Negara: Singapura

  • Proyek Raksasa RI Mau ‘Ikat’ Bumi, Modalnya Triliunan

    Proyek Raksasa RI Mau ‘Ikat’ Bumi, Modalnya Triliunan

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk berencana untuk memperpanjang pembangunan kabel laut lewat proyek proyek Indonesia Cable Express (ICE). Proyek itu akan dilakukan hingga ke Afrika dan Samudra Atlantik.

    “Perkembangan AI dan cloud membuat permintaan makin tinggi. Telkom lewat Telin ingin memperluas proyek ICE hingga belting the world,” katanya beberapa waktu lalu.

    Tak main-main, Telkom menyiapkan investasi senilai US$200 juta atau Rp 3,27 triliun untuk proyek itu. Dana akan digunakan dalam tiga inisiatif.

    Salah satunya adalah pembangunan tiga rute tambahan. Ini mulai dari Singapura-Jepang lewat Selat Luzon, Timur Tengah menuju Eropa dan Manado ke Amerika bagian utara.

    Inisiatif kedua adalah melakukan akuisisi jalur kabel laut lintas Samudra Atlantik yang menghubungkan Eropa serta Amerika. Terakhir adalah mengakusisi kabel laut menghubungkan Afrika.

    Sebagai informasi, proyek ICE merupakan konsorsium pembangunan infrastruktur kabel fiber optik dasar laut. Proyek tersebut memiliki nilai investasi US$2,66 miliar (Rp 43 triliun) dan kontribusi Telkom pada ICE diperkirakan sekitar US$420-620 juta (Rp 6,8-10,1 triliun).

    Proyek ICE terdahulu menghubungkan berbagai wilayah, dari Asia Pasifik dengan Amerika dan Timur Tengah.

    Pembangunan sistem ICE yang sudah berjalan terdiri atas 7 proyek yaitu Indonesia-Singapura-Malaysia, Singapura-Indonesia, Singapura-Indonesia-Malaysia-Vietnam-Filipina-Korea-Jepang, Singapura-India-Mesir, Jepang-Amerika Serikat, Hong Kong-Indonesia-Papua Nugini-Cile, dan Indonesia-Australia.

    Melalui proyek tersebut, Telkom ingin Indonesia menjadi hub internet dunia. Sejauh ini perusahaan telah terlibat pada pembangunan dan pengelolaan jaringan serta optik sepanjang 177.443 kilometer, dengan mayoritas berada di Indonesia mencapai 112.743 kilometer.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Segudang “PR” koperasi untuk Menkop Fery

    Segudang “PR” koperasi untuk Menkop Fery

    Jakarta (ANTARA) – Fery Juliantono baru saja resmi dilantik menggantikan Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Koperasi. Boleh jadi, kantornya hanya berpindah ruangan, karena sebelumnya ia menjabat Wakil Menteri Koperasi.

    Lebih jauh dari itu, harapan publik kini tertuju pada langkah konkret yang akan diambil untuk melakukan pembaruan kebijakan koperasi di Indonesia.

    Kehadiran menteri baru ini diharapkan tidak sekadar menjadi simbol pergantian kepemimpinan, melainkan momentum untuk menghadirkan kebijakan yang lebih substansial, berpihak pada rakyat, dan relevan dengan tantangan zaman.

    Selama bertahun-tahun, koperasi di Indonesia menghadapi persoalan mendasar yang membuat keberadaannya kurang memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

    Padahal, koperasi semestinya menjadi salah satu instrumen utama untuk menciptakan keadilan ekonomi dan menumbuhkan kemandirian masyarakat.

    Fakta di lapangan menunjukkan kondisi koperasi kita masih jauh dari yang diidealkan. Secara kuantitas, jumlah koperasi di Indonesia memang besar, mencapai sekitar 127 ribu dan meningkat menjadi lebih dari 200 ribu dengan adanya pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

    Hanya saja, secara kontribusi terhadap perekonomian nasional, dampaknya masih sangat kecil. Dalam 10 tahun terakhir, kontribusi rata-rata koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 1 persen.

    Artinya, keberadaan ratusan ribu koperasi tersebut belum mampu berperan signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat maupun mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Permasalahan ini tidak lepas dari kesalahan paradigma, regulasi, dan kebijakan yang selama ini mengatur koperasi. Secara paradigma, masyarakat kita masih menganggap koperasi sebatas badan usaha biasa, sama seperti perseroan atau bentuk entitas bisnis lainnya.

    Padahal, secara hakikat, koperasi bukan sekadar entitas ekonomi, tetapi juga alat untuk menciptakan keadilan sosial dan redistribusi ekonomi.

    Di negara-negara yang koperasinya berkembang pesat, koperasi menjadi instrumen kolektif untuk memperkuat daya tawar masyarakat kecil dan menyeimbangkan struktur pasar yang sering kali didominasi korporasi besar.

    Sayangnya, di Indonesia, regulasi yang ada justru membuat koperasi sulit tumbuh secara organik. Salah satu contohnya terlihat dari ketentuan pendirian koperasi dalam Undang-Undang Perkoperasian yang mewajibkan minimal sembilan orang pendiri.

    Aturan ini berbeda jauh dengan praktik di negara-negara maju, seperti Singapura dan Jepang, di mana koperasi boleh didirikan oleh tiga orang saja.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RUU Perampasan Aset: Cermin yang Ditutup
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    RUU Perampasan Aset: Cermin yang Ditutup Nasional 11 September 2025

    RUU Perampasan Aset: Cermin yang Ditutup
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    ADA
    saat ketika sebuah rancangan undang-undang seperti cahaya senja. Redup, samar, dan hampir padam.
    RUU Perampasan Aset pernah berada di titik itu. Ia diajukan, dibicarakan, lalu ditunda. Bertahun-tahun tersangkut di meja DPR, menunggu giliran yang tak kunjung datang.
    Namun pada 9 September 2025, kabar baru datang. DPR akhirnya memasukkan RUU ini ke dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Kedua 2025.
    “RUU Perampasan Aset dimasukkan sebagai inisiatif DPR dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Kedua 2025,” kata Ketua Baleg DPR, Bob Hasan.
    Senja yang pekat itu seakan menyisakan cahaya jingga. Belum terang penuh, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa kabut panjang mulai terbuka.
    Korupsi di negeri ini tidak hanya soal uang tunai. Ia menjelma rumah di atas bukit, vila di tepi pantai, apartemen di Singapura, hingga rekening dolar di luar negeri. Semua bersembunyi di balik nama kerabat, perusahaan cangkang, atau rekening samaran.
    RUU Perampasan Aset hadir untuk menutup celah itu. Prinsipnya sederhana: negara berhak merampas aset yang tak jelas asal-usulnya, bahkan sebelum ada putusan pidana.
    Non-conviction based asset forfeiture
    —model yang dipakai Italia melawan mafia, Amerika Serikat melawan kartel narkoba, dan Filipina memburu kekayaan Marcos—menjadi rujukan.
    Pertanyaannya: mengapa Indonesia, dengan sejarah panjang korupsi, justru tertinggal dalam langkah ini?
    Di Senayan, RUU ini lama diperlakukan seperti tamu yang tak diundang. Perdebatan lebih banyak tentang kepentingan ketimbang substansi.
    Ada yang khawatir aturan ini bisa dipakai sebagai alat politik. Ada pula yang resah, sebab banyak elite juga menyimpan harta dengan asal-usul yang samar.
    Maka, rapat ditunda. Panitia kerja tak kunjung terbentuk. Alasan prosedural dikedepankan: perlu sinkronisasi dengan regulasi lain, harus ada kepastian hukum, harus jelas mekanisme pengawasan.
    Kini, setidaknya secara formal, pintu sudah terbuka. DPR mengambil inisiatif legislasi, menandai bahwa perdebatan tidak bisa lagi diulur tanpa arah.
    Pertanyaannya: apakah pintu itu sungguh akan dibuka lebar, atau hanya sedikit diselipkan untuk menenangkan amarah publik?
    Secara filosofis, pertanyaan pun muncul: apakah perampasan aset tanpa putusan pidana tidak melanggar asas
    due process of law
    ? Bukankah setiap orang berhak dianggap tak bersalah sebelum terbukti?
    Pertanyaan itu penting. Namun, filsafat hukum memberi jalan lain. Gustav Radbruch pernah mengatakan: hukum yang menjauh dari keadilan kehilangan legitimasi.
    RUU Perampasan Aset mencoba mendekatkan hukum pada keadilan substantif. Pasal 28D UUD 1945 memang menjamin kepastian hukum. Namun, Pasal 23 mengamanatkan bahwa keuangan negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
     
    Bagaimana mungkin amanat itu terwujud bila miliaran rupiah dibiarkan mengendap di rekening gelap?
    Banyak pihak juga mengusulkan agar pembahasan RUU ini diselaraskan dengan revisi KUHAP, supaya mekanisme perampasan aset tetap tunduk pada pengawasan pengadilan. Usulan itu penting untuk memastikan aturan ini tak berubah menjadi alat kekuasaan.
    Ketakutan menjadi wajah paling nyata dari perjalanan panjang RUU ini. Takut bahwa negara akan terlalu kuat. Takut mekanisme ini bisa dipakai untuk menyingkirkan lawan politik.
    Dan yang paling terasa: takut bahwa para pembuat aturan sendiri bisa terseret oleh jerat yang mereka pasang.
    Maka, draf ini dipinggirkan. Ditunda. Seperti seseorang yang memilih menutup mata daripada menatap kebenaran.
    Namun, setelah gelombang demonstrasi Agustus 2025, ketakutan itu mulai retak. Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, desakan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan menjadi suara keras di jalanan Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, hingga Medan.
    Rakyat seakan berkata: cukup sudah. Aset koruptor harus kembali kepada pemilik sejati—bangsa ini.
    Sebelum demonstrasi itu, isu RUU Perampasan Aset lebih sering tenggelam. Media menulis seperlunya, LSM bersuara, tetapi gaungnya kalah oleh hiruk-pikuk
    reshuffle
    kabinet atau drama politik harian.
    Demonstrasi besar memang kerap terjadi, tetapi jarang sekali untuk menuntut percepatan RUU ini.
    Padahal, akibat lambannya pembahasan, yang hilang bukan sekadar aset. Yang hilang adalah masa depan: uang untuk sekolah gratis, subsidi pangan, rumah sakit, semua menguap bersama harta yang tak tersentuh.
    Senyap itu berbahaya. Sebab dalam senyap, korupsi bisa kembali tumbuh, mengakar, dan bersembunyi dengan nyaman.
    Bangsa ini pernah belajar dari krisis 1998. Ketika utang menumpuk, ketika korupsi merajalela, ketika rakyat marah. Reformasi lahir bukan sekadar pergantian presiden, melainkan janji untuk menegakkan negara hukum.
    RUU Perampasan Aset seharusnya bagian dari janji itu. Namun, dua dekade lebih berlalu, kita masih berada di titik yang sama. Korupsi tetap diperlakukan sebagai “extraordinary crime”, tetapi penanganannya tetap biasa-biasa saja.
    Ingatan itu perlahan kabur. Seperti senja yang menelan cahaya, kita seakan rela membiarkan janji reformasi tenggelam di ufuk.
    Kini, bangsa ini berada di persimpangan. Apakah RUU itu akan kembali terjebak, ataukah dimanfaatkan sebagai momentum untuk menegaskan komitmen? Pilihan itu bukan hanya milik DPR atau pemerintah, tetapi juga rakyat.
    RUU ini bisa saja disahkan dengan berbagai modifikasi: pengawasan ketat, mekanisme keberatan bagi pemilik aset, dan penguatan peran pengadilan. Semua bisa menjadi pagar agar hukum tidak berubah jadi alat kekuasaan.
    Namun, tanpa keberanian politik, semuanya hanya akan jadi draf di atas meja.
    Senja memang tak bisa dicegah, tetapi senja bukan berarti gelap total. Ada cahaya jingga yang masih bisa memberi harapan. Begitu pula RUU Perampasan Aset. Ia mungkin sedang redup, tetapi bukan mustahil bangkit kembali.
    Yang dibutuhkan hanya satu: keberanian. Keberanian negara untuk berpihak pada rakyat, bukan pada harta yang disembunyikan. Keberanian DPR untuk menatap cermin, meski wajah mereka sendiri mungkin terpantul.
    Dan keberanian kita, sebagai warga, untuk tidak diam. Karena senja kala RUU ini hanya bisa berubah jadi fajar baru bila ada suara yang tak henti-henti menyeru: aset koruptor harus kembali ke rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gibran dorong Perpres anti penyelundupan benih lobster segera rampung

    Gibran dorong Perpres anti penyelundupan benih lobster segera rampung

    Batam (ANTARA) – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka meminta agar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono turut mendorong Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur soal sanksi penyelundupan benih bening lobster (BBL) segera rampung demi menjaga kekayaan komoditas laut.

    “Terkait Perpres ini harus segera didorong karena untuk urusan penyelundupan ini harus segera kita hentikan ya. Karena sekali lagi kekayaan laut kita ini luar biasa. Harus kita jaga dan ini untuk kesejahteraan masyarakat kita,” kata Wapres Gibran saat memberikan keterangan usai melakukan panen budidaya lobster di Balai Perikanan Budidaya Laut di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (10/9).

    Wapres menilai Perpres tersebut yang juga ditekankan oleh Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati (Titiek) Soeharto untuk segera difinalkan, sehingga tidak ada penyelundupan benih lobster yang merugikan Negara.

    Menurut Gibran, pemodelan budidaya lobster di Batam sudah menunjukkan hasil yang memuaskan dengan produksi awal 1,7 ton untuk sebagian diekspor ke Singapura.

    “Dari ukurannya dan cara-cara pengembangbiakannya sudah tepat sekali. Ini tinggal ditingkatkan produktivitasnya, direplikasi, dieksekusi di tempat-tempat lain,” kata Gibran.

    Selain lobster, sejumlah komoditas laut lain yang menjadi potensi ekonomi biru, yakni ikan Napoleon, jade perch, bawal bintang dan kerapu macan yang harus ditingkatkan produktivitasnya.

    Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa pemerintah sedang memproses penetapan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Benih Bening Lobster (BBL) Ilegal.

    “Perpres Satgas Pemberantasan BBL ilegal sedang dilakukan. Segera diteken. Kemarin saya juga sudah menyampaikan langsung kepada Pak Presiden, dan katanya sedang diproses,” ujar Sakti Wahyu Trenggono saat kunjungan di Batam, Kepri, Rabu.

    Perpres ini menjadi instrumen hukum dalam memperkuat pengawasan dan mencegah penyelundupan BBL yang kerap terjadi.

    Ia juga mengatakan bahwa Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan sudah tidak berlaku, terutama terkait ekspor luar dengan skema joint venture.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: M Razi Rahman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tips dan Panduan Memilih Sekolah Internasional yang Tepat

    Tips dan Panduan Memilih Sekolah Internasional yang Tepat

    Bisnis.com, JAKARTA — Memilih sekolah internasional bukan sekadar soal gengsi atau label ‘global’ yang melekat. Bagi banyak orang tua, keputusan ini menyangkut masa depan anak mulai dari kualitas pendidikan, lingkungan belajar, hingga peluang melanjutkan studi ke luar negeri.

    Para orang tua kini dihadapkan pada banyak pilihan dengan tawaran yang beragam. Tak sedikit kasus di mana orang tua terburu-buru mendaftarkan anak ke sekolah internasional tanpa riset mendalam, sehingga menyesal kemudian karena biaya tidak sebanding dengan fasilitas atau metode pengajaran yang kurang cocok. 

    Director of Marketing and Sales at SIS Group of Schools Indra Erwin mengatakan pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas saat ini adalah guru.  

    Menurutnya, sekolah yang menaruh investasi besar pada kualitas sumber daya manusia, para gurunya akan jauh lebih berdampak pada masa depan anak.

    “Fasilitas dapat dibuat di mana saja, tetapi guru yang peduli, kompeten, dan berpengalaman adalah aset utama yang akan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih baik,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).

    Dengan demikian memilih sekolah internasional adalah keputusan penting yang berdampak langsung kepada masa depannya.

    Ada beberapa panduan yang dapat membantu orang tua menentukan sekolah internasional yang paling sesuai dengan kebutuhan dan karakter anak.

    Berikut beberapa hal yang dapat dipertimbangkan dalam memilih sekolah internasional:

    Sesuaikan dengan Karakter Anak

    Setiap anak memiliki sifat yang berbeda.  Ada yang kompetitif, ada yang lebih santai. Pilihan sekolah sebaiknya mengikuti kepribadian anak. 

    Sekolah internasional dengan pendekatan akademik yang ketat mungkin cocok untuk anak yang suka tantangan, sedangkan anak yang lebih rileks mungkin membutuhkan suasana belajar yang tidak terlalu menekan.

    Perhatikan Tiga Hal Utama, Program, People, dan Place

    Program, Pastikan kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan dan arah pendidikan yang diinginkan orang tua untuk anaknya.

    People (Guru). Guru adalah faktor terpenting. Sekolah dengan guru yang berkompeten dan peduli akan lebih membantu anak berkembang bukan hanya secara akademik, tapi juga karakter.

    Place (Fasilitas). Lingkungan dan fasilitas sekolah harus mendukung proses belajar. Tidak selalu harus mewah, tapi harus menunjang kenyamanan dan efektivitas belajar anak.

    Pilih Kurikulum yang Terpercaya dan Sesuai Jenjang

    Saat ini banyak sekolah internasional yang menggunakan kurikulum Cambridge, IB (International Baccalaureate), atau Singapura. 

    Secara keseluruhan, kurikulum Cambridge selama ini sudah digunakan lebih dari 100 tahun terkenal kuat secara akademik. Kurikulum ini cocok untuk membangun dasar yang solid di jenjang menengah, sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

    Cermati Relevansi dan Inovasi Sekolah

    Dunia pendidikan juga terus berubah. Sekolah yang relevan biasanya cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman, termasuk memanfaatkan teknologi seperti AI dan Virtual Reality (VR) untuk mendukung proses belajar.

    Namun, penting diingat bahwa teknologi tetap hanya alat bantu, yang terpenting adalah bagaimana murid dibimbing untuk berpikir kritis, memberikan pertanyaan dan mendapatkan jawaban yang tepat.

    Pertimbangkan Biaya dan Nilai yang Diberikan

    Sekolah internasional selama ini identik dengan biaya yang cukup mahal.

    Meski demikian saat ini, beberapa institusi tetap menjaga agar biaya pendidikan tetap kompetitif. Sejumlah sekolah mengusung konsep half-fees dapat menjadi opsi model agar pendidikan internasional bisa lebih terjangkau di kota-kota besar maupun kecil tanpa mengorbankan kualitas inti, terutama kualitas guru. 

    Fasilitas yang diberikan oleh sejumlah sekolah internasional mungkin dapat menyesuaikan, tetapi kualitas tenaga pendidik dapat dijaga melalui kolaborasi antar sekolah dalam satu jaringan.

    Dengan demikian kurikulum internasional tetap bisa dijalankan dengan kualitas tinggi, tapi dengan biaya lebih rendah, bahkan di kota kecil atau berkembang.

  • Apindo: Masa Depan RI Terhalang Kapasitas Penciptaan Lapangan Kerja Berkualitas

    Apindo: Masa Depan RI Terhalang Kapasitas Penciptaan Lapangan Kerja Berkualitas

    Bisnis.com, JAKARTA— Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus CEO Sintesa Group, Shinta Kamdani, menilai masa depan Indonesia masih menghadapi hambatan serius akibat rendahnya kapasitas penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.

    Shinta menekankan kunci menuju masa depan Indonesia terletak pada investasi terhadap manusia.

    “Karena sebenarnya ini salah satu modal demografi yang sangat besar buat Indonesia,” kata Shinta dalam acara Meet the Leaders bertema Indonesia Incorporated: Driving Job Creation and Economic Resilience in an Era of Global Uncertainty, pada Rabu (10/9/2025).

    Shinta memaparkan, Indonesia memiliki total penduduk sekitar 286 juta orang, dengan 260 juta di antaranya berusia di atas 15 tahun, serta 153 juta merupakan angkatan kerja aktif. Hal tersebut menurutnya membuat usia produktif menjadi aset terbesar bangsa.

    Namun, dia menekankan kapasitas penciptaan lapangan kerja tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. 

    “Masa depan Indonesia sendiri itu terhambat oleh rendahnya kapasitas penciptaan lapangan kerja yang berkualitas. Jadi ini saya rasa menjadi kunci, kenapa kita lihat bahwa dari sisi supply dan demand, itu penyediaan lapangan kerja di Indonesia belum sebanding dengan kebutuhannya,” paparnya.

    Berdasarkan data Apindo, kebutuhan lapangan kerja pada 2024 mencapai 12,2 juta orang, sementara lapangan kerja baru yang tersedia hanya 4,4 juta orang. Dari angka tersebut, hanya 4,8 juta tenaga kerja yang terserap, sedangkan jumlah pengangguran eksisting mencapai 7,8 juta orang.

    Shinta menambahkan, kualitas tenaga kerja juga masih jauh dari kebutuhan industri. Hanya 26% pelaku usaha yang menilai kualitas tenaga kerja sudah sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, hanya 9% tenaga kerja Indonesia yang memiliki kompetensi tinggi, jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

    Situasi tersebut turut berdampak pada meningkatnya pengangguran muda, yang saat ini mencapai 67% pada kelompok usia 15–29 tahun, serta dominasi sektor informal yang hampir menyentuh 60%.

    Lebih jauh, Shinta mengatakan kewirausahaan dapat menjadi salah satu solusi untuk memperluas penciptaan lapangan kerja dan memperkuat ekonomi. Kendati demikian, tingkat entrepreneurship di Indonesia baru sekitar 3,5% dari populasi, tertinggal dibandingkan Thailand (4,8%) dan Singapura (9–12%).

    “Jadi narasi kami adalah investasi pada manusia, menciptakan lapangan pekerjaan melalui industri, dan kewirausahaan,” ungkapnya. 

    Shinta juga menyinggung konsep Indonesia Incorporated yang sempat disampaikan Presiden Prabowo Subianto, di mana pemerintah dan pelaku bisnis harus berjalan seiringan di bawah satu komando presiden untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera dan bermartabat.

    Dia merinci empat kunci yang perlu diperhatikan Indonesia Incorporated. Pertama maju dalam karya, di mana masa depan bangsa harus bertumpu pada inovasi anak bangsa, bukan hanya bergantung pada sumber daya alam.

    Kedua, adil dalam kesempatan, setiap warga negara, termasuk perempuan, harus memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Saat ini partisipasi tenaga kerja perempuan masih jauh di bawah laki-laki.

    Ketiga, hijau dalam alam, di mana pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan, mengingat kerugian akibat perubahan iklim pada 2020–2024 mencapai Rp544 triliun.

    Terakhir, bersatu dalam keragaman dengan 1.340 suku bangsa dan keragaman budaya, keberagaman harus menjadi kekuatan untuk memperkuat bangsa.

    “Jadi kalau saya lihat ini, kita tidak bicara hanya dari segi maju dalam karya, bahwa kita itu punya negara yang besar. Tapi di sini, sebenarnya apa yang kita butuhkan ini adalah bahwa masa depan kita itu tidak hanya karena sumber daya, tapi juga karena karya dan inovasi daripada anak bangsanya sendiri,” kata Shinta.

  • Dosen UGM: Ekspor listrik peluang Indonesia jadi raja energi hijau

    Dosen UGM: Ekspor listrik peluang Indonesia jadi raja energi hijau

    Yogyakarta (ANTARA) – Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Rachmawan menilai kerja sama ekspor listrik bersih Indonesia ke Singapura sebagai peluang besar menjadi raja energi hijau dunia.

    Rachmawan dalam keterangannya di Yogyakarta, Rabu, mengatakan kesepakatan itu membuka peluang untuk mengekspor produk dengan nilai tambah tinggi, bukan lagi sekadar ekspor barang mentah.

    “Ekspor listrik ini adalah salah satu caranya, karena kita tidak lagi menjual barang mentah, tapi produk olahan,” ujar dia.

    Sebelumnya, pada 13 Juni 2025 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menandatangani nota kesepahaman (MoU) terkait ekspor listrik bersih ke Singapura dengan kapasitas sebesar 3,4 gigawatt (GW) hingga 2035.

    Menurut Rachmawan, kesepakatan tersebut akan memberikan nilai tambah signifikan bagi perekonomian nasional.

    Pembangunan pembangkit di dalam negeri bakal mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatkan penggunaan komponen lokal.

    Rachmawan menilai dari aspek keuntungan, harga yang dipatok adalah harga internasional sehingga menarik bagi pelaku usaha sekaligus menguntungkan negara.

    “Kita menghasilkan ‘income’ dengan aktivitas yang rendah karbon,” ujarnya.

    Soal kekhawatiran pasokan domestik, ia menegaskan potensi energi di Sumatra sangat luas, baik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), maupun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

    “Artinya, jika kita hanya membutuhkan sebagian kecil area Sumatra untuk ekspor listrik ke Singapura, saya rasa tidak akan terlalu berdampak bagi pasokan kebutuhan listrik lainnya di sekitar Sumatra,” ujar dia.

    Namun, ia mengingatkan perlunya keseimbangan antara kebutuhan ekspor dan domestik. Pembatasan khusus bisa diterapkan jika lokasi pembangkit untuk ekspor berada di daerah yang masih membutuhkan peningkatan pasokan listrik.

    Dalam menjalankan ekspor itu, Rachmawan menekankan pentingnya skema bisnis yang matang agar kompetitif dan menarik semua pihak.

    “Jika skemanya tidak kompetitif, pihak swasta mungkin akan lebih memilih berinvestasi di negara tetangga. Jika itu terjadi, kita akan kehilangan peluang besar ini,” ujarnya.

    Ia menambahkan, pembangunan kabel bawah laut sebagai infrastruktur utama ekspor pada dasarnya tidak lagi menjadi kendala karena para teknisi disebut telah memiliki pengalaman dan kajian mendalam.

    Meski begitu, ia mengingatkan perlunya perencanaan matang untuk meminimalisasi dampak terhadap jalur lalu lintas kapal.

    “Perencanaan harus matang untuk meminimalisir dampak terhadap kegiatan maritim di wilayah tersebut,” tutur Rachmawan.

    Pewarta: Luqman Hakim
    Editor: Triono Subagyo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Selain Rusia, Diam-Diam Banyak Investor Melirik Kilang Tuban RI

    Selain Rusia, Diam-Diam Banyak Investor Melirik Kilang Tuban RI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan terdapat beberapa perusahaan yang ‘melirik’ proyek New Grass Root Refinery (NGRR) atau Kilang Minyak Tuban. Saat ini proyek tersebut masih dikembangkan oleh perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Rusia yakni Rosneft.

    Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Laode Sulaeman menyebutkan saat ini belum ada keputusan final pengembangan Kilang Tuban. Namun, evaluasi atas kelanjutan proyek dan mitra strategisnya masih berjalan hingga saat ini.

    “Kalau selain sama (Rusia) banyak yang mau. Tapi kita kan harus analisis dulu, karena kan perjanjiannya sama Rosneft masih berlaku,” katanya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

    Meski banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan proyek Kilang Tuban, posisi Rosneft masih sebagai pengelola proyek tersebut.

    Kilang Tuban

    Proyek Kilang Tuban ini merupakan proyek kerja sama antara PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft. Keduanya membentuk perusahaan patungan bernama PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PTPRPP).

    Kilang minyak Tuban ini direncanakan dibangun dengan kapasitas 300.000 barel per hari (bph). Proyek ini sudah dicanangkan sejak 10 tahun lalu, namun hingga kini belum juga terbangun.

    Mengutip situs PT Pertamina Rosneft Pengolahan & Petrokimia (PRPP), pada tanggal 7 September 2015, Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) memulai inisiasi rencana pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur melalui surat kepada Kementerian BUMN.

    Tuban dipilih dengan mempertimbangkan pelbagai faktor, baik aspek geografi maupun potensi di bidang ekonomi khususnya di Jawa Timur. Sejak tahun 2016 dibentuklah kemitraan bersama antara PT Pertamina (Persero) dengan perusahaan minyak dan gas internasional asal Rusia, Rosneft melalui skema Joint Venture.

    Pada 28 November 2017, bertempat di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kemitraan antara PT Pertamina (Persero) dengan Rosneft diwujudkan melalui pembentukan perusahaan Joint Venture PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).

    PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaannya PT Kilang Pertamina Internasional menguasai 55% saham PRPP sedangkan 45% sisanya dikuasai oleh afiliasi Rosneft di Singapura yaitu Rosneft Singapore Pte. Ltd. (dahulu Petrol Complex Pte. Ltd).

    Setelah melalui serangkaian kajian dan dinamika akhirnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tmur No. 188/23/KPTS/013/2019 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kilang Minyak di Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur tanggal 10 Januari 2019 dimana telah dikukuhkan lahan seluas kurang lebih 840 hektar di 4 desa Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban sebagai lokasi pembangunan kilang GRR Tuban.

    Kilang GRR Tuban pun telah disahkan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Profil Lengkap Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

    Profil Lengkap Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

    Bisnis.com, JAKARTA — Nama politisi Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mendadak viral bukan karena prestasi dan latar belakang keluarganya, namun karena pernyataannya yang membuat warga Indonesia marah.

    Wakil Ketua Komisi VII tersebut mengakui bahwa pernyataannya yang muncul pada podcast YouTube Antara TV On The Record tanggal 28 Februari 2024 telah membuat kegaduhan dan menyakiti masyarakat di Indonesia.

    Dia menjelaskan pernyataan yang membuat masyarakat marah itu ada di menit ke-25 hingga menit ke-27 pada podcast Youtube Antara TV On The Record.

    “Saya berbicara dengan pembawa acara selama 42 menit lebih tentang berbagai isu. Bagi masyarakat yang ingin mengetahui apa saja yang saya sampaikan secara menyeluruh, silahkan menonton agar mendapatkan konteks dari apa yang saya sampaikan,” tutur Rahayu melalui akun Instagram resminya @rahayusaraswati yang dikutip Rabu (10/9/2025) malam.

    Berikut profil Rahayu Saraswati Djojohadikusumo:

    Nama lengkap: Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo

    Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 27 Januari 1986 

    Orang tua: Hashim Djojohadikusumo dan Anie Hashim Djojohadikusumo   

    Keluarga besar: Keponakan dari Prabowo Subianto. Kakek buyutnya, Raden Margono Djojohadikusumo merupakan pendiri BNI, sedangkan kakeknya, Soemitro Djojohadikusumo, dikenal sebagai tokoh ekonomi terkemuka   

    Status keluarga: Menikah dengan Harwendro Adityo Dewanto (sejak 2014) dan memiliki dua anak  

    Pendidikan:

    SD: SD Takaranita II Jakarta

    SMP: United World College of South East Asia, Singapura

    SMA: Collège du Léman, Swiss

    Sarjana: University of Virginia, AS — jurusan Classics & Drama (sekitar 2,5 tahun hingga 2005)

    Pasca-sarjana: International School of Screen Acting, London (2006–2007); sebelumnya kursus di New York Film Academy, Los Angeles (Universal Studios)  

    Karier dalam Dunia Hiburan

    Film: Terlibat dalam trilogi Merah Putih (2009–2011), Darah Garuda (2010), Hati Merdeka (2011), dan Dream Obama (2011). Merah Putih pernah masuk nominasi Festival Film Bandung 2010

    Presenter: Mengisi acara seperti Talk Indonesia (2010–2013) dan Hot Indonesia (2014–2015)

    Kiprah Politik & Aktivisme

    Awal karier politik: Bergabung dengan Partai Gerindra sejak 2013, aktif di organisasi sayap TUNAS sebagai Kepala Bidang Pengembangan

    Anggota DPR RI:

    Periode 2014–2019: Terpilih sebagai anggota DPR dari Dapil IV Jawa Tengah (Sragen, Karanganyar, Wonogiri), bertugas di Komisi VIII (urusan agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak)

    Periode 2024–2029: Kembali terpilih sebagai anggota DPR RI dari Dapil DKI Jakarta III  

    Jabatan Partai:

    Wakil Ketua Umum Partai Gerindra (2020–2025)

    Aktivisme & Organisasi Non-Partai:

    Co-Chair Y20 Indonesia 2022; anggota Board – Indonesia Youth Diplomacy (IYD); Presidium – Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)

    Pendiri dan Ketua Yayasan Parinama Astha (ParTha) serta Ketua Jaringan Nasional Anti TPPO (perdagangan manusia)

    CEO PT Bima Sakti Bahari; CSO HYPPE; Penasihat Yayasan Peduli Down Syndrome Indonesia (YAPEDSI)  

  • Cara Samsung Rangkul Gen Z Pecinta Lari, Pakai AI Jadi Coach

    Cara Samsung Rangkul Gen Z Pecinta Lari, Pakai AI Jadi Coach

    Singapura

    Di era digital saat ini, Generasi Z dikenal sebagai generasi yang melek teknologi dan sangat peduli dengan gaya hidup sehat. Salah satu aktivitas yang digemari mereka adalah lari. Tidak hanya sebagai olahraga, namun juga bagian dari identitas.

    Melihat tren ini, Samsung melalui Galaxy Watch 8 Series menghadirkan inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk menopang gaya hidup sehat Gen Z yang menginginkan pengalaman berlari. Fitur ini dinamakan ‘Personal Coach’ dan dapat memberikan penilaian yang lebih personal, cerdas, dan terukur.

    VP Mobile eXperience Business Samsung Electronics Southeast Asia and Oceania (SEAO), Carl Nordenberg mengatakan rata-rata Gen Z hingga dewasa muda di SEAO menghabiskan 4,3 jam per minggu untuk berolahraga atau lebih dari 30 menit per hari.

    “Menariknya, angka ini lebih tinggi pada generasi muda di Indonesia. Riset kami mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia berusia 26-35 tahun rata-rata berolahraga 4,8 jam per minggu. Di Indonesia, olahraga yang paling banyak dipilih adalah lari atau jogging, dengan peningkatan kebugaran menjadi salah satu motivasi utama masyarakat untuk berolahraga,” kata Carl di sela-sela acara World Sleep Congress 2025, di Singapura, Rabu (10/9/2025)

    “Melihat hal ini, fitur terbaru Running Coach di Galaxy Watch 8 Series dapat sangat bermanfaat bagi pengguna Indonesia yang gemar berlari, dengan memberikan panduan langsung serta motivasi real-time selama berolahraga,” sambungnya.

    Carl menambahkan bahwa Samsung Galaxy Watch 8 Series terinspirasi dari komitmen masyarakat, seperti Indonesia yang berkomitmen untuk menjaga kesehatan.

    “Di Samsung, kami melihat peluang besar untuk mendukung perjalanan tersebut dengan menghadirkan produk dan layanan yang dapat memberdayakan kesehatan sesuai kebutuhan mereka,” kata Carl.

    “Seiring dengan terus dikembangkannya platform kesehatan kami – termasuk Samsung Health dan portofolio wearable, kami akan terus menghadirkan fitur-fitur yang membantu pengguna tidur lebih nyenyak, tetap aktif, serta membuat pilihan yang lebih bijak untuk menjalani gaya hidup sehat,” sambungnya.

    Menurut Carl, Galaxy Watch 8 Series dirancang sedemikian rupa untuk kenyamanan para pengguna, sehingga tak hanya berfokus pada layanan, ‘jam pintar’ ini juga tak melupakan soal tampilan.

    “Dirancang dengan cermat untuk kenyamanan maksimal, perangkat ini mendorong penggunaan yang konsisten dan terasa effortless untuk pelacakan kesehatan 24/7. Hasil pemantauan ini memberikan konteks yang lebih luas terkait kesehatan dan kebugaran, sekaligus melengkapi data dari penyedia layanan kesehatan,” tutupnya.

    (dpy/fyk)