDI ingatkan masyarakat waspadai ajakan jihad ke negara konflik

    DDI ingatkan masyarakat waspadai ajakan jihad ke negara konflik

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Darud Dakwah wal Irsyad (PB DDI) Prof. Muh. Suaib Tahir mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai ajakan jihad ke negara-negara yang tengah dilanda konflik, salah satunya adalah Sudan.

    Suaib dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, mengatakan, dengan dalih “persatuan global”, narasi jihad dilontarkan untuk mendapatkan pasokan segar tentara berani mati secara cuma-cuma untuk menguatkan posisi ISIS di wilayah konflik.

    Dia mengungkapkan, bagi ISIS dan jaringannya, serta jaringan lain yang serupa, kemunculan ide tentang nasionalisme adalah hal yang merusak persaudaraan global yang berusaha mereka munculkan.

    “Hal yang demikian bagi mereka adalah kondisi yang tidak ideal. Harus disatukan lagi. Itulah yang mereka sebut sebagai ‘persaudaraan global’. Mereka menganggap, konflik yang terjadi di sana (Sudan), kita harus ikut bergabung ke sana untuk berperang,” katanya.

    Menurutnya, apabila ada orang Indonesia yang tergiur untuk berangkat ke Sudan atau negara tujuan dari propaganda ISIS, mereka tidak akan menemukan “persatuan global” yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan.

    “Dalam praktiknya sendiri, persaudaraan global itu susah karena mereka (jaringan teror) masih memandang orang Asia itu sebagai bawahan. Dalam ISIS juga begitu, orang Indonesia tidak memegang posisi yang tinggi, paling hanya jadi kombatan-kombatan di bawah,” katanya.

    Lebih lanjut, Suaib juga berpesan agar generasi muda Indonesia betul-betul mengamanati Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 sebagai dasar utama dalam upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan.

    “Kita patut bersyukur karena punya gagasan tentang wawasan kebangsaan, berbeda dengan negara-negara lain yang tidak punya itu. Negara yang tidak memahami kebangsaannya dengan benar akan rentan untuk di utak-atik dan dipecah-belah. Tapi, kalau kita orang Indonesia, saya pikir tidak demikian,” katanya.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.