Negara: Republik Rakyat Cina

  • Menilik Nasib Industri Lokal Jika Keran Impor Dibuka Bebas

    Menilik Nasib Industri Lokal Jika Keran Impor Dibuka Bebas

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha industri menilai pemerintah perlu mengatur tata niaga impor dengan tepat agar tidak membebani industri lokal. Hal ini seiring dengan rencana pemerintah membuka keran impor, serta menghilangkan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai salah satu syarat impor. 

    Sebagai contoh, Pertek untuk berbagai produk industri yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Dokumen pelengkap izin impor itu memberikan kepastian besaran kuota yang bisa diimpor dengan menyeimbangkan kebutuhan dan pasokan dalam negeri. 

    Ketua Umum APSyFI, Redma G. Wirawasta mengatakan Pertek dalam setahun terakhir tidak berlaku lantaran Permendag 8/2024 menghapus kebijakan tersebut dan hanya menggunakan Persetujuan Impor (PI) dari Kementerian Perdagangan. 

    Namun, dia menuturkan apabila pemerintah mau menghapus Pertek, maka perlu dilakukan pemilihan antara impor untuk komoditas bahan baku, setengah jadi dan barang jadi. 

    “Jadi Permendag 8 ini kan cakupannya sangat luas, jadi perlu dipecah persektor,” ujar Redma kepada Bisnis, dikutip Minggu (13/4/2025). 

    Dalam hal ini, dia mengingatkan bahwa pasar domestik saat ini sudah dibanjiri impor produk murah dari China dan negara lainnya. Hal ini terjadi lantaran Permendag 8/2024 merelaksasi impor. 

    Alhasil, produksi industri lokal turun dan berimbas pada permintaan ke industri hulu yang menyusut. Kondisi ini tercerminkan dari utilitasi produksi industri tekstil yang hanya di level 45%. 

    “Terkait pelonggaran atau penghapusan Pertek kami kira Pak Presiden sangat paham terkait sektor mana saja yang harus dibuka, dilonggarkan, diperketat bahkan yang harus ditutup,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Redma tidak memungkiri, Pertek memang perlu dilonggarkan untuk impor bahan baku guna produksi industri lokal. Namun, perlindungan impor barang jadi, khususnya sektor pakaian harus terjaga. 

    Dampak Negatif

    Senada, Direkutur Eksekutif Aprisindo Yoseph Billie Dosiwoda mengatakan pemerintah harus selektif memilih komoditas tertentu yang bisa diimpor dan diperketat impornya karena sudah mampu diproduksi dalam negeri. 

    “Bagi pelaku usaha industri alas kaki, impor dibutuhkan untuk impor selektif bahan baku ya sebagai bahan dasar untuk bahan jadi dan produk ekspor selama ini yang sudah berjalan,” kata Billie kepada Bisnis, dihubungi terpisah.

    Sebelumnya, Ekonom Indef Andry Satrio Nugroho mewanti-wanti pemerintah terkait rencana pembukaan impor secara massal bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Andry menilai kebijakan impor berisiko mempercepat kerusakan ekonomi nasional jika tidak dikawal dengan regulasi yang ketat. 

    Andry menilai, jika diterjemahkan menjadi kebijakan terbuka tanpa kontrol, sama saja dengan mengundang banjir produk asing di tengah pasar domestik yang rapuh.

    “Kita harus jujur, beberapa tahun terakhir saja, kita sudah dihantam habis-habisan oleh krisis overcapacity dan perlambatan ekonomi China. Produk-produk murah, bahkan yang ilegal, masuk ke pasar kita dengan sangat mudah. Kalau sekarang kita malah lepas rem, gelombang barang murah ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” tegas Andry.

    Dia menyoroti, industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan saat ini sedang menghadapi gelombang PHK besar-besaran. Kalau kran impor dibuka bebas, industri-industri ini akan semakin tertekan dan potensi PHK massal bisa makin tidak terhindarkan. 

    “PHK yang sudah besar akan makin meluas. Ujungnya, daya beli masyarakat juga ikut runtuh karena masyarakat kehilangan pendapatan,” pungkasnya. 

    Wacana Kuota Impor Dihapus

    Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan kementerian/lembaga terkait untuk menghilangkan kuota impor, utamanya terkait dengan komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

    Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo di hadapan pengusaha, ekonom hingga akademisi pada acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

    Adapun, perintah tersebut disampaikan Prabowo ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua DEN Luhut B. Pandjaitan.

    “Yang jelas, Menko, Menkeu, Gubernur BI, Ketua DEN, saya sudah kasih perintah hilangkan kuota-kuota impor terutama untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Prabowo dalam Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

    Dalam kesempatan itu, Kepala Negara juga meminta Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso untuk tidak lagi memberlakukan kebijakan kuota impor.

    “Siapa mau impor daging silakan, siapa saja boleh impor. Silakan buka saja, rakyat juga pandai kok, enggak usah ada kuota [impor],” ujarnya.

    Lebih lanjut, Prabowo juga menyinggung soal peraturan teknis (pertek) di kementerian yang dapat menghambat dunia usaha. Ke depannya, Prabowo menegaskan agar Pertek yang akan dikeluarkan setiap kementerian terkait harus atas izin Presiden.

    “Jangan bikin kuota-kuota A B C, perusahaan tertentu yang ditunjuk hanya dia yang boleh impor. Enak aja, udahlah kita sudah lama jadi orang Indonesia, jangan pakai pertek-pertek itu lagi,” ujarnya.

    Menurutnya, hal tersebut dapat memudahkan proses barang yang masuk ke Indonesia. Selain itu, dia meyakini hal tersebut dapat menciptakan iklim usaha yang baik bagi pengusaha.

    “Itu salah satu upaya kita untuk merampingkan, memudahkan iklim usaha, bikin supaya pengusaha merasa dimudahkan,” pungkasnya.

  • Menteri Energi AS Pede Harga Minyak Lebih Rendah pada Masa Pemerintahan Trump

    Menteri Energi AS Pede Harga Minyak Lebih Rendah pada Masa Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Energi Amerika Serikat (AS), Chris Wright, optimistis harga minyak pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump akan lebih rendah dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

    “Di bawah kepemimpinan Presiden Trump dalam empat tahun ke depan, kita hampir pasti akan melihat harga energi rata-rata yang lebih rendah daripada yang kita lihat dalam empat tahun terakhir pemerintahan sebelumnya,” kata Wright dalam sebuah pengarahan dengan wartawan di Riyadh dikutip dari Bloomberg, Senin (14/4/2025).

    Meski demikian, Wright menolak berkomentar mengenai target harga tertentu.

    AS di bawah Biden sering berselisih dengan Arab Saudi mengenai kebijakan energi setelah AS merasa permohonannya untuk meningkatkan produksi dan menurunkan harga untuk mengatasi inflasi diabaikan. Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak mentah rata-rata sekitar US$83 per barel antara 2017 dan 2021.

    “Saya tidak dapat berkomentar mengenai harga minyak saat ini atau ke mana arahnya, tetapi jika Anda mengurangi hambatan investasi, mengurangi hambatan untuk membangun infrastruktur, Anda dapat menurunkan biaya pasokan energi,” kata Wright.

    Harga minyak telah menurun baru-baru ini setelah Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lainnya berjanji untuk meningkatkan produksi dan Trump mengguncang pasar dengan tarif yang luas. 

    Minyak mentah turun menjadi kurang dari US$65 per barel, level terendah sejak pandemi virus corona dan jauh di bawah level di mana Arab Saudi menyeimbangkan anggarannya. Itu dapat mengancam kemampuan kerajaan untuk terus mendanai rencana transformasi ekonominya yang besar, menurut Goldman Sachs.

    Namun, Wright menyebut, AS dan Arab Saudi saling berhadapan di pasar energi.

    “Presiden Trump — dan saya pikir Arab Saudi — ingin melihat peningkatan permintaan energi di seluruh dunia dan kami ingin melihat peningkatan pasokan,” ujarnya.

    AS dan Arab Saudi juga sedang mengerjakan perjanjian awal untuk bekerja sama dalam produksi tenaga nuklir sipil dan berharap untuk membuat kemajuan pada tahun ini, kata Wright. Kedua negara berada di ‘jalur’ menuju kesepakatan yang akan melibatkan non-proliferasi dan pengendalian teknologi nuklir, katanya.

    Arab Saudi perlu menandatangani Perjanjian 123 atau 123 agreement, yang mencakup berbagai bidang termasuk masalah proliferasi nuklir dan transfer teknologi, kata Wright. AS juga memandang penting untuk Arab Saudi tidak berusaha bermitra dengan China dalam pengembangan program nuklirnya. 

    “Pandangan itu dianut kedua negara dan fakta bahwa hal itu mungkin diragukan mungkin menunjukkan hubungan yang tidak produktif antara Amerika Serikat dan Arab Saudi selama beberapa tahun terakhir,” katanya. 

    Arab Saudi sebelumnya telah mencari tawaran dari pengembang asing termasuk perusahaan Rusia dan China, bersama dengan perusahaan Prancis dan Korea Selatan, untuk membangun reaktor tenaga nuklir.

    Di bawah pemerintahan Biden, kerja sama AS dalam program tenaga nuklir Arab Saudi telah dibicarakan sebagai bagian dari kesepakatan yang lebih luas yang juga akan membuat kedua negara menandatangani pakta pertahanan dan memperdalam hubungan perdagangan. Itu juga akan melibatkan Arab Saudi yang setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. 

    Namun, rencana tersebut tak terealisasi setelah serangan 7 Oktober di Israel oleh Hamas dan tanggapan militer Israel.

    Wright berada di Riyadh sebagai bagian dari tur ke beberapa negara Timur Tengah dan yang mencakup pertemuan dengan Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz Bin Salman.

  • Miliarder Penasihat Danantara: Tarif Trump Bisa Berdampak Lebih Buruk dari Resesi – Page 3

    Miliarder Penasihat Danantara: Tarif Trump Bisa Berdampak Lebih Buruk dari Resesi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pendiri Bridgewater dan yang baru saja diangkat menjadi penasihat Danantara Ray Dalio mengatakan bahwa ia khawatir bahwa kekacauan yang diakibatkan oleh tarif dan kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump akan mengancam ekonomi global.

    “Saat ini kita berada pada titik pengambilan keputusan dan sangat dekat dengan resesi,” kata Ray Dalio di acara “Meet the Press” NBC News, dikutip dari CNBC, Senin (14/4/2025).

    “Dan saya khawatir tentang sesuatu yang lebih buruk daripada resesi jika ini tidak ditangani dengan baik.” tambah dia.

    Miliarder pengelola dana lindung nilai itu mengatakan bahwa ia lebih khawatir tentang gangguan perdagangan, utang AS yang meningkat, dan negara-negara berkembang yang menghancurkan struktur ekonomi dan geopolitik internasional yang telah ada sejak akhir Perang Dunia II.

    “Kita beralih dari multilateralisme, yang sebagian besar merupakan tatanan dunia Amerika, ke tatanan dunia unilateral yang di dalamnya terdapat konflik besar,” katanya.

    Dalio mengatakan lima kekuatan mendorong sejarah: ekonomi, konflik politik internal, tatanan internasional, teknologi, dan bencana alam seperti banjir dan pandemi.

    Tarif Trump memiliki tujuan yang dapat dipahami, kata Dalio, tetapi tarif tersebut diterapkan dengan cara yang sangat mengganggu yang menciptakan konflik global.

    Kebijakan tarif Presiden Trump yang berubah dengan cepat telah menjungkirbalikkan perdagangan internasional. Trump pada hari Rabu mengumumkan jeda 90 hari pada tarif timbal baliknya, tetapi ia tetap teguh pada bea dasar 10% dan tarif timbal balik 145% pada China.

    Kemudian, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS mengumumkan pengecualian dari tarif timbal balik untuk barang elektronik konsumen buatan China seperti telepon pintar, komputer, dan semikonduktor pada Jumat malam, meskipun produk tersebut tetap dikenakan tarif 20% yang diberlakukan awal tahun ini.

    Namun, Menteri Perdagangan Howard Lutnick menarik kembali pada hari Minggu dan mengatakan pengecualian tersebut tidak permanen.

     

  • Banyak Sentimen, Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Menguat Tipis

    Banyak Sentimen, Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Menguat Tipis

    Jakarta, Beritasatu.com – Nilai tukar rupiah dibuka menguat pada awal perdagangan, Senin (14/4/2025) di pasar spot exchange. Mata uang Garuda di Bloomberg hingga pukul 09.16 WIB tercatat naik sebesar 12,5 poin atau 0,07% ke level Rp 16.783 per dolar Amerika Serikat (AS), dibandingkan dengan posisi penutupan sebelumnya di Rp 16.796 per dolar AS.

    Penguatan tipis ini mencerminkan adanya dorongan positif dari sentimen global maupun domestik, meskipun tekanan dari faktor eksternal seperti ekspektasi kebijakan suku bunga The Fed dan ketegangan geopolitik masih membayangi pergerakan rupiah.

    Pelaku pasar cenderung wait and see menjelang rilis data ekonomi penting dari AS dan China pekan ini, termasuk data inflasi dan neraca perdagangan.

    Di sisi lain, Bank Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi pasar dan kebijakan moneter yang akomodatif.

    Meski penguatan nilai tukar rupiah pagi ini tergolong terbatas, pergerakan ini menunjukkan respons pasar yang relatif stabil dalam menghadapi dinamika global. 

  • Pasar Asia Pasifik Menguat Usai Tarif Elektronik Konsumen AS Dicabut

    Pasar Asia Pasifik Menguat Usai Tarif Elektronik Konsumen AS Dicabut

    Jakarta, Beritasatu.com – Pasar Asia Pasifik dibuka menguat pada Senin (14/4/2025), menyusul keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mencabut tarif terhadap sejumlah produk elektronik konsumen. Kebijakan tersebut diambil oleh Presiden AS Donald Trump dan langsung memicu peningkatan sentimen risiko di pasar global.

    Melansir CNBC International, Senin (14/52025), di Jepang, indeks acuan Nikkei 225 melonjak 1,82% pada awal perdagangan, sementara indeks Topix naik 1,77%.

    Sinyal positif juga terlihat di pasar Asia Pasifik lainnya, seperti Korea Selatan, dengan indeks Kospi naik 1,29% dan Kosdaq yang berisi saham berkapitalisasi kecil menguat 1,22%. Di Australia, indeks S&P/ASX 200 mencatat kenaikan sebesar 0,72%.

    Sementara itu, kontrak berjangka untuk indeks Hang Seng (HSI) Hong Kong diperdagangkan di level 21.059, lebih tinggi dibandingkan penutupan sebelumnya pada 20.914,69 di hari Jumat (11/4/2025), yang menunjukkan potensi pembukaan yang lebih solid.

    Menurut dokumen dari Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS yang dirilis Jumat (11/4/2024) malam, sejumlah produk, seperti ponsel pintar, komputer, semikonduktor, dan komponen lainnya dikecualikan dari tarif.

    Namun, Presiden Trump bersama Menteri Perdagangan Howard Lutnick pada Minggu (13/4/2025) menyatakan bahwa pengecualian ini bersifat sementara, sehingga menciptakan ketidakpastian baru.

    Trump menambahkan lewat unggahan di Truth Social bahwa produk-produk tersebut tetap dikenai “Tarif Fentanil” sebesar 20%, hanya saja kini masuk dalam kelompok tarif yang berbeda. Beberapa negara di kawasan pasar Asia Pasifik pun sedang mempersiapkan negosiasi dagang dengan AS dalam waktu dekat.

    Trump disebut tengah menjajaki perundingan dengan Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan India. Mengutip laporan Politico, AS memprioritaskan mitra dagang strategis untuk menyeimbangkan kekuatan dengan China.

    Di sisi lain, perwakilan Jepang Akazawa Ryosei dijadwalkan mengunjungi Washington minggu ini untuk bertemu Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer, menurut penyiar lokal NHK.

    Bursa saham AS juga ditutup menguat pada akhir pekan lalu, didorong oleh pernyataan dari Gedung Putih bahwa Trump optimistis China akan membuka peluang kerja sama.

    Indeks S&P 500 naik 1,81% ke 5.363,36, Dow Jones menguat 619,05 poin atau 1,56% ke 40.212,71, dan Nasdaq Composite naik 2,06% ke 16.724,46.

    Kebijakan terbaru ini berpotensi memperkuat dinamika perdagangan dan menjadi sentimen positif bagi pasar Asia Pasifik dalam beberapa waktu ke depan.

  • Harga Emas Antam Lengser dari Posisi Termahal dalam Sejarah, Cek Rinciannya di Sini! – Page 3

    Harga Emas Antam Lengser dari Posisi Termahal dalam Sejarah, Cek Rinciannya di Sini! – Page 3

    Setelah mengalami salah satu pekan paling tidak menentu dalam sejarah pasar keuangan, emas kembali menjadi aset andalan. Ketika ketakutan dan ketidakpastian mendominasi sentimen investor, harga emas  justru menunjukkan performa impresif.

    Melansir Kitco News, Senin (14/4/2025), harga logam mulia ini di pasar spot dibuka pada USD 3.032,32 per ons pada awal pekan kedua April 2025. Sempat turun ke USD 2.978 pada Minggu sore, emas langsung bangkit dan kembali menembus angka USD 3.000 selama sesi perdagangan di Asia.

    Namun, euforia investor tidak bertahan lama. Menjelang Kamis dan Jumat pekan lalu, pasar saham mulai bergerak stagnan seiring meningkatnya ketegangan geopolitik dan langkah pencegahan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok.

    Lantas bagaimana potensi gerak emas pekan depan di tengah ketegangan perang dagang? 

    Prediksi Pelaku Pasar

    Survei mingguan dari Kitco News menunjukkan para analis dan pelaku pasar tetap optimistis terhadap tren emas ke depan. Bahkan, banyak yang memprediksi kenaikan lebih lanjut.

    “Emas? Ke bulan. Banyak pihak bicara tentang kaburnya modal dari AS dan anjloknya dolar. Ketegangan global dan pelemahan dolar telah menutupi efek dari kenaikan suku bunga dan justru mendorong emas ke rekor baru,” ujar Marc Chandler, Direktur Pelaksana di Bannockburn Global Forex.

    Menurut Chandler, target jangka menengah emas bisa mencapai USD 3.300 bahkan USD 3.500.

    Adrian Day, Presiden Adrian Day Asset Management, menyatakan, penurunan terakhir hanya sementara. Emas punya momentum kuat dan banyak pembeli siap masuk.

    Sementara itu, Darin Newsom dari Barchart.com menambahkan, melihat situasi geopolitik saat ini, naiknya harga emas adalah kesimpulan paling masuk akal. 

    “Sekarang ini, semuanya bisa berubah hanya karena satu postingan di media sosial dari satu orang,” jelasnya

    James Stanley dari Forex.com juga tetap yakin dirinya sudah lama optimis terhadap emas dan tidak melihat alasan untuk mengubah pandangan tersebut sekarang.

    Kemudian Daniel Pavilonis, pialang senior di RJO Futures, melihat pergerakan di pasar obligasi sebagai pendorong utama emas dalam jangka pendek. 

    “Harga emas naik sebelum Hari Pembebasan, istilah untuk dimulainya pemberlakuan tarif balasan. Volatilitas pasar saat ini mencerminkan ketidakpastian, tapi sejauh ini tren emas tetap kuat,” ujar Pavilonis.

  • Singapura Longgarkan Kebijakan Moneter dan Pangkas Outlook untuk Respons Tarif Trump

    Singapura Longgarkan Kebijakan Moneter dan Pangkas Outlook untuk Respons Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Singapura melonggarkan kebijakan moneternya dan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025. Hal tersebut seiring dengan potensi perlambatan pertumbuhan dan kebijakan tarif AS yang mengaburkan prospek aktivitas global.

    Melansir Bloomberg pada Senin (14/4/2025), The Monetary Authority of Singapore (MAS), yang menggunakan nilai tukar sebagai alat kebijakan utamanya daripada suku bunga, mengatakan dalam pernyataan resminya bahwa tingkat apresiasi akan sedikit berkurang.

    “Tidak akan ada perubahan pada lebar pita dan tingkat di mana ia berpusat. MAS akan memantau dengan cermat perkembangan ekonomi global dan domestik, dan tetap waspada terhadap risiko inflasi dan pertumbuhan,” katanya.

    Ke-14 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg mengantisipasi MAS akan mengurangi kemiringan pita mata uang. Bank sentral melonggarkan pengaturannya untuk pertama kalinya sejak 2020 pada bulan Januari setelah jeda panjang yang dimulai pada tahun 2023.

    Singapura juga menurunkan perkiraan pertumbuhannya pada 2025 menjadi 0-2% dari sebelumnya 1-3%. Data yang dirilis pada Senin menunjukkan ekonomi Singapura itu tumbuh 3,8% secara year on year (yoy) pada kuartal I/2025, dibandingkan dengan ekspektasi kenaikan 4,5%.

    “Lingkungan eksternal masih tidak pasti. Ada risiko penurunan prospek ekonomi Singapura yang berasal dari episode volatilitas pasar keuangan dan penurunan permintaan akhir yang lebih tajam dari yang diharapkan di luar negeri,” jelas MAS.

    MAS memungkinkan mata uang bergerak dalam suatu pita, menyesuaikan kemiringan, pusat atau lebar sesuai kebutuhan untuk mengubah laju apresiasi atau depresiasi. Bank sentral tidak mengungkapkan rincian keranjang, pita, maupun laju apresiasi atau depresiasi — hanya apakah mereka telah berubah.

    Singapura, yang mengimpor sebagian besar barang kebutuhan pokok, telah mengalami penurunan inflasi inti dalam beberapa bulan terakhir. Laju inflasi inti berada di angka 0,6% pada Februari dari tahun sebelumnya, laju paling lambat sejak Juni 2021, dan menandai bulan kelima berturut-turut inflasi tersebut melambat. Rilis berikutnya akan dirilis pada tanggal 23 April.

    Inflasi inti MAS sekarang diperkirakan mencapai rata-rata 0,5–1,5% pada 2025, turun dari 1–2% pada bulan Januari, yang mencerminkan pembacaan inflasi yang lebih rendah dari yang diharapkan sepanjang tahun ini, kata bank sentral dalam pernyataannya.

    Keputusan MAS muncul setelah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif tinggi pada puluhan negara, yang mengancam akan mengganggu perdagangan global dan memicu risiko pembalasan. Kemudian, tak lama setelah tarif tersebut mulai berlaku, Trump memberlakukan jeda 90 hari pada sejumlah tarif yang lebih tinggi, sambil menaikkan bea masuk pada China.

    Singapura, yang dikenai tarif 10%, mendapat keringanan yang relatif ringan dibandingkan dengan China, tetapi sebagai ekonomi yang bergantung pada ekspor, keberhasilan negara-kota itu bergantung pada kesehatan mitra dagangnya. Perdana Menteri Lawrence Wong telah memperingatkan bahwa pertumbuhan tahun ini akan “terdampak signifikan” dan negara-kota itu bisa terjerumus ke dalam resesi.

    MAS menyebut, prospek perdagangan global dan pertumbuhan PDB meredup pada awal April. 

    Mengingat ketergantungan perdagangan Singapura yang tinggi dan integrasi yang mendalam dengan rantai pasokan global, MAS menyebut perlambatan perdagangan global dan regional serta ketidakpastian kebijakan yang meningkat akan membebani sektor-sektor yang berhadapan dengan eksternal.

    “Hal ini dapat meluas ke sektor-sektor yang berorientasi domestik,” jelas MAS.

  • Harga BBM Pertamina, Shell, Vivo, BP stabil meski minyak dunia anjlok

    Harga BBM Pertamina, Shell, Vivo, BP stabil meski minyak dunia anjlok

    Ilustrasi – SPBU Pertamina. ANTARA/HO-Pertamina Patra Niaga/am.

    Harga BBM Pertamina, Shell, Vivo, BP stabil meski minyak dunia anjlok
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 14 April 2025 – 07:35 WIB

    Elshinta.com – Harga bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Pertamina, Shell, Vivo, dan BP pada pekan ketiga April tidak mengalami perubahan sejak awal April 2025, meski harga minyak dunia anjlok akibat perang dagang Amerika Serikat dengan China. Dikutip dari laman resmi Pertamina di Jakarta, Senin, harga BBM di SPBU Pertamina tidak mengalami perubahan sejak 29 Maret 2025.

    Rincian harga BBM SPBU Pertamina di provinsi dengan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen, termasuk Jakarta, sebagai berikut:

    Pertalite: Rp10.000 per liter;
    Pertamax: Rp12.500 per liter;
    Pertamax Turbo: Rp13.500 per liter;
    Pertamax Green 95: Rp13.250 per liter;
    Dexlite: Rp13.600 per liter; dan
    Pertamina Dex: Rp13.900 per liter.

    Sementara itu, harga BBM di SPBU Shell juga tidak mengalami perubahan sejak 1 April 2025. Adapun rincian harga BBM di SPBU Shell sebagaimana yang dikutip dari laman resmi SPBU Shell adalah sebagai berikut:

    Shell Super: Rp12.920 per liter;
    Shell V-Power: Rp13.370 per liter;
    Shell V-Power Diesel: Rp14.060 per liter; dan
    Shell V-Power Nitro+: Rp13.550 per liter.

    Selanjutnya, harga BBM di SPBU BP juga tercatat tidak berubah sejak 1 April 2025. Berikut ini adalah rincian harga BBM di SPBU BP:

    BP 92: Rp12.800 per liter;
    BP Ultimate: Rp13.370 per liter; serta
    BP Diesel Ultimate: Rp14.060 per liter.

    Di sisi lain, harga BBM di SPBU Vivo sempat turun Rp100 per liter untuk BBM jenis Revvo 90 pada awal April 2025. Dikutip dari akun resmi instagram SPBU Vivo dari Jakarta, Sabtu (5/4), harga Revvo 90 turun Rp100 per liter, dari yang sebelumnya Rp12.800 per liter menjadi Rp12.700 per liternya.

    Berikut ini adalah rincian harga BBM di SPBU Vivo:

    Revvo 90: Rp12.700 per liter;
    Revvo 92: Rp12.920 per liter;
    Revvo 95: Rp13.370 per liter; dan
    Diesel Primus Plus: Rp14.060 per liter.

    Sumber : Antara

  • Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Bisnis.com, JAKARTA – China telah mengubah haluan dari diplomasi menjadi retaliasi dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat.

    Di balik layar, para pejabat sipil di Beijing kini diperintahkan bersiaga layaknya dalam masa perang, dan para diplomat dikerahkan dalam ofensif global guna menggalang penolakan terhadap tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump, menurut informasi dari sejumlah sumber yang dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Dalam strategi yang kini digerakkan oleh mesin propaganda Partai Komunis, narasi perlawanan digelorakan melalui media sosial dengan potongan pidato Mao Zedong: “Kami tidak akan pernah menyerah.”

    Seruan itu menjadi simbol perlawanan China dalam menghadapi gelombang kebijakan dagang Trump yang tak menentu.

    Sejumlah kementerian, termasuk luar negeri dan perdagangan, diperintahkan membatalkan seluruh jadwal liburan dan siaga penuh 24 jam. Unit-unit khusus ditugaskan kembali, sebagian besar berasal dari tim yang sebelumnya menangani respons terhadap kebijakan Trump di periode pertama.

    Langkah tegas ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump mengguncang dunia dengan pengumuman tarif besar-besaran pada 2 April yang dijuluki “Hari Pembebasan.”. Kebijakan tarif Trump yang semula ditujukan ke banyak negara, kini hanya diberlakukan untuk China, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

    Hubungan dagang antara kedua negara pun praktis membeku, dengan China mulai menutup akses terhadap jasa dan hiburan AS.

    Padahal sebelumnya, hubungan awal AS-China berjalan cukup lancar usai Trump menjabat pada akhir 2024 lalu. Trump bahkan mengundang Presiden Xi Jinping ke pelantikannya, yang akhirnya diwakili oleh Wakil Presiden Han Zheng.

    Namun, masa tenang itu tak berlangsung lama. Selama pemerintahan Trump yang pertama, China memiliki sejumlah jalur komunikasi tingkat tinggi yang aktif—salah satunya antara Duta Besar Cui Tiankai dan Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Trump.

    Kini, jalur sejenis tidak tersedia. Seorang pejabat di Beijing mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu pasti siapa yang menjadi “penanggung jawab” hubungan bilateral di pihak Trump.

    Seorang pejabat pemerintahan Trump menjawab pertanyaan Reuters dengan menyatakan bahwa AS ingin menjaga komunikasi di tingkat kerja, namun tidak akan melanjutkan dialog yang tidak memberikan keuntungan nyata bagi kepentingan nasional.

    Sebelum pemilu, Duta Besar China Xie Feng dilaporkan mencoba menghubungi Elon Musk, salah satu sekutu penting Trump, namun upaya tersebut gagal, menurut seorang akademisi AS yang baru-baru ini melakukan kunjungan informal ke China. Musk belum memberikan tanggapan atas hal ini.

    Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga tidak berhasil bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio—yang dikenal sebagai pengkritik keras China dan dikenai sanksi oleh Beijing—saat berkunjung ke New York pada Februari lalu untuk memimpin sidang PBB.

    Tidak ada pertemuan resmi antara diplomat tertinggi kedua negara, kecuali satu panggilan telepon dingin pada akhir Januari.

    Upaya Wang untuk bertemu Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz juga menemui jalan buntu, meskipun ia sebelumnya menjalin komunikasi erat dengan Jake Sullivan—termasuk dalam negosiasi pertukaran tahanan yang langka.

    Gedung Putih menganggap bahwa jika pembicaraan ingin diarahkan pada isu perdagangan, maka China seharusnya mengirimkan pejabat ekonomi tingkat tinggi, bukan Menteri Luar Negeri.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan komunikasi dengan China dan menyatakan bahwa Trump ingin langsung berbicara dengan Xi Jinping.

    Trump mengatakan pekan ini bahwa ia bersedia bertemu Xi, yang disebutnya sebagai “teman.” Namun, tidak ada rincian kesepakatan yang dipaparkan.

    Seorang pejabat AS mengatakan bahwa pihaknya telah berulang kali bertanya apakah Xi bersedia menghubungi Trump melalui telepon—jawaban yang diterima selalu “tidak.”

    Pakar hubungan internasional Universitas Fudan Zhao Minghao mengatakan bahwa pendekatan seperti itu tidak sesuai dengan pola pembentukan kebijakan China.

    “Biasanya, diperlukan kesepakatan terlebih dahulu di tingkat teknis, baru kemudian bisa dirancang pertemuan puncak,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Kepala Ekonom ING untuk China Lynn Song menambahkan bahwa cara negara-negara yang mencoba bernegosiasi diperlakukan sejauh ini, justru memperkuat alasan bagi China untuk menjauh dari meja perundingan.

    Meskipun beberapa komunikasi masih berlangsung di level teknis, menurut satu pejabat China dan tiga pejabat AS, banyak forum kerja sama yang dibentuk di era Biden—termasuk di bidang perdagangan, keuangan, dan militer—kini dibekukan sepenuhnya.

  • China Kena ‘Prank’ Kebijakan Tarif Trump, Barang Elektronik Tidak Jadi Masuk Pengecualian – Halaman all

    China Kena ‘Prank’ Kebijakan Tarif Trump, Barang Elektronik Tidak Jadi Masuk Pengecualian – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kebingungan terus terjadi terkait penetapan sanksi tarif timbal balik 145 persen yang diberikan Trump kepada China pada pekan lalu.

    Hal in terjadi lantaran terus bergantinya detail terkait penetapan sanksi tersebut secara terus menerus oleh administrasi Trump.

    Seperti yang diberitakan sebelumnya, pada hari Sabtu waktu setempat (12/4/2025) pemerintahan Trump mendadak mengumumkan ralat terkait kebijakan terkait kenaikan tarif untuk China.

    Administrasi Trump mengumumkan bahwa kebijakan tersebut tak berlaku bagi turunan produk-produk yang berkaitan dengan perangkat elektronik seperti smartphone dan laptop.

    Dalam pernyataannya, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS menyebutkan bahwa barang seperti smartphone, laptop, hard drive, monitor panel datar, dan beberapa chip memenuhi syarat untuk pengecualian.

    Mesin pembuat semikonduktor juga dikecualikan, sehingga tidak dikenai tarif 145 persen untuk produk Tiongkok atau tarif dasar 10 persen untuk negara lain.

    Namun tak selang beberapa lama setelah pernyataan tersebut diumumkan, administrasi Trump kembali mengubah pendiriannya.

    Pembebasan tarif yang diumumkan untuk elektronik seperti ponsel pintar dan laptop hanya tersebut ternyata sifatnya hanya sementara saja ujar Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Minggu (14/4/2025).

    Dikutip dari Associated Press, Lutnick mengaku kebijakan yang diumumkan oleh Bea Cukai AS itu sifatnya memberikan kelonggaran sementara hingga pemerintahan Trump merancang pendekatan tarif baru yang lebih spesifik untuk industri semikonduktor.

    “Mereka dibebaskan dari tarif timbal balik, tetapi tetap masuk dalam tarif semikonduktor, yang akan berlaku sekitar satu atau dua bulan lagi,” ujar Lutnick dalam wawancara dengan ABC’s “This Week” pada Minggu.

    Hal senada juga disampaikan oleh Perwakilan Perdagangan AS Jamieson Greer dalam CBS’s “Face the Nation” pada Minggu.

    Greer bahkan menilai istilah “pengecualian” yang dipakai Bea Cukai sangat tidak tepat.

    “Ini bukan benar-benar pengecualian. Kata itu bahkan tidak tepat digunakan,” kata Greer.

    “Jenis rantai pasok ini dipindahkan dari rezim tarif global atau tarif timbal balik ke rezim tarif keamanan nasional.” sambungnya.

    “Presiden memutuskan kami tidak akan memberikan pengecualian. Kami tidak bisa memiliki solusi yang penuh celah untuk masalah universal yang dihadapi.” tutup Greer.

    Pernyataan terbaru dari Lutnick dan Greer ini juga diamini langsung oleh Donald Trump melalui pernyataan di TruthSocial pada Minggu.

    Trump menyatakan di media sosial bahwa tidak ada “pengecualian” sama sekali terkait kebijakan tarif timbal baliknya untuk China termasuk bagi barang-barang elektronik. 

    “Gedung Putih saat ini sedang mempelajari Semikonduktor dan SELURUH RANTAI PASOK ELEKTRONIK.” ungkap trump

    Trump juga mengaku barang-barang elektronik hanya dipindahkan ke kategori berbeda dan tetap dikenai tarif 20 persen sebagai bagian dari langkah pemerintahannya untuk menghukum China atas peran mereka dalam peredaran narkoba jenis fentanil.

    Pernyataan administrasi Trump yang kerap berubah-ubah ini seolah-olah menjadi “Prank” bagi China yang sebelumnya sempat memberi respons positif terkait pengecualian barang elektronik dalam pengumuman tarif yang diumumkan Bea Cukai AS.

    Hal ini terlihat dari pernyataan Kementerian Perdagangan China pada Minggu yang menyambut baik perubahan ini sebagai langkah kecil, meski tetap mendesak AS untuk mencabut seluruh tarif yang tersisa.

    PRESIDEN AS – Tangkapan layar YouTube White House pada Rabu (26/3/2025) yang menunjukkan Presiden Trump Singgah Bertemu Duta Besar AS pada Selasa (25/3/2025). (Tangkapan layar YouTube White House)

    Sebelumnya, pengecualian ini diprediksi menguntungkan perusahaan teknologi besar seperti Apple, Samsung, dan produsen chip seperti Nvidia.

    Pengecualian ini juga sebelumnya sempat membantu sejumlah produsen elektronik dalam menghadapi  ketidakpastian tarif di masa depan.

    Sayangnya, kebijakan adminsitrasi Trump yang terus berganti ini diprediksi meredam antisipasi kenaikan saham teknologi pada Senin ini saat bursa saham dibuka.

    (Tribunnews.com/Bobby)