Negara: Myanmar

  • Menlu Prancis Noel Barrot Temui Prabowo: Siapkan Kehadiran Emmanuel Macron

    Menlu Prancis Noel Barrot Temui Prabowo: Siapkan Kehadiran Emmanuel Macron

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Urusan Eropa dan Luar Negeri Prancis, Jean Noel Barrot bertemu dengan Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu, 26 Maret 2025.

    Barrot mengatakan pertemuan itu membahas persiapan kunjungan rencana kunjungan kenegaraan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada akhir Mei mendatang dan merayakan 75 tahun kerja sama Indonesia dengan Prancis.

    “Juga untuk membuka babak baru hubungan ini yang ingin kita rancang pada tahun-tahun yang akan datang, untuk mengatasi beberapa bidang kerja sama yang kita ingin tingkatkan,” ujar Barrot di wisma Perancis, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 25 Maret 2025.

    “Keselamatan dan pertahanan, ekonomi, tapi juga kultur, sains, dan kooperasi akademis,” lanjutnya. 

    Selain itu, Barrot mengatakan, kunjungan ini juga akan menjadi peluang untuk Indonesia dan Prancis untuk memperlihatkan pandangan mereka terhadap krisis internasional di Middle East, di Ukraine, tapi juga di Afrika. 

    “Jangan lupa bahwa di Sudan dan Great Lakes, krisis humanitaris terburuk di dunia sedang terjadi,” ujarnya.

    Krisis di Myanmar

    Barrot mengaku sempat berpikir tentang krisis di Myanmar yang juga memiliki konsekuensi humanitaris yang sangat berat. 

    Menurutnya, hal ini menjadi peluang untuk mereka memperlihatkan pandangan mereka tentang multilateralisme dan masalah global. 

    “Perancis, seperti Indonesia, memiliki identitas sebagai negara yang tidak berhubungan yang memungkinkan bekerja sama melalui pertempuran, dan saya yakin kedua Presiden yang berdiri di tingkat tertinggi akan berbicara tentang masalah ini,” ujarnya.****

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Legislator Dorong Rencana Pencabutan Moratorium PMI ke Saudi Dikaji Ulang

    Legislator Dorong Rencana Pencabutan Moratorium PMI ke Saudi Dikaji Ulang

    Jakarta

    Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina menyoroti kebijakan pemerintah yang ingin membuka kembali moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Menurutnya, kebijakan tersebut harus ditinjau ulang mengingat masih banyaknya kasus lama yang belum diselesaikan oleh pemerintah Arab Saudi terhadap pekerja migran Indonesia di sana.

    “Pemerintah jangan sampai membuka moratorium tetapi kita tidak mereview permasalahan lama yang dilakukan pemerintahan Arab Saudi terhadap pekerja migran kita,” kata Arzeti Bilbina dalam keterangannya, Rabu (26/3/2025).

    Arzeti meminta agar pemerintah tetap mempertahankan moratorium penempatan PMI ke Arab Saudi, khususnya untuk sektor domestik.

    “Masih banyak PR lama yang belum dijalankan pemerintah Arab Saudi dengan berbagai macam kasus dari pekerja migran kita di sana. Sekarang kenapa tiba-tiba dibuka kembali?” tuturnya.

    Meski telah ada evaluasi terhadap Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang diklaim lebih aman, Arzeti mengingatkan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran terkait PMI harus tetap menjadi perhatian dan tidak boleh diabaikan.

    “Fraksi PKB berpandangan bahwa keamanan dalam sistem penempatan hanyalah satu aspek. Jauh lebih penting adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi, dan berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh PMI kita di masa lalu dan bahkan hingga saat ini,” jelas Arzeti.

    Arzeti mengatakan ada beberapa kasus PMI di Arab Saudi selama ini yang menjadi perhatian serius. Pemerintah diminta menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan agar tidak mencabut moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi.

    “Seperti kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan, kasus gaji tidak dibayar, kondisi kerja tidak layak, serta kasus hukum yang tidak mendapatkan pembelaan yang adil,” urai Arzeti.

    Arzeti mendesak Pemerintah untuk melakukan sejumlah hal sebelum membuka kembali moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Hal yang paling utama adalah agar Pemerintah memastikan Pemerintah Arab Saudi menyelesaikan seluruh kasus-kasus PMl yang bermasalah secara transparan dan adil.

    “Pemerintah juga harus menuntut adanya perjanjian bilateral yang lebih kuat dan mengikat antara Indonesia dan Arab Saudi yang secara spesifik mengatur perlindungan hak-hak PMI, mekanisme pengawasan yang ketat, dan sanksi yang tegas bagi pelanggar,” papar Arzeti.

    “Kemudian penting juga bagi Pemerintah untuk meningkatkan peran dan fungsi perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada PMI,” tambahnya.

    Di sisi lain, Arzeti menegaskan perlindungan terhadap PMI juga sangat penting untuk melindungi masyarakat Indonesia dari modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mengingat banyak WNI yang menjadi korban TPPO, khususnya yang terkait dengan jaringan scam di Myanmar dan Thailand di mana mereka berangkat secara ilegal.

    “Kita juga pernah mendengar cerita dari korban TPPO di Thailand dan Myanmar, anak-anak muda dari sejumlah daerah yang ahli komputer atau IT, terutama lulusan SMA,” sebut Arzeti.

    Diketahui, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyebut pemerintah akan mencabut moratorium dan segera meneken kerja sama dengan Arab Saudi terkait pengiriman TKI. Hal ini ia sampaikan usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto membahas desk Koordinasi Perlindungan Terhadap Pekerja Migran Indonesia atau tenaga kerja Indonesia (TKI).

    “Hari ini saya menghadap kepada Pak Presiden dalam rangka melaporkan rencana kita Kementerian P2MI untuk membuka kembali kerja sama bilateral penempatan tenaga kerja di Arab Saudi,” kata Karding di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/3/2025).

    Dia mengatakan kerja sama dengan Saudi dimoratorium atau dihentikan sejak 2015. Namun, katanya, kondisi itu membuat risau.

    “Kita ketahui bahwa sejak tahun 2015 kesepakatan kerja sama dengan Arab Saudi itu dimoratorium oleh pihak kita di Indonesia dan sampai sekarang memang sejak dimoratorium sampai sekarang itu ada hal yang merisaukan kita,” ujarnya.

    Karding mengatakan moratorium pengiriman PMI malah membuat banyak warga negara Indonesia berangkat ke Saudi secara ilegal. Dia menyebut jumlah TKI ilegal ke Arab Saudi bisa mencapai 25 ribu orang per tahun.

    “Karena ada 25 ribu minimal setiap tahun orang kita secara ilegal atau yang prosedur berangkat ke Arab Saudi,” ujar Karding.

    (eva/dek)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Sebanyak 554 WNI korban TPPO dievakuasi dari wilayah konflik di Myanmar

    Sebanyak 554 WNI korban TPPO dievakuasi dari wilayah konflik di Myanmar

    Selasa, 18 Maret 2025 12:35 WIB

    Sejumlah Warga Negara Indonesia korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berjalan menuju bus setibanya dari Thailand di Terminal 2 F Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (18/3/2025). Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri berhasil mengevakuasi 554 WNI korban TPPO kejahatan online scam dari wilayah konflik bersenjata di Myawaddy, Myanmar. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nym.

    Sejumlah Warga Negara Indonesia korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) duduk di dalam bus setibanya dari Thailand di Terminal 2 F Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (18/3/2025). Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri berhasil mengevakuasi 554 WNI korban TPPO kejahatan online scam dari wilayah konflik bersenjata di Myawaddy, Myanmar. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nym.

  • Deportasi Warga Uighur, Thailand di Tengah Dilema Geopolitik?

    Deportasi Warga Uighur, Thailand di Tengah Dilema Geopolitik?

    Jakarta

    Setelah berminggu-minggu melakukan manuver diplomatik dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan ambigu, otoritas Thailand akhirnya mendeportasi sekelompok 40 pria Uighur ke Cina bulan lalu.

    Padahal, selama berbulan-bulan, Amerika Serikat (AS) dan beberapa organisasi hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa para warga Uighur itu hampir pasti akan menghadapi penganiayaan, penahanan sewenang-wenang, atau bahkan nasib yang lebih buruk di bawah pemerintahan Cina, jika tindakan itu dilakukan.

    Uighur, minoritas muslim berbahasa Turki dari provinsi Xinjiang di barat laut Cina, telah mengalami penindasan bertahun-tahun oleh otoritas Cina. Washington bahkan telah secara resmi menyebut tindakan Cina sebagai “genosida”.

    Insiden deportasi terbaru ini mirip dengan kejadian pada 2015, ketika pemerintah Thailand juga secara paksa mengembalikan lebih dari 100 pengungsi Uighur ke Cina, yang kemudian memicu kemarahan global dan protes dari warga muslim.

    Kecaman terhadap Pemerintah Thailand

    Menjelang deportasi terbaru ini, Departemen Luar Negeri AS telah mengeluarkan beberapa peringatan, menyerukan Bangkok untuk menghormati kewajibannya berdasarkan hukum internasional, terutama prinsip larangan pengusiran paksa, yang melarang pengembalian individu ke negara di mana mereka berisiko mengalami penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman, atau bahaya serius lainnya.

    Pada 27 Februari, hari deportasi terjadi, Kementerian Luar Negeri Jerman mengecam langkah tersebut dalam sebuah pernyataan.

    “Deportasi ini melanggar prinsip dalam hukum internasional yang melarang pengembalian orang ke negara di mana mereka menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius,” katanya.

    Komisi Eropa juga mengecam keputusan Bangkok. Dalam sebuah resolusi yang disahkan pada 13 Maret, Parlemen Eropa menyerukan Thailand untuk segera menghentikan deportasi lebih lanjut dan memberikan transparansi mengenai kebijakan pengungsi mereka.

    Banyak analis sepakat bahwa keputusan Thailand ini adalah langkah yang disengaja untuk mencari dukungan dari Cina, yang telah lama menuntut pengembalian pengungsi Uighur dari luar negeri.

    Deportasi ini terjadi pada saat Beijing secara aktif berupaya mempererat hubungannya dengan Bangkok, terutama dalam menangani sindikat industri penipuan siber atau cyberscam yang telah menyebar ke sebagian besar negara tetangga Thailand.

    “Apakah Thailand melakukannya untuk menyenangkan Beijing? Ya. Tetapi apakah Thailand meninggalkan Barat demi Cina? Tidak, sama sekali tidak,” kata seorang analis Thailand dan kolumnis kepada DW. “Thailand sedang memainkan strategi keseimbangan yang biasa, dan dalam hal ini, mereka hanya memprioritaskan kepentingan jangka pendeknya.”

    Utamakan ekonomi daripada isu HAM

    Para analis secara luas melihat keputusan ini lebih didorong oleh pragmatisme ekonomi daripada keselarasan ideologi.

    “Thailand jelas tidak memikirkan kesejahteraan para pembangkang Cina, dan jelas tidak mempertimbangkan kerusakan jangka pendek terhadap reputasinya,” kata Mark Cogan, profesor studi perdamaian dan konflik di Universitas Kansai Gaidai di Osaka, kepada DW.

    Sebaliknya, yang dipikirkan adalah satu hal yang paling penting bagi Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra: pertumbuhan ekonomi. “Saat ini, pertumbuhan ekonomi lebih mungkin terjadi dengan Cina daripada dengan Amerika Serikat,” kata Cogan.

    Ekonomi Thailand memang telah lesu selama bertahun-tahun dan diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,5% pada 2025, hampir sama seperti tahun lalu, menurut data pemerintah.

    Salah satu sektor yang jadi perhatian utama Bangkok adalah pariwisata, yang menyumbang sekitar sepersepuluh dari PDB. Namun, enggannya wisatawan Cina untuk kembali dalam jumlah besar sejak pandemi COVID-19, jadi salah satu faktor utama yang merugikan sektor ini.

    Alasan utamanya adalah kepercayaan bahwa Thailand tidak aman, sebuah citra yang sebelumnya dipropagandakan oleh Beijing sebagai bagian dari upayanya menekan pemerintah Asia Tenggara untuk menangani pusat-pusat penipuan atau scam mereka.

    United States Institute of Peace memperkirakan bahwa industri ilegal ini bisa bernilai antara seperempat hingga sepertiga dari ekonomi formal Kamboja, Laos, dan Myanmar, negara tetangga Thailand.

    Banyak pusat penipuan ini ditemukan di kota-kota dekat perbatasan Thailand, dan Thailand adalah titik transit utama dalam perdagangan manusia yang dipaksa bekerja di pusat-pusat tersebut.

    Pada Januari, aktor Cina berusia 31 tahun, Wang Xing, yang juga dikenal dengan nama panggung Xingxing, diselamatkan dari pusat penipuan siber di Myanmar setelah diculik di Thailand.

    Ia dikembalikan ke Thailand setelah mendapat perhatian besar di media sosial Cina.

    Menurut Napon Jatusripitak, peneliti tamu di ISEAS–Yusof Ishak Institute, Bangkok sangat bertekad untuk menarik wisatawan Cina.

    “Namun, tujuan ini dapat terancam oleh laporan berkelanjutan mengenai masalah keamanan bagi wisatawan Cina, atau oleh kegagalan Beijing dalam meyakinkan warganya sendiri,” tambahnya.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Strategi menyeimbangkan kepentingan

    Paul Chambers, pakar urusan Asia Tenggara di Universitas Naresuan, Thailand, mencatat bahwa ini bukan pertama kalinya Bangkok berupaya menenangkan Beijing.

    Sejak Januari, Bangkok dan Beijing telah meningkatkan kerja sama keamanan mereka, yang sebagian besar berfokus pada industri penipuan siber di Asia Tenggara, yang dianggap sebagai ancaman keamanan transnasional paling berbahaya di kawasan ini.

    Namun, Thailand tetap bekerja sama dengan AS, kata Chambers. Negara ini masih menjadi salah satu dari dua sekutu AS di kawasan tersebut, dan kedua negara masih terus berpartisipasi dalam latihan militer dan kepolisian bersama.

    “Sampai kerja sama Thailand-AS menurun drastis, saya ras kita tidak bisa mengatakan bahwa Bangkok telah meninggalkan strategi keseimbangan dan sepenuhnya memasuki orbit Beijing,” kata Chambers.

    Namun, beberapa pihak merasa episode deportasi ini bisa jadi titik balik.

    Bagi Thitinan Pongsudhirak, peneliti senior di Institute of Security and International Studies, kasus ini menandai “titik perubahan” dalam keseimbangan geopolitik Thailand.

    “Thailand kini menjadi bidak terbuka dalam konflik AS-Cina,” katanya kepada DW. “Bahaya strategis terbesar adalah bahwa elite Thailand yang menghadapi sanksi AS kini semakin dekat dengan Cina dan mengorbankan strategi keseimbangan yang pernah terkenal.”

    Untuk saat ini, beberapa analis memperkirakan Bangkok tidak akan terlalu terganggu oleh sanksi visa AS. “Thailand melihat pembatasan perjalanan AS sebagai hukuman yang cukup minimal,” kata Phil Robertson, direktur Asia Human Rights and Labour Advocates, kepada DW.

    Meski begitu, ia menyebutnya “agak cerdik” bahwa kedutaan AS di Bangkok belum mengumumkan siapa yang masuk daftar hitam, yang berarti satu-satunya cara bagi pejabat Thailand untuk mengetahuinya adalah dengan mengajukan visa dan kemudian berisiko mengalami penolakan yang memalukan.

    Robertson di sisi lain juga mempertanyakan: apalah arti potensi kehilangan muka bagi seorang politisi atau pejabat Thailand dibandingkan dengan “neraka yang akan dihadapi 40 orang Uighur di Xinjiang?”

    “Bisa dibilang pemerintah Thailand lolos dengan hukuman yang secara mengejutkan, ringan.”

    Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Salim Said ungkap risiko kembalinya militer ke politik

    Salim Said ungkap risiko kembalinya militer ke politik

    GELORA.CO – Kenangan akan Dwifungsi di masa Orde Baru kembali mencuat ke publik setelah DPR mengesahkan RUU TNI.

    Isu kembali militer ke urusan sipil telah disuarakan beberapa kali oleh Salim Said di beberapa kesempatan.

    Prof. Dr. Salim Said atau Salim Said adalah salah satu akademisi yang turut mengawal reformasi militer di Indonesia, khususnya dalam penghapusan konsep Dwifungsi ABRI.

    Dalam wawancara 2 tahun yang lalu dengan Fadli Zon, Salim Said mengungkapkan bagaimana transisi peran militer di era reformasi dan tantangan yang dihadapi dalam proses tersebut.

    Menurut Salim Said, penghapusan Dwifungsi ABRI adalah langkah besar dalam sejarah militer Indonesia.

    Salim menekankan bahwa dibandingkan negara lain, seperti Myanmar, reformasi militer di Indonesia berjalan lebih baik karena adanya kesadaran dari dalam tubuh TNI sendiri.

    “Kalau kita bandingkan dengan Myanmar, di sana militernya tetap berkuasa karena tidak ada kesadaran untuk berubah,” ujarnya.

    Sementara di Indonesia, TNI sendiri yang memutuskan keluar dari politik,” tambahnya.

    Salim Said juga menjelaskan bahwa peran militer dalam politik sudah berlangsung sejak era kolonial.

    Pada masa Orde Baru, militer memiliki peran ganda sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik.

    Namun, setelah reformasi 1998, paradigma itu mulai berubah.

    “Sejak tahun 2000, TNI benar-benar keluar dari politik praktis. Ini adalah pencapaian besar dalam demokrasi kita,” kata Salim.

    Meski demikian, Salim Said mengingatkan bahwa keberhasilan reformasi militer tidak serta-merta menjamin kualitas pemerintahan sipil.

    “Kalau politisi sipilnya tidak becus, rakyat bisa saja kembali melihat militer sebagai solusi. Itu yang harus diwaspadai,” ujarnya.

    Bagi Salim, demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada militer yang profesional, tetapi juga pada politisi sipil yang kompeten.

    Pandangan Salim Said menunjukkan bahwa reformasi Dwifungsi ABRI adalah hasil dari dinamika internal TNI dan tekanan publik.

    Namun, Salim Said juga menegaskan bahwa tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa pemerintahan sipil mampu menjalankan demokrasi dengan baik agar tidak ada dorongan bagi militer untuk kembali ke ranah politik.***

  • Paus Fransiskus Keluar dari RS Setelah 5 Minggu Dirawat, Serukan Israel Hentikan Serangan ke Gaza – Halaman all

    Paus Fransiskus Keluar dari RS Setelah 5 Minggu Dirawat, Serukan Israel Hentikan Serangan ke Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Paus Fransiskus sudah meninggalkan Rumah Sakit Gemelli Roma setelah lima minggu menjalani perawatan akibat pneumonia.

    Dilansir dari Reuters dan AFP, Senin (24/3/2025), Paus Fransiskus tampil di depan publik untuk pertama kalinya pada Minggu (24/3/2025).

    Ia melambaikan tangan kepada para simpatisan saat meninggalkan rumah sakit.

    Paus yang kini berusia 88 tahun masuk rumah sakit pada 14 Februari karena infeksi pernapasan parah.

    Kondisi ini menjadi salah satu krisis kesehatan paling serius selama 12 tahun masa kepausannya.

    Mobil yang membawanya meninggalkan rumah sakit dikawal oleh konvoi kendaraan polisi menuju Basilika Santa Maria Maggiore.

    Para dokter menyatakan Paus masih membutuhkan waktu untuk pemulihan penuh dan telah diberikan waktu istirahat selama dua bulan di Vatikan.

    Saat meninggalkan rumah sakit, Paus Fransiskus tampak tersenyum dan melambaikan tangan dari kursi roda.

    Wajahnya terlihat bengkak, dan suaranya terdengar lemah saat ia berterima kasih kepada para simpatisan yang hadir.

    Kerumunan yang menunggunya meneriakkan namanya, “Fransiskus, Fransiskus, Fransiskus.”

    Selama masa perawatan, Paus hanya sekali terlihat oleh publik dalam sebuah foto yang dirilis Vatikan.

    Kini, ia sudah tidak lagi menggunakan masker oksigen, tetapi masih memakai selang kecil di bawah hidungnya untuk membantu pernapasan.

    Tak lama setelah keluar dari rumah sakit, Paus Fransiskus menyerukan kepada Israel untuk menghentikan serangan di Jalur Gaza.

    Dalam doa Angelus-nya, ia menyatakan kesedihannya atas eskalasi kekerasan yang kembali terjadi.

    “Saya sedih dengan dimulainya kembali pemboman Israel yang intens di Jalur Gaza, dengan begitu banyak kematian dan cedera,” ujar Paus.

    Ia meminta agar serangan senjata segera dihentikan dan gencatan senjata yang pasti segera tercapai.

    “Saya meminta agar serangan senjata segera dihentikan dan keberanian untuk melanjutkan dialog, sehingga semua sandera dapat dibebaskan dan gencatan senjata yang definitif tercapai,” tambahnya.

    Paus juga menyoroti situasi kemanusiaan di Gaza yang semakin memburuk dan mendesak komunitas internasional untuk bertindak.

    “Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza sekali lagi sangat serius dan membutuhkan komitmen mendesak dari pihak-pihak yang berkonflik serta komunitas internasional,” tegasnya.

    Pada Minggu (23/3/2025), Paus Fransiskus muncul di jendela rumah sakit untuk menyapa lebih dari 3.000 simpatisan.

    Banyak dari mereka membawa bunga dan poster bertuliskan “selamat datang di rumah.”

    Dalam pesannya, Paus kembali menekankan pentingnya perdamaian dan penghentian kekerasan.

    Ia juga menyampaikan rasa syukur atas langkah-langkah menuju perdamaian di Kaukasus Selatan, khususnya antara Armenia dan Azerbaijan.

    “Semoga ini menjadi tanda harapan bahwa konflik lain juga dapat menemukan jalan resolusi melalui dialog dan niat baik,” ungkapnya.

    Sebelum mengakhiri pesannya, Paus mengajak umat Katolik untuk berdoa bagi perdamaian di berbagai belahan dunia, termasuk Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo.

    Di akhir pesannya, Paus Fransiskus mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah mendoakannya selama masa pemulihan.

    “Saya merasakan kedekatan Anda,” katanya dengan penuh kehangatan, seraya memastikan bahwa ia juga terus mendoakan mereka.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Wanti-wanti WHO Kasus TBC Anak di Bawah Usia 15 Tahun Mulai ‘Ngegas’

    Wanti-wanti WHO Kasus TBC Anak di Bawah Usia 15 Tahun Mulai ‘Ngegas’

    Jakarta

    Kasus tuberkulosis (TBC) pada kelompok anak di bawah usia 15 tahun meningkat di wilayah Eropa. Tercatat lonjakan 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya 2023. Dinilai mengkhawatirkan, kelompok anak bahkan menyumbang 4,3 persen dari kasus baru TBC.

    Kenaikan kasus ini menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menandakan peningkatan 3 tahun berturut-turut pada kasus TBC di bawah 15 tahun.

    “Temuan peningkatan TBC di antara anak-anak ini menunjukkan bahwa penularan TB di Wilayah Eropa masih berlangsung, dan tindakan kesehatan masyarakat segera diperlukan untuk mengendalikan dan mengurangi beban TBC yang terus meningkat,”

    Beban penyakit pada populasi yang lebih muda di tengah notifikasi TBC terus meningkat, dengan lebih dari 650 kasus tambahan di antara anak-anak yang dilaporkan antara 2022 dan 2023. Sayangnya, 1 dari 5 anak dengan TBC di Eropa tidak diketahui apakah telah menyelesaikan pengobatan.

    Hal ini dapat berimbas pada memburuknya kasus TBC, termasuk TBC resisten terhadap obat dan penularannya yang terus meluas.

    “Saatnya bertindak untuk mengakhiri TBC. Dengan hanya 5 tahun untuk memenuhi target 2030, sangat penting bagi Eropa untuk memperbarui fokusnya pada pencegahan dan pengobatan yang tepat waktu dan efektif. Dengan meningkatnya TB yang resistan terhadap obat, biaya tidak bertindak hari ini akan ditanggung oleh kita semua di masa mendatang,” kata Dr Pamela Rendi-Wagner, Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) dan WHO/Eropa, dalam laman resmi WHO, Senin (24/2/2025).

    Di tengah tren tersebut, penghentian pendanaan TBC global dari AS juga menjadi kekhawatiran baru. Pasalnya, lembaga bantuan luar negeri USAID selama ini ikut memasok bantuan stok medis juga perawatan, khususnya bagi negara-negara menengah ke bawah,.

    AS telah memainkan peran yang sangat besar dalam pengendalian TBC global, melalui lembaga bantuan luar negerinya USAID yang sedang dipangkas oleh pemerintahan Trump.

    Pada 2024 saja, AS menyumbang sekitar USD 406 juta untuk pengendalian TBC, hampir seperempat dari seluruh pendanaan donor global. AS juga merupakan donor terbesar bagi Global Fund untuk memerangi AIDS, tuberkulosis, dan malaria yang menyediakan lebih dari 60 persen seluruh pendanaan donor untuk TBC. Untuk saat ini, sisi baiknya adalah kontribusi AS untuk Global Fund, belum secara resmi dipotong.

    Asia, khususnya, akan merasakan dampaknya. Lima negara dengan beban TBC tertinggi menyumbang lebih dari separuh dari semua kasus di seluruh dunia, dan semuanya berada di Asia. India (26 persen dari kasus global pada 2023), Indonesia (10 persen), China (6,8 persen), Filipina (6,8 persen) dan Pakistan (6,3 persen).

    AS mendukung upaya pengendalian TBC dalam berbagai tingkatan di Kamboja, Indonesia, Myanmar, Filipina, Vietnam, Bangladesh, India, dan Pakistan. Bagi beberapa negara ini, gabungan kontribusi USAID dan Global Fund melebihi anggaran pengendalian TBC domestik.

    Ketergantungan besar negara-negara tersebut, serta negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya pada bantuan luar negeri AS, menghadapi ancaman krisisnya perawatan TBC. Hal ini diperingatkan oleh Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.

    Sedikitnya sembilan negara telah melaporkan kegagalan rantai pasokan untuk obat anti-TB. Konsekuensinya tentu peningkatan kasus baru dan kematian, karena tingkat diagnosis menurun, dan pasokan obat anti-TB terputus. Kasus TB yang resisten terhadap obat juga dapat meningkat secara signifikan.

    (naf/kna)

  • Eropa Menuju ‘Ekonomi Perang’, Apa Dampaknya?

    Eropa Menuju ‘Ekonomi Perang’, Apa Dampaknya?

    Jakarta

    Apa itu “ekonomi perang”? Tidak ada definisi resmi untuk “ekonomi perang”, tetapi ada banyak ciri yang mencerminkan konsep ini.

    Ekonomi perang berarti suatu negara mengerahkan sumber daya, kemampuan manufaktur, dan tenaga kerjanya untuk mendukung persiapan serta produksi militer, baik menjelang maupun selama masa perang.

    Perubahan ekonomi yang paling mencolok adalah pergeseran produksi industri dari barang konsumsi ke senjata, amunisi, dan perlengkapan militer lainnya.

    Selain perangkat keras militer tradisional, senjata modern membutuhkan investasi dalam teknologi dan layanan digital seperti perangkat lunak, analitik data, sistem satelit, serta internet yang andal, kata Penny Naas, pakar kebijakan publik di German Marshall Fund di Washington.

    Untuk mengelola semua ini, pemerintah meningkatkan kontrol atas industri penting dan alokasi sumber daya. Langkah ini memungkinkan pemerintah memprioritaskan serta mengarahkan bahan mentah ke industri yang terkait dengan perang. Sumber daya lain seperti bahan bakar atau makanan mungkin juga akan dijatah demi kepentingan militer.

    Siapa yang diuntungkan dari ekonomi perang?

    “Dalam ekonomi perang yang sesungguhnya, seluruh elemen masyarakat diarahkan untuk mempertahankan negara,” kata Naas.

    Reorientasi ini membutuhkan biaya besar dan biasanya menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah secara drastis. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan utang, inflasi, kenaikan pajak, dan pengurangan belanja kesejahteraan.

    “Berpindah ke ekonomi perang dapat menjadi katalis bagi kemajuan ilmiah dan teknologi,” kata Steinbach kepada DW. “Sistem komunikasi baru, mesin jet, radar, serta intelijen berkembang, dan teknologi ini juga mempengaruhi industri lain.”

    Transisi ke ekonomi perang

    Peralihan dari ekonomi sipil ke ekonomi perang bisa terjadi secara lambat atau cepat tergantung pada situasi.

    Selama Perang Dunia II, Jerman memiliki keuntungan karena telah merencanakan serangan lebih awal, sehingga mereka bisa memulai persiapan lebih cepat. Sementara itu, AS, Inggris, dan sekutunya memiliki peringatan lebih singkat dan harus merespons dengan cepat.

    Saat ini, Rusia dan Ukraina berada dalam situasi yang mirip.

    Rusia secara signifikan meningkatkan pengeluaran militernya, mempercepat produksi perlengkapan perang, dan menerapkan kontrol modal untuk menghambat arus keluar uang dari negara itu. Inflasi meningkat, dan pemerintah meningkatkan pengeluaran publik guna menjaga stabilitas ekonomi sipil.

    Ukraina yang lebih miskin berada dalam situasi yang jauh lebih genting. Karena Ukraina adalah pihak yang diserang, negara ini harus menginvestasikan sumber daya yang jauh lebih besar untuk bertahan hidup. Saat ini, Ukraina mengalokasikan 58% dari anggarannya untuk pengeluaran militer, menurut Steinbach.

    Seperti Rusia, Ukraina juga memobilisasi tenaga kerja untuk mendukung upaya perang, yang mengakibatkan banyak pekerja berpengalaman keluar dari sektor tenaga kerja tradisional. Atas permintaan pemerintah, banyak pabrik telah diubah untuk memproduksi senjata dan amunisi.

    Negara lain yang menerapkan ekonomi perang

    Beberapa negara lain hampir berada dalam mode ekonomi perang karena konflik militer yang sedang berlangsung, termasuk Myanmar, Sudan, dan Yaman.

    Konflik berkelanjutan di Israel dan wilayah Palestina yang diduduki, serta Suriah, Ethiopia, dan Eritrea juga telah menyebabkan gangguan ekonomi karena pemerintah lebih fokus pada upaya militer.

    Israel telah meningkatkan pengeluaran pertahanannya dan mempercepat produksi perlengkapan militer. Banyak pekerja direkrut untuk bertempur, yang mengurangi jumlah tenaga kerja di sektor sipil. Untuk membiayai ini, pemerintah telah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN), tarif utilitas, dan pajak properti.

    Uni Eropa siap memperkuat pertahanannya

    Uni Eropa baru-baru ini didorong untuk bertindak setelah berkurangnya dukungan AS terhadap Ukraina, NATO, dan Eropa secara keseluruhan. Perubahan sikap ini setelah beberapa dekade dukungan AS, ditambah dengan hubungan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, menjadi kekhawatiran besar bagi jaminan keamanan transatlantik.

    Negara-negara anggota NATO, 23 di antaranya merupakan bagian dari Uni Eropa, sebelumnya sudah kesulitan untuk memenuhi target pengeluaran pertahanan sebesar 2% dari PDB. Kini, bahkan angka itu dianggap belum cukup.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Rencana Jerman tingkatkan investasi militer

    Jerman mengambil langkah besar dengan menyetujui aturan anggaran baru pada 21 Maret. Ke depan, pemerintah akan lebih leluasa dalam meningkatkan belanja pertahanan karena sebagian besar pengeluaran terkait militer tidak lagi dibatasi oleh aturan defisit fiskal.

    Langkah ini begitu signifikan sehingga dapat mengubah kebijakan keamanan di seluruh benua dan akan membutuhkan penyesuaian dalam konstitusi negara tersebut.

    Bagi Jerman dan Eropa secara keseluruhan, memprioritaskan sumber daya keuangan adalah langkah awal yang penting.

    Penny Naas percaya bahwa akses energi yang lebih baik serta koordinasi yang lebih erat untuk mengatasi kesenjangan kemampuan antarnegara juga diperlukan di tingkat Eropa. Pengadaan bersama dan penelitian serta pengembangan yang terintegrasi dapat mengurangi biaya.

    “Di tingkat politik, ada banyak pembicaraan tentang peningkatan kemampuan militer Eropa, tetapi ini masih dalam tahap awal,” kata Naas. “Eropa memiliki posisi awal yang kuat dengan sumber daya keuangan dan kemampuan manufaktur yang baik.”

    Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Miris, Indonesia Masih Peringkat Ke-2 Kasus TBC Terbanyak di Dunia

    Miris, Indonesia Masih Peringkat Ke-2 Kasus TBC Terbanyak di Dunia

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) melaporkan bahwa kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia masih sangat tinggi. Indonesia masih menjadi negara dengan estimasi kasus dan kematian tertinggi kedua di dunia.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, dr Ina Agustina Isturini, MKM mengatakan bahwa penyakit TBC ini masih menjadi masalah global. Di tahun 2023 sendiri diperkirakan 10,8 juta orang sakit TB dengan 1 juta kematian.

    “Kita (Indonesia) merupakan ranking dua, dengan jumlah kasus lebih dari satu juta dan angka kematian diperkirakan sekitar 125 ribu. Kalau dihitung-hitung setiap jamnya ada 14 orang meninggal karena TB,” kata dr Ina dalam temu media daring Hari TB Sedunia, Senin (24/3/2025).

    Berikut adalah negara-negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia.

    1. India – 2.800.000 kasus dengan 315.000 kematian
    2. Indonesia – 1.090.000 kasus dengan 125.000 kematian
    3. China – 741.000 kasus dengan 25.000 kematian
    4. Filipina – 739.000 kasus dengan 37.000 kematian
    5. Pakistan – 686.000 kasus dengan 47.000 kematian
    6. Nigeria – 499.000 kasus dengan 64.000 kematian
    7. Bangladesh – 379.000 kasus dengan 44.000 kematian
    8. Congo – 334.000 kasus dengan 38.000 kematian
    9. Myanmar – 302.000 kasus dengan 44.000 kematian
    10. Afrika Selatan – 270.000 kasus dengan 25.000 kematian

    “Ada sekitar tujuh provinsi yang angka TB-nya sangat tinggi. Kalau yang cokelat tua (tertinggi) ini ada di Jawa, kecuali DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) kemudian di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan,” kata dr Ina.

    Di wilayah-wilayah tersebut, dr Ina mengatakan bahwa Kemenkes memperkirakan ada sekitar 40 ribu hingga 230 ribu kasus TBC.

    “Data sampai awal bulan Maret 2025, kami sudah menemukan kasus sekitar 81 persen, atau 889.133 kasus,” kata dr Ina.

    “Kalau kita lihat setiap tahunnya ada peningkatan upaya penemuan-penemuan kasus. Lalu untuk kasus yang diobati juga mengalami peningkatan, sampai tahun ini sudah 90 persen (802.228 kasus),” sambungnya.

    Dalam upaya menekan kasus TBC di Indonesia, Kemenkes mengakui masih menemukan hambatan.

    “Adanya under dan delay reporting, jadi kasusnya ada, pasiennya ada tapi tidak terlaporkan. Kalaupun terlaporkan itu tertunda satu sampai enam bulan,” kata dr Ina.

    “Lalu terlambat atau tidak terdiagnosis, ini bisa karena pengetahuan nakes-nya atau dalam mengakses alat diagnostiknya. Serta investigasi kontak belum optimal, ini membutuhkan peran dari puskesmas dan kader-kader,” tutupnya.

    (dpy/kna)

  • Dwifungsi TNI Disebut Telah Dilakukan Sebelum Prabowo Jabat Presiden

    Dwifungsi TNI Disebut Telah Dilakukan Sebelum Prabowo Jabat Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA —  Bangsa Indonesia seolah-olah mengalami amnesia dan melupakan bahwa negara ini pernah dikuasai oleh militer yang melaksanakan dwifungsi.

    Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan Indonesia punya pengalaman selama 32 tahun berada dalam rezim otoritarianisme militeristik Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.

    Menurutnya, salah satu alasan kenapa presiden kedua itu bisa berkuasa selama puluhan tahun, karena disokong oleh dua hal yakni Golkar serta militer yang ketika itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). kedua adalah oleh ABRI.

    “Pak Harto menempatkan militer aktif pada saat itu dalam jabatan-jabatan yang strategis, jabatan-jabatan politik, jabatan-jabatan pemerintahan, yang kemudian dalam tahap tertentu berlawanan dengan demokrasi  dan sistem negara hukum yang baik,” ujarnya dalam program bincang Broadcash Youtube Bisniscom dikutip Senin (24/3/2025). 

    Menurutnya, pengangkatan Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet mengingatkan publik bahwa Indonesia pernah berada di zaman seperti saat Orde Baru itu, di mana TNI semua berkuasa dan supremasi sipil dipinggirkan.

    Dia menilai, praktik dwiifungsi pascareformasi sebenarnya diam-diam sudah mulai terjadi sebelum Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden. Namun, pada rezim saat ini dilakukan secara terang-terangan.

    Dia mencontohkan penunjukkan Majen Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) yang dinilai tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak dilatih menjadi birokrat atau berbisnis sehingga penempatan jabatan sipil seperti itu merupakan sebuah kekeliruan yang nyata dan menandakan dwifungsi TNI itu sudah kembali.

    “Sebagai catatan kami menemukan data bahwa saat ini itu sudah lebih dari 2.500 TNI aktif di jabatan sipil. Artinya prinsip distingsi sipil dan militer ini sudah kacau,” katanya. 

    Dia membantah argumen yang menyatakan pihak militer tidak pernah akan kembali menduduki jabatan sipil. Hal ini dapat dibuktikan pada masa kepemimpinan Joko Widodo terdapat beberapa pelaksana tugas kepala daerah merupakan perwira militer aktif.

    Tentu saja penunjukkan anggota TNI untuk menduduki jabatan sipil menurutnya tidak adil. Di tengah masyarakat yang kesulitan mencari pekerjaan, pemerintah justru membuka ruang yang luas kepada TNI untuk masuk ke jabatan sipil.

    “Bayangkan ASN saja yang sudah terpilih pelantikannnya ditunda sampai Oktober. Tapi kok sekarang di tengah-tengah kondisi yang demikian, justru pemerintah berusaha membuka ruang kepada TNI  yang jelas-jelas sudah punya pekerjaan, dia untuk bisa double job bahkan, atau bahkan triple job di jabatan-jabatan sipil yang sama sekali tidak punya kaitannya dengan pertahanan,” tuturnya. 

    Oleh karena itu, seorang anggota TNI yang ingin menempati jabatan sipil semestinya mengajukan pengunduran diri atau pensiun dini dari dinas kemiliteran. Hal itu sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

    Ssecara konsep dalam negara demokrasi, prinsip pembedaan atau distingsi antara tugas-tugas sipil dan militer jelas diatur. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dimana Kementerian Pertahanannya dijalankan oleh mayoritas pejabat sipil.

     “Tanpa supremasi sipil, kita akan kembali ke Orde Baru. Bahkan dalam tahap yang paling parah, seperti Thailand, Myanmar, junta militer berkuasa, kudeta terjadi. Itu yang kita tidak inginkan,” ujarnya.