Negara: Nepal

  • Ini Nepo Baby-Nepo Kids yang Jadi Sebab Demo Chaos Nepal, Siapa Saja?

    Ini Nepo Baby-Nepo Kids yang Jadi Sebab Demo Chaos Nepal, Siapa Saja?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Nepal dilanda kekacauan (chaos). Demonstrasi terjadi sejak Senin dan membuat pemerintahan tumbang, dengan pengunduran diri Khadga Prasad Sharma Oli, yang sudah empat kali menjabat sebagai Perdana Menteri (PM).

    Pembakaran dilakukan massa setelah pemberitaan 19 orang tewas akibat tindakan regresif aparat. Bukan hanya gedung parlemen, rumah para pejabat, juga tak luput dari amukan massa.

    Dalam sebuah video, mengutip laman India NTDV, terlihat bagaimana menteri keuangan dipersekusi di jalanan, hingga ditelanjangi. Menteri Luar Negeri Nepal juga menjadi korban pemukulan.

    Foto: Asap mengepul dari Mahkamah Agung Nepal setelah dibakar oleh orang-orang selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Navesh Chitrakar)

    Sebenarnya, protes massa yang diinisiasi Generasi Z (Gen Z) itu, berawal dari kekecewaan massa akan penutupan 26 aplikasi media sosial (medsos) di negara itu. Ini diartikan warga sebagai bentuk “pengekangan akan demokrasi”.

    Namun kekecewaan karena elite yang korup, minimnya pekerjaan di dalam negeri serta nepotisme keluarga pejabat makin membakar demonstrasi. Dari semua penyebab demo, sebenarnya nepotisme di kalangan keluarga pejabat paling menarik sorotan.

    Istilah “nepo baby” atau “nepo kids” menjadi viral di Nepal, merujuk anak-anak petinggi negara yang mendapatkan keistimewaan. Kebencian warga makin tinggi akibat mudahnya mereka mendapat pekerjaan di dalam negeri- menempati posisi tinggi, atau masuk ke parlemen- sementara warga Nepal biasa, sangat sulit mendapatkan pekerjaan hanya untuk mencari roti, makanan utama negeri itu.

    Tingkah laku suka memamerkan kekayaan juga menjadi masalah lain. Flexing di medsos yang dilakukan para nepo baby dan nepo kids yang masih berusia muda, membuat kecemburuan sosial Generasi Z Nepal lain meningkat.

    Lalu siapa mereka?

    Merujuk laman India, News 18, ada beberapa nepo baby dan nepo kids, yang menjadi sasaran kemarahan. Rata-rata mereka adalah “pewaris politik”.

    Pertama adalah Shrinkhala Khatiwada (29). Ia adalah putri mantan menteri kesehatan Birodh Khatiwada, yang rumah keluarganya dibakar setelah perjalanan mewahnya menjadi viral.

    Foto: Shrinkhala Khatiwada. (Instagram/shrinkhala_)

    Kedua Shivana Shrestha. Ia adalah menantu mantan PM Nepal Sher Bahadur Deuba.

    “Ia dituduh bersama suaminya memamerkan kekayaan “senilai crore (miliaran)”,” tulis laman itu.

    Foto: Shivana Shrestha. (Facebook/Shivana Shrestha)

    Ada pula Smita Dahal, cucu mantan PM Nepal Pushpa Kamal Dahal “Prachanda”. Ia dikritik karena memamerkan tas tangan mahal.

    Foto: Smita Dahal. (Tangkapan Layar Tiktok/@pratapdasnt)

    Lalu Saugat Thapa, putra Menteri Hukum Nepal Bindu Kumar Thapa. Ia dicap secara daring sebagai simbol kemewahan.

    Foto: Saugat Thapa. (Facebook/Saugat Thapa)

    “Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa sementara masyarakat umum hidup dalam kemiskinan, anak-anak nepo ini mengenakan pakaian senilai jutaan dolar,” muat laman itu lagi memuat kecaman warga.

    Perlu diketahui, ekonomi Nepal di setengah tahun 2025 diketahui tumbuh dengan PDB 4,9%. Namun 83% warga bekerja di sektor informal.

    Negara itu juga bergantung pda remitansi, pengiriman uang dari tenaga kerja di luar negeri ke dalam, dengan posisi terbesar ke-4 dunia berdasar data World Bank (Bank Dunia). Penutupan media sosial membuat warga sulit menghubungi sanak keluarga di luar negeri.

     

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 September 2025

    Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru Nasional 12 September 2025

    Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru
    Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED
    DARI
    Jakarta hingga Paris, dari Kathmandu hingga Manila, dunia sedang bergolak. Gedung-gedung parlemen dibakar, perdana menteri dipaksa mundur, dan jutaan orang turun ke jalan dengan kemarahan membara.
    Sekilas, pemandangan ini mengingatkan kita pada momen-momen bersejarah demokratisasi dunia: Revolusi Anyelir di Portugal 1974, kejatuhan Tembok Berlin 1989, atau reformasi Indonesia 1998. Namun, ada yang berbeda kali ini.
    Fundamentally
    berbeda.
    Samuel Huntington, ilmuwan politik legendaris dari Harvard, pernah mendokumentasikan apa yang disebutnya “Gelombang Ketiga Demokratisasi”, periode luar biasa antara 1974-1990-an ketika lebih dari 60 negara bertransisi dari kediktatoran menuju demokrasi.
    Optimisme meluap-luap. Francis Fukuyama bahkan memproklamirkan “akhir sejarah”, seolah demokrasi liberal telah memenangkan pertarungan ideologi untuk selamanya.
    Namun, gelombang protes yang menyapu dunia hari ini, menceritakan kisah yang sama sekali berbeda.
    Para demonstran di Jakarta tidak menuntut hak memilih, mereka sudah memilikinya sejak 1998.
    Generasi Z di Kathmandu tidak berjuang melawan monarki absolut. Nepal sudah menjadi republik sejak 2008.
    Massa yang membakar gedung parlemen bukanlah pejuang demokrasi dalam pengertian klasik. Mereka adalah warga negara yang marah terhadap demokrasi mereka sendiri yang gagal memenuhi janji.
    Inilah paradoks zaman kita: protes massa terbesar justru terjadi di negara-negara yang sudah demokratis, setidaknya secara prosedural.
    Pertanyaannya kemudian: apakah kita sedang menyaksikan “Gelombang Keempat” demokratisasi, atau sesuatu yang sama sekali berbeda?
    Mari kita bedah apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Di Indonesia, percikan awalnya tampak sepele: tunjangan perumahan Rp 50 juta untuk anggota DPR di tengah pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan.
    Namun, kemarahan yang meledak mengungkap luka yang lebih dalam, yaitu persepsi tentang elite yang korup dan terputus dari realitas rakyat.
    Ketika Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis polisi, protes semakin masif dan meluas.
    Lebih dari 1.240 orang ditahan, gedung-gedung pemerintah dibakar. Tunjangan kontroversial tersebut akhirnya dihentikan.
    Protes berdarah yang menewaskan 19 demonstran berakhir dengan pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli.
     
    Namun, ini bukan kemenangan demokrasi, tapi upaya putus asa untuk menekan tombol reset pada sistem yang telah gagal total.
    Filipina menyajikan inovasi menarik: “lifestyle policing” melalui media sosial. Aktivis menggunakan TikTok dan Instagram untuk menyandingkan foto liburan mewah keluarga politisi dengan gambar korban banjir akibat proyek infrastruktur korup.
    Taktik ini mentransformasi konsep abstrak “korupsi” menjadi ketidakadilan yang kasat mata, viral, dan memicu kemarahan.
    Thailand menghadirkan kompleksitas berbeda. Negara ini memiliki pemilu, parlemen, dan konstitusi (20 konstitusi sejak 1932, tepatnya).
    Namun, ketika partai pemenang pemilu 2023 diblokir membentuk pemerintahan oleh Senat yang ditunjuk militer, rakyat memahami kebenaran pahit: suara mereka tidak berarti.
    Protes yang menuntut reformasi monarki—tabu tertinggi dalam politik Thailand—adalah jeritan frustasi terhadap “veto-krasi” yang membuat demokrasi menjadi sandiwara kosong.
    Bahkan Perancis, benteng demokrasi Barat, tidak kebal. Gerakan “Block Everything” melawan kebijakan penghematan Macron menunjukkan bahwa krisis kepercayaan ini bersifat global, melampaui batas antara demokrasi “muda” dan “matang.”
    Huntington berbicara tentang “efek bola salju”, bagaimana kesuksesan demokratisasi di satu negara menginspirasi tetangganya.
    Spanyol menginspirasi Portugal, Polandia menginspirasi Hongaria. Namun, efek bola salju hari ini berbeda. Ia tidak lagi dibatasi geografis atau membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyebar.
    Istilah “nepo babies” yang muncul di Filipina dalam hitungan hari diadopsi aktivis Nepal. Taktik “lifestyle policing” menyebar seperti virus lintas benua.
    Solidaritas tidak lagi membutuhkan kedekatan fisik, “Milk Tea Alliance” menyatukan aktivis Thailand, Hong Kong, dan Taiwan melalui meme dan tagar.
    Bola salju modern adalah algoritma yang memviralkan ketidakadilan, mentransformasi kemarahan lokal menjadi pemberontakan global dalam hitungan jam, bukan tahun.
    Jika protes-protes ini bukan gelombang demokratisasi baru, lalu apa? Jawabannya memerlukan paradigma baru.
    Kita sedang menyaksikan apa yang dapat disebut “respons imun demokrasi global”, satu bentuk reaksi organik dari masyarakat sipil terhadap patogen yang menggerogoti demokrasi dari dalam: korupsi sistemik, elite yang terputus, institusi yang membusuk, dan apa yang ilmuwan politik sebut “democratic backsliding” (kemunduran demokrasi).
    Seperti sistem kekebalan tubuh yang menyerang virus, protes-protes ini adalah mekanisme pertahanan terakhir ketika institusi formal gagal.
     
    Ketika parlemen tidak lagi mewakili rakyat, jalanan menjadi parlemen alternatif. Ketika sistem peradilan gagal menghukum koruptor, media sosial menjadi pengadilan rakyat.
    Ketika pemilu tidak menghasilkan perubahan bermakna, protes menjadi satu-satunya “suara” yang didengar.
    Ini menjelaskan mengapa pola yang sama muncul di konteks berbeda. Demonstran di Jakarta dan Paris, meski hidup dalam sistem politik yang sangat berbeda, berbagi frustrasi yang sama: pemerintah tidak responsif, kebijakan menguntungkan elite, dan institusi kehilangan legitimasi. Krisis kepercayaan adalah pandemi politik abad ke-21.
    Implikasi dari diagnosis ini sangat mendalam. Jika tantangan utama bukan lagi membangun institusi demokratis, tetapi mempertahankan kualitas dan legitimasinya, maka resep kebijakan harus berubah total.
    Tidak cukup mengadakan pemilu berkala. Tidak cukup memiliki parlemen dan konstitusi. Demokrasi abad ke-21 harus menemukan cara untuk memulihkan kepercayaan, memerangi korupsi sistemik, dan membuat institusi benar-benar responsif terhadap aspirasi rakyat.
    Protes-protes ini, meski sering berdarah dan kacau, sebenarnya adalah tanda harapan. Masyarakat sipil masih memiliki vitalitas untuk melawan pembusukan.
    Bahwa generasi muda tidak akan diam melihat masa depan mereka dicuri. Bahkan dalam era sinisme politik, masih ada yang peduli untuk berjuang.
    Namun, respons imun saja tidak cukup. Seperti demam yang terlalu tinggi dapat membunuh pasien, protes yang terus-menerus tanpa reformasi institusional dapat menghancurkan tatanan sosial.
    Pertanyaan kritisnya adalah: akankah elite politik di Jakarta, Kathmandu, Manila, Bangkok, dan Paris mendengar peringatan ini dan melakukan reformasi sejati?
    Atau akankah mereka terus bermain sandiwara demokrasi hingga jalanan benar-benar menjadi satu-satunya parlemen yang tersisa?
    Sejarah belum selesai ditulis. Namun satu hal sudah jelas: kita tidak sedang menyaksikan gelombang baru demokratisasi.
    Kita sedang menyaksikan perjuangan untuk jiwa demokrasi itu sendiri, satu bentuk perjuangan antara harapan akan pemerintahan yang akuntabel dan realitas elite yang tercerabut dari akarnya.
    Hasil dari perjuangan ini akan menentukan apakah demokrasi abad ke-21 dapat memperbarui dirinya, atau akan tenggelam dalam krisis kepercayaan yang semakin dalam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Video: Pemerintah Korup, Gen Z Bergerak Tumbangkan PM Nepal

    Video: Pemerintah Korup, Gen Z Bergerak Tumbangkan PM Nepal

    Jakarta, CNBC Indonesia -Kerusuhan besar mengguncang Nepal setelah gelombang demonstrasi yang dipimpin generasi muda pecah di kawasan gedung parlemen di Kathmandu, Nepal, pada Rabu, 10 September 2025. Bahkan sejumlah pihak di nepal menyebut, kerusuhan di nepal terinspirasi dari apa yang terjadi di Indonesia

    Simak informasi selengkapnyadalam Program Nation Hub CNBC Indonesia, Kamis (11/09/2025).

  • Video: Nepal Chaos, Pemerintah Evakuasi WNI di Nepal

    Video: Nepal Chaos, Pemerintah Evakuasi WNI di Nepal

    Jakarta, CNBC Indonesia -Anggota Komisi I DPR Taufiq Abdullah meminta pemerintah lewat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memonitor keselamatan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di Nepal.

    Simak informasi selengkapnyadalam Program Nation Hub CNBC Indonesia, Kamis (11/09/2025).

  • Komisi I DPR sebut kerusuhan Nepal pelajaran berharga untuk pemerintah

    Komisi I DPR sebut kerusuhan Nepal pelajaran berharga untuk pemerintah

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Nepal merupakan pelajaran berharga dan refleksi mendalam untuk perbaikan tata kelola pemerintahan, termasuk partai politik, juga para pejabat dalam merespons isu publik.

    Menurut dia, Gedung DPR dan Pemerintahan Nepal dibakar oleh demonstran, diikuti pengunduran diri Perdana Menteri Nepal KP Sharma Oli, karena amarah dari publik lantaran pemerintah melarang media sosial. Meski kebijakan itu dicabut, tetapi amarah publik sudah berdampak besar.

    “Kemarahan publik telah membawa dampak besar perubahan,” kata Sukamta saat menjadi pembicara dalam acara peluncuran sebuah buku di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Dia mengatakan pelajaran yang perlu diambil atas fenomena kerusuhan tersebut adalah pejabat pemerintah atau politik harus menjaga sikap dan ucapan agar tak sampai melukai perasaan publik.

    Selain itu, menurut dia, pejabat publik harus lebih banyak mendengar sebelum berbicara dan bertindak. Selain itu, janji yang sudah diucapkan harus disertai dengan tindakan yang nyata.

    “Transparan pada data dan anggaran,” kata dia.

    Dalam era ini, menurut dia, generasi muda yang disebut dengan Gen Z, lahir, hidup, dan bertumbuh di dunia digital. Mereka, kata dia, cepat menyerap informasi, dan peduli isu yang terasa di hidup mereka, terutama masalah akses pendidikan, lapangan pekerjaan, masalah lingkungan, serta korupsi.

    “Gen Z tidak suka basa-basi, karena mereka menginginkan keaslian, data yang jelas, dan kesempatan bagi mereka untuk berbicara,” katanya.

    Seperti diketahui, kerusuhan di Nepal terjadi dipicu karena kebijakan pemerintah Nepal yang sempat memblokir media sosial, hingga dianggap oleh publik mematikan kampanye anti-korupsi. Kerusuhan yang membuat pemerintahan Nepal runtuh itu, disebut dimotori oleh generasi muda atau Gen Z.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemerintah rencanakan evakuasi WNI di Nepal

    Pemerintah rencanakan evakuasi WNI di Nepal

    ANTARA – Pemerintah Indonesia memastikan keamanan dan keselamatan Warga Negara Indonesia (WNI) di Nepal, di tengah kerusuhan yang terjadi di negeri seribu kuil tersebut. Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri Hartyo Harkomoyo di Jakarta, Kamis (11/9), mengatakan pemerintah terus berkomunikasi intensif dengan WNI di Nepal, sementara proses evakuasi tengah dalam tahap perencanaan. (Suci Nurhaliza/Ryan Rahman/Fahrul Marwansyah/Nanien Yuniar)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Demo Besar-besaran di Nepal, DPR Desak Pemerintah Ambil Langkah Cepat Evakuasi WNI – Page 3

    Demo Besar-besaran di Nepal, DPR Desak Pemerintah Ambil Langkah Cepat Evakuasi WNI – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Aksi demo besar-besaran yang digerakkan Generasi Z Nepal mengguncang Kathmandu dan sejumlah kota lain pada Senin (8/9/2025), usai pemerintah memblokir 26 platform media sosial populer, termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, dan X.

    Anggota Komisi I DPR Taufiq Abdullah, mendesak pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di Nepal, termasuk menyiapkan langkah mitigasi hingga evakuasi.

    “Tentu kami berharap situasi segera kondusif, namun jika keadaan semakin tidak menentu dan mengancam keselamatan WNI, maka langkah evakuasi perlu dipersiapkan dengan tepat waktu,” kata dia, Kamis (11/9/2025).

    Politikus PKB ini meminta pemerintah memberikan fasilitasi penuh serta menjalin komunikasi intensif dengan seluruh WNI di Nepal maupun pihak-pihak terkait untuk memastikan keselamatan mereka.

    “Komunikasi intensif dengan para WNI sangat dibutuhkan, baik untuk mengingatkan kewaspadaan, memastikan mereka menghindari kerumunan massa, maupun memantau keberadaan WNI agar tetap aman di tengah konflik,” jelas Taufiq.

    Dia mengimbau agar para WNI terus berkoordinasi dengan KBRI. “Butuh kerja sama antara WNI dan KBRI untuk memastikan semuanya berada dalam kondisi sehat dan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Kami percaya pemerintah akan memastikan dan menjamin keselamatan seluruh WNI,” kata Taufiq.

     

  • ‘Gen Z’ Calonkan Mantan Ketua MA Jadi PM Sementara Nepal

    ‘Gen Z’ Calonkan Mantan Ketua MA Jadi PM Sementara Nepal

    Jakarta

    Mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Nepal, Sushila Karki diusung oleh para anak muda Nepal atau “Gen Z” sebagai pilihan utama untuk menjadi pemimpin sementara negeri itu. Hal ini diungkapkan seorang perwakilan demonstran “Gen Z” pada hari Kamis (11/9), setelah aksi-aksi demonstrasi yang dipimpin “Gen Z” berhasil menggulingkan Perdana Menteri KP Sharma Oli.

    Militer saat ini sedang berupaya memulihkan ketertiban di negara Himalaya berpenduduk 30 juta jiwa itu, setelah kekerasan terburuk dalam dua dekade menggulingkan PM dan membakar gedung parlemen pada hari Selasa (9/9) lalu. Panglima militer Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel mengadakan “konsultasi dengan para pemangku kepentingan terkait dan mengadakan pertemuan dengan perwakilan Gen Z” pada hari Rabu (10/9) yang dilanjutkan hari ini, Kamis (11/9).

    “Saat ini, nama Sushila Karki sedang mencuat untuk memimpin pemerintahan sementara — kami sekarang menunggu presiden untuk mengambil langkah,” kata Rakshya Bam, salah satu peserta pertemuan tersebut.

    “Kami berdiskusi dengan panglima militer tentang masa depan,” ujarnya kepada AFP, Kamis (11/9/2025).

    “Pembicaraannya adalah tentang bagaimana kita dapat bergerak maju, menjaga perdamaian dan keamanan negara,” imbuhnya.

    Karki (73), seorang akademisi dan mantan Ketua MA perempuan pertama di Nepal, mengatakan kepada AFP bahwa “para ahli perlu bersatu untuk mencari jalan ke depan”, dan bahwa “parlemen masih tetap berdiri”.

    Para tentara berpatroli di jalan-jalan ibu kota Nepal, Kathmandu untuk hari kedua pada hari Kamis (11/9), dengan beberapa pos pemeriksaan militer didirikan di sepanjang jalan.

    Aksi demonstrasi dimulai pada hari Senin (8/9) lalu di Kathmandu untuk memprotes korupsi dan menentang pemblokiran terhadap media sosial. Namun, aksi protes tersebut meningkat menjadi luapan amarah di seluruh negeri, dengan gedung-gedung pemerintahan dibakar setelah sedikitnya 19 orang tewas dalam tindakan keras aparat polisi terhadap demonstran.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Dunia Hari Ini: Influencer Sayap Kanan Populer AS Tewas Ditembak

    Dunia Hari Ini: Influencer Sayap Kanan Populer AS Tewas Ditembak

    Anda sedang membaca laporan Dunia Hari Ini edisi Kamis, 11 September 2025, yang merangkum berita-berita yang terjadi dalam 24 jam terakhir.

    Edisi Kamis, 11 September kita awali dari Amerika Serikat.

    Tokoh sayap kanan Amerika meninggal dunia

    ‘Influencer’ sayap kanan, Charlie Kirk, tewas ditembak saat berpidato di sebuah universitas di Utah.

    Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi kematian Charlie, yang berusia 31 tahun, dalam unggahan di media sosial.

    “Dia adalah teman baik saya dan orang yang luar biasa,” ujar Trump.

    Charlie ditembak saat berpidato di hadapan khalayak di Universitas Utah Valley di Orem, selatan Salt Lake City.

    Gubernur Utah Spencer Cox mengatakan “orang yang dicurigai” telah ditahan dan sedang diinterogasi.

    Pengunduran diri Rahayu Saraswati

    Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengumumkan pengunduran diri sebagai anggota DPR RI menyusul pernyataan yang dianggap menyinggung perasaan warga.

    Pengunduran diri keponakan Presiden Prabowo tersebut diumumkan melalui akun Instagram miliknya, @rahayusaraswati.

    “Dengan ini, saya menyatakan pengunduran diri saya sebagai anggota DPR RI kepada fraksi Partai Gerindra,” ujarnya dalam video yang diunggah di akun Instagramnya kemarin.

    Rahayu pernah mendorong anak-anak muda jadi pengusaha kalau punya kreativitas, “Daripada ngomel enggak ada kerjaan, bikin kerjaan buat temen-temen lu.”

    Ia mengklaim pernyataannya dalam podcast ANTARA TV “On The Record” yang berjalan selama lebih dari dua menit dipotong dan diedit oleh pihak-pihak yang ingin memancing kemarahan publik.

    Unjuk rasa ‘Block Everything’ di Prancis

    Para pengunjuk rasa di seluruh Prancis memblokir jalan raya, membakar barikade, dan bentrok dengan polisi, Rabu kemarin.

    Mereka turun ke jalan sebagai luapan kemarahan terhadap Presiden Emmanuel Macron, elite politik, dan rencana pemotongan anggaran.

    Pihak berwenang mengerahkan lebih dari 80.000 personel keamanan dan menyemprotkan meriam air ke arah demonstran ketika ketegangan meningkat di beberapa tempat.

    Di Paris, polisi anti huru hara menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa, hampir 200 orang ditahan di ibu kota.

    Gerakan “Block Everything”, ekspresi ketidakpuasan yang naik daun di media sosial, muncul pada bulan Mei di kalangan kelompok sayap kanan,. Tapi sejak itu telah diadopsi oleh kelompok kiri dan sayap kiri ekstrem.

    Militer ambil alih kendali Nepal

    Tentara Nepal merebut kendali ibu kota Kathmandu setelah kekerasan terburuk dalam dua dekade tersebut menewaskan 30 orang.

    Aksi tersebut memaksa perdana menterinya turun dan menyebabkan gedung-gedung pemerintahan, termasuk gedung parlemen yang mengalami kerusakan parah.

    Menurut polisi, aksi unjuk rasa telah menyebabkan lebih dari 13.500 tahanan melarikan diri dari penjara di seluruh negeri.

    Kementerian Kesehatan Nepal mengatakan 30 orang yang tewas dalam kerusuhan dan 1.033 orang luka-luka.

  • Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?

    Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?

    Jakarta

    Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Oli mengundurkan diri pada Selasa (9/9), setelah gelombang protes anti-pemerintah yang berujung pada kerusuhan, menyeret negeri di Himalaya itu ke dalam gejolak politik baru.

    “Dengan mempertimbangkan situasi buruk di negara ini, saya mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi solusi atas masalah ini dan membantu menyelesaikannya secara politik sesuai dengan konstitusi,” tulis Oli dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ram Chandra Poudel.

    Pengunduran diri itu diumumkan setelah para demonstran membakar rumah pejabat tinggi Nepal, termasuk kediaman pribadi Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.

    Para pakar hukum tata negara memperingatkan Nepal berisiko menghadapi kekacauan politik berkepanjangan, kecuali segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional.

    “Tidak ada ketentuan konstitusional yang jelas mengenai apa yang seharusnya terjadi selanjutnya dalam situasi seperti ini,” ujar Bipin Adhikari, profesor hukum tata negara di Universitas Kathmandu.

    Salah satu opsi yang mungkin, kata dia, adalah presiden menyerukan pembentukan pemerintahan konsensus nasional. “Perdana menteri harus dipilih dari parlemen sesuai konstitusi 2015, sambil memastikan tuntutan generasi muda Gen Z diakomodasi lewat keterwakilan mereka di dalam dialog ini,” ujarnya kepada DW.

    Kekosongan politik

    C.D. Bhatta, ilmuwan politik sekaligus manajer program senior di Friedrich Ebert Foundation (FES) Nepal, mengatakan kredibilitas seluruh kekuatan politik “menjadi tidak relevan.”

    “Semua pihak kini mencoba memanfaatkan situasi untuk memimpin pemerintahan,” ujarnya kepada DW. “Kita sudah memasuki kekosongan politik dan konstitusional.”

    Menurutnya, situasi harus segera ditangani oleh presiden dengan dukungan militer. “Satu-satunya opsi adalah membentuk pemerintahan sipil hingga terpilih pemerintahan baru, dengan dukungan penuh tentara Nepal yang masih menjadi satu-satunya kekuatan sah di negara ini.”

    Adhikari sependapat. “Pemerintahan ini harus mendapat dukungan militer Nepal, yang saat ini menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga ketertiban,” katanya.

    Akar kerusuhan terbaru

    Nepal, negara pegunungan tanpa akses laut yang terjepit di antara India dan Cina, telah lama menghadapi ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi selama dua dekade terakhir.

    Kerusuhan terbaru pecah setelah pemerintah memberlakukan larangan menyeluruh terhadap 26 platform media sosial yang belum terdaftar secara lokal — termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp — pekan lalu.

    Larangan diduga diputuskan setelah video unggahan anak-anak dan keluarga pejabat Nepal memicu amarah publik, karena menampilkan gaya hidup bertabur kemewahan di tengah kemiskinan.

    Dalam keterangannya, pemerintah beralasan platform-platform media sosial gagal mematuhi aturan baru yang mengharuskan perusahaan menunjuk kantor penghubung di Nepal.

    Namun, para pengkritik menyebut langkah itu sebagai “serangan terhadap kebebasan berekspresi” sekaligus upaya membungkam kritik dan oposisi.

    “Larangan ini adalah upaya putus asa dari pemerintah yang tidak populer untuk membungkam lawan politiknya,” ujar Tara Nath Dahal, ketua LSM Freedom Forum Nepal, kepada DW.

    Analis menilai protes tidak semata-mata dipicu larangan media sosial, melainkan juga mencerminkan frustrasi dan kekecewaan yang meluas atas korupsi serta buruknya tata kelola.

    Aksi yang didorong kelompok muda berusia 18–30 tahun itu sejauh ini berlangsung tanpa kepemimpinan jelas. Banyak anak muda marah karena anak-anak elit politik hidup dalam kemewahan sementara mayoritas generasi muda kesulitan mencari pekerjaan layak.

    “Kami tidak menentang sistem politik atau konstitusi. Kami menentang pemerintahan kroni, partai politik, dan kepemimpinan mereka yang tidak kompeten,” kata seorang perwakilan gerakan protes yang enggan disebut namanya.

    “Kami menuntut tata kelola yang baik dan keadilan bagi mereka yang kehilangan nyawa dalam aksi ini. Kami tidak ingin wajah-wajah lama kembali mengisi jalur politik baru.”

    Tuntutan akuntabilitas

    Pada Senin (8/9), puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Kathmandu, mengepung gedung Parlemen.

    Aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai sekitar 150 lainnya. Tidak lama berselang, gedung wakil rakyat itu hangus terbakar.

    Kelompok HAM menyerukan pertanggungjawaban dan investigasi independen atas brutalitas aparat keamanan.

    Nirajan Thapaliya, direktur Amnesty International Nepal, mengatakan organisasinya “sangat mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum oleh aparat keamanan di Nepal” dan mendesak otoritas untuk “mengendalikan diri secara maksimal.”

    Gelombang protes memaksa pemerintah mencabut larangan media sosial pada Selasa pagi, sebelum Oli menyerahkan pengunduran dirinya.

    Namun, kemarahan terhadap pemerintah tak kunjung mereda, dengan aksi-aksi protes tetap berlanjut di Kathmandu meski ada jam malam tanpa batas.

    Setelah pengunduran diri Oli, militer Nepal mengunggah imbauan di X agar masyarakat “menahan diri.”

    India, yang menampung ratusan ribu warga Nepal, menyatakan harapannya agar semua pihak di negara tetangga itu menahan diri dan menyelesaikan masalah lewat dialog.

    Kedutaan besar Australia, Finlandia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Norwegia, Jerman, dan Amerika Serikat di Nepal juga mengeluarkan pernyataan bersama, mendesak semua pihak menahan diri, menghindari eskalasi, dan memastikan hak-hak fundamental dihormati.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Demo Berlanjut, Gen Z Nepal Minta Eks Ketua MA Jadi PM Sementara” di sini:

    (ita/ita)