Negara: Palestina

  • Pertama Kali, Amnesty Internasional Menyatakan Tindakan Israel di Gaza Merupakan Genosida – Halaman all

    Pertama Kali, Amnesty Internasional Menyatakan Tindakan Israel di Gaza Merupakan Genosida – Halaman all

    Pertama Kali, Amnesty Internasional Menyatakan Tindakan Israel di Gaza Merupakan Genosida

    TRIBUNNEWS.COM- Laporan Amnesty International merinci tuduhan utama untuk mendukung klaimnya bahwa “Israel” melakukan genosida di Jalur Gaza.

    Sebuah laporan oleh Amnesty International mengklaim bahwa perang “Israel” di Jalur Gaza merupakan kejahatan perang genosida menurut hukum internasional, dalam deklarasi pertama dari jenisnya sejak dimulainya serangan 14 bulan yang lalu. 

    Laporan setebal 32 halaman yang diterbitkan pada hari Kamis itu mengkaji berbagai peristiwa di Gaza dari Oktober 2023 hingga Juli 2024, dan menuduh “Israel” melakukan tindakan genosida selama konflik yang sedang berlangsung. 

    Amnesty menemukan bahwa pendudukan itu “secara terang-terangan, terus-menerus, dan dengan impunitas total… menimbulkan kekacauan” di Gaza, dengan menyatakan bahwa tindakan “Israel”, termasuk pembunuhan, menimbulkan kerugian, dan menciptakan kondisi yang mengancam jiwa , mencerminkan niat untuk menghancurkan warga Palestina di Gaza. 

    Laporan tersebut menekankan bahwa Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilakukan Hamas pada tanggal 7 Oktober “tidak membenarkan genosida,” dan lebih jauh menekankan bahwa ini adalah pertama kalinya organisasi tersebut membuat tuduhan seperti itu selama konflik yang sedang berlangsung, berdasarkan laporan PBB sebelumnya yang menunjukkan bukti adanya genosida.

    Amnesty menyoroti penghambatan bantuan yang disengaja, penghancuran sistem penting, dan pengungsian, menggambarkan hal ini sebagai bagian dari pola konsisten yang terkait dengan blokade dan pendudukan lama di Gaza. 

    Sekretaris Jenderal Agnes Callamard, saat berpidato di sebuah konferensi pada hari Rabu, menyatakan, “Temuan kami yang memberatkan ini harus menjadi peringatan: ini adalah genosida dan harus dihentikan sekarang.”

    Budour Hassan, peneliti Amnesty untuk “Israel” dan wilayah Palestina yang diduduki, mengatakan kepada The Guardian bahwa meskipun organisasi tersebut awalnya menyadari adanya risiko genosida, bukti yang terkumpul mengungkapkan situasi yang jauh melampaui sekadar pelanggaran hukum internasional , yang mengarah pada sesuatu yang lebih mendalam.

    Tuduhan utama Amnesty 

    Amnesty mencantumkan serangkaian tuduhan utama dan memeriksa beberapa aspek untuk mendukung laporannya:

    – Skala dan luasnya kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya , yang melampaui konflik lain yang pernah tercatat pada abad ke-21. 

    – Niat untuk menghancurkan setelah mengevaluasi dan menolak klaim kecerobohan atau ketidakpedulian Israel terhadap kehidupan warga sipil dalam operasi mereka melawan Hamas.

    – Terlibat dalam serangan langsung berulang terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil atau melakukan serangan tanpa pandang bulu yang mengakibatkan kematian dan kerusakan fisik atau mental yang serius.

    – Menciptakan kondisi kehidupan yang dimaksudkan untuk menimbulkan kerusakan fisik, termasuk penghancuran fasilitas medis, pemblokiran bantuan kemanusiaan , dan penerbitan “perintah evakuasi” yang sewenang-wenang dan meluas yang memengaruhi 90 persen populasi, mengarahkan mereka ke wilayah yang tidak layak huni.

    Amnesty Internasional menyerukan gencatan senjata

    Kristine Beckerle, penasihat tim Amnesty untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, mengatakan bahwa “Israel”, sebagai kekuatan pendudukan, memiliki tanggung jawab hukum untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang diduduki. 

    Namun, ia menganggap serangan “Israel” terhadap Rafah, tempat terakhir yang relatif aman di Gaza saat itu, sebagai titik balik yang penting dalam upaya menetapkan niat.

    “[Israel] telah menjadikan Rafah sebagai titik bantuan utama, dan mereka tahu warga sipil akan pergi ke sana. ICJ memerintahkan mereka untuk berhenti dan mereka tetap melanjutkan perjalanan… Rafah adalah kuncinya,” katanya. 

    Setidaknya 47 orang, termasuk empat anak-anak, tewas dalam serangan udara di Gaza pada hari Selasa, dengan 21 dari mereka berlindung di sebuah kamp tenda dekat Khan Younis. 

    Amnesty International telah meminta PBB untuk menegakkan gencatan senjata , menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin Israel dan Hamas, dan agar negara-negara Barat seperti AS, Inggris, dan Jerman berhenti menyediakan senjata untuk “Israel”. 
    Kelompok hak asasi manusia tersebut juga mendesak Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk menyelidiki genosida dan kejahatan perang lainnya. 

    Selain itu, Amnesty menuntut pembebasan tawanan Israel dan pertanggungjawaban Hamas dan kelompok lain yang bertanggung jawab atas operasi 7 Oktober.

    Laporan tersebut, yang diberi judul “Anda Merasa Seperti Submanusia: Genosida Israel terhadap Warga Palestina di Gaza,” diperkirakan akan memancing reaksi keras, dengan beberapa pakar hukum menduga operasi pada tanggal 7 Oktober itu mungkin juga merupakan genosida, The Guardian menambahkan. 

    SUMBER: AL MAYADEEN

  • Amnesty Tuduh Israel Lakukan Genosida di Gaza: Ini Harus Dihentikan!

    Amnesty Tuduh Israel Lakukan Genosida di Gaza: Ini Harus Dihentikan!

    Jakarta

    Amnesty International menuduh Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza sejak dimulainya perang tahun lalu. Amnesty mengatakan pada hari Kamis (5/12), bahwa laporan baru tersebut merupakan “peringatan” bagi masyarakat internasional.

    Organisasi hak asasi manusia yang berkantor pusat di London, Inggris tersebut, mengatakan bahwa temuannya didasarkan pada “pernyataan genosida dan tidak manusiawi para pejabat pemerintah dan militer Israel”, citra satelit yang mendokumentasikan kehancuran, kondisi lapangan dan laporan langsung dari warga Gaza.

    “Bulan demi bulan, Israel telah memperlakukan warga Palestina di Gaza sebagai kelompok submanusia yang tidak layak mendapatkan hak asasi manusia dan martabat, menunjukkan niatnya untuk menghancurkan mereka secara fisik,” kata kepala Amnesty, Agnes Callamard dalam sebuah pernyataan, dilansir kantor berita AFP, Kamis (5/12/2024).

    “Temuan kami yang memberatkan ini harus menjadi peringatan bagi masyarakat internasional: ini adalah genosida. Ini harus dihentikan sekarang,” tambahnya.

    Sebelumnya, kelompok Hamas melancarkan besar-besaran di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober 2023, yang memicu serangan militer Israel yang mematikan.

    Israel telah berulang kali dan dengan tegas membantah tuduhan genosida, menuduh Hamas menggunakan rakyat Palestina sebagai tameng manusia.

    “Sama sekali tidak ada keraguan bahwa Israel memiliki sasaran militer. Namun keberadaan sasaran militer tidak meniadakan kemungkinan adanya niat genosida,” kata Callamard kepada AFP dalam konferensi pers di Den Haag, Belanda.

  • Prancis-Arab Saudi Akan Gelar Konferensi Pembentukan Negara Palestina

    Prancis-Arab Saudi Akan Gelar Konferensi Pembentukan Negara Palestina

    Jakarta

    Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa ia dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman akan menjadi ketua bersama sebuah konferensi tentang pembentukan negara Palestina. Konferensi tersebut akan digelar pada bulan Juni mendatang.

    “Kami telah memutuskan untuk menjadi ketua bersama sebuah konferensi untuk kedua negara tersebut pada bulan Juni tahun depan,” kata Macron, mengacu pada Israel dan Palestina.

    “Dalam beberapa bulan mendatang, bersama-sama kami akan memperbanyak dan menggabungkan inisiatif diplomatik kami untuk membawa semua orang di sepanjang jalan ini,” tambahnya, dilansir kantor berita AFP, Kamis (5/12/2024).

    Menanggapi pertanyaan tentang apakah Prancis akan mengakui negara Palestina, presiden Prancis itu mengatakan dia akan melakukannya “pada saat yang tepat”, dan pada saat “ketika hal itu memicu gerakan pengakuan timbal balik.”

    “Kami ingin melibatkan beberapa mitra dan sekutu lainnya, baik Eropa maupun non-Eropa, yang siap untuk bergerak ke arah ini tetapi yang menunggu Prancis” ujar Macron.

    Macron menjelaskan bahwa ada tujuan simultan untuk “memicu gerakan pengakuan yang mendukung Israel,” yang menurutnya dapat “memberikan jawaban dalam hal keamanan bagi Israel dan meyakinkan orang-orang bahwa solusi dua negara adalah solusi yang relevan bagi Israel.”

  • 9 Update Panas Perang Arab: Warning Baru Israel-Rusia Perkuat Posisi

    9 Update Panas Perang Arab: Warning Baru Israel-Rusia Perkuat Posisi

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Wilayah Timur Tengah masih terus dialami ketegangan baru. Kali ini, ada dua perang besar yang terjadi di dunia Arab itu.

    Di Jalur Gaza Palestina dan Lebanon, saat ini Israel sedang menghadapi peperangan dengan milisi di dua negara itu, Hamas dan Hizbullah. Meski sebelumnya sempat sepakat melakukan gencatan senjata dengan Hizbullah, namun banyak aksi saling serang yang melibatkan kedua pihak.

    Di sisi lain, di front lain, muncul perang baru di Suriah. Perang ini digemborkan oleh Kelompok Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang berhasil menguasai kota Aleppo dari Pemerintah Suriah.

    Berikut perkembangan dua peperangan tersebut dikutip dari beberapa sumber, Kamis (5/12/2024):

    1. Israel Beri Warning Perluas Perang Lebanon

    Israel memberikan peringatan baru kepada milisi Lebanon Hizbullah dan Pemerintah Lebanon, Selasa (3/12/2024). Hal ini terjadi saat keduanya nampak melanggar perjanjian gencatan senjata yang sudah disepakati pekan lalu.

    Dalam pengumumannya, Israel mengatakan akan meminta pertanggungjawaban Lebanon karena gagal melucuti senjata militan yang melanggar gencatan senjata. Negeri Zionis itu bahkan mengancam Pemerintah Lebanon akan kembali ke negara itu bila situasinya tidak bisa diatasi.

    “Jika kami kembali berperang, kami akan bertindak tegas, kami akan bertindak lebih dalam, dan hal terpenting yang perlu mereka ketahui: bahwa tidak akan ada lagi pengecualian bagi negara Lebanon,” kata Menteri Pertahanan Israel Katz dikutip Channel News Asia yang melansir Reuters.

    “Jika sampai sekarang kami memisahkan negara Lebanon dari Hizbullah, tidak akan lagi (Israel hanya mundur).”

    Meskipun ada gencatan senjata minggu lalu, pasukan Israel terus melakukan serangan terhadap apa yang mereka sebut sebagai pejuang Hizbullah yang mengabaikan perjanjian.

    Pada Senin, Hizbullah menembaki sebuah pos militer Israel, sementara otoritas Lebanon mengatakan sedikitnya 12 orang tewas dalam serangan udara Israel di Lebanon. Satu orang lainnya tewas pada hari Selasa oleh serangan pesawat tak berawak.

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan setiap pelanggaran gencatan senjata akan dihukum, betapapun kecilnya. Menurutnya, perjanjian gencatan senjata bukanlah akhir dari perang, sehingga Tel Aviv masih mampu mengambil tindakan keras.

    “Kami menegakkan gencatan senjata ini dengan tangan besi,” katanya menjelang pertemuan kabinet di kota perbatasan Utara Nahariya. “Saat ini kami sedang dalam gencatan senjata, saya catat, gencatan senjata, bukan akhir dari perang,” tambahnya.

    2. AS-Prancis Turun Tangan di Lebanon

    Untuk tindak lanjut, Jenderal Amerika Serikat (AS) Jasper Jeffers dan Jenderal Prancis Guillaume Ponchin akan mengadakan pertemuan di Beirut dengan Pemerintah Lebanon pada Rabu. Salah seorang sumber mengatakan kedua jenderal itu akan mencoba mencari jalan keluar dari mekanisme gencatan senjata yang sejauh ini mandek.

    “Ada urgensi untuk menyelesaikan mekanisme tersebut, jika tidak maka akan terlambat,” ungkap salah satu sumber, mengacu pada peningkatan serangan Israel secara bertahap meskipun ada gencatan senjata.

    3. Israel Serbu Rumah Sakit Gaza

    Al Jazeera melaporkan bahwa Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahiya menjadi sasaran penembakan artileri dan tembakan oleh pasukan Israel.

    Pasukan Israel mengepung sekolah-sekolah Abu Tamam, yang menampung orang-orang yang mengungsi di pusat Beit Lahiya di Jalur Gaza Utara, seraya mencatat bahwa penduduk Beit Lahiya yang terkepung menghadapi bahaya serius karena meningkatnya penembakan.

    4. AS Marah ke Israel, Minta Ini

    Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, meminta Israel untuk menyelidiki tuduhan bahwa serangan udaranya telah menewaskan pekerja bantuan Save the Children dan World Central Kitchen di Gaza.

    Ketika ditanya tentang pembunuhan Ahmad Faisal Isleem Al-Qadi yang berusia 39 tahun dalam serangan udara pada hari Sabtu di Khan Younis, Patel mengatakan Washington sedang mencari informasi lebih lanjut tentang kematian tersebut.

    “Kami sangat marah, dan kami menginginkan informasi lebih lanjut tentang insiden ini,” kata Patel.

    “(Tentara Israel) perlu memberikan informasi tambahan tentang insiden ini,” tambahnya.

    5. Prancis Gandeng Saudi Buat Konferensi Palestina

    Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa ia dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman akan menjadi ketua bersama konferensi tentang pembentukan negara Palestina pada bulan Juni.

    “Kami telah memutuskan untuk menjadi ketua bersama konferensi untuk kedua negara pada bulan Juni tahun depan,” kata Macron, mengacu pada Israel dan negara Palestina yang potensial.

    “Dalam beberapa bulan mendatang, bersama-sama kita akan memperbanyak dan menggabungkan inisiatif diplomatik kita untuk membawa semua orang di sepanjang jalan ini,” tambahnya.

    Meskipun Uni Eropa tidak mengakui negara Palestina, beberapa negara Eropa telah mengambil langkah-langkah tahun ini untuk mengakuinya, termasuk Irlandia, Spanyol, dan Norwegia.

    6. Israel Bunuh Penghubung Hizbullah-Suriah

    Pasukan Israel telah mengkonfirmasi di Telegram bahwa mereka telah membunuh seorang tokoh senior Hizbullah yang bertanggung jawab untuk berhubungan dengan tentara Suriah.

    “Rezim Suriah mendukung Hizbullah dan membiarkan organisasi tersebut memanfaatkannya untuk transfer senjata ke wilayah Lebanon, sehingga membahayakan warga Suriah dan Lebanon,” kata seorang juru bicara tentara Israel.

    Juru bicara tersebut menambahkan bahwa orang yang terbunuh tersebut merupakan tokoh penting dan aktif di Suriah. Tanpa menyebutkan nama jelas, juru bicara tersebut mengungkapkan kematian figur itu akan mencegah pembentukan organisasi teroris Hizbullah di Suriah serta penguatan Hizbullah di dalam negeri Lebanon.

    7. PBB Awasi Israel-Lebanon

    Pasukan penjaga perdamaian PBB mengatakan siap mendukung perjanjian apa pun yang akan mengakhiri kekerasan di ‘Garis Biru’ atau garis demarkasi antara Lebanon dan Israel.

    “Kami akan terus memantau dan melaporkan pelanggaran resolusi 1701, dan mendesak semua aktor untuk mematuhi resolusi tersebut baik secara harfiah maupun semangat,” katanya pada X, merujuk pada resolusi PBB tahun 2006 yang dimaksudkan untuk mengakhiri permusuhan antara Hizbullah dan Israel setelah perang mereka sebelumnya.

    Kelompok tersebut menanggapi sebuah posting oleh Letnan Jenderal Aroldo Lazaro Saenz, kepala misi dan komandan pasukan UNIFIL, yang mengatakan bahwa ia bertemu dengan Duta Besar AS Lisa Johnson dan Mayor Jenderal Jasper Jeffers, yang mengawasi gencatan senjata yang ditengahi AS.

    “Kami membahas upaya untuk membantu memulihkan stabilitas dan dukungan pasukan penjaga perdamaian untuk kerja mekanisme tersebut,” katanya.

    8. Aktivis Yahudi Geruduk Parlemen Kanada

    Para aktivis Yahudi menyerukan Kanada untuk berhenti mengirim senjata ke Israel karena Israel terus mengebom daerah kantong Palestina tersebut. Video yang dibagikan di media sosial menunjukkan puluhan orang duduk di pintu masuk gedung parlemen di Ottawa, menyanyikan lagu-lagu dan meneriakkan, “Embargo senjata sekarang!”

    “Setiap bom yang dijatuhkan Israel di Gaza dan setiap rudal yang ditembakkan ke Lebanon mengandung kebenaran yang mengerikan: pesawat tempur dan helikopter serang yang menghancurkan warga sipil tidak dapat terbang tanpa ratusan komponen buatan Kanada,” kata Niall Ricardo dari Independent Jewish Voices Canada, salah satu penyelenggara protes tersebut, dalam sebuah pernyataan.

    “Ekspor senjata Kanada yang terus berlanjut dan dukungan diplomatik membuatnya terlibat dalam kekejaman ini.”

    9. Rusia-Iran Perkuat Posisi di Suriah

    Pemberontak Suriah terus mendesak pemerintah Bashar al-Assad dengan kemajuan signifikan di medan perang. Pada Selasa (3/12/2024), mereka berhasil mendekati kota besar Hama, menandai salah satu pergerakan terbesar dalam konflik ini sejak 2020.

    Langkah ini terjadi setelah mereka mengejutkan dunia dengan merebut Aleppo, kota terbesar di Suriah sebelum perang.

    Menurut laporan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, sebagaimana dikutip Reuters, kelompok pemberontak telah merebut beberapa desa di utara Hama, termasuk Maar Shahur. Keberhasilan ini memberikan tekanan besar pada pasukan Assad yang telah menguasai Hama sejak pecahnya perang pada 2011.

    Media pemerintah Suriah melaporkan bahwa bala bantuan militer telah tiba untuk mempertahankan kota ini. Namun, seorang sumber pemberontak mengonfirmasi bahwa mereka kini menghadapi pasukan milisi pro-Iran di luar Hama.

    Ketegangan juga meningkat karena sekutu utama Assad, yaitu Rusia dan Iran, bergerak untuk mendukungnya. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menyatakan kesediaannya mengirim pasukan jika diminta oleh Damaskus. Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyerukan diakhirinya “agresi teroris” di Suriah.

    Perdana Menteri Irak Shia al-Sudani juga menuding serangan udara Israel terhadap pemerintah Suriah sebagai faktor yang memperburuk situasi. Ia menegaskan bahwa Irak tidak akan menjadi “penonton pasif” dalam konflik ini.

    (luc/luc)

  • Korban Tewas Serangan Israel di Gaza Melonjak Jadi 44.532 Orang

    Korban Tewas Serangan Israel di Gaza Melonjak Jadi 44.532 Orang

    Gaza

    Israel terus menggempur Gaza, Palestina. Kini, ada 44.532 orang yang tewas akibat serangan Israel di Gaza.

    Dilansir AFP, Rabu (4/12/2024), laporan total kematian itu disampaikan oleh Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas. Jumlah ini termasuk 30 orang yang tewas dalam 24 jam terakhir.

    Selain 44 ribu orang tewas, gempuran Israel ini mengakibatkan 105.538 orang terluka di Jalur Gaza. Jutaan warga Gaza juga menjadi pengungsi dan terancam kelaparan.

    Sebelumnya, terkait situasi di Gaza ini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan Israel untuk menarik diri dari wilayah-wilayah Palestina yang diduduki dan mendorong pembentukan negara Palestina. Majelis Umum PBB juga sepakat untuk menyelenggarakan konferensi internasional pada bulan Juni tahun 2025 untuk mencoba memulai solusi dua negara.

    Dalam sebuah resolusi yang disahkan pada hari Selasa (3/12) waktu setempat dengan suara 157 negara setuju dan 8 menolak, serta 7 abstain, Majelis menyatakan “dukungan yang tak tergoyahkan, sesuai dengan hukum internasional, untuk solusi dua negara Israel dan Palestina”. Amerika Serikat dan Israel termasuk di antara negara-negara yang menolak resolusi ini.

    Majelis mengatakan kedua negara harus “hidup berdampingan dalam damai dan aman di dalam perbatasan yang diakui, berdasarkan perbatasan pra-1967”.

    (isa/haf)

  • Amnesty Tuduh Israel Lakukan Genosida di Gaza: Ini Harus Dihentikan!

    Beredar Rumor Israel Bangun Pangkalan di Gaza, AS Bilang Gini

    Washington DC

    Amerika Serikat (AS) menanggapi rumor yang menyebut Israel sedang membangun pangkalan permanen di wilayah Jalur Gaza. Washington menyatakan keprihatinan atas rumor tersebut, dan menyuarakan penolakannya terhadap langkah pembangunan semacam itu.

    Rumor itu, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Rabu (4/12/2024), mencuat setelah media terkemuka AS, New York Times (NYT), melaporkan percepatan aktivitas pembangunan oleh militer Israel.

    Laporan NYT itu menyebut analisis citra satelit menunjukkan peningkatan dan percepatan pembangunan pangkalan, yang disertai pembongkaran lebih dari 600 bangunan di wilayah Jalur Gaza bagian tengah, yang mengindikasikan kehadiran militer Tel Aviv dalam jangka panjang.

    Departemen Luar Negeri AS menyatakan pihaknya tidak dapat mengonfirmasi laporan NYT tersebut.

    Namun ditekankan oleh Departemen Luar Negeri AS bahwa Menteri Luar Negeri (Menlu) Antony Blinken pada awal perang Gaza menegaskan penolakan terhadap kehadiran permanen militer Israel di wilayah Jalur Gaza.

    “Jika laporan itu benar, tentu saja hal itu tidak konsisten dengan sejumlah prinsip yang telah ditetapkan oleh Menlu Blinken,” ucap juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, dalam pernyataannya ketika ditanya lebih lanjut soal laporan NYT.

    “Tidak boleh ada pengurangan wilayah Gaza. Selain itu, tidak boleh ada pengungsian paksa terhadap warga Palestina dari rumah-rumah mereka,” katanya saat berbicara kepada wartawan.

    Saksikan juga video: Pilu! Warga Gaza Diserang Israel saat Menunggu Makanan, 6 Orang Tewas

  • Kami Membakar Rumah-Rumah di Gaza untuk Bersenang-senang Tapi Tak Paham Alasannya

    Kami Membakar Rumah-Rumah di Gaza untuk Bersenang-senang Tapi Tak Paham Alasannya

    GELORA.CO  – Media Amerika Serikat (AS), The Washington Post mengulas pengalaman sejumlah Tentara Israel (IDF) yang bertugas di Jalur Gaza selama agresi militer yang dilakukan negara pendudukan tersebut pasca-kejadian 7 Oktober 2023.

    Ulasan bertujuan untuk mengetahui tujuan di balik penghancuran masif rumah-rumah warga Gaza dan infrastruktur penunjang kehidupan di sana berikut indikasi pemusnahan massal (genosida) penduduknya.

      

    Mengutip seorang tentara cadangan Israel yang bertugas di Gaza, laporan itu mengatakan kalau unit tentara IDF itu membakar setidaknya 20 rumah di Gaza dalam waktu 5 bulan.

    Motif pembakaran dan penghancuran rumah-rumah warga Gaza oleh Tentara IDF itu disebutkan hanya untuk bersenang-senang.

    “Para tentara Israel membakar rumah-rumah di Jalur Gaza untuk bersenang-senang,” tulis laporan itu dikutip Khaberni, Rabu (4/12/2024).

    Prajurit IDF tersebut menyatakan kalau ada perasaan yang sangat kuat di antara para prajurit Israel untuk membalas dendam kepada semua orang di Gaza atas serangan Banjir Al-Aqsa yang dilakukan gerakan Hamas pada 7 Oktober 2023 silam.

    Laporan juga mengindikasikan kalau cara-cara yang dilakukan IDF bersumber dari pemikiran ‘Hukuman kolektif’, bahwa aksi Hamas harus dibayar oleh semua warga Gaza tanpa pandang bulu.

    Akibatnya, aksi militer IDF cenderung menyalahi hukum perang dan internasional serta terindikasi melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan.

    Di sisi lain, tentara IDF itu menyatakan kalau militer Israel belum menerapkan kode etik militer dalam cara-cara agresi mereka di Gaza. 

    “Dia menunjukkan bahwa sistem disiplin yang membuat tentara bertanggung jawab belum diterapkan,” tambah laporan itu.

    Fakta lain yang diungkapkan oleh laporan itu adalah, para prajurit Israel tidak mengetahui alasan dari penghancuran rumah-rumah di Gaza, selain kalau itu adalah perintah yang harus dijalankan.

    “Dalam konteks ini, surat kabar tersebut mengutip pernyataan tentara Israel: Kami sering tidak memahami tujuan militer mengebom rumah-rumah di Gaza,” kata tulisan Khaberni mengutip laporan tersebut.

    Bangun Zona Penyangga di Sekeliling Gaza

    Terkait penghancuran massal rumah-rumah warga Gaza, 

    Media Ibrani Yedioth Ahronoth, mengabarkan kalau tentara pendudukan Israel telah menyelesaikan sebagian besar pekerjaan untuk membangun zona penyangga di Jalur Gaza. 

    Menurut sumber-sumber Ibrani, zona penyangga meluas hingga kedalaman berkisar antara 1 kilometer hingga 2 kilometer di dekat selubung Gaza.  

    “Laporan menunjukkan kalau tentara pendudukan Israel mengerahkan sistem pemantauan dan fotografi canggih di dalam zona penyangga, dengan tujuan memantau pergerakan sepanjang waktu,” tulis laporan itu dikutip dari Khaberni, Selasa (3/12/2024). 

    Surat kabar Yedioth Ahronoth juga menjelaskan kalau pasukan tentara akan menembak siapa saja yang mencoba memasuki kawasan ini.

    Daerah penyangga yang dimaksud di atas akan menjadikan Jalur Gaza semacam penjara terbuka terbesar di dunia yang lebih ketat dari sebelumnya saat pemberlakuan blokade dan pengepungan di berbagai lokasi jalur masuk ke wilayah kantung Palestina tersebut.

    Hancurkan Ratusan Bangunan

    Terkait rencana ini, Tentara Israel dilaporkan juga telah memperluas pembangunan pangkalan militer, pos terdepan, dan menara komunikasi di Koridor Netzarim di Gaza tengah, New York Times (NYT) melaporkan pada 2 Desember.

    Militer telah menghancurkan lebih dari 600 bangunan di sekitar koridor tersebut dalam tiga bulan terakhir “dalam upaya nyata untuk menciptakan zona penyangga,” menurut laporan tersebut.

    Citra satelit yang ditinjau oleh NYT menunjukkan tentara Israel telah membangun sedikitnya 19 pangkalan besar di seluruh wilayah tersebut dan puluhan pangkalan kecil, yang menunjukkan rencana pendudukan jangka panjang.

    Pembangunan yang dilakukan militer di Netzarim menunjukkan pendudukan jangka panjang di Gaza dan upaya untuk mencegah warga Palestina kembali ke rumah mereka di wilayah utara jalur tersebut.

    “Meskipun beberapa pangkalan dibangun pada awal perang, citra satelit juga menunjukkan bahwa laju pembangunan tampaknya semakin cepat: 12 pangkalan dibangun atau diperluas sejak awal September,” tulis NYT.

    Akibat pembangunan tersebut, koridor tersebut perlahan berkembang menjadi zona militer seluas 46,6 kilometer persegi yang diduduki oleh pasukan Israel.

    Surat kabar itu mengatakan bahwa kendali atas Koridor Netzarim, yang membentang dari perbatasan Gaza dengan Israel hingga Laut Mediterania, memungkinkan tentara untuk “mengatur” pergerakan warga Palestina.

    Kontrol tentara atas koridor tersebut memungkinkan Israel mencegah kembalinya ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman dan operasi darat Israel dari selatan Gaza ke rumah mereka.

    Israel juga membangun Koridor Philadelphi, zona penyangga yang memisahkan Rafah di Gaza selatan dari Mesir, yang memberikan pasukan Israel kendali atas perbatasan Mesir dan Penyeberangan Rafah yang penting. 

    Israel juga membuat koridor militer lain di ujung utara Gaza, memotong kota Jabalia, Beit Hanoun, dan Beit Lahia dari Kota Gaza di tengah, menurut citra satelit yang dipelajari oleh BBC Verify.

    BBC melaporkan bahwa “Gambar dan video satelit menunjukkan bahwa ratusan bangunan telah dihancurkan antara Laut Mediterania dan perbatasan Israel, sebagian besar melalui ledakan terkendali.”

    Dr HA Hellyer, pakar keamanan Asia Barat dari lembaga riset Rusi, mengatakan kepada BBC bahwa tentara Israel “berusaha keras untuk jangka panjang. Saya benar-benar berharap pemisahan wilayah utara akan berkembang persis seperti Koridor Netzarim.”

    Pembangunan koridor baru di Gaza utara yang dimulai pada bulan Oktober sesuai dengan penerapan Rencana Jenderal oleh Israel . 

    Berdasarkan strategi yang dirancang oleh mantan jenderal Giora Eiland, tentara Israel mengeluarkan perintah bagi semua warga Palestina untuk meninggalkan Gaza utara, sementara mereka yang tidak dapat atau menolak untuk pergi akan dikepung, dibom, dan dibiarkan kelaparan. 

    Dr Hellyer menyarankan bahwa penerapan Rencana Jenderal akan membuka pintu bagi aneksasi permanen Gaza dan dimulainya pemukiman Yahudi di sana dalam waktu dekat.

    “Secara pribadi, saya pikir mereka akan menempatkan para pemukim Yahudi di utara, mungkin dalam 18 bulan ke depan,” katanya. “Mereka tidak akan menyebutnya pemukiman. Pertama-tama, mereka akan menyebutnya pos terdepan atau apa pun, tetapi begitulah nantinya, dan mereka akan berkembang dari sana.

  • Gaza Masih Digempur Israel, Korban Jiwa Terus Bertambah hingga Ancaman Evakuasi Baru

    Gaza Masih Digempur Israel, Korban Jiwa Terus Bertambah hingga Ancaman Evakuasi Baru

    GELORA.CO  – Militer Israel melancarkan serangan udara yang intensif di Gaza, menewaskan sedikitnya 14 orang dalam serangan malam pada hari Selasa (3/12/2024).

    Serangan ini menambah jumlah korban jiwa yang terus meningkat di wilayah yang dilanda konflik tersebut.

    Menurut laporan petugas medis, delapan orang tewas di Beit Lahiya, sementara empat orang lainnya kehilangan nyawa di Kota Gaza.

    Dua orang tewas dalam serangan di Jabalia, kamp pengungsi terbesar di Gaza.

    Serangkaian serangan ini terjadi di tengah perintah evakuasi paksa yang dikeluarkan oleh militer Israel, Al Jazeera melaporkan.

    Tel Aviv menyerukan agar penduduk untuk meninggalkan wilayah di Khan Younis, kota selatan Gaza.

    “Untuk keselamatan Anda sendiri, Anda harus segera mengungsi dari daerah tersebut dan pindah ke zona kemanusiaan,” kata militer Israel dalam sebuah pernyataan di platform X, menyusul peluncuran roket oleh kelompok Palestina.

    Namun, organisasi non-pemerintah Action For Humanity menegaskan bahwa tidak ada zona kemanusiaan yang aman di Gaza.

    Penelitian menunjukkan bahwa perintah evakuasi paksa tidak membantu penduduk yang berusaha mencari tempat berlindung dari serangan.

    “Penggunaan istilah-istilah ini oleh Israel ditujukan untuk memberikan legitimasi pada pemindahan paksa,” ungkap pernyataan organisasi tersebut.

    Pejabat Palestina dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyatakan bahwa tidak ada daerah aman di Gaza.

    Ada lebih dari 2,3 juta penduduk telah mengungsi.

    Banyak di antaranya mengalami pengungsian hingga sepuluh kali sejak konflik dimulai tahun lalu.

    Kelompok Palestina menuduh tentara Israel berusaha mengusir penduduk dari utara Gaza melalui evakuasi paksa dan serangan udara, untuk menciptakan zona penyangga.

    Namun, tentara Israel membantah tuduhan ini.

    Rezim zionis menyatakan bahwa mereka kembali ke area tersebut untuk mencegah pejuang Hamas berkumpul kembali.

    Sementara itu, Pertahanan Sipil Palestina melaporkan bahwa operasinya di Jabalia, Beit Lahiya, dan Beit Hanoon telah terhenti selama hampir empat minggu akibat serangan Israel dan kekurangan bahan bakar.

    Sejak perang dimulai, 88 anggota Pertahanan Sipil telah tewas, 304 terluka, dan 21 ditahan oleh Israel.

    Dengan situasi yang semakin memburuk, banyak penduduk Gaza terpaksa menghadapi realitas yang keras di tengah konflik yang berkepanjangan ini

  • Mahkamah Internasional Memulai Sidang Bersejarah terkait Perubahan Iklim

    Mahkamah Internasional Memulai Sidang Bersejarah terkait Perubahan Iklim

    Jakarta

    Masyarakat Kepulauan Pasifik dulunya hidup harmonis dengan lautan, kini rumah mereka terancam oleh naiknya permukaan air laut. Biang keroknya sebagian besar disebabkan oleh pemanasan suhu global yang terkait dengan pembakaran bahan bakar fosil untuk produksi energi dan transportasi.

    “Kenaikan permukaan air laut merupakan masalah besar bagi negara-negara kepulauan kecil dengan lahan terbatas yang bisa ditinggali penduduknya,” papar pejabat eksekutif World’s Youth for Climate Justice Jule Schnakenberg. Ia menambahkan, problem itu juga membatasi akses penduduk terhadap air bersih untuk minum, menanam bahan makanan, dan memasak.

    Para pegiat lingkungan mengatakan, pelanggaran hak asasi manusia seperti inilah yang memotivasi mereka untuk melobi pemerintah agar mengambil tindakan hukum.

    Terkait hal ini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta pengadilan tertinggi, Mahkamah Internasional (ICJ), untuk memberikan pendapat hukum tentang kewajiban negara-negara terkait perubahan iklim.

    Dipimpin oleh Kepulauan Pasifik Vanuatu, 98 negara dari seluruh dunia dan 12 organisasi internasional siap memberikan pernyataan lisan kepada ICJ selama dua minggu ke depan.

    Hakim di pengadilan akan mengeluarkan “advisory opinion” atau pendapat atau opini nasihat mengenai masalah tersebut — dan konsekuensi hukum bagi pemerintah yang gagal bertindak atau telah mengambil tindakan yang secara signifikan membahayakan lingkungan.

    “Bagi sebagian dari kami, ini adalah perjalanan yang memakan waktu lima tahun dan kami menyadari tonggak sejarah ini bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai titik pengecekan, titik memeriksa kembali, karena ini adalah langkah lain ke arah yang benar dalam perjuangan untuk keadilan iklim ini,” ujar Siosiua Veikune, seorang juru kampanye dari kelompok Mahasiswa Kepulauan Pasifik Melawan Perubahan Iklim.

    Bersembunyi di Balik Perjanjian Paris

    Di sana, permukaan air naik hampir dua kali lebih cepat dari rata-rata global, dengan peningkatan 10 hingga 15 sentimeter di barat Pasifik sejak 1993, demikian menurut Organisasi Meteorologi Dunia.

    Penilaian PBB menempatkan target pengurangan emisi saat ini yang dijanjikan oleh negara-negara berdasarkan Perjanjian Paris Internasional, di jalur kenaikan suhu global hingga 2,9 derajat Celsius. Itu jauh di atas batas yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut yaitu dua derajat dengan upaya untuk menjaga pemanasan global hingga 1,5 Celsius.

    “Ada kesenjangan yang tidak masuk akal antara kebijakan negara yang seharusnya dan di mana kebijakan tersebut berada saat ini dan apa yang dituntut oleh keadilan dan sains untuk mencegah bencana iklim,” papar Joie Chowdhury, yang merupakan pengacara senior di Pusat Hukum Lingkungan Internasional (CIEL), kepada DW.

    Pakar hukum mengatakan, pendapat nasihat tersebut akan memperjelas kewajiban negara berdasarkan undang-undang yang sudah ada dan melampaui cakupan Perjanjian Paris.

    “Para pencemar lingkungan besar ini mencoba bersembunyi di balik Perjanjian Paris,” ujar Margaretha Wewerinke-Singh, yang mewakili Vanuatu dalam sidang iklim ICJ. Dia mengatakan pertanyaan sebenarnya adalah, apakah pengadilan akan “mengkonfirmasi bahwa ada lebih dari Perjanjian Paris dan bahwa kewajiban-kewajiban lain ini juga berlaku secara paralel.”

    ICJ adalah satu dari tiga pengadilan yang diminta untuk menerbitkan opini atau pendapat nasihat tentang kewajiban negara-negara terkait perubahan iklim.

    Pada bulan Mei, Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut adalah yang pertama mengeluarkan pendapat nasihatnya, yang mengakui gas rumah kaca sebagai bentuk polusi laut. Pengadilan ini menyoroti kewajiban negara-negara berdasarkan hukum laut sebagai tambahan dari kewajiban dalam Perjanjian Paris.

    Setelah sidang awal tahun ini, Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika diharapkan untuk menyampaikan pendapatnya tentang kewajiban negara-negara untuk melindungi hak asasi manusia terkait perubahan iklim sebelum ICJ mengeluarkan pendapatnya.

    Selain mempertimbangkan dua pendapat atau opini nasihat sebelumnya, para ahli mengatakan ICJ juga akan mempertimbangkan putusan-putusan iklim penting lainnya, seperti putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa bahwa Swiss telah melanggar hak asasi manusia warganya dengan tidak memenuhi target pengurangan emisi sebelumnya.

    “Kami ingin bergerak ke arah aksi iklim berbasis hak asasi manusia, sehingga masyarakat tahu bahwa mereka memiliki satu atau banyak hak asasi manusia, dan bahwa negara mereka harus mengambil semua langkah yang diperlukan, dan melakukannya berdasarkan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia, dan jika negara tidak melakukannya, Anda memiliki hak hukum untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atau perusahaan Anda,” tegas Schnakenberg.

    Cetak biru untuk litigasi iklim

    Meskipun pendapat nasihat dari ICJ tidak mengikat secara hukum, pendapat tersebut memiliki signifikansi politik dan hukum.

    Pada bulan Oktober, pemerintah Irlandia memutuskan untuk menangguhkan perdagangan dengan Israel secara sepihak atas produk-produk yang berasal dari Tepi Barat yang diduduki, menyusul pendapat nasihat ICJ atas pelanggaran hak-hak rakyat Palestina.

    Para ahli hukum mengatakan, pendapat nasihat ICJ tentang perubahan iklim dapat memiliki konsekuensi politik yang serupa – khususnya karena negara-negara bersiap untuk mengajukan target pengurangan emisi gas rumah kaca baru menjelang pertemuan puncak iklim COP berikutnya pada bulan November 2025.

    “Itu mungkin akan menjadi hasil yang ideal, bahwa pengadilan hanya memberikan koreksi arah yang diperlukan untuk negosiasi itu sendiri, sehingga ambisinya meningkat,” kata Wewerinke-Singh.

    Jika bukan itu hasilnya, Chowdhury mengatakan pendapat tersebut dapat memberikan “cetak biru hukum” internasional yang berlaku untuk perubahan iklim, dengan potensi litigasi melalui pengadilan domestik dan internasional.

    Saat ini, terdapat lebih dari 2.000 kasus iklim yang terjadi di seluruh dunia terhadap negara dan perusahaan.

    “Tentu saja, Anda harus membuktikan hubungan sebab-akibatnya dan itu akan bergantung pada kasus per kasus, tetapi yang dapat dilakukan pengadilan adalah menetapkan bahwa prinsip hukum untuk pemulihan dan ganti rugi memang ada menurut hukum internasional,” tambah Chowdhury.

    Setelah bertahun-tahun berjuang dan akhirnya berhasil mencapai sidang ICJ di Den Haag, Schakenberg mengatakan, ia dan para pegiat yang bekerja dengannya di Pasifik dan di seluruh dunia merasa penuh harapan.

    “Sepanjang kampanye ini, kami selalu mengatakan, kami adalah orang-orang optimistis yang keras kepala, dan saya rasa kita hanya perlu percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi,” tandasnya.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

  • Majelis Umum PBB Dorong Pembentukan Negara Palestina, Serukan Israel Mundur!

    Majelis Umum PBB Dorong Pembentukan Negara Palestina, Serukan Israel Mundur!

    Jakarta

    Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan Israel untuk menarik diri dari wilayah-wilayah Palestina yang diduduki dan mendorong pembentukan negara Palestina. Majelis Umum PBB juga sepakat untuk menyelenggarakan konferensi internasional pada bulan Juni tahun mendatang untuk mencoba memulai solusi dua negara.

    Dalam sebuah resolusi yang disahkan pada hari Selasa (3/12) waktu setempat dengan suara 157 negara setuju dan 8 menolak, serta 7 abstain, Majelis menyatakan “dukungan yang tak tergoyahkan, sesuai dengan hukum internasional, untuk solusi dua negara Israel dan Palestina.” Amerika Serikat dan Israel termasuk di antara negara-negara yang menolak resolusi ini.

    Dilansir kantor berita AFP, Rabu (4/12/2024), Majelis mengatakan kedua negara harus “hidup berdampingan dalam damai dan aman di dalam perbatasan yang diakui, berdasarkan perbatasan pra-1967.”

    Majelis tersebut menyerukan pertemuan internasional tingkat tinggi di New York pada bulan Juni 2025, yang akan diketuai bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, untuk menghidupkan kembali upaya diplomatik guna mewujudkan solusi dua negara.

    Majelis tersebut menyerukan “terwujudnya hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina, terutama hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk negara merdeka mereka.”

    Diketahui bahwa PBB menganggap Tepi Barat, Yerusalem timur, dan Jalur Gaza diduduki secara tidak sah oleh Israel.