Negara: Oman

  • Prabowo & Pangeran Arab Sepakat Ngebut Perjanjian Dagang FTA

    Prabowo & Pangeran Arab Sepakat Ngebut Perjanjian Dagang FTA

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) sepakat mempercepat perjanjian dagang antara Indonesia dan negara-negara Teluk Arab. Kesepakatan itu tercapai dalam pertemuan keduanya di Istana Al-Salam, Jeddah, Arab Saudi.

    Perjanjian dagang yang dimaksud adalah Free Trade Agreement (FTA) antara Indonesia dan Gulf Cooperation Council (GCC), yang terdiri dari enam negara: Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman. Negosiasi FTA ini sebelumnya telah dilakukan dua kali, yakni pada September 2024 dan Februari 2025.

    “Mereka (Prabowo dan MBS) menyambut baik hasil positif dari negosiasi Perjanjian Perdagangan Bebas antara negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk dan Republik Indonesia, yang diselenggarakan pada September 2024 dan Februari 2025, dan menyampaikan harapan mereka untuk menyelesaikan perjanjian tersebut dalam waktu dekat,” bunyi pernyataan bersama, dikutip Kamis (3/7/2025).

    Selain membahas percepatan FTA, Prabowo dan MBS juga menyoroti nilai perdagangan bilateral yang telah mencapai US$ 31,5 miliar dalam lima tahun terakhir. Arab Saudi disebut sebagai mitra dagang utama Indonesia di kawasan Teluk.

    Keduanya juga sepakat untuk terus mengembangkan volume perdagangan, mendorong kunjungan timbal balik antara pejabat publik dan swasta, serta menyelenggarakan acara perdagangan melalui Dewan Bisnis Saudi-Indonesia. Hal ini diharapkan mampu mengonversi peluang kerja sama menjadi kemitraan nyata.

    Jika FTA rampung, Indonesia diprediksi bakal memperluas akses pasarnya ke kawasan Timur Tengah, khususnya untuk produk-produk ekspor unggulan seperti peralatan elektronik, kulit, logam, dan produk manufaktur lainnya.

    Analisis dari Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) menunjukkan FTA Indonesia-GCC bisa meningkatkan ekspor sektor peralatan elektronik hingga 33,86%, komoditas kulit sebesar 29,3%, logam sebesar 28%, dan produk manufaktur lainnya 27,7%.

    Komoditas ekspor utama nonmigas Indonesia ke GCC saat ini antara lain mobil, minyak kelapa sawit, perhiasan, kapal suar, hingga produk kertas. Sementara itu, dari sisi impor, Indonesia paling banyak mendatangkan produk baja, aluminium, polimer, belerang, dan alkohol industri dari kawasan GCC.

    Tonton juga “Istana Ungkap Prabowo Targetkan Kemiskinan RI 0% di Tahun 2029” di sini:

    (hal/rrd)

  • Total 60 WNI dari Iran Sudah Kembali ke Tanah Air

    Total 60 WNI dari Iran Sudah Kembali ke Tanah Air

    JAKARTA – Kementerian Luar Negeri mencatat sebanyak 60 orang warga Negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Iran telah kembali ke tanah air.

    Kepulangan puluhan WNI ini, melalui proses penerbangan Turkish Airlines (TK 56) dengan jumlah 11 orang dilakukan pada Selasa (24/6), dan 49 orang diterbangkan lewat Doha, Qatar-Jakarta Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) Tangerang, Banten.

    Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Judha Nugraha mengatakan, dari 49 orang WNI yang dipulangkan saat ini atau gelombang kedua tahapan evakuasi dari 97 orang dari Iran akibat konflik antara Iran dan Israel.

    “Setelah kedatangan 11 WNI di Jakarta yang dievakuasi dari Iran pada tanggal 24 Juni 2025, hari ini akan kembali tiba 48 WNI dan 1 WNA evacuees,” ujarnya dilansir ANTARA, Rabu, 25 Juni.

    Mereka telah melewati proses evakuasi dari Iran lewat jalur darat menuju Baku, Azerbaijan. Kemudian, melakukan penerbangan dan transit terlebih dahulu di Istanbul dan Doha sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

     

    Kemlu juga telah mengevakuasi lima WNI lainnya dari dua wilayah berbeda yakni Oman dan Yordania yang saat ini menghadapi situasi keamanan tidak stabil.

    “Selain 49 evacuees, Kemlu dan KBRI Muscat juga mengevakuasi 3 WNI dari Yaman Utara, wilayah yang dikuasai Houthi. Kemlu dan KBRI Amman juga memfasilitasi evakuasi 2 WNI yang menetap di Tel Aviv dan Yerusalem. Kelima evacuees tersebut juga akan tiba pada hari ini,” kata dia.

     

  • Terungkap, AS Minta Prancis Bicara dengan Iran Sebelum Gencatan Senjata

    Terungkap, AS Minta Prancis Bicara dengan Iran Sebelum Gencatan Senjata

    Jakarta

    Iran dan Israel telah mencapai gencatan senjata untuk menghentikan perang kedua negara yang berlangsung selama 12 hari. Terungkap bahwa beberapa jam sebelum gencatan senjata itu, pemerintah Amerika Serikat telah meminta Prancis untuk menyampaikan kepada Iran tentang ketentuan gencatan senjata yang diusulkan AS.

    Hal ini diungkapkan seorang sumber diplomatik Prancis pada hari Rabu (25/6), dilansir dari kantor berita AFP, Rabu (25/6/2025).

    Menurut sumber tersebut, pada Senin (23/6) malam lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio menelepon Menlu Prancis Jean-Noel Barrot untuk “memberi tahu dia tentang keinginan AS untuk gencatan senjata asalkan tidak ada pembalasan Iran,” kata sumber Prancis itu.

    “Rubio meminta Jean-Noel Barrot untuk menyampaikan informasi ini kepada Abbas Araghchi (Menlu Iran),” ujar sumber itu.

    “Setelah panggilan telepon tersebut, menteri (Prancis) berbicara kepada mitranya dari Iran tersebut untuk… menyampaikan ketentuan dan rincian diskusi (antara) Amerika dan Israel,” imbuh sumber itu.

    Araghchi kemudian mengindikasikan “kesediaannya untuk melanjutkan negosiasi mengenai program nuklir Iran” termasuk dengan Prancis, Inggris, dan Jerman, dan “setelah diskusi ini, gencatan senjata dapat diberlakukan”, katanya.

    Qatar dan negara Teluk lainnya, Oman, juga telah mendorong solusi diplomatik untuk konflik Iran-Israel tersebut.

    Tonton juga “Peristiwa Besar dalam Hubungan Iran-AS Sejak 1953 Hingga Kini” di sini:

    Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani membujuk Iran untuk menyetujui gencatan senjata dengan Israel yang diusulkan AS setelah rudal Iran menargetkan pangkalan militer Amerika di dekat Doha, ibu kota Qatar. Demikian menurut seorang sumber yang mengetahui pembicaraan tersebut.

    Pemerintah Israel mengatakan pada hari Selasa (24/6), bahwa mereka telah menyetujui deklarasi gencatan senjata dengan Iran yang diumumkan Presiden AS Donald Trump. Israel menambahkan bahwa mereka telah mencapai semua tujuannya dalam perang 12 hari dengan musuh bebuyutannya itu.

    Pada Rabu (25/6), Presiden Iran Masoud Pezeshkian mengumumkan berakhirnya perang 12 hari dengan Israel. Dilansir AFP, Rabu (25/6/2025), Masoud Pezeshkian mengumumkan “berakhirnya perang 12 hari” yang dipaksakan oleh Israel, dalam sebuah pidato kepada rakyat Iran yang disiarkan oleh kantor berita resmi Iran, IRNA.

    “Hari ini, setelah perlawanan heroik bangsa kita yang hebat, yang tekadnya membuat sejarah, kita menyaksikan terbentuknya gencatan senjata dan berakhirnya perang 12 hari yang dipaksakan oleh petualangan dan provokasi Israel,” kata Pezeshkian.

    Tonton juga “AS Jelaskan Alasan Serang Fasilitas Nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB” di sini:

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Menghitung Keuntungan China dari Serangan AS ke Iran

    Menghitung Keuntungan China dari Serangan AS ke Iran

    Jakarta

    Perang Israel-Iran meningkat dengan cepat setelah Amerika Serikat membombardir situs nuklir Iran pada Minggu (22/06). Tindakan ini digambarkan Cina sebagai pukulan terhadap reputasi global dari AS.

    Pada Selasa (24/06), hanya beberapa jam setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan dimulainya “gencatan senjata total dan menyeluruh” antara Israel dan Iran, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan bahwa misil telah diluncurkan dari Iran ke arah Israel.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan bahwa pihaknya telah menginstruksikan IDF untuk “merespons dengan kekuatan” terhadap peluncuran misil tersebut.

    Militer Israel menyatakan satu atau dua misil yang diluncurkan dari Iran ke wilayah utara Israel berhasil dicegat. Namun, angkatan bersenjata Iran membantah adanya peluncuran misil ke Israel dalam beberapa jam terakhir, menurut media lokal di Iran.

    Rencana gencatan senjata Trump muncul setelah serangan AS terhadap situs pengayaan nuklir utama Iran. Sebagai balasan, Iran menargetkan pangkalan militer AS di Qatar, yang merupakan pusat regional utama bagi pasukan AS.

    Cina belum memberikan komentar langsung terhadap perkembangan terakhir tersebut.

    Pada Minggu (22/06), juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Guo Jiakun, mengkritik serangan AS ke Iran sebagai pelanggaran serius terhadap Piagam PBB, perjanjian utama PBB yang pada dasarnya melarang penggunaan kekuatan antarnegara kecuali untuk membela diri atau dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB.

    Pernyataan ini mencerminkan kritik sebelumnya dari Duta Besar Cina untuk PBB, Fu Cong, yang mengatakan bahwa kredibilitas AS telah “rusak”, baik sebagai negara maupun sebagai peserta dalam negosiasi internasional.

    Apa yang dipertaruhkan Beijing dari konflik AS-Iran?

    Seruan Cina untuk stabilitas di Timur Tengah muncul di tengah kekhawatiran ekonomi bahwa Iran dapat menutup Selat Hormuz. Karena hal itu akan mengganggu harga minyak dunia.

    Selat Hormuz merupakan jalur sempit antara Oman dan Iran yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Jalur ini merupakan jalur penting untuk transportasi minyak dunia.

    Washington sebelumnya telah mendesak Cina, yang merupakan mitra dagang terbesar dan pasar utama ekspor minyak Iran, untuk mencegah Teheran memblokir selat tersebut.

    “Naiknya harga minyak dan gas tentu akan memberi tekanan pada ekonomi [Cina]. Ini akan memperburuk inflasi,” kata Ja Ian Chong, pakar politik dari National University of Singapore.

    “Beijing jelas memiliki alasan untuk memastikan eskalasi tidak lepas kendali. Namun, apakah mereka mampu sepenuhnya menahan Iran, itu cerita lain,” tambahnya.

    Cina adalah pendukung ekonomi utama Iran, terutama di tengah sanksi negara barat dan isolasi internasional yang semakin meningkat terhadap Teheran karena program nuklirnya dan catatan hak asasi manusia.

    Iran juga adalah mitra penting dalam Belt and Road Initiative milik Cina, sebuah rencana infrastruktur besar-besaran yang bertujuan menghubungkan perdagangan dan pengaruh Cina di puluhan negara di dunia.

    “Jika Iran menjadi lebih lemah, misalnya karena hampir masuk perang konvensional besar atau bahkan perang saudara akibat intervensi militer AS, itu akan membuat Iran jadi mitra yang jauh lebih tidak efektif untuk kepentingan ekspansi Cina di Timur Tengah,” kata Wen-Ti Sung, peneliti non-residen di Global China Hub, Atlantic Council.

    Kesempatan cina mendapat pengaruh diplomatik

    Sung mengatakan kepada DW bahwa setelah serangan militer AS ke situs nuklir Iran, Cina kemungkinan akan mendapat keuntungan dalam bentuk citra diplomatik yang lebih baik.

    “Selama potensi serangan militer lanjutan dari AS belum benar-benar disingkirkan, dampak diplomatiknya akan tetap ada,” katanya.

    Cina telah lama menggambarkan AS sebagai kekuatan yang menyebabkan ketidakstabilan, sementara Cina menampilkan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dan mendukung perdamaian.

    “[Cina] kini akan punya lebih banyak kesempatan untuk menyampaikan bahwa AS adalah aktor pengganggu dan sebagai potensi ancaman. Mereka sangat aktif mendorong narasi ini di negara-negara dunia selatan,” kata Chong.

    Pada 2023, Cina menjadi penengah kesepakatan bersejarah antara Arab Saudi dan Iran untuk memulihkan hubungan diplomatik setelah tujuh tahun putus hubungan. Beijing menggambarkan keberhasilan itu sebagai kemenangan diplomatik besar.

    Namun dalam krisis saat ini, dukungan Cina terhadap Teheran sebagian besar masih bersifat retoris, tanpa indikasi bahwa Cina akan memainkan peran mediator seperti sebelumnya.

    “Beijing memang berpengaruh, tetapi sebagaimana AS tidak bisa mengendalikan Israel, Beijing juga tidak bisa [menahan Iran],” kata Chong.

    Jika fokus AS beralih dari Asia, Cina bisa diuntungkan

    Sementara itu, jika AS mulai mengalihkan perhatian dan sumber dayanya dari kawasan Indo-Pasifik, terutama terkait kehadiran militer yang makin besar di Asia, maka tekanan internasional terhadap Cina bisa berkurang.

    Awal bulan ini, kapal induk AS yang awalnya dijadwalkan untuk singgah di pelabuhan Vietnam, akhirnya diarahkan ke Timur Tengah karena alasan “kebutuhan operasional mendesak”, menurut Kedutaan Besar AS di Hanoi.

    “Kunjungan pelabuhan itu seharusnya menunjukkan komitmen AS terhadap keamanan dan stabilitas di Asia. Sekarang, hal itu beralih,” kata Chong.

    “Kalau perhatian AS terus-menerus tersedot ke Timur Tengah, Beijing mungkin akan mempertimbangkan ulang strateginya,” ujar Chong, merujuk pada pendekatan Cina terhadap Taiwan, sebuah pulau yang mengatur dirinya sendiri namun diklaim oleh Cina sebagai wilayahnya. Beijing tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan untuk mencapai “reunifikasi”.

    Menurut Chong, dengan AS yang kini terlibat semakin dalam di konflik Timur Tengah, sekutu-sekutunya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Australia “akan harus lebih aktif dan bekerja sama lebih erat satu sama lain.”

    Untuk saat ini, belum jelas apakah serangan AS ke Iran hanyalah insiden tunggal sebelum Washington kembali fokus ke Asia, atau justru merupakan tanda bahwa AS mulai memprioritaskan Timur Tengah.

    Tulisan ini diadaptasi dari artikel berbahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Tezar Aditya

    Editor: Rahka Susanto

    Lihat Video ‘Peristiwa Besar dalam Hubungan Iran-AS Sejak 1953 Hingga Kini’:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Selat Hormuz, Nuklir, dan Eskalasi Krisis

    Selat Hormuz, Nuklir, dan Eskalasi Krisis

    Jakarta

    Geopolitik adalah pelajaran tentang negosiasi dan daya tawar negara dalam percaturan politik dunia. Dalam situasi perang, Iran punya dua tawar dalam negosiasi. Dua-duanya berdampak pada skala perang dan dampaknya terhadap dunia. Pertama adalah selat Hormuz, kedua adalah program nuklir.

    Selat Hormuz

    Selat Hormuz adalah celah sempit, terletak di di antara Oman dan Iran, yang menghubungkan Teluk Persia dan Laut Arab. Panjangnya 39 kilometer, lebarnya 33 hingga 95 kilometer. Selat Hormuz adalah chokepoint terpenting dalam lalu lintas pasokan seperempat minyak dunia. Sekitar 21 juta barel per hari minyak diangkut melalui selat ini, dengan nilai ekonomi mencapai US$ 600 miliar per tahun.

    Selat ini istimewa karena menjadi satu-satunya rute maritim tercepat untuk menyalurkan migas dari negara-negara Teluk ke perairan dunia. Melaui Selat Hormuz, kapal tanker berlayar dari kawasan Teluk ke Laut Arab dan Samudra Hindia, menuju negara-negara tujuan ekspor. Meski berkali-kali menggunakan Selat Hormuz sebagai senjata diplomasi, Iran tidak pernah benar-benar berhasil menutupnya.

    Selama perang Irak-Iran (1980-1988), Iran menebar ranjau di perairan Teluk, tetapi Central Command (CENTCOM) AS berhasil menghancurkannya melalui Operasi Praying Mantis pada 1988. Pada 2012, seiring sanksi embargo Barat, Iran mengancam akan menutup selat Hormuz. Ketua Komisi Ekonomi parlemen Iran mengancam, “kami tidak akan membiarkan setetes pun minyak melalui Selat Hormuz, jika kami dikenai sanksi.”

    Kenyataannya, Iran tidak pernah benar-benar memblokir Selat Hormuz. Iran hanya mengintimidasi kapal-kapal yang melewati selat tersebut, seperti dengan menyita dua kapal pada 2023 dan satu kapal pada 2024. Penutupan Selat Hormuz tidak hanya akan mengganggu pasokan minyak global, tetapi menutup keran ekspor Iran sendiri, yang berarti mengganggu aliran pendapatan utamanya dari ekspor minyak.

    Pasca Operasi Godam Tengah Malam oleh militer AS pada Sabtu (21/6/2025), Iran kembali menebar ancaman untuk menutup Selat Hormuz. Keputusan ini dilaporkan disetujui secara bulat oleh anggota parlemen.

    Akankan Iran membuktikan ancamannya? Jika iya, berapa lama? Apa dampaknya bagi dunia?

    Selama periode panjang ketegangan di kawasan Teluk, Iran telah berinvestasi meningkatkan kapasitas militernya untuk menjaga selat Hormuz dengan kombinasi ranjau, perahu kecil, rudal jelajah antikapal, kapal selam, dan rudal balistik. Sejumlah analis menyebut, meskipun kemampuan militer Iran meningkat dalam beberapa dekade, Iran hanya sanggup menutup Selat Hormuz selama seminggu.

    Dunia, terutama AS, berkepentingan mengamankan jalur minyaknya dari Teluk Persia. Begitu Angkatan Laut AS menyerbu, Iran terpaksa membuka kembali jalur tersebut. Namun, jika Iran berhasil menutup Selat Hormuz lebih lama, dunia akan demam karena gangguan pasokan energi. Harga minyak dipastikan melambung tinggi. Harian terkemuka Turki, Hürriyet, menyebut harga minyak berpotensi melonjak hingga US$130 per barel.

    lanjut ke halaman berikutnya

    Program Nuklir

    Program nuklir dunia, termasuk Iran, tidak terlepas dari konstelasi politik. Sebelum rezim Shah digulingkan oleh revolusi Islam pada 1979, Iran memulai program nuklir untuk energi dengan bantuan AS dan Eropa. Pada 1967, AS memasok reaktor nuklir untuk riset berkapasitas 5 MW. Dikawal AS, Iran menandatangani traktat non-proliferasi (NPT) yang mulai berlaku pada 5 Maret 1970.

    Sejak 1974 hingga 1978, Iran melaksanakan penelitian dan pendidikan nuklir di Universitas Teheran. Rezim Shah menginvestasikan US$1 miliar di pabrik pengayaan uranium Prancis milik Eurodif. Kontrak ditandatangani dengan Kraftwerk Union, anak perusahaan Siemens, untuk membangun dua reaktor berkapasitas 1.200 MW di Bushehr. Dengan Framatome, Iran merundingkan kontrak pembangunan dua reaktor tambahan berkapasitas 900 MW.

    Angin politik berubah setelah revolusi 1979. Di bawah Ayatullah Khomeini, Iran adalah seteru Barat yang paling lantang. Setelah perang dengan Irak (1980-1988), fasilitas nuklir Iran luluh lantak.

    Dibantu Rusia, China, dan Pakistan, Iran merenovasi program nuklirnya, kali ini di bawah ancaman Barat. Iran menandatangani protokol kerja sama nuklir dengan China pada 1985 dan 1990.

    Pada 1995, Iran menyelesaikan protokol kerja sama dengan Rusia untuk pembangunan reaktor Bushehr dan pabrik pengayaan uranium. Iran juga menerima teknologi pengayaan uranium melalui jaringan rahasia yang dijalankan oleh ilmuwan Pakistan, AQ Khan.

    Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mencurigai proyek nuklir Iran berkembang ke tujuan non-sipil melalui Proyek Amad. Iran diduga memperkaya uranium untuk mengintegrasikan muatan nuklir dan memproduksi bahan peledak.

    Natanz dibangun sebagai fasilitas pengayaan uranium, Arak dikembangkan sebagai fasilitas produksi air berat. Natanz dapat menyediakan uranium tingkat senjata, Arak membantunya memperoleh plutonium tingkat senjata.

    Sanksi demi sanksi dijatuhkan Barat dan PBB yang dikendalikan AS dan sekutunya. Tetapi, Iran bergeming. Sanksi yang dijatuhkan tidak membuat Iran mati dan proyek nuklirnya gulung tikar. Atas tekanan IAEA, rencana Amad ditutup, tetapi proyeknya berlanjut di bawah Organisasi Inovasi dan Penelitian Pertahanan (SPND).

    Pada April 2006, Iran mengumumkan berhasil memperkaya uranium hingga tingkat 3,6%. Pada 2009, Barat membocorkan informasi tentang pabrik pengayaan bahan bakar Fordow (FFEP), fasilitas kedua yang telah dibangun Iran selama bertahun-tahun.

    Pada 2016, Iran telah menghasilkan cukup bahan fisil tingkat senjata untuk bom nuklir, dengan pengayaan lebih lanjut, dalam waktu dua atau tiga bulan. Pengayaan uranium Iran mencapai tingkat 60%. Tidak butuh waktu lama mencapai tingkat 90% untuk menghasilkan bom nuklir.

    lanjut ke halaman berikutnya

    Ini dalih Israel menyerbu Iran. Terlepas adakah bukti Iran sudah punya senjata nuklir, perang saat ini membuktikan Iran bukan negara ‘kaleng-kaleng’ dan Israel ketemu lawan tanding sepadan.

    Berbeda dengan Iran, Amerika dan Eropa menerapkan standar ganda terhadap Israel. Israel dibiarkan tidak meratifikasi traktat non-proliferasi (NPT). Israel membangun senjata nuklir, sebagaimana dibocorkan oleh mantan teknisinya, Mordechai Vanunu.

    Ini terungkap dalam artikel heboh di The Sunday Times pada Oktober 1986 bertajuk “Revealed: the secrets of Israel’s nuclear arsenal.” Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) melaporkan, Israel sudah mempunyai 90 hulu ledak nuklir. Jika Iran dan Israel sama-sama telah mempunyai senjata nuklir, terbuka prospek untuk saling menahan diri. Di antara konsensus negara nuklir, mereka sepakat untuk tidak lumat oleh senjata yang dibuat sendiri.

    Dampak bagi Indonesia

    Konflik akan eskalatif jika Iran betul-betul menutup selat Hormuz. Dunia, termasuk Indonesia, akan merasakan dampaknya. Saat pasokan seret, harga minyak melambung.

    Indonesia tidak seperti dulu, saat pecah perang Yom Kippur pada 1973. Ketika Arab-Israel tegang, Indonesia justru menikmat windfall profit dari kenaikan harga minyak dunia.

    Saat itu, status Indonesia adalah eksportir. Sekarang Indonesia importir netto. Setiap kenaikan 1 US$ harga minyak, APBN diperkirakan tekor Rp 1,5 triliun untuk subsidi dan kompensasi.

    Sekarang harga minyak sudah merambat naik mendekati asumsi APBN 2025 sebesar US$ 82 per barel. Jika selat Hormuz ditutup, harga minyak akan melambung di atas US$ 100 per barel. Dunia akan demam. Dampak krisis akan meluas. Krisis energi bisa menjadi pintu masuk bagi krisis politik dan ekonomi.

    Indonesia mengandalkan sebagian impornya dari Timur Tengah, baik minyak mentah maupun produk kilang. Pada 2024, dari total impor crude sebesar 125,7 juta barel, Indonesia mengimpor dari Arab Saudi sebesar 25,6 juta barel (20,3%). Untuk produk kilang, dari 275,2 juta barel impor, Indonesia mengimpor dari Arab Saudi 13,4 juta barel (4,8%), Uni Emirat Arab 12,5 juta barel (4,6%), Qatar 6,5 juta barel (2,3%), Kuwait 3,9 juta barel (1,4%), dan Bahrain 1,2 juta barel (0,4%).

    Ini negara-negara yang jalur pelayarannya melewati Selat Hormuz. Dari total impor, risiko gangguan pasokan dari Selat Hormuz mencapai 16%. Indonesia bisa mengalihkan rute ke alternatif lain, tetapi biaya logistiknya lebih mahal.

    Dampak lain bagi Indonesia adalah tekanan fiskal. Jika harga minyak tembus di atas US$ 100 per barel, Indonesia harus memikul beban subsidi lebih berat. Pada 2024, beban subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 407,1 triliun.

    Bagi APBN yang sudah defisit sejak awal tahun, kondisi ini akan memaksa Pemerintah memangkas subsidi. Ini dilakukan dengan menaikkan harga energi, baik BBM maupun listrik. Di tengah penurunan daya beli, langkah ini bisa menimbulkan gejolak sosial dan politik. Karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi potensi krisis ini sejak dini.

    M. Kholid Syeirazi
    Direktur Eksekutif Center for Energy Policy
    Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI

  • Posisi Indonesia, di ambang perang besar

    Posisi Indonesia, di ambang perang besar

    Istimewa

    Posisi Indonesia, di ambang perang besar
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Selasa, 24 Juni 2025 – 21:24 WIB

    Elshinta.com – Ulah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang Sabtu (21/6/2025) melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama milik Iran: Isfahan, Natanz, dan Fordow tidak saja menghantam objek vital Iran, tapi juga membuat gaduh dan menguncang stabilitas geopolitik dunia yang memang sudah rapuh.

    Belakangan Trump kabarnya tidak ingin melanjutkan serangan terhadap Iran dan berniat mengupayakan kesepakatan damai dengan Teheran. Seorang pejabat AS, Axios, Senin (23/6/2025) menyebut, Trump telah menghubungi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sesaat setelah serangan, dan menyatakan bahwa tujuan berikutnya adalah mengejar kesepakatan damai dengan Iran. “Presiden (Trump) tidak ingin melanjutkan serangan. Ia siap jika Iran melakukan serangan balasan, tetapi ia sudah menyampaikan kepada Netanyahu bahwa ia menginginkan perdamaian,” kata pejabat itu.

    Kendati begitu, serangan tersebut tak urung menyalakan kembali api perang besar di Timur Tengah. Kali ini, ancamannya jauh lebih dahsyat. Potensi perang regional menjalar menjadi konflik global. Bahkan banyak pengamat mengkhawatirkan konflik ini memicu pecahnya Perang Dunia III.

    Dan Iran memang tak tinggal diam. Militer Iran bersiaga penuh. Kelompok sekutu Iran—Hizbullah di Lebanon, milisi Syiah di Irak dan Suriah, Houthi di Yaman—siap menjadi alat pukul Teheran. Bagi Iran, dalam doktrin strategisnya, serangan terhadap infrastruktur nuklir adalah deklarasi perang.

    Salah satu langkah yang paling ditakuti dunia adalah pemblokiran Selat Hormuz, yang menjadi  salah satu urat nadi energi global. Sekitar 30 persen perdagangan minyak dunia dan 25 persen lalu lintas Gas Alam Cair (LNG) melewati selat itu. Bila Iran menutupnya, harga energi global dipastikan melambung, memicu inflasi, dan mengguncang pasar keuangan.

    Ancaman itu bukan gertakan kosong. Pada hari Minggu (22/6/2025), Parlemen Iran dilaporkan telah menyetujui rencana penutupan total selat tersebut, dan kini tinggal menunggu lampu hijau dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Jika Iran betul betuk memblokade Selat tersebut, paling tidak ada tiga negara yang terkena dampak paling siginifikan: China, India dan Jepang. Lalu lintas energi ketiga negara itu sangat tergantung dengan Selat Hormuz. 

    Bagaimana dengan Indonesia? Kita dipastikan juga akan terimbas dampak yang tidak kecil. Ketergantungan kita pada impor minyak dan gas dari kawasan Teluk masih sangat besar, terutama dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar—negara-negara yang menggunakan jalur Selat Hormuz untuk mengekspor energi. Jika Iran menutup selat ini, dunia akan mengalami lonjakan harga minyak dan gas, yang langsung akan menekan APBN Indonesia melalui pembengkakan subsidi energi dan melemahnya neraca perdagangan. 

    Pemblokiran Selat Hormuz bukan hanya akan membakar Tel Aviv, tapi mengguncang seluruh pasar global. Inflasi energi dan gejolak pasar keuangan adalah dua bahaya nyata yang sudah mulai terasa pasca-serangan AS, dengan harga minyak mentah jenis Brent yang sempat menyentuh USD 120 per barel, tertinggi sejak krisis Rusia-Ukraina.

    Dampak lanjutannya akan merembet pada sektor-sektor domestik. Ongkos produksi industri meningkat, transportasi publik dan logistik terganggu, dan daya beli masyarakat menurun. Semua ini menempatkan Indonesia, seperti banyak negara berkembang lain, pada posisi yang sangat rentan.

    Reaksi Dunia Atas Serangan AS ke Iran

    Serangan AS ke Iran bisa menjadi lonceng perang yang menyulut krisis regional menjadi konflik global, sehingga bukan hanya merupakan eskalasi militer. Dalam kaitan itu, sikap para pemimpin dunia terbelah. Uni Eropa yang diwakili Inggris, Prancis, dan Jerman misalnya meminta Iran untuk menghindari tindakan apa pun yang dapat “mendestabilisasi” Timur Tengah lebih lanjut. Mereka secara konsisten menegaskan penolakan terhadap senjata nuklir Iran dan mereka mendukung penuh keamanan Israel.

    Sementara Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengecam serangan udara AS yang merupakan eskalasi yang berbahaya. Adapun Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mendesak semua pihak untuk mundur dan kembali ke meja perundingan.

    Arab Saudi telah menyuarakan “kekhawatiran besar”, sementara Oman mengutuk serangan tersebut dan menyerukan de-eskalasi.

    Perdana Menteri India, Narendra Modi mengaku telah berbicara dengan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian. Modi kemudian menyerukan “dialog dan diplomasi sebagai jalan ke depan”.

    Politikus Rusia, Dmitry Medvedev, sekutu Presiden Vladimir Putin, mengatakan: “Trump, yang datang sebagai presiden pembawa damai, telah memulai perang baru bagi AS.

    Penyelesaian Perang dengan Telepon 

    Banyak kalangan memprediksi, krisis ini bisa berakhir dalam dua arah: eskalasi ke perang global, atau pembukaan kembali jalur diplomatik. 

    Seorang pejabat Iran menyatakan konflik dengan Israel sebenarnya bisa berakhir dengan satu panggilan telepon, yaitu dari Presiden AS Donald Trump kepada pemimpin Israel. Sang pejabat itu pun menyebut Iran selalu siap berunding dengan siapa pun yang serius mencari solusi damai.

    “Iran percaya pada dialog yang beradab, langsung atau tidak langsung. Presiden Trump bisa dengan mudah menghentikan perang dengan satu telepon ke Israel,” kata Juru Bicara Kantor Wakil Presiden Iran Majid Farahani, dalam wawancara khusus dengan CNN, Jumat (20/6/2025) lalu.

    Namun, dalam atmosfer politik AS, diplomasi mungkin bukan opsi utama Trump. Begitu pula Israel yang merasa mendapat lampu hijau dari Washington.

    Bagi Indonesia dan dunia, pilihan terbatas. Tidak ikut perang bukan berarti tak terkena dampak. Justru saat kekuatan besar sibuk mengukur misil dan kekuasaan, negara-negara non-blok seperti Indonesia bisa berperan sebagai penyeimbang moral dan penstabil kawasan.

    Itu sebabnya Indonesia selayaknya mengupayakan langkah diplomasi yang apik dan teukur. Soalnya perang yang terjadi di antara kedua negara sudah pasti akan berdampak pada tidak berkembangnya sektor ekonomi bagi negara mana pun. 

    Kita dituntut untuk waspada, cermat, dan tanggap. Indonesia perlu segera memikirkan peningkatan cadangan energi melalui percepatan diversifikasi sumber pasokan energi dari negara-negara non-Timur Tengah dan memperkuat cadangan strategis minyak nasional. Presiden Prabowo selayaknya mulai memikirkan stimulus konsumsi dengan cara memperluas bantuan sosial dan subsidi langsung kepada kelompok rentan untuk menjaga daya beli. 

    Kementerian Luar Negeri harus didorong untuk terlibat penuh dalam menjalankan diplomasi bebas aktif yang lebih progresif. Indonesia dapat mengambil peran dalam mendorong diplomasi damai di kawasan melalui jalur G20, OKI, dan ASEAN+.

    Dan yang tak kalah pentingnya adalah memperkuat perlindungan terhadap iklim investasi.  Dengan cara mempertebal kepastian hukum, menjaga stabilitas politik, dan insentif fiskal, supaya Indonesia tetap bisa menarik bagi investor global yang mencari “zona aman” di tengah gejolak global. 

    Penulis : Zenzia Sianica Ihza, Pakar Investasi dan Hubungan Internasional 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Tertundanya Kepulangan 2 Kloter Jemaah Haji Banyuwangi Terkait Penutupan Bandara di Oman
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        24 Juni 2025

    Tertundanya Kepulangan 2 Kloter Jemaah Haji Banyuwangi Terkait Penutupan Bandara di Oman Surabaya 24 Juni 2025

    Tertundanya Kepulangan 2 Kloter Jemaah Haji Banyuwangi Terkait Penutupan Bandara di Oman
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Sebanyak dua kelompok terbang (kloter) jemaah haji asal Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim) ditunda kepulangannya ke Tanah Air karena bandara di negara Oman sempat ditutup.
    Ratusan jemaah haji yang mengalami
    penundaan penerbangan
    itu tergabung di kloter 43 dan 44.
    Mereka seharusnya berangkat dari Bandara Jeddah, Senin (24/6/2025) dini hari.
    “Hanya memang kemarin itu bandara di Oman itu ditutup sementara begitu,” kata Sekretaris PPIH Debarkasi Surabaya, Sugiyo, ketika berada di Asrama Haji Surabaya, Selasa (24/6/2025).
    Selain itu, kata Sugiyo, pihaknya hanya mendapatkan informasi alasan penundaan keberangkatan karena masalah keamanan.
    Namun, dia belum mendapatkan informasi secara detail.
    “Informasi yang kami terima demi keamanan begitu ya, jadi memang seperti itu, keamanan. (Terkait) detail (masalah) keamanannya kami belum mendapatkan konfirmasi, seperti apa,” katanya. 
    Sugiyo mengatakan, ratusan jemaah haji tersebut sekarang sudah diberi kamar untuk menginap di salah satu hotel Jeddah.
    Situasinya kini dalam kondisi aman.
    “Dikumpulkan juga untuk berdoa dan pemantapan, bahwa situasinya aman-aman saja, tidak perlu khawatir. Pemerintah selalu melaksanakan tindakan yang menjaga keamanan para jemaah,” ucapnya.
    Sugiyo menyebut, PPIH belum mengetahui kapan jemaah kloter 43 dan 44 akan diberangkatkan kembali.
    Namun, kelompok setelahnya sudah bisa terbang sesuai jadwal.
    “Kalau jalurnya (penerbangannya) saya kurang belum paham. Tapi informasi yang saya terima untuk kloter 45 dan seterusnya tetap transit di
    bandara Oman
    sebagaimana sebelumnya,” ujarnya.
    Diberitakan sebelumnya, ratusan jemaah haji dari dua kloter 43 dan 44 asal Banyuwangi batal pulang ke Tanah Air karena adanya pembatalan jadwal penerbangan.
    Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Banyuwangi, Chaironi Hidayat membenarkan dan mengatakan bahwa ada 760 jemaah haji yang tertahan di Mekkah.
    “Mereka harusnya terbang dari bandara di Jeddah pada Selasa dini hari,” kata Chaironi, Selasa (24/6/2025).
    Merujuk dari surat resmi yang dikeluarkan
    Hajj Operation Command Centre
    , penerbangan untuk dua kloter tersebut telah dibatalkan karena pertimbangan alasan keselamatan operasional yang tidak dapat ditunda.
    Penundaan itu belum ditentukan sampai kapan.
    Namun, dari informasi yang beredar dan belum diketahui sumber resminya, akan ada penjadwalan ulang.
    “Penerbangan dijadwalkan ulang ada tanggal 26 (Juni),” kata Chaironi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Besok Bahlil Gelar Rapat dengan Pertamina, Bahas Dampak Perang

    Besok Bahlil Gelar Rapat dengan Pertamina, Bahas Dampak Perang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana menggelar rapat bersama Direksi PT Pertamina (Persero) dalam waktu dekat ini.

    Rapat tersebut membahas mengenai upaya mengamankan pasokan minyak mentah domestik di tengah ketidakpastian global imbas perang yang masih berlangsung antara Iran dengan Israel.

    Bahlil mengakui adanya potensi ancaman yang dihadapi terkait ketersediaan minyak mentah, terutama apabila Selat Hormuz ditutup, menyusul konflik yang semakin memanas. Sebab, minyak yang dikirim melalui selat tersebut setara dengan sekitar 20% pasokan minyak global.

    “Saya besok juga ada rapat dengan Pertamina untuk membahas berbagai langkah-langkah taktis dalam menghadapi dinamika global, khususnya kepada ketersediaan energi kita. Karena menyangkut dengan Selat Hormuz ini harus kita hitung baik,” ungkap Bahlil usai acara Jakarta Geopolitical Forum (JGF) ke-9, Selasa (24/6/2025).

    Bahlil mengakui sebagian impor minyak mentah RI masih berasal dari kawasan Timur Tengah yang distribusinya melalui Selat Hormuz. Namun di sisi lain, Indonesia juga melakukan kegiatan impor dari sejumlah negara lain seperti Afrika dan Amerika Latin, seiring dengan adanya beberapa sumur yang dioperasikan oleh Pertamina di kawasan tersebut.

    “Tapi kita itu sebenarnya, impor kita itu banyak, itu juga dari Afrika, Amerika Latin, karena beberapa sumur-sumur minyak Pertamina ada di sana. Kemudian beberapa Timur Tengah. Tapi nanti berapa pastinya, saya akan cek,” ujarnya.

    Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) mengungkapkan telah menyiapkan sejumlah rute alternatif untuk menjamin kelangsungan rantai pasok minyak mentah. Hal tersebut menyusul memanasnya ketegangan geopolitik global, seiring keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik antara Iran dengan Israel.

    Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengungkapkan bahwa apabila Selat Hormuz terganggu, pihaknya akan mengalihkan sejumlah rute alternatif antara lain melalui Oman dan India.

    “Pertamina telah mengantisipasi hal tersebut dengan mengamankan kapal kita, mengalihkan rute kapal ke jalur aman antara lain melalui Oman dan India untuk menjaga keberlangsungan rantai pasok,” kata Fadjar dalam keterangan tertulis, Senin (23/6/2025).

    Menurut Fadjar, penutupan Selat Hormuz oleh Iran akan berdampak serius pada distribusi minyak mentah global. Pasalnya, minyak yang dikirim melalui selat ini, setara dengan 20% pasokan minyak global.

    “Jika nanti ada penutupan Selat Hormuz, di mana 20% pelayaran minyak mentah global melalui selat tersebut tentu sedikit banyak akan berdampak pada distribusi minyak mentah dunia,” katanya.

    (wia/wia)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Penerbangan Dua Kloter Jemaah Haji Ditunda Akibat Konflik Israel-Iran, Ini Detailnya

    Penerbangan Dua Kloter Jemaah Haji Ditunda Akibat Konflik Israel-Iran, Ini Detailnya

    Bisnis.com, MAKKAH — Saudia Airlines membatalkan penerbangan dua kelompok terbang (kloter) jemaah haji Indonesia, yakni kloter 43 dan 44 Embarkasi Surabaya (SUB-43 dan SUB-44), imbas eskalasi konflik Israel-Iran. 

    Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief mengatakan seluruh jemaah dari dua kloter tersebut telah ditempatkan di hotel di Jeddah, Arab Saudi, untuk menunggu informasi keberangkatan selanjutnya. 

    Sebanyak 379 jemaah SUB-43 dan 380 jemaah SUB-44 sedianya akan terbang dari Bandara King Abdulaziz, Jeddah Arab Saudi, Selasa (24/6/2025) pukul 03:50 Waktu Arab Saudi (WAS) dan 05:10 WAS, masing-masing dengan nomor penerbangan SV-5302 dan SV-5440. 

    “Jemaahnya sekarang sudah ditempatkan di hotel-hotel di Jeddah untuk mendapatkan kabar selanjutnya. Sampai saat ini informasi sementara kami dapatkan dari berbagai pihak bahwa untuk penerbangan selanjutnya insya Allah masih bisa berlanjut karena maskapai yang kita gunakan banyak yang menggunakan jalur melalui Oman, dan itu masih aman,” kata Hilman ditemui di Makkah, Selasa (24/5/2025). 

    Hilman melanjutkan pihaknya masih menunggu kabar dari pihak maskapai mengenai pemberangkatan kembali jemaah SUB-43 dan SUB-44. Akan tetapi, dia memastikan bahwa jadwal penerbangan lainnya akan tetap berlanjut karena maskapai memilih jalur yang lebih aman dari eskalasi konflik. 

    “Mereka [maskapai penerbangan] belum memberikan jadwal terbaru karena tetap sesuai dengan rotasi pesawatnya, ya, tetapi mudah-mudahan secepatnya,” katanya. 

    Dia melanjutkan, perkembangan politik di Timur Tengah yang berdampak pada jadwal pemulangan jemaah haji berada di luar kewenangan Kementerian Agama untuk melakukan antisipasi. 

    Meski demikian, pihaknya terus berkoordinasi dengan sejumlah pihak, antara lain Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Kedutaan Besar RI Arab Saudi, syarikah penyedia layanan haji, hingga Kementerian Haji dan Umrah Saudi. 

    “Bagaimanapun situasi yang ada ini harus disikapi tidak hanya oleh Misi Haji Indonesia tetapi perusahaan-perusahaan layanan yang ada di Makkah untuk mulai tanggal 26 [Juni 2025] di Madinah kami siap-siap memberangkatkan jemaah pulang ke Tanah Air,” jelasnya. 

    Sementara itu, fase pemulangan jemaah haji Indonesia gelombang I yang diberangkatkan melalui Bandara Jeddah, akan segera berakhir. Pemulangan jemaah haji gelombang II dari Bandara Madinah akan dimulai pada 26 Juni 2025. 

    Menurut Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama, hingga Selasa (24/6/2025) pukul 15:30 WAS, sudah sebanyak 231 kloter yang terdiri atas 89.991 jemaah haji tiba di Tanah Air. Sementara itu, 44.574 jemaah pemulangan gelombang II telah berada di Madinah untuk tinggal selama 8 hingga 9 hari, sebelum bertolak ke Tanah Air. 

  • Selat Hormuz Terancam Ditutup, Bahlil Bakal Panggil Pertamina – Page 3

    Selat Hormuz Terancam Ditutup, Bahlil Bakal Panggil Pertamina – Page 3

    Diberitakan sebelumnya, Pertamina mengantisipasi dampak penutupan Selat Hormuz imbas perang Iran Israel. Salah satunya dengan menyiapkan rute alternatif distribusi minyak mentah yakni Oman dan India sebagai respons sebagai respons dari Parlemen Republik Islam Iran yang mensetujui usulan penutupan Selat Hormuz akibat konflik Iran-Israel.

    “Pertamina telah mengantisipasi hal tersebut dengan mengamankan kapal kita, mengalihkan rute kapal ke jalur aman melalui Oman dan India,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso seperti dikutip dari Antara, Senin (23/6/2025).

    Fadjar menuturkan, penutupan Selat Hormuz tentu berdampak pada distribusi minyak mentah, sebab selat tersebut dilalui oleh 20% pelayaran minyak mentah. Meskipun demikian, Fadjar mengatakan, stok minyak mentah di dalam negeri masih aman. Biaya operasional yang akan dipengaruhi oleh perubahan rute pelayaran saat ini masih dikalkulasi.

    “Terkait biaya operasional masih kami periksa. (Stok minyak) sejauh ini masih aman,” ujar dia.