Negara: Republik Rakyat Cina

  • Perang Dagang AS Vs China, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Dunia?

    Perang Dagang AS Vs China, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Dunia?

    PIKIRAN RAKYAT – Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif lebih dari 100% terhadap seluruh impor barang dari China mulai Rabu, 9 April 2025. Pernyataan tersebut memicu kekhawatiran luas tentang potensi pecahnya perang dagang berskala penuh antara dua raksasa ekonomi dunia.

    Sebagai respons terhadap ancaman tersebut, pemerintah China menyatakan tidak akan mundur dan siap ‘berjuang sampai akhir’. Negeri Tirai Bambu ini juga meningkatkan hambatan perdagangannya terhadap produk-produk asal Amerika Serikat, menandakan bahwa kedua negara telah memasuki fase eskalasi baru dalam konflik dagang yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

    Implikasi Terhadap Ekonomi Global

    Konflik dagang antara AS dan Tiongkok tidak hanya berdampak pada kedua negara tersebut, tetapi juga berisiko mengguncang ekonomi global. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), kedua negara menyumbang sekitar 43% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Jika perang dagang benar-benar terjadi dan menyebabkan perlambatan ekonomi atau bahkan resesi di AS dan China, maka dampaknya akan menyebar ke seluruh dunia.

    Dampak yang paling nyata adalah perlambatan pertumbuhan global, penurunan investasi internasional, dan gangguan rantai pasok dunia yang saling terintegrasi. Ketidakpastian juga akan menekan pasar keuangan global dan memperbesar volatilitas di sektor-sektor penting seperti energi, teknologi, dan manufaktur.

    Pada tahun 2024, Amerika Serikat mengekspor berbagai komoditas utama ke China, di antaranya adalah kacang kedelai, produk farmasi, dan minyak bumi. Kacang kedelai menjadi komoditas penting karena digunakan sebagai pakan untuk sekitar 440 juta babi di China, mencerminkan pentingnya komoditas tersebut dalam sektor pertanian dan peternakan di negara tersebut.

    Sebaliknya, impor utama AS dari China mencakup barang-barang elektronik, komputer, mainan, dan baterai yang sangat penting untuk kendaraan listrik. Salah satu kategori terbesar adalah telepon pintar, yang menyumbang 9% dari total impor AS dari China. Banyak dari perangkat ini diproduksi di China untuk perusahaan teknologi Amerika seperti Apple.

    Kebijakan tarif yang diberlakukan Trump sebelumnya sudah menaikkan harga barang-barang tersebut sekitar 20%. Jika tarif dinaikkan hingga lebih dari 100%, dampaknya bisa meningkat hingga lima kali lipat, membebani konsumen AS dengan harga yang jauh lebih tinggi.

    Senjata Dagang Non-Tarif

    Selain tarif, kedua negara memiliki cara lain untuk menekan satu sama lain. China memiliki kontrol signifikan atas penyulingan logam langka yang vital bagi berbagai industri teknologi dan militer, seperti litium, tembaga, galium, dan germanium. China sebelumnya telah membatasi ekspor galium dan germanium, yang digunakan dalam radar dan pencitraan termal.

    Sementara itu, AS di bawah kepemimpinan sebelumnya, termasuk Presiden Joe Biden, telah memperketat pembatasan ekspor microchip canggih ke China, yang sangat penting untuk pengembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI). Trump juga berencana menekan negara-negara lain seperti Meksiko, Vietnam, dan Kamboja agar tidak berdagang dengan China jika ingin mempertahankan akses pasar AS.

    Risiko Dumping dan Persaingan Tidak Sehat

    China dikenal sebagai negara manufaktur terbesar di dunia, dengan surplus perdagangan barang hampir 1 triliun dolar AS. Banyak barang produksinya disubsidi oleh pemerintah, sehingga dapat dijual di bawah harga pasar. Jika akses ke pasar AS dibatasi, ada kemungkinan besar bahwa produk-produk seperti baja akan “dibuang” ke pasar negara lain, termasuk Eropa dan Asia Tenggara.

    Hal ini dapat mengancam industri dalam negeri negara-negara tujuan ekspor, yang pada akhirnya berdampak pada lapangan kerja dan upah pekerja lokal. Di Inggris, kelompok industri UK Steel telah memperingatkan potensi membanjirnya baja murah dari China sebagai dampak lanjutan dari konflik dagang ini.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Trump Naikkan Tarif Impor! Saham Anjlok, Investor Harus Apa Sekarang?

    Trump Naikkan Tarif Impor! Saham Anjlok, Investor Harus Apa Sekarang?

    Jakarta: Pekan pertama April 2025 jadi momen penuh gejolak bagi pasar global. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang ia sebut sebagai “Liberation Day”. 
     
    Tarif dasar 10 persen dikenakan untuk semua barang impor ke AS, sementara tarif lebih tinggi dikenakan untuk mitra dagang utama seperti Tiongkok (54 persen), Vietnam (46 persen), dan Indonesia (32 persen).
     
    Kebijakan ini langsung mengguncang pasar. Mengutip Bibit, Rabu, 9 April 2025, Indeks saham utama AS seperti S&P 500 dan Nasdaq anjlok masing-masing -10,7 persen dan -11,4 persen hanya dalam waktu lima hari yakni dari 2 April hingga 7 April 2025.

    IHSG ikut terpukul
    Setelah libur panjang Idulfitri, IHSG langsung dibuka dengan penurunan tajam -9,19 persen pada 8 April 2025, sebelum akhirnya membaik dan ditutup di -7,71 persen pada sesi I.

    Meski terkesan dramatis, situasi ini tak perlu membuat kamu panik. Penting untuk melihatnya dari berbagai sisi.
     

    Mengapa tarif ini berbahaya?
    Trump ingin melindungi industri dalam negeri AS. Tapi strategi ini memicu reaksi keras dari negara lain. Tiongkok langsung membalas dengan tarif 34 persen untuk produk AS.
     
    Ketua The Fed, Jerome Powell, memperingatkan bahwa tarif ini bisa mendorong inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Pasar saham yang jatuh jadi salah satu refleksi kecemasan investor global.
     
    Bagi Indonesia, dampaknya bisa terasa di sektor ekspor. Produk seperti mesin, elektronik, pakaian, dan sepatu yang dikirim ke AS akan dikenai tarif lebih tinggi. Ini bisa menekan kinerja emiten berorientasi ekspor.
    Apa dampaknya ke aset investasi?

    Saham & Reksa Dana Saham: Secara jangka pendek, IHSG akan melihat sentimen negatif. Perusahaan yang bergantung pada ekspor, seperti manufaktur dan komoditasdapat menghadapi tekanan jika tarif balasan berlanjut dan permintaan AS serta pertumbuhan global melemah. Adapun dalam jangka menengah, Indonesia memiliki peluang untuk merebut pangsa pasar ekspor seiring berubahnya dinamika manufaktur dan perdagangan global.  
    SBN, Obligasi FR & Reksa Dana Obligasi: Meskipun pasar saham AS turun signifikan, yield obligasi jangka pendek AS (4% menjadi ~3,8 persen. Penurunan ini juga dapat mendorong naik harga obligasi Indonesia. Namun, mengingat ketidakpastian ekonomi global, investor dapat mempertimbangkan obligasi jangka pendek yang volatilitasnya lebih rendah, seperti Obligasi FR PBS003 dan ST014-T2.
    Reksa Dana Pasar Uang: Aset ini tetap bisa menjadi safe haven untuk stabilitas dan likuiditas jangka pendek, dengan imbal hasil lebih tinggi dan pajak yang lebih rendah dibandingkan deposito bank.  

    Should You Panic? Absolutely Not

    Kepanikan pasar bukan hal baru. Tahun 2008 IHSG sempat anjlok -62 persen, dan -38 persen saat pandemi 2020. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Pasar bangkit dengan rebound 173 persen pada 2009 dan 66 persen pada 2021.
     
    Kuncinya adalah tetap tenang dan percaya pada fundamental investasi yang kamu pegang. Sejarah menunjukkan bahwa badai pasar selalu bisa berlalu.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • 3 Ganda Campuran ke Babak 16 Besar

    3 Ganda Campuran ke Babak 16 Besar

    JAKARTA – Tiga dari empat ganda campuran Indonesia berhasil mengamankan tiket ke babak 16 besar Badminton Asia Championship (BAC) 2025.

    Sebagian laga babak pertama BAC berlangsung pada Selasa, 8 April 2025. Empat wakil ganda campuran pun mengawali perjuangan Indonesia pada hari pertama turnamen tersebut.

    Ketiga wakil yang bertahan di Ningbo Olympic Sports Center adalah Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Menteri, Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu, dan Amri Syahnawi/Nita Violina Marwah.

    Tiket paling pertama diamankan oleh Rinov/Pitha. Pasangan tersebut lolos usai menekuk unggulan keenam Yang Po-Hsuan/Hu Ling Fang (China Taipei) 21-12 dan 21-18.

    Pada babak kedua nanti, Rinov/Pitha akan melanjutkan perjuangan melawan wakil Jepang, Yuichi Shimogami/Sayaka Hobara. Pasangan ini mengamankan tiket babak kedua dengan menekuk Wong Tien Ci/Lim Chiew Sien (Malaysia).

    Jafar/Felisha kemudian menyusul ke babak kedua setelah menghentikan unggulan ketujuh tuan rumah China, Cheng Xing/Zhang Chi, rubber game 14-21, 21-15, dan 21-19.

    “Puji Tuhan, bersyukur banget debut kami di BAC bisa bermain dengan baik dan melewati babak pertama dengan kemenangan. Tidak mudah karena lawannya bukan pemain baru,” ujar Felisha.

    Chen Cheng Kuan/Hsu Yin-Hui bakal jadi lawan Jafar/Felisha di babak kedua nanti. Pasangan asal China Taipei itu mengamankan tiket babak 16 besar dengan kemenangan atas Lui Chun Wai/Fu Chi Yan (Hong Kong).

    Ganda berikutnya ialah Amri/Nita yang mengamankan tiket ketiga Indonesia usai menghajar pasangan Hiroki Nishi/Akari Sato dari Jepang dengan skor akhir 19-21, 23-21, dan 21-19.

    Adapun satu-satunya ganda campuran yang pulang awal adalah pasangan Dejan Ferdinansyah/Siti Fadia Silva Ramadhanti. Pasangan ini ditekuk oleh unggul kedua China, Feng Yan Zhe/Huang Dong Ping.

  • Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik 2025 Diramal Cuma 4,9%, China Siap-Siap Melambat – Page 3

    Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik 2025 Diramal Cuma 4,9%, China Siap-Siap Melambat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Perekonomian di kawasan Asia dan Pasifik yang sedang berkembang diproyeksikan akan tumbuh 4,9% tahun ini, menurun dari 5,0% tahun lalu, demikian menurut prakiraan terbaru dari Asian Development Bank (ADB).

    Permintaan domestik yang solid dan permintaan global yang kuat untuk semikonduktor yang didorong oleh peningkatan kecerdasan buatan mendukung pertumbuhan, tetapi tarif dan ketidakpastian perdagangan menjadi kendala.

    Pertumbuhan regional diperkirakan akan turun lebih lanjut menjadi 4,7% tahun depan, demikian menurut Asian Development Outlook (ADO) April 2025 yang dirilis hari ini. Inflasi diproyeksikan akan melandai menjadi 2,3% tahun ini dan 2,2% tahun depan seiring terus menurunnya harga pangan dan energi global.

    Perkiraan pertumbuhan disusun sebelum pengumuman tarif baru oleh pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 2 April, sehingga proyeksi dasar hanya mencerminkan tarif yang berlaku sebelumnya. Namun, ADO April 2025 menampilkan analisis tentang bagaimana tarif yang lebih tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan di Asia dan Pasifik.

    Laporan ini mencatat bahwa meskipun ekonomi di kawasan ini cukup tangguh, perubahan yang lebih cepat dan lebih besar dari perkiraan dalam kebijakan perdagangan dan ekonomi Amerika Serikat menimbulkan risiko terhadap prospek. Seiring dengan kenaikan tarif Amerika Serikat, meningkatnya ketidakpastian kebijakan dan tindakan pembalasan dapat memperlambat perdagangan, investasi, dan pertumbuhan.

    “Berbagai perekonomian di kawasan Asia dan Pasifik yang sedang berkembang ditopang oleh fundamental yang kuat, sehingga menjadi landasan bagi ketangguhan di tengah lingkungan global yang menantang ini,” kata Kepala Ekonom ADB Albert Park dikutip Selasa (9/4/2025).

    “Kenaikan tarif, ketidakpastian tentang kebijakan Amerika Serikat, dan kemungkinan meningkatnya ketegangan geopolitik merupakan tantangan yang signifikan terhadap prospek ekonomi. Ekonomi di kawasan Asia harus mempertahankan komitmen mereka untuk membuka perdagangan dan investasi, yang telah mendukung pertumbuhan dan ketahanan kawasan ini.”

     

  • Donald Trump Desak Apple Produksi iPhone di AS, Tapi Bisakah Terwujud? – Page 3

    Donald Trump Desak Apple Produksi iPhone di AS, Tapi Bisakah Terwujud? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Amerika Serikat ke-47, Donald Trump, sangat yakin Apple mampu merakit iPhone dan perangkat elektronik milik mereka langsung di tanah AS.

    Pernyataan ini disampaikan melalui juru bicara Presiden Donald Trump, Karoline Leavitt, dalam konferensi pers, Selasa (8/4/2025).

    Saat ditanya apakah produksi iPhone bisa dialihkan ke dalam negeri, Leavitt menjawab, “tentu saja, dia yakin kita punya tenaga kerja dan sumber daya untuk melakukannya.”

    Pernyataan Leavitt ini merujuk pada investasi raksasa teknologi berbasis di Cupertino sebesar USD 500 miliar di AS pada awal tahun ini.

    “Jika mereka [Apple] tidak mengganggap Amerika Serikat dapat melakukannya, mereka mungkin tidak akan mengeluarkan uang sebanyak itu,” katanya, dikutip dari MacRumors, Rabu (9/4/2025).

    Presiden Trump berencana menerapkan tarif tinggi terhadap produk impor dari pada Cina, Vietnam, Thailand, India, Uni Eropa, dan negara-negara lainnya mulai 9 April.

    Donald Trump mengklaim, jika perusahaan seperti Apple tidak ingin membayar tarif, mereka harus memproduksi iPhone hingga perangkat mereka di Amerika Serikat.

    Mengapa Produksi iPhone di AS Sangat Sulit?

    Beberapa analis mengatakan kendala terbesar bukan hanya soal biaya, tetapi ketersediaan tenaga kerja terampil dalam jumlah masif.

    Steve Jobs, pendiri Apple, pernah menjelaskan kepada Presiden Barack Obama menyaingi rantai pasokan dan tenaga kerja Apple di Cina butuh sekitar 700.000 pekerja–sesuatu hampir mustahil disediakan oleh industri AS.

    CEO Apple saat ini, Tim Cook, juga pernah menegaskan dalam Fortune Global Forum 2017, keunggulan Cina bukan semata karena tenaga kerja murah.

    “Keterampilan dan presisi kami butuhkan sangat tinggi. China punya ribuan teknisi alat, sementara di AS sulit untuk memenuhi satu ruangan,” katanya.

  • Menyikapi Perang Tarif Trump

    Menyikapi Perang Tarif Trump

    Jakarta

    Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penerapan tarif impor baru yang signifikan terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini menetapkan tarif sebesar 10% untuk semua barang impor, dengan tarif tambahan yang lebih tinggi bagi beberapa negara tertentu.

    Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang AS, dikenakan tarif tambahan sebesar 32%. Langkah ini diambil dengan alasan untuk melindungi industri domestik AS dan mengurangi defisit perdagangan.

    Di balik tujuan untuk melindungi industri dalam negeri Amerika, ada efek domino yang bisa sampai ke kantong dan dapur masyarakat Indonesia. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, dan bagaimana kita bisa menyikapinya?

    Apa Itu Perang Tarif?

    Bayangkan Anda jualan sepatu ke luar negeri, lalu tiba-tiba negara tujuan pembeli Anda menambah biaya masuk barang dari Indonesia. Akibatnya, harga sepatu Anda jadi mahal di sana dan orang-orang mulai enggan beli. Inilah yang disebut perang tarif.

    Dengan kata lain, perang tarif adalah kondisi ketika negara saling menaikkan biaya untuk barang-barang yang mereka impor dari satu sama lain. Barang dari luar negeri jadi lebih mahal, agar produk lokal lebih dipilih konsumen. Tapi, ketika negara besar seperti AS melakukannya ke banyak negara sekaligus, gelombangnya bisa sangat luas. Ekspor Indonesia ke AS, misalnya, bisa langsung terpengaruh.

    Dampak Mulai Terasa

    Beberapa sektor industri akan mengalami penurunan pesanan. Misalnya, di sektor tekstil dan alas kaki—dua komoditas unggulan ekspor ke AS—permintaan akan berkurang. Beberapa pabrik diprediksi akan mengurangi jam kerja atau merumahkan karyawan secara bergilir.

    Tidak Langsung Tetapi Tetap Terasa

    Efek lain yang mungkin tidak langsung terlihat adalah membanjirnya barang-barang dari negara lain ke Indonesia. Ketika produk dari China dan Vietnam makin sulit masuk ke AS, mereka mencari pasar alternatif—salah satunya ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini bisa membuat persaingan di pasar dalam negeri makin ketat, terutama bagi pelaku usaha kecil.

    Bukan hanya sektor perdagangan, dunia investasi juga mulai cemas. Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi asing turun 6,2% pada kuartal pertama 2025. Investor cenderung bersikap “wait and see”, menunggu apakah situasi ini membaik atau justru makin rumit.

    Kalau ini terus berlangsung, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat. Bank Dunia sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun dari 5,1% menjadi 4,5% di akhir 2025. Ini berarti lebih sedikit proyek, lebih sedikit lowongan kerja, dan lebih lambatnya perputaran uang di masyarakat.

    Bagaimana Menyikapinya?

    Pemerintah Indonesia menyadari bahwa ketegangan dagang global seperti ini perlu dihadapi dengan kepala dingin. Lewat diplomasi dagang dan kerja sama dengan negara-negara lain seperti India dan Uni Emirat Arab, Indonesia memperluas pasar ekspor agar tidak terlalu tergantung pada satu negara.

    Berbagai strategi juga sedang dijalankan, mulai dari dorongan untuk ekspor produk lokal, insentif bagi industri terdampak, hingga mempermudah akses pasar bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

    Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan langkah strategis, perbaikan struktural, dan kebijakan deregulasi yaitu penyederhanaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Barrier, (4/4).

    Melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri, Indonesia juga menempuh jalur diplomatik di WTO dan juga memperkuat negosiasi bilateral melalui ASEAN-US Dialogue.

    Dalam situasi global yang berubah-ubah seperti sekarang, tidak ada satu jawaban tunggal. Tapi banyak hal baik tetap bisa dilakukan bersama.

    Kita bisa mulai dengan saling mendukung—terutama terhadap produk-produk lokal. Ketika kita membeli barang buatan dalam negeri, kita ikut membantu menjaga kelangsungan usaha, lapangan kerja, dan roda ekonomi.

    Dan, yang tak kalah penting, menjaga solidaritas. Banyak inisiatif lokal, koperasi digital, dan gerakan komunitas yang saling membantu dalam kondisi sulit. Di tengah ketidakpastian global, solidaritas dan gotong royong adalah kekuatan besar yang dimiliki masyarakat Indonesia.

    Perang tarif mungkin terdengar seperti isu besar di panggung dunia. Tapi ternyata, dampaknya bisa menyentuh hal-hal yang dekat dengan kita: harga barang, pekerjaan, dan keberlangsungan usaha kecil di lingkungan kita.

    Namun, krisis tidak selalu berarti akhir. Dalam setiap ketidakpastian, selalu ada ruang untuk tumbuh dan beradaptasi. Ketika pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat saling memahami peran masing-masing, jalan keluar akan lebih mudah ditemukan. Kekuatan terbesar Indonesia adalah pada ketangguhan masyarakatnya.

    Dalam dunia yang terus berubah, bukan kekuatan atau ukuran yang menentukan, melainkan kesiapan untuk beradaptasi. Di tengah tantangan global, justru solidaritas lokal menjadi cahaya penuntun. Dari langkah-langkah sederhana di lingkungan kita—mendukung produk dalam negeri, berbagi keterampilan, hingga saling menguatkan—kita sedang menanamkan benih ketahanan jangka panjang.

    Ketika dunia dalam ketidakpastian, Indonesia tetap bergerak. Bukan karena kita terbebas dari tantangan, melainkan karena kita memilih untuk tidak berhenti. Perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan bersama.

    Steph Subanidja dosen Institut Perbanas

    (mmu/mmu)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Berbagai Sektor Diprediksi Merugi akibat Gelembung Investasi AI Tiongkok – Halaman all

    Berbagai Sektor Diprediksi Merugi akibat Gelembung Investasi AI Tiongkok – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hasrat di balik penggelontoran uang untuk pengembangan kecerdasan buatan (AI) di Tiongkok memunculkan potensi gelembung investasi.

    Para ahli mengingatkan hal ini dapat menimbulkan risiko bagi teknologi di Negeri Tirai Bambu itu.

    Dikutip dari Daily Mirror, Rabu (9/4/2025), para ahli membeberkan berbagai konsekuensi dari skenario ini, mulai dari maraknya pemutusan hubungan kerja, jatuhnya harga saham, hingga berbagai kerugian lain di bidang ekonomi.

    Kepala Eksekutif Baidu, Robin Li, menggambarkan hubungan paralel antara gelembung dot-com dan gelembung AI.

    Dirinya mengatakan bahwa hanya satu persen perusahaan AI yang akan bertahan, sementara 99 persen lainnya akan runtuh dalam skenario ini.

    “Menurut saya, seperti banyak gelombang teknologi lainnya, gelembung itu tidak dapat dihindari. Ketika Anda melewati tahap kegembiraan awal, orang-orang akan kecewa karena teknologinya tidak memenuhi harapan tinggi yang dihasilkan melalui kegembiraan awal,” katanya dalam keterangan yang diterima, Rabu.

    Menyusul kinerja tinggi dan harga kompetitif yang ditunjukkan oleh model AI Tiongkok, DeepSeek, telah terjadi lonjakan jumlah perusahaan yang mengembangkan model dan aplikasi canggih.

    Menurut data pemerintah Tiongkok, terdapat lebih dari 4.500 perusahaan AI pada pertengahan 2024.

    Sementara itu, pimpinan Alibaba Group Joe Tsai menyatakan kekhawatirannya atas penggalangan dana, terlepas dari permintaan sebenarnya.

    “Saya mulai melihat awal dari semacam gelembung. Saya mulai khawatir ketika orang membangun pusat data atas dasar spekulasi,” katanya.

    Dasar kekhawatiran pengusaha

    Sektor AI telah tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan yang melebihi 10 persen hingga saat ini.

    Namun, sektor ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 47,1 persen antara tahun 2025 dan 2030.

    China International Capital Corporation telah memperkirakan investasi sebesar USD 1,4 triliun di sektor AI pada tahun 2030.

    Di tengah perang tarif dengan AS, Tiongkok telah menciptakan dana investasi AI dengan modal awal sebesar USD 8,2 miliar.

    Setelah kegilaan DeepSeek, semakin banyak perusahaan Tiongkok yang bersemangat untuk terjun ke sektor AI. Hingga pertengahan 2024, total 1,67 juta perusahaan terlibat dalam AI di Tiongkok.

    Orang-orang di Tiongkok gembira karena perusahaan lokal mampu menciptakan model AI yang lebih baik daripada model dari AS.

    Pemerintah yang diperintah Partai Komunis menggunakan sensasi AI ini untuk mengangkat suasana hati nasional, yang telah mereda karena perlambatan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan krisis properti.

    Bradford Levy, seorang ahli AI dari Sekolah Bisnis Booth Universitas Chicago, mengatakan pemerintah memanfaatkan optimisme baru di Tiongkok.

    “Ekonomi Tiongkok sedang goyah saat ini. Dengan mengipasi sensasi di sekitarnya, Beijing menarik minat pada perusahaan mereka sendiri,” katanya.

    Beijing bahkan telah mengeluarkan pedoman yang mengarahkan adopsi teknologi baru, termasuk kecerdasan buatan, dalam pekerjaan.

    Namun, peningkatan pesat AI diperkirakan akan berdampak negatif pada Tiongkok.

    Orang-orang yang tidak begitu menguasai teknologi dan produk AI akan paling terpengaruh.

    “AI telah meningkatkan permintaan pekerja berketerampilan rendah, sementara pekerja berketerampilan menengah lebih mungkin terpengaruh oleh efek substitusi.

    Aplikasi AI di Tiongkok telah merugikan lapangan kerja, sedangkan aplikasi AI di AS tampaknya memiliki efek positif,” kata Zhang Dandan, seorang sarjana muda di Universitas Peking.

    Ketimpangan akibat AI

    Meskipun AI telah meningkatkan efisiensi tempat kerja, AI gagal meningkatkan kualitas pekerjaan bagi pekerja Tiongkok.

    Nikki Sun, seorang Associate Akademi di lembaga kebijakan Chatham House yang berbasis di London, mengatakan pekerja Tiongkok rentan terhadap eksploitasi dan berisiko kehilangan pekerjaan karena mereka berjuang untuk mempelajari keterampilan baru di tengah pesatnya pengenalan AI di tempat kerja.

    “Integrasi kecerdasan buatan (AI) di tempat kerja Tiongkok sebagian besar didorong oleh kekuatan pasar dan persaingan, yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan pekerja,” kata Sun.

    “Solusi AI cenderung dirancang untuk memaksimalkan ekstraksi tenaga kerja, baik yang dibayar maupun tidak dibayar, yang sering kali menyebabkan kondisi kerja yang lebih buruk dan ketidakamanan pekerjaan,” tambahnya.

    Saham perusahaan teknologi di Tiongkok melonjak naik karena AI menjadi perbincangan hangat. Pasar saham Tiongkok naik lebih dari USD 1 triliun karena harapan terhadap AI kembali menyala.

    “Harga saham telah melampaui laba. Setiap kenaikan baru kemungkinan akan bergantung pada katalis baru, seperti pertumbuhan laba yang berkelanjutan dan monetisasi AI yang nyata,” kata Andy Wong, investasi dan ESG di Solomons Group.

    Namun, sensasi saja tidak akan cukup. Momentum akan hilang jika peningkatan bisnis inti AI yang kuat dan pengembalian yang layak tidak terjamin.

    Penurunan besar di pasar Tiongkok dapat terjadi, sehingga berdampak pada ekonomi negara tersebut, jika perusahaan AI Tiongkok gagal memonetisasi, karena akses ke semikonduktor canggih tetap menjadi kendala signifikan.

  • Negosiasi Tarif Impor Trump, Pemerintah Genjot Impor Komoditas dari AS

    Negosiasi Tarif Impor Trump, Pemerintah Genjot Impor Komoditas dari AS

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah kini tengah melakukan upaya negosiasi terkait adanya kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Salah satu bagian kesepakatan dari negosiasi, Pemerintah berencana menyeimbangkan neraca dagang Indonesia dengan AS. 

    Beberapa komoditas yang didorong untuk peningkatan impor, yakni liquefied natural gas (LNG), liquefied petroleum gas (LPG), hingga komoditas pangan seperti kedelai. 

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto awalnya mengungkapkan, risiko ketidakpastian ekonomi global pada 2025 cenderung tinggi dan berasal dari instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi yang masih tinggi. 

    “Kondisi tersebut juga kian diwarnai dengan kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan Amerika Serikat,” ungkap Airlangga dalam keterangannya, Rabu (9/4/2025). 

    Dirinya melanjutkan, penyampaian kebijakan tarif impor tersebut, sejumlah dampak timbul mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang emerging markets, terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global dan penurunan volume perdagangan dunia. 

    Hal tersebut menekan harga komoditas global seperti crued oil dan brent, serta perlambatan ekonomi kawasan dan dunia yang ditandai dengan penurunan konsumsi global dan penundaan investasi perusahaan. 

    Sebagai bentuk respons atas kebijakan tersebut, sejumlah negara telah memutuskan mengambil sejumlah strategi. Seperti China yang menetapkan tarif balasan (retaliasi) sebesar 34%, Vietnam yang meminta penundaan penerapan tarif dan melakukan negosiasi, Thailand yang akan melakukan negosiasi serta mempertimbangkan diversifikasi pasar. 

    Untuk pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk berbagai langkah strategis di antaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis. Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA). 

    Airlangga melanjutkan, Pemerintah juga melakukan deregulasi non-tariff measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN sektor ICT dari AS (GE, Apple, Oracle, dan Microsoft), serta evaluasi lartas (Import License), hingga percepatan halal. 

    “Pemerintah juga akan melakukan balancing terhadap Neraca Perdagangan dengan AS melalui pembelian produk agriculture dari AS seperti Soya Bean (kedelai), pembelian peralatan engineering, pembelian LPG, LNG, dan Migas oleh Pertamina,” bebernya. 

    Langkah selanjutnya, Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal atau nonfiskal, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS. 

    Sebelumnya, Pemerintah juga telah melakukan negosiasi melalui pertemuan antara KBRI dengan United States Trade Representative (USTR) dan melakukan sosialisasi dan menjaring masukan masyarakat dengan melibatkan asosiasi pelaku usaha terkait kebijakan tarif impor Trump.

  • Mitigasi Kebijakan Trump, Serapan Mineral Dalam Negeri pada Industri Manufaktur Jadi Solusi

    Mitigasi Kebijakan Trump, Serapan Mineral Dalam Negeri pada Industri Manufaktur Jadi Solusi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia dinilai perlu memperkuat serapan mineral dalam negeri untuk mendorong kinerja industri manufaktur sebagai langkah strategis menghadapi potensi dampak kebijakan tarif baru yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump.

    Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan bahwa ekspor langsung Indonesia ke AS lebih banyak didominasi oleh produk sawit, tekstil, dan alas kaki.

    Namun, efek lanjutan dari kebijakan ini tetap terasa karena berpotensi mengganggu rantai pasok global, termasuk pada produk mineral.

    “Perdagangan dunia itu ibarat jaring laba-laba. Kalau Amerika terganggu, maka Jepang dan China ikut kena, dan ujungnya bisa berdampak ke Indonesia,” ujarnya Ahmad Heri di Jakarta, Rabu (9/4/2025).

    Situasi ini menegaskan pentingnya ketahanan ekonomi dalam negeri, termasuk melalui penguatan program hilirisasi bahan mineral mentah.

    Pemerintah didorong tidak hanya memperkuat proses hilirisasi, tetapi juga memastikan keterhubungan antara hasil olahan mineral dan kebutuhan industri nasional.

    Indonesia dapat menekan ekspor produk mineral dasar dan mengolahnya di dalam negeri menjadi barang jadi, seperti panci, knalpot, hingga rangka mobil yang memiliki nilai tambah tinggi.

    Langkah ini tidak hanya menciptakan produk bernilai, tetapi juga memperluas kesempatan kerja dan memperkuat daya beli masyarakat.

    Pada akhirnya, produk dari industri manufaktur dapat menggantikan barang impor, sehingga memperkuat cadangan devisa nasional di tengah tensi perang dagang global.

  • IHSG Tahan Guncangan Global, Analis: Bukti Ketahanan Ekonomi Indonesia

    IHSG Tahan Guncangan Global, Analis: Bukti Ketahanan Ekonomi Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia menunjukkan ketahanan yang kuat di tengah tekanan global, bahkan mengungguli sejumlah pasar saham utama dunia. Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menilai ini sebagai bentuk respons positif pelaku pasar terhadap resiliensi perekonomian nasional.

    “Pasar melihat daya tahan ekonomi Indonesia dan itu tercermin dalam kinerja IHSG yang lebih stabil dibandingkan negara-negara lain,” ujar Nafan dikutip dari Antara, Rabu (9/4/2025).

    Meski pasar global goyah akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan retaliasi dari China, IHSG hanya melemah 7,9% hingga 8 April 2025, ditutup pada level 5.996,14. Penurunan ini lebih kecil dibandingkan indeks saham negara lain seperti Italia (14,2%), Argentina (14%), Vietnam (13,8%), dan bahkan Amerika Serikat sendiri (10,7%).

    Nafan menambahkan, rendahnya paparan ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB)juga menjadi faktor pendukung ketahanan pasar. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan Thailand (11%) dan Malaysia (10%), sehingga efek tarif AS terhadap perekonomian Indonesia relatif terbatas.

    Menurut Nafan, hal ini justru bisa menjadi peluang untuk menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) ke dalam negeri. Terlebih, berbagai insentif yang disiapkan pemerintah semakin dinanti oleh investor global.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat IHSG melemah 7,8% per 8 April 2025 terhadap 2 April, yaitu hari pengumuman tarif Presiden Trump di “Liberation Day”. IHSG sendiri pada full day 8 April ditutup turun 7,9% ke 5.996,14.