Negara: Papua Nugini

  • 1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Bagaimana Kiprah Gibran Setahun Terakhir?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Oktober 2025

    1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Bagaimana Kiprah Gibran Setahun Terakhir? Nasional 20 Oktober 2025

    1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Bagaimana Kiprah Gibran Setahun Terakhir?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka kini telah genap berusia satu tahun sejak pelantikan pada 20 Oktober 2024.
    Meski kini menjabat Wakil Presiden, Gibran masih tetap mempertahankan gaya blusukan seperti pada saat dirinya menjadi Wali Kota Solo.
    Jabatan tertinggi kedua di Indonesia tidak menyurutkan langkah Gibran untuk berjalan kaki menyusuri gang-gang dan pelosok daerah.
    Blusukan masih sering dilakukan Gibran untuk mengecek program Presiden RI Prabowo Subianto agar terlaksana dengan baik di lapangan, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Cek Kesehatan Gratis (CKG), Bantuan Subsidi Upah (BSU), hingga Sekolah Rakyat.
    Kunjungan terkait program pemerintah dilakukan Gibran di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, dalam beberapa blusukan, Gibran kerap didampingi beberapa pejabat, seperti Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto.
    Dari catatan Kompas.com, mereka pernah melakukan kunjungan kerja (kunker) bersama sebanyak dua kali, yakni ke Sleman, Yogyakarta dan Batam, Kepulauan Riau.
    Selain blusukan, Gibran pernah meluncurkan terobosan berupa program Lapor Mas Wapres. Program ini merupakan sarana pengaduan publik yang bisa diakses secara langsung dari Istana Wapres maupun lewat aplikasi WhatsApp.
    Layanan ini dibuka dari hari Senin sampai dengan hari Jumat sejak pukul 08.00 hingga pukul 14.00 WIB di Istana Wapres. Sementara, aduan online bisa disampaikan warga melalui WhatsApp 08111 704 2207.
    Tidak hanya itu, putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo itu juga pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Papua Nugini pada 15 September 2025.
    Dalam keterangan Sekretariat Wakil Presiden, Gibran bertemu dengan Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) James Marape di Melanesian Haus, Kantor PM, Port Moresby.
    Pertemuan tersebut sekaligus memperingati 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Papua Nugini serta memperkuat kerja sama strategis di kawasan Pasifik.
    Lewat pertemuan ini, sejumlah kesepakatan pun dicapai di antaranya peningkatan kerja sama pertahanan, pengembangan ekonomi perbatasan melalui implementasi SOP MoU on Cross Border Movement of Commercial Buses and Coaches.
    Kemudian, kesepakatan kelanjutan program hibah pembangunan oleh Indonesia, serta penguatan kerja sama regional yang inklusif dalam kerangka Melanesian Spearhead Group dan Pacific Islands Forum.
    Namun, di balik sederet aktivitas tersebut, sejumlah kalangan masih mempertanyakan efektivitas peran Gibran sebagai wapres.
    Pengamat politik, Adi Prayitno menilai peran Gibran sebagai wapres belum signifikan karena cenderung seremonial dan belum menyentuh dalam aspek kebijakan strategis.
    “Peran wapres belum kelihatan signifikan. Hanya terlihat di sejumlah acara seremonial dan beberapa kunjungan. Publik belum melihat peran wapres dalam pengambilan kebijakan strategis,” ujar Adi saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (17/10/2025).
    Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini bahkan merasa publik masih bingung dengan peran dan pekerjaan wapres saat ini. Adi lantas membandingkan dengan wapres sebelumnya, yakni Wapres ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla dan Wapres ke-13 RI Ma’ruf Amin.
    “Berbeda dengan JK yang misalnya fokus urusan ekonomi. Kiai Ma’ruf Amin yang berkecimpung di ekonomi syariah. Pernah suatu waktu wapres Gibran bicara anak muda dan hilirisasi. Tapi konkretnya seperti apa belum terlihat,” papar Adi.
    Di sisi lain, Adi menilai program Lapor Mas Wapres yang diinisiasi Gibran sangat bagus. Hanya saja, implementasinya masih tidak terlihat dalam satu tahun ini.
    “Implementasinya tak terlihat. Padahal ini janji politik dan ide yang sangat bagus, problemnya pada level kenyataan di lapangan,” tutur Adi.
    Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro juga menilai peran Gibran sebatas simbolis saja. Gibran juga dinilai hanya menjadi pelengkap kerja Presiden Prabowo.
    “Saya lihat memang peran Wapres di masa Mas Gibran masih sebatas prosedur ataupun simbolis ya. Belum tampak fungsi-fungsi substantifnya, fungsi-fungsi real dan konkretnya karena memang kita tahu posisi Wapres ini sebagai pelengkap dari kerja-kerja yang dilakukan oleh Presiden,” ucap Agung.
    Namun, menurutnya, banyak publik berekspektasi Gibran akan mengikuti jejak sang ayah, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Oleh karenanya, sebagai Wapres, seharusnya Gibran lebih maksimal dalam bekerja dan lebih banyak hadir ke masyarakat.
    “Dan melepas bayang-bayang sang ayah untuk bisa berdiri sendiri atas nama pribadi itu tidak mudah. Jadi koreksinya ya kalau saya ke depan Mas Gibran lebih mengoptimalkan kinerjanya, lebih tampil, serba hadir,” kata Agung.
    Blusukan yang dilakukan Gibran selama setahun terakhir dinilai masih identik dengan Jokowi, sehingga tidak ada gebrakan baru dari pria berusia 38 tahun ini.
    Padahal sebagai wapres di usia yang masih muda, Gibran diharapkan memiliki kebaruan dan inovasi.
    Agung menilai Gibran perlu membuat gebrakan yang menjawab tantangan generasi muda, seperti ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
    “Ya karena memang kita tahu blusukan itu sudah
    trademark-
    nya Pak Jokowi. Jadi kalau misalkan dia melakukan hal yang sama, istilahnya tidak ada yang baru, yang beda sebagaimana napas beliau mewakili generasi Z dan milenial yang identik dengan kebaruan, inovasi gitu,” ucap Agung.
    “Jadi selain blusukan, apa lagi yang bisa dilakukan oleh seorang Wapres? Itu kan yang ditunggu dan dinantikan oleh publik hari ini, dan saya kira itu yang harus dijawab oleh Mas Gibran,” lanjut dia.
    Gibran dinilai perlu membuat gebrakan yang menyentuh hal konkret di masyarakat, khususnya anak muda.
    Terlebih, kegiatan blusukan yang rutin dilakukan juga tidak selalu dapat menjangkau anak muda atau masyarakat dari kelas menengah ke atas.
    “Blusukan itu kan mungkin menyapa masyarakat kelas menengah ke bawah ya, tapi masyarakat kelas menengah atas yang itu menjadi pusat populasi gen Z milenial, ini harus ditreatment juga oleh Mas Gibran, nggak bisa dengan blusukan,” terangnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kunjungi Menhan Sjafrie, Panglima Australia Tanya Tujuan RI Tambah Alutsista

    Kunjungi Menhan Sjafrie, Panglima Australia Tanya Tujuan RI Tambah Alutsista

    GELORA.CO – Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menerima kunjungan Chief of Defence Force Australia, Admiral David Johnston, di Kantor Kementerian Pertahanan (Kemhan), Jakarta Pusat, Jumat (17/10).

    Pertemuan yang berlangsung tertutup itu membahas berbagai isu strategis, mulai dari kerja sama pertahanan hingga peran Indonesia dalam menjaga stabilitas kawasan.

    Kepala Biro Informasi dan Hubungan Masyarakat (Karo Infohan) Setjen Kemhan, Brigjen Frega Wenas Inkiriwang, mengatakan salah satu fokus pembahasan adalah soal pembangunan alutsista Indonesia.

    “Pak Menhan hanya menyampaikan bahwa saat ini memang pembangunan yang ada adalah selain untuk meyakinkan postur kekuatan juga untuk dalam konteks humanitarian, dalam konteks pembangunan, dan tentunya yang lebih pahamkan adalah kepentingan nasionalnya adalah Indonesia sendiri,” jelas Frega usai pertemuan.

    Menurut Frega, Sjafrie menegaskan penguatan pertahanan Indonesia bukan hanya demi keamanan nasional, tapi juga untuk mendukung stabilitas dan perdamaian kawasan, termasuk di Gaza, Palestina.

    “Indonesia akan terus selalu berupaya yang terbaik berkontribusi terhadap stabilitas maupun perdamaian di kawasan, dan juga termasuk dalam beberapa misi kemanusiaan, di mana Indonesia berkontribusi dalam misi perdamaian dunia, termasuk dengan rencana proyeksi ke depan di Gaza, Palestina,” ucapnya.

    Frega menambahkan, langkah dan komitmen Menhan Sjafrie tersebut mendapat apresiasi langsung dari Admiral Johnston.

    “Dan itu diapresiasi sebagai bentuk kontribusi Indonesia untuk terus berkiprah dalam menjaga perdamaian dunia,” tutupnya.

    Selain membahas alutsista dan misi kemanusiaan, kedua pihak juga berdiskusi mengenai rencana latihan militer gabungan, termasuk kerja sama di bidang keamanan siber serta dukungan kemanusiaan Indonesia di Papua Nugini dan Gaza.

  • Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 Oktober 2025

    Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua Nasional 17 Oktober 2025

    Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    LEBIH
    dari enam dekade sudah berlalu sejak Papua Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia. Namun hingga kini, hati dan pikiran masyarakat Papua tetap terasa masih jauh dari Jakarta.
    Ketegangan yang terus berulang antara aparat keamanan dan warga sipil, laporan kekerasan di daerah-daerah pegunungan, serta munculnya berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan yang semakin aktif di panggung internasional, menunjukkan bahwa persoalan Papua bukanlah semata masalah keamanan.
    Lihat saja peristiwa bentrok antara aparat kepolisian dengan elemen pemuda pada

    aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua di Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (15/10/2025).
    Ratusan mahasiswa Papua tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) menggelar aksi demonstrasi menolak investasi dan militerisasi di Tanah Papua.
    Aksi tersebut berakhir ricuh, dua mobil polisi dan satu mobil PDAM Jayapura dibakar massa hingga 3 orang luka terkena lemparan batu.
    Peristiwa ini memperjelas fakta bahwa masalah Papua multidimensional, tak bisa disederhanakan hanya sebagai masalah keamanan.
    Papua adalah cermin dari kegagalan negara memahami rakyatnya sendiri. Pendekatan militeristik yang terus dipertahankan telah memperdalam jurang ketidakpercayaan, memperkuat sentimen perlawanan, dan secara perlahan membuka jalan bagi legitimasi perjuangan referendum yang kini, menurut rencana para pejuang Papua merdeka, akan diupayakan pada tahun 2027 mendatang.
    Buku “Papua: Geopolitics and the Quest for Nationhood” (2018) karya Bilveer Singh menggambarkan dengan tajam akar persoalan ini.
    Singh, pakar politik dari Universitas Nasional Singapura, menegaskan bahwa Papua tidak dapat dipahami hanya dari kacamata integrasi nasional atau pemberantasan separatisme.
    Di balik perlawanan politik yang sering dicap “gerakan pengacau keamanan”, terdapat sejarah panjang ketidakadilan dan marginalisasi.
    Proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang dinilai cacat oleh banyak kalangan di dalam komunitas internasional menjadi luka awal yang tidak pernah sembuh.
    Ketika ketidakadilan struktural seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial, dan eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung, maka gagasan tentang “merdeka” menjadi simbol harapan atas harga diri dan kebebasan masyarakat Papua.
    Singh menilai bahwa pendekatan keamanan Indonesia justru memperkuat narasi separatisme itu, karena negara gagal menunjukkan empati dan pengakuan terhadap identitas Papua sebagai bagian sejajar dari bangsa Indonesia.
    Ironisnya, pendekatan keamanan telah menjadi pola refleks dan repetitif negara dalam menghadapi setiap gejolak di Papua.
    Peningkatan jumlah pasukan, operasi intelijen, serta kontrol ketat terhadap wilayah dan kontrol atas informasi dianggap sebagai satu-satunya cara menjaga “stabilitas nasional”. Padahal, stabilitas yang dibangun di atas rasa takut bukanlah stabilitas sejati.
    Stephen Hill dalam bukunya “Merdeka: Hostages, Freedom and Flying Pigs in West Papua” (2014) menjelaskan bahwa kekerasan yang terus-menerus diulang hanya memperkuat siklus kebencian.
    Bagi Hill, Papua adalah ruang di mana makna “merdeka” selalu dinegosiasikan antara kekuasaan dan kemanusiaan.
    Ketika negara memaksa rakyatnya untuk patuh melalui kekuatan senjata, maka yang hilang bukan hanya rasa aman, melainkan juga rasa memiliki terhadap Indonesia.
    Dalam konteks inilah, pendekatan keamanan justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita “merangkul Papua dalam satu keluarga bangsa.”
    Kini, konsekuensi dari pendekatan yang keliru tersebut mulai tampak nyata. Organisasi-organisasi perjuangan Papua merdeka semakin gencar mencari dukungan di tingkat internasional.
    Di dalam komunitas negara-negara Melanesia, Papua mendapat ruang yang kian luas melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) dan jejaring solidaritas Pasifik.
    Dukungan moral dari negara-negara seperti Vanuatu, Solomon Islands, dan bahkan Fiji mulai menunjukkan bahwa isu Papua telah menjadi simbol solidaritas regional bagi bangsa-bangsa Melanesia.
    Indonesia memang berusaha mengimbangi dengan diplomasi ekonomi dan politik. Namun luka identitas yang tak kunjung diakui membuat diplomasi tersebut sering tampak artifisial di mata publik Melanesia.
    Setiap tindakan kekerasan di lapangan menjadi bahan bakar baru bagi kampanye Papua merdeka di dunia internasional, sekaligus mengikis citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia.
    Lebih jauh lagi, dukungan dari negara-negara Barat mulai menunjukkan arah yang mengkhawatirkan.
    Australia, yang selama ini berhati-hati dalam bersikap terhadap isu Papua, kini mulai mengambil posisi strategis.
    Penempatan pasukan Australia di kawasan Papua Nugini yang berdekatan dengan Darwin bukan hanya langkah pertahanan semata, tetapi juga bentuk kesiapsiagaan terhadap potensi referendum di Papua Barat yang direncanakan pada 2027 itu.
    Di beberapa forum keamanan Pasifik, pejabat Australia bahkan menyinggung pentingnya “stabilitas berbasis hak asasi manusia” di kawasan.
    Kalimat yang tampak diplomatis ini sejatinya mengirim sinyal bahwa Barat ingin memastikan, jika referendum terjadi, Indonesia tidak melakukan intervensi yang dapat mencederai legitimasi proses tersebut.
    Bila langkah ini berlanjut, Indonesia bisa terjebak dalam situasi serupa dengan Timor Timur dua dekade lalu, di mana tekanan internasional dan citra buruk akibat kekerasan negara justru mempercepat lepasnya wilayah itu dari republik.
    Indonesia tentu memiliki alasan untuk mempertahankan Papua sebagai bagian integral dari negara. Papua adalah wilayah kaya sumber daya, strategis secara geografis, dan merupakan simbol keutuhan nasional.
    Namun, cara mempertahankannya tidak bisa terus-menerus bergantung pada pendekatan kekuatan.
    Seperti diingatkan Bilveer Singh, legitimasi negara di mata rakyatnya tidak dibangun dengan bayonet, tetapi dengan rasa keadilan dan keterlibatan sejati yang manusiawi.
    Selama pemerintah Jakarta masih memandang Papua sebagai “daerah rawan”, alih-alih sebagai “daerah yang perlu didengarkan,” maka jarak emosional akan terus melebar.
    Pendekatan keamanan memang bisa menekan gejolak sesaat, tetapi tidak pernah menyembuhkan sebab-musababnya.
    Masalahnya, pendekatan pembangunan yang seharusnya menjadi jembatan menuju rekonsiliasi justru sering terkooptasi oleh logika keamanan.
    Program infrastruktur masif seperti Trans Papua, pembangunan bandara, dan perluasan tambang sering dijadikan simbol kemajuan, tanpa memperhatikan ketimpangan yang terjadi di tingkat sosial dan budaya.
    Masyarakat lokal kerap tersisih dari proyek-proyek tersebut, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
    Akibatnya, pembangunan yang dimaksudkan untuk “menyatukan” Papua justru dianggap sebagai bentuk eksploitasi baru.
    Hal ini sesuai dengan kritik Singh bahwa kebijakan
    top-down
    dari Jakarta gagal memenangkan hati masyarakat karena tidak berangkat dari kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
    Sementara itu, organisasi-organisasi Papua merdeka seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terus memperluas pengaruhnya di dunia internasional.
    Dengan strategi diplomasi yang rapi dan dukungan diaspora Papua di Eropa serta Pasifik, mereka berhasil menggeser persepsi global terhadap konflik Papua dari isu separatisme menjadi isu hak menentukan nasib sendiri.
    Kampanye mereka di forum PBB, gereja-gereja global, hingga parlemen-parlemen negara Barat semakin mengisolasi Indonesia secara moral.
    Dalam konteks ini, setiap tindakan represif di lapangan menjadi “amunisi politik” yang memperkuat narasi bahwa Papua berada di bawah penjajahan modern.
    Jika tren ini berlanjut, Indonesia akan menghadapi situasi diplomatik yang jauh lebih rumit menjelang tahun 2027.
    Rencana referendum yang kini mulai dibicarakan di lingkaran aktivis Papua merdeka, dengan dukungan moral dari komunitas Melanesia dan sikap waspada Australia, plus dukungan jaringan gereja, bisa menjadi momentum politik yang akan sulit dihadang.
    Dunia yang kini semakin sensitif terhadap isu hak asasi manusia dan dekolonisasi akan mudah bersimpati pada perjuangan Papua, terutama bila Indonesia gagal memperlihatkan perubahan nyata dalam pendekatan di lapangan.
    Dalam skenario terburuk, tekanan internasional bisa memaksa Indonesia membuka ruang dialog yang diarahkan pada penentuan nasib sendiri, seperti yang pernah terjadi di Timor Timur pada 1999.
    Namun, peluang tersebut tentu tidak harus menjadi kenyataan jika Indonesia berani mengubah pendekatannya sekarang.
    Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang bertahan lama bukan karena ketakutan, tetapi karena kepercayaan.
    Papua membutuhkan pengakuan, bukan pengawasan. Rakyat Papua ingin didengar, bukan diawasi.
    Karena itu, pemerintah harus menata ulang paradigma keamanannya dengan menempatkan hak asasi manusia dan rekonsiliasi sebagai fondasi utama kebijakan.
    Perlu ada mekanisme keadilan transisional yang mengakui kekerasan masa lalu, membuka ruang dialog sejajar antara Jakarta dan perwakilan masyarakat Papua, serta memastikan pembangunan dijalankan dengan menghormati hak-hak adat dan budaya.
    Indonesia memang memiliki kesempatan untuk membalikkan arah sejarah, tetapi waktu semakin sempit. Setiap tindakan represif yang terjadi hari ini adalah satu langkah menuju hilangnya kepercayaan di esok harinya.
    Papua tidak bisa terus didekati dengan bahasa perintah, tapi harus dirangkul dengan bahasa kemanusiaan.
    Seperti yang disampaikan Stephen Hill, kemerdekaan sejati tidak selalu berarti pemisahan dari negara, tetapi kebebasan untuk diakui dan dihormati sebagai manusia yang setara.
    Bila Indonesia gagal memahami pesan sederhana tersebut, maka upaya mempertahankan Papua justru akan menjadi proses yang perlahan-lahan menyiapkan jalan bagi kemerdekaan.
    Pendek kata, persoalan Papua bukan hanya ujian bagi Papua dan masyarakatnya, tetapi juga ujian moral bagi Indonesia.
    Apakah negara ini benar-benar siap menjadi rumah bagi seluruh bangsanya, termasuk mereka yang berbeda warna kulit, budaya, dan sejarah?
    Ataukah Indonesia akan terus memaksa persatuan melalui ketakutan dan senjata, sampai akhirnya kehilangan yang paling berharga terjadi, kepercayaan rakyatnya sendiri?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wilayah RI Terbelah Menjadi Dua, Alasannya Diungkap Ahli Australia

    Wilayah RI Terbelah Menjadi Dua, Alasannya Diungkap Ahli Australia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ada perbedaan signifikan antara spesies yang ditemukan di Indonesia dan Australia. Padahal, keduanya merupakan tetangga yang letaknya berdekatan.

    Hal ini menjadi sorotan ilmuwan Australia yang melakukan penelitian terkait perbedaan spesies di Indonesia dan Australia. Temuannya kembali menunjukkan signifikansi garis Wallace.

    Sebagai informasi, garis Wallace adalah batas biogeografis legendaris yang memisahkan fauna Asia dan Australia. Selama lebih dari satu abad, garis Wallace menjadi petunjuk dalam memahami penyebaran kehidupan di wilayah Asia Tenggara dan Oseania.

    Garis Wallace dipetakan oleh Alfred Wallace pada 1863. Saat itu, dia tengah dalam perjalanan melewati beberapa wilayah termasuk Indonesia, Singapura, Filipina, dan Papua Nugini.

    Ternyata Wallace menyadari ada perbedaan spesies pada tiap wilayah. Namun hal ini menjadi awal misteri yang tersimpan selama ratusan tahun.

    Spesies Asia Menyeberang

    Misteri tersebut adalah spesies Asia dapat menyeberangi garis Wallace ke bagian lainnya. Sebaliknya, ini tidak bisa terjadi pada spesies yang berasal dari Australia.

    Fakta ini, menurut para peneliti, terjadi karena adanya perubahan iklim ekstrem. Penyebabnya adanya aktivitas tektonik pada 35 juta tahun lalu.

    Aktivitas itu yang membuat Australia terpisah dengan Antartika dan menabrak Asia. Pada akhirnya kejadian tersebut melahirkan Nusantara.

    Untuk menjelaskan efek iklim dari tumbukan tersebut, para peneliti menggunakan model komputer. Dengan model tersebut, mereka memperhitungkan kemampuan menyebarkan, preferensi ekologi dan keterkaitan evolusi pada lebih dari 20 ribu spesies di kedua sisi garis Wallace.

    “Ketika Australia menjauh dari Antartika, itu membuka area laut dalam yang mengelilingi Antartika yang sekarang menjadi tempat Arus Sirkumpolar Antartika (ACC) berada,” kata ketua penulis studi dan ahli biologi evolusi di Universitas Nasional Australia, Alex Skeels, dikutip dari Live Science, Sabtu (11/10/2025).

    Sebagai informasi, ACC di Antartika merupakan arus laut terbesar dunia. Arus inilah yang memiliki peranan penting untuk mengatur iklim Bumi.

    Model tersebut berhasil mengungkapkan perubahan iklim tidak berdampak pada semua spesies. Misalnya saja iklim di Semenanjung Asia Tenggara dan Indonesia lebih hangat dan basah, sedangkan Australia memiliki musim dingin dan kering.

    Pada akhirnya, musim ini memengaruhi kemampuan adaptasi tiap makhluk hidup di wilayah tersebut. Spesies di Asia bisa beradaptasi di Indonesia dan menyeberang garis Wallace, lalu berpindah ke zona Australia. Namun hal serupa tidak berlaku pada spesies yang hidup di benua Australia.

    Nah, itu dia penjelasan soal wilayah RI yang terbelah menjadi dua. Semoga informasi ini menambah wawasan Anda!

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jaga pantai utara Papua dengan memperkuat silaturahim

    Jaga pantai utara Papua dengan memperkuat silaturahim

    Jayapura (ANTARA) – Siang itu, terik matahari dan gelombang ombak teduh menemani perjalanan Serda Meisaro ke Kampung Kayu Pulo, Kota Jayapura, yang terletak di kawasan pantai utara Papua.

    Anggota Kodaeral X Jayapura itu menyusuri pantai utara Papua dengan menumpang sea rider, kapal patroli cepat berbahan plastik.

    Berseragam lengkap bersama beberapa anggota Kodaeral X Jayapura lainnya, Serda Meisaro ke kampung itu tak lain untuk mengunjungi warga pesisir yang berada di Kampung Kayu Pulo, salah satu wilayah administrasi Kota Jayapura.

    Penduduk kampung itu kebanyakan tinggal di atas perairan Teluk Humbolt dengan rumah-rumah panggung dari kayu.

    Jarak tempuh ke kampung itu hanya 10 menit dari Kota Jayapura. Para prajurit itu menjadikan kunjungan rutin tersebut sebagai ajang silaturahim ke penduduk setempat, yang wilayahya berbatasan dengan Papua Nugini, negara dengan rakyat Melanesia yang berkarakteristik sama dengan masyarakat Bumi Cenderawasih yakni berkulit hitam dan berambut keriting.

    Sesampainya di Kampung Kayu Pulo, kapal patroli disandarkan di dermaga kecil milik warga setempat. Kedatangan Serda Meisaro bersama timnya itu pun, seperti biasa, disambut hangat warga. Mereka langsung beriringan menuju balai kampung, sebuah bangunan yang bisa menjadi tempat berkumpul orang banyak.

    Di balai kampung, sejumlah prajurit TNI tersebut berinteraksi dengan warga, yang sebagian besar merupakan nelayan. Ajang silaturahim seperti itu dimanfaatkan benar-benar oleh prajurit untuk memberikan berbagai penyuluhan, mulai dari materi tentang kesehatan hingga bela negara.

    Para nelayan di ujung negeri itu tentu merupakan orang-orang yang tepat untuk diajak untuk menjaga negeri. Apalagi mengingat mereka hidup sehari-hari dan bergelut mencari nafkah di perairan yang berbatasan dengan negeri tetangga. Merekalah sebenarnya mata dan telinga yang bisa memberikan berbagai informasi tentang beragam peristiwa penting.

    Berbatasan dengan Papua Nugini menjadikan wilayah perairan Kota Jayapura dikenal rawan menjadi tempat penyelundupan narkotika, vanili, sirip ikan hiu, gelembung ikan, dan buah pinang khas PNG.

    Di kawasan utara Jayapura itu juga masih sering ditemukan kasus nelayan yang menggunakan bahan peledak untuk mencari ikan. Kegiatan seperti itu tidak hanya membahayakan nelayan, namun juga merusak habitat laut Papua yang terkenal dengan keanekaragaman biotanya.

    Karena kerawanan yang seperti itulah, Kodaeral X Jayapura terus berupaya mengirim prajuritnya ke sana. Lewat silaturahim yang sering, berbagai penyuluhan yang diberikan tentunya akan efektif.

    Bagi TNI, keberadaan warga pesisir Kota Jayapura, khususnya di Kampung Kayu Pulo, sangat diharapkan dapat menjadi partner yang kuat dan bisa bersinergi menjadi “mata dan telinga” untuk pengawasan terhadap hal-hal yang bisa dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.

    “Kami harap warga pesisir ikut berperan dalam menjaga perairan di sekitarnya,” kata Serda Meisaro.

    Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Gempa M 6,6 Guncang Papua Nugini, Warga Panik Berhamburan

    Gempa M 6,6 Guncang Papua Nugini, Warga Panik Berhamburan

    Jakarta

    Gempa magnitudo (M) 6,6 melanda dekat kota Lae, Papua Nugini. Gempa tersebut membuat para pelayat di stadion ketakutan, tetapi tidak ada kerusakan yang dilaporkan.

    Dilansir Reuters, Selasa (7/10/2025), Survei Geologi AS (USGS) melaporkan pusat gempa berada 26 km (16 mil) dari Lae, yang berpenduduk lebih dari 76.000 jiwa. Gempa juga terasa di ibu kota Port Moresby, menurut media sosial.

    Seorang pejabat pemerintah Papua Nugini, Malum Nalu, mengatakan gempa “sangat dahsyat” itu terjadi sekitar pukul 21.00 waktu setempat, ketika ia berada di stadion Lae bersama ratusan orang lainnya untuk menghadiri upacara penghormatan terakhir untuk mendiang gubernur provinsi Morobe.

    Tentara sedang mengangkat peti jenazah Luther Wenge untuk dibawa ke rumah duka ketika gempa terjadi. “Terdengar suara gemuruh besar seperti pesawat terbang di atas kepala, lalu bangunan itu berguncang hebat selama sekitar tiga menit,” kata Nalu kepada Reuters melalui telepon.

    “Ada ratusan orang di dalam, tempat itu penuh sesak. Orang-orang bergegas keluar dari pintu keluar dan wakil perdana menteri mengimbau agar tetap tenang.”

    Papua Nugini terletak di sepanjang Cincin Api Pasifik, wilayah yang dikenal sering mengalami gempa bumi. Seorang pejabat kepolisian kota Lae, Mildred Ongige, juga menggambarkan gempa bumi tersebut “sangat dahsyat”.

    Namun, kedua pejabat tersebut mengatakan mereka belum memiliki detail kerusakan apa pun. Saksi lain, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan gempa bumi tersebut telah membangkitkan takhayul di kalangan penduduk setempat.

    Beberapa menteri pemerintah berada di Lae menjelang pemakaman kenegaraan yang dijadwalkan di Wenge pada Rabu (8/10). Peringatan tsunami tidak dikeluarkan setelah gempa bumi, yang melanda pada kedalaman 99,4 km, kata USGS dalam peringatan terbarunya.

    Pada bulan Maret tahun lalu, tiga orang tewas dan lebih dari 1.000 rumah hancur setelah gempa bumi M 6,7 melanda provinsi Sepik Timur yang terpencil di utara.

    Tonton juga video “Warga soal Meteor Jatuh di Cirebon: Kaca Rumah Getar, Dikira Gempa” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (rfs/rfs)

  • Impor Nikel RI Melonjak Gegara Smelter Membeludak

    Impor Nikel RI Melonjak Gegara Smelter Membeludak

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan impor nikel pada tahun ini mengalami lonjakan. 

    APNI mencatat smelter-smelter di Indonesia telah mengimpor 15 juta ton bijih nikel sepanjang Januari-Agustus 2025, naik signifikan dibandingkan sepanjang tahun lalu. 

    “Tahun lalu, kita impor sampai 12 juta ton. Tahun ini, sampai akhir Agustus kemarin, kita sudah impor sampai hampir 15 juta ton bijih nikel dari Filipina,” kata Meidy dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Selasa (30/9/2025).

    Menurutnya, impor nikel dilakukan lantaran pasokan di dalam negeri masih kurang. Ketersediaan pasokan tak selaras dengan jumlah smelter yang menjamur.

    Dia memperkirakan jumlah impor itu akan terus meningkat sampai akhir tahun ini. Terlebih, pada Oktober merupakan periode terbaik untuk smelter berproduksi.

    “Itu pasti, itu sudah terkonfirmasi karena saya sudah lihat ada beberapa kontrak yang sudah mulai dilakukan oleh smelter, khususnya HPAL [high pressure acid leach],” imbuh Meidy.

    Selain itu, para pengusaha juga tengah melakukan perundingan untuk melakukan impor bijih nikel dari Kaledonia dan Papua Nugini. Menurut Meidy, pembicaraan itu khususnya terkait kesesuaian harga.

    Meidy memaparkan, impor nikel dilakukan tak lepas dari menjamurnya smelter di Tanah Air. Berdasarkan catatannya, smelter nikel yang berproduksi di Indonesia saat ini mencapai 73 unit.

    Berikutnya, masih ada 73 unit smelter yang masih dalam tahap konstruksi. Di samping itu, masih ada 17 smelter masih masuk dalam perencanaan pembangunan. Dengan begitu, secara total diasumsikan terdapat 163 smelter yang bakal berproduksi di Indonesia.

    “Dari sekian banyak 163 ini, jika berproduksi semua, nangis kalau saya bilang. Kenapa? Cadangan [bijih nikel]-nya enggak cukup. Sangat amat cadangannya enggak cukup,” ucap Meidy.

    Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diakses Bisnis pada Selasa (30/9/2025), impor bijih nikel dan konsentrat dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Januari-Juli 2025 mencapai 6,82 juta ton dengan nilai US$322,57 juta. Mayoritas impor nikel mengalir ke Weda, Morowali, Samarinda, Kolonodale, dan Kendari.

    Filipina merupakan produsen bijih nikel terbesar kedua di dunia. Namun, masih tertinggal dari Indonesia dalam mengembangkan industri hilir karena tingginya kebutuhan modal untuk pembangunan smelter. 

    Upaya terbaru pemerintah Filipina untuk melarang ekspor mineral mentah guna mendorong investasi di sektor pengolahan gagal karena ditolak oleh parlemen pada bulan lalu, menyusul penolakan dari pelaku industri. 

    Kendati demikian, beberapa perusahaan tambang Filipina belum sepenuhnya meninggalkan rencana pengembangan smelter nikelnya. DMCI bekerja sama dengan perusahaan tambang besar lainnya, Nickel Asia Corp., untuk mengkaji kelayakan pembangunan pabrik pemurnian. 

    Keduanya tengah mempertimbangkan pembangunan smelter nikel dengan teknologi HPAL senilai sekitar US$1,5 miliar dan telah berdiskusi dengan perusahaan asing terkait keahlian teknis dan potensi investasi.

  • Daftar Negara yang Mengakui dan Tidak Mengakui Palestina – Page 3

    Daftar Negara yang Mengakui dan Tidak Mengakui Palestina – Page 3

    Berikut daftar negara yang sudah mengakui Palestina:

    Pengakuan Terhadap Palestina Mulai 2024-2025

     

    Armenia 21 Juni 2024

    Slovenia 4 Juni 2024

    Irlandia 22 Mei 2024

    Norwegia 22 Mei 2024

    Spanyol 22 Mei 2024

    Bahama 8 Mei 2024

    Trinidad dan Tobago 3 Mei 2024

    Jamaika 24 April 2024

    Barbados 20 April 2024

    Armenia 21 Juni 2024

    Slovenia 4 Juni 2024

    Irlandia 22 Mei 2024

    Norwegia 22 Mei 2024

    Spanyol 22 Mei 2024

    Bahama 8 Mei 2024

    Trinidad dan Tobago 3 Mei 2024

    Jamaika 24 April 2024

    Barbados 20 April 2024

    Prancis 22 September 2025

    Luksemburg 22 September 2025

    Malta 22 September 2025

    Monako 22 September 2025

    Belgia 22 September 2025

    Andorra 22 September 2025

    Inggris 21 September 2025

    Australia 21 September 2025

    Kanada 21 September 2025

    Portugal 21 September 2025

    Meksiko 20 Maret 2025

     

    2010-2019

     

    Ekuador 27 Desember 2010

    Bolivia 17 Desember 2010

    Argentina 6 Desember 2010

    Islandia 15 Desember 2011

    Brasil 3 Desember 2011

    Grenada 25 September 2011

    Antigua dan Barbuda 22 September 2011

    Dominika 19 September 2011

    Belize 9 September 2011

    St. Vincent dan Grenadines 29 Agustus 2011

    Honduras 26 Agustus 2011

    El Salvador 25 Agustus 2011

    Suriah 18 Juli 2011

    Sudan Selatan 14 Juli 2011

    Liberia 1 Juli 2011

    Lesotho 3 Mei 2011

    Uruguay 16 Maret 2011

    Paraguay 29 Januari 2011

    Suriname 26 Januari 2011

    Peru 24 Januari 2011

    Guyana 13 Januari 2011

    Chili 7 Januari 2011

    Thailand 18 Januari 2012

    Haiti 27 September 2013

    Guatemala 9 April 2013

    Swedia 30 Oktober 2014

    St. Lucia 14 September 2015

    Tahta Suci 26 Juni 2015

    Kolombia 3 Agustus 2018

    St. Kitts dan Nevis 29 Juli 2019

     

    1991-2009

     

    Eswatini 1 Juli 1991

    Bosnia dan Herzegovina 27 Mei 1992

    Georgia 25 April 1992

    Turkmenistan 17 April 1992

    Azerbaijan 15 April 1992

    Kazakstan 6 April 1992

    Uzbekistan 25 September 1994

    Tajikistan 2 April 1994

    Kirgistan 1 November 1995

    Afrika Selatan 15 Februari 1995

    Papua Nugini 13 Januari 1995

    Malawi 23 Oktober 1998

    Timor Leste 1 Maret 2004

    Montenegro 24 Juli 2006

    Pantai Gading 1 Desember 2008

    Lebanon 30 November 2008

    Kosta Rika 5 Februari 2008

    Republik Dominika 15 Juli 2009

    Venezuela 27 April 2009

     

     1988-1989

     

    Bhutan 25 Desember 1988

    Republik Afrika Tengah 23 Desember 1988

    Burundi 22 Desember 1988

    Botswana 19 Desember 1988

    Nepal 19 Desember 1988

    Republik Demokratik Kongo 18 Desember 1988

    Polandia 14 Desember 1988

    Oman 13 Desember 1988

    Gabon 12 Desember 1988

    Sao Tome dan Principe 10 Desember 1988

    Mozambik 8 Desember 1988

    Angola 6 Desember 1988

    Republik Kongo 5 Desember 1988

    Sierra Leone 3 Desember 1988

    Uganda Desember 3, 1988

    Laos 2 Desember 1988

    Chad 1 Desember 1988

    Ghana 29 November 1988

    Togo 29 November 1988

    Zimbabwe 29 November 1988

    Maladewa 28 November 1988

    Bulgaria 25 November 1988

    Tanjung Verde 24 November 1988

    Korea Utara 24 November 1988

    Niger 24 November 1988

    Rumania 24 November 1988

    Tanzania 24 November 1988

    Hongaria 23 November 1988

    Mongolia 22 November 1988

    Senegal 22 November 1988

    Burkina Faso 21 November 1988

    Kamboja 21 November 1988

    Komoro 21 November 1988

    Guinea 21 November 1988

    Guinea-Bissau 21 November 1988

    Mali 21 November 1988

    Tiongkok 20 November 1988

    Belarus 19 November 1988

    Namibia 19 November 1988

    Rusia 19 November 1988

    Ukraina 19 November 1988

    Vietnam 19 November 1988

    Siprus 18 November 1988

    Republik Ceko 18 November 1988

    Mesir 18 November 1988

    Gambia 18 November 1988

    India 18 November 19881

    Nigeria 18 November 1988

    Seychelles Slowakia 18 November 1988

    Sri Lanka 18 November 1988

    Albania 17 November 1988

    Brunei Darussalam 17 November 1988

    Djibouti 17 November 1988

    Mauritius 17 November 1988

    Sudan 17 November 1988

    Afganistan 16 November 1988

    Bangladesh 16 November 1988

    Kuba 16 November 1988

    Yordania 16 November 1988

    Madagaskar 16 November 1988

    Nikaragua 16 November 1988

    Pakistan 16 November 1988

    Qatar 16 November, 1988

    Arab Saudi 16 November 1988

    Serbia 16 November 1988

    Uni Emirat Arab 16 November 1988

    Zambia 16 November 1988

    Aljazair 15 November 1988

    Bahrain 15 November 1988

    Indonesia 15 November 1988

    Irak 15 November 1988

    Kuwait 15 November 1988

    Libya Malaysia 15 November 1988

    Mauritania 15 November 1988

    Maroko 15 November 1988

    Somalia 15 November 1988

    Tunisia 15 November 1988

    Turki 15 November 1988

    Yaman 15 November 1988

    Iran 4 Februari 1988

    Filipina 1 September 1989

    Vanuatu 21 Agustus 1989

    Benin 1 Mei 1989

    Guinea Khatulistiwa 1 Mei 1989

    Kenya 1 Mei 1989

    Etiopia 4 Februari 1989

    Rwanda 2 Januari 1989

  • GDPS komitmen dukung pertumbuhan ekonomi lewat penyediaan TAD

    GDPS komitmen dukung pertumbuhan ekonomi lewat penyediaan TAD

    Ekspansi ini mempertegas kapasitas perusahaan dalam menyediakan solusi tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan industri yang terus berkembang,

    Jakarta (ANTARA) – PT Garuda Daya Pratama Sejahtera (GDPS), bagian dari Garuda Indonesia Group berkomitmen untuk terus memperkuat perannya sebagai mitra strategis dalam penyediaan tenaga kerja profesional atau tenaga alih daya (TAD) lintas industri.

    Direktur Utama PT GDPS Cornelis Radjawane menyatakan, sejak berdiri pada 2019 pihaknya telah mengembangkan layanan dari sektor aviasi ke berbagai sektor lain seperti Oil & Gas, logistik, teknologi, FMCG, energi, pendidikan hingga industri otomotif.

    “Ekspansi ini mempertegas kapasitas perusahaan dalam menyediakan solusi tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan industri yang terus berkembang,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, jumlah tenaga alih daya yang dikelola menunjukkan pertumbuhan signifikan dari 3.273 TAD pada 2022 meningkat 111 persen menjadi 6.927 TAD sampai dengan pertengahan 2025 tersebar di 194 kota seluruh Indonesia, dengan konsentrasi terbesar berada di kawasan Jabodetabek.

    Pertumbuhan tersebut, lanjutnya, mencerminkan peningkatan skala layanan sekaligus kepercayaan klien dari berbagai sektor terhadap kompetensi GDPS.

    “Saat ini kami tidak hanya berkomitmen mendukung kebutuhan customer semata, tetapi juga berfokus pada penciptaan ekosistem tenaga kerja yang tangguh dan berdaya saing global,” katanya.

    Cornelis menegaskan, peningkatan jumlah tenaga kerja yang signifikan tersebut juga menunjukkan kontribusi perusahaan terhadap perekonomian nasional.

    Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, meningkat sekitar 83 ribu orang atau 1,11 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

    Angka ini mencerminkan adanya gap antara suplai tenaga kerja terdidik dan ketersediaan lapangan pekerjaan tetap, lanjutnya, melalui model outsourcing yang adaptif, GDPS berperan sebagai jembatan antara kebutuhan industri dan ketersediaan tenaga kerja, sehingga customer dapat tetap fokus pada core business, sementara lapangan kerja baru tetap tercipta di berbagai sektor strategis.

    “Ke depan, kami berharap dapat memperluas kesempatan kerja di berbagai sektor dan wilayah, sehingga kontribusi terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Langkah ini juga diharapkan mampu menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif, kompetitif, dan siap menghadapi tantangan global,” katanya.

    Selain memperkuat posisi di pasar domestik, GDPS juga berhasil memperluas jangkauan layanan ke kancah internasional, yang ditandai dengan kerja sama strategis bersama PNG Air atau maskapai penerbangan Papua Nugini.

    Kemudian diperkuat dengan partisipasi pada MRO Asia Pacific 2025 di Singapura. Melalui forum ini, GDPS berhasil menjalin komunikasi dan membuka peluang kerja sama dengan berbagai perusahaan global di sektor Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) menjadi 6.746 TAD.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • BCA fasilitasi “business matching” 37 UMKM dengan “buyer” Jerman

    BCA fasilitasi “business matching” 37 UMKM dengan “buyer” Jerman

    Sesuai permintaan ‘buyer’, ‘business matching’ ini difokuskan pada para pelaku UMKM dengan kategori produk ‘food & beverage’

    Jakarta (ANTARA) – PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memfasilitasi kegiatan business matching yang mempertemukan 37 UMKM binaan dengan pembeli potensial dari Jerman, Go Asia.

    Program ini memperkuat komitmen Perseroan dalam mendukung usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) naik kelas melalui Program Bakti BCA.

    Dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu, Direktur BCA Antonius Widodo Mulyono mengatakan kegiatan tersebut fokus pada produk kategori food & beverage (F&B).

    “Sesuai permintaan dari buyer, kegiatan business matching ini difokuskan pada para pelaku UMKM dengan kategori produk food & beverage. Kami berharap business matching ini dapat menjadi salah satu langkah nyata untuk memperkuat UMKM binaan BCA agar semakin siap dan percaya diri menembus pasar global,” kata Antonius.

    Para pelaku usaha tersebut berasal dari angkatan 2023, 2024 dan 2025 Program UMKM Bakti BCA Go Export.

    Dari total 37 peserta, sebanyak 11 UMKM berasal dari Jabodetabek dan hadir secara langsung di lokasi.

    Sebanyak 26 peserta dari berbagai daerah di luar Jabodetabek bergabung secara daring. Sebelumnya, dua UMKM Bakti BCA telah menjadi contoh sukses terbaru dari implementasi program UMKM Bakti BCA Go Export.

    Pada akhir tahun 2024, UMKM asal Jember yang bergerak di sektor pertanian, telah mengirimkan produknya pertama kali ke Malaysia dan Papua Nugini.

    Sementara itu, UMKM dari Padang yang memproduksi olahan rempah berhasil menembus pasar Thailand untuk pertama kalinya.

    Hingga Mei 2025, secara total nilai ekspor yang berhasil diciptakan dari UMKM Bakti BCA telah menembus angka lebih dari Rp100 miliar.

    Selain mengadakan Program UMKM BCA Bakti BCA Go Export, dukungan BCA kepada UMKM Indonesia juga diwujudkan melalui pengadaan loka karya (workshop) dan fasilitasi penerbitan sertifikat halal.

    Dalam kurun waktu 2023-2024, BCA telah menyelenggarakan pelatihan sertifikasi halal dan mendukung penerbitan sekitar 3 ribu sertifikat halal untuk UMKM di seluruh Indonesia.

    Pada 2025, Antonius menuturkan program pelatihan sertifikasi halal BCA berlanjut dan menargetkan memfasilitasi penerbitan 2.000 sertifikat halal bagi UMKM.

    Di samping itu, sejak tahun 2023, BCA secara konsisten menghadirkan UMKM binaan pada kegiatan Trade Expo Indonesia.

    Melalui Bakti BCA, perseroan berkomitmen secara konsisten mendampingi UMKM untuk bertumbuh, meningkatkan kapasitas, dan memperluas jangkauan pasar, sejalan dengan upaya mendorong perekonomian nasional dan membawa produk-produk lokal berkualitas ke panggung dunia.

    “BCA yakin, pelaku UMKM dapat semakin berkembang dan berkontribusi optimal bagi perekonomian nasional apabila memiliki akses luas serta kesempatan untuk memperluas pasarnya hingga tingkat global,” katanya.

    BCA, lanjutnya, akan terus berjalan bersama UMKM Indonesia dalam perjalanan mereka memperkuat daya saing, dan memperluas kontribusi terhadap perekonomian nasional.

    “Kami berkomitmen senantiasa menjadi mitra yang relevan dan adaptif dalam setiap tahap pertumbuhan pelaku UMKM,” kata Antonius.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.