Negara: Republik Rakyat Cina

  • Apple Siapkan iPhone 19 dengan Desain Baru, Bakal Ada Model Lipat di 2027? – Page 3

    Apple Siapkan iPhone 19 dengan Desain Baru, Bakal Ada Model Lipat di 2027? – Page 3

    Presiden Amerika Serikat ke-47, Donald Trump, sangat yakin Apple mampu merakit iPhone dan perangkat elektronik milik mereka langsung di tanah AS.

    Pernyataan ini disampaikan melalui juru bicara Presiden Donald Trump, Karoline Leavitt, dalam konferensi pers, Selasa (8/4/2025).

    Saat ditanya apakah produksi iPhone bisa dialihkan ke dalam negeri, Leavitt menjawab, “tentu saja, dia yakin kita punya tenaga kerja dan sumber daya untuk melakukannya.”

    Pernyataan Leavitt ini merujuk pada investasi raksasa teknologi berbasis di Cupertino sebesar USD 500 miliar di AS pada awal tahun ini.

    “Jika mereka [Apple] tidak mengganggap Amerika Serikat dapat melakukannya, mereka mungkin tidak akan mengeluarkan uang sebanyak itu,” katanya, dikutip dari MacRumors, Rabu (9/4/2025).

    Presiden Trump berencana menerapkan tarif tinggi terhadap produk impor dari pada Cina, Vietnam, Thailand, India, Uni Eropa, dan negara-negara lainnya mulai 9 April.

    Donald Trump mengklaim, jika perusahaan seperti Apple tidak ingin membayar tarif, mereka harus memproduksi iPhone hingga perangkat mereka di Amerika Serikat.

  • Tarif Trump Ditentang Mayoritas Warga AS, Harga Barang Diyakini Melonjak

    Tarif Trump Ditentang Mayoritas Warga AS, Harga Barang Diyakini Melonjak

    PIKIRAN RAKYAT – Berdasarkan hasil survei The Economist dan YouGov pada 5-8 April, 51 persen warga Amerika Serikat (AS) menentang kebijakan tarif Trump. Selain itu, 80 persen warga AS yakin kebijakan ini menyebabkan harga barang meningkat.

    Seperti yang sudah diketahui, Trump awalnya akan menerapkan tarif impor minimal 10 persen mulai 9 April 2025. Selain itu, ada juga tambahan tarif resiprokal. Namun, Presiden AS ini memutuskan menundanya selama 90 hari.

    Meski demikian, tetap berlaku untuk China. Sebabnya, Negeri Tirai Bambu secara tegas membalas kebijakan tarif perdagangan yang diumumkan Trump tersebut.

    Survei ini pun mempublikasikan 51 persen warga AS tak setuju pendekatan Trump terhadap bidang ekonomi. Selain itu, 55 persen warga AS tak setuju pendekatannya mengatasi harga. Hanya ada 4 persen dari populasi tersebut yang yakin harga akan turun.

    Survei ini mempublikasikannya apakah warga AS terhadap kebijakan-kebijakan Trump secara keseluruhan. Sebanyak 51 persen setuju. Sedangkan sebanyak 43 persen tak setuju.

    Menariknya, berdasarkan survei yang sama, sebanyak 52 persen yakin Donald Trump akan mencalonkan diri sebagai Presiden AS untuk yang ketiga. Dalam konstitusi negara ini, masa jabatan presiden dibatasi dua kali.

    Perang Dagang dengan China

    Hubungan dua negara kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini kini semakin tegang. Negara adidaya menerapkan tarif impor 145 persen, lalu Negeri Tirai Bambu ini membalasnya dengan tarif impor 125 persen.

    Ekonom AS dan profesor Universitas Columbia, Jeffrey Sachs mengutarakan Amerika Serikat akan kalah. Sebabnya, China tak bergantung kepada pasar negara rivalnya tersebut.

    “China tidak terlalu bergantung pada pasar AS,” kata pria yang juga menjabat President of the United Nations Sustainable Development Solutions Network ini. Hal ini dikatakannya di Forum Diplomatik Antalya, Jumat, 11 April 2025.

    Sementara itu, pada 5 April 2025, ribuan warga AS menggelar demo anti Trump. Mereka menolak kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Trump.

    Salah satu kebijakan yang didemo yaitu tarif Trump. Demo ini berlangsung di Washington DC dan sejumlah kota besar lainnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Peluang di Balik Tarif Trump, Indonesia Bisa Bidik BRICS & ASEAN

    Peluang di Balik Tarif Trump, Indonesia Bisa Bidik BRICS & ASEAN

    Mataram, Beritasatu.com – Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Akbar Himawan Buchari melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan tarif impor era Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ia menilai kebijakan tersebut tidak berdasar pada ilmu ekonomi dan cenderung bersifat “asal tembak”.

    Secara khusus, Akbar menyoroti tarif 32% yang dikenakan pada produk Indonesia, yang menurut Trump didasarkan pada surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$ 17 miliar. Bagi Akbar, alasan tersebut tidak masuk akal dan tidak mencerminkan pemahaman atas dinamika perdagangan internasional.

    “Kita melihat kebijakan Trump ini tidak ada dasar ilmunya. Pemerintah AS melihat surplus perdagangan US$ 17 miliar lalu mengenakan tarif 32%, padahal tak ada perhitungan ekonominya,” ujar Akbar di Mataram saat pelantikan Hipmi NTB, Sabtu (12/4/2025).

    Ia menilai tarif tinggi Trump tersebut hanya langkah taktis untuk membuka ruang negosiasi, terbukti dengan penurunan tarif menjadi 10% baru-baru ini. Ini dianggap sebagai sinyal dibukanya kembali dialog dagang antara kedua negara.

    “Artinya, ini kebijakan sementara untuk membuka ruang negosiasi. Sekarang sudah ada keputusan sela dari AS menurunkan tarif menjadi 10%,” jelasnya.

    Hipmi mendorong pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan momentum ini guna menyusun kebijakan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak secara berimbang.

    “Kita harap pemerintah bisa bernegosiasi dengan baik, membuat formulasi kebijakan yang win-win dan tidak didominasi ego sektoral,” tegasnya.

    Akbar juga menyoroti pentingnya diversifikasi pasar ekspor bagi para pelaku usaha Indonesia, terutama yang selama ini bergantung pada AS. Ia menyarankan ekspansi ke negara-negara lain guna mengurangi ketergantungan.

    “Teman-teman pelaku ekspor perlu mulai mendiversifikasi pasar, tidak hanya ke satu negara,” katanya.

    Selain itu, ia mendorong penguatan pasar domestik sebagai respons atas tantangan eksternal. Kebijakan tarif AS disebutnya sebagai momentum untuk mempercepat hilirisasi industri dan mendorong konsumsi produk dalam negeri.

    “Kita perlu meningkatkan pasar domestik agar program hilirisasi bisa menyasar konsumen lokal secara maksimal.”

    Beberapa sektor industri, seperti tekstil dan alas kaki, disebut akan terdampak langsung akibat kebijakan tarif Trump tersebut. Meski kontribusi ekspor ke AS hanya sekitar 20% dari total ekspor nasional, dampaknya tetap signifikan bagi sektor terkait.

    Namun di balik tantangan, Akbar melihat peluang. Ia menyebut kemitraan Indonesia dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai potensi besar, mengingat kelompok ini mewakili 40 persen pasar dunia.

    “BRICS adalah potensi market besar. Kita harus manfaatkan momentum ini untuk masuk ke sana,” ujarnya terkait tarif Trump.

    Tak hanya BRICS, kawasan ASEAN juga dinilai memiliki potensi yang belum tergarap optimal. Menurut Akbar, tekanan dari kebijakan AS justru bisa memperkuat solidaritas regional dan menciptakan pasar baru di Asia Tenggara.

    “Jangan lupa kita bagian dari ASEAN. Kebijakan Trump ini justru bisa jadi pemicu lahirnya market baru di kawasan.”

    Pernyataan Akbar menyajikan perspektif kritis sekaligus konstruktif terkait dampak kebijakan tarif AS terhadap ekonomi Indonesia. Ia menekankan pentingnya adaptasi strategis, baik melalui perluasan pasar ekspor, penguatan pasar domestik, maupun pemanfaatan potensi kerja sama dengan BRICS dan ASEAN.

    Pemerintah Indonesia diharapkan dapat merespons secara cermat tarif Trump ini demi mencapai kesepakatan dagang yang adil dan saling menguntungkan.

  • Perang Dagang AS Vs China: Trump Mulai Goyah, Apple Cs Bernapas Lega?

    Perang Dagang AS Vs China: Trump Mulai Goyah, Apple Cs Bernapas Lega?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah tekanan pasar yang melonjak dan kekhawatiran mendalam dari industri teknologi, pemerintahan Presiden Donald Trump akhirnya mengumumkan pengecualian sejumlah produk elektronik – termasuk smartphone, komputer, dan komponen teknologi penting lainnya – dari tarif balasan atau resiprokal yang diberlakukan terhadap barang impor asal China.

    Kebijakan ini diungkapkan melalui panduan resmi yang dirilis U.S. Customs and Border Protection (CBP) pada Jumat (11/4/2025) malam waktu setempat. Panduan tersebut memberikan kejelasan bahwa 20 kategori produk elektronik tidak akan dikenakan tarif 145% yang sebelumnya diumumkan sebagai bagian dari kebijakan dagang Trump terhadap China.

    Produk-produk tersebut juga bebas dari tarif dasar 10% untuk negara lain, meskipun tarif 20% atas semua barang China tetap berlaku.

    Langkah ini merupakan angin segar bagi raksasa teknologi seperti Apple, yang memproduksi mayoritas produknya di China. Menurut analis dari Evercore ISI, sekitar 80% iPad dan lebih dari separuh Mac komputer diproduksi di China.

    Tanpa pengecualian ini, harga konsumen untuk produk Apple seperti iPhone diperkirakan bisa melonjak hingga USD 3.500 menurut beberapa estimasi.

    Kush Desai, Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih, mengatakan bahwa keputusan pengecualian ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Presiden Trump untuk mendorong relokasi produksi ke dalam negeri.

    “Presiden Trump telah menegaskan bahwa Amerika tidak bisa lagi bergantung pada China untuk memproduksi teknologi penting seperti semikonduktor, chip, smartphone, dan laptop,” kata Desai dalam pernyataannya, Sabtu (12/4/2025) waktu setempat, dilansir CNBC International.

    “Atas arahan Presiden, perusahaan-perusahaan ini sekarang bergegas untuk memindahkan manufakturnya ke Amerika Serikat secepat mungkin.”

    Trump sebelumnya pada awal bulan ini memicu gejolak pasar setelah mengumumkan tarif balasan hingga 145% terhadap barang-barang impor dari China, kebijakan yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap rantai pasok global di sektor teknologi.

    Namun, gelombang reaksi dari pelaku industri dan pasar finansial membuat Gedung Putih menyesuaikan langkah. Tarif yang diumumkan kemudian disusul dengan pengecualian untuk sektor teknologi, memberikan sinyal bahwa pemerintah mempertimbangkan tekanan dari dunia usaha dan dampaknya terhadap investor.

    Analis Wall Street menyambut langkah ini dengan lega. Dan Ives, Kepala Riset Teknologi Global di Wedbush Securities, menyebut pengecualian ini sebagai “game changer”.

    “Ini adalah skenario impian bagi investor teknologi,” kata Ives kepada CNBC. “Pengecualian terhadap smartphone dan chip benar-benar mengubah permainan dalam konteks tarif terhadap China.”

    Ives menambahkan, “Tarif ini sebelumnya seperti awan hitam yang menggantung di atas sektor teknologi sejak Hari Liberasi diumumkan. Tak ada sektor yang akan lebih terpukul dibanding teknologi besar.”

    Ia menyebutkan bahwa para CEO perusahaan teknologi besar “berbicara dengan keras” dan akhirnya “Gedung Putih harus mendengarkan bahwa jika diterapkan, ini akan jadi Armageddon bagi sektor teknologi.”

    Sejak pengumuman tarif besar Trump, nilai pasar Apple anjlok lebih dari US$ 640 miliar. Saham-saham teknologi dan indeks pasar utama mengalami tekanan besar, dengan S&P 500 turun lebih dari 5% hingga penutupan Jumat lalu.

    Sementara itu, imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun melonjak lebih dari 50 basis poin dalam seminggu – salah satu lonjakan terbesar yang pernah tercatat – akibat volatilitas tinggi dan kekhawatiran investor akan arah kebijakan perdagangan AS.

    Analis menyebutkan bahwa gejolak di pasar obligasi ini mungkin ikut mendorong Gedung Putih melakukan beberapa pembalikan kebijakan, termasuk penangguhan tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara dan pengenaan tarif universal sebesar 10%, kecuali China yang tetap dikenai tarif lebih tinggi.

    Sesuai panduan CBP, pengecualian tarif ini berlaku surut untuk barang-barang yang telah dikirim dari gudang per tanggal 5 April 2025. Hal ini memberikan kepastian dan ruang perencanaan keuangan bagi para importir AS yang bertanggung jawab membayar tarif setelah barang sampai di pelabuhan dan diproses Bea Cukai.

     

    (luc/luc)

  • CEO GM Mary Barra Kantongi Kompensasi Rp 495,25 Miliar pada 2024 – Page 3

    CEO GM Mary Barra Kantongi Kompensasi Rp 495,25 Miliar pada 2024 – Page 3

    Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street menguat pada Jumat, 11 April 2025. Penguatan wall street terjadi di tengah perdagangan yang bergejolak pada pekan ini.

    Mengutip CNBC, Sabtu (12/4/2025), indeks S&P 500 menguat 1,81 persen ke posisi 5.363,36. Indeks Dow Jones mendaki 619,05 poin atau 1,56 persen menjadi 40.212,71. Indeks Nasdaq melesat 2,06 persen menjadi 16.724,46.

    Bursa saham AS menguat pada Jumat sore waktu setempat setelah komentar dari Gedung Putih kalau Presiden AS Donald Trump optimistis China akan mencari kesepakatan dengan AS.

    Pekan ini telah menjadi salah satu periode paling fluktuatif yang pernah tercatat untuk wall street. Rata-rata indeks acuan pada Kamis pekan ini seiring ketidakpastian kebijakan perdagangan membebani sentimen. Pada Rabu, bursa saham AS menguat setelah Donald Trump mengumumkan penangguhan 90 hari kepada beberapa hari tarif timbal balik yang tinggi. Indeks S&P 500 naik 9,52 persen pada Rabu pekan ini, dan catat kenaikan terbesar ketiga dalam satu hari sejak Perang Dunia II. Sementara itu, indeks Dow Jones meroket lebih dari 2.900 poin.

    Pada Kamis, indeks S&P 500 turun 3,46 persen. Sedangkan indeks Dow Jones anjlok 2,5 persen. Indeks Nasdaq melemah 4,31 persen.

    Sementara itu, indeks Volatilitas CBOE yang dikenal sebagai Vix pada awal pekan ini melonjak di atas 50 sebelum turun menjadi sekitar 37 pada Jumat sore.

    Adapun pemerintahan Trump telah memilih tarif universal sebesar 10 persen, kecuali untuk China. Barang-barang dari China akan dikenakan tarif sebesar 145 persen, demikian disampaikan seorang pejabat Gedung Putih pada Kamis pekan ini.

    Hal itu menuai balasan dari China dengan menaikkan pungutan pada produk AS menjadi 125% dari 84%.

    “Bahkan jikas AS terus mengenakan tarif yang lebih tinggi, itu tidak akan lagi masuk akal secara ekonomi dan akan menjadi lelucon dalam sejarah ekonomi dunia,” ujar Kementerian Keuangan China.

     

  • Kemenpar genjot kunjungan wisman melalui promosi ke beberapa negara

    Kemenpar genjot kunjungan wisman melalui promosi ke beberapa negara

    Memang dalam kuartal pertama setiap tahun pasti ‘low session’, turun begitu dan kami terus menggenjot dengan promosi

    Manggarai Barat, NTT (ANTARA) – Wakil Menteri Pariwisata (Wamenpar) Ni Luh Enik Ermawati menyatakan pihaknya terus menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia melalui promosi pariwisata ke beberapa negara dalam tahun 2025.

    “Memang dalam kuartal pertama setiap tahun pasti ‘low session’, turun begitu dan kami terus menggenjot dengan promosi,” kata Ni Luh Enik Ermawati di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu.

    Wamenpar Ni Luh Enik Ermawati menyampaikan hal tersebut usai mengaktivasi program Gerakan Wisata Bersih di Waterfront City Labuan Bajo.

    Ia mengungkapkan Kemenpar dalam upaya promosi pariwisata pada tahun 2025 berpartisipasi dalam ajang pameran pariwisata terbesar di dunia, Internationale Tourismus-Börse (ITB) Berlin 2025.

    Acara internasional guna promosi pariwisata lainnya yang diikuti Kemenpar adalah South Asia’s Travel and Tourism Exchange (SATTE) 2025.

    “Kami baru saja dari ITB Berlin di mana saat penyelenggaraan salah satu pameran pariwisata terbesar di dunia di Berlin itu pax yang terjual naik di atas 30 persen, kemudian ini kita harapkan bisa berdampak positif di beberapa kawasan prioritas kita, kemarin kami juga dari SATTE di India pax yang terjual signifikan, kemudian dari Australia untuk pameran juga dan itu juga signifikan,” katanya.

    Lebih lanjut, Wamenpar juga menjelaskan upaya promosi pariwisata diharapkan tidak hanya meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, tapi meningkatkan lama tinggal wisatawan di destinasi wisata.

    Masa tinggal turis yang makin lama di sejumlah destinasi wisata dan destinasi wisata prioritas dinilai akan menambah pendapatan negara dari sektor pariwisata.

    “Tapi di luar daripada kita kejar numbers, kami juga ingin fokus pada kualitas turis yang datang, jadi kita tidak hanya menghitung jumlah orang yang datang tapi spending mereka, lenght of stay lama, spending mereka lama otomatis itu akan berdampak positif pada devisa, karena kita juga ingin target devisa kita tinggi, utamanya di sektor pariwisata,” katanya.

    Sebelumnya, sebanyak 12,66 juta wisatawan mancanegara (wisman) berkunjung ke Indonesia pada 11 bulan pertama 2024, naik 20,17 persen secara tahunan (year on year), demikian dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (2/1).

    Pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa sektor pariwisata Indonesia berangsur pulih dari perlambatan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, menurut laporan itu.

    Pada November 2024, Malaysia menyumbang jumlah pengunjung terbanyak, disusul oleh Australia, Singapura dan China.

    Pada 2024, Indonesia menetapkan target kedatangan wisman di angka 14,3 juta orang.

    Pewarta: Gecio Viana
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Petaka Baru Muncul di China, Ada Fenomena “Anak Dengan Ekor Busuk”

    Petaka Baru Muncul di China, Ada Fenomena “Anak Dengan Ekor Busuk”

    Jakarta, CNBC Indonesia – Generasi muda China sedang mengalami fenomena susah kerja sesuai dengan bidang studinya. Sebab, untuk bekerja sesuai jurusan kuliah yang mereka tempuh selama di bangku kuliah bukanlah perkara mudah.

    Kondisi ini terungkap dalam laporan CNA berjudul “Mengapa Sarjana Muda Banyak Menganggur di China”. Banyak dari pencari kerja yang ditemui CNA di bursa kerja atau job fair Lishuiqiao, Beijing, akhir pekan lalu menyatakan mereka sulit mencari kerja sesuai bidang studinya selama masa di kampus.

    “Saya melihat peluangnya cukup suram, pasar tenaga kerja sepi, akhirnya saya mengurungkan niat mengejar posisi tertentu,” kata Hu Die, pencari kerja berusia 22 tahun yang merupakan sarjana desain dari Harbin University of Science and Technology kepada CNA, dikutip Sabtu (12/4/2025).

    Li Mengqi, sarjana teknik kimia dari Institut Teknologi Shanghai yang telah berusia 26 tahun, sudah delapan bulan menganggur setelah lulus kuliah. Gara-garanya sama, ia tak menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya saat menempuh pendidikan di universitas.

    Chen Yuyan, 26 tahun, lulusan Guangdong Food and Drug Vocational College pada 2022, bahkan akhirnya harus bekerja sebagai petugas sortir paket di sebuah cabang agen kurir.

    la mengatakan, meskipun telah mendapatkan pendidikan vokasi, baginya sulit untuk memperoleh pekerjaan dengan standar gaji yang mencukupi. Sebab, banyak lowongan kerja yang mencantumkan syarat-syarat menyulitkan.

    “Banyak perusahaan mencari kandidat yang sudah berpengalaman-orang-orang yang bisa langsung bekerja. Sebagai lulusan baru, kami tidak punya cukup pengalaman. Mereka sering mengatakan tidak memiliki sumber daya untuk melatih karyawan baru, dan gaji yang ditawarkan sangat rendah,” ucap Chen.

    Krisis Pasar Tenaga Kerja di China

    Pendiri Young China Group, lembaga think tank atau pemikir yang berbasis di Shanghai, Zak Dychtwald mengatakan, apa yang terjadi dengan Li, Hu, dan Chen merupakan gambaran krisis pasar kerja di China bagi para pemudanya, yang berharap bisa berkarir sesuai bidang keahliannya.

    “Salah satu masalah terbesar saat ini adalah ketimpangan antara kerja keras yang mereka lakukan saat kuliah dan pekerjaan yang menanti ketika lulus,” kata Zak Dychtwald.

    Asisten profesor Sosiologi di University of Michigan, Zhou Yun, mengamati meskipun lulusan dari sekolah-sekolah elite dan jurusan automasi ataupun Al banyak dicari, namun para sarjana masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka akibat meningkatnya persaingan di bursa kerja.

    “Industri yang secara tradisional menjadi penyerap utama lulusan perguruan tinggi, seperti startup internet dan pendidikan, juga mengalami penyusutan dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, ada alasan struktural yang mendalam di baliknya,” katanya.

    Memburuknya pasar kerja di China telah memunculkan istilah “anak dengan ekor busuk” di China sebagai gambaran sarjana muda yang terpaksa bekerja dengan gaji rendah dan bergantung pada orang tua, lantaran tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka.

    Istilah ini diambil dari “gedung ekor busuk”, proyek perumahan yang mangkrak dan menjadi beban ekonomi China sejak 2021. Eli Friedman, profesor Global Labor and Work di Cornell University, menyoroti adanya pergeseran budaya yang memengaruhi sikap generasi muda terhadap pekerjaan.

    Ancam Kepastian Ekonomi

    Berbeda dengan generasi orangtua mereka, sarjana muda saat ini lebih enggan menerima pekerjaan berkualitas rendah atau tidak stabil, bahkan di tengah tekanan ekonomi. Bahkan, mereka juga enggan memulai usaha kecil untuk bisa mengembangkan bisnis.

    “Saat ini jika Anda berusia 22 atau 23 tahun dan baru lulus universitas di China, saya rasa Anda tidak akan mau berjualan barang-barang kecil di jalanan, lalu menabung dan menggunakannya untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Secara budaya, saya rasa itu bukan lagi jalan yang dipilih kebanyakan orang,” kata Friedman.

    Pergeseran Sikap ini telah melahirkan istilah “merunduk” atau tangping dalam bahasa Mandarin, ketika kaum muda memilih mundur dari persaingan kerja yang hiperkompetitif. Beberapa anak muda enggan “menerima pekerjaan apa pun yang tersedia” karena semakin kecewa dengan model tradisional pengembangan karir, menurut Friedman.

    Zhou dari University of Michigan menyoroti dampak psikologis mendalam akibat pengangguran berkepanjangan, terutama di kalangan lulusan yang sebelumnya dijanjikan masa depan yang stabil.

    “Ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan tidak hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menghilangkan martabat dan tujuan hidup. Bagi para lulusan, hal ini meruntuhkan narasi yang selama ini mereka yakini – bahwa pendidikan akan memberikan kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

    Tahun ini jumlah lulusan universitas di China akan mencapai rekornya, 12,22 juta orang, naik dari 9 juta orang pada 2021. Pemerintah China telah mengakui solusi untuk mengatasi tantangan lapangan pekerjaan di negara itu sangat mendesak.

    (fsd/fsd)

  • Vietnam Kena Tarif Tinggi AS Buat Samsung ‘Khawatir’, Kok Bisa?

    Vietnam Kena Tarif Tinggi AS Buat Samsung ‘Khawatir’, Kok Bisa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketika pimpinan Samsung Electronics Jay Y. Lee bertemu dengan perdana menteri Vietnam Pham Minh Chinh pada bulan Juli, ia menyampaikan pesan sederhana.

    “Keberhasilan Vietnam adalah keberhasilan Samsung, dan perkembangan Vietnam adalah perkembangan Samsung,” kata Lee kepada Pham Minh Chinh dilansir dari Reuters.

    Ia juga menjanjikan investasi jangka panjang untuk menjadikan negara itu sebagai basis manufaktur terbesar untuk produk display.

    Sejak konglomerat Korea Selatan itu memasuki Vietnam pada tahun 1989, perusahaan itu telah menggelontorkan miliaran dolar untuk memperluas jejak manufaktur globalnya di luar Tiongkok. Banyak perusahaan sejenisnya mengikuti jejak itu setelah Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif tinggi pada barang-barang Tiongkok pada masa jabatan pertamanya.

    Langkah itu menjadikan Samsung sebagai investor dan eksportir asing terbesar di Vietnam.

    Sekitar 60% dari 220 juta ponsel yang dijual Samsung setiap tahun secara global dibuat di Vietnam, dan banyak yang ditujukan untuk AS, tempat Samsung menjadi vendor ponsel pintar nomor 2, menurut firma riset Counterpoint.

    Kini, ketergantungan pada Vietnam itu terancam menjadi bumerang karena negara ini terkena tarif tinggi 46%, salah satu paling tinggi di Asean.

    Sementara Vietnam dan Samsung memperoleh penangguhan hukuman minggu ini setelah Trump menghentikan tarif pada 10% selama 90 hari, wawancara Reuters dengan lebih dari 12 orang, termasuk di Samsung dan pemasoknya, menunjukkan bahwa perusahaan itu akan menjadi korban utama jika tarif AS yang lebih tinggi mulai berlaku pada bulan Juli.

    “Vietnam adalah tempat kami memproduksi sebagian besar ponsel pintar kami, tetapi tarif (awalnya) jauh lebih tinggi dari yang diharapkan untuk negara itu, jadi ada rasa kebingungan secara internal,” kata seorang eksekutif Samsung yang enggan disebutkan Namanya.

    Bahkan jika kedua negara mencapai kesepakatan, surplus perdagangan Vietnam sekitar $120 miliar dengan AS telah menjadi perhatian serius Donald Trump. Hanoi berharap bea masuk dapat dikurangi ke kisaran 22% hingga 28%, kalua bisa lebih rendah.

    Di tengah ketidakpastian tersebut, Samsung dan para pemasoknya tengah mempertimbangkan untuk menyesuaikan produksi, kata empat orang yang mengetahui masalah tersebut. Hal itu dapat melibatkan peningkatan produksi di India atau Korea Selatan, meskipun langkah-langkah tersebut akan mahal dan memakan waktu, kata mereka.

    Samsung menolak berkomentar tentang bagaimana mereka menghadapi ancaman tarif tersebut. Sebelumnya, Samsung telah mengatakan akan menanggapi tarif AS secara fleksibel dengan rantai pasokan global dan jejak manufakturnya.

    Kementerian luar negeri dan industri Vietnam juga tidak membalas permintaan komentar.

    Saingan Samsung, Apple membuka langkah baru menghadapi tantangan yang lebih besar setidaknya dalam jangka pendek, karena tarif Trump atas impor Tiongkok telah meningkat menjadi 145%. Apple mengimpor sekitar 80% iPhone yang dijual di AS dari Tiongkok, menurut Counterpoint. Apple tidak membalas permintaan komentar.

    Kehilangan Daya Tarik Biaya Rendah

    Ketakutan tarif adalah awan terbaru yang menyelimuti lanskap manufaktur di Vietnam, yang telah menjadi tujuan populer bagi perusahaan yang ingin melakukan diversifikasi di tengah ketegangan Tiongkok-AS.

    Namun, lonjakan tersebut telah menyebabkan masalah pasokan listrik. Vietnam juga telah meningkatkan tarif pajak efektifnya pada perusahaan multinasional besar sesuai dengan standar global yang dipimpin OECD, yang menurut beberapa perusahaan tidak disertai kompensasi yang memadai atas hilangnya insentif pajak sebelumnya.

    (fsd/fsd)

  • Trump Kecualikan Smartphone hingga Perangkat Elektronik dari Tarif Balasan

    Trump Kecualikan Smartphone hingga Perangkat Elektronik dari Tarif Balasan

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengecualikan smartphone, komputer, dan perangkat elektronik lainnya dari tarif balasan yang sebelumnya diumumkan. Langkah ini berpotensi meringankan beban konsumen dan memberikan keuntungan bagi raksasa teknologi seperti Apple Inc. dan Samsung Electronics Co.

    Pengecualian tersebut diumumkan pada Jumat malam (11/4/2025) waktu setempat oleh Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (US Customs and Border Protection), berdasarkan laporan Bloomberg. Keputusan ini bakal mempersempit cakupan produk yang diganjar tarif sebesar 125% untuk impor dari China dan 10% untuk hampir seluruh mitra dagang AS.

    Pengecualian akan mencakup smartphone, laptop, perangkat keras (hard drive), prosesor komputer, dan cip memori. Produk-produk elektronik tersebut umumnya tidak diproduksi secara domestik di Amerika Serikat, sementara fasilitas manufaktur akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

    Produk lain yang juga dikecualikan dari tarif Trump adalah mesin-mesin pembuat semikonduktor. Hal ini dapat menguntungkan perusahaan seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. (TSMC) yang baru-baru ini mengumumkan investasi besar di AS, serta produsen cip lainnya.

    Meski demikian, keringanan tarif berpotensi bersifat sementara. Instruksi pengecualian sejatinya berasal dari perintah awal yang mencegah penumpukan tarif tambahan di atas tarif negara yang sudah berlaku.

    Selain itu, instruksi pengecualian ini turut menandakan bahwa produk-produk tersebut kemungkinan akan dikenai tarif berbeda, dengan China sebagai sasaran tarif yang lebih rendah.

    Salah satu pengecualian yang menonjol adalah pada produk semikonduktor yang selama ini disebut-sebut akan diganjar tarif khusus oleh Trump.

    Berdasarkan catatan Bloomberg, tarif sektoral Trump selama ini ditetapkan sebesar 25%. Namun besaran tarif yang akan diterapkan untuk semikonduktor dan produk terkait belum jelas.

    Sementara itu, Gedung Putih belum memberikan komentar atas kebijakan ini.

  • Menteri Perdagangan China Peringatkan Tarif AS Bisa Picu Krisis Kemanusiaan

    Menteri Perdagangan China Peringatkan Tarif AS Bisa Picu Krisis Kemanusiaan

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Perdagangan China Wang Wentao mengatakan bahwa keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menerapkan tarif tinggi berpotensi menimbulkan dampak besar bagi negara-negara berkembang, bahkan bisa memicu krisis kemanusiaan.

    Pernyataan tersebut disampaikan Wang dalam pertemuan virtual dengan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo pada Jumat (11/4/2025). 

    Wang menegaskan bahwa langkah China untuk membalas kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan sah negaranya, sekaligus mempertahankan prinsip keadilan dalam komunitas internasional.

    “Langkah balasan tegas China bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan sahnya, serta menegakkan prinsip keadilan dan kejujuran di tengah komunitas internasional,” ujar Wang mengutip Bloomberg pada Sabtu (12/4/2025).

    Wang juga menyerukan kepada seluruh anggota WTO untuk bersatu dalam menentang praktik unilateralisme, proteksionisme, dan tindakan intimidatif melalui kerja sama terbuka dan multilateral. 

    Dia menambahkan bahwa negara-negara berkembang merupakan pihak yang paling rentan terhadap dampak tarif yang diberlakukan oleh AS.

    Dalam kesempatan terpisah, Wang turut melakukan pertemuan virtual dengan Menteri Pembangunan, Industri, Perdagangan Luar Negeri, dan Jasa Brasil Geraldo Alckmin. 

    Kedua pihak saling bertukar pandangan mengenai penguatan kerja sama ekonomi dan perdagangan antara China dan Brasil, serta menyikapi dampak kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS.

    Langkah diplomasi ini mencerminkan respons China terhadap meningkatnya ketegangan dagang global, di tengah dorongan Beijing untuk mempertahankan posisi dalam sistem perdagangan multilateral.

    Perlu diketahui, tensi perang tarif impor antara China dan Amerika Serikat (AS) makin panas menyusul langkah China yang kembali menaikkan tarif impor untuk barang dari AS menjadi 125%.

    Tarif balasan tersebut merupakan respons Negeri Panda setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor AS terhadap China menjadi 145%.

    Pada saat yang sama, Trump justru memberi kelonggaran dengan menunda sementara selama 90 hari atas tarif resiprokal ke 56 negara, kecuali China.