Negara: Perancis

  • Garda Revolusi Iran Diduga Serang Kapal Israel Pakai Drone

    Garda Revolusi Iran Diduga Serang Kapal Israel Pakai Drone

    Jakarta, CNN Indonesia

    Satu kapal kargo terafiliasi Israel rusak karena serangan pesawat tak berawak yang diduga dilakukan oleh Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), demikian keterangan pejabat pertahanan AS pada Sabtu (25/11).

    “Kami mengetahui laporan bahwa ada dugaan UAV Shahed-136 yang diluncurkan IRGC menabrak kapal motor sipil di Samudera Hindia,” kata pejabat itu.

    Ia membenarkan serangan terjadi pada Jumat dan menambahkan bahwa “kapal tersebut mengalami kerusakan ringan” serta tidak ada yang terluka.

    Perusahaan keamanan maritim Ambrey mengatakan kapal kontainer berbendera Malta itu dioperasikan Perancis, dan dilaporkan rusak ketika kendaraan udara tak berawak meledak di dekat kapal tersebut.

    “Kapal itu dikelola oleh perusahaan yang berafiliasi dengan Israel, yang dinilai menjadi alasan mengapa kapal itu menjadi sasaran,” kata Ambrey. 

    Ia juga mengatakan bahwa pada hari-hari sebelum serangan, transmisi pelacakan kapal telah berhenti, tak lama setelah meninggalkan pelabuhan di Israel. 

    Serangan ini terjadi hampir seminggu setelah pemberontak Houthi Yaman yang didukung Iran menyita satu kapal kargo yang memiliki hubungan dengan Israel di Laut Merah.

    Kelompok Houthi, yang menyatakan diri mereka sebagai bagian dari “poros perlawanan” kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Iran, telah melancarkan serangkaian serangan drone dan rudal sejak Oktober, dengan Israel sebagai target.

    Serangan ini adalah buntut agresi Israel di Gaza yang telah menewaskan belasan ribu warga sipil, dengan lebih dari separuhnya adalah anak-anak dan perempuan.

    Israel telah berjanji untuk “menghancurkan” Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, setelah serangan militan Palestina itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 240 orang pada 7 Oktober.

    (AFP/vws)

    [Gambas:Video CNN]

  • Kabareskrim Cek Perlengkapan Pengamanan Piala Dunia U-17

    Kabareskrim Cek Perlengkapan Pengamanan Piala Dunia U-17

    Surabaya (beritajatim.com) – Kabareskrim Polri, Komjem Wahyu Widada mengecek langsung perlengkapan serta personel pengamanan Piala Dunia U-17 yang akan dibuka di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya, Jumat (10/11/2023). Dia memimpin apel gelar pasukan Operasi Aman Bacuya 2023, dalam rangka pengamanan FIFA U-17 World Cup 2023, di Lapangan Upacara Mapolda Jatim, pada Kamis (9/11/2023).

    Apel gelar pasukan Operasi Aman Bacuya 2023 ini digelar secara serentak di empat Polda, yaitu Polda Metro Jaya, Polda Jabar, Polda Jateng dan Polda Jatim, yang menjadi venue Piala Dunia 2023 FIFA U-17.

    Apel Gelar Pasukan ini dilaksanakan sebagai sarana untuk mengecek kesiapan personel dan kelengkapan sarana prasarana Polri, baik berupa Alat Khusus (Alsus) maupun Alat Material Khusus (Almatsus) beserta peralatan lainnya.

    Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada menyampaikan dalam amanatnya, ini merupakan suatu kebanggaan dan sekaligus prestasi dimana indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah FIFA U-17 World Cup tahun 2023.

    “Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang ada di Asia Tenggara, yang ditunjuk untuk menjadi tuan rumah, untuk itu kita yang hadir di event ini harus bangga karena menjadi bagian dari sejarah untuk melakukan pengamanan peristiwa yang sangat penting bagi bangsa Indonesia,” papar Jenderal Bintang tiga itu, dalam amanatnya.

    “Kita semua akan menjadi bagian yang ikut dikenang oleh dunia, bahwa penyelenggaraan FIFA U-17 World Cup tahun 2023 yang diselenggarakan di Indonesia berjalan dengan lancar dan aman,” imbuhnya.

    BACA JUGA:
    4 Stadion yang Digunakan Untuk Piala Dunia U-17 2023

    Lebih lanjut Kabareskrim Polri yang juga sebagai Kasatgas Ops Aman Bacuya 2023 ini menjelaskan, FIFA U-17 World Cup tahun 2023 yang diselenggarakan di Indonesia akan diikuti oleh 24 negara peserta, yaitu Kanada, Meksiko, Panama, Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Ekuador, Venezuela, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Inggris, Perancis, Jerman, Polandia, Spanyol, Senegal, Maroko, Mali, Burkina Faso, Indonesia (tuan rumah), Uzbekistan, Iran, Korea Selatan dan Jepang.

    Pelaksanaan pertandingan FIFA U-17 World Cup 2023 ini akan digelar di empat stadion yaitu, stadion Jakarta Internasional Stadium (DKI Jakarta), stadion Si Jalak Harpa (Jabar), stadion Manahan (Jateng) dan Gelora Bung Tomo (Jatim) serta beberapa lokasi atau lapangan yang akan digunakan sebagai tempat latihan, baik stadion maupun tempat latihan harus dilakukan pengamanan secara maksimal.

    “Polri mulai tanggal 10 November 2023 sampai dengan 4 Desember 2023 (selama 25 hari), akan melaksanakan operasi Aman Bacuya 2023 dalam rangka pengamanan penyelenggaraan FIFA U-17 World Cup tahun 2023, Polri
    bersinergi dengan TNI serta seluruh komponen pengamanan lainnya,” tandasnya.

    “Rencana operasi telah disusun untuk dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam pelaksanaan tugas pengamanan. petunjuk-petunjuk dan arahan-arahan juga telah diberikan baik melalui rapat koordinasi maupun surat telegram dan telah dilaksanakan latihan pra operasi baik secara parsial oleh empat Satgas Pamwil dan Satgas Mabes Polri yang dilibatkan dalam operasi aman bacuya 2023,” lanjutnya.

    Kasatgas Ops Aman Bacuya Komjen Wahyu Widada juga mengatakan. Meskipun FIFA U-17 World Cup tahun 2023 adalah piala dunia usia muda dan untuk penonton segmennya adalah pemuda dan remaja usia dibawah 17 tahun namun terdapat beberapa hal yang harus diantisipasi dalam pengamanan penyelenggaraan FIFA U-17 World Cup tahun 2023 diantaranya sebagai berikut:

    1. kerumunan (crowd) di pintu masuk stadion.
    2. kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas.
    3. gesekan fisik antar supporter dan pendukung kesebelasan.
    4. penghadangan, penyerangan, pelemparan terhadap wasit, pemain dan tim official.
    5. pelemparan kembang api (flare) ke lapangan.
    6. spanduk yang dibawa suporter bersifat politik maupun dukungan terhadap salah satu negara
    yang berkonflik (konflik Israel-Palestina).
    7. aksi ancaman bom, bom bunuh diri dan penyerangan terhadap aparat keamanan (tni/polri).
    8. aksi kejahatan konvensional, kejahatan jalanan dan aksi premanisme.
    9. aksi sabotase jalannya rangkaian FIFA World Cup U-17 2023.
    10. kejadian kontijensi dan bencana alam.

    BACA JUGA:
    Jelang Matchday Piala Dunia U17, Berbagai Tim Nasional Gelar Familiarisasi dengan Stadion GBT

    “Dalam pelaksanaan pengamanan kegiatan yang berskala Internasional ini, tentu kita tidak ingin membuat kesalahan sekecil apapun, oleh karena itu kita persiapkan semaksimal mungkin mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
    pengendaliaannya. Kita memiliki sumber daya yang cukup baik personel maupun sarana dan prasarananya,” paparnya.

    Kepercayaan pemerintah terhadap TNI-Polri untuk menjadi bagian dari pengamanan event yang sangat penting ini harus dimaknai dengan melaksanakan tugas pengamanan sebaik-baiknya.

    “Kita jangan under estimate, jangan pernah menganggap biasa-biasa saja, waspadai setiap potensi ancaman sekecil apapun yang dapat mengganggu jalannya penyelenggaraan FIFA U-17 World Cup tahun 2023, seluruh rangkaian penyelenggaraan FIFA U-17 World Cup tahun 2023 ini merupakan pertaruhan negara kita dikancah dunia Internasional dimana kita menjadi
    bagian didalamnya,” tandasnya.

    Pada tanggal 23 Juni 2023 FIFA mengumumkan Indonesia sebagai tuan rumah baru menggantikan Peru, dipilihnya Indonesia sebagai tempat diselenggarakannya FIFA U-17 World Cup tahun 2023 ini merupakan keuntungan tersendiri terutama bagi dunia pariwisata di Indonesia.

    “Oleh karena itu, mari secara bersama kondisi tersebut kita jaga dengan menghadirkan rasa aman di masyarakat. Kehadiran TNI-Polri dan unsur keamanan lainnya ditengah-tengah masyarakat harus menjadi sosok pelindung, pengayom dan pelayan sehingga masyarakat merasa nyaman,” jelasnya.

    “Kegiatan pengamanan yang kita laksanakan saat ini menjadi moment untuk menunjukkan jati diri kita kepada masyarakat dan dunia internasional bahwa tnipolri sebagai sosok yang humanis, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat tanpa pamrih dan pandang bulu,” imbuhnya. [uci/beq]

  • Pemimpin Dunia Menyaksikan Anak-anak Palestina Meninggal dalam Jumlah Sangat Besar

    Pemimpin Dunia Menyaksikan Anak-anak Palestina Meninggal dalam Jumlah Sangat Besar

    Apakah membunuh hampir 1.000 anak setiap pekannya merupakan bentuk pembelaan diri?

    Ini adalah pertanyaan yang perlu direnungkan oleh para pemimpin di seluruh dunia dalam beberapa hari mendatang, seiring berlanjutnya perang antara Israel dan Hamas, bahkan kemungkinan akan semakin sengit.

    Menjadi sebuah pertanyaan yang menantang. Mungkin akan mengadu domba Israel dan para pendukung kuatnya dengan pihak lain. Ini adalah pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan kepada Perdana Menteri Australia suatu saat nanti.

    Organisasi-organisasi seperti Save the Children dan UNICEF sedang mengkaji angka-angka kematian yang diberikan Kementerian Kesehatan Gaza yang dijalankan kelompok Hamas. Organisasi-organisasi ini mengatakan angka kematian warga sipil sangat mencengangkan.

    Badan-badan ini percaya jumlah anak-anak Palestina yang terbunuh sejak perang dimulai tiga minggu lalu hampir mencapai 3.000 orang, meskipun mereka mengatakan jumlah tersebut mungkin jauh lebih tinggi karena ratusan anak-anak hilang, atau mungkin terkubur di bawah reruntuhan.

    Bayangkan jika 1.000 anak-anak Amerika dibunuh dalam seminggu. Respon dunia akan sangat berbeda.

    Alasan mengapa pertanyaan ini muncul adalah karena perang yang terjadi saat ini antara Israel dan Hamas menampilkan sesuatu yang jarang terjadi di dunia, atau bahkan pernah terjadi: warga sipil di Gaza terbunuh setiap harinya dalam jumlah yang sangat besar, sementara banyak pemimpin dunia, termasuk PM Australia Anthony Albanese menahan diri untuk menyerukan gencatan senjata.

    Biasanya, para pemimpin secara naluri menyerukan gencatan senjata. Berakhirnya kekerasan perang selalu jadi hal yang baik. Biasanya. Atau setidaknya menahan diri di kedua belah pihak.

    Ingatan yang akan selalu membekas

    Di Israel, tempat saya menulis artikel ini, ada jawaban yang sangat umum ketika bertanya kepada warga Israel apakah pembunuhan 1.000 anak setiap pekannya merupakan bentuk pembelaan diri? Kematian warga sipil, terutama anak-anak, menurut mereka, sangat disesalkan. Tapi apa yang bisa dilakukan? Hamas bersembunyi di antara warga sipil, menurut warga Israel, dan sayangnya sebagai konsekuensinya, akan banyak warga sipil yang tewas. Hamas bertanggung jawab. Dan mereka membunuh anak-anak kami dalam pembantaian tanggal 7 Oktober, dan sekarang ada 30 anak dan bayi yang disandera di beberapa terowongan bawah tanah di Gaza.

    Bagi warga Palestina, ada juga jawaban yang umum yang disampaikan: pembunuhan terhadap 3.000 anak-anak dalam tiga minggu pertama perang adalah bentuk kejahatan perang. Mereka berpendapat, apa yang terjadi saat ini adalah hukuman kolektif terhadap 2,3 juta orang di Gaza atas tindakan Hamas pada 7 Oktober. Tentara Israel dan para pemimpin politiknya bertanggung jawab atas hal ini. Mengapa tentara yang menekankan kalau mereka berusaha keras untuk menghindari pembunuhan warga sipil malah membunuh begitu banyak orang?

    Patut diingat apa yang memicu perang terbaru ini, aksi kekerasan yang dilakukan kelompok Hamas ketika mereka menyerang warga sipil Israel pada tanggal 7 Oktober lalu.

    Seringkali, ketika orang-orang Israel tahu kalau Anda adalah seorang jurnalis asing, mereka langsung mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto-foto yang dikirimkan dari korban-korban kekerasan tersebut. Sangat mengerikan. Gambaran kebiadaban itu akan terus diingat oleh warga Israel.

    Sama juga dengan 3.000 anak-anak yang akan akan selalu ada dalam ingatan warga di Palestina.

    Sebuah dilema bagi para pemimpin Barat

    Tapi ini menjadi krisis yang dihadapi para pemimpin di seluruh dunia.

    Israel mempunyai dua tujuan dalam serangan militernya di Gaza, selain menyelamatkan sandera. Tujuan pertama adalah untuk membalas dendam kejadian tanggal 7 Oktober, serta tujuan kedua untuk menghancurkan Hamas. Hamas tidak boleh lagi kuat untuk bisa melakukan aksi teror terhadap warga Israel.

    Bagi Joe Biden dari Amerika Serikat, Rishi Sunak dari Inggris, Emmanuel Macron dari Prancis, dan Anthony Albanese dari Australia, hal ini menimbulkan dilema.

    Keempat pemimpin dunia ini sudah mendeklarasikan “Israel punya hak untuk membela diri”. Tapi selagi jenazah bayi-bayi dan anak-anak terus dikuburkan, para pemimpin ini akan terus mendapat tekanan yang semakin besar untuk bisa menyerukan kepada Israel agar menghentikan serangan.

    Dalam perang antara Israel dan Hamas, kita memasuki masa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saya tidak bisa mengingat kapan pernah ada sebuah perang berkecamuk dengan korban warga sipil yang begitu besar, tapi tak ada satu pun dari empat pemimpin dunia tadi tidak menyerukan gencatan senjata.

    Bagi para pemimpin dunia ini, menyerukan gencatan senjata saat ini akan secara langsung menantang tujuan Israel, yakni butuh waktu selama mungkin untuk bisa bergerak secara metodis ke kota Gaza dan menghancurkan jaringan terowongan, infrastruktur militer, dan kepemimpinan kelompok Hamas.

    Yang kemudian membawa saya pada tahap selanjutnya dalam perang ini.

    Karena tidak ada tekanan untuk melakukan gencatan senjata, Israel saat ini memulai invasi darat atau ground invasion. Mereka tidak menyebutnya sebagai ground invasion, karena “ground incursion” terdengar tidak terlalu dramatis.

    Mungkin istilah ini menjadi sensitif bagi dunia yang saat ini berkembang wacana soal pembunuhan massal warga sipil, karenanya tentara Israel terlibat dalam tiga “ground incursions”. Media dunia tidak dapat memuat berita dengan judul “Ground invasion sudah dimulai”. Bagaimana pun, Presiden Macron dari Perancis sangat menentang ground invasion besar-besaran, dengan mengatakannya sebagai sebuah “kesalahan”.

    Apa yang saat ini kita saksikan adalah ground invasion saat kita tidak melakukan sebuah ground invasion.

    Ditulis oleh John Lyons, editor masalah global ABC, baca analisanya dalam bahasa Inggris

  • Hamas Vs Israel Berlanjut, Ketegangan-Polarisasi Meningkat di Eropa

    Hamas Vs Israel Berlanjut, Ketegangan-Polarisasi Meningkat di Eropa

    Brussels

    Setelah malam dan pagi yang luar biasa, ternyata segalanya terasa normal di Schaerbeek. Orang-orang di lingkungan Brussel, yang sebagian besar merupakan kelas pekerja, tampaknya menjalani hari mereka seperti biasa, mengunjungi toko daging dan toko roti.

    Kecuali di Rue Van Oost, jalan tempat pria yang dicurigai membunuh dua penggemar sepak bola Swedia pada Senin malam (16/10), ditembak mati oleh polisi keesokan paginya.

    Hari Selasa (17/10), banyak toko di Rue van Oost yang tutup. Polisi mulai menyingkirkan penghalang yang menutupi pandangan ke Al Khaima. Di sinilah polisi menembak Abdesalam L., warga Tunisia berusia 45 tahun, setelah penggeledahan semalaman. Schaerbeek, tempat ia tinggal, berada dalam kondisi siaga lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Brussel. Abdesalam L. dilarikan ke rumah sakit setelah tertembak dan dipastikan meninggal.

    Seorang perempuan, yang menolak nama atau usianya diungkap, kepada DW mengatakan, kejadian tersebut mengingatkannya pada serangan teror tahun 2016 yang menewaskan 32 orang. Petugas polisi menyuruh saya pulang karena berbahaya, katanya dan menambahkan: “Saya mengalami serangan panik.”

    Hassan, seorang warga Schaerbeek berusia 50 tahun yang menolak nama belakangnya disebutkan, mengatakan kepada DW bahwa dia biasanya melihat Abdesalam L. di sekitar lingkungan atau ketika salat di masjid.

    Schaerbeek adalah rumah bagi banyak migran, jelasnya: “Kondisinya sangat beragam. Anda tidak akan menduga.. Bahwa dia mampu melakukan hal seperti itu. Anda tidak akan pernah tahu apa yang (bisa) dilakukan orang lain.”

    Penembakan di Belgia, penikaman di Prancis

    Menurut kantor berita Reuters,ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan itu pada Selasa malam di media sosial Telegram.

    Penembakan di Belgia terjadi setelah kasus penikaman di sekolah di Prancis pekan lalu. Seorang guru di kota Arras ditikam oleh seorang warga negara Rusia berusia 20 tahun dari Chechnya, yang tumbuh besar di Prancis.

    Hari Selasa (17/10), Presiden Prancis Emmanuel Macron mengeluarkan peringatan keras pada konferensi pers di Tirana: “Semua negara Eropa rentan…terorisme Islam memang kembali terjadi.”

    Serangan teror terbaru di Belgia dan Perancis memang tidak sebesar serangan-serangan yang dilakukan atau diilhami oleh ISIS di Eropa sejak 2014 dan seterusnya pada puncak kejayaan kelompok teror tersebut. Namun hal ini terjadi pada saat ketegangan meningkat di Timur Tengah.

    Israel telah menyatakan perang terhadap kelompok militan Palestina, Hamas, menyusul serangan teroris besar-besaran di wilayah Israel, yang kemudian memberlakukan blokade total terhadap Jalur Gaza.

    Kemungkinan terjadi polarisasi lebih lanjut

    “Tidak mengherankan, serangan teroris memiliki dampak yang kuat terhadap opini publik di negara-negara tempat serangan tersebut dilancarkan,” kata Amelie Godefroidt dari Leuven University di Belgia kepada DW.

    “Berhari-hari dan berminggu-minggu setelah penyerangan, tentu saja masyarakat masih ketakutan, dan marah. Serangan seperti itu menimbulkan banyak emosi. Dan emosi itu sangat penting bagi sikap politik dan sosial.”

    “Jadi kami melihat… ada dorongan politik ke kanan,” katanya. Kelompok ultra kanan akan meminta lebih banyak kehadiran polisi atau militer di jalan, meminta kebijakan imigrasi yang lebih ketat.”

    “Namun, dampak jangka panjangnya kurang jelas,” katanya menambahkan, karena lonjakan sentimen cenderung bersifat sementara. Godefroidt mengatakan dia khawatir keadaan akan menjadi lebih panas dan kekerasan akan terjadi di kedua belah pihak.

    “Di satu sisi, Anda akan mendapatkan tanggapan Islamofobia, pengerasan hati masyarakat Prancis dan Belgia,” katanya kepada DW.

    “Di sisi lain, memang benar bahwa ada peningkatan ketegangan di pihak politik Islamis. Saya khawatir di tahun-tahun mendatang, kita mungkin melihat polarisasi ini semakin meningkat dan memupuk aksi kekerasan.”

    Di Schaerbeek, warga setempat bernama Fatih bersikeras bahwa tindakan Abdesalam L. tidak mencerminkan keyakinan mereka. “Saya seorang muslim. Melakukan ini atas nama Islam tidak benar, karena menurut agama membunuh itu salah,” ujarnya. “Jadi menggeneralisasi hal itu kepada seluruh umat Islam adalah hal yang buruk.”

    “Pesan yang ingin saya sampaikan: Ini perbuatan yang sangat buruk,” lanjut Fatih. “Membunuh seseorang itu buruk, mengambil nyawa seseorang itu buruk, itulah yang ingin kukatakan.”

    (hp/as)

    (nvc/nvc)

  • Eropa Ambil Langkah Melindungi Teknologi Sensitif dari China

    Eropa Ambil Langkah Melindungi Teknologi Sensitif dari China

    Jakarta

    Komisi Eropa telah menyusun daftar teknologi sensitif yang harus dicermati dengan cermat untuk melihat risiko yang dapat ditimbulkan teknologi tersebut jika jatuh ke tangan lawan. Menurut para analis, teknologi yang diawasi terutama berasal dari Cina, meski para pejabat Uni Eropa (UE) bersikeras tidak menargetkan negara tertentu.

    “Teknologi saat ini menjadi jantung persaingan geopolitik,” ujar Wakil Presiden Komisi Eropa Vera Jourova dalam konferensi pers di Kota Strasbourg, Prancis, Selasa (09/10). “Uni Eropa ingin menjadi pemain, bukan taman bermain. Dan untuk menjadi pemain, kita memerlukan posisi Uni Eropa yang bersatu, berdasarkan penilaian risiko bersama.”

    Kekacauan rantai pasokan yang disebabkan oleh pandemi corona dan krisis energi, serta perang Rusia di Ukraina, menjadikan Uni Eropa lebih waspada terhadap ketergantungan. Misalnya, ketergantungan terhadap gas alam dari Moskow dan kebutuhan akan mineral penting Cina, yang merupakan kunci bagi teknologi energi ramah lingkungan.

    Karena itulah, pada tahun ini blok tersebut tengah mengembangkan strategi guna menjamin “keamanan ekonomi” mereka. Pendekatan ini juga mengikuti serangkaian langkah serupa yang diambil oleh Amerika Serikat, khususnya dalam pendekatan negara tersebut terhadap Beijing.

    Meskipun lembaga eksekutif Uni Eropa bersusah payah untuk tidak mengecualikan atau menyebut kata Cina pada pengumuman di hari Selasa itu, pengumuman tersebut jelas sejalan dengan strategi yang lebih luas yaitu “mengurangi risiko” hubungan dengan Beijing dan negara-negara lain, seperti yang dianut oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, kata para ahli kepada DW.

    4 teknologi sensitif utama

    Untuk saat ini, Komisi Eropa mengidentifikasi empat bidang teknologi sensitif utama yakni semikonduktor canggih, kecerdasan buatan, kuantum komputer, dan bioteknologi.

    Langkah selanjutnya adalah berkonsultasi dengan negara-negara anggota UE dalam beberapa bulan mendatang untuk memutuskan tindakan yang akan diambil tahun depan. Ini bisa berarti pengendalian ekspor. Mungkin juga bukan.

    Kenapa 4 teknologi itu dinilai sangat sensitif?

    Cabang eksekutif UE memilih bidang-bidang yang dinilai berisiko berdasarkan tiga kriteria: kekuatan transformatifnya secara umum, yakni seberapa besar perubahan yang dapat dihasilkan, potensi untuk digunakan dalam bidang militer dan apakah teknologi ini dapat terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

    Agathe Demarais, analis dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, mengatakan kepada DW bahwa sangat jelas bahwa kategori yang dipilih menargetkan adanya risiko dari Cina.

    Pertama, “semikonduktor memiliki aplikasi ganda untuk keperluan sipil, iPhone, dan keperluan militer, misil,” menurut Demarais.

    “UE dan AS sangat berhati-hati dalam melakukan apa pun yang akan membantu Cina meningkatkan kemampuan militernya,” kata Demarais, merujuk pada meningkatnya ketegangan antara Beijing dan pulau Taiwan.

    Kedua, kekhawatiran UE terhadap teknologi kecerdasan buatan juga berkaitan dengan perlindungan kebebasan sipil, kata Demarais. Cina menggunakan pendeteksi wajah untuk melacak mereka yang pembangkang. UE saat ini sedang dalam proses merundingkan undang-undang pertama di dunia yang mengatur AI, dan penggunaan pengenalan biometrik jarak jauh secara massal adalah salah satu topik perdebatan yang paling kontroversial.

    Ketiga, pengembangan komputer kuantum yang lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan komputer biasa. Ini akan memiliki implikasi militer, ujar Demarais. Komputer kuantum kemungkinan dapat memecahkan metode enkripsi yang digunakan secara online untuk segala hal mulai dari pesan pribadi hingga perbankan. “Jika Anda memecahkan kode enkripsi, misalnya, komunikasi AS atau komunikasi militer, hal ini jelas mempunyai dampak yang besar,” jelas Demarais.

    Terakhir, bioteknologi digunakan secara luas dalam ilmu kedokteran namun juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan sipil, kata Demarais. “Hal ini mempunyai implikasi yang sangat besar, misalnya jika Cina punya akses terhadap database DNA,” ujarnya. Ada juga kekhawatiran mengenai pengembangan persenjataan yang menggunakan bioteknologi.

    Tidak mudah mencapai konsensus di UE

    Untuk mengambil tindakan nyata tampaknya masih terlalu jauh bagi UE. John Lee, direktur konsultan East West Futures, mengatakan kepada DW bahwa menurutnya target untuk menyelesaikan penilaian risiko bersama hingga akhir tahun sangatlah sangat ambisius.

    Bagi Demarais dari ECFR, masalah besarnya adalah apakah negara-negara UE dapat sepakat mengenai betapa sulitnya untuk mencapai konsensus. Ia bahkan menilai bahwa cakupan daftar yang diterbitkan pada hari Selasa lebih sempit dari perkiraannya, dan tidak seluas inisiatif serupa di AS. Tahun lalu, Washington memberlakukan pembatasan ekspor semikonduktor canggih yang dapat digunakan untuk mendukung teknologi AI Cina.

    “Wacana pengurangan risiko telah menciptakan perpecahan di antara negara-negara anggota UE. Khususnya, perekonomian Jerman jauh lebih rentan terhadap Cina dibandingkan perekonomian Eropa lainnya,” kata Demarais.

    “Ekspor barang dan jasa Jerman ke Cina menyumbang lebih dari 3% PDB Jerman – angka tertinggi di UE dan dua kali lipat dibandingkan di Perancis, Italia, dan Spanyol,” kata Demarais.

    Di Beijing, daftar baru ini kemungkinan akan dianggap sebagai tanda lebih lanjut dari upaya UE untuk menjauhkan diri dari Cina, kata Demarais. “Saya pikir mereka khawatir dengan konteks ketegangan yang lebih luas dengan negara-negara Barat, karena negara Barat adalah pasar ekspor utama (bagi Cina).”

    (ae/yf)

    (ita/ita)

  • Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jakarta

    Sejak Februari lalu, sebuah konsensus baru telah disepakati di Brussels: Uni Eropa perlu tumbuh lebih besar. Anggota-anggota Uni Eropa (UE) yang dulunya skeptis terhadap perluasan, kini mulai berpikir serius untuk menyambut calon-calon anggota baru seperti Ukraina, Moldova, dan negara-negara Balkan Barat lainnya ke dalam keanggotaan mereka.

    Pergeseran ini dipicu oleh invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina. Sebelumnya calon-calon anggota EU harus melewati serangkaian reformasi politik dan rintangan hukum yang berat untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya Makedonia Utara yang sudah antre sejak tahun 2005, masih juga belum diterima jadi anggota EU.

    Saat ini, pola pikir telah berubah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang diplomat Uni Eropa: “Perluasan adalah sebuah kenyataan yang ada saat ini. Hal tersebut baru terjadi sejak sekitar satu setengah tahun yang lalu.”

    Namun Brussels mempunyai pekerjaan rumah sendiri yang harus diselesaikan jika ingin konsensus politik ini berjalan lancar. “Sebelum melakukan pembicaraan yang realistis dengan negara-negara yang ingin bergabung, kita harus memikirkan seperti apa sebenarnya perluasan UE itu – dan sejauh itulah jadinya,” ujar diplomat yang meminta untuk tidak disebutkan namanya itu mengatakan. DW.

    Memberikan keseimbangan kekuatan

    Pembicaraan soal perluasan EU telah dimulai. Awal bulan ini, sekelompok peneliti yang mendapat penugasan dari Prancis dan Jerman meluncurkan makalah yang penuh dengan gagasan tentang cara kerja dan jalan menuju ke arah itu. Thu Nguyen, seorang peneliti senior di bidang kebijakan dan Jacques Delors Center di Berlin, termasuk di antara mereka. Dia mengatakan kepada DW bahwa memikirkan kembali cara UE mengambil keputusan bisa menjadi tantangan politik yang paling besar.

    Daftar resmi negara-negara kandidat UE masih mengular: Ukraina, Moldova, Albania, Montenegro, Bosnia Herzegovina, Makedonia Utara, Serbia dan Turki. Georgia dan Kosovo juga dianggap sebagai “kandidat potensial”.

    Namun meski beranggotakan 27 negara, blok tersebut terkadang kesulitan mengambil tindakan. Langkah kebijakan luar negeri seperti memberikan sanksi kepada Rusia memerlukan dukungan bulat, yang berarti negosiasi kadang-kadang bisa memakan waktu berbulan-bulan karena negara-negara anggota harus memikirkan apa saja yang akan dilarang atau aset mana yang akan dibekukan.

    Di bawah sistem yang berlaku saat ini, Ukraina – dengan populasi lebih dari 40 juta jiwa – akan menjadi salah satu negara paling kuat secara politik di UE. “Semakin banyak negara anggota, semakin besar risiko adanya pemain veto yang menghalangi keputusan,” kata Nguyen.

    Oleh karena itu, Nguyen dan timnya menyarankan untuk menghapuskan suara bulat dan menghitung ulang jumlah suara mayoritas yang memenuhi syarat untuk memastikan UE yang lebih besar masih memiliki “kapasitas untuk bertindak.” Secara kontroversial, usulan tersebut juga akan mempersulit negara-negara besar seperti Prancis dan Jerman untuk memblokir kesepakatan.

    Namun reformasi seperti itu memerlukan perubahan undang-undang dasar blok, dan memerlukan dukungan dari negara-negara anggota yang akan kehilangan kekuasaan akibat perombakan tersebut. Dan, seperti yang diakui Nguyen, “suasana politik saat ini tidak terlalu mendukung perubahan perjanjian.”

    Sengketa gandum di Ukraina menunjukkan potensi peningkatan anggaran

    Lalu ada pertanyaan tentang bagaimana membagi dana UE untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang lebih dalam. Sebagian besar kandidat anggota UE yang saat ini antri, memiliki Produk Domestik Brutoo (PDB) per kapita yang lebih rendah dibandingkan negara anggota termiskin di blok tersebut, Bulgaria – dan dengan sekitar sepertiga dari anggaran Brussels saat ini dialokasikan untuk subsidi pertanian, kedatangan negara besar di bidang pertanian, Ukraina, akan secara radikal mengubah pola distribusi dana subsidi yang ada saat ini.

    Bulan lalu, Polandia, Slovakia dan Hongaria mengumumkan rencana embargo sepihak terhadap gandum Ukraina, untuk melindungi produsen mereka sendiri dari potensi penurunan harga. Bagi mantan komisaris perdagangan UE, Phil Hogan, hal ini menyiratkan jalan yang sulit di masa depan.

    “Harus ada perubahan kelembagaan besar-besaran, perubahan anggaran besar-besaran, dan adaptasi kebijakan terhadap kenyataan baru,” kata Hogan kepada DW. “Ukraina adalah negara besar dengan kepentingan pertanian yang besar. Dan gagasan bahwa kita akan mampu mengatasi masalah Ukraina menjadi anggota dengan kebijakan pertanian Uni Eropa yang terintegrasi penuh, akan menjadi tantangan besar.”

    “Bahkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, terdapat sensitivitas seputar masalah perdagangan dengan Ukraina,” tambahnya. “Ketegangan antara Ukraina dan Eropa sehubungan dengan pertanian bukanlah hal yang baru – namun bisa Anda bayangkan tantangan seperti apa yang akan dihadapi para petani Eropa dalam konteks jika Balkan Barat dan Ukraina serta negara-negara lain menjadi bagian tak terpisahkan dari EU nantinya. “

    Namun, Hogan tetap berharap: “Saya sangat mendukung perluasan Uni Eropa dan memasukkan negara-negara Eropa yang mungkin tidak kita sukai ke dalam EU, ketimbang mereka berpaling ke kelompok Eropa lainnya yang tidak kita inginkan,” ujarnya secara terselubung mengacu pada pengaruh Rusia.

    “Politik adalah seni untuk mewujudkan apa yang mungkin terjadi dan saya berharap negara-negara anggota EU akan mengembangkan diri mereka sendiri dan warga negara mereka akan mengembangkan diri mereka untuk memastikan bahwa lingkungan kita berada dalam kondisi yang tidak terlalu tegang.”

    Berakhirnya persatuan yang semakin erat?

    Ada berbagai pertanyaan kecil mengenai berfungsinya UE yang lebih besar yang juga perlu dijawab: Berapa banyak lagi anggota parlemen yang akan masuk Parlemen Eropa? Berapa banyak lagi bahasa resmi UE yang ada? Bisakah setiap negara mempertahankan anggota Komisi Eropa yang berdedikasi?

    Mengingat permasalahan hukum dan politik yang mungkin terjadi di masa depan, beberapa pihak berpendapat sudah waktunya untuk memperluas definisi blok tersebut. Minggu ini, para pemimpin Eropa menuju ke Spanyol untuk menghadiri pertemuan ketiga Komunitas Politik Eropa (EPC). Dalam EPC, visi mengenai hubungan antarpemerintah yang lebih luas mulai terlihat.

    Pembentukan EPC digagas Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ketika ia pertama kali mengemukakan gagasan tersebut secara terbuka pada tahun 2022, Macron mengatakan, dibutuhkan waktu “puluhan tahun” bagi Ukraina untuk bergabung dengan UE, dan mengusulkan pembentukan kelompok baru yang “akan memungkinkan negara-negara Eropa yang demokratis” untuk “menemukan ruang baru bagi kerja sama politik dan keamanan.”

    Saat ini, EPC secara formal tidak lebih dari sekedar ruang diskusi, tanpa struktur, hak suara, atau perjanjian yang mapan. Namun ini adalah satu-satunya forum yang menyatukan komunitas luas yang beranggotakan 45 undangan. EPC mencakup semua negara dan kandidat UE, negara-negara kaya yang berada di luar blok tersebut seperti Swiss, Norwegia, dan Inggris, serta bahkan negara-negara yang tengah bertikai Armenia dan Azerbaijan. Rusia tidak ada dalam daftar tamu.

    Bagi Thu Nguyen dan rekan-rekan penelitinya, struktur yang lebih longgar ini dapat memberikan petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi jika UE gagal menyepakati rencana ekspansinya.

    Mereka menyarankan mungkin ada “lingkaran dalam” inti yang terdiri dari negara-negara UE yang terintegrasi erat, kemudian UE yang lebih luas, kemudian “anggota asosiasi” tingkat berikutnya yang menikmati beberapa manfaat terkait dengan pasar tunggal blok tersebut, dan “lingkaran luar” yang didasarkan pada EPC, yang menurut Nguyen “tidak akan mencakup segala bentuk integrasi dengan undang-undang UE yang mengikat… melainkan kerja sama berdasarkan pertimbangan geostrategis.”

    Siap untuk tahun 2030?

    Namun potensi pendekatan multicepat ini mungkin terbukti tidak populer, karena dipandang oleh sebagian orang sebagai hal yang menciptakan warga negara kelas dua di klub UE. Perdana Menteri Ukraina Dennis Shmyhal baru-baru ini mengatakan kepada media Politico bahwa negaranya “melakukan semua upaya maksimal untuk memastikan bahwa Ukraina akan menjadi anggota penuh Uni Eropa.”

    Komisi Eropa sering kali menegaskan, aksesi adalah proses yang berdasarkan prestasi dan tidak memiliki batas waktu. Namun, Presiden Dewan Eropa Charles Michel baru-baru ini menegaskan, blok tersebut harus siap untuk diperluas pada tahun 2030.

    Thu Nguyen juga mendukung target akhir dekade tersebut– namun ketika ditanya apakah target tersebut realistis, ia menjawab singkat: “Sulit untuk membuat prognosis.”

    “Ini adalah proses jangka panjang,” pungkas Nguyen. “Sementara kita masih berada di tingkat awal diskusi dan perdebatan.”

    ap/as

    (ita/ita)

  • Lampedusa Kebanjiran Pengungsi, Kebijakan Suaka UE Sudah Usang?

    Lampedusa Kebanjiran Pengungsi, Kebijakan Suaka UE Sudah Usang?

    Jakarta

    Setelah kedatangan lebih dari 6.750 migran di Lampedusa dalam beberapa hari terakhir, Satuan Penjaga Pantai Italia dan Kementerian Dalam Negeri di Roma mengumumkan akan segera memindahkan orang-orang dari kamp yang penuh sesak ke Sisilia atau daratan utama.

    Prefektur Sisilia mengumumkan, sebuah kapal feri berkapasitas 700 orang sedang dalam perjalanan ke Lampedusa, dan 180 orang akan diterbangkan dengan pesawat yang disiapkan oleh badan PBB untuk migrasi internasional IOM.

    “Kondisi apokaliptik”

    Palang Merah Italia yang mengelola hotspot atau pusat penerimaan reguler untuk pengungsi di Lampedusa, di situs webnya menyatakan, situasinya sangat menegangkan dan mereka berusaha semaksimal mungkin menjamin kebutuhan dasar.

    Pendeta Lampedusa, Don Carmelo Rizzo, kepada kantor berita Ansa mengatakan, pasokan air bersih juga bisa menjadi masalah. “Kondisinya apokaliptik,” kata Rizzo.

    Jika kondisi memungkinkan, Palang Merah berencana memindahkan migran yang tiba ke daratan pada hari yang sama ketika mereka tiba. Karena hotspot di pedalaman Lampedusa hanya berkapasitas maksimal 450 orang dan sudah penuh.

    Jumlah migran menyeberang dari Tunisia meningkat

    Media Italia melaporkan, ada lebih banyak kapal yang membawa migran menunggu untuk berlabuh di Lampedusa. Penjaga pantai Italia menjelaskan, gelombang besar pengungsi tersebut diduga disebabkan oleh adanya penumpukan di pelabuhan Sfax, Tunisia, karena kapal penyelundup tidak dapat berangkat selama berhari-hari akibat cuaca buruk. Banyak hal telah berubah sejak awal pekan ini.

    Di Sisilia dan daratan Italia, para migran dari Lampedusa ditampung di pusat-pusat penerimaan migran atau hotspot dan harus didaftarkan di sana. Pihak berwenang Italia didukung oleh staf dari Badan Suaka Uni Eropa (EASO) dan Badan Perlindungan Perbatasan atau Frontex.

    Sebagian besar migran ingin melakukan perjalanan lebih jauh ke utara, ke Prancis, Austria atau Jerman. Untuk diketahui, fasilitas hotspot ini bukanlah kamp tertutup, jadi para migran bisa dengan bebas meninggalkannya setiap waktu.

    Negara tetangga tingkatkan kontrol perbatasan

    Prancis bereaksi dengan kembali memperkuat kontrol perbatasannya dengan Italia, yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Austria juga mengontrol perbatasan di selatan dengan Italia. Jerman pun mengatur kontrol perbatasan antara Bayern dan Austria.

    Namun peneliti migrasi Gerald Knaus mengatakan, kontrol perbatasan ini kecil dampaknya. Siapa pun yang telah tiba di wilayah Schengen, yaitu wilayah Uni Eropa (UE) tanpa kontrol perbatasan yang sistematis, punya peluang bagus untuk suatu saat sampai ke Jerman.

    Dari segi jumlah, Jerman adalah negara tujuan utama pencari suaka di UE, meskipun tidak memiliki perbatasan dengan negara bukan anggota UE (kecuali di bandara). Menurut Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF), tahun ini saja, hingga Agustus lalu sudah ada 220.000 permohonan suaka baru. Pencari suaka yang ditolak, juga jarang sekali dideportasi dari Jerman.

    Italia tolak patuhi aturan suaka UE

    Beberapa hari lalu, Jerman dan Perancis telah menghentikan menerima migran dari Italia secara sukarela. Pada tahun 2022, sekitar 3.500 migran ditempatkan ke negara-negara UE lainnya. Sekitar 1.000 di antaranya masuk dari Italia ke Jerman.

    Menteri Dalam Negeri Italia, Matteo Piantedosi, bereaksi dengan tenang terhadap terhentinya pengambilalihan tersebut. Lagipula ia menganggap pengambilalihan itu tidak banyak membantu. Ia mengonfirmasikan, Italia tidak lagi mematuhi aturan suaka Eropa yang disebut Peraturan Dublin. Menurut aturan prosedur suaka UE ini, Italia harus menerima kembali migran yang pertama kali tiba di Italia sebagai negara yang pertama kali dimasuki.

    PBB: Harus ada mekanisme solidaritas

    Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterrez sekali lagi mengimbau solidaritas negara-negara UE. “Upaya tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh negara-negara yang pertama kali dimasuki, tetapi harus dilakukan bersama dengan negara-negara lain,” jelas Guterrez.

    Setelah bertahun-tahun melakukan perundingan yang alot, para menteri dalam negeri Uni Eropa akan menyelesaikan pakta baru mengenai migrasi yang akan mempercepat prosedur di perbatasan dan dengan cepat mendeportasi migran yang datang dengan motif ekonomi. Untuk pertama kalinya, distribusi pencari suaka juga akan dibatasi di seluruh negara Uni Eropa.

    Namun Polandia dan Hongaria dengan tegas menolak mekanisme solidaritas. Sebaliknya, pemerintah sayap kanan Italia mendorong penerapannya. “Hal ini akan mengalihkan tanggung jawab negara-negara di perbatasan luar ke seluruh UE”, kata Menteri Dalam Negeri Italia, Piantedosi.

    Pada tanggal 28 September mendatang, para menteri dalam negeri UE ingin membahas kembali pakta migrasi di Brussel. Pakar migrasi seperti sosiolog Gerald Knaus mengatakan, perlu waktu bertahun-tahun sebelum peraturan ini mulai berlaku dan berdampak di lapangan.

    Tunisia belum berikan tanggapan

    Perjanjian antara UE dan Tunisia yang diumumkan dua bulan lalu, juga tidak banyak berpengaruh. UE ingin membantu rezim Tunisia dengan bantuan senilai satu miliar euro. Sebagai imbalannya, UE berharap Tunisia dapat membatasi pergerakan migrasi.

    “Saat ini yang terjadi justru sebaliknya”, kritik anggota parlemen Belanda Jeroen Lenaers. Jumlah migran meningkat, tidak ada yang berubah di Tunisia.

    Komisi Uni Eropa menyatakan, seluruh hal tersebut hanyalah sebuah nota kesepahaman, sehingga belum menjadi perjanjian yang efektif secara hukum. Sementara Presiden Tunisia, Kais Saied, telah berulang kali menyatakan, dia tidak akan berperan sebagai polisi perbatasan untuk Eropa dan para migran tidak boleh tinggal permanen di Tunisia.

    Perjanjian dengan Tunisia tersebut dinegosiasikan oleh Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni bersama Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, dan Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen.

    “Pertanyaannya bukan bagaimana kita mendistribusikannya? Pertanyaannya adalah bagaimana kita menghentikannya? kedatangan mereka di Italia, dan saya masih belum melihat jawaban konkret tentang hal itu,” kata Perdana Menteri Italia, Meloni kepada RAI.

    (ae/as)

    (ita/ita)