Negara: Rusia

  • Rusia Blokir Platform Game Roblox

    Rusia Blokir Platform Game Roblox

    Bisnis.com, JAKARTA – Rusia telah memblokir akses ke platform permainan anak-anak AS, Roblox (RBLX.N), dan menuduhnya mendistribusikan materi ekstremis dan “propaganda LGBT”.

    Pengawas komunikasi Roskomnadzor mengatakan Roblox “penuh dengan konten yang tidak pantas yang dapat berdampak negatif pada perkembangan spiritual dan moral anak-anak”.

    Roskomnadzor memiliki rekam jejak panjang dalam membatasi akses ke media dan platform teknologi Barat yang dianggap memuat konten yang melanggar hukum Rusia.

    Tahun lalu, aplikasi pembelajaran bahasa Duolingo menghapus referensi tentang apa yang disebut Rusia sebagai “hubungan seksual non-tradisional” setelah diperingatkan oleh pengawas tersebut tentang penerbitan konten LGBT.

    Pada tahun 2023, Rusia menetapkan apa yang disebutnya “gerakan LGBT internasional” sebagai ekstremis dan mereka yang mendukungnya sebagai teroris, yang membuka jalan bagi kasus pidana serius terhadap kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta para pendukungnya.

    Pada bulan Agustus tahun ini, Rusia mulai membatasi beberapa panggilan di WhatsApp, yang dimiliki oleh Meta Platforms (META.O), dan di Telegram, menuduh platform milik asing tersebut menolak berbagi informasi dengan penegak hukum dalam kasus penipuan dan terorisme. Roskomnadzor minggu lalu mengancam akan memblokir WhatsApp sepenuhnya.

    Roblox Corp tidak segera menanggapi permintaan komentar.

    Roblox, yang rata-rata memiliki 151,5 juta pengguna aktif harian pada kuartal ketiga tahun ini, telah dilarang oleh beberapa negara termasuk Irak dan Turki karena kekhawatiran tentang predator yang mengeksploitasi platform tersebut untuk melecehkan anak-anak.

    Perusahaan tersebut menyatakan di situs webnya bahwa mereka berkomitmen penuh untuk menjaga keamanan pengguna, termasuk melalui perangkat AI, tim moderasi, dan kolaborasi dengan penegak hukum serta pakar keselamatan anak.

  • Dampak Serangan Drone Rusia di Kramatorsk Ukraina

    Dampak Serangan Drone Rusia di Kramatorsk Ukraina

    Seorang warga berjalan di dekat gedung apartemen yang telah rusak akibat serangan drone Rusia, yang terjadi pada Senin malam, di tengah serangan Rusia terhadap Ukraina, di kota Kramatorsk, wilayah Donetsk, Ukraina, Selasa (2/12/2025). REUTERS/Anatolii Stepanov

  • Salam.life: Jejaring Sosial Muslim dengan Ruang Halal untuk Berbagi dan Berbuat Baik

    Salam.life: Jejaring Sosial Muslim dengan Ruang Halal untuk Berbagi dan Berbuat Baik

    FAJAR.CO.ID — Salam.life adalah jejaring sosial Muslim internasional baru yang menawarkan ruang online yang aman, penuh rasa hormat, dan halal untuk berkomunikasi, saling mendukung, dan berbuat baik.

    Platform ini menyatukan Muslim dari berbagai negara dan latar belakang bahasa, sambil tetap menjaga nilai-nilai Islam dan karakter khas gaya hidup Muslim.

    Mengapa Dibutuhkan Layanan Terpisah

    Di media sosial arus utama, Muslim sering kali dihadapkan pada konten yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka: mulai dari gambar yang tidak pantas hingga diskusi toksik dan ejekan terhadap agama.

    Pengguna terpaksa menyaring linimasa secara manual, menyembunyikan akun, dan terus-menerus menghindari topik yang tidak diinginkan.

    Salam.life hadir sebagai alternatif: sebuah platform yang sejak awal dirancang dengan aturan dan mekanisme yang memperhatikan kebutuhan Muslim yang ingin menjaga agamanya — mulai dari privasi dan moderasi hingga format interaksi dan fokus pada amal serta kebaikan.

    Apa itu Salam.life

    Salam.life adalah media sosial yang sederhana dan mudah digunakan, dengan format postingan pendek, foto, dan diskusi, di mana:

    Yang menjadi pusat perhatian adalah manusia, kisah mereka, pertanyaan, pengalaman, dan inisiatif kebaikan;

    Tidak diperbolehkan mempublikasikan konten haram, menghina agama, atau menghasut permusuhan;

    Saling menghormati, saling mendukung, dan perbuatan baik sangat dianjurkan.

    Sejak awal, platform ini dikembangkan sebagai ruang internasional: di dalamnya berkumpul pengguna dari Indonesia, negara-negara Teluk, Eropa, Rusia, dan negara-negara lain di kawasan bekas Uni Soviet, serta berbagai wilayah lain di dunia.

    Fitur utama Salam.life

    Linimasa Terpisah untuk Laki-laki dan Perempuan

    Pengguna dapat melihat linimasa terpisah untuk saudara laki-laki dan saudari perempuan. Hal ini membantu menjaga kesopanan dan rasa malu (haya), mengurangi rasa tidak nyaman, serta membuat ruang terasa lebih aman dan familier bagi banyak komunitas Muslim.

  • AS dan Rusia Belum Menemukan Kompromi Terkait Wilayah Ukraina yang Diduduki

    AS dan Rusia Belum Menemukan Kompromi Terkait Wilayah Ukraina yang Diduduki

    JAKARTA – Perundingan Rusia dan Amerika Serikat terkait dengan upaya untuk mengakhiri perang di Ukraina pada Hari Selasa gagal menghasilkan terobosan, utamanya belum ada kompromi mengenai wilayah yang diduduki.

    Presiden Rusia Vladimir Putin menerima Utusan Khusus AS Steve Witkoff dan menantu Presiden Donald Trump Jared Kushner di Kremlin, setelah sebelumnya mengisyaratkan pasukannya siap untuk terus berjuang mencapai tujuan awal perang Rusia.

    Pertemuan ini merupakan momen krusial bagi Ukraina dalam apa yang bisa menjadi minggu yang menegangkan setelah berhari-hari diplomasi yang menegangkan. Inti dari pertemuan ini adalah rencana AS untuk mewujudkan perdamaian, yang sejak itu telah direvisi di bawah tekanan dari Kyiv dan para pendukungnya di Eropa.

    Mengenai wilayah Ukraina yang diduduki, “sejauh ini kami belum menemukan kompromi, tetapi beberapa solusi Amerika dapat didiskusikan,” kata Ajudan Presiden Rusia Yuri Ushakov setelah pertemuan di Kremlin, melansir Al Arabiya dari AFP (3/12).

    “Beberapa formulasi yang diusulkan tidak sesuai dengan kami, dan pekerjaan akan terus berlanjut,” tambahnya.

    Presiden Putin saat menerima Jared Kushner dan Steve Witkoff di Kremlin. (Kristina Kormilitsyna/Rossiya Segodnya via Kremlin)

    Kushner dan Witkoff menyampaikan kepada Putin versi baru rencana AS, yang telah digodok setelah versi awal menimbulkan kekhawatiran di Kyiv dan di tempat lain di Eropa bahwa rencana tersebut memberikan terlalu banyak konsesi kepada Moskow.

    Ushakov mengatakan rencana awal AS dipecah menjadi empat bagian, yang dibahas dalam pertemuan lima jam di Kremlin.

    “Ada beberapa poin yang bisa kami sepakati,” jelasnya, tetapi “presiden tidak menyembunyikan sikap kritis, bahkan negatif, kami terhadap sejumlah proposal.”

    Namun, perundingan di Moskow “bermanfaat,” kata Ushakov, dengan posisi Rusia dan AS tidak semakin jauh setelahnya.

    Sebelumnya, Presiden Putin telah menuntut agar Kyiv menyerahkan wilayah yang diklaim Moskow sebagai miliknya. Kremlin juga menolak pasukan Eropa mana pun di Ukraina untuk memantau gencatan senjata.

    Jared Kushner dan Steve Witkoff di Kremlin. (Kristina Kormilitsyna/Rossiya Segodnya via Kremlin)

    Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan pada Hari Senin, rencana apa pun harus mengakhiri perang untuk selamanya, dan tidak hanya mengarah pada jeda pertempuran yang dimulai dengan serangan Moskow pada Februari 2022.

    Ia juga mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial, “tidak akan ada solusi sederhana.”

    “Yang penting adalah semuanya adil dan transparan. Tidak ada permainan yang dimainkan di belakang Ukraina. Tidak ada yang diputuskan tanpa Ukraina, tentang kami, tentang masa depan kami,” katanya.

    Dalam unggahan media sosialnya Ia mengatakan “pertanyaan yang paling sulit adalah tentang wilayah, tentang aset (Rusia) yang dibekukan Dan tentang jaminan keamanan.”

    CaptJared Kushner dan Steve Witkoff di Kremlin. (Kristina Kormilitsyna/Rossiya Segodnya via Kremlin)

    Terpisah, Presiden Trump sebelumnya mengatakan kemajuan dalam mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir empat tahun tidak akan mudah.

    “Rakyat kami sedang berada di Rusia saat ini untuk melihat apakah kami dapat menyelesaikannya,” ujarnya dalam rapat kabinet di Gedung Putih.

    “Ini bukan situasi yang mudah, percayalah. Benar-benar kacau,” tandasnya.

    Namun dalam wawancara yang disiarkan Selasa malam di Fox News, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan perundingan dengan Rusia “telah mencapai beberapa kemajuan” untuk mengakhiri perang dengan Ukraina.

    Diketahui, rencana perdamaian awal AS yang berisi 28 poin yang diungkapkan bulan lalu sangat sesuai dengan tuntutan Moskow, memicu tuduhan Rusia terlibat dalam penyusunannya, yang dibantah oleh Washington.

    Itu menimbulkan kekhawatiran Eropa, Washington dan Moskow dapat mencapai kesepakatan yang tidak terduga atau memaksa Ukraina untuk memberikan konsesi yang tidak adil.

    Presiden Putin belakangan menilai Eropa menyabotase kesepakatan mengenai konflik tersebut dan mengirimkan pesan jelas dengan mengatakan: “Kami tidak berencana untuk berperang dengan Eropa, tetapi jika Eropa menginginkannya dan memulainya, kami siap sekarang juga.”

    Witkoff sendiri telah bertemu dengan Presiden Putin beberapa kali. Tetapi, media AS melaporkan ini pertama kalinya Kushner bergabung dalam perundingan dengan Moskow.

  • Negosiasi 5 Jam, AS-Rusia Gagal Berkompromi Soal Wilayah Ukraina

    Negosiasi 5 Jam, AS-Rusia Gagal Berkompromi Soal Wilayah Ukraina

    Jakarta

    Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu menantu Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner, serta utusan khusus AS Steve Witkoff di Kremlin, setelah sebelumnya memberi sinyal bahwa pasukannya siap terus bertempur demi mencapai tujuan awal perang Rusia.

    Pertemuan tersebut adalah momen krusial bagi Ukraina dalam minggu yang diperkirakan penuh ketegangan, setelah beberapa hari diplomasi intensif. Inti dari pertemuan ini adalah rencana perdamaian AS, yang kemudian direvisi di bawah tekanan dari Kyiv dan para pendukungnya di Eropa.

    Mengenai wilayah Ukraina yang diduduki, “sejauh ini kami belum menemukan kompromi, tetapi beberapa solusi Amerika dapat dibahas,” ujar penasihat utama kepresidenan Rusia, Yuri Ushakov, setelah pertemuan di Moskow. “Beberapa rumusan yang diajukan tidak sesuai bagi kami, dan pekerjaan akan terus berlanjut,” tambahnya.

    Trump mengatakan bahwa kemajuan dalam mengakhiri perang yang hampir berlangsung empat tahun itu tidak akan mudah. “Perwakilan kami sedang berada di Rusia saat ini untuk melihat apakah kita bisa menyelesaikannya,” paparnya dalam rapat kabinet di Gedung Putih. “Situasi yang tidak mudah, biar saya katakan. Benar-benar berantakan.”

    Dalam wawancara yang disiarkan Selasa (03/12) malam di Fox News, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan pembicaraan dengan Rusia “telah menghasilkan beberapa kemajuan” untuk mengakhiri perang dengan Ukraina. Tidak jelas kapan tepatnya wawancara itu direkam.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan pada hari Senin (01/12) bahwa setiap rencana harus mengakhiri perang secara permanen, dan bukan hanya menghasilkan jeda dalam pertempuran yang dimulai dengan ofensif oleh Moskow pada Februari 2022.

    Ia juga mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial bahwa “tidak akan ada solusi yang mudah.”

    Moskow menolak rencana yang telah diubah

    Kushner dan Witkoff akan menyerahkan versi baru rencana AS tersebut kepada Putin, yang telah dirumuskan ulang setelah versi awalnya memicu kekhawatiran di Kyiv dan Eropa bahwa rencana itu terlalu banyak memberi konsesi kepada Moskow.

    Ushakov mengatakan rencana awal AS terdiri dari empat bagian, yang dibahas selama pertemuan lima jam di Kremlin. “Ada beberapa poin yang bisa kami sepakati,” kata penasihat diplomatik utama Putin itu. Namun “presiden tidak menyembunyikan sikap kami yang kritis, bahkan negatif, terhadap sejumlah usulan.”

    Putin telah menuntut agar Kyiv menyerahkan wilayah yang diklaim Moskow sebagai miliknya. Kremlin juga menolak kehadiran pasukan Eropa di Ukraina untuk memantau gencatan senjata.

    Dalam unggahan di media sosialnya, Zelensky mengatakan “pertanyaan paling sulit berkaitan dengan wilayah, aset (Rusia) yang dibekukan dan jaminan keamanan.”

    Meski demikian, pembicaraan di Moskow “bermanfaat”, papar Ushakov, dan posisi Rusia dan AS tidak menjadi semakin berjauhan setelahnya.

    Tekanan Rusia

    Putin tampak mengirim pesan keras sesaat sebelum pembicaraan AS dimulai. Ia mengatakan bahwa Pokrovsk —benteng Ukraina Timur yang disebut pasukan Rusia baru-baru ini berhasil direbut — adalah “titik pijakan yang baik untuk menyelesaikan semua tugas yang ditetapkan pada awal operasi militer khusus,” – menggunakan istilah yang dipakai Kremlin untuk perang tersebut.

    Selain Pokrovsk, Kyiv berada di bawah tekanan di banyak front. Pasukan Rusia bergerak cepat pada November di Ukraina timur, dan Kyiv diguncang skandal korupsi yang berujung pada pengunduran diri negosiator utamanya — tangan kanan Zelensky.

    Moskow juga meningkatkan serangan drone dan rudal ke Ukraina dalam beberapa pekan terakhir, yang menyebabkan ratusan ribu orang hidup tanpa listrik dan pemanas. Zelensky menuding Kremlin berusaha “menghancurkan” negaranya.

    Di sisi lain, pemimpin Rusia menuduh Eropa mensabotase kesepakatan mengenai konflik tersebut dan mengirim pesan suram, dengan mengatakan: “Kami tidak berencana berperang dengan Eropa, tetapi jika Eropa menginginkannya dan memulai, kami siap saat ini juga.”

    Zelensky mengatakan ia berharap dapat membahas isu-isu kunci dengan presiden AS dan menyiratkan bahwa motivasi sebenarnya Moskow untuk pembicaraan dengan AS adalah guna melonggarkan sanksi Barat.

    Kehadiran Kushner

    Eropa khawatir Washington dan Moskow dapat mencapai kesepakatan tanpa melibatkan mereka atau memaksa Ukraina membuat konsesi yang tidak adil.

    Rencana awal AS yang terdiri dari 28 poin dan diungkap bulan lalu begitu dekat dengan tuntutan Moskow sehingga memicu tuduhan bahwa Rusia terlibat dalam penyusunannya, sesuatu yang dibantah Washington.

    Bloomberg melaporkan bulan lalu mengenai rekaman audio yang menunjukkan bahwa Witkoff membantu melatih pejabat Rusia tentang bagaimana Putin sebaiknya berbicara kepada Trump.

    Witkoff telah beberapa kali bertemu Putin, tetapi media AS melaporkan bahwa ini adalah pertama kalinya Kushner — yang juga membantu menengahi gencatan senjata antara Israel dan Hamasdi Gaza awal tahun ini — ikut dalam pembicaraan dengan Putin.

    *Editor: Rizki Nugraha

    Tonton juga video “Progres Perdamaian di Ukraina Masih Gitu-gitu Aja”

    (ita/ita)

  • Taiwan Ungkap China Bikin Simulasi Serangan ke Kapal Perang Asing

    Taiwan Ungkap China Bikin Simulasi Serangan ke Kapal Perang Asing

    Taipei

    Intelijen Taiwan mengungkapkan bahwa pesawat militer China telah melakukan “serangan simulasi” terhadap kapal-kapal perang asing yang melintasi Selat Taiwan, perairan sensitif yang memisahkan daratan utama Beijing dan Taipei.

    China bersikeras menyatakan Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya, dan mengklaim yurisdiksi atas Selat Taiwan, rute pelayaran internasional utama.

    Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara-negara lainnya memandang selat tersebut sebagai perairan internasional yang terbuka untuk semua kapal.

    Direktur Jenderal Biro Keamanan Nasional Taiwan, Tsai Ming-yen, seperti dilansir AFP, Rabu (3/12/205), mengatakan bahwa delapan negara, termasuk AS, Jepang, Australia, dan Prancis, telah mengirimkan kapal-kapal angkatan laut mereka melintasi perairan sempit tersebut sepanjang tahun ini.

    Saat berbicara kepada para anggota parlemen Taiwan, Tsai menyebut China membayangi “setiap kapal” yang melintasi perairan tersebut.

    “China akan mengerahkan aset-aset angkatan laut terkait untuk melakukan pemantauan yang diperlukan, dan terkadang… juga akan memobilisasi angkatan udara untuk melakukan serangan simulasi guna menandakan kehadiran militer dan klaim dominasinya atas Selat tersebut,” kata Tsai dalam pernyataannya.

    Taiwan, sebut Tsai, bertukar informasi intelijen dengan “sekutu-sekutu internasionalnya”, termasuk mengenai aktivitas militer China selama transit ini.

    Ketegangan di Selat Taiwan semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena China terus meningkatkan tekanan militer terhadap Taipei, yang telah meningkatkan anggaran pertahanannya baru-baru ini.

    Presiden Taiwan Lai Ching-te, pekan lalu, mengungkapkan rencana untuk anggaran pertahanan tambahan sebesar US$ 40 miliar selama delapan tahun ke depan, dengan fokus pada pengembangan sistem pertahanan udara yang berlapis-lapis.

    Tonton juga video “Rusia Kecam Rencana Jepang Mau Pasang Rudal di Pulau Dekat Taiwan”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Presiden Prancis ke China, Redam Krisis Dagang Eropa-Beijing?

    Presiden Prancis ke China, Redam Krisis Dagang Eropa-Beijing?

    Jakarta

    Presiden Prancis Emmanuel Macron akan melakukan perjalanan ke Cina pada pekan ini. Kunjungan tersebut bertujuan menurunkan tensi panas di tengah ancaman ekonomi dan keamanan dari Beijing, sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke dua di dunia di mana Paris turut menggantungkan sektor perdagangannya di tengah gejolak perdagangan global.

    Menurut para analis, sebelumnya Macron telah berupaya menampilkan sikap tegas ketika bernegosiasi dengan Cina sambil berhati-hati agar tidak memicu ketegangan dengan Beijing yang terlihat semakin agresif dalam memperkuat posisinya hingga menguji hubungan perdagangan, keamanan, dan diplomatik.

    “Dia harus menegaskan kepada para pemimpin Cina bahwa Eropa akan merespons peningkatan ancaman ekonomi dan keamanan dari Beijing, sambil mencegah eskalasi ketegangan yang bisa berujung ke perang dagang besar-besaran dan keretakan hubungan diplomatik,” kata Noah Barkin, analis bidang Cina dari Rhodium Group kepada Reuters.

    “Ini pesan yang tidak mudah untuk disampaikan,” kata Noah.

    Ekspor Cina guncang industri Eropa

    Macron akan memulai kunjungannya dengan mengunjungi Forbidden City atau Kota Terlarang, Beijing, pada Rabu (03/12). Keesokan harinya, Kamis (04/12) Macron dijadwalkan bertemu Presiden Cina Xi Jinping. Kedua kepala negara tersebut juga dijadwalkan berjumpa dalam perjalanan menuju Chengdu, bagian dari provinsi Sichuan, pada Jumat (05/12).

    Kunjungan Macron ke Cina terjadi setelah kunjungan menegangkan Ursula von der Leyen, Presiden Uni Eropa, pada Juli 2025. Saat itu Ursula menyatakan bahwa relasi antara Uni Eropa (UE) dan Cina ada di tahap “titik balik” yang berpotensi berdampak pada perubahan besar.

    Kunjungan Macron ke Cina akan diikuti dengan kunjungan Keir Starmer, Perdana Menteri Inggris dan Friedrich Merz, Kanselir Jerman pada awal tahun 2026.

    Eropa pun khawatir dengan pertumbuhan sektor teknologi Cina, khususnya kendaraan listrik dan pengolahan mineral kritis, yang dapat mengancam pasokan bagi industri di Eropa.

    Beijing memanfaatkan peluang untuk menampilkan diri sebagai mitra bisnis di tengah tarif perdagangan dari Amerika Serikat yang menekan arus perdagangan global. Hal ini diharapan meredakan kekhawatiran Eropa atas dukungan Cina terhadap Rusia serta model industrinya yang disubsidi negara.

    Menjelang kunjungan kenegaraan itu, para penasihat Macron menyatakan perlunya mendorong penyeimbangan dinamika perdagangan agar Cina meningkatkan konsumsi domestik. Para penasihat Macron juga berharap Beijing bisa “bagi-bagi keuntungan dari inovasi yang dihasilkan,” sehingga Eropa pun dapat memperoleh akses ke teknologi Tiongkok.

    Doktrin keamanan dan keamanan

    Untuk meredam kekhawatiran yang semakin meningkat terkait perdagangan dengan Cina, Uni Eropa diperkirakan akan meluncurkan doktrin ekonomi dan keamanan. Doktrin tersebut dapat mendorong blok itu menggunakan perangkat kebijakan perdagangannya terhadap Beijing dengan cara yang lebih agresif.

    Prancis yang tengah mengalami penjualan otomotif yang minim di Tiongkok, tapi menghadapi tekanan di dalam negeri dalam memenuhi target kendaraan listrik, mendukung langkah Uni Eropa untuk menaikkan tarif impor mobil listrik asal Cina.

    Prancis juga tengah bersitegang dengan Beijing selama lebih dari satu tahun belakangan terkait investigasi Cina atas impor brandy atau minuman keras. Sebuah langkah yang secara luas dianggap sebagai balasan Cina atas dukungan Prancis terhadap tarif mobil listrik, sebelum ditawarkan penangguhan.

    Sementara itu, meskipun baru membuka pabrik perakitan baru di Cina, kesempatan Airbus untuk memperoleh pesanan besar yang telah lama dinantikan (hingga 500 pesawat) belum tentu terjadi selama kunjungan Macron, menurut sumber dari kalangan industri. Kesepakatan semacam itu memberi Beijing posisi tawar terhadap Washington, yang tengah mendorong komitmen baru untuk pembelian pesawat Boeing.

    Upaya Paris terhadap Beijing

    Prancis berupaya menarik lebih banyak investasi dari perusahaan-perusahaan Cina dan memfasilitasi akses pasar bagi ekspor Prancis. Selama kunjungan tersebut, pejabat dari kedua negara diperkirakan akan menandatangani beberapa perjanjian di sektor energi, industri makanan, dan penerbangan.

    Macron berkomitmen untuk memperjuangkan “akses pasar yang adil dan timbal balik,” kata kantornya.

    Prancis akan menjadi tuan rumah KTT Kelompok Tujuh (G7) pada 2026 yang melibatkan pihak ekonomi-ekonomi terkemuka dunia, sementara Cina akan memimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) yang beranggotakan 21 negara, termasuk Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Rusia.

    Blok 27 negara ini mengalami defisit perdagangan besar dengan Cina, berkisar lebih dari 300 miliar euro (Rp5,798 kuadriliun) pada tahun 2024. Beijing sendiri mewakili 46% dari total defisit perdagangan Prancis.

    Prancis dan Uni Eropa telah menggambarkan Cina sebagai mitra, pesaing, dan rival sistemik. Beberapa tahun terakhir ditandai dengan sejumlah sengketa perdagangan di berbagai sektor industri setelah Uni Eropa melakukan penyelidikan terhadap subsidi kendaraan listrik Cina. Beijing menanggapi dengan penyelidikan terhadap impor brendi, daging babi, dan produk susu Eropa.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Joan Aurelia Rumengan

    Editor: Muhammad Hanafi

    Tonton juga video “Macron: Jika Trump Mau Hadiah Nobel, Dia Harus Hentikan Perang Gaza”

    (ita/ita)

  • Kabel Data Bawah Laut AS-Asia Rentan Disabotase?

    Kabel Data Bawah Laut AS-Asia Rentan Disabotase?

    Jakarta

    Kabel bawah laut adalah tulang punggung globalisasi di era internet. Kabel ini membentang di lautan untuk menghubungkan negara-negara dan benua di seantero dunia. Pada 2021, penelitian dari Total Telecom menyebut setidaknya ada hampir 500 kabel yang membentang dengan panjang keseluruhan mencapai sekitar 1,3 juta kilometer. Jumlah itu terus bertambah.

    “Semua pertukaran data di dunia terhubung dari kabel-kabel ini,” kata Johannes Peters, kepala Center for Maritime Strategy and Security di Christian Albrechts Univerity, Kiel.

    “Internet, pembayaran, berbagai informasi yang Anda pikirkan, berbagai jenis komunikasi digital verbal, semuanya terhubung secara eksklusif di kabel ini,” lanjut Johannes kepada DW. “Kita bergantung pada kabel-kabel ini dalam konteks global.”

    Namun, kini jaringan komunikasi ini kian dipandang sebagai target sabotase.

    Sinyal bahaya terendus dari berbagai insiden yang terjadi di perairan Baltik. Studi dari Washington University, Seattle menuturkan bahwa ada 10 kabel yang dipotong sejak 2022. Tujuh di antaranya dipotong dalam rentang waktu November 2024-Januari 2025. Itu di luar penambahan kasus yang dilaporkan pada musim panas ini.

    Bila dilihat dari pergerakan kapal dan jangkar, Rusia dinyatakan sebagai terduga pelaku pemotongan kabel. Namun, klaim ini belum sepenuhnya terbukti. Di samping klaim bahwa kabel sengaja dirusak, ada pula kemungkinan bahwa kabel tersebut rusak karena kelalaian.

    Tiongkok juga dicurigai merusak sebagian kabel data di perairan Baltik. Khususnya di area dekat Taiwan. November 2025, Swedia mendesak Cina untuk bertanggung jawab terkait insiden tersebut.

    Masalah muncul di Pasifik?

    Menurut laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, Cina sudah membangun kapal yang bisa memotong kabel yang terletak 4000 meter di bawah permukaan laut.

    Pihak Amerika Serikat juga mengumumkan peringatan serupa. Baru-baru ini, The US China Economic and Security Review Commission yang ditugaskan untuk memasok informasi kepada anggota Kongres AS, menyatakan bahwa Cina telah “semakin terlibat dalam aktivitas pengguntingan kabel bawah laut sebagai salah satu taktik intimidasi di zona abu-abu dan ada pula bukti bahwa Beijing sedang membuat teknologi baru untuk memotong kabel bawah laut yang bisa digunakan di saat perang.”

    Dampak jika kabel bawah laut rusak

    Putusnya kabel data bawah laut dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat besar. Ini adalah Kesimpulan Kenny Huang, kepala organisasi Asia Pacific Information Center (APIC) yang melayani registrasi alamat internet untuk kawasan Asia Pasifik.

    Bila kabel data bawah laut utama rusak, “Anda akan kehilangan seluruh koneksi internet,” kata Kenny kepada DW.

    “Kalau Anda kehilangan koneksi internet, berarti Anda kehilangan segalanya,” sambungnya.

    Kawasan yang terdampak bahkan tidak akan bisa menggunakan jejaring internal mereka. Misalnya di Taiwan, pulau tersebut akan jadi “gelap” dengan dampak kerusakan yang bergulir jauh melampaui komunikasi, merambah ke sektor pendidikan, ekonomi, agrikultur, dan masih banyak lainnya.

    Negara-negara lain bisa menghadapi kasus serupa bila ada serangan terhadap kabel data bawah laut. Meskipun tidak terputus atau rusak, kabel-kabel data bawah laut tersebut bisa dimanfaatkan sebagai jaringan informasi lintas benua.

    “Negara-negara musuh bisa memanfaatkan kelemahan ini untuk data intelijen atau untuk membuat strategi menguntungkan di ranah konflik keamanan maritim,” tulis Global Defense Insight, majalah online, dalam tulisan yang terbit pada Februari 2025.

    Perairan Baltik jadi arena perang hibrida

    Menurut Peters, secara teknis, merusak kabel data bawah laut tidak terlalu sulit.

    “Cukup dengan menyeret jangkar di dasar laut yang bisa menarik dan memutus kabel. Anda tidak membutuhkan performa kapal yang tinggi,” kata Johannes kepada DW.

    “Cina akan mencermati dengan saksama bagaimana Barat merespons serangan terhadap kabel data bawah laut. Mereka akan mencoba mengidentifikasi permasalahan teknis dan legal yang ditimbulkan oleh negara-negara Barat yang bersumber dari hukum maritim internasional. Dalam hal ini, perairan Baltik saat ini menjadi semacam tempat pembuktian bagi peperangan maritim, yang tentu saja diamati dari belahan dunia lain.”

    Bisakah kabel data bawah laut dilindungi?

    Menurut Kenny, ini adalah salah satu alasan untuk meningkatkan perlindungan hukum untuk kabel data bawah laut. Termasuk sanksi berat bagi pihak yang memotong jalur komunikasi.

    Di saat yang bersamaan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga kabel data bawah laut. Contohnya, ketika kabel data bawah laut rusak, lalu lintas data bisa diubah ke kabel data lain atau ke penyedia layanan berbeda. Berbagai rencana cadangan bisa membawa perubahan.

    Kenny juga memperingatkan, ketika serangan militer terhadap kabel data bawah laut terjadi, “Tidak ada pihak yang bisa bertahan dari serangan tersebut.”

    Inilah mengapa negara-negara di kawasan tersebut fokus merancang rencana pencegahan. Menurut studi CSIS, Jepang dan sekutunya berencana mengeliminasi perusahaan Cina dari berbagai proyek yang berhubungan dengan kabel data bawah laut bila sudah ada keterlibatan dari investor dan perusahaan AS. Di samping itu, Jepang sedang menyebarkan kabel data bawah laut mereka ke area yang lebih besar sehingga satu serangan tidak akan jadi ancaman untuk seluruh system.

    Sementara itu, Johannes beranggapan bahwa negara-negara juga dapat membatasi lalu lintas perairan di area-area tertentu dan menerbitkan izin khusus untuk kapal-kapal yang berlayar di dekat kabel data bawah laut.

    “Kabel data bawah laut itu sendiri pun bahkan bisa juga diproteksi menggunakan sensor yang tepat,” pungkas Johannes.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Joan Aurelia Rumengan

    Editor: Muhammad Hanafi

    (ita/ita)

  • Dilema Penduduk Donbass Antara Hidup di Bawah Rusia atau Mengungsi

    Dilema Penduduk Donbass Antara Hidup di Bawah Rusia atau Mengungsi

    Jakarta

    Menurut rencana 28 butir Amerika Serikat untuk mengakhiri perang Ukraina, Kyiv diminta menyerahkan wilayah Donetsk dan Luhansk, termasuk wilayah yang tidak diduduki Rusia, demi membentuk “zona demiliterisasi”, yang pada akhirnya kemungkinan besar akan dikendalikan Rusiasecara de facto. Setelah kritik keras dari Kyiv dan sejumlah negara Eropa, rencana itu kini dikabarkan bakal direvisi.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan beberapa “isu sensitif” harus dibicarakan secara langsung dengan Presiden AS Donald Trump. Zona demiliterisasi termasuk ke dalam agenda, menurut berbagai sumber.

    Di wilayah Donetsk, Ukraina masih menguasai sekitar seperempat bagian, tempat sekitar 200 ribu warga bertahan meski serangan artileri Rusia rutin terjadi.

    Lonjakan evakuasi

    Di antara warga Donbass sendiri, “rencana perdamaian” dengan Rusia belum banyak didiskusikan, kata Anastasia Machnyk, dari hotline proyek bantuan Jalan Kehidupan. Namun pekan lalu, permintaan evakuasi dari kota Kramatorsk dan Sloviansk meningkat.

    Yang menghubungi biasanya keluarga dengan anak dan warga rentan yang bertahan sampai detik terakhir, berharap situasi membaik. Selama ini, kehidupan di wilayah itu relatif lebih tenang – setidaknya dibandingkan daerah yang lebih dekat garis depan, ujar Machnyk kepada DW.

    “Tapi mereka melihat harapan itu tak terpenuhi. Mungkin mereka juga terpengaruh kabar terakhir.”

    Mengapa warga Donbass sekarang mengungsi?

    Dari percakapan sehari-hari, Machnyk menangkap betapa warga sulit membayangkan pemerintah Ukraina begitu saja menyerahkan daerah yang masih dihuni banyak orang. “Mereka berpikir, selama masih banyak warga di sana, mereka tidak akan ditinggalkan. Meski begitu tetap ada rasa tidak percaya terhadap pemerintah.”

    Oleksij K. (nama disamarkan), salah satu pendiri organisasi evakuasi, menyampaikan pengamatan serupa. Warga di bagian Donetsk yang relatif lebih aman pergi karena takut menghadapi pendudukan Rusia. “Ada yang bersiap pergi karena khawatir suatu hari pemerintah bilang, ‘Kalian punya dua hari sebelum wilayah ini jatuh ke Rusia.’”

    Bagi warga yang tinggal betul-betul dekat garis depan – seperti di Kostyantynivka atau Pokrovsk – berita politik belakangan ini justru kurang berpengaruh. Mereka pergi karena rumah hancur dan rantai pasokan terputus akibat serangan: tak ada listrik, tak ada bahan pangan, tak ada komunikasi. “Mereka yang takut pendudukan Rusia sudah lebih dulu kabur,” ujar Oleksij. “Yang tersisa kebanyakan orang putus asa yang tak tahu harus ke mana, dan para pensiunan yang takut penjarahan. Mereka bertahan selama rumah mereka masih utuh.” Ada juga mereka yang tidak berprinsip dan mengaku “tidak mau terlibat urusan politik”. Lebih lanjut, ada segmen penentang perang yang menganggap gencatan senjata akan menguntungkan karena mereka tidak akan direkrut menjadi tentara, demikian menurut Oleksiy K.

    Pengusaha: “Pindah, bukan ekspansi”

    Di antara yang masih bertahan adalah Maksym Lysenko, pendiri sebuah merek pakaian. Dia bahkan membuka showroom dan kafe di Kramatorsk pada Juni lalu. Namun situasi di Donetsk dan dinamika internasional membuatnya kini mempertimbangkan pindah ke Kyiv. “Saat membuka usaha, kami sedikit takut, tapi berharap semuanya baik-baik saja.”

    Front kemudian bergerak mendekat. “Sekarang kami lebih berpikir soal pindah ketimbang ekspansi,” katanya. Meski begitu keputusan final belum diambil. Setelah penurunan tajam akibat terputusnya jalur kereta ke Kramatorsk, penjualan mulai naik lagi dalam dua pekan terakhir—meski belum kembali ke level sebelumnya.

    “Segala kemungkinan terbuka”

    Menurut survei Kyiv International Institute for Sociology (KIIS) pada akhir September dan awal Oktober, 71 persen warga Ukraina menolak melepaskan wilayah yang masih dikuasai Kyiv kepada Rusia. Di wilayah timur, penolakannya hanya 47 persen. Sebanyak 24 persen bersedia menerima kehilangan wilayah demi perdamaian, sementara 29 persen masih ragu.

    Lysenko menilai gagasan menyerahkan Donbass kepada Rusia sebagai hal yang “absurd dan tak terbayangkan”. Namun ia tak menutup kemungkinan itu bisa terjadi. “Melihat realitas dunia dan siapa yang berkuasa di AS, saya menganggap semuanya mungkin. Saat Rusia mulai menghujani Ukraina dengan serangan pada 2014, saya pikir dunia akan menekan Rusia. Yang terjadi justru sebaliknya.”

    Menurutnya, menyerahkan seluruh Donbass tak akan membawa kedamaian, melainkan memberi ruang bagi Moskow untuk menyusun ulang kekuatan, melewati pertahanan Ukraina di Donetsk, dan terus maju. Itu, kata Lysenko, akan menjadi “kekalahan bagi seluruh dunia”.

    “Kita menyelamatkan Kyiv, kedaulatan, dan kebebasan kita. Tapi kita kehilangan banyak wilayah karena kelambanan komunitas internasional,” keluhnya. “Alih-alih menekan agresor, justru yang lemah ditekan. Dunia menyaksikan absurditas ini tanpa berbuat apa-apa. Pelaku kekerasan dihadiahi hanya karena ia lebih kuat.”

    Pengungsi internal: “Taruhannya nyawa”

    Kateryna Kowal dari Druzhkivka – dekat garis depan – kini tinggal di sebuah penampungan dekat Kyiv bersama keluarganya. Dia menyebut rencana menyerahkan seluruh Donetsk sebagai gagasan “benar-benar absurd”. “Ini bukan tanah kosong, tapi nyawa manusia. Bagaimana mungkin menyerahkan seluruh kota beserta warganya?” Mereka bukan simpatisan Rusia, katanya. “Mereka bertahan di rumah karena tak punya uang pindah dan takut terlantar. Warga yang lebih tua terutama, tak punya peluang membangun hidup baru.”

    Bagi Kowal, skenario itu sama saja dengan kapitulasi Ukraina. Dia juga tak percaya Rusia akan berhenti di Donbass. Ancaman terhadap Kharkiv dan Dnipropetrovsk akan meningkat. Namun dia tak menampik kemungkinan Amerika Serikat dapat menekan Ukraina yang bergantung pada bantuannya. Meski begitu, langkah seperti itu sangat sulit diterima publik, katanya. “Semua pengungsi internal ingin pulang, bahkan jika rumah mereka hancur. Yang mereka cari bukan hanya empat dinding, tapi rasa ‘pulang’, makam keluarga… Bila di sana masih ada pemerintah Ukraina dan kedamaian, kami akan kembali. Di sanalah rumah kami.”

    Diadaptasi dari bahasa Ukraina oleh Markian Ostaptschuk
    Disadur oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid


    (ita/ita)

  • Jika Eropa Ingin Memulai Perang, Rusia Siap Sekarang Juga

    Jika Eropa Ingin Memulai Perang, Rusia Siap Sekarang Juga

    Jakarta

    Presiden Rusia Vladimir Putin melontarkan pernyataan keras terhadap negara Eropa yang dianggapnya mengganggu upaya kesepakatan damai Rusia dan Ukraina. Putin bahkan mengaku siap berperang jika Eropa ingin memulai perperangan.

    Dilansir AFP dan Reuters, Selasa (2/12/2025), hal itu disampaikan Putin menjelang pertemuannya dengan utusan Amerika Serikat (AS) Steve Witkoff dan menantu Presiden Donald Trump, Jared Kushner, di Moskow. Pertemuan itu akan membahas langkah terkini dari proposal perdamaian Rusia dan Ukraina yang digagas AS.

    “Kami tidak berencana berperang dengan Eropa, tetapi jika Eropa menginginkannya dan memulainya, kami siap sekarang juga,” kata Putin.

    Putin mengatakan kekuatan-kekuatan Eropa telah mengunci diri dari perundingan damai Ukraina karena mereka telah memutuskan kontak dengan Rusia.

    “Mereka berada di pihak yang berperang,” kata Putin.

    Menantu sekaligus utusan khusus Donald Trump, Jared Kushner menuju Kremlin pada hari Selasa untuk perundingan berisiko tinggi mengenai serangan Moskow di Ukraina.

    Jared Kushner dan utusan Steve Witkoff dijadwalkan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin setelah berhari-hari diplomasi yang hingar bingar dari Florida, Jenewa, hingga Abu Dhabi, membuat Washington “optimis” bahwa pertemuan itu dapat membantu mengakhiri konflik paling berdarah di Eropa sejak Perang Dunia II.

    Mereka diperkirakan akan menyampaikan kepada Putin versi baru rencana AS untuk mengakhiri perang, yang telah dibahas dalam beberapa hari terakhir setelah versi sebelumnya menimbulkan kekhawatiran di Kyiv dan di tempat lain di Eropa bahwa AS telah memberikan terlalu banyak konsesi kepada Moskow.

    Delegasi Ukraina kemudian dapat bertemu dengan Witkoff dan Kushner secepatnya pada hari Rabu (3/12), kemungkinan di Brussel, kata seorang pejabat senior Kyiv kepada AFP.

    (ygs/jbr)