Negara: Republik Rakyat Cina

  • Pengadilan AS Batalkan Kebijakan Tarif Trump, Kabar Baik Buat Dunia?

    Pengadilan AS Batalkan Kebijakan Tarif Trump, Kabar Baik Buat Dunia?

    Bisnis.com, JAKARTA – Upaya Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor luas terhadap negara-negara dengan surplus dagang terhadap AS resmi diblokir oleh pengadilan, yang berpotensi mengubah arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat.

    Melansir Reuters, Kamis (29/5/2025), Pengadilan Perdagangan Internasional menyatakan bahwa presiden telah bertindak melampaui batas kewenangannya, dan bahwa kekuasaan untuk mengatur perdagangan luar negeri sepenuhnya berada di tangan Kongres.

    “Pengadilan tidak menilai apakah penggunaan tarif oleh Presiden itu bijak atau efektif. Yang jelas, undang-undang tidak mengizinkannya,” tulis panel tiga hakim dalam putusan tersebut.

    Pemerintahan Trump langsung mengajukan pemberitahuan banding, mempertanyakan kewenangan pengadilan untuk menilai langkah darurat presiden. Kasus ini bisa berakhir di Mahkamah Agung, tergantung hasil banding di Pengadilan Banding Federal di Washington DC.

    Kebijakan tarif merupakan senjata utama Trump dalam perang dagangnya dan menjadi alat untuk menekan mitra dagang, menghidupkan kembali industri manufaktur domestik, dan memangkas defisit perdagangan barang AS yang kini mencapai US$1,2 triliun.

    Namun, pengadilan menilai bahwa alasan darurat nasional tidak cukup untuk membenarkan tindakan sepihak tersebut di bawah Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

    Dalam pernyataan resminya, juru bicara Gedung Putih Kush Desai menyebut defisit perdagangan menghancurkan komunitas Amerika, merugikan tenaga kerja, dan melemahkan basis industri pertahanan.

    “Bukanlah tugas hakim yang tidak terpilih untuk memutuskan bagaimana cara mengatasi keadaan darurat nasional dengan baik,” ujar Kush Desai.

    Reaksi pasar tergolong positif. Dolar AS melonjak terhadap euro, yen, dan franc Swiss, sementara indeks saham di Wall Street dan Asia ikut menguat.

    Putusan ini berasal dari dua gugatan hukum—satu dari lima pelaku usaha kecil yang diwakili Liberty Justice Center, dan satu lagi dari koalisi 13 negara bagian yang dipimpin Jaksa Agung Oregon, Dan Rayfield. Para penggugat menyebut tarif Trump sebagai kebijakan sembrono yang mengancam kelangsungan usaha mereka dan stabilitas ekonomi secara luas.

    Rayfield menyambut baik putusan tersebut dengan menyatakan bahwa “keputusan perdagangan tidak bisa dibuat sesuka hati presiden.”

    Trump merupakan presiden pertama yang menggunakan IEEPA untuk menetapkan tarif dagang. Biasanya, undang-undang ini digunakan untuk membekukan aset atau menjatuhkan sanksi kepada musuh negara.

    Departemen Kehakiman sebelumnya meminta agar gugatan ditolak, dengan alasan bahwa penggugat belum dirugikan secara langsung dan hanya Kongres yang dapat menggugat status darurat nasional yang ditetapkan presiden.

    Tarif tersebut diumumkan pada awal April dengan besaran 10% untuk semua impor dan tarif tambahan hingga 54% bagi negara dengan defisit perdagangan terbesar terhadap AS, terutama China.

    Namun, dalam waktu sepekan, sebagian tarif ditangguhkan menyusul kesepakatan sementara antara AS dan China yang menurunkan tarif selama 90 hari sambil menyusun perjanjian jangka panjang.

  • iPhone Masa Depan Diramal Pakai Kamera 200 MP, Tertarik?

    iPhone Masa Depan Diramal Pakai Kamera 200 MP, Tertarik?

    Jakarta

    Apple biasanya tidak langsung terjun mengikuti tren yang sedang populer dan memilih untuk menunggu sampai teknologinya matang. Namun, rumor terbaru mengindikasikan Apple akan mengadopsi tren kamera ponsel dengan megapixel besar untuk iPhone masa depan.

    Menurut tipster Digital Chat Station dalam postingannya di Weibo, Apple sedang menguji coba sensor kamera 200 MP. Jika rumor ini benar, kemungkinan sensor kamera tersebut akan menggantikan kamera 48 MP yang digunakan iPhone saat ini.

    Sayangnya postingan ini tidak memberikan informasi yang lebih rinci, termasuk jenis sensor dan untuk kamera apa. Digital Chat Station juga belum yakin, namun ia memperkirakan kamera 200 MP ini akan dipakai sebagai kamera utama, seperti dikutip dari GSM Arena, Rabu (28/5/2025).

    Digital Chat Station juga tidak menyebut model iPhone apa yang akan menggunakan kamera 200 MP, jadi tidak diketahui kapan upgrade kamera ini akan hadir.

    Kalau tahun depan, kemungkinan kamera 200 MP akan debut di iPhone layar lipat yang rumornya akan meluncur dengan harga premium. Kalau ternyata masih beberapa tahun lagi, mungkin akan hadir di iPhone Pro edisi ulang tahun ke-20 yang rilis pada tahun 2027.

    Apple terbilang lambat dalam memperkenalkan upgrade megapixel untuk iPhone. Peningkatan ke kamera 48 MP baru dilakukan beberapa tahun setelah pesaingnya.

    Sementara itu, Samsung sudah menggunakan kamera utama 200 MP selama tiga generasi, yang pertama kali digunakan di Galaxy S23 Ultra dan terakhir dipakai oleh Galaxy S25 Edge.

    Kamera 200 MP saat ini juga menjadi primadona vendor ponsel asal China seperti Xiaomi dan Vivo, namun resolusi besar itu dipakai untuk kamera telephoto periskop, bukan kamera utama.

    Bagaimana detikers, kalian tertarik membeli iPhone dengan kamera 200 MP?

    (vmp/vmp)

  • BYD Bikin Was-was Setelah Pangkas Harga Mobilnya

    BYD Bikin Was-was Setelah Pangkas Harga Mobilnya

    Jakarta

    BYD bikin perang harga di China. Baru-baru ini BYD menurunkan harga sejumlah model mobilnya.

    BYD baru-baru ini menurunkan harga mobilnya. Hal itu memicu perang harga di Negeri Tirai Bambu. Saham-saham produsen mobil di China pun mulai rontok akibat perang harga itu. Diberitakan Reuters, BYD memangkas harga lebih dari selusin model mobilnya yang dijual di China. Hal itu terlihat dari pemangkasan harga model termurahnya hatchback Seagull menjadi 55.800 yuan atau setara USD 7.765. Padahal sebelumnya harga Seagull nyaris USD 10.000.

    Adanya pemangkasan harga yang dilakukan BYD itu membuat para produsen lain resah. Ada yang was-was pemangkasan harga bikin perang harga kian mendalam. Produsen yang ‘lemah’ harus memutar otak menahan kerugian yang makin dalam akibat adanya penurunan harga.

    “Ini menunjukkan pertumpahan darah di akhir tahun ini,” kata Direktur Pelaksana dalam sebuah lembaga penasihat Sino Auto Insights Tu Le.

    “Ini bisa menjadi domino yang pada akhirnya memberikan tekanan pada pemain yang lebih lemah ataupun start-up seperti Neta dan Polestar yang sudah tertatih-tatih,” lanjut dia.

    Sebelumnya, Chairman Great Wall Motors Wei Jianjun telah memberi peringatan terhadap sektor otomotif China sangatlah tidak sehat. Utamanya dengan perang harga yang menekan laba perusahaan dan juga pemasok. Dia bahkan menyamakan kondisi saat ini dengan Evergrande, pengembang properti di China yang dilikuidasi tahun lalu setelah mengalami krisis utang yang besar.

    “Sekarang, Evergrande di industri otomotif sudah eksis, tapi belum sampai belum sampai runtuh,” tuturnya dalam wawancara kepada Sina Finance.

    Pasar mobil listrik China memang banyak diwarnai kehadiran start-up dalam satu dekade terakhir. Namun tidak semua sanggup bertahan karena adanya persaingan harga yang ketat hingga menimbulkan kerugian mendalam. Dari 169 produsen yang beroperasi di China saat ini, lebih dari setengahnya hanya memperoleh pangsa pasar kurang dari 0,1 persen, demikian terungkap dalam data dari perusahaan riset Jato Dynamics.

    Bukan cuma perang harga yang tengah menjadi sorotan, penjualan mobil bekas dengan jarak tempuh masih nol juga bikin khawatir. Cara ini dipandang sebagai cara bagi para produsen dan dealer untuk mencapai target penjualan.

    (dry/din)

  • Letjen TNI Purn Jadi Bos Bea Cukai, Pengamat Tantang Ini

    Letjen TNI Purn Jadi Bos Bea Cukai, Pengamat Tantang Ini

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto, turut mengomentari penunjukan Letjen TNI (Purn) Djaka Budhi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

    Dikatakan Gigin, penunjukan mantan perwira tinggi Kopassus tersebut menimbulkan ekspektasi tinggi di tengah berbagai persoalan pelik yang membayangi institusi tersebut.

    “Letjen Kopassus ditunjuk menjadi Dirjen Bea Cukai karena dianggap jagoan,” ujar Gigin di X @giginpraginanto (28/5/2025).

    Ia juga menyinggung isu besar yang hingga kini belum terungkap secara tuntas, yakni dugaan penyelundupan jutaan ton nikel ke Tiongkok.

    “Saya jadi penasaran pada keberaniannya membongkar dan menangkapi pelaku penyelundupan 5 juta ton nikel ke Cina yang sudah bertahun-tahun mengendap,” tandasnya.

    Penunjukan Djaka Budhi Utama memantik beragam reaksi dari publik. Di satu sisi, kehadiran figur berlatar militer dianggap sebagai sinyal pembenahan serius atas maraknya praktik korupsi dan penyelundupan di lingkungan Bea Cukai.

    Namun di sisi lain, publik mempertanyakan efektivitas pendekatan tersebut dalam menghadapi persoalan yang telah mengakar.

    Sebelumnya, Letjen TNI (Purn) Djaka Budhi Utama resmi menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, dengan status sebagai Aparatur Sipil Negara berjenis Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

    Penjelasan ini disampaikan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, guna merespons berbagai pertanyaan publik mengenai status kepegawaian Djaka Budhi pasca-pelantikannya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta pada Jumat (22/5/2025).

  • Poin-Poin Risalah Rapat FOMC The Fed: Risiko Inflasi dan Resesi Masih Menghantui

    Poin-Poin Risalah Rapat FOMC The Fed: Risiko Inflasi dan Resesi Masih Menghantui

    Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve mengambil posisi waspada menyusul lonjakan ketidakpastian ekonomi, dengan memutuskan untuk menahan suku bunga sambil menanti kejelasan lebih lanjut terkait arah inflasi dan pertumbuhan.

    Dalam risalah pertemuan kebijakan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 6-7 Mei lalu, The Fed menyatakan bahwa bahwa pendekatan sabar lebih tepat diterapkan dalam kondisi saat ini.

    The Fed mengakui risiko dari tekanan inflasi yang belum mereda bersamaan dengan meningkatnya angka pengangguran semakin meningkat dibandingkan pertemuan sebelumnya pada Maret. Risiko ini muncul di tengah kekhawatiran atas volatilitas pasar keuangan dan peringatan staf internal Fed mengenai potensi resesi yang semakin besar.

    Situasi ini dinilai berpotensi menempatkan dua mandat utama The Fed—menjaga stabilitas harga dan memaksimalkan lapangan kerja—dalam posisi yang saling bertentangan.

    “Peserta sepakat bahwa dengan pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang masih kuat, serta sikap kebijakan moneter yang cukup ketat, komite berada pada posisi yang baik untuk menunggu kejelasan lebih lanjut terkait prospek inflasi dan aktivitas ekonomi,” tulis risalah tersebut seperti dilansir Bloomberg, Kamis (29/5/2025).

    Risalah juga menyoroti peningkatan ketidakpastian akibat perubahan arah kebijakan pemerintah, dan menekankan perlunya kehati-hatian sampai dampak bersih dari kebijakan tersebut dapat dipetakan secara lebih akurat.

    The Fed telah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

    Kebijakan dagang Presiden Donald Trump yang penuh gejolak menjadi faktor utama yang menyelimuti prospek ekonomi dengan ketidakpastian. Rapat Mei sendiri digelar hanya beberapa hari sebelum tercapainya kesepakatan sementara antara AS dan Tiongkok untuk menurunkan tarif timbal balik.

    Kendati ada sinyal deeskalasi, beban tarif terhadap barang impor tetap tinggi, mendorong banyak pelaku usaha menunda ekspansi dan perekrutan. Para ekonom secara umum menilai bahwa tarif akan mendorong inflasi dan membebani pertumbuhan, meski potensi resesi tahun ini mulai mengecil seiring meredanya ketegangan dagang.

    Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dan 2026 turut direvisi turun oleh The Fed, mencerminkan dampak kebijakan tarif. “Staf menilai kemungkinan terjadinya resesi hampir sebanding dengan proyeksi dasar,” bunyi risalah tersebut.

    Mereka juga memperkirakan pasar tenaga kerja akan melemah secara signifikan, dengan tingkat pengangguran diproyeksikan melampaui tingkat alami dan bertahan tinggi hingga 2027. Sementara itu, tarif diperkirakan akan mendorong inflasi naik secara tajam sepanjang tahun ini.

    Ekspektasi Inflasi

    Para pejabat juga semakin mencermati ekspektasi masyarakat terhadap inflasi jangka panjang, karena khawatir lonjakan harga akibat tarif bisa menetap lebih lama dari yang diharapkan. “Hampir semua peserta” menyatakan kekhawatiran bahwa inflasi dapat lebih persisten dari prediksi sebelumnya.

    Indeks ekspektasi inflasi konsumen versi Universitas Michigan untuk jangka 5–10 tahun melonjak tahun ini, terutama didorong oleh tarif. Namun, sebagian besar pejabat Fed meredam kekhawatiran tersebut dengan mengacu pada indikator berbasis pasar yang menunjukkan ekspektasi inflasi tetap terjaga.

    “Peserta mencatat bahwa komite mungkin akan menghadapi dilema sulit jika inflasi terbukti lebih persisten sementara prospek pertumbuhan dan lapangan kerja melemah,” lanjut risalah tersebut, seraya menekankan bahwa arah perubahan kebijakan pemerintah dan dampaknya terhadap ekonomi masih sangat tidak pasti.

    Tinjauan Kerangka Kerja

    Selain soal inflasi, para pembuat kebijakan The Fed juga melanjutkan diskusi rutin mengenai evaluasi kerangka kerja strategis bank sentral—dokumen yang menjadi acuan dalam menjalankan kebijakan moneter.

    Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya menyampaikan bahwa saat ini merupakan momen yang tepat untuk meninjau kembali formulasi dalam kerangka kerja tersebut, khususnya terkait pendekatan target inflasi rata-rata dan definisi kekurangan dari target ketenagakerjaan bank sentral.

    Dalam tinjauan sebelumnya yang rampung pada 2020, The Fed memperkenalkan strategi baru yang membiarkan inflasi bergerak sedikit di atas target 2% untuk beberapa waktu, sebagai kompensasi atas periode panjang inflasi rendah. Pendekatan ini dikenal dengan istilah flexible average inflation targeting.

    Namun, risalah terbaru mengisyaratkan adanya dukungan yang lebih kuat terhadap pendekatan yang lebih sederhana, yakni target inflasi fleksibel, di mana bank sentral akan fokus membawa inflasi kembali ke target 2% tanpa harus mengimbangi penyimpangan sebelumnya.

    Langkah ini menunjukkan perubahan sikap yang lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi yang dinamis, sekaligus mencerminkan kehati-hatian The Fed dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan ketahanan pasar tenaga kerja.

  • Sri Mulyani: Gejolak Pasar Keuangan Global Relatif Lebih Mereda Dibandingkan Posisi Awal April

    Sri Mulyani: Gejolak Pasar Keuangan Global Relatif Lebih Mereda Dibandingkan Posisi Awal April

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini menyampaikan kondisi terkini dari global.

    Kondisi global atau dunia yang disampaikan yakni munculnya sederet kebijakan dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

    Dengan menyoroti perang dagang, Sri Mulyani melihat masih dalam posisi dinamis, dalam hal ini AS sudah mencapai kesepakatan dengan Inggris.

    Adapun penundaan pemberlakuan tarif selama 90 hari merupakan bagian dari kesepakatan antara China dan Amerika Serikat.

    “Kondisi dunia masih dinamika yang tinggi meskipun ada perkembangan deskalasi,” ungkap Sri Mulyani dikutip Rabu, (28/5/2025).

    Beberapa industri masih dalam ketidakpastian, mengingat executive order AS masih berlanjut.

    Industri tersebut masih dalam tahap ketidakpastian, dengan adanya executive order AS yang masih terus terjadi

    Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan adanya divergensi kebijakan, yakni Bank Sentral AS menahan suku bunga acuan, pergerakan ini dipantau dalam sisi moneter.

    Berbeda dengan Bank Sentral Eropa dan Inggris serta China yang memilih untuk memangkas suku bunga acuan.

    “Bank Sentral RRT menurunkan suku bunga 10bps dan menurunkan reserve require ratio 50 bps artinya RRT ingin membuat stimulus dari moneter karena tekanan dari AS akan mengancam pertumbuhan maka countercyclical menurunkan suku bunga,” ujarnya.

    Kebijakan ini juga diberlakukan oleh Bank Indonesia yang memangkas suku bunga acuan 25 bps menjadi 5,50%.

    “BI dalam hal itu memberikan signal stabilisasi, inflasi rendah dan dari rupiah relatif terjaga fokusnya ingin mendukung agar pertumbuhan ekonomi bisa meningkat dengan penurunan suku bunga,” paparnya.

  • Dampak Larangan Ekspor ke China Minim, Kinerja Nvidia Lampaui Ekspektasi

    Dampak Larangan Ekspor ke China Minim, Kinerja Nvidia Lampaui Ekspektasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Nvidia membukukan penjualan kuartalan yang melampaui ekspektasi pasar setelah para pelanggan bergegas membeli chip kecerdasan buatan (AI) menjelang diberlakukannya larangan ekspor terbaru dari pemerintah AS ke China.

    Namun, pembatasan itu diperkirakan tetap akan menggerus pendapatan perusahaan hingga US$8 miliar pada kuartal berjalan, memaksa Nvidia untuk mengeluarkan proyeksi pendapatan yang lebih rendah dari ekspektasi Wall Street.

    Meski begitu, saham produsen semikonduktor paling bernilai di dunia ini tetap menguat 5% dalam perdagangan pasca-penutupan. Investor menilai bahwa dampak larangan ekspor tak seburuk yang dikhawatirkan.

    Selain itu, antusiasme terhadap chip generasi terbaru Nvidia, Blackwell, yang dipesan oleh perusahaan seperti Microsoft, memberi angin segar bagi prospek pertumbuhan.

    Selama bertahun-tahun, pemerintah AS berupaya membatasi akses China terhadap teknologi canggih AS. Kini, langkah itu telah memperketat ekspor chip AI Nvidia, membatasi penetrasi perusahaan di salah satu pasar semikonduktor terbesar dunia.

    Dalam paparannya, CEO Nvidia Jensen Huang menyampaikan kekhawatiran atas kebijakan AS-China. Ia memperingatkan bahwa Nvidia bisa kehilangan akses terhadap ekosistem pengembang AI di China yang sangat besar, dan menyebut industri semikonduktor China semakin matang dan bisa menyamai dominasi AS.

    Namun, Huang juga memuji keputusan Presiden Donald Trump yang membatalkan aturan “difusi AI” yang sebelumnya akan membatasi aliran chip AI secara global.

    “Presiden Trump ingin Amerika menang. Dan dia juga menyadari bahwa kita bukan satu-satunya negara dalam perlombaan ini,” kata Huang seperti dikutip Reuters, Kamis (29/5/2025).

    Huang mengonfirmasi bahwa chip Hopper tak bisa lagi dimodifikasi untuk pasar China, meski tak menyampaikan rincian soal chip Blackwell. Laporan Reuters sebelumnya menyebut Nvidia tengah menyiapkan varian Blackwell khusus untuk China.

    Kehilangan pendapatan dari China diperkirakan belum bisa ditutupi sepenuhnya oleh kontrak-kontrak baru yang ditandatangani Nvidia di Timur Tengah awal bulan ini.

    Termasuk di antaranya adalah proyek pusat data raksasa seluas nyaris 26 kilometer persegi di Uni Emirat Arab yang dirancang untuk mendukung hingga 5 gigawatt infrastruktur AI. Perusahaan juga mengumumkan kesepakatan serupa di Arab Saudi dan Taiwan.

    “Kami memiliki pandangan yang jelas terhadap proyek-proyek yang dalam waktu dekat akan membutuhkan puluhan gigawatt infrastruktur AI dari Nvidia,” kata CFO Nvidia Colette Kress.

    Namun dalam jangka pendek, pembatasan ekspor ke China telah berdampak pada pendapatan pusat data. Pendapatan dari chip H20—satu-satunya chip AI yang sebelumnya masih bisa dijual ke China secara legal—turun tajam.

    Nvidia sebelumnya memperkirakan akan menanggung beban US$5,5 miliar akibat larangan tersebut, dengan Huang mengkalkulasi dampak total bisa mencapai US$15 miliar.

    Pada Rabu, perusahaan melaporkan bahwa kerugian dari penjualan chip H20 di kuartal pertama mencapai US$2,5 miliar, lebih kecil dari perkiraan karena sebagian material berhasil digunakan ulang. Untuk kuartal kedua, kerugian dari chip ini diperkirakan mencapai US$8 miliar.

    Namun demikian, penjualan chip H20 tetap mencatatkan angka US$4,6 miliar pada kuartal pertama, dengan kontribusi dari pasar China mencapai 12,5% dari total pendapatan.

    Analis D.A. Davidson Gil Luria, mengatakan dampak pembatasan pejualan chip H20 masih lebih ringan dari perkiraan.

    “Ada penyesuaian pendapatan dari China untuk kuartal Juli, tetapi sebagian besar pendapatan dari China juga sudah ditarik masuk ke kuartal pertama karena pembeli melakukan penimbunan sebelum larangan berlaku,” ujarnya.

    Di tengah ketidakpastian kebijakan dagang global, raksasa teknologi seperti Microsoft dan Alphabet tetap melanjutkan belanja besar-besaran untuk memperluas infrastruktur pusat data AI. Namun kekhawatiran investor terus berlanjut.

    Nvidia melaporkan laba bersih sebesar 81 sen per saham pada kuartal pertama. Tanpa memperhitungkan beban biaya khusus, laba bersih disesuaikan mencapai 96 sen—di atas proyeksi analis yang berkisar pada 93 sen per saham.

    Pendapatan dari segmen pusat data tercatat sebesar US$39,1 miliar, sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar US$39,3 miliar.

    Secara total, Nvidia mencatat komitmen produksi senilai US$29,8 miliar—naik dari tahun sebelumnya, namun turun dibanding kuartal sebelumnya.

    Untuk kuartal II/2025, perusahaan memproyeksikan pendapatan sebesar US$45 miliar, dengan margin kesalahan plus-minus 2%. Proyeksi ini mencakup hilangnya pendapatan dari H20 sebesar US$8 miliar akibat pembatasan ekspor terbaru.

    Analis Emarketer Jacob Bourne mengatakan ketegangan dagang dan potensi tarif tambahan bisa menjadi penghambat baru bagi ekspansi pusat data dan permintaan chip AI dalam beberapa kuartal mendatang.

    “Ini bukan akhir dari dominasi Nvidia, tapi menandakan bahwa mempertahankannya akan membutuhkan strategi yang cermat menghadapi tantangan geopolitik, persaingan pasar, dan tekanan ekonomi yang semakin kompleks,” tambahnya.

  • IHSG Juni Bisa Melejit Lagi apabila Syarat Ini Terpenuhi

    IHSG Juni Bisa Melejit Lagi apabila Syarat Ini Terpenuhi

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) mencatatkan performa positif sepanjang Mei 2025 dengan penguatan sebesar 7,44% disertai aksi beli investor asing senilai Rp 6,18 triliun. Tren positif ini diperkirakan akan berlanjut pada Juni 2025.

    Menurut analisis dari Kiwoom Sekuritas Indonesia, IHSG diprediksi bergerak di kisaran 7.000–7.300, dengan potensi menembus level resistance 7.300 apabila didukung oleh berlanjutnya net buy asing, stimulus domestik, serta stabilitas nilai tukar rupiah.

    “IHSG akan bergerak sideways cenderung menguat pada Juni 2025 dalam rentang 7.000–7.300, dengan kecenderungan menembus resistance 7.300,” tulis Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Liza C Suryanata dalam risetnya, Rabu (28/5/2025).

    Liza menjelaskan, sejumlah sentimen positif dalam negeri akan mendorong kinerja IHSG pada Juni. Di antaranya adalah window dressing akhir semester, peningkatan konsumsi rumah tangga karena libur sekolah, serta penurunan suku bunga penjaminan LPS dari 4,25% menjadi 4%.

    Sementara dari sisi eksternal, pelaku pasar perlu mencermati potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed dalam FOMC Meeting Juni-Juli, serta kemungkinan akumulasi saham oleh fund manager di sektor-sektor berpotensi tinggi.

    “Masih ada risiko negosiasi tarif antara Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Uni Eropa serta tensi geopolitik global. Namun, apabila tidak memburuk, sentimen pasar bisa tetap stabil. Jangan lupa 9 Juli adalah batas akhir jeda 90 hari tarif liberation day. Kami perkirakan mendekati tanggal tersebut akan terjadi perundingan negosiasi antara AS dan negara mitra dagang,” tambah Liza.

    Berdasarkan riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, sektor-sektor saham yang berpotensi menguat pada Juni meliputi sektor konsumsi atau ritel, sektor transportasi, sektor perbankan, sektor properti, sektor teknologi, dan sektor energi.

    “Juni 2025 membawa momentum positif yang cukup kuat untuk pasar saham Indonesia, baik dari sisi stimulus fiskal, stabilitas moneter, hingga penguatan rupiah. Apabila ditambahkan sentimen dovish The Fed, peluang IHSG menembus 7.300 cukup terbuka dengan arus dana asing yang bisa kembali deras. Namun, hati-hati terhadap potensi gejolak global dan siklus ketidakpastian suku bunga eksternal,” tutup Liza.

  • Risalah The Fed Wanti-Wanti Inflasi dan Pengangguran di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

    Risalah The Fed Wanti-Wanti Inflasi dan Pengangguran di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA – Para pejabat bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) mengisyaratkan potensi pertarungan kebijakan yang rumit dalam beberapa bulan mendatang.

    Dalam risalah pertemuan kebijakan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 6-7 Mei lalu, The Fed menyatakan akan menghadapi tekanan inflasi yang belum mereda bersamaan dengan meningkatnya angka pengangguran. Risiko ini muncul di tengah kekhawatiran atas volatilitas pasar keuangan dan peringatan staf internal Fed mengenai potensi resesi yang semakin besar.

    Pandangan muram tersebut kemungkinan telah sedikit bergeser setelah Presiden Donald Trump, sepekan pasca-rapat, menunda penerapan tarif impor yang paling ekstrem, termasuk bea masuk 145% atas produk asal China. Keputusan tersebut sempat menekan pasar obligasi, menjatuhkan harga saham, dan memperkuat prediksi perlambatan tajam ekonomi AS.

    Namun, risalah rapat yang dirilis Rabu (28/5/2025) tetap menunjukkan bahwa para pejabat The Fed terlibat dalam diskusi penting mengenai dampak kebijakan perdagangan yang terus berubah dari Gedung Putih. Meskipun tarif tinggi telah ditangguhkan, ketidakpastian tetap menyelimuti prospek ekonomi ke depan.

    Pejabat Fed menyoroti gejolak pasar obligasi sebagai risiko potensial terhadap stabilitas keuangan, serta menekankan bahwa perubahan persepsi terhadap dolar AS sebagai aset aman dan kenaikan imbal hasil Treasury bisa berdampak jangka panjang terhadap ekonomi.

    Kemungkinan inflasi dan pengangguran naik secara bersamaan disebut sebagai tantangan utama, yang dapat memaksa bank sentral memilih antara memperketat kebijakan moneter untuk menekan inflasi atau memangkas suku bunga demi mendukung pertumbuhan dan pekerjaan.

    “Hampir semua peserta mengomentari risiko bahwa inflasi dapat menjadi lebih persisten daripada yang diperkirakan, karena ekonomi beradaptasi dengan pajak impor yang lebih tinggi yang diusulkan oleh pemerintahan Trump,” demikian tulis risalah rapat FOMC seperti dikutip Reuters, Kamis (29/5/2025).

    Mereka menegaskan bahwa ketidakpastian ekonomi telah meningkat, dan pendekatan kebijakan yang lebih hati-hati dibutuhkan hingga dampak berbagai perubahan kebijakan pemerintah menjadi lebih jelas.

    Risiko di Dua Sisi

    Staf The Fed dalam pemaparan mereka menyampaikan bahwa kombinasi tarif dan pelemahan pasar tenaga kerja dapat mendorong inflasi jauh di atas target 2%, sementara tingkat pengangguran diperkirakan melampaui ambang batas pekerjaan penuh dan bertahan di level tersebut selama dua tahun ke depan.

    Per April, tingkat pengangguran AS berada di 4,2%. Sementara itu, Fed menilai angka 4,6% sebagai tingkat pengangguran jangka panjang yang masih berkelanjutan dengan inflasi stabil di 2%.

    Penundaan tarif yang paling agresif telah membuat sejumlah analis menurunkan estimasi risiko resesi mereka, meskipun pada awal Mei staf Fed masih menilai kemungkinan resesi hampir setara dengan proyeksi dasar pertumbuhan yang melambat namun tetap berlanjut.

    Secara teori, tarif tinggi itu hanya ditangguhkan hingga Juli sambil menunggu negosiasi soal tingkat tarif akhir. Baik pejabat Fed maupun pelaku bisnis masih dibayangi ketidakjelasan mengenai arah kebijakan ekonomi.

    Ketidakpastian itulah yang mendominasi rapat awal Mei, ketika Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25% hingga 4,5%. Dalam konferensi pers usai rapat, Ketua Fed Jerome Powell menyatakan bahwa bank sentral akan menahan diri dari perubahan kebijakan hingga ada kejelasan lebih lanjut dari pemerintahan Trump mengenai rencana tarif dan dampaknya terhadap perekonomian.

    Pernyataan terseut kemudian dikukuhkan lagi oleh Powell dan sejumlah pejabat Fed dalam beberapa pekan terakhir.

    The Fed dijadwalkan menggelar rapat berikutnya pada 17-18 Juni, di mana proyeksi terbaru dari para pembuat kebijakan terkait inflasi, ketenagakerjaan, dan pertumbuhan ekonomi akan dirilis, beserta pandangan mereka mengenai suku bunga yang sesuai ke depan.

    Dalam pertemuan Maret, proyeksi median menunjukkan dua kali pemangkasan suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin poin hingga akhir 2025.

  • Antisipasi Dampak Tarif Trump, Pemerintah Siapkan Deregulasi Impor dan Ekspor

    Antisipasi Dampak Tarif Trump, Pemerintah Siapkan Deregulasi Impor dan Ekspor

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Salah satunya, dengan deregulasi impor dan ekspor.

    Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Reza Pahlevi menyampaikan, usai adanya kebijakan tarif Trump, setiap negara akan berlomba-lomba melakukan proteksionisme, guna melindungi industri dalam negeri dari produk asing.

    “Dari satu sisi artinya banyak negara yang akan menerapkan trade remedies, sehingga otomatis kemungkinan produk kita juga akan banyak dikenakan trade remedies,” kata Reza di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (28/5/2025).

    Sebagai informasi, trade remedies merupakan instrumen yang diperbolehkan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) untuk negara anggotanya dalam menghadapi perdagangan internasional yang tidak berimbang (anti-dumping dan anti-subsidi) maupun perdagangan yang berimbang (safeguards).

    Lebih lanjut, Reza mengatakan bahwa adanya kebijakan tersebut akan membuat China kesulitan untuk memasok produk-produknya ke AS. Sebagai gantinya, China akan mencari pasar baru, termasuk di Indonesia, sehingga berpotensi membanjiri pasar dalam negeri.

    Untuk itu, Reza menyebut bahwa pemerintah tengah berupaya untuk memperkuat sistem perlindungan perdagangan Indonesia, dengan memperkuat instrumen trade remedies dari serbuan impor dan melindungi produk dalam negeri dari tuduhan dumping oleh negara lain.

    “Jadi intinya kita harus memperkuat dua sisi ini,” ujarnya.

    Sejalan dengan hal itu, Reza menyebut bahwa pemerintah tengah menderegulasi impor dan ekspor. “Sedang dilakukan deregulasi impor, nggak hanya impor, ekspor pun sedang dilakukan deregulasi,” ungkapnya.

    Reza belum bisa menjelaskan lebih lanjut mengenai deregulasi tersebut. Kendati begitu, menurutnya kondisi ini justru menjadi peluang yang tepat bagi Indonesia untuk menghilangkan bisnis ekonomi yang tinggi serta meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

    “Jadi dibalik Trump ini pun harusnya ada peluang,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, pemerintah terus memantau perkembangan kebijakan tarif resiprokal, khususnya soal dampak terhadap ekspor-impor Indonesia.

    Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri mengatakan, Indonesia akan memanfaatkan masa jeda 90 hari yang tersedia sebelum tarif baru diberlakukan untuk mengupayakan kesepakatan terbaik.

    “Nanti kita akan jajaki bersama, ya. Kami sedang menunggu update terakhirnya karena proses negosiasi masih berjalan,” ujar Roro, dikutip pada Selasa (6/5/2025).

    Roro pun angkat bicara terkait dengan pemberlakuan tarif dagang baru oleh Trump yang dapat memengaruhi alur ekspor-impor Indonesia, terutama di sektor manufaktur, elektronik, dan tekstil.

    Roro juga menambahkan bahwa langkah strategis akan diambil secara kolaboratif untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan proteksionisme tersebut.

    “Kami akan memaksimalkan jeda 90 hari tarif Trump untuk mendapatkan deal yang terbaik untuk Indonesia,” pungkas Roro.