Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
LEBIH
dari enam dekade sudah berlalu sejak Papua Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia. Namun hingga kini, hati dan pikiran masyarakat Papua tetap terasa masih jauh dari Jakarta.
Ketegangan yang terus berulang antara aparat keamanan dan warga sipil, laporan kekerasan di daerah-daerah pegunungan, serta munculnya berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan yang semakin aktif di panggung internasional, menunjukkan bahwa persoalan Papua bukanlah semata masalah keamanan.
Lihat saja peristiwa bentrok antara aparat kepolisian dengan elemen pemuda pada
aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua di Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (15/10/2025).
Ratusan mahasiswa Papua tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) menggelar aksi demonstrasi menolak investasi dan militerisasi di Tanah Papua.
Aksi tersebut berakhir ricuh, dua mobil polisi dan satu mobil PDAM Jayapura dibakar massa hingga 3 orang luka terkena lemparan batu.
Peristiwa ini memperjelas fakta bahwa masalah Papua multidimensional, tak bisa disederhanakan hanya sebagai masalah keamanan.
Papua adalah cermin dari kegagalan negara memahami rakyatnya sendiri. Pendekatan militeristik yang terus dipertahankan telah memperdalam jurang ketidakpercayaan, memperkuat sentimen perlawanan, dan secara perlahan membuka jalan bagi legitimasi perjuangan referendum yang kini, menurut rencana para pejuang Papua merdeka, akan diupayakan pada tahun 2027 mendatang.
Buku “Papua: Geopolitics and the Quest for Nationhood” (2018) karya Bilveer Singh menggambarkan dengan tajam akar persoalan ini.
Singh, pakar politik dari Universitas Nasional Singapura, menegaskan bahwa Papua tidak dapat dipahami hanya dari kacamata integrasi nasional atau pemberantasan separatisme.
Di balik perlawanan politik yang sering dicap “gerakan pengacau keamanan”, terdapat sejarah panjang ketidakadilan dan marginalisasi.
Proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang dinilai cacat oleh banyak kalangan di dalam komunitas internasional menjadi luka awal yang tidak pernah sembuh.
Ketika ketidakadilan struktural seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial, dan eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung, maka gagasan tentang “merdeka” menjadi simbol harapan atas harga diri dan kebebasan masyarakat Papua.
Singh menilai bahwa pendekatan keamanan Indonesia justru memperkuat narasi separatisme itu, karena negara gagal menunjukkan empati dan pengakuan terhadap identitas Papua sebagai bagian sejajar dari bangsa Indonesia.
Ironisnya, pendekatan keamanan telah menjadi pola refleks dan repetitif negara dalam menghadapi setiap gejolak di Papua.
Peningkatan jumlah pasukan, operasi intelijen, serta kontrol ketat terhadap wilayah dan kontrol atas informasi dianggap sebagai satu-satunya cara menjaga “stabilitas nasional”. Padahal, stabilitas yang dibangun di atas rasa takut bukanlah stabilitas sejati.
Stephen Hill dalam bukunya “Merdeka: Hostages, Freedom and Flying Pigs in West Papua” (2014) menjelaskan bahwa kekerasan yang terus-menerus diulang hanya memperkuat siklus kebencian.
Bagi Hill, Papua adalah ruang di mana makna “merdeka” selalu dinegosiasikan antara kekuasaan dan kemanusiaan.
Ketika negara memaksa rakyatnya untuk patuh melalui kekuatan senjata, maka yang hilang bukan hanya rasa aman, melainkan juga rasa memiliki terhadap Indonesia.
Dalam konteks inilah, pendekatan keamanan justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita “merangkul Papua dalam satu keluarga bangsa.”
Kini, konsekuensi dari pendekatan yang keliru tersebut mulai tampak nyata. Organisasi-organisasi perjuangan Papua merdeka semakin gencar mencari dukungan di tingkat internasional.
Di dalam komunitas negara-negara Melanesia, Papua mendapat ruang yang kian luas melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) dan jejaring solidaritas Pasifik.
Dukungan moral dari negara-negara seperti Vanuatu, Solomon Islands, dan bahkan Fiji mulai menunjukkan bahwa isu Papua telah menjadi simbol solidaritas regional bagi bangsa-bangsa Melanesia.
Indonesia memang berusaha mengimbangi dengan diplomasi ekonomi dan politik. Namun luka identitas yang tak kunjung diakui membuat diplomasi tersebut sering tampak artifisial di mata publik Melanesia.
Setiap tindakan kekerasan di lapangan menjadi bahan bakar baru bagi kampanye Papua merdeka di dunia internasional, sekaligus mengikis citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia.
Lebih jauh lagi, dukungan dari negara-negara Barat mulai menunjukkan arah yang mengkhawatirkan.
Australia, yang selama ini berhati-hati dalam bersikap terhadap isu Papua, kini mulai mengambil posisi strategis.
Penempatan pasukan Australia di kawasan Papua Nugini yang berdekatan dengan Darwin bukan hanya langkah pertahanan semata, tetapi juga bentuk kesiapsiagaan terhadap potensi referendum di Papua Barat yang direncanakan pada 2027 itu.
Di beberapa forum keamanan Pasifik, pejabat Australia bahkan menyinggung pentingnya “stabilitas berbasis hak asasi manusia” di kawasan.
Kalimat yang tampak diplomatis ini sejatinya mengirim sinyal bahwa Barat ingin memastikan, jika referendum terjadi, Indonesia tidak melakukan intervensi yang dapat mencederai legitimasi proses tersebut.
Bila langkah ini berlanjut, Indonesia bisa terjebak dalam situasi serupa dengan Timor Timur dua dekade lalu, di mana tekanan internasional dan citra buruk akibat kekerasan negara justru mempercepat lepasnya wilayah itu dari republik.
Indonesia tentu memiliki alasan untuk mempertahankan Papua sebagai bagian integral dari negara. Papua adalah wilayah kaya sumber daya, strategis secara geografis, dan merupakan simbol keutuhan nasional.
Namun, cara mempertahankannya tidak bisa terus-menerus bergantung pada pendekatan kekuatan.
Seperti diingatkan Bilveer Singh, legitimasi negara di mata rakyatnya tidak dibangun dengan bayonet, tetapi dengan rasa keadilan dan keterlibatan sejati yang manusiawi.
Selama pemerintah Jakarta masih memandang Papua sebagai “daerah rawan”, alih-alih sebagai “daerah yang perlu didengarkan,” maka jarak emosional akan terus melebar.
Pendekatan keamanan memang bisa menekan gejolak sesaat, tetapi tidak pernah menyembuhkan sebab-musababnya.
Masalahnya, pendekatan pembangunan yang seharusnya menjadi jembatan menuju rekonsiliasi justru sering terkooptasi oleh logika keamanan.
Program infrastruktur masif seperti Trans Papua, pembangunan bandara, dan perluasan tambang sering dijadikan simbol kemajuan, tanpa memperhatikan ketimpangan yang terjadi di tingkat sosial dan budaya.
Masyarakat lokal kerap tersisih dari proyek-proyek tersebut, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Akibatnya, pembangunan yang dimaksudkan untuk “menyatukan” Papua justru dianggap sebagai bentuk eksploitasi baru.
Hal ini sesuai dengan kritik Singh bahwa kebijakan
top-down
dari Jakarta gagal memenangkan hati masyarakat karena tidak berangkat dari kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
Sementara itu, organisasi-organisasi Papua merdeka seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terus memperluas pengaruhnya di dunia internasional.
Dengan strategi diplomasi yang rapi dan dukungan diaspora Papua di Eropa serta Pasifik, mereka berhasil menggeser persepsi global terhadap konflik Papua dari isu separatisme menjadi isu hak menentukan nasib sendiri.
Kampanye mereka di forum PBB, gereja-gereja global, hingga parlemen-parlemen negara Barat semakin mengisolasi Indonesia secara moral.
Dalam konteks ini, setiap tindakan represif di lapangan menjadi “amunisi politik” yang memperkuat narasi bahwa Papua berada di bawah penjajahan modern.
Jika tren ini berlanjut, Indonesia akan menghadapi situasi diplomatik yang jauh lebih rumit menjelang tahun 2027.
Rencana referendum yang kini mulai dibicarakan di lingkaran aktivis Papua merdeka, dengan dukungan moral dari komunitas Melanesia dan sikap waspada Australia, plus dukungan jaringan gereja, bisa menjadi momentum politik yang akan sulit dihadang.
Dunia yang kini semakin sensitif terhadap isu hak asasi manusia dan dekolonisasi akan mudah bersimpati pada perjuangan Papua, terutama bila Indonesia gagal memperlihatkan perubahan nyata dalam pendekatan di lapangan.
Dalam skenario terburuk, tekanan internasional bisa memaksa Indonesia membuka ruang dialog yang diarahkan pada penentuan nasib sendiri, seperti yang pernah terjadi di Timor Timur pada 1999.
Namun, peluang tersebut tentu tidak harus menjadi kenyataan jika Indonesia berani mengubah pendekatannya sekarang.
Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang bertahan lama bukan karena ketakutan, tetapi karena kepercayaan.
Papua membutuhkan pengakuan, bukan pengawasan. Rakyat Papua ingin didengar, bukan diawasi.
Karena itu, pemerintah harus menata ulang paradigma keamanannya dengan menempatkan hak asasi manusia dan rekonsiliasi sebagai fondasi utama kebijakan.
Perlu ada mekanisme keadilan transisional yang mengakui kekerasan masa lalu, membuka ruang dialog sejajar antara Jakarta dan perwakilan masyarakat Papua, serta memastikan pembangunan dijalankan dengan menghormati hak-hak adat dan budaya.
Indonesia memang memiliki kesempatan untuk membalikkan arah sejarah, tetapi waktu semakin sempit. Setiap tindakan represif yang terjadi hari ini adalah satu langkah menuju hilangnya kepercayaan di esok harinya.
Papua tidak bisa terus didekati dengan bahasa perintah, tapi harus dirangkul dengan bahasa kemanusiaan.
Seperti yang disampaikan Stephen Hill, kemerdekaan sejati tidak selalu berarti pemisahan dari negara, tetapi kebebasan untuk diakui dan dihormati sebagai manusia yang setara.
Bila Indonesia gagal memahami pesan sederhana tersebut, maka upaya mempertahankan Papua justru akan menjadi proses yang perlahan-lahan menyiapkan jalan bagi kemerdekaan.
Pendek kata, persoalan Papua bukan hanya ujian bagi Papua dan masyarakatnya, tetapi juga ujian moral bagi Indonesia.
Apakah negara ini benar-benar siap menjadi rumah bagi seluruh bangsanya, termasuk mereka yang berbeda warna kulit, budaya, dan sejarah?
Ataukah Indonesia akan terus memaksa persatuan melalui ketakutan dan senjata, sampai akhirnya kehilangan yang paling berharga terjadi, kepercayaan rakyatnya sendiri?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Negara: Singapura
-

BKPM: Investasi triwulan III Rp491,4 triliun, serap 696.478 pekerja
Jakarta (ANTARA) – Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi yang masuk ke tanah air pada triwulan III 2025 mencapai Rp491,4 triliun dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 696.478 orang.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, menyatakan angka ini tumbuh 13,9 persen dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/YoY), serta capaian ini setara dengan 25,8 persen dari target nasional 2025 sebesar Rp1.905,6 triliun.
“Ini sudah sesuai dengan apa yang kami rencanakan,” ucap Rosan.
Rosan menjelaskan dari total investasi triwulan III, penanaman modal dalam negeri (PMDN) menyumbang Rp279,4 triliun atau 56,9 persen, sedangkan penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp212,0 triliun atau 43,1 persen.
Berdasarkan sebaran wilayah, luar Jawa mencatat Rp265,8 triliun atau 54,1 persen), sementara Jawa Rp225,6 triliun atau 45,9 persen.
Ia menyatakan sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya menjadi penyumbang utama investasi periode ini dengan total penanaman modal Rp62 triliun, selanjutnya pertambangan Rp55,9 triliun, transportasi, gudang, dan telekomunikasi Rp52,6 triliun, jasa lainnya Rp44,3 triliun, serta perdagangan dan reparasi Rp34,5 triliun.
Negara asal investasi asing terbesar didominasi Singapura 3,8 miliar dolar AS, Hong Kong 2,7 miliar dolar AS, China 1,9 miliar dolar AS, Malaysia 10 miliar dolar AS, dan Amerika Serikat 0,8 miliar dolar AS.
Menurut Rosan, secara kumulatif, realisasi investasi Januari-September 2025 mencapai Rp1.434,3 triliun, naik 13,7 persen (yoy) dan telah memenuhi 75,3 persen dari target tahunan.
Dari total itu, PMDN berkontribusi Rp789,7 triliun atau 55,1 persen dan PMA Rp644,6 triliun atau 44,9 persen dengan penyerapan tenaga kerja 1,95 juta orang.
Industri logam dasar kembali menjadi penopang utama dengan Rp196,4 triliun, diikuti transportasi dan telekomunikasi Rp163,3 triliun, pertambangan Rp158,1 triliun, jasa lainnya Rp130,0 triliun, dan perumahan dan kawasan industri Rp105,2 triliun.
Dengan tren pertumbuhan positif tersebut, pihaknya optimistis target investasi nasional 2025 sebesar Rp1.905,6 triliun akan tercapai.
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Investasi Asing Mengalir ke RI Tembus Rp 212,2 Triliun
Jakarta –
Realisasi investasi RI pada kuartal III tahun 2025 mencapai Rp 491,4 triliun. Dari jumlah tersebut, Penanaman Modal Asing (PMA) berkontribusi sebesar Rp 212,2 triliun atau 43,1%.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, jumlahnya memang lebih rendah dibandingkan dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mencapai Rp 279,4 triliun atau sebesar 56,9%.
“PMA-nya Rp 212 triliun dan memang kita lihat di tengah tantangan yang masih berlangsung, geopolitik, ekonomi, tetapi kalau kita lihat tren ke depannya telah direvisi meningkat dari World Bank atau OECD dan kita harapkan akan terus meningkat,” kata Rosan dalam acara Konferensi Pers Capaian Realisasi Investasi Triwulan III Tahun 2025 di Kantor Kementerian Investasi, Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Rosan mengatakan, posisi negara investor terbesar masih diduduki oleh Singapura dengan kontribusi sebesar US$ 3,8 miliar atau sebesar 28,8%. Singapura telah menempati posisi tertinggi sejak 10 tahun terakhir.
“Kalau kita lihat kontribusi negara tidak berubah banyak cukup konstan, Singapura masih menjadi kontributor. Secara pencatatan investasi masuk lewat Singapura, 10 tahun terakhir Singapura menjadi negara no 1 yang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Kemudian di posisi kedua, ada Hong Kong dengan kontribusi sebesar US$ 2,7 miliar atau 20,3% dari PMA. Di posisi ketiga ada China, yang pada kuartal III 2025 berinvestasi sebesar US$ 1,9 triliun atau 14,1%.
“Tapi kalau kita combine 2 ini (investasi Hong Kong dan China), angkanya menjadi US$ 4,6 miliar, lebih besar dari Singapura,” ujar dia.
Selanjutnya di posisi keempat negara investor terbesar RI pada kuartal III 2025, ada Malaysia dengan kontribusi sebesar US$ 1 miliar atau 7,4% dari PMA. Kelima, ada Amerika Serikat (AS) berkontribusi sebesar 5,8% atau US$ 0,8 miliar.
(kil/kil)
-

Gagal Bertemu Wamen, Roy Suryo Justru Dapat Data ‘Aneh’ soal Sekolah Gibran
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Rencana pertemuan Roy Suryo dengan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat, pada Kamis (16/10/2025) kemarin batal terlaksana.
Dikatakan Roy, Wamen mendadak berhalangan karena harus menghadiri agenda di DPR RI.
Informasi itu ia peroleh setelah mendatangi kantor Kemendikdasmen bersama ahli digital forensik Rismon Sianipar dan advokat Kurnia Tri Royani.
“Pak Wamen ingkar janji. Wamen tiba-tiba menyatakan ada acara di DPR,” kata Roy kepada fajar.co.id, Jumat (17/10/2025).
Meski batal bertemu Wamen, mantan Menpora itu mengaku tetap memperoleh sejumlah informasi penting dari pejabat Kemendikdasmen, yakni Eko Susanto, Sekretaris Ditjen PAUD Dikdasmen, dan Anang Ristanto, selaku PPID Utama Kemendikdasmen.
Kata Roy, Eko Susanto telah mengoreksi pernyataan sebelumnya terkait data pendidikan Gibran Rakabuming Raka.
“Pak Eko meralat pernyataannya yang terdahulu, katanya Gibran itu ada dua rapor, yaitu rapor kelas 10 dan kelas 11 dari pendidikannya di Orchid Park Secondary School,” Roy menuturkan.
Roy kemudian menafsirkan keterangan tersebut sebagai setara dengan dua tahun jenjang SMA.
“Itu artinya apa? Dia kelas 1 dan kelas 2 SMA, kalau kelas 10 dan kelas 11 sesuai dengan data ini,” katanya.
Namun, lanjut Roy, pernyataan itu kembali dikoreksi oleh pihak Kemendikdasmen.
“Tadi diralat, bahwa Orchid Park Secondary School itu hanya SMP plus 1 tahun. Jadi Gibran itu pindah ke Singapura itu SMP plus 1 tahun. Jadi dia hanya dapat kelas 1 SMA. Katanya, ini katanya, ada sertifikat O-Level katanya. Jadi O-Level itu sertifikat SMP plus 1 tahun,” tambahnya.
-

Mengenal 3D Trasar, Teknologi Pendingin Chip Data Center Ramah Lingkungan
Jakarta –
Ecolab memperkenalkan teknologi 3D Trasar untuk Direct-to-Chip Liquid Cooling di Asia Tenggara. Peluncuran perdana berlangsung dalam ajang Data Center World Asia 2025 di Singapura, menandai langkah strategis Ecolab dalam mendukung efisiensi dan keberlanjutan pusat data di kawasan tersebut.
Teknologi ini dirancang khusus untuk sistem pendinginan high-performance computing (HPC) dan data center modern. 3D Trasar memungkinkan pemantauan kondisi pendingin secara real time, termasuk suhu, pH, dan laju aliran, guna menjaga kesehatan sistem dan mencegah gangguan operasional.
Ecolab menyebut inovasi ini sebagai terobosan dalam mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam sekaligus mendukung pertumbuhan ekosistem digital.
Gregory Lukasik, CEO & Senior Vice President Ecolab Southeast Asia, menegaskan bahwa transformasi digital dan perkembangan AI memicu kebutuhan infrastruktur yang lebih andal dan hemat energi.
“AI membuka peluang pertumbuhan baru bila kita dapat menciptakan sistem yang dapat menggunakan kembali air dan energi secara berkelanjutan dan berskala besar,” ujarnya dalam keterangan yang diterima detikINET.
Solusi pendinginan ini menjadi bagian dari portofolio manajemen air dan termal Ecolab yang lebih luas. Pendekatan yang ditawarkan mencakup pengelolaan dari tingkat fasilitas hingga chip, dengan tujuan meningkatkan umur operasional, mengurangi konsumsi sumber daya, serta mengoptimalkan Water Use Efficiency (WUE) dan Power Usage Effectiveness (PUE). Teknologi ini juga dirancang untuk memastikan uptime maksimal dengan pemantauan berbasis data.
Peluncuran ini terjadi di tengah lonjakan kebutuhan data center di Asia Pasifik, yang kini menyumbang lebih dari 40% pembangunan kapasitas global baru. Permintaan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada 2030, dipicu adopsi AI, cloud, dan komputasi berkinerja tinggi. Bersamaan dengan itu, konsumsi listrik data center ikut meningkat tajam.
Singapura menjadi salah satu pasar paling strategis. Data center di negara tersebut saat ini menyerap sekitar 7% konsumsi listrik nasional, dengan pendinginan mencapai hampir 40% dari total penggunaan. Nilai pasar data center Singapura diperkirakan tumbuh dari USD 4,16 miliar pada 2024 menjadi USD 5,59 miliar pada 2030, sehingga efisiensi energi dan mitigasi risiko operasional menjadi prioritas utama.
Teknologi 3D Trasar disebut selaras dengan Singapore Green Plan 2030 dan inisiatif Smart Nation. Efisiensi pendinginan, pemanfaatan kembali air, dan pemantauan data secara langsung dianggap krusial untuk memastikan data center tetap andal dan berkelanjutan di tengah lonjakan trafik digital.
Kelly Lai, VP for Materials & Chemicals di Economic Development Board Singapore, menilai kehadiran Ecolab relevan dengan strategi nasional. “Seiring upaya Singapura berinvestasi dalam talenta dan infrastruktur AI, kemitraan dengan perusahaan kimia khusus yang menyediakan teknologi praktis untuk efisiensi energi dan sumber daya akan menjadi kunci pertumbuhan berkelanjutan. Kami menyambut mitra seperti Ecolab yang menghadirkan solusi efisien dan berbasis AI untuk kawasan Asia dan seterusnya,” ujarnya.
Dengan peluncuran ini, Ecolab memperkuat posisinya sebagai mitra teknologi bagi operator data center yang ingin mengejar kinerja tinggi tanpa mengorbankan keberlanjutan.
(asj/rns)
-

Hampir 2 Juta Kasus Mirip COVID Ngegas di DKI, Kemenkes RI ‘Pasang Radar’
Jakarta –
Dinas Kesehatan DKI Jakarta membenarkan adanya peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sejak Juli 2025. Hingga Oktober, keluhan mirip COVID-19 hampir mencapai 2 juta kasus.
“Total kasus ISPA di DKI Jakarta hingga Oktober 2025 sebesar 1.966.308. Peningkatan kasus terlihat mulai bulan Juli. ISPA merupakan penyakit tertinggi di Puskesmas karena penularannya sangat mudah, yakni melalui droplet dan aerosol,” tutur Kepala Dinkes DKI, Ani Ruspitawati, kepada detikcom Kamis (16/10/2025).
Meski demikian, Ani mengatakan tren ini tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Keluhan batuk tidak sembuh-sembuh cenderung meningkat di tengah cuaca tidak menentu dan menurunnya imunitas tubuh.
“Tapi sejauh ini nggak sangat signifikan. Jadi masih di dalam kendali,” katanya.
Meski demikian, Ani mewanti-wanti gejala yang muncul seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, hingga demam. Gejala lain yang menyertai adalah hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot, hingga bersin dan suara serak.
“Pada kasus ISPA yang lebih berat, gejala dapat mencakup sesak napas, yang membutuhkan penanganan segera,” pesannya.
Kemenkes RI Pantau Perkembangan Kasus
Adanya tren peningkatan kasus mirip flu dan ISPA juga dikonfirmasi oleh Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman. Menurutnya, tren kasus penyakit influenza dan sejenisnya meningkat beberapa pekan terakhir.
“Telah terjadi peningkatan tren kasus penyakit influenza/sejenisnya (ILI, ISPA, COVID) di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir. Data diperoleh dari laporan oleh fasyankes ke SKDR (Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons),” sebutnya.
Tren serupa, menurut Aji, juga terpantau di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Di negara tersebut, kasus didominasi virus Influenza Tipe A.
Sebagai antisipasi, Kemenkes melakukan pengamatan kasus influenza melalui SKDR dan surveilans sentinel ILI (Influenza Like Illness) dan SARI (Severe Accute Respiratory Infection). Komunikasi risiko juga dilakukan melalui berbagai media.
Halaman 2 dari 2
Simak Video “Video IDAI: Indonesia Punya Kasus Influenza Sepanjang Tahun”
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)Dihantui Penyakit Mirip COVID
11 Konten
Dinas Kesehatan DKI mencatat tren peningkatan penyakit dengan keluhan mirip COVID-19, yakni batuk yang tidak sembuh-sembuh. Sementara itu, COVID-19 justru mengalami penurunan. Lalu penyakit apa yang lagi ngegas saat ini?
Konten Selanjutnya
Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya
-

Menpar ingin Pulau Penyengat menjadi pusat wisata halal terbesar ASEAN
Makanya, kami optimistis pulau ini akan menjadi pusat wisata halal dan Muslim yang terbesar di kawasan ASEAN.
Tanjungpinang (ANTARA) – Menteri Pariwisata (Menpar) RI Widiyanti Putri Wardhana ingin menjadikan Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sebagai pusat wisata halal dan Muslim terbesar di kawasan ASEAN.
“Hari ini, kita berada di Bumi Gurindam 12, tanah kelahiran Raja Ali Haji, seorang ulama dan pujangga besar Riau-Lingga. Pantun, syair, dan pedoman bahasanya menjadi cikal bakal bahasa Indonesia yang kita gunakan sebagai bahasa persatuan hingga hari ini,” kata Menpar Widiyandi saat berkunjung ke Pulau Penyengat, Kamis sore.
Menpar juga berharap Pulau Penyengat semakin terkenal, sekaligus mampu menarik lebih banyak wisatawan dalam maupun luar negeri datang kemari, terutama di negara-negara Muslim.
Kementerian Pariwisata, kata dia, berkomitmen mempromosikan Pulau Penyengat ke mancanegara karena memiliki histori dan sejarah yang luar biasa. Termasuk memperbanyak program-program pariwisata nasional di pulau tersebut.
Pulau mungil yang terletak di seberang pusat Kota Tanjungpinang itu mencerminkan integrasi antara kekayaan budaya, nilai religius, dan potensi ekonomi masyarakat.
“Sebagai pusat peradaban Melayu Islam pada abad ke-19, Pulau Penyengat memiliki makna historis dan kultural yang mendalam. Makanya, kami optimistis pulau ini akan menjadi pusat wisata halal dan Muslim yang terbesar di kawasan ASEAN,” ujarnya pula.
Dalam kunjungan perdana ini, Menpar Widiyanti turut menyerahkan sertifikat halal produk untuk 24 pelaku UMKM di Pulau Penyengat.
Dengan adanya sertifikasi halal ini, diharapkan semua produk-produk UMKM tersertifikasi halal, sehingga menarik minat wisatawan mancanegara, khususnya agama Muslim.
“Selain itu, turut mendorong daya saing produk lokal untuk menjangkau pasar global,” ujar Menpar.
Menpar RI Widiyandi Putri Wardhana saat berkunjung ke Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepri, Kamis (16/10/2025). ANTARA/Ogen
Gubernur Kepri Ansar Ahmad menyampaikan pihaknya terus berupaya mempercantik Pulau Penyengat, mulai dari pembangunan infrastruktur, eksplorasi budaya dengan story telling yang bagus, serta mengembangkan 44 situs sejarah di pulau tersebut.
Pemprov Kepri bersama seluruh stakeholder juga gencar promosi serta memperbanyak agenda wisata di Pulau Penyengat, baik di siang maupun malam hari.
Menurut Ansar, Pulau Penyengat menjadi salah satu destinasi wisata favorit turis asing, terutama dari Malaysia dan Singapura.
Pihaknya juga menggaet wisatawan nusantara ke Pulau Penyengat supaya mereka tahu bahwa di sini banyak sejarah yang memberikan kontribusi buat negeri ini, terutama bahasa persatuan bahasa Indonesia.
“Kita sangat yakin Pulau Penyengat terus berkembang jadi pusat pariwisata halal, apalagi sudah dua kali dapat predikat desa wisata rintisan terbaik pertama nasional,” ujar Ansar.
Pewarta: Ogen
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Steve Forbes: Dunia Butuhkan Pemimpin Kuat Seperti Prabowo
Jakarta, CNBC Indonesia – Chairman dan Editor in Chief Forbes Media Steve Forbes, berbincang dengan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam sebuah dialog terbuka yang membahas perjalanan hidup, kebijakan ekonomi, dan upaya Indonesia mendorong perdamaian dunia. Steve menyampaikan pandangannya tentang kepemimpinan Prabowo dan menyorot perannya untuk perdamaian di Gaza.
Steve juga menyorot pidato Prabowo di PBB yang dinilainya sangat berani, tentang bahwa Israel harus mengakui Palestina, dan sebaliknya
“Beberapa orang mengkritik Anda karena hal itu, tetapi hal itu justru menunjukkan jenis kepemimpinan tegas dan visioner yang dibutuhkan dunia saat ini,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (16/10/2025).
Menurutnya Prabowo berhasil menyediakan es bagi para nelayan atau berupaya membawa perdamaian di wilayah yang bergejolak, Indonesia memiliki seorang pemimpin yang sangat kuat.
“Saya bersyukur untuk itu,” ujar Steve menyambung.
Dalam dialog itu Prabowo sempat menyorot keberhasilan program Kampung Nelayan.
“Banyak desa nelayan tidak punya dermaga, tidak punya es. Jadi kami bangun dermaga, kami bantu dengan fasilitas produksi es kecil. Setelah satu setengah sampai dua tahun, pendapatan mereka naik seratus persen. Saya sendiri terkejut,” ujarnya.
Prabowo juga menjelaskan asal mula program Makan Bergizi Gratis dan pengalaman melihat langsung anak-anak di desa yang mengalami kekurangan gizi.
“Setiap kali saya datang ke desa, saya melihat anak-anak kecil menyambut saya. Mereka berdiri, melambai, dan saya ajak bicara. Saya tanya umur mereka, dan sering kali saya terkejut. Anak laki-laki yang saya kira baru berusia empat tahun ternyata sepuluh tahun. Anak perempuan yang saya kira lima tahun ternyata sebelas tahun. Saya melihat langsung stunting, kekurangan gizi, dan kemiskinan dengan mata kepala sendiri,” kata Prabowo.
“Sulit bagi orang-orang di kalangan elite untuk memahami bahwa ada anak-anak yang hanya makan nasi dengan garam.”
Prabowo menyebut program MBG kini telah berjalan secara luas dengan 11.900 dapur yang memberi makan 35,4 juta anak dan ibu hamil setiap hari. Jumlah itu setara dengan tujuh Singapura.
Meski demikian Prabowo mengakui kendala yang terjadi pada pelaksanaan program itu yaitu kasus keracunan makanan. “Bahkan satu kasus pun tidak bisa diterima,” ujarnya.
“Kami bertekad membuatnya sedekat mungkin dengan nol kesalahan.”
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
/data/photo/2025/09/29/68da765eef642.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/10/08/68e5f98cc8bd5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)