Negara: Prancis

  • Kemenhan: Kerja sama soal radar percepat industri pertahanan RI tumbuh

    Kemenhan: Kerja sama soal radar percepat industri pertahanan RI tumbuh

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pertahanan menjelaskan bahwa kerja sama mengenai radar dari berbagai negara, seperti Prancis dan Ceko, dapat mempercepat pertumbuhan industri pertahanan Indonesia.

    “Kami berharap apa pun teknologinya itu, dari negara mana pun, ini bisa menjadi nilai tambah atau added value untuk industri pertahanan kita,” kata Kepala Biro Informasi Pertahanan Kemenhan Brigadir Jenderal TNI Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang di Kantor Kemenhan, Jakarta, Selasa.

    Frega menyampaikan pernyataan tersebut untuk menjawab pertanyaan awak media mengenai integrasi radar dari Ceko usai adanya komitmen penguatan kerja sama pertahanan pada Selasa, dengan radar hasil akuisisi dari Prancis yang kontraknya ditandatangani pada 20 April 2022.

    Ia menjelaskan bahwa kerja sama mengenai radar dari berbagai negara tersebut merupakan langkah Kemenhan untuk mendiversifikasi alat utama sistem senjata (alutsista) sekaligus transfer teknologi.

    Selain itu, Frega menjelaskan bahwa langkah tersebut untuk menghindari adanya embargo yang mengakibatkan terhambatnya pengadaan maupun pemeliharaan alutsista.

    “Sehingga dengan adanya kondisi yang ada saat ini, di mana kebijakan pemerintah ingin membangun dan memodernisasi alutsista, kami melihat mitra-mitra potensial yang memang mau melakukan kerja sama dan juga berbagi teknologi,” ujarnya.

    Oleh sebab itu, Frega mengatakan bahwa langkah tersebut berpotensi membuat Indonesia untung.

    “Jadi, jangan dilihat loh kok ini ikut negara Prancis tadi, terus ini ke Ceko, tujuannya sebenarnya adalah bagaimana untuk mengakselerasi tumbuhnya industri pertahanan Indonesia, sehingga ketika kami punya independensi, kami punya kemandirian, kami tidak takut lagi dengan yang namanya embargo, karena kami sudah cukup produksinya,” jelasnya.

    Ia juga menjelaskan bahwa industri pertahanan yang kuat dapat membuat Indonesia tidak dapat dikendalikan oleh negara lain ketika menggunakan alutsistanya.

    “Masih diingat pada saat kami melakukan operasi militer beberapa tahun lalu, di salah satu wilayah di Indonesia, salah satu tank yang kami beli, sudah kami lunasi, ternyata tidak boleh digunakan karena produsennya adalah negara asing. Kemudian mempersyaratkan beberapa syarat yang akhirnya mau tidak mau harus kami ikuti, sehingga kami menggunakan alutsista yang berbeda,” katanya.

    Ia melanjutkan, “Nah ini menjadi salah satu atensi ketika kami ingin membangun ekosistem industri pertahanan nasional, dan kenapa kerja sama itu dilakukan dengan berbagai negara.”

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Rusia Tuntut Ukraina Netral, Fase Panas Mungkin akan Segera Berakhir, Kata Dubes Rusia untuk PBB – Halaman all

    Rusia Tuntut Ukraina Netral, Fase Panas Mungkin akan Segera Berakhir, Kata Dubes Rusia untuk PBB – Halaman all

    Rusia Tuntut Ukraina Netral, Fase Panas Mungkin akan Segera Berakhir, Kata Dubes Rusia untuk PBB

    TRIBUNNEWS.COM- Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengisyaratkan bahwa “fase panas” krisis Ukraina akan segera berakhir, dengan mengutip perubahan upaya diplomatik global setelah pemerintahan Republik berkuasa di Amerika Serikat.

    Rusia telah menegaskan kembali posisinya bahwa Ukraina harus menjadi negara yang didemiliterisasi, netral, dan tetap berada di luar aliansi militer mana pun, menurut Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia. Berbicara dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada hari Senin, Nebenzia menyatakan:

    “Ukraina di masa depan seharusnya menjadi negara yang didemiliterisasi, netral, dan tidak tergabung dalam blok atau aliansi mana pun.”

    Komentarnya muncul di tengah meningkatnya diskusi internasional mengenai masa depan perang di Ukraina, karena pembicaraan diplomatik mendapatkan momentum menyusul perubahan politik di Washington.

    Rusia Melihat Berakhirnya Pertempuran, Namun Tidak Ada Jaminan Perdamaian
    Nebenzia menyarankan bahwa “fase panas” krisis Ukraina dapat segera berakhir, dengan mengutip upaya diplomatik global yang berubah setelah pemerintahan Republik berkuasa di Amerika Serikat. Ia berkomentar:

    “Kita semua melihat proses apa yang sedang berlangsung di dunia saat ini setelah Pemerintahan Republik di Amerika Serikat berkuasa. Seperti yang telah kita serukan selama beberapa bulan terakhir, diplomasi akhirnya terlibat aktif dalam permainan ini. Ada kemungkinan bahwa fase panas krisis Ukraina akan segera berakhir.”

    Meski demikian, Nebenzia memperingatkan bahwa gencatan senjata atau pembekuan konflik di sepanjang garis depan saat ini tidak akan cukup untuk memastikan resolusi yang langgeng.

    Moskow Nyatakan Wilayah Ukraina “Hilang Tak Terelakkan”

    Rusia juga menegaskan kembali kedaulatan atas beberapa bekas wilayah Ukraina, dengan Nebenzia menyatakan bahwa Ukraina telah kehilangan kendali secara permanen atas wilayah yang dianeksasi Moskow setelah invasi tahun 2022.

    “Ukraina kini telah kehilangan tidak hanya Krimea, tetapi juga Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk, serta wilayah Kherson dan Zaporozhye, yang menjadi bagian dari Rusia. Oleh karena itu, perlu untuk memperbaiki situasi di wilayah-wilayah yang masih berada di bawah kendali Kiev.”

    Pernyataan ini menunjukkan bahwa Rusia tidak bermaksud merundingkan status wilayah tersebut, sehingga semakin mempersulit prospek perundingan damai.

    Ketegangan Diplomatik Meningkat di Tengah KTT Keamanan Paris
    Sikap baru Kremlin muncul saat para pemimpin Eropa bertemu di Paris untuk membahas keamanan Ukraina dan masa depan strategi pertahanan Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mendesak negara-negara Eropa untuk meningkatkan upaya mereka, dengan memperingatkan bahwa perubahan pendekatan Amerika Serikat terhadap Ukraina berarti Eropa harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas keamanannya sendiri.

    Kekhawatiran utama di antara para pemimpin Eropa adalah bahwa Washington telah setuju untuk mengadakan perundingan dengan Rusia di Arab Saudi tanpa melibatkan perwakilan Eropa atau Ukraina. Hal ini telah memicu kekhawatiran bahwa Moskow dapat memaksakan tuntutannya agar NATO menarik diri dari Eropa Timur, sementara tidak melibatkan Kyiv dalam proses pengambilan keputusan.

    Pada saat yang sama, negara-negara Eropa sedang memperdebatkan kemungkinan pengerahan 25.000 hingga 30.000 personel militer ke Ukraina, meskipun mereka tidak akan ditempatkan di dekat garis depan. Usulan tersebut, yang pertama kali dilaporkan oleh The Washington Post , diharapkan akan dibahas pada pertemuan puncak Paris, di mana Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya sedang mempertimbangkan cara-cara untuk meningkatkan keamanan Ukraina.

    Swedia juga telah mengisyaratkan keterbukaannya untuk mengirim pasukan sebagai bagian dari misi penjaga perdamaian setelah kesepakatan resmi tercapai. Menteri Luar Negeri Maria Malmer Stenergard menyatakan:

    “Pertama-tama, kita harus sepakat tentang perdamaian yang adil dan abadi, yang menghormati hukum internasional dan Ukraina … Begitu perdamaian ini tercapai, kita harus memastikan bahwa perdamaian itu dipertahankan. Dalam hal ini, pemerintah kita tidak mengesampingkan apa pun.”

    Rusia Menolak Kehadiran Militer Barat di Ukraina

    Moskow telah bereaksi negatif terhadap setiap diskusi mengenai pasukan Barat yang dikerahkan di Ukraina, dengan Dinas Intelijen Luar Negeri Rusia (SVR) sebelumnya mengklaim bahwa Barat sedang mempersiapkan untuk mengirim 100.000 tentara dengan kedok penjaga perdamaian.

    Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan bahwa misi penjagaan perdamaian apa pun harus disetujui oleh semua pihak yang terlibat. Ia menyatakan pada bulan November:

    “Pengerahan pasukan penjaga perdamaian hanya mungkin dilakukan dengan persetujuan pihak-pihak yang berkonflik.”

     

    SUMBER: AL MAYADEEN

  • Meningkatnya Risiko dalam Peliputan Berita di Kamboja

    Meningkatnya Risiko dalam Peliputan Berita di Kamboja

    Jakarta

    Pemerintah Kamboja dituduh sedang menargetkan para jurnalis, baik lokal maupun asing, yang meliput isu-isu sensitif. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah peliputan berita di negara Asia Tenggara tersebut menjadi semakin berisiko?

    Dalam salah satu insiden terbaru, jurnalis asal Inggris, Gerald Flynn, ditolak masuk kembali ke Kamboja di Bandara Internasional Siem Reap bulan lalu setelah berlibur singkat di negara tetangga, Thailand.

    Flynn mengatakan, pejabat imigrasi Kamboja mengatakan visa miliknya palsu dan ia “dilarang masuk secara permanen” ke Kamboja. Ia kemudian dipaksa naik pesawat kembali ke Thailand.

    Flynn merupakan staf penulis di Mongabay, sebuah situs berita konservasi yang berbasis di Amerika Serikat. Ia baru-baru ini berkontribusi dalam sebuah film dokumenter dari media Prancis tentang tantangan lingkungan di Kamboja, di mana temuan itu disebut pemerintah Kamboja sebagai “berita palsu.”

    Ancaman bahaya peliputan berita di Kamboja

    Nathan Paul Southern, seorang jurnalis sekaligus direktur pelaksana di Eyewitness Project, sebuah organisasi jurnalisme investigatif, secara rutin melaporkan berita di Kamboja dalam beberapa tahun terakhir. Ia memperingatkan, segala bentuk peliputan yang mempermalukan negara itu bisa berbahaya.

    “Di Kamboja, hampir semua orang menyensor diri sendiri, berhenti dari profesinya, atau melarikan diri. Melaporkan isu-isu lingkungan itu sangat berbahaya, tetapi meliput krisis lain yang mempermalukan pemerintah juga bisa membuat seseorang terbunuh atau dipenjara,” katanya kepada DW.

    Pada Desember tahun lalu, jurnalis isu lingkungan asal Kamboja, Chhoeung Chheng, ditembak saat sedang menyelidiki pembalakan liar atau penggundulan hutan ilegal di Provinsi Siem Reap. Ia kemudian meninggal akibat luka yang dideritanya. Pihak berwenang mengklaim telah menangkap pelaku penembakan dan menyatakan bahwa insiden itu adalah perselisihan pribadi.

    Kematian Chhoeung mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi satu dekade sebelumnya, ketika jurnalis Tiang Try ditembak dan dibunuh saat sedang menyelidiki pembalakan liar di Kamboja.

    Pihak berwenang Kamboja juga dituduh menindak para advokasi aktivis lingkungan dengan menjatuhkan hukuman penjara terberat.

    Pada Juli 2024, 10 anggota kelompok aktivis Mother Nature dijatuhi hukuman enam hingga delapan tahun penjara atas tuduhan bersekongkol melawan negara Kamboja.

    Para aktivis lingkungan itu sedang menyelidiki pencemaran limbah di Sungai Tonle Sap di Phnom Penh dan telah lama berkampanye menentang perusakan lingkungan di Kamboja, dengan tuduhan terkait dengan korupsi.

    “Pemerintah Kamboja semakin agresif terhadap segala bentuk kritik, sekecil apa pun, dan bagi banyak orang hal ini dapat mengancam nyawa atau mengubah hidup mereka secara drastis, baik bagi jurnalis yang berani dan berdedikasi seperti Gerry maupun bagi masyarakat biasa yang hanya mengungkapkan kekhawatirannya di Facebook,” kata Southern.

    “Jurnalis, aktivis, dan pekerja nonpemerintah asal Kamboja yang tidak memilih meninggalkan negara ini dengan berani mengambil risiko paling besar, tetapi mereka justru paling sedikit menerima dukungan dan perhatian internasional.”

    Memenjarakan para jurnalis

    Pada November 2024, Mech Dara, seorang jurnalis terkenal asal Kamboja, mengumumkan bahwa ia memilih berhenti dari profesinya dua bulan setelah ditangkap dan dihukum atas tuduhan penghasutan setelah menerbitkan laporan yang mengungkap skandal penipuan dan korupsi online. Dara menghabiskan lebih dari 30 hari dalam tahanan praperadilan dan masih menghadapi hukuman hingga dua tahun penjara.

    Tuduhan serupa juga dialami oleh jurnalis asal Kamboja lainnya, Sok Oudom, yang dijatuhi hukuman 20 bulan penjara pada 2020, karena dianggap telah menyiarkan berita palsu dengan tujuan menimbulkan hasutan.

    Sejak 2017, beberapa media di Kamboja juga dicabut izin penyiarannya, termasuk Voice of Democracy (VOD), salah satu media independen terakhir di Kamboja.

    Akibatnya, semakin banyak warga Kamboja yang beralih ke media sosial untuk mendapatkan asupan berita. Namun, mengunggah di media sosial pun juga berisiko bagi para jurnalis.

    Pada 2021, Khou Piseth didakwa atas tuduhan penghasutan setelah mengkritik pejabat di media sosial Facebook terkait kebijakan COVID-19, menurut laporan berita. Pada tahun yang sama, Youn Chhiv, yang mengelola situs Koh Kong Hot News, dijatuhi hukuman satu tahun penjara setelah ia “mengunggah komentar yang menimbulkan keresahan” di Facebook, menurut Vey Phearom, wakil jaksa di pengadilan provinsi Koh Kong.

    Serangan terhadap jurnalisme

    Aliansi Jurnalis Kamboja (CamboJA), sebuah asosiasi jurnalis berbasis keanggotaan yang bersifat netral secara politik, telah mencatat setidaknya ada 14 kasus di mana jurnalis menjadi target secara hukum atau fisik dari Juli hingga September 2024.

    Nop Vy, Direktur Eksekutif CamboJA, mengatakan bahwa pemerintah Kamboja semakin tidak toleran terhadap jurnalisme investigatif.

    “Kami (telah) menemukan bahwa hukum pidana (Kamboja) lebih sering (digunakan) untuk melawan jurnalis, bukan hukum perdata atau pers, dan itu membuat suasana yang menakutkan bagi pers,” katanya kepada DW melalui email.

    “Keputusan pemerintah Kamboja untuk menolak masuknya jurnalis asal Inggris, Gerald Flynn, ke Kamboja dan melarangnya dari negara ini adalah serangan terang-terangan terhadap jurnalisme dan menjadi contoh lain dari ketidaktoleranan otoritas Kamboja terhadap jurnalisme yang kritis dan investigatif.”

    Menanggapi kekhawatiran terkait kebebasan pers itu, Kementerian Informasi Kamboja menegaskan komitmen pihaknya untuk terus melindungi jurnalis dan menjamin kebebasan pers di negara itu.

    Dalam pernyataan yang dimuat oleh The Phnom Penh Post mengenai kondisi media di Kamboja pada 2024, seorang juru bicara kementerian bertekad untuk terus menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para jurnalis di Kamboja, mendukung pengembangan profesional mereka, dan menegakkan kebebasan pers.

    “Kami mendesak semua jurnalis untuk bekerja dengan jujur, integritas, dan tanpa keberpihakan, menjaga martabat dan disiplin, serta mengedepankan kepentingan publik, mematuhi standar etika, dan menghormati prinsip-prinsip jurnalistik guna meningkatkan nilai dan kualitas jurnalisme serta keberlanjutan sektor media di Kamboja,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

    Dinasti yang berkuasa

    Partai Rakyat Kamboja (CPP) telah berkuasa sejak 1979 di negara itu. Banyak kritikus menyebut para pemimpin Kamboja ini sebagai “Dinasti Hun.”

    Mantan Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen telah memimpin negara ini selama hampir empat dekade, sebelum akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada putranya, PM Hun Manet, pada 2023.

    Di bawah kepemimpinan keduanya, pemerintah Kamboja semakin memperketat cengkeramannya dengan melarang adanya oposisi politik, menargetkan media independen, serta menindak para kritikus dan pembangkang baik di dalam maupun luar negeri.

    Aleksandra Beilakowska, manajer advokasi di Reporters Without Borders (RSF), memperingatkan bahwa Kamboja telah menekan para media independen untuk mengendalikan opini publik dan semakin memperkuat kekuasaan dinasti itu.

    “Dengan menekan jurnalis, pemerintah Kamboja mengirimkan pesan menakutkan dan mengancam siapa pun yang masih mencoba meminta pertanggungjawaban dari para penguasa,” katanya.

    Kamboja kini berada di peringkat ke-151 dari 180 negara dan wilayah, dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia laporan RSF. Posisi Kamboja itu turun sembilan peringkat dalam dua tahun terakhir.

    Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Macron Tawarkan Prancis sebagai Gerbang India ke Eropa

    Macron Tawarkan Prancis sebagai Gerbang India ke Eropa

    Jakarta

    Perdana Menteri India Narendra Modi mengakhiri lawatannya ke Prancis pekan dengan mengunjungi Marseille, kota pelabuhan di Mediterania. Presiden Prancis Emmanuel Macron mempromosikan Marseille sebagai pintu gerbang utama Eropa bagi Koridor Ekonomi India-Timur Tengah-Eropa, IMEC.

    IMEC, yang diumumkan pada KTT G20 2023 di New Delhi, adalah proyek jalur rel dan maritim yang bertujuan meningkatkan perdagangan antara India dan Eropa melalui Israel, Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi. Koridor ini disebut-sebut sebagai pesaing potensial bagi inisiatif Sabuk dan Jalan, BRI, milik Cina.

    Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Joe Biden, memimpin inisiatif ini dengan dukungan Prancis, Italia, dan Jerman yang bergabung bersama India, Arab Saudi, serta UEA sebagai penandatangan perjanjian.

    “Marseille bisa menjadi pintu masuk utama ke pasar Eropa,” kata Macron, menggambarkan IMEC sebagai “katalis luar biasa” bagi proyek investasi dan kerja sama konkret.

    Di Marseille, Modi menghadiri presentasi CMA CGM Group, perusahaan logistik dan perkapalan Prancis yang ingin berkontribusi dalam merealisasikan IMEC.

    “Saat India memperluas jaringan perdagangan dan maritimnya, kerja sama dengan para pemimpin industri akan berperan penting dalam meningkatkan konektivitas, rantai pasokan, dan pertumbuhan ekonomi,” tulis Modi di media sosial.

    Prancis Incar Peran Sentral

    Tahun lalu, Macron menunjuk utusan khusus untuk IMEC guna memperkuat peran Prancis dalam proyek ini.

    Namun, analis India Swasti Rao mengatakan bahwa meskipun Prancis bisa menjadi jalur utama perdagangan India dengan Uni Eropa, Marseille bukan satu-satunya opsi.

    “Pelabuhan Marseille memang memiliki kapasitas besar, tetapi India juga mempertimbangkan opsi lain, seperti Pelabuhan Trieste di Italia,” katanya kepada DW.

    Italia bahkan dikabarkan akan menunjuk utusan khusus untuk IMEC guna memperdalam keterlibatannya dalam proyek ini.

    IMEC Hadapi Tantangan Besar

    Para ahli menilai IMEC menghadapi berbagai tantangan, mengingat pembangunan sepanjang 4.800 kilometer jalur pelabuhan, rel, dan infrastruktur transportasi lainnya yang melewati zona geopolitik sensitif.

    Arab Saudi telah mengumumkan investasi senilai USD20 miliar Namun, jumlah itu dinilai belum cukup untuk membangun infrastruktur yang diperlukan. Hingga kini, Uni Eropa belum mengalokasikan dana untuk proyek ini.

    Koridor IMEC dirancang untuk mengangkut barang dari India melalui Pelabuhan Khalifa di UEA, kemudian diteruskan dengan kereta melalui Arab Saudi dan Yordania ke Pelabuhan Haifa di Israel, sebelum dikirim ke Eropa melalui Laut Mediterania. Namun, banyak jalur rel di Timur Tengah masih belum tersedia.

    Saat ini, Cina adalah eksportir terbesar ke UE, sementara India berada di peringkat kesembilan. India masih sangat bergantung pada impor dari Cina, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa rantai pasokannya tetap terhubung dengan ekonomi Cina, membuat negara-negara Eropa tetap rentan terhadap dominasi pasokan dari Beijing.

    Perang Israel-Hamas yang berkecamuk sejak serangan Hamas pada 7 Oktober telah menghambat upaya normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, menimbulkan keraguan atas kelangsungan IMEC melalui Timur Tengah.

    Prancis Jadi Mitra Strategis India di Eropa

    Meskipun IMEC menghadapi banyak tantangan, kunjungan Modi ke Prancis menunjukkan bahwa India tetap berupaya memperkuat hubungan bilateral dan perdagangan dengan Prancis.

    “Dari perspektif India, IMEC adalah cara ideal untuk membuka jalur perdagangan baru. Namun, situasi di Timur Tengah mengubah strategi,” kata analis Rao.

    “Kini India berupaya memperkuat konektivitas dengan Eropa, baik melalui IMEC maupun jalur lainnya,” tambahnya.

    „Prancis adalah pusat strategis India di Eropa,” ujarnya, menegaskan bahwa kerja sama bilateral bertujuan meningkatkan perdagangan India dengan UE, terlepas dari apakah IMEC benar-benar terwujud.

    India Incar Jet Tempur Prancis

    Selain perdagangan, kerja sama pertahanan juga menjadi pilar utama hubungan India-Prancis.

    Sumber DW melaporkan bahwa India berencana membeli 26 jet tempur Rafale buatan Prancis, menambah 33 unit yang sudah dimiliki Angkatan Udara India, IAF.

    India juga tengah mempertimbangkan pembelian tiga kapal selam Scorpene dari Prancis, melengkapi enam unit yang telah dibeli sebelumnya. Total nilai kontrak pertahanan ini mencapai €10,6 miliar.

    “Militer India tidak lagi tertarik pada peralatan Rusia,” ujar analis pertahanan Rahul Bedi dari New Delhi, merujuk pada dampak perang Ukraina terhadap reputasi senjata Rusia.

    Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI, tahun lalu, Prancis kini menjadi eksportir senjata terbesar kedua di dunia, menggeser Rusia ke posisi ketiga.

    Pada KTT Kecerdasan Buatan (AI) di Paris, Modi duduk di antara Macron dan Wakil Presiden AS JD Vance, menegaskan persaingan Prancis dan AS dalam menjual peralatan militer ke India, yang merupakan pengimpor senjata terbesar di dunia.

    Setelah meninggalkan Prancis, Modi bertolak ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan Presiden Donald Trump, yang mengumumkan rencana peningkatan penjualan senjata AS ke India senilai miliaran dolar, termasuk jet tempur.

    Namun, analis India menilai New Delhi lebih memilih peralatan militer Prancis, meskipun harganya lebih mahal.

    “Peralatan Prancis lebih mahal dibanding buatan AS, tetapi memiliki lebih sedikit pembatasan,” kata Bedi.

    “Amerika Serikat menerapkan banyak protokol mengenai di mana dan terhadap siapa peralatan dapat digunakan. Prancis jauh lebih fleksibel,” tambahnya.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Hasil Pertemuan Kemkomdigi Seusai Hadiri AI Action Summit Paris

    Hasil Pertemuan Kemkomdigi Seusai Hadiri AI Action Summit Paris

    Menteri Komunikasi Digital Meutya Hafid menghadiri pertemuan Tingkat Tinggi Aksi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence Action Summit (AIAS) yang berlangsung di Paris, Prancis pada 10-11 Februari 2025. Wamen Komdigi Nezar Patria pun ungkapkan hasil pertemuan tersebut, berikut selengkapnya.

  • Macron Ingin Perdamaian di Ukraina Langgeng, Harap Ada Jaminan Keamanan

    Macron Ingin Perdamaian di Ukraina Langgeng, Harap Ada Jaminan Keamanan

    Jakarta

    Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan pembicaraan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melalui telepon. Macron berharap perdamaian di Ukraina harus disertai dengan jaminan keamanan yang kuat dan kredibel.

    “Kami menginginkan perdamaian yang kuat dan langgeng di Ukraina. Untuk mencapainya, Rusia harus mengakhiri agresinya, dan ini harus disertai dengan jaminan keamanan yang kuat dan kredibel bagi Ukraina,” kata Macron di platform media sosial X, dilansir AFP, Selasa (18/2/2025).

    “Jika tidak, ada risiko bahwa gencatan senjata ini akan berakhir seperti perjanjian Minsk,” katanya, merujuk pada pakta yang berupaya mengakhiri konflik di Ukraina timur pada tahun 2014 dan 2015.

    Panggilan telepon dengan Zelensky dilakukan setelah Macron menggelar pertemuan darurat di Paris dengan para pemimpin Eropa untuk membahas respons terhadap perubahan kebijakan AS terhadap Ukraina yang diprakarsai Presiden AS Donald Trump.

    Para pemimpin Eropa khawatir Trump ingin berdamai dengan Rusia dalam pembicaraan yang tidak akan melibatkan Kyiv, apalagi Uni Eropa.

    Sementara itu, Zelensky menyebut Macron menyampaikan kepadanya tentang isi pembicaraan dengan para pemimpin Eropa. Zelensky menilai pemimpin Eropa memiliki “visi bersama” tentang cara mencapai perdamaian.

    “Kami memiliki visi bersama: jaminan keamanan harus kuat dan dapat diandalkan,” katanya di X.

    “Keputusan lain apa pun tanpa jaminan tersebut-seperti gencatan senjata yang rapuh-hanya akan menjadi tipuan lain oleh Rusia dan awal dari perang Rusia baru melawan Ukraina atau negara-negara Eropa lainnya,” tambahnya.

    (yld/zap)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jarak Arab Saudi dan UEA Sejauh Jakarta-Bengkulu, Tempat Zelensky Tak Diundang Perundingan AS-Rusia – Halaman all

    Jarak Arab Saudi dan UEA Sejauh Jakarta-Bengkulu, Tempat Zelensky Tak Diundang Perundingan AS-Rusia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pada Selasa (18/2/2025) pembicaraan antara wakil Amerika Serikat (AS) dengan Rusia jadwalnya digelar di Arab Saudi.

    Beredar luas pertemuan dua negara besar tersebut untuk membahas potensi berakhirnya perang Rusia-Ukraina.

    Namun dalam kesempatan itu, pihak Ukraina tak diundang.

    Padahal belum lama ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy  juga mengunjungai Uni Emirat Arab (UEA) yang jaraknya sekitar 851 kilometer jauhnya.

    Atau jika dibandingkan di Indonesia, jarak tersebut sama dengan jarak Jakarta ke Bengkulu.

    Adapun Zelenskyy bertemu dengan pemimpin Uni Emirat Arab pada hari Senin saat momentum tumbuh untuk potensi perundingan perdamaian yang mengakhiri perang Moskow di negara itu.

    Presiden AS Donald Trump minggu lalu mengisyaratkan akan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Arab Saudi. UEA, tempat Abu Dhabi dan Dubai bernaung, telah lama disebut-sebut sebagai tempat yang memungkinkan untuk perundingan perdamaian.

    Hal ini mengingat populasi besar ekspatriat Rusia dan Ukraina yang telah membanjiri negara itu sejak perang dimulai, dan karena upaya UEA dalam pertukaran tahanan di masa lalu.

    Zelenskyy tiba di Abu Dhabi pada Minggu malam setelah menghadiri Konferensi Keamanan Munich di Jerman. Rekaman yang dirilis oleh kantornya menunjukkan dia dan istrinya, Olena Zelenska, disambut oleh seorang pejabat Emirat dan pasukan kehormatan di bandara pada Minggu malam.

    Zelenskyy telah melakukan perjalanan ke UEA sejak invasi besar-besaran Rusia pada tahun 2022, tetapi perjalanan ini adalah yang pertama bagi Zelenskyy ke UEA sejak perang dimulai.

    “Prioritas utama kami adalah memulangkan lebih banyak warga kami dari tahanan,” kata kantor Zelensky dalam pesan daring, seperti dikutip dari PBS.

    “Kami juga akan fokus pada investasi dan kemitraan ekonomi, serta program kemanusiaan berskala besar.”

    Kantor berita WAM milik pemerintah Uni Emirat Arab tidak segera melaporkan kedatangan Zelenskyy, yang merupakan hal yang tidak biasa.

    Kemudian pada hari Senin, kantor Zelenskyy mengunggah video pertemuannya dengan Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, pemimpin UEA dan penguasa Abu Dhabi.

    Zelenskyy mengatakan pertemuan tersebut melibatkan pejabat yang menandatangani kesepakatan yang “meliberalisasi akses ke pasar UEA secara maksimal untuk hampir semua barang Ukraina.”

    Menteri Ekonomi Ukraina Yuliia Svyrydenko dalam sebuah posting Facebook menyebut kesepakatan itu “benar-benar peristiwa bersejarah” karena merupakan kesepakatan pertama negara itu dengan negara Teluk Arab. Para pejabat juga sepakat untuk membentuk Dewan Investasi Ukraina-UEA.

    “Saya yakin bahwa perjanjian ini akan memberikan dorongan kuat bagi perekonomian kita, memperkuat kerja sama di sektor-sektor utama, dan meletakkan dasar bagi keterlibatan jangka panjang yang stabil antara negara kita,” tulis menteri tersebut.

    Kunjungan Zelensky ke Abu Dhabi dilakukan saat negara itu menjadi tuan rumah Pameran dan Konferensi Pertahanan Internasional dua tahunan yang memamerkan senjata minggu ini, tempat Ukraina dan Rusia memamerkan senjata — bahkan saat Moskow menghadapi sanksi Barat atas perang tersebut.

    Meskipun Ukraina tidak menjual senjata apa pun, kehadirannya di pameran itu sangat penting, kata Ivan Sybyriakov, manajer senior Pusat Sistem Tak Berawak di SPETS Techno Export.

    “Sangat penting untuk menunjukkan bahwa Ukraina bukanlah korban perang,” katanya. “Ukraina adalah pembela Eropa.”

    Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha mengunjungi stan Ukraina pada Senin sore, bahkan saat Rusia mencoba menjual helikopter dan persenjataan lainnya di pameran tersebut.

    “Kapasitas kami sekarang bisa memproduksi 4 juta pesawat nirawak per tahun meskipun ada perang,” kata Sybiha kepada wartawan. 

    “Kami bisa menguji pesawat nirawak atau produk kami langsung di medan perang. Itulah sebabnya kualitasnya sangat tinggi. Jadi saya sangat bangga, sebagai menteri dari negara yang sedang berperang, bisa mengunjungi pameran ini.”

    Uang Rusia terus membanjiri pasar real estat Dubai yang sedang naik daun. Penerbangan harian antara Emirates dan Moskow menyediakan jalur penyelamat bagi mereka yang melarikan diri dari wajib militer dan kaum elit Rusia. Departemen Keuangan AS di bawah mantan Presiden Joe Biden juga menyatakan kekhawatiran tentang jumlah uang tunai Rusia yang mengalir ke negara Jazirah Arab tersebut.

    Kunjungan Zelenskyy dilakukan setelah Denis Manturov, wakil perdana menteri pertama Rusia, berkunjung pada hari Minggu sebelumnya bersama pemimpin UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, presiden negara tersebut dan penguasa Abu Dhabi. Sebuah pernyataan dari WAM menggambarkan pembicaraan tersebut berfokus pada “pengembangan hubungan UEA-Rusia dan cara-cara untuk memajukan kepentingan bersama, yang menguntungkan kedua negara dan rakyatnya.”

    Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio memimpin delegasi ke Arab Saudi minggu ini untuk melakukan pembicaraan langsung dengan Rusia mengenai perang tersebut. Ia akan bertemu dengan mitranya dari Rusia, Sergei Lavrov, dan pejabat lainnya di Arab Saudi pada hari Selasa. Ukraina tidak akan hadir dalam pembicaraan tersebut.

    Jangkauan dan panggilan langsung Trump dengan Putin telah menjungkirbalikkan kebijakan AS selama bertahun-tahun di bawah Biden yang mengisolasi Moskow atas invasi skala penuh ke Ukraina pada 24 Februari 2022.

    Sybiha menolak menjawab pertanyaan dari seorang wartawan tentang apa yang akan dia katakan kepada mitranya dari Amerika menjelang pertemuan tersebut.

    AS DAN RUSIA

    Diplomat tertinggi AS akan bertemu pejabat Rusia di Riyadh bersama penasihat keamanan nasional Presiden AS Donald Trump Mike Waltz dan utusan Gedung Putih untuk Timur Tengah Steve Witkoff, menurut laporan.

    Rubio dilaporkan melakukan panggilan telepon dengan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov pada hari Sabtu. Belum diketahui siapa saja perwakilan Rusia yang akan hadir.

    Pembicaraan tersebut menandai salah satu diskusi tatap muka tingkat tinggi pertama antara pejabat Rusia dan Amerika dalam beberapa tahun.

    Hal ini terjadi menjelang pertemuan yang diantisipasi antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Presiden AS Donald Trump mengatakan Presiden Putin ingin “menghentikan pertempuran” di Ukraina, diberitakan LBC.

    Sementara itu, para pemimpin Eropa tidak diundang ke perundingan damai di Arab Saudi, utusan Trump untuk Ukraina mengonfirmasi pada hari Sabtu. Namun, mereka akan membahas langkah mereka selanjutnya pada pertemuan puncak Paris pada hari Senin yang diketuai oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron.

    Perdana Menteri Sir Keir Starmer dan Kanselir Jerman Olaf Scholz telah diundang ke pertemuan yang diatur tergesa-gesa untuk membahas langkah Ukraina selanjutnya saat Eropa berebut tempat di meja perundingan. 

    Sir Keir mengatakan dia akan menghadiri pertemuan darurat tersebut dengan “pesan yang sangat jelas untuk teman-teman Eropa kita”.

    Dalam tulisannya di The Telegraph , ia menekankan bahwa “peran apa pun dalam membantu menjamin keamanan Ukraina berarti membantu menjamin keamanan benua kita, dan keamanan negara ini.”

    Ia berkata: “Kita harus menunjukkan bahwa kita benar-benar serius tentang pertahanan kita sendiri dan menanggung beban kita sendiri. Kita sudah membicarakannya terlalu lama – dan Presiden Trump benar menuntut kita untuk melanjutkannya.

    “Sebagai negara Eropa, kita harus meningkatkan anggaran pertahanan dan mengambil peran yang lebih besar di NATO. Negara-negara NATO non-AS telah meningkatkan anggaran pertahanan sebesar 20 persen tahun lalu, tetapi kita harus melangkah lebih jauh.”

    Perdana Menteri juga mengatakan dia siap untuk mengirim “siap dan bersedia” untuk dikerahkan tentara Inggris sebagai bagian dari jaminan keamanan yang ditawarkan dalam setiap kesepakatan damai.

    Mendukung rencana tersebut, Menteri Kesehatan Wes Streeting mengatakan kepada LBC bahwa memastikan perdamaian di Ukraina sangat penting bagi keamanan Inggris.

    Ia mengatakan kepada Nick Ferarri: “Saya sangat yakin, seperti halnya Perdana Menteri, bahwa Ukraina adalah garis depan, bukan hanya pertahanan, kebebasan, dan keamanan Ukraina, tetapi juga kebebasan dan keamanan Inggris dan seluruh benua.”

    Streeting menambahkan: “Yang ingin disampaikan Perdana Menteri adalah bahwa selain mengamankan berakhirnya perang, kita juga perlu mengamankan perdamaian.”

    (Tribunnews.com/ Chrysnha)

  • Warga Ukraina Galau Ingin Perang Berakhir tapi Khawatir Merugi, Harap Harap Cemas – Halaman all

    Warga Ukraina Galau Ingin Perang Berakhir tapi Khawatir Merugi, Harap Harap Cemas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Setelah hampir tiga tahun hidup di bawah ancaman serangan udara Rusia secara terus-menerus sementara pasukan mereka bertempur dalam kampanye melelahkan melawan invasi Rusia, banyak warga Ukraina yang mendambakan berakhirnya perang.

    Tetapi mereka sekarang khawatir perang dapat berakhir dengan kondisi yang tidak menguntungkan alias merugi.

    Para pejabat tinggi AS dan Rusia berencana bertemu pada hari Selasa (18/2/2025) di Arab Saudi untuk membahas diakhirinya perang tanpa partisipasi Kyiv.

    Hal ini membuat jengkel sebagian warga Ukraina yang khawatir mereka akan dikesampingkan, sperti diberitakan ABC News.

    “Kita sedang dihancurkan, Ukraina menderita, Ukraina sedang berperang. Dan presiden kita tidak ikut serta?” kata Lidiia Odyntsova, 71 tahun, dengan rasa tidak percaya terhadap perundingan yang akan datang.

    “Kita adalah korban. Kita harus menjadi yang pertama dalam perundingan ini.”

    Berdiri dengan air mata di matanya di samping tugu peringatan yang tertutup salju untuk mengenang tentara Ukraina yang gugur di pusat kota Kyiv.

    “Saya tidak akan memaafkan mereka! Saya tidak akan pernah memaafkan!”

    Meskipun Ukraina tidak akan ambil bagian dalam pembicaraan hari Selasa, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Tammy Bruce mengatakan setiap perundingan perdamaian yang sebenarnya hanya akan terjadi dengan keterlibatan Ukraina.

    Meski demikian, banyak warga Ukraina yang mengamati serangkaian perkembangan dari Amerika Serikat dengan rasa khawatir. 

    Media sosial Ukraina dibanjiri dengan unggahan yang mencerminkan kegelisahan mendalam, dan banyak yang tetap terpaku pada ponsel mereka dengan cemas untuk mendapatkan informasi terkini.

    Presiden AS Donald Trump minggu lalu mengirimkan gelombang kejut ke kedua sisi Atlantik setelah ia setuju melalui telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk memulai negosiasi — yang secara tiba-tiba membatalkan upaya lama yang dipimpin AS untuk mengisolasi Moskow atas invasinya.

    Itu terjadi pada hari yang sama ketika Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengatakan keanggotaan NATO untuk Ukraina tidak realistis dan menyarankan Kyiv harus meninggalkan harapan untuk memenangkan kembali semua wilayahnya dari Rusia, yang menandakan pandangan tentang penyelesaian potensial yang sangat dekat dengan Moskow .

    Ukraina, yang perlahan-lahan kehilangan tempat di bawah kekuatan militer Rusia yang lebih besar, sudah menghadapi posisi negosiasi yang sulit, dan komentar Hegseth meredam dua aspirasi utama Ukraina.

    Meskipun dukungan untuk mengakhiri pertempuran di antara penduduk negara yang lelah perang tersebar luas, masih ada kesepakatan luas bahwa hal itu tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan mereka yang tinggal di wilayah yang diduduki Rusia atau dengan risiko serangan Moskow di masa mendatang.

    Berbicara kepada program “Sunday Morning Futures” di Fox News Channel, Utusan Khusus AS Steve Witkoff tidak langsung menanggapi pertanyaan tentang apakah Ukraina harus menyerahkan “sebagian besar” wilayahnya. 

    “Itu rinciannya, dan saya tidak mengabaikan rinciannya, itu penting. Namun, saya pikir awalnya di sini adalah membangun kepercayaan,” katanya.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menolak perundingan yang akan datang, dengan mengatakan bahwa perundingan tersebut “tidak akan membuahkan hasil” karena tidak adanya pejabat Ukraina.

    Valerii Semenii, pria berusia 59 tahun yang bertempur bersama angkatan bersenjata Ukraina, mengatakan ia mengkhawatirkan hal terburuk.

    “Trump sedang bergerak menuju perang dunia, karena agresor tidak dapat ditenangkan,” kata Semenii.

    “Dia tidak tahu sejarah, karena mungkin hari ini Anda akan menenangkan (Putin), tetapi besok akan memicu perang dunia. Tidak ada lagi yang dapat saya katakan tentang negosiasi ini.”

    Sentimen tersebut mencerminkan ketakutan banyak orang di pemerintahan dan penduduk Ukraina bahwa mengakhiri pertempuran tanpa membangun infrastruktur keamanan yang berkelanjutan untuk mencegah agresi Rusia di masa mendatang akan memberi Moskow waktu untuk berkumpul kembali dan melancarkan serangan di masa mendatang, baik di Ukraina maupun kawasan yang lebih luas.

    “Kita harus memahami bahwa Rusia merupakan bahaya bukan hanya bagi Ukraina,” kata Oleksandr Shyrshyn, seorang komandan batalion yang bertempur di wilayah Rusia, Kursk, tempat pasukan Ukraina telah menduduki beberapa wilayah tetapi menderita kerugian besar. Negara-negara Eropa “harus ikut ambil bagian dalam negosiasi ini juga karena, seperti yang kita lihat, seluruh Eropa takut pada Rusia dan mereka tidak menginginkan skenario yang sama seperti yang kita alami.”

    Shyrshyn mengatakan bahwa ia yakin kedua tujuan utama Ukraina — pemulihan wilayah yang diduduki Rusia dan keanggotaan dalam aliansi militer NATO — akan dapat dicapai jika pemerintahan Trump “mendukung kami dengan seluruh kekuatan mereka.”

    “Jika AS tidak bersedia mendukung kami, kami akan mengalami lebih banyak kematian, lebih banyak kerugian,” katanya, “tetapi kami akan terus berjuang, karena ini menyangkut eksistensi kami.”

    Bantah Tudingan Eropa

    Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, pada hari Minggu (16/2/2025) menegaskan bahwa Uni Eropa akan ikut serta menjadi bagian dari setiap “perundingan nyata” untuk mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina.

    Pernyataan ini, dikemukakan Rubio guna menjawab sejumlah tudingan yang keluar setelah munculnya kabar AS bakal menggelar pertemuan minggu ini dengan Rusia.

    Rubio membantah tudingan yang menyebut, Uni Eropa tak akan dilibatkan dalam negosiasi damai di Ukraina setelah Rusia dan Amerika Serikat menggelar pertemuan di Arab Saudi dalam beberapa hari mendatang.

    Dikutip dari wawancaranya dengan CBS, Rubio mengatakan, proses perundingan belum dimulai secara serius kala kedua negara bertemu di Saudi pekan ini.

    Diplomat Amerika tersebut, mengaku Uni Eropa baru dilibatkan jika pembicaraan terkait negosiasi damai berkembang.

    Rubio memastikan, Ukraina dan negara-negara Eropa lainnya akan dilibatkan dalam setiap perundingan yang bermakna.

    “Pada akhirnya, kita harus menunggu hingga mencapai titik di mana pertemuan ini (dengan Rusia) menghasilkan sebuah perundingan nyata, dan kita belum sampai di sana” ungkap Rubio dalam acara “Meet the Press” di CBS.

    “Akan tetapi, jika kesepakatan itu terjadi, Ukraina harus dilibatkan karena mereka negara yang diserang, dan Eropa harus dilibatkan karena mereka juga memberlakukan sanksi terhadap Putin dan Rusia,” lanjut Rubio.

    “Tapi terus terang, Kita belum sampai di tahapan sana,” pungkas mantan senator Florida tersebut.

    Sebelumnya pada hari Minggu, Reuters melaporkan bahwa pejabat AS telah memberikan kuesioner kepada pejabat Eropa, antara lain menanyakan berapa banyak pasukan yang dapat mereka sumbangkan untuk menegakkan kesepakatan damai antara Ukraina dan Rusia.

    “Presiden Trump berbicara dengan Vladimir Putin minggu lalu, dan dalam percakapan itu, Vladimir Putin menyatakan minatnya pada perdamaian, dan presiden menyampaikan keinginannya untuk melihat konflik ini berakhir dengan cara yang tahan lama serta melindungi kedaulatan Ukraina,” kata Rubio.

    “Sekarang, jelas itu harus diikuti dengan tindakan, jadi beberapa minggu dan hari ke depan akan menentukan apakah ini serius atau tidak. Pada akhirnya, satu panggilan telepon belum bisa menciptakan perdamaian.” sambung Rubio

    Rubio mengatkan, pertemuan di Arab Saudi bukanlah hal yang mendadakan karena dirinya sebelumnya sudah dijadwalkan untuk melakukan kunjungan resmi jauh hari sebelum dialog dengan Rusia diumumkan.

    Ia juga mengaku bahwa komposisi delegasi Rusia yang akan ditemuinya masih belum final.

    Ketika ditanya apakah ia telah membahas pencabutan sanksi terhadap Rusia selama panggilan telepon dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada hari Sabtu (15/2/2025), Rubio menolak memberikan konfirmasi.

    Rubio hanya mengatakan, mereka tidak membahas detail pembicaraan apa pun untuk saat ini.

    Di lain pihak, Moskow menyatakan, kedua belah pihak telah membahas penghapusan “hambatan sepihak” yang diberlakukan oleh pemerintahan AS sebelumnya dalam hubungan dengan Rusia.

    Rubio mengatakan, ia memang membahas kondisi operasional “yang sulit” dari kedutaan AS di Moskow dengan Lavrov.

    Jika ada kemajuan dalam upaya perdamaian di Ukraina, baik Rusia maupun AS membutuhkan kedutaan yang berfungsi dengan baik di negara masing-masing, tambahnya.

    Kekhawatiran Uni Eropa

    EMMANUEL MACRON – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Jumat (14/2/2025) yang menampilkan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Emmanuel Macron menghelat KTT darurat Uni Eropa pada hari Senin (17/2/2025) terkait perang di Ukraina. (Tangkap layar YouTube Al Jazeera English)

    Prasangka buruk terhadap pertemuan antara AS dan Rusia ini secara terang-terangan disampaikan oleh sejumlah pemimpin di negara-negara Uni Eropa.

    Hal ini terlihat dari upaya Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang menghelat KTT darurat Uni Eropa pada hari Senin (17/2/2025) terkait perang di Ukraina.

    KTT darurat tersebut, digelar karena banyak pejabat di Uni Eropa yang mengaku terkejut dan “terguncang” oleh langkah-langkah administrasi Trump terkait Ukraina, Rusia, dan pertahanan Eropa dalam beberapa hari terakhir.

    Kekhawatiran utama mereka adalah bahwa mereka tidak lagi dapat mengandalkan perlindungan militer AS.

    Selain itu, sejumlah petinggi Uni Eropa menilai Trump akan berusaha menandatangani kesepakatan damai dengan Putin secara sepihak tanpa mengikutsertakan masukan dari Uni Eropa di dalamnya.

    Upaya tersebut, diyakini Uni Eropa dilakukan Trump dan Putin untuk melemahkan Kyiv dan keamanan kontinental Eropa secara keseluruhan.

    Adapun pembicaraan yang direncanakan di Arab Saudi pada minggu ini, juga bertepatan dengan upaya AS untuk mencapai kesepakatan dengan Kyiv guna menguasai kekayaan sumber daya alam Ukraina.

    Dalam wawancara dengan NBC yang disiarkan pada hari Minggu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mempertanyakan apakah mineral di wilayah yang dikuasai Rusia akan diberikan kepada Putin.

    Trump, yang melakukan panggilan dengan Putin pada hari Rabu (12/2/2025) menyatakan bahwa pemimpin Rusia itu menginginkan perdamaian.

    Ia juga mengatakan pada hari Minggu bahwa Putin tidak akan berusaha menguasai seluruh wilayah Ukraina.

    “Itu akan menjadi masalah besar bagi saya, karena Anda tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Saya pikir dia ingin mengakhirinya,” kata Trump kepada wartawan di West Palm Beach, Florida.

    Trump menambahkan bahwa Zelenskyy akan dilibatkan dalam pembicaraan untuk mengakhiri konflik tersebut.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha, Bobby)

    Artikel Lain Terkait Donald Trump dan Konflik Rusia vs Ukraina

  • Bertemu di Arab Saudi Hari Ini, Pejabat Senior AS dan Rusia Akan Bahas Akhir Perang Ukraina – Halaman all

    Bertemu di Arab Saudi Hari Ini, Pejabat Senior AS dan Rusia Akan Bahas Akhir Perang Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pejabat senior Amerika Serikat (AS) dan Rusia, termasuk diplomat tinggi kedua negara, akan mengadakan pembicaraan di Arab Saudi pada Selasa (18/2/2025).

    Pembicaraan digelar untuk meningkatkan hubungan mereka dan merundingkan diakhirinya perang di Ukraina, kata Kremlin pada Senin (17/2/2025).

    Ini akan menjadi pertemuan paling penting antara kedua belah pihak sejak invasi besar-besaran Moskow ke negara tetangganya, Ukraina, hampir tiga tahun lalu.

    Pembicaraan yang dijadwalkan digelar di Arab Saudi itu, menandai langkah penting lainnya oleh pemerintahan Donald Trump untuk membalikkan kebijakan AS dalam mengisolasi Rusia, dan dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Dilansir AP News, langkah-langkah tersebut telah membuat Kyiv dan sekutu-sekutu utamanya berebut untuk memastikan tempat di meja perundingan di tengah kekhawatiran bahwa Washington dan Moskow dapat terus maju dengan kesepakatan yang tidak akan menguntungkan mereka.

    Sementara, Prancis menyerukan pertemuan darurat negara-negara Uni Eropa dan Inggris pada hari Senin untuk memutuskan cara menangani serangan diplomatik AS terhadap perang tersebut.

    Zelensky Akan Kunjungi Arab Saudi

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky akan mengunjungi Arab Saudi pada Rabu (19/2/2025), satu hari setelah pertemuan di sana antara pejabat tinggi Rusia dan AS.

    Hal ini sebagaimana disampaikan juru bicara pemimpin Ukraina itu, Sergiy Nykyforov, kepada AFP.

    Zelensky telah mengumumkan perjalanan itu bersama dengan persinggahan di Uni Emirat Arab (UEA) dan Turki minggu lalu tanpa memberikan tanggal, menambahkan bahwa ia tidak punya rencana untuk bertemu dengan pejabat Rusia atau AS.

    Sergiy Nykyforov mengatakan, Zelensky akan mengunjungi Arab Saudi bersama istrinya sebagai bagian dari kunjungan resmi yang “telah direncanakan sejak lama”.

    Perjalanannya akan dilakukan satu hari setelah Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov bertemu dengan pejabat AS sebagai bagian dari apa yang dikatakan Kremlin sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan Moskow dengan Washington.

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mendarat pada hari Senin di Arab Saudi di mana ia akan berbicara dengan para pejabat di Gaza.

    Zelensky mengatakan pada hari Senin bahwa Kyiv tidak tahu apa-apa tentang pembicaraan minggu ini.

    Ia menambahkan dalam komentar yang dimuat oleh kantor berita Interfax-Ukraina bahwa negara itu “tidak dapat mengakui hal-hal atau perjanjian apa pun tentang kami tanpa kami. Dan kami tidak akan mengakui perjanjian tersebut.”

    Sebagai informasi, Riyadh, yang juga terlibat dalam pembicaraan dengan Washington mengenai masa depan Jalur Gaza, telah memainkan peran dalam kontak awal antara pemerintahan Trump, yang mulai menjabat pada 20 Januari 2025, dan Moskow, membantu mengamankan pertukaran tahanan minggu lalu.

    Diplomat tinggi AS Rubio, yang berbicara melalui telepon dengan mitranya dari Rusia Lavrov pada hari Sabtu, mengatakan pada hari Minggu bahwa minggu-minggu dan hari-hari mendatang akan menentukan apakah Putin serius untuk berdamai.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga berada di wilayah tersebut.

    Zelensky, yang tiba di Uni Emirat Arab pada hari Minggu, mengatakan bahwa ia juga bermaksud mengunjungi Arab Saudi dan Turki.

    Ia diperkirakan akan tiba di Arab Saudi pada hari Rabu.

    Reuters melaporkan pada November 2024 bahwa Putin siap untuk menegosiasikan kesepakatan dengan Trump, tetapi akan menolak untuk membuat konsesi teritorial yang besar dan akan mendesak Kyiv untuk meninggalkan ambisinya untuk bergabung dengan NATO.

    ZELENSKY DAN PUTIN – Foto ini diambil pada Sabtu (15/2/2025) dari publikasi Kantor Presiden Rusia, memperlihatkan (kiri-kanan) Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan pada 9 Desember 2019 di Paris untuk mengakhiri perang antara separatis pro-Rusia dan pasukan Ukraina di Donetsk dan Luhansk yang berlangsung sejak tahun 2014. (Kremlin.ru)

    Seorang sumber yang mengetahui pemikiran Kremlin mengatakan pada hari Senin bahwa Putin serius untuk melakukan kesepakatan, tetapi tidak dengan
    harga berapa pun.

    Kremlin mengatakan pembicaraan akan difokuskan pada pemulihan hubungan Rusia-AS dan persiapan untuk kemungkinan pembicaraan untuk mengakhiri perang.

    Sebelumnya, pemerintahan Joe Biden, sebagian besar pemimpin Uni Eropa dan Ukraina menganggap perang Rusia sebagai perampasan tanah yang bertujuan untuk
    memulihkan kekuatan Rusia.

    Kyiv dan beberapa pemimpin Uni Eropa mengatakan bahwa jika Putin menang, ia dapat mencoba menyerang NATO.

    Rusia menolak interpretasi itu dan menyangkal rencana semacam itu.

    Putin mengatakan “operasi militer khusus”-nya diperlukan untuk melindungi penutur bahasa Rusia di Ukraina dan melawan apa yang ia katakan sebagai ancaman dari potensi keanggotaan Ukraina di NATO.

    Amerika Serikat mengejutkan para pemimpin Eropa minggu lalu dengan mengatakan bahwa tempat Ukraina bukanlah di NATO, bahwa kembali ke perbatasan sebelum 2014 tidak realistis dan bahwa Eropa tidak akan menjadi bagian dari negosiasi dengan Rusia dan Ukraina.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

  • Gerbang Perang Baru Arab Terbuka, Israel Bombardir Negara Ini

    Gerbang Perang Baru Arab Terbuka, Israel Bombardir Negara Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Media resmi Lebanon mengatakan satu orang tewas dalam serangan Israel di kota selatan Sidon, Senin (17/2/2025).

    Serangan ini terjadi menjelang akhir gencatan senjata Israel dan kelompok senjata Lebanon, Hizbullah, yang membuka “gerbang” perang baru karena tak ada tanda-tanda perpanjangan.

    “Sebuah mayat… ditemukan dari mobil yang menjadi sasaran serangan Israel di kota pesisir itu, setelah petugas pemadam kebakaran memadamkan api,” kata Kantor Berita Nasional (NNA).

    “Penyelidikan terus dilakukan untuk mengetahui identitas individu yang menjadi sasaran,” tambah laporan itu.

    Seorang fotografer AFP juga menjadi saksi dari peristiwa itu. Ia melihat tentara dan petugas tanggap darurat memeriksa puing-puing kendaraan yang hancur dan terbakar.

    Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah yang didukung Iran telah berlaku sejak 27 November, setelah lebih dari setahun permusuhan termasuk dua bulan perang habis-habisan di mana Israel melancarkan operasi darat.

    Berdasarkan kesepakatan tersebut, militer Lebanon akan dikerahkan di selatan bersama pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat tentara Israel mundur selama periode 60 hari yang kemudian diperpanjang hingga 18 Februari.

    Hizbullah akan mundur ke utara Sungai Litani, sekitar 30 kilometer (20 mil) dari perbatasan, dan membongkar infrastruktur militer yang tersisa di selatan.

    “Kami terus melakukan kontak di beberapa tingkatan untuk mendorong Israel agar menghormati perjanjian tersebut dan menarik diri pada tanggal yang dijadwalkan, serta mengembalikan para tahanan,” kata Aoun, menurut pernyataan kepresidenan.

    “Para sponsor kesepakatan tersebut harus memikul tanggung jawab mereka untuk membantu kami,” tambahnya.

    Sebuah komite yang melibatkan Amerika Serikat (AS), Prancis, Lebanon, Israel, dan pasukan penjaga perdamaian PBB bertugas memastikan setiap pelanggaran gencatan senjata diidentifikasi dan ditangani.

    Sementara itu, Minggu, Pimpinan Hizbullah Naim Qassem mengatakan bahwa merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan tentara Israel sepenuhnya mundur sebelum batas waktu hari Selasa besok.

    Pekan lalu, juru bicara parlemen Lebanon Nabih Berri, sekutu Hizbullah, mengatakan bahwa Washington telah memberitahunya bahwa meskipun Israel akan mundur pada tanggal 18 Februari, “Israel akan tetap berada di lima lokasi”.

    Sebelumnya, Minggu, Israel mengatakan bahwa mereka melakukan serangan di Lebanon yang menargetkan lokasi militer Hizbullah, karena media resmi melaporkan tiga serangan di wilayah timur negara tersebut.

    NNA juga mengatakan bahwa tembakan Israel menewaskan seorang wanita di kota perbatasan Hula pada hari Minggu ketika orang-orang mencoba untuk pulang.

    Pada hari Sabtu, Israel mengatakan bahwa mereka menargetkan seorang militan senior dari unit udara Hizbullah, karena media resmi Lebanon melaporkan dua orang tewas dalam serangan Israel di selatan.

    Karim Bitar, dosen studi Timur Tengah di Universitas Sciences-Po di Paris, mengatakan “tampaknya ada kesepakatan diam-diam jika tidak eksplisit AS untuk memperpanjang periode penarikan”.

    “Skenario yang paling mungkin adalah bahwa Israel akan mempertahankan kendali atas empat atau lima bukit yang pada dasarnya mengawasi sebagian besar desa di Lebanon selatan,” katanya.

    Ramzi Kaiss dari Human Rights Watch mengatakan  bahwa “penghancuran rumah dan infrastruktur sipil yang disengaja oleh Israel” membuat “banyak penduduk tidak mungkin kembali”.

    (sef/sef)