Negara: Rusia

  • Putin Bilang Ada ‘Kesepahaman’ dengan Trump Soal Ukraina

    Putin Bilang Ada ‘Kesepahaman’ dengan Trump Soal Ukraina

    Anchorage

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ada “kesepahaman” yang dicapai dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah keduanya melakukan pertemuan di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat. Putin menyebut bahwa “kesepahaman” itu dapat membawa perdamaian di Ukraina.

    Putin dan Trump melakukan pertemuan yang sangat dinantikan di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat, yang dimaksudkan untuk membahas perang di Ukraina dan langkah-langkah menuju perdamaian.

    Namun kedua pemimpin mengakhiri pertemuan tanpa ada kesepakatan apa pun soal Ukraina, setelah melakukan pembicaraan selama tiga jam di Joint Base Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska. Kendati demikian, Putin menyebut ada “kesepahaman” antara dirinya dan Trump mengenai Ukraina dalam pertemuan itu.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kami capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin dalam konferensi pers bersama dengan Trump setelah pembicaraan keduanya, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025).

    Putin tidak menjelaskan lebih lanjut soal “kesepahaman” yang dimaksudnya tersebut.

    Dalam konferensi pers yang digelar singkat dengan backdrop sederhana bertuliskan “Pursuing Peace” tersebut, Putin mengatakan bahwa Rusia berharap agar “Kyiv dan ibu kota Eropa akan memandang semua ini secara konstruktif dan tidak akan menciptakan hambatan apa pun”.

    Putin juga memperingatkan terhadap “upaya-upaya untuk mengganggu kemajuan yang telah muncul melalui provokasi atau intrik di-balik-layar”.

    Pertemuan di Alaska itu digelar tanpa kehadiran Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang tidak diundang untuk ikut berunding, sehingga menimbulkan kekhawatiran di Eropa bahwa Moskow dan Washington akan mencoba menentukan nasib Kyiv secara diam-diam.

    Putin dan Trump memuji pertemuan mereka, dengan sang pemimpin Rusia menyebutnya “konstruktif” dan berlangsung dalam “atmosfer saling menghormati”. Trump menyebut pertemuan dengan Putin “sangat produktif” dengan “banyak poin” yang disepakati, meskipun dia tidak menyebutkannya lebih detail.

    Membahas soal Ukraina, Putin mengatakan Moskow “secara tulus tertarik untuk mengakhiri” konflik dengan Kyiv, namun meminta agar “kekhawatiran sah” Rusia dipertimbangkan.

    “Saya telah berulang kali mengatakan bahwa bagi Rusia, peristiwa di Ukraina berkaitan dengan ancaman fundamental terhadap keamanan nasional kami,” ucapnya.

    “Keseimbangan yang adil dalam bidang keamanan di Eropa dan di dunia secara keseluruhan harus dipulihkan,” cetus Putin.

    Rusia di masa lalu telah berulang kali mendesak Ukraina untuk meninggalkan ambisinya bergabung dengan aliansi NATO dan menyerahkan bagian timur wilayahnya yang diklaim oleh Moskow telah dianeksasi. Kyiv menolak gagasan tersebut dan menyerukan agar setiap kesepakatan damai mencakup jaminan keamanan untuk mencegah Moskow menyerang kembali.

    Putin dan Trump langsung meninggalkan pangkalan udara di Alaska setelah pertemuan mereka berakhir. Laporan AFP menyebut pesawat kedua pemimpin lepas landas dari Joint Base Elmendorf-Richardson dengan jeda beberapa menit.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • 3 Jam Dialog, Trump-Putin Akhiri Pertemuan Tanpa Kesepakatan Soal Ukraina

    3 Jam Dialog, Trump-Putin Akhiri Pertemuan Tanpa Kesepakatan Soal Ukraina

    Anchorage

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengakhiri pertemuan puncak di Alaska, pada Jumat (15/8) waktu setempat, tanpa adanya kesepakatan apa pun soal Ukraina. Pembicaraan yang dilakukan oleh kedua kepala negara ini dilaporkan berlangsung selama tiga jam.

    Kedua pemimpin dalam konferensi pers membahas soal sejumlah peluang untuk kesepakatan dan menghidupkan kembali persahabatan, namun tidak memberikan kabar terbaru soal gencatan senjata untuk perang Ukraina.

    Trump, yang gemar menyebut dirinya sendiri sebagai “master deal-maker”, menggelar karpet merah untuk Putin di pangkalan udara Alaska. Ini merupakan pertama kalinya pemimpin Rusia itu diizinkan berada di wilayah Barat sejak dia memerintahkan invasi skala besar ke Ukraina pada Februari 2022.

    Setelah melakukan pembicaraan selama tiga jam dengan didampingi ajudan masing-masing, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025), Trump dan Putin mengakhiri pertemuan secara tiba-tiba pada Jumat (15/8) waktu setempat. Pertemuan puncak ini digelar di Joint Base Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska.

    Di hadapan wartawan, keduanya memberikan sambutan hangat namun tidak menerima pertanyaan apa pun — hal yang sangat tidak biasa bagi sang Presiden AS yang sangat memahami media.

    “Kita belum sampai di sana, tetapi kita telah membuat kemajuan. Tidak ada kesepakatan sampai ada kesepakatan,” kata Trump dalam konferensi pers, yang digelar dengan backdrop sederhana bertuliskan “Pursuing Peace”.

    Dia menyebut pertemuan dengan Putin “sangat produktif” dengan “banyak poin” yang disepakati, meskipun dia tidak menyebutkannya lebih detail.

    “Hanya ada sedikit yang tersisa, beberapa hal yang tidak terlalu signifikan, satu hal mungkin yang paling signifikan,” ucap Trump tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Putin, dalam konferensi pers yang sama, membahas soal kerja sama secara umum. Konferensi pers bersama ini berlangsung hanya 12 menit saja.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kita capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin.

    Sementara Trump memikirkan soal pertemuan kedua, Putin tersenyum dan berkata dalam bahasa Inggris: “Lain kali di Moskow.”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Klaim Terjadi Pencurian Suara, Oposisi India Gugat Pemilu Terbesar di Dunia

    Klaim Terjadi Pencurian Suara, Oposisi India Gugat Pemilu Terbesar di Dunia

    New Delhi

    Pemimpin oposisi India, Rahul Gandhi, pekan lalu menyatakan bahwa otoritas pemilu India telah memungkinkan terjadinya “pencurian suara” demi mendongkrak suara Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Narendra Modi dalam pemilihan umum di India tahun 2024.

    Dalam sebuah konferensi pers, Gandhi, sosok sentral dalam Partai Kongres Nasional India (INC) menuduh, dalam pemilu tahun lalu, daftar pemilih di sebuah negara bagian kunci telah dimanipulasi untuk menguntungkan BJP.

    Pemimpin oposisi itu juga mengatakan bahwa partainya menemukan sejumlah ketidaksesuaian besar setelah menganalisis data pemilu yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum India (ECI).

    Komisi Pemilu India segera membantah klaim Gandhi, sementara BJP menuduh oposisi mencoba menciptakan “keadaan anarki” dengan merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

    Blok oposisi telah menggelar aksi protes di ibu kota, menyerukan kepada parlemen untuk mengadakan sesi guna membahas tuduhan tersebut. Gandhi ditahan di New Delhi pada awal pekan lalu, bersama pemimpin oposisi lainnya, saat mereka berbaris menuju kantor ECI untuk berunjuk rasa.

    “Pertarungan ini bukan pertarungan politik; pertarungan ini adalah demi menyelamatkan konstitusi,” tandas Gandhi usai dirinya ditahan.

    Apa dasar dari tuduhan tersebut?

    Analisis pihak oposisi berfokus pada daerah pemilihan Mahadevapura, yang merupakan bagian dari segmen majelis Kota Bangalore di Negara Bagian Karnataka, India selatan. Hasil penghitungan resmi menunjukkan bahwa INC kalah dari kandidat BJP dengan selisih lebih dari 114.000 suara.

    Ia menuduh terdapat pemilih ganda, alamat fiktif, sejumlah besar pemilih tercatat di satu alamat yang sama, foto tak sah, serta penyalahgunaan formulir pendaftaran pemilih baru.

    Dalam satu contoh, ia mengklaim bahwa 46 pemilih dari keluarga berbeda mencantumkan sebuah rumah satu kamar tidur sebagai bukti tempat tinggal mereka. Ia mengatakan bahwa ketika staf Kongres mengunjungi alamat yang dimaksud, ternyata orang-orang tersebut tidak tinggal di sana.

    Ia pun mempertanyakan seberapa aman konsep “satu orang, satu suara” di India. Gandhi juga menyoroti penolakan ECI untuk membagikan daftar pemilih dalam format digital, hanya memberikan data yang tidak dapat dibaca mesin, serta membatasi akses terhadap rekaman CCTV dari tempat pemungutan suara—yang menurutnya, memungkinkan BJP untuk “mencuri” pemilu.

    Ia juga menuduh adanya pelanggaran serupa dalam pemilihan tingkat negara bagian di Haryana dan Maharashtra pada Oktober dan November 2024.

    Pemilihan umum India dianggap sebagai ajang demokrasi terbesar di dunia, dengan hampir satu miliar orang memberikan suara mereka pada tahun 2024 untuk memilih 543 anggota majelis rendah parlemen.

    Upaya raksasa ini diawasi oleh ECI dan melibatkan 15 juta petugas pemilu di 28 negara bagian dan delapan wilayah persatuan. Proses pemungutan suara dilakukan dalam beberapa tahap dan memakan waktu enam minggu untuk diselesaikan.

    Tahun lalu, BJP pimpinan Modi kehilangan mayoritas absolutnya, namun berhasil tetap berkuasa dan menjadi partai tunggal terbesar dengan meraih 240 kursi. Partai Kongres memperoleh 99 kursi.

    Bagaimana respons ECI dan BJP?

    Dalam sebuah unggahan di X, ECI menyatakan bahwa Gandhi berupaya menghindari prosedur dan menyesatkan pemilih India.

    Dalam sebuah pernyataan, Kepala Petugas Pemilu Negara Bagian Karnataka menolak klaim Gandhi, dengan menyatakan bahwa hasil pemilu hanya dapat digugat melalui pengajuan petisi pemilu di hadapan Pengadilan Tinggi India. Komisi juga mendesak Gandhi untuk memberikan bukti di bawah sumpah.

    “Tandatangani pernyataan atas isu-isu yang Anda angkat dalam konferensi pers, yang Anda yakini benar, atau mohon maaflah kepada bangsa,” tulis ECI di X.

    Namun, mantan kepala komisioner pemilu India, Om Prakash Rawat, mengatakan kepada DW bahwa ECI seharusnya melakukan lebih banyak hal untuk langsung menanggapi klaim Gandhi dengan segera meminta penyelidikan.

    “Di masa lalu kami selalu mencari fakta dan mempublikasikannya secara terbuka untuk menyelesaikan segalanya. Permintaan sumpah seperti ini hanya memperpanjang masalah, menciptakan kebingungan di tengah masyarakat,” ujarnya.

    Sebaliknya, BJP justru menyerang balik pemimpin kongres tersebut, dengan juru bicara nasional Gaurav Bhatia menyatakan bahwa Gandhi seharusnya mengundurkan diri dari parlemen jika ia tidak percaya pada ECI. Partai penguasa juga mendesak agar Gandhi menyerahkan pernyataan di bawah sumpah.

    Dalam sebuah unggahan di X, BJP menuduh Gandhi “menyebarkan kebohongan, menghindari bukti, mencemarkan lembaga-lembaga demokratis, dan menyesatkan masyarakat.”

    Gandhi dilaporkan mencantumkan hotel sebagai alamat pemilih

    India memiliki populasi migran yang sangat besar, banyak di antaranya menggunakan kartu pemilih sebagai bentuk identifikasi dan untuk mencari pekerjaan. Banyak dari mereka kerap mencantumkan alamat sementara mereka untuk mendaftar kartu pemilih, yang mungkin menjelaskan mengapa sejumlah besar orang terdaftar di alamat yang sama.

    Sebuah laporan dari surat kabar The Indian Express menemukan bahwa beberapa alamat yang disorot oleh Gandhi adalah akomodasi berbayar dan asrama.

    Lebih lanjut, penggunaan formulir pendaftaran pemilih baru secara keliru—alih-alih formulir untuk pemindahan alamat tempat tinggal—berpotensi menciptakan banyak entri ganda.

    Namun demikian, perangkat lunak milik ECI seharusnya dapat mendeteksi entri ganda dari orang yang sama dalam daftar pemilih.

    Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

    Selama masa jabatan Modi, ECI telah menghadapi sejumlah kontroversi. Ini termasuk undang-undang baru yang mengubah proses pengangkatan kepala lembaga pemilu, serta sikap bungkamnya terhadap pidato-pidato Modi yang menggunakan retorika provokatif terhadap umat muslim menjelang pemilu tahun lalu.

    Tuduhan kecurangan suara oleh Gandhi juga muncul di saat ECI tengah berada dalam sorotan tajam akibat revisi kontroversial terhadap daftar pemilih di negara bagian Bihar bagian timur menjelang pemilu November.

    Berbicara kepada DW dengan syarat anonim, seorang jurnalis senior yang telah satu dekade meliput ECI mengatakan bahwa tuduhan kecurangan pemilu bukanlah hal baru.

    “Skeptisisme ini bukanlah sesuatu yang baru. Misalnya, setelah kekalahan BJP dalam pemilu 2004, beberapa anggota partai mengklaim bahwa mesin pemungutan suara telah direkayasa. Seorang pemimpin BJP bahkan menulis buku yang menyatakan bahwa mesin pemilu elektronik bisa dimanipulasi,” katanya.

    Namun, tuduhan Gandhi muncul di tengah situasi polarisasi yang ekstrem dan “telah memperparah ketakutan yang telah lama ada di kalangan pemilih mengenai keadilan dalam proses pemilu.”

    ECI “harus bertindak secara transparan” demi mengembalikan kepercayaan publik, pungkasnya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
    Editor :Rizki Nugraha

    Lihat juga Video ‘Trump Ancam Naikkan Tarif Impor untuk India gegara Beli Minyak Rusia’:

    (nvc/nvc)

  • Harga Minyak Mentah Anjlok, Pelaku Pasar Waspadai Potensi Pelonggaran Sanksi Rusia – Page 3

    Harga Minyak Mentah Anjlok, Pelaku Pasar Waspadai Potensi Pelonggaran Sanksi Rusia – Page 3

    Selain faktor geopolitik, pasar juga dibayangi kekhawatiran permintaan bahan bakar yang melemah di China. Data resmi menunjukkan output industri pada Juli tumbuh pada laju terendah dalam delapan bulan, sementara penjualan ritel meningkat paling lambat sejak Desember.

    Produksi kilang minyak China naik 8,9% secara tahunan pada Juli, namun menurun dibandingkan Juni yang merupakan level tertinggi sejak September 2023. Ekspor produk minyak juga meningkat, menandakan lemahnya konsumsi domestik.

    Di sisi suplai, prospek surplus minyak global semakin besar. Baker Hughes melaporkan jumlah rig minyak AS naik satu menjadi 412 unit pekan ini.

    Sementara itu, analis Bank of America memproyeksikan surplus rata-rata 890.000 barel per hari dari Juli 2025 hingga Juni 2026, seiring meningkatnya pasokan dari OPEC+.

    Prediksi ini sejalan dengan laporan Badan Energi Internasional (IEA) awal pekan yang menyebut pasar minyak global membengkak akibat peningkatan produksi OPEC+.

  • Trump dan Putin Mulai Berunding di Alaska, Bahas Perdamaian Perang

    Trump dan Putin Mulai Berunding di Alaska, Bahas Perdamaian Perang

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin memulai perundingan di Alaska. Perundingan dilakukan untuk mengakhiri perang yang menghancurkan di Ukraina yang dilancarkan Moskow pada tahun 2022.

    Dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025) para jurnalis dipersilakan keluar dari ruang pertemuan tak lama setelah Trump, Putin, dan pejabat lainnya duduk di depan latar belakang bertuliskan “Mengejar Perdamaian.”

    Trump dan Putin berjabat tangan dan bertukar salam saat keduanya bertemu di pangkalan militer di Alaska Jumat (15/8) waktu setempat. Pertemuan ini merupakan puncak bersejarah mengenai perang Rusia dan Ukraina.

    Perundingan tatap muka diawasi ketat oleh negara-negara Eropa dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang tidak diikutsertakan dan secara terbuka menolak tekanan dari Trump untuk menyerahkan wilayah yang direbut Rusia.

    (dek/dek)

  • Tiba di Alaska, Trump Bakal Bertemu Putin Desak Akhiri Perang

    Tiba di Alaska, Trump Bakal Bertemu Putin Desak Akhiri Perang

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tiba di pangkalan militer di Alaska. Trump akan bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin guna mendesak diakhirinya perang berdarah Moskow di Ukraina.

    Dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025) Trump dijadwalkan untuk mengadakan pembicaraan tatap muka dengan pemimpin Kremlin tersebut. Ini merupakan kunjungan pertamanya ke wilayah Barat sejak memerintahkan invasi ke Ukraina pada Februari 2022, yang memicu konflik dan menewaskan puluhan ribu orang.

    Sementara, Gedung Putih menyampaikan Trump didampingi para ajudan utama saat bertemu Putin. Dia juga akan ditemani oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Utusan Khusus Steve Witkoff sebelum pertemuan yang lebih besar saat makan siang yang akan mencakup pejabat lainnya.

    Trump sebelumnya mengatakan ia merencanakan pertemuan kedua dengan mitranya Presiden Rusia Vladimir Putin. Pertemuan kedua dengan bersama pemimpin Ukraina Volodymyr Zelensky setelah pertemuan di Alaska.

    Dilansir AFP, Kamis (14/8/2025), Trump dijadwalkan bertemu dengan Putin di Anchorage pada Jumat (15/8), pertemuan pertama antara pemimpin Rusia dan Presiden AS yang sedang menjabat sejak 2021.

    “Saya ingin melakukannya segera, dan kami akan mengadakan pertemuan kedua yang cepat antara Presiden Putin dan Presiden Zelensky dan saya sendiri, jika mereka mengizinkan saya hadir.”

    Perundingan berisiko tinggi ini terjadi di tengah upaya Trump untuk menengahi berakhirnya perang Rusia yang telah berlangsung hampir tiga setengah tahun di Ukraina, dan Zelensky beserta sekutu-sekutunya di Eropa telah mendesak Partai Republik untuk mendorong gencatan senjata.

    Trump mengatakan Rusia akan menghadapi “konsekuensi yang sangat berat” jika Putin tidak setuju untuk mengakhiri perang setelah pertemuan, tanpa penjelasan lebih lanjut.

    Pemimpin AS tersebut telah berjanji puluhan kali selama kampanye pemilihannya tahun 2024 untuk mengakhiri perang pada hari pertamanya menjabat, tetapi hanya membuat sedikit kemajuan dalam menengahi kesepakatan damai.

    Ia mengancam akan memberikan “sanksi sekunder” kepada mitra dagang Rusia atas invasinya ke Ukraina, tetapi tenggat waktu tindakannya telah berlalu minggu lalu tanpa ada tindakan yang diumumkan.

    Trump mengatakan kepada wartawan bahwa ia telah melakukan “komunikasi yang sangat baik” dengan para pemimpin Eropa termasuk Zelensky saat ia menjawab pertanyaan dari para wartawan di sebuah acara seni di Kennedy Center, Washington.

    “Saya akan memberi nilai 10. Anda tahu–sangat, sangat bersahabat,” katanya.

    (dek/dek)

  • IEU-CEPA Bikin Produk RI Bebas Tarif ke Eropa, Ekspor Siap Melejit

    IEU-CEPA Bikin Produk RI Bebas Tarif ke Eropa, Ekspor Siap Melejit

    Bisnis.com, JAKARTA – Perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA) diklaim akan mengerek nilai ekspor Indonesia dengan Eropa ke depan.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan melalui perjanjian dagang ini, barang-barang Indonesia yang akan diekspor ke Eropa akan dikenakan bea masuk 0% alias bebas tarif.

    “Kita tahun depan masuk ke dalam IEU-CEPA, di mana IEU-CEPA itu barang Indonesia ke Eropa 0%,” kata Airlangga dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026, Jumat (15/8/2025).

    Alhasil, kata Airlangga, adanya perjanjian dagang IEU-CEPA justru akan mendongkrak nilai ekspor Indonesia dengan Eropa.

    Terlebih, Airlangga mengungkap saat ini rata-rata tarif bea masuk yang dikenai Eropa terhadap barang-barang Indonesia berkisar di rentang 10–20%.

    Sayangnya, dia tidak mengungkap berapa besaran peningkatan ekspor yang bakal dikantongi Indonesia dengan adanya IEU-CEPA.

    “Maka tentu kenaikan daripada perdagangan dengan Eropa diperkirakan akan meningkat,” ujarnya.

    Selain IEU-CEPA, Airlangga membeberkan pemerintah juga telah menyelesaikan Indonesia-Canada CEPA (ICA-CEPA) hingga perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), yang mencakup Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Armenia, dan Belarus.

    “Seluruhnya tahun ini [perjanjian dagang] diselesaikan maka pasar-pasar perebut ke depan juga bea masuk barang kita menjadi 0%,” tuturnya.

    Dengan begitu, lanjut dia, sejumlah perjanjian dagang ini diharapkan bisa meningkatkan ekspor Indonesia dengan diversifikasi pasar ekspor dan mendorong mitra dagang.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah meneken Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Peru (Indonesia-Peru CEPA/IP-CEPA) pada Senin (11/8/2025).

    Adapun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan perdagangan Indonesia dengan Peru bisa mencapai US$960 juta atau Rp15,65 triliun (asumsi kurs Rp16.309 per dolar AS) pada tahun pertama perjanjian ini berjalan. Nilainya naik dua kali lipat dari total perdagangan pada 2024.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan bahwa total perdagangan Indonesia dengan Peru mencapai US$480 juta pada 2024. Jika diperinci, total perdagangan Indonesia dengan Peru terdiri dari nilai ekspor yang mencapai US$331,2 juta dan nilai impor sebesar US$149,6 juta pada 2024.

    “Kan sekarang total trade-nya US$480 juta [perdagangan Indonesia dengan Peru pada 2024]. Ya, nanti setelah implementasi CEPA berjalan ya minimal 2 kali lipat total trade-nya. Setelah implementasi, tahun pertama minimal dua kali lipat total trade-nya,” kata Budi saat ditemui di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

    Budi menilai, dengan adanya IP-CEPA, maka akan semakin memudahkan kerja sama antara kedua negara. Bahkan, Budi menyebut tekstil dan alas kaki dalam negeri memiliki peluang besar untuk diekspor ke Peru.

    “Akses pakaian jadi tekstil kita ke Peru termasuk alas kaki itu besar. Kita dapat banyak kemudahan akses pasar untuk itu. Ini salah satu untuk mendorong akses pasar kita di luar negeri,” pungkasnya.

  • Mengenal Alaska, Wilayah ‘Harta Karun’ yang Dijual Rusia ke AS

    Mengenal Alaska, Wilayah ‘Harta Karun’ yang Dijual Rusia ke AS

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin dijadwalkan bertemu di Alaska Jumat (15/8/2025) waktu Alaska. Pertemuan ini akan membahas isu-isu terkini dalam geopolitik dunia.

    Pertemuan ini memunculkan kembali ingatan akan sejarah Alaska, yang dahulu merupakan wilayah milik Rusia sebelum dibeli oleh AS pada abad ke-19. Sebelum menjadi bagian Amerika Serikat seperti sekarang, Alaska berada di bawah kekuasaan Rusia.

    Mengutip situs Britannica, sejak awal 1700-an, Rusia memanfaatkan Alaska sebagai pusat perdagangan. Komoditas utamanya adalah bulu berang-berang laut yang laku keras di pasar AS, Eropa, dan berbagai negara Asia.

    Namun, memasuki abad ke-19, para pedagang bulu dari Inggris dan AS menjadi pesaing utama Rusia. Sampai akhirnya, persaingan ini berakhir pada 1824, ketika Rusia menandatangani perjanjian terpisah dengan AS dan Inggris.

    Beberapa dekade berikutnya, Rusia memutuskan menjual Alaska kepada AS pada 1867. Penyebabnya Rusia memandang Alaska tak lagi menguntungkan sebab populasi berang-berang laut yang hampir punah. Apalagi, Rusia juga mengalami tekanan politik usai Perang Krimea (1853-1856).

    Ketika Rusia berniat menjual Alaska, kabar ini disambut oleh AS yang mengutus Menteri Luar Negeri William Seward. Singkat cerita, Seward berhasil mencapai kesepakatan dengan pihak Rusia. Setelah melalui perdebatan panjang, Kongres AS menyetujui tawaran resmi sebesar US$7,2 juta.

    Jika disesuaikan dengan inflasi, jumlah tersebut setara lebih dari US$100 juta atau sekitar Rp1,6 triliun saat ini. Ini tentu saja sangat murah untuk wilayah yang kini menjadi negara bagian terbesar di AS.

    Akhirnya, pada 18 Oktober 1867, bendera AS dikibarkan untuk pertama kalinya di Sitka. Wilayah ini, kala itu menjadi ibu kota Alaska.

    Tak lama setelah dilakukan pembelian, publik mengecam Seward. AS dinilai menghambur-hamburkan uang untuk membeli wilayah yang tak menguntungkan. Atas dasar inilah, Seward dicap bodoh oleh para kritikus. 

    Namun, pandangan itu berubah pada akhir abad ke-19. AS menemukan cadangan emas, minyak, dan gas alam yang memberikan keuntungan besar bagi AS.

    Pada titik inilah, langkah Seward terbukti tepat. Pada 1959, Alaska resmi bergabung sebagai negara bagian ke-49 AS.

    (mfa/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • WhatsApp Tuding Balik Rusia Terkait Pembatasan Fitur Voice Call – Page 3

    WhatsApp Tuding Balik Rusia Terkait Pembatasan Fitur Voice Call – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Setelah pemerintah Rusia memblokir WhatsApp Call, kini platform penyedia layanan pesan tersebut menuntut balik untuk mendapatkan keadilan.

    Dilansir Gizchina, pemerintah Rusia membatasi panggilan yang terjadi di WhatsApp karena aplikasi ini dicurigai menjadi sarang teroris dan para penipu.

    Pembatasan akses ini sebenarnya terjadi karena muncul ketegangan antara pemerintah Rusia dan perusahaan teknologi asing. Dari informasi yang beredar, ketegangan mengalami eskalasi ketika Rusia memulai invasi militer ke Ukraina pada Februari 2022.

    Mengutip pernyataan resmi dari Juru Bicara WhatsApp, Jumat (15/8/2025), “Aplikasi layanan kami bersifat privat, terenkripsi ujung ke ujung (end-to-end encrypted), dan menolak upaya pemerintah untuk melanggar hak orang dalam berkomunikasi secara aman.”

    Selaras dengan pernyataan sebelumnya, WhatsApp menuding balik pemerintah Rusia karena secara sengaja menghentikan kurang lebih 100 juta warganya dalam mengakses komunikasi yang aman dan pribadi.

    Menurutnya, langkah radikal ini mengambil kedaulatan digital dari masyarakat dan sebagai penyedia, mereka harus melindungi keamanan data yang tersimpan.

    “Kami akan terus melakukan segala yang kami bisa untuk memastikan komunikasi terenkripsi ujung ke ujung tersedia bagi semua orang di seluruh dunia, termasuk di Rusia,” Juru Bicara WhatsApp menambahkan.

    Sekarang imbasnya WhatsApp terancam kehilangan lebih dari 100 juta pengguna dan mendapat label buruk atas tuduhan tidak menyenangkan seperti keterlibatan penggunanya dalam aktivitas terorisme atau pun penipuan.

    Selain dua dampak buruk yang dialami WhatsApp, kini layanan penyedia komunikasi digital tersebut terpaksa bersaing melawan MAX (aplikasi penyedia chat yang di dukung penuh oleh pemerintah Rusia dan para politisi elit).

    Melihat dari potensial dampak yang terjadi, hanya ada satu jalan keluar bagi layanan satu ini. Mengikuti pembatasan dari pemerintah terhadap beberapa fitur, salah satunya panggilan suara.

  • Ramai-ramai Blokir WhatsApp, Simak Daftar Lengkapnya

    Ramai-ramai Blokir WhatsApp, Simak Daftar Lengkapnya

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rusia resmi memberlakukan pembatasan terhadap layanan panggilan WhatsApp mulai Rabu (14/8). Pemerintah menuduh platform milik Meta itu gagal membagikan informasi penting yang dibutuhkan aparat dalam penyelidikan kasus penipuan dan terorisme.

    Langkah Rusia ini menambah panjang daftar negara yang memilih memblokir atau membatasi akses WhatsApp, baik secara penuh maupun sebagian. Alasan pembatasan umumnya karena keamanan nasional, pengendalian arus informasi, hingga regulasi komunikasi digital.

    Berikut daftar negara yang membatasi WhatsApp, dikutip dari Reuters, Jumat (15/8/2025).

    Blokir Penuh WhatsApp

    China yang mulai memblokir WhatsApp pada 2017 melalui sistem sensor internet ketat yang dikenal sebagai Great Firewall. Sistem ini menyaring dan memblokir lalu lintas data yang terhubung ke server luar negeri. Akibatnya, warga China beralih menggunakan aplikasi lokal seperti WeChat untuk komunikasi sehari-hari.

    Korea Utara yang sejak 2016 melarang WhatsApp bersama platform besar lainnya seperti Facebook, YouTube, dan Twitter. Negara ini memiliki salah satu sistem internet paling tertutup di dunia, di mana akses informasi dikontrol ketat oleh pemerintah.

    Blokir Sebagian WhatsApp

    Beberapa negara tidak memblokir WhatsApp secara total, tetapi membatasi fitur tertentu seperti panggilan suara atau video berbasis internet (Voice over Internet Protocol/VoIP).

    Rusia menjadi anggota terbaru kelompok ini dengan mulai membatasi WhatsApp sejak Rabu. Kebijakan ini muncul setelah bertahun-tahun berselisih dengan perusahaan teknologi asing terkait isu konten dan penyimpanan data pengguna.

    Uni Emirat Arab (UEA) melarang sebagian besar layanan VoIP sejak 2017, sehingga panggilan suara dan video gratis antar-internet tidak bisa digunakan. Meski demikian, pesan teks WhatsApp tetap berfungsi. Pada 2020, pemerintah setempat sempat membuka akses panggilan internet, termasuk WhatsApp, selama penyelenggaraan Expo Dubai.

    Qatar menerapkan pembatasan serupa terhadap panggilan VoIP, tetapi masih mengizinkan penggunaan pesan teks WhatsApp.

    Mesir tidak memberlakukan larangan penuh, namun beberapa kali memperlambat akses atau kualitas panggilan melalui WhatsApp.

    Yordania juga memiliki pembatasan terhadap layanan panggilan VoIP.

    Larangan Sesekali (Pernah Memblokir) WhatsApp

    Sejumlah negara tidak menetapkan larangan permanen, namun pernah memblokir WhatsApp dalam kondisi tertentu.

    Iran mencabut larangan WhatsApp pada tahun lalu sebagai langkah awal untuk melonggarkan pembatasan internet yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

    Turki saat ini tidak melarang WhatsApp, tetapi dalam beberapa kesempatan di masa lalu, pemerintah memblokir layanan ini untuk meredam gejolak politik domestik.

    Uganda pada 2021 melarang WhatsApp dan platform media sosial lain sebagai bentuk protes setelah Facebook memblokir akun-akun pro-pemerintah. Kebijakan ini kini telah dicabut.

    Kuba juga pernah membatasi akses ke media sosial dan aplikasi pesan instan, termasuk WhatsApp, pada 2021 di tengah situasi politik yang memanas.

    Amerika Serikat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melarang penggunaan WhatsApp pada seluruh perangkat resmi sejak Juni 2025, mengacu pada memo internal yang dikirim ke seluruh staf.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]