Negara: Nepal

  • 7
                    
                        Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
                        Nasional

    7 Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah Nasional

    Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    PERISTIWA
    mengejutkan yang terjadi di Nepal tentu disebabkan oleh banyak faktor, tak berbeda dengan demonstrasi besar-besaran di Indonesia tempo hari.
    Namun, biasanya faktor-faktor tersebut membutuhkan pemicu. Dan di Nepal pemicunya adalah kebijakan pemerintahnya yang memberlakukan larangan terhadap sekitar 26 platform media sosial besar, termasuk Facebook, X (Twitter), YouTube, Instagram, WhatsApp, dan lainnya, pada awal September 2025.
    Media sosial adalah separuh dari kehidupan dari Gen Z. Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kebijakan tersebut mendadak menjadi pemicu pecahnya amarah “Gen Z” di Nepal, lalu membuat mereka turun ke jalan, dan berakhir dengan pertunjukan kemarahan atau amuk massa yang jauh lebih masif dibanding Indonesia.
    Sebenarnya, kebijakan pelarangan sebagian besar platform media sosial di Nepal bukan karena pemerintahannya benar-benar ingin melarang.
    Jika kita dalami, penyebab utamanya adalah kegagalan, boleh jadi disengaja atau hanya kebetulan, dari platform-platform tersebut untuk mendaftarkan diri pada pemerintahan Nepal, sebagaimana telah diminta sebelumnya.
    Pemerintah Nepal terpantau telah memberikan tenggat selama tujuh hari sejak 28 Agustus 2025, bagi perusahaan media sosial untuk mendaftar kepada pemerintah dan telah menetapkan kantor di mana pendaftaran harus dilakukan beserta pejabat pengaduan yang bisa dihubungi.
    Namun platform-platform besar itu gagal mematuhi tenggat waktu tersebut, sehingga membuat pemerintah Nepal terpaksa harus memutuskan untuk memblokir akses terhadap platform-platform tersebut pada 4 September 2025.
    Di satu sisi, pemerintah Nepal memang gagal memberikan narasi yang memuaskan atas kebijakan pelarangan tersebut.
    Di sisi lain, pemerintah Nepal justru menyampaikan bahwa tujuan larangan adalah untuk menangani penyebaran misinformasi,
    hate speech,
    dan kehadiran platform-platform tanpa ikatan regulasi yang jelas.
    Walhasil, banyak pengamat dan kelompok hak asasi manusia akhirnya melihat narasi tersebut sebagai bentuk sensor dan upaya pembungkaman atas kebebasan berekspresi (
    freedom of speech
    ).
    Menanggapi itu, pada 8 September 2025, aksi unjuk rasa besar terjadi di Kathmandu, khususnya di sekitar Gedung Parlemen dan area Maitighar Mandala.
    Ribuan pemuda yang tergabung dalam gerakan “Protes Gen Z” turun ke jalan, menuntut pencabutan larangan terhadap media sosial sambil menyoroti isu korupsi dan pengangguran.
    Demonstrasi yang semula damai kemudian berubah menjadi perlawanan yang diiringi oleh kekerasan.
    Di sisi lain, Kepolisian mulai menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam. Sehingga 19 orang setidaknya tercatat tewas dalam bentrokan tersebut, yang membuat perlawanan justru semakin menjadi-jadi.
    Larangan media sosial bukan hanya penyebab langsung demonstrasi, tetapi juga simbol atau semacam pemicu dari ketegangan, terutama antara generasi muda dan pemerintahan setempat.
    Ketegangan tersebut khususnya terkait masalah korupsi, kebebasan berpendapat, dan frustrasi terhadap masa depan para generasi muda, sebagaimana analisis saya terhadap perlawanan sosial di Indonesia tempo hari.
    Selama ini, platform-platform media sosial sudah lazim menjadi sarana utama bagi generasi muda Nepal untuk menyuarakan kritik, menyebarkan informasi, dan mengorganisir aksi.
    Ketika akses itu dicabut secara tiba-tiba, tidak pelak dianggap sebagai serangan langsung terhadap ruang digital yang mereka anggap milik bersama. Ekspresipun akhirnya berpindah ke dunia nyata.
    Dengan kata lain, demonstrasi yang berujung kerusuhan di Nepal mencerminkan akumulasi ketidakpuasan sosial-ekonomi yang sudah cukup dalam dan lama di satu sisi dan bersifat multidimensi di sisi lain.
    Krisis harga kebutuhan pokok, terutama bahan makanan dan energi, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat bak air bah berbondong-bondong turun ke jalan.
    Lonjakan inflasi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan rumah tangga membuat kelompok kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin semakin terdesak secara sosial dan ekonomi.
    Selain faktor ekonomi, ada dimensi struktural di dalam masyarakat Nepal yang memperburuk situasi.
    Sistem politik yang masih rapuh pasca-transformasi republik sering kali gagal memberikan respons cepat terhadap kebutuhan rakyat.
    Elite politik kerap terjebak dalam persaingan kekuasaan yang dangkal, sementara kebijakan publik yang pro-rakyat gagal dihadirkan.
    Ketidakpuasan publik terhadap korupsi, birokrasi yang lamban, dan kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan turut menambah rasa frustrasi generasi muda.
    Kombinasi ini melahirkan persepsi bahwa negara tidak hadir untuk melindungi dan bekerja demi rakyatnya di dalam masa krisis.
    Kerusuhan yang terjadi juga mengindikasikan adanya ketegangan antara generasi muda dengan struktur sosial lama.
    Anak muda Nepal yang sudah lama berhadapan dengan tingkat pengangguran tinggi merasa tidak memiliki masa depan yang pasti di dalam negeri mereka sendiri.
    Banyak dari generasi muda Nepal ini, terutama Gen Z, bermigrasi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah atau India, untuk mencari penghidupan.
    Ketika peluang domestik semakin sempit dari hari ke hari, frustrasi mereka menjadi semakin mudah bertransformasi menjadi aksi-aksi massif yang frontal.
    Demonstrasi pun akhirnya menjadi wadah ekspresi politik sekaligus pelarian emosional atas kekecewaan yang sudah menumpuk bertahun-tahun.
    Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat Nepal tersebut berpadu dengan lemahnya kapasitas negara dalam mengelola demonstrasi.
    Aparat keamanan sering kali bertindak represif, mirip dengan di Indonesia, yang justru memperburuk ketegangan dan memicu eskalasi kerusuhan.
    Bukannya menjadi sarana mediasi, intervensi aparat malah memperlihatkan wajah negara yang cenderung mengutamakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
    Hal tersebut tak pelak memperkuat narasi oposisi bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, melainkan hanya menjaga status quo bagi elite politik dan ekonomi yang sudah sedari dulu hidup dalam kemewahan.
    Pun tak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sebagaimana sempat saya bahas dalam beberapa tulisan terdahulu, dari perspektif sosial-ekonomi, demonstrasi masif di Nepal merepresentasikan jurang ketidaksetaraan yang makin menganga.
    Pertumbuhan ekonomi Nepal memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan terbatas di perkotaan. Sementara sebagian besar masyarakat kelas bawah dan pedesaan justru masih hidup dengan keterbatasan infrastruktur, layanan kesehatan, akses pendidikan bahkan pangan.
    Ketimpangan ini menciptakan persepsi dan rasa ketidakadilan sosial di tengah-tengah generasi muda Nepal, yang hanya membutuhkan satu trigger untuk berubah menjadi ledakan sosial berupa protes masal.
    Walhasil, kerusuhan pada akhirnya bukan lagi tentang harga barang atau kebijakan jangka pendek, tetapi berubah menjadi isu kegagalan sistemik dalam mendistribusikan kesejahteraan secara adil kepada masyarakat Nepal.
    Tak pula bisa dipungkiri ada
    effect domino
    dari gerakan demonstrasi masif yang terjadi di Indonesia jelang akhir Agustus lalu.
    Jika diperhatikan secara komparatif di media-media sosial, terutama di Asia dan Asia Tenggara,
    effect domino
    dari Indonesia memang terjadi, terutama di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan tentunya Nepal ini.
    Effect domino
    terjadi di negara-negara yang pemerintahannya dianggap cenderung korup, oligarkinya kuat, atau politik dinastinya menonjol, pun negara yang masih mempertahankan sistem tradisional seperti di Nepal, tapi kinerja penguasanya cenderung dianggap sangat tidak memuaskan.
    Namun, negara-negara yang memiliki sistem pemerintahan yang kuat, tingkat konsolidasi elitenya juga sangat tinggi, sekalipun tidak terlalu demokratis, tapi berkinerja baik, seperti Singapura, banyak sedikitnya juga Malaysia,
    effect domino-
    nya sangat mudah ternetralisasi oleh publik negara itu sendiri.
    Sementara negara-negara yang memang sudah didominasi oleh elite politik dan militer, hampir bisa dipastikan sulit untuk terimbas efek domino, karena ruang publiknya cenderung dikontrol secara ketat.
    Salah satu indikasi
    effect domino
    tersebut di Nepal adalah bendera
    One Piece
    yang juga digunakan di Nepal dan cukup masif beredar di media sosial Filipina dan Thailand.
    Di Nepal, memang banyak demonstran muda mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami alias ikon Straw Hat Pirates dari manga/anime
    One Piece
    yang digadang-gadang sebagai simbol perlawanan terhadap sensor dan korupsi pemerintah.
    Lantas pertanyaannya, mengapa Gen Z?
    Tentu tidak berbeda dengan Indonesia tempo hari. Gen Z di Nepal jumlahnya juga sangat besar. Di Indonesia, Gen Z menjadi generasi terbesar, sekitar 26 persen dari total penduduk berdasarkan data Pemilu 2024 lalu.
    Apalagi jika memakai kacamata sosiolog Hungaria Karl Mannheim, misalnya, generasi bukan hanya soal usia biologis, melainkan juga kesadaran kolektif yang terbentuk melalui pengalaman historis bersama.
    Gen Z dan Gen Milenial sudah sulit dipisahkan jika keduanya berada pada isu yang sama.
    Gen Z di Nepal tak berbeda dengan Gen Z di belahan dunia lainnya. Mereka tumbuh di era digitalisasi global, keterhubungan yang intens melalui media sosial, serta ekspektasi pada mobilitas sosial yang lebih baik.
    Namun, ketika harapan tersebut berbenturan dengan realitas struktural berupa pengangguran, ketimpangan, dan yang aktual kini sensor digital, misalnya, maka otomatis terbentuklah kesadaran kolektif untuk melawan.
    Demonstrasi pun menjadi ekspresi politis dari “unit generasional” yang merasa hak-hak fundamental mereka telah diabaikan. Dan ekspresi tersebut ternyata merepresentasikan perasaan publik secara umum. Klop sudah.
    Dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, misalnya, media sosial berfungsi sebagai arena deliberasi dan artikulasi kepentingan publik.
    Bagi Gen Z, tak terkecuali di Nepal, platform digital seperti Facebook, Instagram, dan X bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang politik yang memungkinkan mereka membangun identitas, solidaritas, dan narasi tandingan terhadap negara.
    Sehingga larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah akan serta-merta dilihat sebagai upaya menutup ruang publik digital, yang justru mempercepat mobilisasi berpindah ke jalanan.
    Dengan kata lain, ketika ruang komunikasi formal dibatasi, generasi muda akan mencari kanal ekspresi alternatif melalui aksi kolektif, yang berpotensi berujung kerusuhan jika keresahan sudah mencapai titik “kemuakan kelas dewa”.
    Laurie Rice dan Kenneth Moffett di dalam buku mereka, “The Political Voices of Generation Z”(2021), mengafirmasi mengapa Gen Z cenderung tidak sama dengan generasi sebelumnya di dalam berekspresi, karena mereka lebih progresif dan berani.
    Gen Z, kata Rice dan Moffett, memiliki orientasi politik yang cenderung lebih progresif dibandingkan generasi Milenial maupun generasi X.
    Dari sisi pandangan, gen Z lebih terbuka terhadap keberagaman, lebih peduli pada inklusivitas, dan lebih getol menuntut transparansi dari institusi politik.
    Bahkan kedua penulis ini menemukan bahwa tingkat kepercayaan Gen Z terhadap institusi tradisional, seperti partai politik dan lembaga pemerintah, cenderung rendah.
    Hal ini menimbulkan pola partisipasi yang lebih banyak bergerak di luar sistem formal, misalnya melalui gerakan sosial atau kampanye digital.
    Kendati demikian, dalam hemat saya, pola tersebut berlangsung dalam kondisi normal. Jika titik didihnya sudah tercapai, pemicunya tepat, maka pembakaran dan perlawanan masif akan menjadi model partisipasi yang masuk akal.
    Dengan kata lain, toh Gen Z memang sudah kurang percaya pada institusi elite dan pemerintahan.
    Lalu, saat institusi-institusi ini melakukan hal-hal di luar etika dan kewajaran, bahkan terkesan meremehkan masyarakat banyak, termasuk generasi muda, apalagi sampai membatasi ruang gerak generasi muda, maka hal-hal di luar nalar dan perkiraan pun akhirnya bisa masuk akal di mata para Gen Z.
    Singkat kata, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan kepada pemerintah bahwa diakui atau tidak, pemerintahan hari ini di sini dimenangkan oleh Generasi Z. Bahkan suara generasi yang satu ini menjadi penentu pemilihan tempo hari.
    Di permukaan, Gen Z memang mudah terpukau populisme, bahkan hanya dengan tarian dan jogetan ala kadarnya.
    Namun, dalam hemat saya, hal itu baru sekedar gambaran preferensi dan kesukaan politik semata, belum menjadi gambaran kepercayaan penuh.
    Maka raihlah kepercayaan penuh dari generasi ini, dengan perbaikan yang berarti di segala lini sekaligus benar-benar menyentuh akar persoalan, jika tak ingin “grievances” dari Gen Z kita berubah menjadi “Revenge”.
    Gen Z memang mudah terpukau, tapi tidak berarti mereka tak kritis dan tak bernyali seperti yang terjadi di Nepal itu. Mohon dicatat!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps

    3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps

    Jakarta, CNBC Indonesia– Demonstrasi berujung aksi kekerasan dan anarkisme pecah di Nepal. Sejak Senin, negeri itu dilanda kekacauan, yang membuat pemerintahan kolaps.

    Pada awalnya, pemuda Nepal yang sangat melek digital, harus menerima kenyataan pahit bagaimana pemerintah yang dikuasai Partai Komunis mencoba mengekang akses ke 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan X. Keputusan yang dibuat pemerintah sejak Kamis pekan lalu itu, menjadi trigger awal kemarahan warga, yang didominasi Generasi Z.

    Belum lagi banyaknya pengangguran dan terbatasnya kesempatan kerja. Ketidakstabilan politik, korupsi dan lambatnya pembangunan ekonomi negeri Himalaya itu jadi soal lain.

    Sayangnya di tengah situasi sulit, pejabat dan keluarganya tak bisa berempati. Flexing kekayaan baik di muka umum atau media sosial menjadi masalah lain yang memicu warga semakin marah.

    Berikut penjelasan lengkap faktor penyebab demo chaos di Nepal membuat pemerintahannya kini runtuh, dirangkum CNBC Indonesia Kamis (11/9/2025).

    Kesulitan Ekonomi

    Sebenarnya Nepal adalah negara yang sakit secara ekonomi. Ini terlihat dari beberapa indikator.

    World Bank (Bank Dunia) mengatakan bahwa 82% tenaga kerja Nepal ternyata berada di sektor informal.
    Data ini mengejutkan sebagai sebuah negara, di mana data pekerja informal tersebut jauh lebih tinggi daripada rata-rata global dan regional.

    Sulitnya pekerjaan ini pun menjadi jawaban mengapa remitansi sangat penting bagi perekonomian Nepal, setara dengan sepertiga PDB negara itu tahun lalu dan merupakan tingkat tertinggi keempat di dunia. Remitansi sendiri adalah transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya.

    Media sosial, yang coba dikekang pemerintah, adalah alat utama untuk tetap berhubungan dengan kerabat di luar negeri itu. Sehingga kekhawatiran berlebih muncul saat pemerintah memberlakukan kebijakan yang kontra media sosial.

    “Ketergantungan Nepal pada remitansi… telah menjadi pusat pertumbuhan negara tetapi belum menghasilkan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri, yang memperkuat siklus hilangnya kesempatan dan berlanjutnya kepergian banyak warga Nepal ke luar negeri untuk mencari pekerjaan,” kata Bank Dunia dalam laporan negara terbarunya.

    Sebenarnya merujuk data paruh pertama 2025, perekonomian Nepal cenderung membaik. PDB riil tumbuh 4,9% dari 4,3% di periode yang sama 2024.

    Dua sektor menjadi pendorong utama. Yakni pertanian dan perindustrian.

    Namun, perlu diketahui Nepal menggelompokkan kaum mudanya pada mereka yang berusia 16-40 tahun. Mereka mencapai 43% dari populasi atau 12 juta orang.

    “Dengan sekitar 500.000 kaum muda memasuki dunia kerja setiap tahun di Nepal, urgensi untuk menciptakan lapangan kerja yang mengangkat keluarga keluar dari kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan, Johannes Zutt.

    Foto: REUTERS/Stringer
    Sejumlah pendemo di Nepal berhasil merampas senjata laras panjang milik aparat kepolisian dan militer saat demonstrasi yang berujung kerciuhan. (REUTERS/Bikram Rai)

    Foto: Seorang tentara Nepal berjaga-jaga saat tim tentara mencoba memadamkan api di gedung Parlemen, menyusul tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, di Kathmandu, Nepal, 10 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)

    Korupsi

    Mengutip AFP, korupsi juga jadi hal lain yang membuat demonstrasi besar-besaran. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara.

    Ini dibuktikan dengan vitalnya video yang yang membandingkan perjuangan rakyat biasa Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan mahal telah menjadi viral di TikTok. Salah seorang warga bernama Puja Manni (23), yang pernah bekerja di luar negeri mengatakan ekses elit penguasa telah “terungkap melalui media sosial”.

    Ini pun juga menjadi hal lain yang memicu ketidakpuasan anak muda pada para pemimpin yang telah berkuasa puluhan tahun. Perlu diketahui, negara ini menjadi republik federal pada tahun 2008 setelah perang saudara selama satu dekade dan kesepakatan damai yang membawa kaum Maois ke dalam pemerintahan dan menghapuskan monarki.

    Sejak saat itu, pergantian perdana menteri (PM) yang menua menjadi budaya tawar-menawar antar elit. Ini telah memicu persepsi publik bahwa pemerintah tidak peka pada warga.

    Foto: Asap mengepul setelah demonstran membakar gerbang utama Parlemen, selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)

    Ketakutan akan Hilangnya Hak

    Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nepal memperingatkan bahwa larangan media sosial merusak semangat pemerintahan demokratis. Hal ini setidaknya dikatakan Santosh Sigdel, dari Digital Rights Nepal.

    “Ini jalan yang licin,” ujarnya memberi kiasan.

    Sementara Kathmandu Post mengatakan larangan tersebut menyentuh “saraf yang sensitif” terutama di “kalangan pemuda yang marah”.

    “Mereka menggunakan platform ini untuk melampiaskan rasa frustrasi yang terpendam, terhubung dengan teman, dan tetap terhubung dengan dunia,” tulis surat kabar tersebut, yang kantornya dibakar massa pada hari Selasa.

    “Mereka sudah gelisah, muak dengan sistem kesehatan dan pendidikan negara yang menyedihkan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela, sedemikian rupa sehingga banyak dari mereka tidak melihat masa depan di negara ini.”

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Nepal Chaos Demo Gen Z, China Beri Warning ke Warganya

    Nepal Chaos Demo Gen Z, China Beri Warning ke Warganya

    Jakarta, CNBC Indonesia – China pada hari Rabu (10/9/2025) mendesak warganya di Nepal untuk memberi perhatian penuh pada keselamatan. Hal ini dikeluarkan setelah para pengunjuk rasa membakar gedung parlemen dan memaksa perdana menteri untuk mundur dalam kekerasan terburuk yang melanda negara Himalaya itu dalam dua dekade terakhir.

    Dalam sebuah pernyataan, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengatakan bahwa Beijing tidak akan mengganggu hak Kathmandu untuk memulihkan ketertiban dalam negeri.

    “Diharapkan agar semua sektor di Nepal dapat menangani masalah dalam negeri dengan baik dan segera memulihkan ketertiban sosial dan stabilitas nasional. China telah mengingatkan warganya di Nepal untuk memberi perhatian penuh pada keselamatan,” kata Jian dalam konferensi pers rutin.

    Unjuk rasa massal yang mengguncang Nepal pada awal September 2025 dipicu oleh keputusan pemerintah untuk memblokir puluhan platform media sosial populer seperti Facebook, X, dan YouTube. Pemerintah beralasan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak mendaftar dan mematuhi peraturan yang baru.

    Namun, para kritikus dan aktivis hak asasi manusia mengecam langkah ini sebagai upaya pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat dan membatasi perbedaan pendapat. Gerakan protes ini dipimpin oleh “Gen Z” atau generasi muda Nepal yang terorganisir melalui media sosial, yang juga menyoroti masalah korupsi dan nepotisme yang telah lama mengakar di kalangan elit politik negara itu.

    Kemarahan publik memuncak setelah 19 orang tewas dalam bentrokan dengan polisi pada hari Senin, 8 September 2025. Protes yang semula damai berubah menjadi kekerasan ketika pengunjuk rasa berusaha menyerbu gedung parlemen. Polisi menggunakan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam untuk membubarkan massa, yang menyebabkan banyak korban jiwa. Kematian para demonstran ini semakin menyulut kemarahan dan mendorong lebih banyak orang turun ke jalan.

    Sebagai tanggapan atas gelombang protes dan kekerasan yang semakin meluas, Perdana Menteri K.P. Sharma Oli mengundurkan diri pada hari Selasa, 9 September 2025. Pengunduran diri ini terjadi setelah menteri dalam negeri dan menteri pertaniannya juga mundur, mengambil “tanggung jawab moral” atas pertumpahan darah yang terjadi. Pengunduran diri Oli, yang menjabat untuk keempat kalinya, menandai titik balik signifikan dalam krisis politik Nepal.

    Di tengah kekacauan, pengunjuk rasa melakukan pembakaran terhadap gedung-gedung pemerintah dan kediaman para politikus senior. Mereka membakar gedung parlemen, Mahkamah Agung, dan rumah-rumah milik Perdana Menteri Oli, mantan perdana menteri, dan pejabat lainnya.

    Pembakaran ini menunjukkan luapan kemarahan publik terhadap sistem politik yang mereka anggap korup dan tidak peka. Sementara itu, pasukan militer dikerahkan untuk membantu memulihkan ketertiban, dan beberapa menteri harus dievakuasi dengan helikopter dari rumah mereka yang terkepung.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Nepal Berkobar: Gedung DPR Dibakar hingga Menteri Disasar

    Nepal Berkobar: Gedung DPR Dibakar hingga Menteri Disasar

    Jakarta

    Demonstrasi berujung kericuhan terjadi di Nepal. Massa mengamuk membakar gedung DPR, pemerintah, rumah politikus hingga menyerang sejumlah menteri.

    Aksi brutal itu terjadi Selasa (9/9/2025). Saksi mata mengatakan para pengunjuk rasa membakar ban, melemparkan batu, dan membakar rumah beberapa politisi.

    Helikopter militer pun dikerahkan mengevakuasi para menteri dari rumah-rumah yang terkepung massa. Kediaman Perdana Menteri turut digeledah massa.

    Rekaman yang beredar di media sosial memperlihatkan mantan Perdana Menteri Nepal, Sher Bahadur Deuba, dan istrinya yang juga Menteri Luar Negeri Nepal, Arzu Rana, serta Menteri Keuangan Nepal, Bishnu Paudel, diserang oleh massa.

    Menlu Nepal Dipukul-Ditendang

    Massa menyerbu kediaman Menteri Luar Negeri (Menlu) Arzu Deuba. Dia dipukuli dan ditendang oleh sejumlah demonstran.

    Dilansir NDTV, Rabu (10/9/2025) aksi brutal itu terekam kamera yang beredar di media sosial, dengan beberapa video bahkan tampak direkam oleh para demonstran sendiri, yang nekat menerobos masuk ke dalam kediaman sang Menlu. Tidak diketahui secara jelas bagaimana demonstran bisa masuk ke kediaman menlu.

    Dari rekaman video, Deuba terlihat sedang menyeka darah dari wajahnya dengan dikelilingi para demonstran yang merekam dirinya.

    Tak lama kemudian, wanita berusia 63 tahun itu ditendang dari belakang dan dipukul wajahnya oleh sejumlah demonstran yang marah. Belum diketahui secara jelas kondisi Deuba setelah rekaman video itu beredar.

    Menkeu Nepal Dikejar Demonstran di Jalan

    Selain Menlu Deuba, Menteri Keuangan (Menkeu) Nepal Bisnhu Paudel juga menjadi sasaran kemarahan demonstran. Sebuah rekaman video, yang dilaporkan NDTV, menunjukkan Paudel yang berusia 65 tahun sedang berlari di tengah jalanan ibu kota Kathmandu, dengan banyak orang mengejar dirinya.

    Paudel ditendang salah satu demonstran yang melompat dari arah berlawanan. Dia lalu terjatuh ke tanah hilang keseimbangan dan tubuhnya menghantam tembok merah di sebelahnya.

    Namun Paudel, tampak dalam rekaman video, kembali berdiri dan tanpa membuang waktu dia terus berlari menjauhi orang-orang yang mengejar dirinya. Rekaman video terputus pada adegan tersebut. Tidak diketahui secara jelas kondisi Paudel dan keberadaannya saat ini.

    Nepal Blokir Akses Medsos

    Deuba menjadi salah satu target kemarahan demonstran, yang awalnya dipicu oleh langkah pemerintah memblokir akses media sosial, seperti Facebook, X dan YouTube, pekan lalu, karena perusahaan media sosial itu gagal mendaftar dan tunduk pada pengawasan pemerintah Nepal.

    Pemblokiran media sosial telah dicabut pada Senin (8/9) malam, namun unjuk rasa tidak mereda. Unjuk rasa justru berubah menjadi kerusuhan dan meluas menjadi kritikan yang lebih luas terhadap pemerintah Nepal, juga melibatkan tuduhan korupsi di kalangan elite politik negara tersebut.

    Sejumlah demonstran nekat membakar rumah beberapa pejabat tinggi Nepal dan membakar gedung parlemen.

    Situasi semakin memburuk setelah kepolisian Nepal melepas tembakan ke arah demonstran, hingga menewaskan sedikitnya 22 orang.

    PM Khadga Prasad Sharma Oli telah mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9). Namun, hal itu tidak cukup untuk meredam kemarahan demonstran. Kediaman PM Oli juga ikut dibakar oleh para demonstran.

    Tonton juga video “Demo Berlanjut, Gen Z Nepal Minta Eks Ketua MA Jadi PM Sementara” di sini:

    Halaman 2 dari 3

    (dek/whn)

  • Kemlu Pastikan Seluruh WNI di Nepal Aman, Segera Dipulangkan ke RI

    Kemlu Pastikan Seluruh WNI di Nepal Aman, Segera Dipulangkan ke RI

    Bisnis.com, SURABAYA – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memastikan seluruh warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Nepal dalam kondisi aman pascademo yang berakhir kerusuhan hebat di negara tersebut.

    Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha menegaskan bahwa seluruh WNI yang menetap di sana dikabarkan dalam kondisi selamat.

    Dirinya juga menyebut bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dhaka yang berkedudukan di Bangladesh, telah melakukan komunikasi dan antisipasi terhadap 57 WNI yang menetap di Nepal.

    “KBRI Dhaka yang memiliki wilayah akreditasi di Nepal tadi siang sudah dilakukan Zoom Meeting, dan kita mengantisipasi. Jadi, total ada sekitar 57 WNI yang menetap di sana dan kemudian ada sekitar 43 WNI yang menjadi anggota delegasi dalam berbagai macam pertemuan di sana. Berdasarkan komunikasi terakhir, tidak ada WNI yang menjadi korban,” ucap Judha seusai pertemuan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu (10/9/2025).

    Judha juga menegaskan bahwa saat ini pihak Kementerian Luar Negeri dan KBRI Dhaka secara terus-menerus menjalin komunikasi dengan para WNI yang sedang berada di Nepal. Tak hanya itu, langkah-langkah kontingensi juga turut dipersiapkan.

    Judha juga menyampaikan, berdasarkan informasi terkini yang diterima pihaknya, saat ini situasi di Nepal sudah mulai berangsur-angsur kondusif, dan Bandar Udara Internasional Tribhuvan, Kathmandu, yang sebelumnya ditutup pada Selasa (9/9/2025) kemarin, telah beroperasi.

    “Kita terus menyiapkan langkah-langkah kontingensi. Informasi yang baru saja kami terima bahwa situasi [Nepal] relatif membaik, bandar udara sudah mulai buka. Kita doakan semoga kondisi makin membaik,” bebernya.

    Setelah menerima kabar bahwa bandar udara internasional di Nepal telah dibuka, Judha menjelaskan, pihaknya saat ini sedang berencana untuk memulangkan segenap WNI secara bertahap menuju tanah air.

    “Tentu ketika bandara sudah dibuka kita secara bertahap memulangkan mereka kembali [ke Indonesia],” pungkasnya singkat.

  • Demo Anti Pemerintah, Pejabat Negara Nepal Ditelanjangi dan Diarak Warga

    Demo Anti Pemerintah, Pejabat Negara Nepal Ditelanjangi dan Diarak Warga

    GELORA.CO –  Demonstrasi anti pemerintah pepcah di Nepal. Demonstrasi itu berujung pada persekusi ke sosok yang diyakini merupakan Menteri Keuangan Bishu Paudel.

    Pria 65 tahun itu, dilaporkan terekam kamera dikejar-kejar di jalan, ditendang dan ditelanjangi hingga tercebur ke sungai.

    Mengutip laman Times of India dan NDTV World, ditunjukkan dalam sebuah rekaman bagaimana Paudel, terlihat berlari di jalanan Kathmandu, diikuti puluhan orang. Seorang pengunjuk rasa muda, dari arah berlawanan, melompat dan menendang sang menteri hingga terjatuh, yang kemudian kehilangan keseimbangan dan menabrak tembok merah bahkan jatuh ke tanah.

    Hal ini juga dimuat laman The Indian Express, dikutip Rabu (10/9/2025).

    Sementara itu, dalam sebuah video lain di media sosial, dilaporkan pula bagaimana pria yang diyakini sebagai Paudel diseret di sepanjang jalan oleh massa yang menangkapnya. Ia kemudian ditelanjangi dan hanya memakai pakaian dalam.

    Video lain dimuat laman RT India, juga menunjukkan bagaimana ia masuk ke sungai. Massa mengelilinginya yang hanya menggunakan pakaian dalam.

    Sayangnya laman-laman itu tidak bisa mengonfirmasi video tersebut. Hingga berita diturunkan pemerintah Nepal juga belum memberikan konfirmasi.

    Sementara itu, mengutip laman Newsweek, Rabu, pembakaran yang dilakukan massa berujung kematian istri mantan perdana menteri (PM). Dilaporkan bagaimana istri NepalJhalaNathKhanal, Rajyalaxmi Chitrakar, tewas setelah terbakar hidup-hiduo ketika rumahnya dibakar warga yang marah, Selasa.

    Demo anti pemerintahan telah menyebar di negara itu, akibat larangan 26 aplikasi media sosial- termasuk Facebook dan X-, yang merembet ke kecaman pada pemerintah yang korup. Dalam update Rabu siang, total 22 orang tewas dalam demo dan kerusuhan Nepal dan 500 orang lain terluka. (*)

  • Update Terkini Chaos Nepal: Pemerintahan Kolaps, Militer Kuasai Negeri

    Update Terkini Chaos Nepal: Pemerintahan Kolaps, Militer Kuasai Negeri

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tentara Nepal dikerahkan untuk berpatroli di jalan-jalan ibu kota Kathmandu pada Rabu (10/9/2025) dalam upaya memulihkan ketertiban setelah gelombang protes besar-besaran yang berujung pada pembakaran gedung parlemen serta pengunduran diri perdana menteri.

    Kerusuhan ini disebut sebagai yang terburuk dalam dua dekade terakhir di negara Himalaya tersebut.

    Dengan pengeras suara, tentara mengumumkan pemberlakuan jam malam sementara kendaraan lapis baja melintas di antara bangkai mobil dan gedung-gedung yang hangus terbakar. Kepala Staf Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyerukan para demonstran agar “menghentikan aksi protes dan terlibat dalam dialog.”

    Adapun kerusuhan berawal pada Senin di Kathmandu sebagai bentuk kemarahan atas kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan media sosial dan kasus dugaan korupsi. Gelombang protes yang dipimpin generasi muda dan menamakan diri gerakan “Gen Z” itu kemudian berubah menjadi ledakan kemarahan nasional, dengan sejumlah gedung pemerintah dibakar menyusul penindakan aparat yang menewaskan sedikitnya 19 orang.

    Militer memperingatkan bahwa “vandalisme, penjarahan, pembakaran, atau serangan terhadap individu dan properti atas nama protes akan diperlakukan sebagai tindak pidana yang bisa dihukum.”

    Bandara internasional Kathmandu diperkirakan kembali beroperasi pada Rabu setelah lumpuh akibat kerusuhan. Asap masih mengepul dari gedung-gedung pemerintah, rumah politikus, hingga pusat perbelanjaan yang jadi sasaran massa.

    Di dinding parlemen yang menghitam akibat kebakaran, tampak coretan pesan perpisahan kasar kepada pemerintah yang tumbang, bertuliskan mereka telah memilih “lawan yang salah,” ditandatangani dengan nama “Gen Z.”

    Kerusuhan juga menyasar rumah mantan perdana menteri empat periode sekaligus pemimpin Partai Komunis, KP Sharma Oli (73), yang diserang dan dibakar massa pada Selasa. Oli kemudian mengundurkan diri untuk memberi jalan “menuju solusi politik”, meski hingga kini keberadaannya tidak diketahui.

    “Ini akibat dari perbuatan buruk para pemimpin kita,” kata Dev Kumar Khatiwada (60), pensiunan polisi, saat berbincang dengan rekan-rekannya di sebuah warung teh, sebagaimana dikutip AFP.

    Namun, ia menambahkan bahwa pembakaran gedung-gedung besar tidak bisa dibenarkan. “Vandalisme bukanlah jalan keluar yang tepat dari masalah ini.”

    Mengutip Newsweek, pembakaran yang dilakukan massa juga berujung kematian istri Oli. Jhala Nath Khanal tewas setelah terbakar hidup-hidup ketika rumahnya dibakar warga yang marah pada Selasa.

    Reaksi Internasional

    Kelompok think tank International Crisis Group menyebut krisis ini sebagai “titik balik besar dalam pengalaman demokrasi Nepal yang penuh ketidakpastian.”

    Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar semua pihak menahan diri demi mencegah eskalasi lebih jauh. “Perlu ada pengendalian diri untuk menghindari peningkatan kekerasan,” ujar juru bicara Stephane Dujarric dalam pernyataannya.

    Namun arah politik Nepal pascakerusuhan masih samar. “Para demonstran, pemimpin yang mereka percayai, dan militer harus duduk bersama untuk membuka jalan menuju pemerintahan sementara,” kata pengacara konstitusi Dipendra Jha kepada AFP.

    Analis Crisis Group, Ashish Pradhan, juga menegaskan perlunya “pengaturan transisi yang harus segera digagas dan melibatkan tokoh-tokoh yang masih dipercaya masyarakat, khususnya kaum muda.”

    Meski demikian, dengan cepatnya pergerakan massa yang didorong generasi muda, belum jelas siapa sosok yang dapat menjadi figur pemersatu.

    Krisis Generasi Muda

    Lebih dari 20% warga Nepal berusia 15-24 tahun saat ini menganggur, menurut data Bank Dunia. Produk domestik bruto (PDB) per kapita hanya sebesar US$1.447, menambah alasan frustrasi kaum muda yang merasa terpinggirkan.

    Sebelum kerusuhan, pemerintah sempat memblokir akses ke 26 platform media sosial, termasuk Facebook, YouTube, dan X. Namun setelah pencabutan larangan tersebut, video di TikTok-yang tidak sempat diblokir-justru menjadi wadah penyebaran pesan perlawanan.

    Banyak video viral menyoroti kesenjangan antara kehidupan rakyat biasa dengan anak-anak pejabat yang memamerkan barang mewah serta liburan mahal.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Video: PHK Agustus Turun – Nepal Dihantam Krisis

    Video: PHK Agustus Turun – Nepal Dihantam Krisis

    Jakarta, CNBC Indonesia -Di tengah mencuatnya kabar pemutusan hubungan kerja (PHK), Kementerian Ketenagakerjaan mencatat tren penurunan angka PHK di dalam negeri.

    Sementara itu, Nepal tengah menghadapi krisis multidimensi dengan gelombang demonstrasi besar-besaran. aksi protes meledak setelah pemerintah memblokir sejumlah media sosial seperti facebook dan Instagram.

    Simak informasi selengkapnyadalam program Evening Up CNBC Indonesia, Rabu (10/09/2025).

  • Apakah Ada Warga Jatim di Nepal, Ini Jawaban Wagub Emil

    Apakah Ada Warga Jatim di Nepal, Ini Jawaban Wagub Emil

    Surabaya (beritajatim.com) – Aksi demo di Nepal memanas buntut keputusan pemerintah memblokir 26 platform media sosial. Kementerian Luar Negeri Indonesia memastikan WNI di Nepal dalam kondisi aman.

    Direktur Perlindungan WNI pada Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha kepada wartawan di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Rabu (10/9/2025) mengatakan, hingga saat ini tidak ada informasi adanya WNI yang jadi korban dalam kerusuhan di Nepal. KBRI Dhaka mencatat ada 57 WNI yang menetap di Nepal.

    “KBRI Dhaka yang memiliki wilayah akreditasi di Nepal telah berkoordinasi dan berkomunikasi dengan otoritas setempat, Konsul Kehormatan RI di Nepal, dan juga dengan komunitas Indonesia di Nepal. Hingga saat ini tidak terdapat informasi adanya WNI yang menjadi korban dari kerusuhan tersebut,” kata Judha.

    Judha juga menyampaikan ada 43 anggota delegasi RI yang sedang mengikuti konferensi internasional di Kathmandu. Lalu, ada dua prajurit TNI yang sedang pelatihan serta 23 wisatawan WNI. “KBRI telah mengeluarkan imbauan agar para WNI meningkatkan kewaspadaan, menghindari kerumunan massa dan terus memonitor situasi keamanan dari sumber pemerintah dan media,” kata Judha.

    WNI yang sedang melakukan kunjungan atau wisata di Nepal diminta melapor ke hotline KBRI Dhaka. Wagub Jatim, Emil Elestianto Dardak dalam kesempatan yang sama menambahkan, pihaknya masih menunggu informasi apakah ada warga Jatim dari WNI yang berada di Nepal.

    “Kebetulan memang ada event, seminar, eh konferensi di Nepal yang dihadiri warga negara Indonesia. Kami masih menunggu informasi tentunya, apakah ada dari WNI tersebut merupakan warga Jawa Timur. Tapi semua terkoordinasi di Kementerian Luar Negeri. Ini bukan tenaga kerja Jatim yang terdata di Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Jatim dan bekerja di sana. Saya nggak tahu apa ada warga Jatim, tapi yang jelas ada WNI di sana. Tadi sudah didata, tadi yang bicara langsung kan Direktur Perlindungan WNI Kemenlu RI,” pungkasnya.

    Seperti diketahui, para tentara Nepal berpatroli di jalan-jalan ibu kota Nepal, Kathmandu, pada Rabu (10/9/2025) untuk mengembalikan ketertiban, setelah para pengunjuk rasa membakar gedung parlemen dan memaksa perdana menteri mundur. (tok/kun)

  • Brutal! Demonstran Pukuli Menlu Nepal-Menkeu Dikejar Massa

    Brutal! Demonstran Pukuli Menlu Nepal-Menkeu Dikejar Massa

    Kathmandu

    Unjuk rasa berdarah di Nepal diwarnai aksi brutal sejumlah demonstran yang menyerang para pejabat tinggi negara tersebut. Salah satunya Menteri Luar Negeri (Menlu) Arzu Deuba yang dipukuli dan ditendang oleh sejumlah demonstran yang menyerbu kediamannya.

    Tindak kekerasan brutal itu, seperti dilansir NDTV, Rabu (10/9/2025), terekam kamera yang beredar di media sosial, dengan beberapa video bahkan tampak direkam oleh para demonstran sendiri, yang nekat menerobos masuk ke dalam kediaman sang Menlu.

    Tidak diketahui secara jelas bagaimana demonstran bisa masuk ke kediaman menlu.

    Rekaman video yang dilaporkan NDTV, menunjukkan Deuba sedang menyeka darah dari wajahnya, dengan dikelilingi para demonstran yang merekam dirinya.

    Tak lama kemudian, video tersebut menunjukkan menteri wanita berusia 63 tahun itu ditendang dari belakang dan dipukul wajahnya oleh sejumlah demonstran yang marah. Belum diketahui secara jelas kondisi Deuba setelah rekaman video itu beredar.

    Deuba menjadi salah satu target kemarahan demonstran, yang awalnya dipicu oleh langkah pemerintah memblokir akses media sosial, seperti Facebook, X dan YouTube, pekan lalu, karena perusahaan media sosial itu gagal mendaftar dan tunduk pada pengawasan pemerintah Nepal.

    Pemblokiran media sosial telah dicabut pada Senin (8/9) malam, namun unjuk rasa tidak mereda. Unjuk rasa justru berubah menjadi kerusuhan dan meluas menjadi kritikan yang lebih luas terhadap pemerintah Nepal, juga melibatkan tuduhan korupsi di kalangan elite politik negara tersebut.

    Sejumlah demonstran nekat membakar rumah beberapa pejabat tinggi Nepal dan membakar gedung parlemen.

    Situasi semakin memburuk setelah kepolisian Nepal melepas tembakan ke arah demonstran, hingga menewaskan sedikitnya 22 orang.

    PM Khadga Prasad Sharma Oli telah mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9). Namun, hal itu tidak cukup untuk meredam kemarahan demonstran. Kediaman PM Oli juga ikut dibakar oleh para demonstran.

    Menkeu Nepal Dikejar Demonstran di Jalan

    Selain Menlu Deuba, Menteri Keuangan (Menkeu) Nepal Bisnhu Paudel juga menjadi sasaran kemarahan demonstran. Sebuah rekaman video, yang dilaporkan NDTV, menunjukkan Paudel yang berusia 65 tahun sedang berlari di tengah jalanan ibu kota Kathmandu, dengan banyak orang mengejar dirinya.

    Salah satu demonstran dari arah berlawanan, seperti terlihat dalam rekaman video, melompat dan menendang Paudel hingga dia terjatuh ke tanah. Sang menteri kehilangan keseimbangan dan tubuhnya menghantam tembok merah di sebelahnya.

    Namun Paudel, tampak dalam rekaman video, kembali berdiri dan tanpa membuang waktu dia terus berlari menjauhi orang-orang yang mengejar dirinya. Rekaman video terputus pada adegan tersebut. Tidak diketahui secara jelas kondisi Paudel dan keberadaannya saat ini.

    Lihat Video: Demo Berdarah di Nepal, Massa Bakar Rumah dan Serang Menteri

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)