Negara: Somalia

  • Menlu Sugiono terima Menlu & Kerja Sama Internasional Somalia bahas penguatan kerja sama di berbagai bidang

    Menlu Sugiono terima Menlu & Kerja Sama Internasional Somalia bahas penguatan kerja sama di berbagai bidang

    Kamis, 31 Juli 2025 14:14 WIB

    Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono (kanan) menerima Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Somalia Abdisalam Abdi Ali (kiri) saat tiba untuk pertemuan bilateral di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Pertemuan bilateral tersebut membahas tentang penguatan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, perdagangan dan keamanan maritim serta penandatangan MoU pembebasan visa bagi pemegang paspor diplomatik dan paspor visa RI-Somalia. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

    Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono (kanan) berbincang dengan Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Somalia Abdisalam Abdi Ali (kiri) usai pertemuan bilateral di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Pertemuan bilateral tersebut membahas tentang penguatan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, perdagangan dan keamanan maritim serta penandatangan MoU pembebasan visa bagi pemegang paspor diplomatik dan paspor visa RI-Somalia. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

    Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono (kanan) bersama Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Somalia Abdisalam Abdi Ali (kiri) menunjukkan dokumen kerja sama usai pertemuan bilateral di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Pertemuan bilateral tersebut membahas tentang penguatan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, perdagangan dan keamanan maritim serta penandatangan MoU pembebasan visa bagi pemegang paspor diplomatik dan paspor visa RI-Somalia. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sudan Selatan Bantah Perundingan dengan Israel Soal Relokasi Warga Gaza

    Sudan Selatan Bantah Perundingan dengan Israel Soal Relokasi Warga Gaza

    Jakarta

    Pemerintah Sudan Selatan membantah adanya perundingan dengan Israel mengenai potensi relokasi warga Palestina dari Gaza ke negara Afrika Timur tersebut.

    Kantor berita Associated Press sebelumnya melaporkan bahwa kedua negara terlibat dalam perundingan mengenai usulan Israel untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza ke Sudan Selatan. Media tersebut mengutip enam orang yang mengetahui masalah tersebut.

    “Dengan tegas membantah laporan media baru-baru ini yang mengklaim bahwa Pemerintah Republik Sudan Selatan terlibat dalam pembicaraan dengan negara Israel mengenai penempatan warga negara Palestina dari Gaza di Sudan Selatan,” kata Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (13/8) waktu setempat.

    Dilansir media Al Jazeera, Kamis (14/8/2025), Kementerian Luar Negeri Sudan menyatakan bahwa klaim tersebut “tidak berdasar dan tidak mencerminkan posisi atau kebijakan resmi” pemerintah Sudan Selatan.

    Beberapa pejabat Israel sebelumnya telah mengusulkan relokasi warga Palestina dari Gaza. Hal ini menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia akan dianggap sebagai pengusiran paksa, pembersihan etnis, dan melanggar hukum internasional.

    Para kritikus rencana pemindahan tersebut khawatir warga Palestina tidak akan pernah diizinkan kembali ke Gaza. Mereka juga khawatir pemindahan massal tersebut dapat membuka jalan bagi Israel untuk mencaplok wilayah kantong tersebut dan membangun kembali permukiman Israel di sana, sebagaimana diserukan oleh para menteri sayap kanan di pemerintahan Israel.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya mengatakan ia ingin mewujudkan apa yang disebutnya “migrasi sukarela” bagi sebagian besar penduduk Gaza, sebuah kebijakan yang ia kaitkan dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya.

    Menurut media Channel 12, selain Sudan Selatan, Israel juga dilaporkan tengah berunding membahas penempatan warga Gaza tersebut dengan empat negara lainnya, yakni Indonesia, Somaliland, Uganda dan Libya.

    Tonton juga video “Israel Dikabarkan Berunding dengan 5 Negara untuk Terima Warga Gaza” di sini:

    “Beberapa negara menunjukkan keterbukaan yang lebih besar daripada sebelumnya untuk menerima imigrasi sukarela dari Jalur Gaza,” ujar seorang sumber diplomatik Israel kepada media Channel 12, seperti dilansir media Israel, The Times of Israel, Kamis (14/8/2025). Sumber itu menyebut Indonesia dan Somaliland sangat terbuka akan gagasan itu. Namun, belum ada keputusan konkret yang dibuat soal ini.

    Somaliland adalah wilayah yang memisahkan diri dari Somalia yang dilaporkan berharap mendapatkan pengakuan internasional melalui kesepakatan tersebut.

    Dalam wawancara dengan saluran berita i24News, Netanyahu menyuarakan dukungannya terhadap emigrasi massal warga Gaza. Netanyahu mengatakan bahwa Israel sedang berkomunikasi dengan “beberapa negara” untuk menampung warga sipil yang mengungsi dari wilayah yang dilanda perang tersebut.

    “Saya pikir ini adalah hal yang paling wajar,” kata Netanyahu. “Semua orang yang peduli terhadap Palestina dan mengatakan ingin membantu Palestina harus membuka pintu bagi mereka. Apa yang Anda khotbahkan kepada kami? Kami tidak mengusir mereka – kami memungkinkan mereka untuk pergi… pertama-tama, [meninggalkan] zona pertempuran, dan juga Jalur Gaza itu sendiri, jika mereka mau.”

    Ketika ditanya mengapa proses tersebut belum mengalami kemajuan, Netanyahu menjawab: “Anda membutuhkan negara-negara penerima. Kami sedang berbicara dengan beberapa negara – saya tidak akan merincinya di sini.”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Kemenlu Bantah Indonesia Berunding dengan Israel untuk Evakuasi Warga Gaza
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Kemenlu Bantah Indonesia Berunding dengan Israel untuk Evakuasi Warga Gaza Nasional 14 Agustus 2025

    Kemenlu Bantah Indonesia Berunding dengan Israel untuk Evakuasi Warga Gaza
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Vahd Nabyl Achmad Mulachela membantah Indonesia turut berunding dengan Israel untuk mengevakuasi warga Gaza ke Indonesia.
    Dia mengatakan, tidak pernah ada perundingan antara Indonesia dengan pemerintah Israel seperti yang diisukan oleh media Israel, The Times of Israel.
    “Mengenai pertanyaan di atas (terkait dengan perundingan Israel dan Indonesia), dapat kami sampaikan bahwa tidak ada perundingan dengan Israel,” ucapnya saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (14/8/2025).
    Adapun media The Times of Israel mengutip laporan Channel 12 yang menyebut sumber diplomatik Israel sedang berunding dengan lima negara untuk menerima warga Gaza, Palestina.
    Lima negara tersebut adalah Indonesia, Somalia, Uganda, Sudan Selatan, dan Libya.
    “Beberapa negara menunjukkan keterbukaan yang lebih besar daripada sebelumnya untuk menerima imigrasi sukarela dari Jalur Gaza,” kata sumber diplomatik tersebut sambil menyebut Indonesia menjadi salah satu dari lima negara yang melakukan perundingan.
    Indonesia sendiri saat ini sedang menyiapkan evakuasi sementara 2.000 warga Gaza korban perang ke Pulau Galang.
    Menteri Luar Negeri RI Sugiono mengatakan, Pulau Galang dipilih karena fasilitas penampungan sudah siap, mengingat tempat tersebut pernah dijadikan lokasi isolasi saat pandemi Covid-19.
    “Kemarin Presiden (Prabowo) menyebut Pulau Galang, kita sedang melihat, karena waktu itu kan pernah dipakai untuk tempat perawatan Covid-19, jadi ada infrastruktur yang sudah di sana,” ucap Sugiono, saat ditemui di kantor Kemenlu RI, Jakarta, Kamis (7/8/2025).
    Sugiono mengatakan, upaya persiapan untuk menampung warga Palestina di Indonesia ini terus dimatangkan.
    Karena itu, Presiden Prabowo Subianto, kata Sugiono, pernah meminta izin kepada negara-negara tetangga Palestina untuk melakukan evakuasi.
    “Jadi, sewaktu-waktu itu bisa dilaksanakan, ya kita sudah siap,” imbuh dia.
    Sugiono menuturkan, dalam pertemuan terakhir Prabowo dengan otoritas Palestina, mereka mengizinkan warga negaranya dirawat di Indonesia.
    Namun, untuk izin dari negara-negara tetangga, Sugiono menyebut bahwa persetujuan masih dalam proses pembicaraan terus-menerus.
    “Belum sampai ke sana (persetujuan), ya kan kemarin itu disampaikan, kita ada permintaan. Permintaan yang ngomongnya lebih teknis juga belum seperti apa, makanya kalau misalnya itu tiba-tiba terjadi, kita sudah siap,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 148 Negara Kini Akui Palestina, Siapa Saja & Manapula yang Tidak?

    148 Negara Kini Akui Palestina, Siapa Saja & Manapula yang Tidak?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebanyak 148 negara kini mengaku kedaulatan negara Palestina. Ini menjadi update terbaru, dari total 193 negara yang tergabung dalam PBB.

    Ke-148 negara itu merepresentasikan 75% dari total negara di dunia. Lalu apa saja negara itu?

    Berikut daftarnya dari yang terbaru mengakui hingga yang paling awal, dikutip dari beragam sumber seperti Al-Jazeera dan CNN International, Selasa (12/8/2025).

    1.Meksiko: 20 Maret 2025

    2.Armenia: 21 Juni 2024

    3.Slovenia: 4 Juni 2024

    4.Irlandia: 22 Mei 2024

    5.Norwegia: 22 Mei 2024

    6.Spanyol: 22 Mei 2024

    7.Bahama: 8 Mei 2024

    8.Trinidad dan Tobago: 3 Mei 2024

    9.Jamaika: 24 April 2024

    10.Barbados: 20 April 2024

    11.Saint Kitts dan Nevis: 29 Juli 2019

    12.Kolombia: 3 Agustus 2018

    13.Saint Lucia: 14 September 2015

    14.Takhta Suci: 26 Juni 2015

    15.Swedia: 30 Oktober 2014

    16.Haiti: 27 September 2013

    17.Guatemala: 9 April 2013

    18.Thailand: 18 Januari 2012

    19.Islandia: 15 Desember 2011

    20.Brasil: 3 Desember 2011

    21.Grenada: 25 September 2011

    22.Antigua dan Barbuda: 22 September 2011

    23.Dominika: 19 September 2011

    24.Belize: 9 September 2011

    25.Saint Vincent dan Grenadines: 29 Agustus 2011

    26.Honduras: 26 Agustus 2011

    27.El Salvador: 25 Agustus 2011

    28.Suriah: 18 Juli 2011

    29.Sudan Selatan: 14 Juli 2011

    30.Liberia: 1 Juli 2011

    31.Lesotho: 3 Mei 2011

    32.Uruguay: 16 Maret 2011

    33.Paraguay: 29 Januari 2011

    34.Suriname: 26 Januari 2011

    35.Peru: 24 Januari 2011

    36.Guyana: 13 Januari 2011

    37.Chile: 7 Januari 2011

    38.Ekuador: 27 Desember 2010

    39.Bolivia: 17 Desember 2010

    40.Argentina: 6 Desember 2010

    41.Republik Dominika: 15 Juli 2009

    42.Venezuela: 27 April 2009

    43.Pantai Gading: 1 Desember 2008

    45.Lebanon: 30 November 2008

    46.Kosta Rika: 5 Februari 2008

    47.Montenegro: 24 Juli 2006

    48.Timor Leste: 1 Maret 2004

    49.Malawi: 23 Oktober 1998

    50.Kirgistan: 1 November 1995

    51.Afrika Selatan: 15 Februari 1995

    52.Papua Nugini: 13 Januari 1995

    53.Uzbekistan: 25 September 1994

    54.Tajikistan: 2 April 1994

    55.Bosnia dan Herzegovina: 27 Mei 1992

    56.Georgia: 25 April 1992

    57.Turkmenistan: 17 April 1992

    58.Azerbaijan: 15 April 1992

    59.Kazakstan: 6 April 1992

    60.Eswatini: 1 Juli 1991

    61.Filipina: 1 September 1989

    62.Vanuatu: 21 Agustus 1989

    63.Benin: 1 Mei 1989

    64.Guinea Khatulistiwa: 1 Mei 1989

    65.Kenya: 1 Mei 1989 Etiopia: 4 Februari 1989

    66.Rwanda: 2 Januari 1989

    67.Bhutan: 25 Desember 1988

    68.Afrika Tengah: 23 Desember 1988

    69.Burundi: 22 Desember 1988

    70.Botswana: 19 Desember 1988

    71.Nepal: 19 Desember 1988

    72.Kongo: 18 Desember 1988

    73.Polandia: 14 Desember 1988

    74.Oman: 13 Desember 1988

    75.Gabon: 12 Desember 1988

    76.Sao Tome dan Principe: 10 Desember, 1988

    77.Mozambik: 8 Desember 1988

    78.Angola: 6 Desember 1988

    79.Kongo: 5 Desember 1988

    80.Sierra Leone: 3 Desember 1988

    81.Uganda: 3 Desember 1988

    82.Laos: 2 Desember 1988

    83.Chad: 1 Desember 1988

    84.Ghana: 29 November 1988

    85.Togo: 29 November 1988

    86.Zimbabwe: 29 November 1988

    87.Maladewa: 28 November 1988

    88.Bulgaria: 25 November 1988

    89.Tanjung Verde: 24 November 1988

    90.Korea Utara: 24 November 1988

    91.Niger: 24 November 1988

    92.Rumania: 24 November 1988

    93.Tanzania: 24 November 1988

    94.Hongaria: 23 November 1988

    95.Mongolia: 22 November 1988

    96.Senegal: 22 November 1988

    97.Burkina Faso: 21 November 1988

    98.Kamboja: 21 November 1988

    99.Komoro: 21 November 1988

    100.Guinea: 21 November 1988

    101.Guinea-Bissau: 21 November 1988

    102.Mali: 21 November 1988

    103.China: 20 November 1988

    104.Belarus: 19 November 1988

    105.Namibia: 19 November 1988

    106.Rusia: 19 November 1988

    107.Ukraina: 19 November 1988

    108.Vietnam: 19 November 1988

    109.Siprus: 18 November 1988

    110.Republik Ceko: 18 November 1988

    111.Mesir: 18 November 1988

    112.Gambia: 18 November 1988

    113.India: 18 November 1988

    114.Nigeria: 18 November 1988

    115.Seychelles: 18 November 1988

    116.Slowakia: 18 November 1988

    117.Sri Lanka: 18 November 1988

    118.Albania: 17 November 1988

    119.Brunei Darussalam: 17 November 1988

    120.Djibouti: 17 November 1988

    121.Mauritius: 17 November 1988

    122.Sudan: 17 November 1988

    123.Afghanistan: 16 November 1988

    124.Bangladesh: 16 November 1988

    125.Kuba: 16 November 1988

    126.Yordania: 16 November 1988

    127.Madagaskar: 16 November 1988

    128.Nikaragua: 16 November 1988

    129.Pakistan: 16 November 1988

    130.Qatar: 16 November 1988

    131. Arab Saudi: 16 November 1988

    132.Serbia: 16 November 1988

    133.Uni Emirat Arab: 16 November 1988

    134.Zambia: 16 November 1988

    135.Aljazair: 15 November 1988

    136.Bahrain: 15 November 1988

    137.Indonesia: 15 November 1988

    138.Irak: 15 November 1988

    139.Kuwait: 15 November 1988

    140.Libya: 15 November 1988

    141.Malaysia: 15 November 1988

    142.Mauritania: 15 November 1988

    143.Maroko: 15 November 1988

    144.Somalia: 15 November 1988

    145.Tunisia: 15 November 1988

    146.Turki: 15 November 1988

    147.Yaman: 15 November 1988

    148.Iran: 4 Februari 1988

    Sementara beberapa negara akan mengakui di sidang PBB September nanti. Berikut antara lain:

    Australia

    Kanada

    Prancis

    Malta

    Portugal

    Inggris

    Lalu negara mana saja yang belum sama sekali mengakui?

    Amerika Serikat

    Panama

    Jerman

    Italia

    Austria

    Denmark

    Lithuania

    Moldova

    Kroasia

    Latvia

    Yunani

    Eritrea

    Kamerun

    Myanmar

    Korea Selatan

    Jepang

    Israel

    Selandia Baru (masih akan diputuskan melalui sidang parlemen bulan ini)

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Gerhana Matahari Total 2 Agustus Gak Lewat RI, BMKG: Ini Fakta-Rutenya

    Gerhana Matahari Total 2 Agustus Gak Lewat RI, BMKG: Ini Fakta-Rutenya

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) buka suara soal isu terjadinya Gerhana Matahari Total pada 2 Agustus 2025. Isu itu menyebutkan fenomena akan membuat Bumi gelap selama enam menit.

    BMKG yang mengutip website resmi NASA mengatakan baru dua tahun lagi Gerhana Matahari Total akan terjadi dengan durasi enam menit. Jalurnya pun tak melewati Indonesia.

    “Akhir-akhir ini beredar isu bahwa akan terjadi Gerhana Matahari Total pada tanggal 2 Agustus 2025 yang akan menyebabkan Bumi gelap selama 6 menit,” tulis BMKG dalam unggahan di akun Instagram @/infobmkg, dikutip Sabtu (2/8/2025).

    “Berdasarkan informasi dari website resmi NASA, Gerhana Matahari Total yang dikaitkan dengan kegelapan selama sekitar 6 menit justru jatuh pada 2 Agustus 2027, bukan 2025. Gerhana tersebut juga tidak akan melewati wilayah Indonesia. Jalur totalitas gerhana akan melewati Maroko, Spanyol, Algeria, Libya, Mesir, Arab Saudi, Yaman dan Somalia,” ungkap BMKG.

    BMKG menjelaskan Gerhana Matahari terjadi saat Bulan menghalangi cahaya Matahari ke Bumi. Ini bisa terjadi sebagian atau keseluruhannya.

    Biasanya fenomena itu terjadi pada fase Bulan baru. Namun BMKG mencatat fase Bulan baru terjadi di bulan ini pada 23 Agustus 2025 dan tidak dibarengi dengan Gerhana Matahari di lokasi manapun di dunia.

    “Jadi isu bahwa 2 Agustus 2025 akan terjadi Gerhana Matahari Total yang akan menyebabkan bumi gelap selama 6 menit adalah tidak benar atau hoax,” tegas BMKG.

    Menurut BMKG, Gerhana Matahari Total juga membuat beberapa wilayah gelap saja.

    “Peristiwa Gerhana Matahari Total juga hanya menyebabkan gelap di beberapa tempat saja di belahan bumi yang sinar mataharinya tertutup oleh bayangan umbra bulan,” ungkap BMKG.

    Jadwal Gerhana Matahari Tahun 2025

    BMKG juga menjelaskan tahun ini hanya terjadi empat peristiwa gerhana.

    Berikut informasinya:

    1. Gerhana Bulan Total pada 14 Maret 2025

    Dapat dilihat dari Indonesia bagian timur saat fase gerhana total berakhir

    2. Gerhana Matahari Sebagian pada 29 Maret 2025

    Tidak terlihat di Indonesia

    3. Gerhana Bulan Total pada 7 September 2025

    Bisa dilihat dari Indonesia

    4. Gerhana Matahari Sebagian pada 21 September 2025

    Tidak dapat dilihat dari Indonesia.

    [Gambas:Instagram]

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ini Penjelasan BMKG soal Gerhana Matahari Total 2 Agustus 2025 yang Bikin Heboh! – Page 3

    Ini Penjelasan BMKG soal Gerhana Matahari Total 2 Agustus 2025 yang Bikin Heboh! – Page 3

    Salah satu penyebab utama munculnya informasi keliru soal gerhana matahari total tampaknya berasal dari kesalahan tahun yang tersebar di media sosial.

    Banyak warganet mengira fenomena langka tersebut akan terjadi pada tahun 2025, padahal menurut data resmi dari situs NASA, gerhana matahari total yang dimaksud baru akan berlangsung pada 2 Agustus 2027.

    Tak hanya itu, jalur totalitas gerhana tersebut tidak melewati wilayah Indonesia, melainkan hanya melintasi beberapa negara seperti Maroko, Spanyol, Aljazair, Libya, Mesir, Arab Saudi, Yaman, dan Somalia.

    Artinya, tidak akan ada momen gelap total yang bisa disaksikan di Indonesia pada tanggal tersebut, meskipun gerhana sebagian masih mungkin terjadi di wilayah tertentu.

  • Heboh Dunia Gelap Gulita 2 Agustus 2025, Cek Fakta Sebenarnya

    Heboh Dunia Gelap Gulita 2 Agustus 2025, Cek Fakta Sebenarnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Muncul narasi mengejutkan di media sosial yang menyebut dunia akan mengalami kegelapan total selama enam menit pada 2 Agustus 2025.

    Klaim ini ramai diperbincangkan karena disebut tidak akan terjadi lagi selama satu abad ke depan. Banyak warganet pun penasaran dan ikut membagikan informasi tersebut. Tapi benarkah demikian?

    Faktanya klaim tersebut tidak benar. Dunia tidak akan gelap pada 2 Agustus tahun ini.

    Menurut laporan Space, kebingungan ini dipicu oleh informasi yang keliru tentang peristiwa astronomi yang terjadi pada 2 Agustus 2027, yakni gerhana matahari total yang dijuluki sebagai “eclipse of the century” atau gerhana abad ini.

    Pada hari itu, bulan akan sepenuhnya menutupi matahari selama hingga 6 menit 22 detik, menjadikannya gerhana matahari total terlama sepanjang abad ke-21.

    Jalur gerhana matahari total 2027 akan membentang sejauh lebih dari 15.000 kilometer, melewati 11 negara termasuk Spanyol, Maroko, Tunisia, Mesir, hingga Yaman dan Somalia.

    Wilayah lain seperti sebagian besar Afrika, Eropa, dan Asia Selatan akan melihat gerhana sebagian. Sementara itu, sebagian besar belahan dunia lainnya, termasuk Amerika dan Indonesia, tidak akan terpengaruh.

    Perlu dicatat, tidak ada peristiwa gerhana matahari sama sekali pada Agustus 2025 ini. Gerhana berikutnya baru akan terjadi pada 21 September 2025, yakni gerhana matahari sebagian yang terlihat dari wilayah Samudra Pasifik dan Antarktika.

    Jadi, dunia tidak akan gelap bulan Agustus ini. Tapi jika Anda tertarik menyaksikan gerhana matahari total terpanjang abad ini, Anda bisa menandai 2 Agustus 2027 di kalender, dan mulai merencanakan perjalanannya ke lokasi terbaik untuk menyaksikan fenomena langka ini.

    Beberapa lokasi terbaik untuk menyaksikan gerhana matahari total pada 2 Agustus 2027 antara lain Tarifa di ujung selatan Spanyol, pantai-pantai Tunisia, dan Luxor, ibu kota kuno Mesir yang dipenuhi situs bersejarah.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Dunia Gelap 2 Agustus Viral di Medsos, Begini Faktanya

    Dunia Gelap 2 Agustus Viral di Medsos, Begini Faktanya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Belakangan ini viral di media sosial klaim yang menyebutkan bahwa dunia akan mengalami kegelapan total selama enam menit pada 2 Agustus. Disebutkan juga bahwa peristiwa ini tidak akan terjadi lagi selama 100 tahun ke depan.

    Namun, faktanya klaim tersebut tidak benar. Dunia tidak akan gelap pada 2 Agustus tahun ini.

    Menurut laporan Space, kebingungan ini kemungkinan besar dipicu oleh informasi yang keliru tentang peristiwa astronomi yang terjadi pada 2 Agustus 2027, yakni gerhana matahari total yang dijuluki sebagai “eclipse of the century” atau gerhana abad ini.

    Pada hari itu, bulan akan sepenuhnya menutupi matahari selama hingga 6 menit 22 detik, menjadikannya gerhana matahari total terlama sepanjang abad ke-21.

    Jalur gerhana matahari total 2027 akan membentang sejauh lebih dari 15.000 kilometer, melewati 11 negara termasuk Spanyol, Maroko, Tunisia, Mesir, hingga Yaman dan Somalia.

    Wilayah lain seperti sebagian besar Afrika, Eropa, dan Asia Selatan akan melihat gerhana sebagian. Sementara itu, sebagian besar belahan dunia lainnya, termasuk Amerika dan Indonesia, tidak akan terpengaruh.

    Perlu dicatat, tidak ada peristiwa gerhana matahari sama sekali pada Agustus 2025 ini. Gerhana berikutnya baru akan terjadi pada 21 September 2025, yakni gerhana matahari sebagian yang terlihat dari wilayah Samudra Pasifik dan Antarktika.

    Jadi, dunia tidak akan gelap bulan Agustus ini. Tapi jika Anda tertarik menyaksikan gerhana matahari total terpanjang abad ini, Anda bisa menandai 2 Agustus 2027 di kalender, dan mulai merencanakan perjalanannya ke lokasi terbaik untuk menyaksikan fenomena langka ini.

    Beberapa lokasi terbaik untuk menyaksikan gerhana matahari total pada 2 Agustus 2027 antara lain Tarifa di ujung selatan Spanyol, pantai-pantai Tunisia, dan Luxor, ibu kota kuno Mesir yang dipenuhi situs bersejarah.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Sebagian Dunia akan Gelap Gulita Selama 6 Menit pada 2 Agustus 2027, Efek Gerhana 100 tahun

    Sebagian Dunia akan Gelap Gulita Selama 6 Menit pada 2 Agustus 2027, Efek Gerhana 100 tahun

    Bisnis.com, JAKARTA – Pada 2 Agustus 2027, gerhana matahari total yang luar biasa akan menghiasi sebagian Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Peristiwa langit ini akan membuat sebagian dunia gelap selama 6 menit 23 detik.

    Dilansir dari timesofindia, peristiwa ini telah disebut sebagai salah satu peristiwa langit paling signifikan abad ini. Yang membedakan gerhana ini bukan hanya visibilitasnya di berbagai wilayah, tetapi juga durasinya.

    Pada puncaknya, fase total ketika Bulan menutupi Matahari sepenuhnya diperkirakan berlangsung selama 6 menit 23 detik. Durasi ini luar biasa panjang. Kebanyakan gerhana total berakhir dalam waktu kurang dari tiga menit. Bahkan, ini akan menjadi gerhana matahari total terlama yang dapat dilihat dari daratan antara tahun 1991 dan 2114.

    Ini bukan hanya panjang tetapi juga langka dalam segala hal. Baik Anda seorang astronom atau hanya seseorang yang penasaran dengan langit, 2 Agustus 2027 adalah tanggal yang layak untuk ditonton. Baik Anda berada di Spanyol selatan, gurun Mesir, atau menyaksikan dari jauh, gerhana matahari total 2 Agustus 2027 menjanjikan pemandangan yang benar-benar tak terlupakan.

    Apa yang menyebabkan kegelapan yang berkepanjangan? Jadi, apa yang membuat gerhana ini begitu lama? Beberapa hal langka sedang terjadi sekaligus. Menurut laporan Zee News, Bumi akan berada di aphelion saat Bumi berada paling jauh dari Matahari. Hal ini membuat Matahari terlihat sedikit lebih kecil dari biasanya. Selain itu, Bulan akan berada di perigee, titik terdekatnya dengan kita. Bulan yang tampak lebih besar + Matahari yang tampak lebih kecil = totalitas yang lebih panjang. 

    Pergerakan yang lebih lambat itu berarti lebih banyak waktu di bawah bayangan Bulan—secara harfiah. Di mana Anda dapat menyaksikannya terjadi? Gerhana akan dimulai di suatu tempat di atas Samudra Atlantik dan bergerak ke timur. Menurut Space(dot)com, bayangan tersebut, dengan lebar sekitar 258 km, akan melewati: 

    Jalur totalitas akan dimulai di atas Samudra Atlantik, melintasi Spanyol bagian selatan dan Gibraltar, dan berlanjut melalui Afrika Utara, termasuk Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, dan Mesir. Kemudian akan melintasi Laut Merah menuju Arab Saudi, Yaman, dan sebagian Somalia. Di Mesir, Luxor diperkirakan akan mengalami gerhana total terlama, dengan kegelapan total selama lebih dari enam menit.

    Langit cerah kemungkinan besar akan terjadi, yang merupakan bonus. Tempat-tempat seperti Libya dan Mesir dikenal dengan cuaca Agustus yang kering dan cerah. Hal itu memberikan peluang tinggi untuk mendapatkan pemandangan yang cerah, terutama jika Anda berencana untuk bepergian atau mengamati. Apa yang membuatnya istimewa? Bagi orang-orang yang tinggal di dalam atau di dekat jalur tersebut, ini bisa menjadi peristiwa sekali seumur hidup.

     

  • negara berkembang butuh munculkan gerakan kolektif

    negara berkembang butuh munculkan gerakan kolektif

    Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2001-2009 Hassan Wirajuda di Beijing, China pada Rabu (2/7). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

    Hassan Wirajuda: negara berkembang butuh munculkan gerakan kolektif
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 03 Juli 2025 – 09:49 WIB

    Elshinta.com – Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengungkapkan negara-negara berkembang membutuhkan gerakan kolektif untuk mengatasi perubahan geopolitik yaitu munculnya berbagai perang antarnegara maupun penerapan tarif sepihak oleh Amerika serikat.

    “Kita mengalami kekalutan geopolitik, baik di bidang perdamaian dan keamanan maupun ekonomi dan pada saat yang sama, tatanan dunia yang didasarkan piagam PBB juga melemah sehingga memerlukan upaya kolektif untuk mengatasi hal tersebut,” kata Hassan Wirajuda di Beijing kepada Antara pada Rabu (2/7).

    Perang yang dimaksud Hassan antara lain perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah termasuk serangan Israel ke Palestina yang berlarut-larut, konflik Israel yang didukung Amerika Serikat melawan Iran hingga perang singkat India-Pakistan. Menurut Hassan, masih ada juga konflik lama yang belum tampak tuntas seperti di Yaman, Libia, Somalia, Sudan maupun Sudan Selatan.

    “Indonesia dan negara-negara lain berkepentingan adanya ‘minimum order’, tidak bisa tidak, harus ada yaitu ‘global governance’. Banyak pihak boleh mengecam PBB tapi bayangkan dunia tanpa PBB, boleh mengecam ‘global governance’ tapi bayangkan dunia tanpa tatanan dunia. Jadi memerlukan upaya kolektif, Indonesia, China dan negara-negara lain masih menyuarakan itu karena dirugikan akibat perbuatan negara-negara besar,” jelas Hassan.

    Belajar dari sejarah, Hassan mengungkapkan, pada masa perang dingin, sudah ada contoh-contoh gerakan kolektif. Misalnya di bidang politik adalah munculnya Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 yang menyuarakan kelompok negara yang tidak mau berpihak dengan Pakta Warsawa untuk Eropa Timur dan NATO untuk Amerika Serikat dan Eropa Barat.

    Contoh lain adalah di bidang ekonomi dengan lahirnya Kelompok 77 (G77) pada periode 1970-an yang terdiri dari negara-negara berkembang dan China sebagai bentuk protes atas eksploitasi sumber daya alam negara-negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional milik negara maju.

    “Sayangnya sekarang belum ada upaya kolektif. Semua bicara tentang kebijakan tarif unilateral Presiden AS Trump yang dipaksakan kepada semua negara, tapi apa ada upaya kolektif menghadapi hal itu? Masing-masing negara dibiarkan bernegosiasi sendiri dengan AS yang posisinya lebih kuat, kecuali dengan China yang memang punya pengaruh besar,” jelas Hassan.

    Bahkan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia maupun Vietnam melakukan negosiasi bilateral dengan AS meski posisi Indonesia lebih lemah, dan ASEAN pun tidak punya suara kolektif.

    “Jadi ada keperluan untuk menyuarakan secara kolektif suara negara-negara yang menjadi korban,” ungkap Hassan.

    Dalam upaya negosiasi tarif dengan AS, Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Menteri Keuangan AS Kenneth Homer Bessent dan Ketua United States Trade Representative (USTR) Jamieson Greer untuk membahas agar AS mengurangi tarif impor atas Indonesia yang ditetapkan sebesar 32 persen.

    Namun dalam perjalanannya, Airlangga menyebut tarif impor yang dikenakan terhadap Indonesia bisa mencapai angka 47 persen, terutama untuk produk tekstil dan garmen sebagai penjumlahan tarif dasar dengan tambahan tarif sebesar 10 persen yang berlaku selama masa 90 hari.

    Airlangga mengatakan permintaan utama AS ke Indonesia ialah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara, di mana RI tercatat surplus 18-19 miliar dolar AS.

    Selain itu USTR menyoroti Peraturan BI Nomor 21/2019. Dalam peraturan itu disebutkan Indonesia menetapkan standar nasional Quick Response Indonesian Standard (QRIS) untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.

    Sumber : Antara