Negara: Rusia

  • Pertamina NRE Siap Masuk ke Proyek Pembangkit Nuklir

    Pertamina NRE Siap Masuk ke Proyek Pembangkit Nuklir

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) mengungkapkan kesiapannya untuk ikut terlibat dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.

    CEO Pertamina New and Renewable Energy (PNRE), John Anis menyampaikan bahwa nuklir bisa menjadi salah satu sumber energi baru jangka panjang dalam rangka mendukung ketahanan energi nasional. Namun, ia menekankan aspek regulasi, keamanan, dan penerimaan masyarakat sebagai faktor yang tak boleh diabaikan.

    “Nuklir pun kami siap kalau dibutuhkan. Sebagai energi baru di Indonesia. Kelihatan menarik sebetulnya nuklir, yang penting adalah regulasi dan juga safety dan acceptability dari masyarakat, ini sangat penting. Tapi kalau kita melihat long term, saya rasa kita memang perlu masuk ke nuklir juga,” ujar John dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Kamis (21/8/2025).

    Selain nuklir, PNRE juga menyiapkan rencana pengembangan sumber energi baru seperti hidrogen. Hal ini dapat terwujud dengan kesiapan teknologi dan kolaborasi internasional.

    “Termasuk kami mencari terobosan teknologi dengan berkolaborasi dengan Schlumberger,” katanya.

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa sejumlah negara termasuk perusahaan asal Rusia dan Kanada menyampaikan minatnya untuk berinvestasi dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.

    Menurut dia, ketertarikan perusahaan-perusahaan tersebut sejalan dengan roadmap atau peta jalan transisi energi yang telah disusun Kementerian ESDM, yang menargetkan operasionalisasi PLTN pertama pada 2034.

    “Kanada, saya udah ketemu sama Menterinya, Rusia, ada beberapa negara lain yang saya tidak bisa ngomongin, karena mereka tidak ingin untuk kita umpan. Tapi kalau Kanada, Rusia, karena sudah terbuka jadi oke. Boleh dong ya,” ujar Bahlil usai acara Jakarta Geopolitical Forum (JGF) ke-9 Selasa (24/6/2025).

    Adapun, rencana RI untuk merealisasikan pembangunan PLTN pertama ini juga diperkuat dengan masuknya proyek PLTN berkapasitas 500 MW di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034.

    “Pada 2034 maksimal, kita itu sudah harus punya nuklir di sektor energi. Bangun power plant. Memang yang model yang kita bangun itu adalah small medium, yang mungkin di angka 300 MW sampai 500 MW. Ini dulu yang kita dorong. Dan itu dulu ya Sumatera sama Kalimantan, di dua tempat, yang sudah kita setujui di RUPTL,” kata Bahlil.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kecaman Hujani Israel yang Mulai Operasi Caplok Kota Gaza

    Kecaman Hujani Israel yang Mulai Operasi Caplok Kota Gaza

    Paris

    Kecaman menghujani Israel yang baru saja mengumumkan dimulainya operasi militer untuk mengambil alih kendali Kota Gaza, kota terbesar di Jalur Gaza. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut langkah Tel Aviv itu hanya akan semakin memicu “bencana” dan membawa wilayah itu ke “perang permanen”.

    Macron dalam pernyataannya via media sosial, seperti dilansir AFP dan Reuters, Kamis (21/8/2025), mengatakan bahwa “serangan militer” Israel untuk menaklukkan Kota Gaza “hanya akan menyebabkan bencana total bagi kedua bangsa”.

    Disebutkan oleh Macron bahwa rencana Israel itu “akan menyeret kawasan tersebut ke dalam perang permanen”. Dia juga menegaskan kembali seruannya untuk “misi stabilisasi internasional”.

    Pernyataan Macron itu disampaikan setelah Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, pada Rabu (20/8) menyetujui rencana militer untuk menaklukkan Kota Gaza. Dia mengizinkan pemanggilan sekitar 60.000 tentara cadangan Israel.

    Setelah mendapatkan persetujuan Katz tersebut, militer Israel mengumumkan bahwa langkah pertama operasi untuk merebut Kota Gaza telah dimulai. Tel Aviv mengklaim saat ini pasukannya telah menguasai pinggiran Kota Gaza, dengan para petempur Hamas disebut telah menjadi pasukan gerilya yang “babak belur”.

    Namun di sisi lain, operasi militer Israel terhadap Kota Gaza itu memaksa ribuan orang mengungsi.

    Kecaman juga disampaikan oleh Jerman, yang menyatakan “penolakan eskalasi” dari operasi militer Israel di Kota Gaza.

    Juru bicara pemerintah Berlin Steffen Meyer mengatakan kepada wartawan bahwa Jerman merasa “semakin sulit untuk memahami bagaimana tindakan ini akan mengarah pada pembebasan semua sandera, atau gencatan senjata” di Jalur Gaza.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Yordania, Ayman Safadi, mengatakan dalam kunjungan ke Moskow bahwa operasi militer Israel yang semakin meluas di Jalur Gaza telah “mematikan semua prospek” perdamaian di Timur Tengah. Dia juga menyebut serangan Tel Aviv menyebabkan “pembantaian dan kelaparan” di Jalur Gaza.

    Berbicara kepada Menlu Rusia Sergei Lavrov dalam kunjungan itu, Safadi mengatakan dirinya berharap dapat membahas “upaya untuk mengakhiri agresi di Gaza, serta pembantaian dan kelaparan yang ditimbulkannya”.

    Dia menyebut hal itu semakin menambah “tindakan ilegal yang terus merusak solusi dua negara dan mematikan semua prospek perdamaian di kawasan”.

    “Kami menghargai posisi Anda yang jelas terhadap perang dan tuntutan Anda untuk mencapai gencatan senjata permanen,” ujar Safadi.

    Reaksi keras lainnya disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, yang menyerukan gencatan senjata segera di Jalur Gaza setelah Israel mengumumkan dimulainya langkah pertama operasi untuk merebut Kota Gaza.

    “Sangat penting untuk segera mencapai gencatan senjata di Gaza,” tegasnya, sembari mengingatkan bahwa gencatan senjata diperlukan “untuk menghindari kematian dan kehancuran yang tidak terelakkan akibat operasi militer terhadap Kota Gaza”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • 614 Drone-Rudal Rusia Hujani Ukraina, 1 Orang Tewas-Belasan Luka

    614 Drone-Rudal Rusia Hujani Ukraina, 1 Orang Tewas-Belasan Luka

    Kyiv

    Ratusan drone dan rudal Rusia menghujani wilayah Ukraina bagian barat pada Kamis (21/8) dini hari, yang tercatat sebagai serangan terbesar Moskow sejak pertengahan Juli lalu. Sedikitnya satu orang tewas dan belasan orang lainnya mengalami luka-luka akibat rentetan serangan tersebut.

    Angkatan Udara Ukraina, seperti dilansir AFP, Kamis (21/8/2025), melaporkan bahwa pasukan Rusia telah meluncurkan total 614 drone dan rudal terhadap wilayah barat negara tersebut. Lebih lanjut disebutkan Angkatan Udara Ukraina bahwa serangan udara Moskow itu terdiri atas 574 drone dan 40 rudal.

    Unit pertahanan udara Ukraina disebut telah menembak jatuh sebanyak 546 drone dan 31 rudal Rusia di antaranya.

    Dalam pernyataan via Telegram, Angkatan Udara Ukraina menyebut serangan udara Rusia itu tercatat di sebanyak 11 lokasi berbeda, dengan puing-puing drone serta rudal terjatuh di tiga lokasi.

    Laporan korban tewas akibat serangan Rusia itu disampaikan oleh kepala administrasi militer di kota Lviv yang ada di wilayah barat Ukraina, Maksym Kozytskyi.

    “Sedikitnya satu orang tewas dan dua orang lainnya luka-luka akibat serangan gabungan UAV (drone) dan rudal jelajah di Lviv. Puluhan bangunan permukiman mengalami kerusakan,” sebut Kozytskyi.

    Serangan Rusia juga dilaporkan melukai 12 orang lainnya di kota Mukachevo, yang terletak di dekat perbatasan Ukraina dengan Hungaria dan Slovakia. Beberapa korban luka itu kini mendapatkan perawatan medis di rumah sakit setempat.

    “Lima pasien dirawat di rumah sakit, dan satu pasien lainnya dipindahkan ke rumah sakit daerah,” kata Dewan Kota Mukachevo dalam pernyataannya.

    Serangan udara terbaru Moskow terhadap Kyiv ini terjadi saat terus berlangsungnya upaya yang dipimpin Amerika Serikat (AS) untuk mengakhiri perang yang berkecamuk selama lebih dari tiga tahun terakhir.

    Para pejabat Ukraina mengatakan pada Kamis (21/8) bahwa serangan-serangan itu menunjukkan Rusia tidak serius mengenai kesepakatan damai, meskipun upaya diplomatik AS semakin intensif dalam beberapa hari terakhir.

    “Rusia terus menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik pada perdamaian,” sebut Perdana Menteri (PM) Ukraina Yulia Svyrydenko dalam pernyataannya.

    “Semalam, Ukraina menjadi sasaran serangan gabungan berskala besar: drone, rudal jelajah, dan rudal balistik, bahkan senjata hipersonik,” ucapnya.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Ukraina Andriy Sybiga, dalam pernyataan terpisah, menyebut serangan Rusia itu “tidak memiliki logika atau kebutuhan militer”. Dia menyebut rentetan serangan itu “hanyalah teror terhadap rakyat”.

    Lihat Video ‘Momen Drone Ukraina Tabrak Apartemen di Rostov-on-Don Rusia’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Negara Ini Jadi Opsi Pertemuan Putin-Zelensky

    Negara Ini Jadi Opsi Pertemuan Putin-Zelensky

    Berlin

    Para pemimpin Eropa terlihat lega karena upaya intensif mereka untuk memastikan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mendapat tempat dalam pembicaraan masa depan Ukraina akhirnya membuahkan hasil. Hanya saja, tantangan diplomatik yang sesungguhnya justru baru akan dimulai.

    Pertanyaannya, di mana lokasi yang benar-benar bisa mempertemukan Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin?

    “Di Eropa Ada Banyak Tempat Layak”

    Kepada DW, Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman Johann Wadephul mengatakan bahwa ada “banyak tempat layak di Eropa” untuk melakukan negosiasi. Berlin, kata dia, tidak berniat menjadi tuan rumah dan menyebut Swiss sebagai lokasi yang “selalu layak dari dulu”.

    Namun, menemukan “lokasi netral” dalam artian harfiah, antara Amerika Serikat, Rusia, Ukraina, dan mungkin negara-negara Eropa lainnya bukan hal mudah. Secara hukum, hal itu juga cukup rumit.

    Vladimir Putin saat ini menjadi buronan internasional. Dia didakwa oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) dalam kasus dugaan kejahatan perang, termasuk pemindahan anak-anak secara ilegal dari wilayah Ukraina yang diduduki ke Rusia. Tuduhan ini, dibantah oleh Putin.

    Oleh karena itu, dakwaan ICC tersebut membuat perjalanan internasional Putin menjadi rumit. Secara teknis, 125 negara yang menjadi anggota ICC wajib menangkap siapa pun yang menjadi subjek surat perintah ICC jika memasuki wilayah mereka.

    Baik Rusia maupun AS tidak mengakui yurisdiksi ICC, sehingga muncul perdebatan hukum soal kekebalan yang dimiliki Putin. Pada hari Rabu (20/08), Washington meningkatkan tekanan diplomatik terhadap ICC dengan menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah hakim.

    Jerman dan Prancis Andalkan Swiss

    Menlu Swiss Ignazio Cassis mengatakan negaranya “lebih dari siap” untuk menjadi tuan rumah pertemuan tersebut. Pihak Prancis juga menyetujui hal tersebut dan mengatakan Jenewa adalah lokasi ideal untuk negosiasi perdamaian.

    Meskipun Swiss adalah anggota ICC, tapi pemerintahnya mengatakan Putin akan diberikan “kekebalan” untuk pembicaraan.

    Hanya saja, dosen hukum pidana Internasional dari University of Amsterdam Mathhias Holvoet mengatakan bahwa hal tersebut cukup lemah dari kaca mata hukum. Kepada DW dia mengatakan, dalam sistem demokrasi liberal, pihak yudikatif yang independen nonpemerintah, harusnya mengambil keputusan soal penangkapan tersebut.

    “Pada kenyataannya, saya menduga akan ada semacam kesepakatan antara eksekutif dan yudikatif untuk tidak mengeksekusi surat perintah penangkapan ini,” papar Holvoet, sambil mencatat bahwa ada sedikit konsekuensi untuk mengabaikan aturan ICC.

    Swiss memiliki sejarah panjang dalam hal netralitas. Mereka menjadi markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hingga menjaga jarak dengan Uni Eropa dan aliansi militer NATO. Namun, Swiss telah memberlakukan sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina.

    Pemerintah Swiss mengatakan mereka telah terlibat dalam 30 proses perdamaian, termasuk pembicaraan tentang Armenia, Siprus, Mozambik, dan Sudan. Pada tahun 2021, Jenewa menjadi tuan rumah pembicaraan antara Putin dan mantan presiden AS Joe Biden.

    Wilayah Uni Eropa, di Luar NATO: Austria

    Kanselir Austria juga menawarkan ibu kota negaranya, Wina, sebagai calon tempat yang potensial. Austria adalah anggota Uni Eropa, tetapi telah netral secara militer sejak tahun 1950-an dan tetap berada di luar NATO.

    “Austria membayangkan dirinya sebagai jembatan antara timur dan barat,” kata Reinhard Heinisch, seorang profesor ilmu politik di University of Salzburg, kepada DW.

    Dia menyoroti rekam jejak Austria dalam hal diplomatik. Mulai dari pembicaraan AS-Rusia saat era Perang Dingin, hingga negosiasi tentang program nuklir Iran dalam dekade ini.

    Sebagai anggota ICC, Austria menghadapi dilema hukum yang sama dengan Swiss. Hanya saja, kata Heinisch, “Austria terkenal dengan komprominya,” dan menambahkan bahwa banyak hal dalam hukum Austria yang “masih bisa ditafsirkan.”

    Profesor hukum Holvoet menyebut penundaan surat perintah bisa dilakukan lewat kesepakatan dengan pihak Dewan Keamanan PBB. Hanya saja opsi itu, kata dia, secara politik tidak realistis.

    Kenangan Buruk di Budapest

    Pihak Paman SAM dikabarkan mempertimbangkan Hungaria sebagai lokasi. Negara Eropa Tengah tersebut mundur dari ICC awal 2025, setelah pengadilan mengeluarkan dakwaan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang merupakan sekutu dekat pemimpin Hungaria Viktor Orban.

    Secara hukum internasional, opsi ini mungkin lebih mudah, tapi secara politik, Budapest tidak disukai banyak negara Eropa. Perdana Menteri Polandia Donald Tusk bahkan mengingatkan bahwa Ukraina pernah mendapat jaminan keamanan yang gagal di Budapest pada 1994. Saat itu Ukraina menyerahkan senjata nuklirnya, sebagai imbalannya Ukraina mendapat jaminan dari AS, Rusia, dan Inggris.

    “Mungkin saya agak percaya dengan takhayul, tapi kali ini saya akan mencari tempat lain,” tulis Tusk di akun X resminya.

    Hungaria, juga dikenal sebagai pihak bermasalah utama di Uni Eropa. Mereka sering kali memblokir atau meringankan sanksi Uni Eropa terhadap Rusia.

    “Banyak pihak Uni Eropa melihat Orban sebagai semacam ‘kuda troya’ bagi kepentingan Rusia,” papar Heinisch. Namun, dia menambahkan, Eropa mungkin kesulitan menolak jika Trump dan Putin sepakat memilih Budapest, ibu lota Hungaria, sebagai lokasi pertemuan.

    Turki: Anggota NATO, Tapi di Luar ICC

    Media Turki mulai berspekulasi soal pertemuan Zelenskyy dan Putin di negara tersebut. Hal itu menyusul komunikasi antara Presiden Recep Tayyip Erdogan dengan Putin pada Rabu (20/08).

    Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut Putin berterima kasih atas “upaya Erdogan memfasilitasi pembicaraan Rusia-Ukraina di Istanbul.”

    Turki telah menjadi tuan rumah beberapa putaran pembicaraan tingkat rendah antara Kyiv dan Moskow tahun 2025 ini, termasuk pertukaran tahanan.

    Secara geografis, Turki berada di persimpangan Eropa dan Asia, dan seperti Rusia dan Ukraina, mereka memiliki garis pantai di Laut Hitam.

    Turki adalah anggota NATO, tapi bukan bagian dari Uni Eropa dan tidak menandatangani Statuta ICC. Meski telah memasok senjata ke Ukraina, Turki tetap menjaga hubungan baik dengan Moskow.

    Potensi Kawasan Teluk

    Kemungkinan pertemuan dilakukan di luar kawasan Eropa juga disebut-sebut, mulai dari Arab Saudi hingga Qatar. Keduanya memiliki rekam jejak sebagai mediator internasional dan bukan anggota ICC.

    Awal 2025, pejabat dari Ukraina, AS, dan Rusia mengadakan pembicaraan di Kota Jeddah, Arab Saudi. Pertemuan itu berakhir dengan keputusan Washington untuk kembali berbagi informasi intelijen kepada Kyiv.

    Qatar, tetangga Saudi, juga telah memediasi pembicaraan yang menghasilkan kesepakatan antara Rusia dan Ukraina untuk memulangkan sejumlah anak.

    Uni Eropa sebelumnya telah mendorong negara-negara Teluk agar lebih kritis terhadap Moskow, memperketat pengawasan terhadap pelanggaran sanksi, dan memberikan dukungan lebih besar kepada Ukraina.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

    Editor: Rahka Susanto

    (nvc/nvc)

  • India Uji Coba Rudal Balistik Berkemampuan Nuklir, Mampu Jangkau China

    India Uji Coba Rudal Balistik Berkemampuan Nuklir, Mampu Jangkau China

    New Delhi

    India mengatakan pihaknya telah menggelar uji coba rudal balistik jarak menengah, yang diklaim berlangsung sukses. New Delhi bahkan menyebut jika rudal itu beroperasi, maka seharusnya mampu membawa hulu ledak nuklir ke wilayah mana pun di China.

    Otoritas India dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Kamis (21/8/2025), mengatakan bahwa rudal Agni-5 berhasil diluncurkan di negara bagian Odisha, India bagian timur, pada Rabu (20/8) waktu setempat.

    New Delhi menyebut keberhasilan uji coba rudal tersebut “memvalidasi semua parameter operasional dan teknis”.

    Rudal Agni-5 merupakan salah satu dari sejumlah rudal balistik jarak pendek dan menengah yang diproduksi di dalam negeri oleh India, dengan tujuan meningkatkan postur pertahanan dalam melawan Pakistan serta China.

    Rudal jenis ini menggunakan teknologi yang memungkinkannya membawa beberapa hulu ledak nuklir, sehingga hulu ledak tersebut dapat dibagi dan mengenai target-target yang berbeda. India terakhir kali menguji coba rudal Agni-5 pada Maret 2024 lalu.

    India semakin memperdalam kerja sama pertahanan dengan negara-negara Barat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk bergabung dengan aliansi keamanan Quad bersama Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang, yang dipandang untuk menangkal China.

    India dan China, dua negara dengan penduduk terbanyak di dunia, merupakan rival sengit yang bersaing memperebutkan pengaruh di kawasan Asia Selatan. Hubungan kedua negara memburuk tahun 2020 lalu, setelah bentrokan perbatasan yang mematikan.

    Namun baru-baru ini hubungan kedua negara menghangat dengan beberapa kunjungan bilateral. Pada Oktober tahun lalu, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi bertemu Presiden China Xi Jinping dalam sebuah pertemuan puncak di Rusia, yang merupakan pertemuan pertama kalinya dalam lima tahun terakhir.

    Akhir bulan ini, Modi dijadwalkan mengunjungi Tianjin, China, yang akan menjadi kunjungan pertamanya ke negara tersebut sejak tahun 2018 lalu.

    Perang tarif yang dikobarkan Presiden AS Donald Trump beberapa waktu terakhir semakin mendorong New Delhi dan Beijing untuk memperbaiki hubungan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Penuturan Pekerja IT Asal Korut Dikirim ke Luar Negeri untuk Danai Rezim

    Penuturan Pekerja IT Asal Korut Dikirim ke Luar Negeri untuk Danai Rezim

    Pyongyang

    Selama bertahun-tahun Jin-su menggunakan ratusan identitas palsu untuk melamar pekerjaan di bidang Teknologi Informasi (Information Technology/IT) secara remote atau jarak jauh di perusahaan-perusahaan negara Barat.

    Hal ini rupanya bagian dari rencana penyamaran besar-besaran demi menghimpun dana untuk Korea Utara.

    Menjalankan beberapa pekerjaan di AS dan Eropa akan menghasilkan setidaknya US$50.000 atau setara Rp80 juta per bulan, kata Jin-su kepada BBC dalam sebuah wawancara.

    Beberapa rekannya, sambung Jin-su, bahkan bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.

    Sebelum membelot, Jin-su yang namanya telah diganti untuk melindungi identitasnya adalah salah satu dari ribuan orang yang diyakini dikirim ke China, Rusia, atau negara-negara di Afrika dan tempat lainnya, untuk ikut serta dalam operasi rahasia tertutup yang dijalankan oleh Korea Utara.

    Para pekerja IT asal Korea Utara diawasi secara ketat dan hanya sedikit yang berbicara kepada media, tapi Jin-su telah memberikan kesaksian kepada BBC.

    Kesaksian itu memberikan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan sehari-hari para pekerja asal Korut dan bagaimana mereka beroperasi.

    Ia berkata 85% dari penghasilannya dikirim kembali untuk mendanai rezim Korea Utara. Sebab, negara itu mengalami kekurangan uang setelah dijatuhi sanksi internasional selama bertahun-tahun.

    “Kami tahu ini seperti perampokan, tetapi kami menerimanya sebagai takdir,” tutur Jin-su. “Masih jauh lebih baik daripada ketika kami berada di Korea Utara,” sambungnya.

    Siluet peretas Korea Utara dengan Bendera Korea Utara (Getty Images via Bill Hinton)

    Pekerja IT tersebut menghasilkan US$250 juta hingga US$ 600 juta per tahun untuk Korea Utara, menurut laporan Dewan Keamanan PBB yang diterbitkan pada Maret 2024.

    Aksi penipuan ini berkembang pesat selama pandemi, ketika kerja jarak jauh menjadi hal yang lumrah. Pihak berwenang maupun pakar pertahanan siber memperingatkan aktivitas mereka terus meningkat sejak saat itu.

    Sebagian besar pekerja menginginkan agar gaji tetap mereka dikirim kembali ke rezim Korea Utara, namun dalam beberapa kasus mereka mencuri data atau meretas perusahaan serta meminta tebusan.

    Tahun lalu, pengadilan AS mendakwa 14 warga Korea Utara yang diduga memperoleh US$ 88 juta dengan bekerja secara menyamar dan memeras perusahaan-perusahaan AS selama periode enam tahun.

    Empat warga Korea Utara lainnya didakwa bulan lalu karena diduga menggunakan identitas palsu untuk menjalankan pekerjaan IT jarak jauh di sebuah perusahaan mata uang kripto di AS.

    Bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan itu?

    Jin-su adalah seorang pekerja IT untuk rezim Korea Utara di China selama beberapa tahun sebelum akhirnya membelot.

    Ia dan rekan-rekannya kebanyakan bekerja dalam tim yang terdiri dari 10 orang, katanya kepada BBC.

    Akses internet terbatas di Korea Utara, tapi di luar negeri para pekerja IT ini bisa beroperasi dengan lebih mudah.

    Mereka perlu menyamarkan kewarganegaraan, tidak hanya supaya bisa mendapatkan bayaran lebih tinggi, tetapi juga karena sanksi internasional yang meluas terhadap Korea Utara terkait program senjata nuklir dan rudal balistiknya.

    BBC berbicara dengan Jin-su melalui panggilan video dari London. Demi keselamatannya, kami melindungi identitasnya (BBC)

    Skema ini terpisah dari operasi peretasan Korea Utara yang juga dilakukan untuk menggalang dana untuk rezim tersebut.

    Pada awal tahun ini, Lazarus Group sebuah kelompok peretas terkenal yang diyakini bekerja untuk Korea Utara, meskipun mereka tidak pernah mengakuinya diduga telah mencuri US$1,5 miliar dari perusahaan mata uang kripto Bybit.

    Jin-su menghabiskan sebagian besar waktunya mencoba mendapatkan identitas palsu yang bisa digunakannya untuk melamar pekerjaan.

    Pertama-tama, dia berpura-pura menjadi orang China, lalu menghubungi orang-orang di Hongaria, Turki, dan negara-negara lain untuk meminta menggunakan identitas mereka dengan imbalan persentase dari penghasilannya, ungkap Jin-su kepada BBC.

    “Jika Anda mencantumkan ‘wajah Asia’ di profil, Anda tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan.”

    Baca juga:

    Ia kemudian memakai identitas palsu tersebut untuk mendekati orang-orang di Eropa Barat demi mendapatkan identitas baru, yang selanjutnya dipakai buat melamar pekerjaan di AS dan Eropa.

    Jin-su, mengklaim, selalu berhasil menyasar warga negara UK.

    “Dengan sedikit komunikasi, orang-orang di UK bisa dengan mudah menyebarkan identitas mereka,” imbuhnya.

    Pekerja IT dengan kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik sering kali ditugaskan untuk mengelola proses aplikasi.

    Tapi, pekerjaan di situs freelancer atau pekerja lepas, tidak selalu memerlukan wawancara tatap muka dan seringkali interaksi sehari-hari berlangsung di platform seperti Slack, sehingga lebih mudah untuk berpura-pura menjadi orang lain.

    Jin-su berkata kepada BBC, dia selalu menargetkan pasar AS, “karena gaji di perusahaan-perusahaan Amerika lebih tinggi”.

    Peretas dengan hoody merah tua di depan bendera Korea digital dan latar belakang aliran biner konsep keamanan siber (Getty Images via BeeBright)

    Ia mengklaim begitu banyak pekerja IT yang mendapatkan pekerjaan, dan seringkali perusahaan tersebut tanpa sengaja mempekerjakan lebih dari satu orang Korea Utara.

    “Itu sering terjadi,” akunya.

    Pekerja IT biasanya menerima penghasilan mereka melalui jaringan fasilitator yang berbasis di Barat dan China.

    Pekan lalu, seorang perempuan AS dijatuhi hukuman lebih dari delapan tahun penjara atas kejahatan yang terkait dengan membantu pekerja IT Korea Utara mendapatkan pekerjaan dan mengirimkan uang kepada mereka.

    BBC tidak bisa secara independen memverifikasi kesaksian Jin-su, namun melalui PSCORE, sebuah organisasi yang mengadvokasi hak asasi manusia untuk Korea Utara, kami telah membaca kesaksian dari pekerja IT lain yang membelot dan mendukung klaim Jin-su.

    BBC juga berbicara dengan pembelot lain, Hyun-Seung Lee, yang bertemu dengan warga Korea Utara lainnya dan bekerja di bidang IT saat dia bepergian sebagai pengusaha untuk rezim Korea Utara di China.

    Dia mengonfirmasi bahwa mereka memiliki pengalaman serupa.

    Penyamaran yang terbongkar

    BBC berbincang dengan beberapa manajer perekrutan di sektor keamanan siber dan pengembangan perangkat lunak.

    Mereka berkata, menemukan puluhan kandidat yang dicurigai sebagai pekerja IT asal Korea Utara selama proses perekrutan.

    Rob Henley, salah satu pendiri Ally Security di AS, baru-baru ini membuka lowongan untuk serangkaian posisi untuk bekerja jarak jauh di perusahaannya.

    Dia yakin telah mewawancarai hingga 30 pekerja IT Korea Utara dalam proses tersebut.

    “Awalnya seperti sebuah permainan, mencoba mencari tahu siapa yang asli dan siapa yang palsu, tetapi lama-lama menjadi sangat menjengkelkan,” katanya.

    Akhirnya, dia meminta kandidat tersebut melakukan panggilan video untuk menunjukkan suasana hari di tempat mereka berada.

    “Kami hanya merekrut kandidat dari AS untuk posisi-posisi ini. Seharusnya cuaca di Amerika cukup terang. Tapi saya tidak pernah melihat cahaya matahari.”

    Pada Maret lalu, Dawid Moczadlo, salah satu pendiri Vidoc Security Lab yang berbasis di Polandia, membagikan video wawancara kerja jarak jauh yang dilakukannya.

    Dalam video tersebut, kandidat yang diwawancarai tampak menggunakan perangkat lunak kecerdasan buatan untuk menyamarkan wajahnya.

    Ia bilang, setelah berkonsultasi dengan para ahli, dia yakin kandidat tersebut kemungkinan adalah seorang pekerja IT asal Korea Utara.

    BBC telah menghubungi Kedutaan Besar Korea Utara di London untuk menanyakan soal tuduhan itu. Namun, mereka tidak menanggapi.

    Pelarian

    Korea Utara telah mengirim pekerjanya ke luar negeri selama beberapa dekade untuk mendapatkan devisa negara.

    Lebih dari 10.000 orang dipekerjakan di luar negeri sebagai pekerja pabrik atau restoran, sebagian besar di China dan Rusia.

    Setelah beberapa tahun tinggal di China, Jin-su mengatakan “merasa terkekang” atas kondisi kerjanya yang semakin terasa menindas.

    “Kami tidak diizinkan keluar dan harus tinggal di dalam rumah sepanjang waktu,” imbuhnya.

    “Anda tidak bisa berolahraga, Anda tidak bisa melakukan apapun yang Anda inginkan.”

    Agen intelijen rahasia memberi hormat dengan gestur tangan ke arah bendera Korea Utara di ruang perang, menunjukkan rasa hormat (Getty Images via Dragos Condrea)

    Namun, pekerja IT Korea Utara memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengakses media Barat ketika berada di luar negeri, kata Jin-su.

    “Anda seperti melihat dunia nyata. Ketika kami berada di luar negeri, kami menyadari ada sesuatu yang salah di Korea Utara.”

    Kendati begitu, Jin-su mengklaim hanya sedikit pekerja IT Korea Utara yang berpikir untuk melarikan diri seperti dirinya.

    “Mereka hanya mengambil uang dan pulang, sangat sedikit yang berpikir untuk membelot.”

    Meskipun mereka hanya menyimpan sebagian kecil dari penghasilannya, uang itu sangat berharga di Korea Utara.

    Baca juga:

    Membelot juga sangat berisiko dan sulit. Pengawasan di China berarti sebagian besar dari mereka bakal tertangkap.

    Beberapa orang yang berhasil membelot mungkin tidak akan pernah bertemu keluarga mereka lagi, dan kerabat mereka bisa menghadapi hukuman karena meninggalkan Korea Utara.

    Jin-su berkata masih bekerja di bidang IT setelah dia membelot.

    Ia mengatakan, keterampilan yang dia asah saat bekerja untuk rezim telah membantunya beradaptasi dengan kehidupan barunya.

    Karena dia tidak bekerja di banyak pekerjaan dengan identitas palsu, penghasilannya jadi lebih sedikit daripada saat bekerja untuk rezim Korea Utara.

    Namun, ia bisa menyimpan lebih banyak pendapatannya. Yang artinya, dia memiliki lebih banyak uang di dompetnya.

    “Saya terbiasa menghasilkan uang dengan melakukan hal-hal ilegal. Tapi sekarang saya bekerja keras dan mendapatkan uang yang pantas saya dapatkan,” ujar Jin-su.

    Tonton juga Video: Kim Jong Un Resmikan Wisata Pantai Megah di Korut, Tertarik Mampir?

    (nvc/nvc)

  • Terhimpit Tarif AS, Pabrik Baja India Mulai Kewalahan

    Terhimpit Tarif AS, Pabrik Baja India Mulai Kewalahan

    New Delhi

    Di Kolkata, pusat utama industri pengecoran baja India yang biasanya mengekspor produk baja sanitasi, aktivitas produksi melambat, bahkan berhenti. Para pemilik perusahaan enggan membahas krisis di hadapan publik dan membisu. Dampaknya, para buruh kini kebingungan.

    Vijay Shankar Beriwal, pemilik perusahaan Calcutta Iron Udyog, sebaliknya tidak ragu mengungkap krisis yang dialami perusahaannya pada publik. Ia menyalahkan tarif impor 50% atas baja dan aluminium India yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump, yang mulai berlaku pada Juni lalu.

    Trump berdalih tarif tersebut dikenakan karena kekhawatiran akan keamanan nasional AS, merujuk pada Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan AS tahun 1962. Selain tarif baja, Trump memberlakukan tarif balasan 25% atas sebagian besar barang impor dari India. Bahkan merespon pembelian minyak Rusia oleh India, Trump mengusulkan tarif tambahan 25%, yang akan diberlakukan pada akhir Agustus.

    “Dampak penuh belum terasa di pasar, tetapi tekanan sudah mulai terlihat. Mereka yang sebelumnya memiliki pesanan dari AS menyelesaikan pesanan dengan cepat, tetapi pesanan baru sedikit bahkan tidak ada. Banyak pabrik baja yang berhenti beroperasi,” katanya.

    Tarif baja dan aluminium sebesar 50% merupakan bagian dari kebijakan proteksi perdagangan Trump. Kebijakan ini mengancam pabrik-pabrik baja serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di India timur yang sangat bergantung pada pasar AS agar tidak ‘gulung tikar’.

    India mengekspor produk besi, baja, dan aluminium senilai $4,56 miliar (Rp74 triliun) ke Amerika Serikat pada tahun 2024, termasuk di dalamnya $587,5 juta (Rp9 triliun) untuk baham mentah besi dan baja, $3,1 miliar (Rp50 triliun) untuk produk besi atau baja, dan $860 juta (Rp13 triliun) untuk produk aluminium, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan dan Industri. Angka ini mewakili sekitar 5,3% dari total ekspor India ke Amerika Serikat senilai $86,51 miliar (Rp1500 triliun rupiah).

    Pukulan telak bagi pabrik baja skala kecil

    Meskipun jumlahnya kecil, pabrik-pabrik baja kecil mempekerjakan lebih dari 200.000 pekerja dalam produksi padat karya di lebih dari 5.000 unit pengecoran baja. 95% usaha pengecoran baja dikelola usaha skala kecil.

    Sedangkan pabrik pengecoran di India timur spesifik dalam usaha pengecoran baja untuk ekspor. Akibatnya, mereka sangat rentan terhadap kenaikan tarif.

    Sudah begitu, Menteri Perdagangan India Piyush Goyal dianggap meremehkan dampak tarif terhadap baja dan aluminium. Dia berdalih, nilai ekspor baja dan aluminium ke AS berjumlah sangat kecil.

    “Apa masalahnya jika dari 145 juta ton, Anda tidak dapat mengekspor 95.000 ton?” katanya dalam acara Kamar Dagang dan Industri Bengal.

    ‘Tertekan’ baja China

    Akibat penurunan ekspor ke AS, banyak produsen baja membanjiri pasar domestik India, yang menyebabkan persaingan makin ketat. Konsumen kini diwartakan rajin meminta diskon hingga 5% atau cicilan kredit. Fenomena ini dinilai belum pernah terjadi sebelumnya.

    Menurut Federasi Organisasi Ekspor India FIEO, ekspor baja India ke AS yang turun 85%, menekan harga baja lokal hingga 6–8% memperkecil keuntungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

    “Dengan tarif saat ini, harga yang kompetitif menjadi faktor penentu. Namun, beberapa negara, seperti China, juga sangat tertarik menurunkan harga. UMKM India mungkin tidak memiliki kemampuan untuk bersaing,” kata Direktur Jenderal FIEO Ajay Sahai.

    Asosiasi Pengembangan Baja Stainless India (ISSDA) mencatat bahwa India telah menjadi importir bersih produk baja sejak tahun fiskal 2023-24, impor baja China pun tercatat meningkat signifikan antara 2021 dan 2024.

    Harapkan intervensi segera dari pemerintah

    Alternatif terhadap pasar ekspor AS juga semakin tertutup, seperti Uni Eropa yang menghadang lewat bea masuk dan pajak karbon (CBAM) “Masalah ekspor baja adalah semua negara maju sedang menutup diri. Uni Eropa telah mengenakan bea masuk sejak 2018, dan mulai Januari 2026, mereka akan menerapkan Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM),” kata Ajai Srivastava, pendiri Inisiatif Penelitian Perdagangan Global.

    Beralih ke pasar lain pun butuh waktu dan modal yang tak dimiliki banyak pelaku usaha.

    Merespon hal tersebut, Pemerintah India mengupayakan beberapa langkah antara lain menjajaki perjanjian dagang dengan AS serta mempertimbangkan subsidi bunga, jaminan pinjaman, dan pemangkasan biaya sertifikasi untuk mendukung UMKM. Bea masuk pengamanan 12% juga diterapkan untuk melindungi pasar domestik dari dumping baja China.

    Beriwal dari Calcutta Iron Udyog optimis intervensi pemerintah dapat melindungi industri baja dari konflik dagang global.

    “Industri ini sangat membutuhkan dukungan cepat dari pemerintah untuk bertahan. Kami akan mengajukan proposal kepada pemerintah, tetapi saat ini kami menunggu perkembangan situasi dengan Presiden AS,” jelas Beriwal.

    Para pakar industri memperingatkan bahwa UMKM berisiko bangkrut dan melakukan PHK dan pada awal 2026 jika tidak ada tindakan segera.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Sorta Caroline
    Editor: Rizki Nugraha

    (nvc/nvc)

  • Harga Minyak Melejit, Investor Menanti Upaya Perdamaian Ukraina – Page 3

    Harga Minyak Melejit, Investor Menanti Upaya Perdamaian Ukraina – Page 3

    Sebelumnya, harga minyak turun pada hari Selasa (Rabu waktu Jakarta) karena para pedagang mempertimbangkan soal kemungkinan pembicaraan antara Rusia, Ukraina dan AS untuk mengakhiri perang di Ukraina dapat menyebabkan pencabutan sanksi terhadap minyak mentah Rusia, sehingga meningkatkan pasokan minyak global.

    Dikutip dari CNBC, Rabu (20/8/2025), harga minyak mentah Brent turun 81 sen atau 1,22%, dan ditutup pada harga USD 65,79 per barel. Sedangkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun USD 1,07 atau 1,69%, dan ditutup pada USD 62,35 per barel.

    Setelah pertemuan di Gedung Putih pada hari Senin dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dan sekutu Eropa, Presiden AS Donald Trump mengumumkan dalam sebuah unggahan media sosial bahwa ia telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

     

     

  • Kim Jong Un Puji Tentaranya yang Bertempur di Rusia: Pasukan Heroik!

    Kim Jong Un Puji Tentaranya yang Bertempur di Rusia: Pasukan Heroik!

    Jakarta

    Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, memuji tentaranya yang dikerahkan untuk membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina. Dia mengatakan tentaranya adalah pasukan heroik.

    “Tentara kami adalah pasukan yang heroik,” kata Kim dalam pidatonya kepada anggota militer Korea Utara sebagaimana laporan Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) yang dilansir AFP, Kamis (21/8/2025).

    Kim menyampaikan dukungan hangat kepada para perwira dan tentara yang bertugas di wilayah Kursk Rusia. Badan Intelijen Pyongyang mengatakan mereka telah mengirimkan lebih dari 10.000 tentaranya ke Rusia.

    “Tentara kami sekarang melakukan apa yang seharusnya, dan apa yang perlu dilakukan. Kami juga akan melakukannya di masa depan,” ucap Kim.

    Pernyataan Kim muncul di tengah upaya Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, setelah mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dengan para pemimpin kedua negara dalam beberapa hari terakhir.

    Seperti diketahui, Presiden Rusia Vladimir Putin, yang pekan lalu juga memuji pasukan Korea Utara sebagai “heroik” hingga kini menghindari pertemuan dengan mitranya dari Ukraina, Volodymyr Zelensky, untuk perundingan damai.

    Pada April lalu, Korea Utara untuk pertama kalinya mengonfirmasi bahwa mereka telah mengerahkan satu kontingen tentaranya ke garis depan di Ukraina, bersama pasukan Rusia.

    Badan intelijen Korea Selatan mengatakan Pyongyang mengirim lebih dari 10.000 tentara ke wilayah Kursk Rusia pada tahun 2024, beserta peluru artileri, rudal, dan sistem roket jarak jauh. Sekitar 600 tentara Korea Utara telah tewas dan ribuan lainnya terluka saat bertempur untuk Rusia.

    (zap/yld)

  • Benda Terbang Tak Dikenal Meledak di Polandia: Militer Lakukan Investigasi

    Benda Terbang Tak Dikenal Meledak di Polandia: Militer Lakukan Investigasi

    GELORA.CO –  Sebuah benda terbang tak dikenal dilaporkan jatuh dan meledak di sebuah ladang jagung di Polandia timur pada Rabu dini hari (20/8), menurut laporan kantor berita negara PAP. Insiden ini memicu kepanikan warga setempat meski tidak menimbulkan korban jiwa.

    Polisi setempat menyatakan menerima laporan kecelakaan sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Saat tiba di lokasi, dekat desa Osiny, mereka menemukan puing-puing logam dan plastik yang terbakar. Ledakan cukup kuat hingga memecahkan kaca jendela beberapa rumah di sekitar, namun beruntung tidak ada korban luka.

    Dugaan Sumber Ledakan

    Pada awalnya, pejabat Polandia menduga benda tersebut adalah bagian dari mesin tua dengan baling-baling. Namun, Menteri Pertahanan Wladyslaw Kosiniak-Kamysz kemudian mengungkapkan bahwa benda itu kemungkinan besar adalah sebuah drone. Saat ini, analisis sedang dilakukan untuk menentukan apakah drone tersebut milik militer atau merupakan drone selundupan.

    Jaksa Distrik Lublin, Grzegorz Trusiewicz, mengatakan bahwa penyelidikan dilakukan oleh tim gabungan sipil dan militer. “Kami memiliki banyak personel, termasuk tentara, untuk membantu investigasi. Harapannya operasi ini bisa selesai pada malam hari,” ujarnya.

    Tidak Ada Pelanggaran Wilayah Udara

    Komando Operasional Angkatan Bersenjata Polandia menegaskan melalui media sosial bahwa tidak ada pelanggaran wilayah udara dari negara tetangga, baik Ukraina maupun Belarus, yang terdeteksi pada malam kejadian.

    Sejak invasi Rusia ke Ukraina lebih dari tiga tahun lalu, Polandia beberapa kali mengalami insiden intrusi udara. Hal ini meningkatkan kekhawatiran di Uni Eropa dan negara anggota NATO, sekaligus menjadi pengingat betapa dekatnya dampak perang terhadap Polandia. 

    It seems that an unidentified UAS crashed in a rural area in eastern Poland on Wednesday morning.

    The crash occurred near the village of Osiny, just 40 km from Warsaw and 100 km from the border with Ukraine. It is believed to be a Russian drone. pic.twitter.com/84PtkjfcJK

    — Ovniologia 🛸 (@Ovniologia01) August 20, 2025