Negara: Mesir

  • Benarkan Merkurius, Venus, dan Saturnus Sejajar Sempurna di Atas Piramida Giza?

    Benarkan Merkurius, Venus, dan Saturnus Sejajar Sempurna di Atas Piramida Giza?

    Bisnis.com, JAKARTA— Sebuah unggahan foto yang mengklaim tiga planet sejajar di atas Piramida Giza kembali viral di media sosial. Gambar itu menampilkan tiga piramida di Giza, Mesir, dengan tiga objek langit berjajar lurus di atasnya. 

    Narasinya menyebut Merkurius, Venus, dan Saturnus sedang “sejajar sempurna” dengan piramida dan peristiwa tersebut diklaim hanya terjadi sekali setiap 2.373 tahun. Namun dapat dipastikan bahwa foto tersebut adalah hoaks. 

    Melansir laman USA Today, foto serupa sudah pernah muncul pada 2021 dan dipakai di berbagai blog serta unggahan berbahasa lain. Klaim tersebut sempat dikaitkan dengan tanggal 3 Desember 2012, menjelang “akhir kalender Maya”. Kini, hampir satu dekade kemudian, gambar itu kembali viral. Pada 10 November 2025, akun X @CMDRVALTHOR kembali mengunggah gambar tersebut dan sudah ditonton 564,5 ribu kali.

    Caroline Simpson, profesor astronomi dari Florida International University, menegaskan hal tersebut mustahil. Menurut dia, Merkurius, Venus, dan Saturnus bisa terlihat di langit bersamaan hampir setiap tahun, bukan ribuan tahun sekali.

    Foto yang beredar juga memperlihatkan ketiga objek langit dengan tingkat kecerahan yang sama, padahal masing-masing planet memiliki kecerahan berbeda.

    Simpson menjelaskan, jika merujuk tanggal 3 Desember 2012, ketiga planet justru berada di langit pada siang hari. Artinya, mustahil terlihat seperti dalam foto yang seolah menampilkan pemandangan malam.

    Sebelumnya, Pada 21 September atau 22 September waktu Indonesia, Matahari, Bumi, dan Saturnus akan membentuk garis lurus.

    Selama oposisi, Saturnus akan tampak paling besar dan paling terang karena planet ini akan berada pada titik terdekatnya dengan Bumi. Seperti halnya bulan purnama, Saturnus akan tampak sepenuhnya diterangi oleh sinar Matahari karena posisinya relatif terhadap Matahari.

    Peristiwa ini hanya terjadi sekali setiap 378 hari, jadi Anda tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk melihatnya.

    Saat Saturnus mencapai oposisi, kondisi pengamatan akan ideal. Pada 21 September, Bulan akan berada dalam fase barunya, sehingga cahaya Bulan tidak akan mengancam untuk mengaburkan objek di langit malam.

    Dilansir dari livescience, untuk membuat kondisi pengamatan ini lebih baik, amati Saturnus jauh dari sumber cahaya buatan, yang dapat mengaburkan objek di langit malam dan mempersulit pengamatan langit. Anda juga perlu memberikan waktu 15 hingga 30 menit agar mata Anda menyesuaikan diri dengan kegelapan sebelum memulai pengamatan. Jika Anda harus menggunakan senter, pilihlah cahaya merah, bukan cahaya putih, untuk menjaga penglihatan malam Anda.

    Saturnus akan muncul di bagian bawah rasi bintang Pisces. Karena planet bercincin ini cukup terang, ia mudah terlihat di langit malam. Namun, jika Anda memerlukan bantuan untuk menemukan Saturnus, Anda dapat menggunakan aplikasi pengamatan langit seperti Stellarium.

    Cara terbaik untuk mengamati Saturnus adalah melalui teropong pengamatan langit atau teleskop rumah. Melalui peralatan pengamatan langit, Anda dapat mengamati cincin Saturnus yang menakjubkan, yang mengalami pencerahan dramatis yang dikenal sebagai efek Seeliger.

  • Quraish Shihab Ingatkan Ketekunan dan Ketulusan Mendalami Ilmu

    Quraish Shihab Ingatkan Ketekunan dan Ketulusan Mendalami Ilmu

    Jakarta

    Di tengah arus informasi dan perkembangan teknologi yang serba cepat, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. mengingatkan bahwa kemajuan zaman seharusnya tidak menjauhkan manusia dari makna sejati ilmu.

    Pesan itu ia sampaikan saat menerima Habibie Prize 2025 bidang Ilmu Filsafat, Agama, dan Kebudayaan di Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H.Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11).

    Menurut Quraish, kemajuan sains dan digitalisasi tidak boleh membuat generasi muda melupakan nilai dasar dalam menuntut ilmu, yaitu ketekunan dan ketulusan.

    “Sukses dalam segala hal harus dimulai dengan ketekunan belajar. Mau pelajari ilmu, harus tekun. Mau pelajari Al-Qur’an pun harus tekun,” ujarnya.

    Ia menekankan bahwa ilmu dan pengalaman adalah ukuran kemajuan sejati, bukan semata usia atau jabatan. “Ada orang yang tua usianya tapi ilmunya tidak ada. Yang dinilai di sini itu ilmu dan pengalaman,” katanya.

    Tafsir dan Sains

    Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII (1998) ini lalu bercerita di balik layar penulisan Tafsir Al-Mishbah yang membuatnya disegani sebagai ilmuwan pakar tafsir Al-Qurán. Ia menyebut karya tersebut justru lahir dari perjalanan intelektualnya di Mesir, ketika ia ditugaskan oleh Presiden RI ke-3 B.J. Habibie.

    “Saya katakan pada beliau (B.J. Habibie), ‘Saya bukan diplomat, saya guru besar’. Beliau menjawab, ‘Guru besar bisa jadi diplomat, diplomat tidak bisa jadi guru besar’,” kenangnya seraya tersenyum.

    Selama bertugas di Mesir, hubungan baik antarbangsa membuatnya memiliki ruang untuk menulis dan produktif menyelesaikan tafsir Al-Qurán. “Di Mesir lah saya dapat menulis dan menyelesaikan tafsir Al-Qurán dalam waktu tiga setengah tahun,” tuturnya.

    Berlian Bersinar dari Banyak Sisi

    Ia menggambarkan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan yang dinamis, seperti berlian yang memancarkan cahaya dari berbagai sisi.

    “Kalau Anda berdiri di sini, dia memancarkan cahaya buat Anda. Tapi boleh jadi orang lain berdiri di tempat lain, dia juga mendapat cahaya. Karena itu perbedaan tidak boleh menjadikan kita berpisah. Perbedaan adalah anugerah Tuhan,” jelasnya.

    Ia menegaskan siapa pun dapat mempelajari Al-Qurán dengan niat tulus, tanpa memandang latar belakang. “Jangan pernah berkata bahwa karena Al-Qurán turun dalam Bahasa Arab, maka yang paling pandai menafsirkan adalah orang Arab. Tidak. Siapa pun yang tulus mempelajarinya sambal memohon bantuan Tuhan akan mendapat penafsiran sesuai dengan kondisi masyarakatnya,” katanya.

    Muhammad Quraish Shihab menerima penghargaan Habibie Prize 2025 dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Foto: Rachmatunnisa/detikINETOptimisme di Tengah Disrupsi

    Quraish juga menyoroti tantangan umat Islam di era disrupsi digital, zaman Ketika banjir informasi sering memicu salah tafsir dan polarisasi.

    “Kita punya problem pemahaman yang keliru. Itu semua perlu tekad dan optimisme untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari hari ini. Ini berlaku untuk semua bidang, bukan cuma agama,” tegasnya.

    Ia juga mengingatkan pentingnya pembaruan ilmu secara terus-menerus. “Saya sudah menyelesaikan sekian buku. Silakan dipelajari, dikritik, diperbaiki. Saya usia sudah tua, tidak mampu lagi memperbaharui. Perbaikan harus terus berlanjut dan itu tugas anak-anak muda,” katanya.

    Dengan pesannya ini, Quraish Shihab mengingatkan bahwa semangat keilmuan yang menjadi warisan B.J. Habibie tidak berhenti pada sains dan teknologi semata, melainkan juga pada kejujuran intelektual, etika berpikir, ketekunan, dan kecintaan terhadap ilmu.

    (rns/afr)

  • Rahmah El Yunusiyyah, Pendiri Pesantren Putri Pertama di Asia Tenggara yang Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional

    Rahmah El Yunusiyyah, Pendiri Pesantren Putri Pertama di Asia Tenggara yang Ditetapkan Jadi Pahlawan Nasional

    GELORA.CO -Rahmah El Yunusiyyah, tokoh pendidikan asal Padang Panjang, Sumatera Barat, resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto bertepatan dengan Hari Pahlawan pada Hari ini, Senin (10/11). 

    Rahmah dinobatkan sebagai pahlawan nasional atas dedikasinya dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.

    Ia dikenal sebagai pendiri Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, pesantren putri pertama di Asia Tenggara yang menjadi tonggak sejarah kebangkitan pendidikan Islam bagi kaum perempuan.

    Selain pada Rahmah, Prabowo juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 9 tokoh lain yang dinilai berjasa besar bagi bangsa dan negara. 

    Penganugerahan ini didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

    Pemberian gelar pahlawan itu bertepatan dengan momentum Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10 November 

    Prabowo pun mengajak seluruh masyarakat untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan dan kehormatan bangsa.

    “Marilah kita sejenak mengenang arwah dan jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia, yang telah memberi segala-galanya agar kita bisa hidup dalam alam yang sejahtera,” kata Prabowo saat memimpin hening cipta.

    Lantas, siapa sosok Rahmah yang dinilai layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional hari ini? Berikut profilnya.

    Jika bicara soal Rahmah El Yunusiyyah, sosoknya selalu lekat dengan Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang yang ia dirikan. 

    Dikutip dari situs resmi Kemenag, madrasah gagasan Rahmah didirikan pada 1 November 1923, lahir dari kepedulian dan cita-citanya untuk mengangkat derajat perempuan yang kala itu masih terbatas ruang geraknya.

    Kala itu, Ia menentang keras pandangan kuno di lingkungannya yang melarang perempuan mengenyam pendidikan

    Visi besarnya sederhana namun revolusioner pada zaman itu, yaitu perempuan harus cerdas agar mampu menjadi pendidik pertama bagi anak-anak dan keluarga.

    Filosofi pendidikannya sangat progresif. Menurut Rahmah, mendidik anak laki-laki berarti mendidik satu individu, tetapi mendidik anak perempuan berarti mendidik satu keluarga.

    Prinsip ini menjadi dasar pembentukan kurikulum Diniyyah Puteri yang menekankan keseimbangan antara ilmu agama, keterampilan hidup, dan tanggung jawab sosial.

    Tujuannya jelas. Yaitu untuk mencetak perempuan muslimah yang berilmu, berakhlak, dan mampu berkontribusi untuk masyarakat serta bangsa.

    Berjuang di Barisan Sabilillah dan Hizbullah

    Perjuangan Rahmah tidak berhenti di dunia pendidikan. Saat revolusi kemerdekaan 1945, ia ikut berjuang di medan perang sebagai Bundo Kanduang dalam barisan Sabilillah dan Hizbullah.

    Di masa itu, Perguruan Diniyyah Puteri menjadi tempat perjuangan yang mendukung logistik dan pendidikan bagi pejuang kemerdekaan.

    Rahmah juga menunjukkan sikap anti-kolonial dengan menolak bantuan dana dari pemerintah Hindia Belanda.

    Ia ingin pesantrennya berdiri mandiri, tidak tunduk pada kekuasaan asing. Prinsip “berdikari” yang ia pegang sejalan dengan semangat pendidikan nasional seperti Taman Siswa di Yogyakarta.

    Kontribusi Rahmah mendapat pengakuan luas. Gaungnya bahkan terdengar hingga ke dunia internasional. 

    Tahun 1955, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Dr. Syekh Abdurrahman Taj, berkunjung ke Diniyyah Puteri dan terkesan dengan sistem pendidikannya. Rahmah kemudian diundang ke Mesir untuk memaparkan pengalamannya.

    Ia menjadi ulama perempuan pertama yang mendapat gelar kehormatan Syaikhah dari Universitas Al-Azhar, sekaligus menginspirasi pendirian Kulliyatul Banat, fakultas khusus perempuan di universitas bergengsi tersebut.

    Hingga kini, warisan Rahmah masih hidup melalui Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang yang berkembang menjadi lembaga pendidikan lengkap. Mulai dari PAUD hingga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT).

    Lembaga ini terus berpegang pada visi awal Rahmah: menjadi pusat pendidikan Islam modern yang melahirkan perempuan berdaya, berilmu, dan berakhlak

    Februari 1969 di Padang Panjang. Rumahnya kini menjadi Museum Rahmah El Yunusiyyah, tempat mengenang perjuangan sang pelopor pendidikan perempuan.

    Ia meninggalkan warisan besar berupa gagasan, lembaga, dan semangat pembebasan perempuan lewat ilmu.

    Baca Juga: Kiprah Sarwo Edhie Wibowo, Mertua Susilo Bambang Yudhoyono, Kini Dapat Gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Prabowo

    Penetapannya sebagai pahlawan nasional menjadi bentuk penghargaan atas dedikasinya membangun fondasi pendidikan Islam yang inklusif, mandiri, dan visioner.

  • Uni Emirat Arab Tak Berencana Gabung Pasukan Stabilisasi Gaza, Kenapa?

    Uni Emirat Arab Tak Berencana Gabung Pasukan Stabilisasi Gaza, Kenapa?

    Jakarta

    Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan tidak berencana bergabung dengan pasukan stabilisasi internasional untuk Gaza. Alasannya, UEA menganggap hal itu tidak memiliki kerangka kerja yang jelas, ujar seorang pejabat senior pada hari Senin.

    “UEA belum melihat kerangka kerja yang jelas untuk pasukan stabilitas, dan dalam situasi seperti itu kemungkinan besar tidak akan berpartisipasi dalam pasukan semacam itu,” ujar penasihat presiden UEA, Anwar Gargash, dalam forum Debat Strategis Abu Dhabi, dilansir kantor berita AFP dan Al Arabiya, Senin (10/11/2025).

    Sebelumnya, dilaporkan bahwa pasukan internasional yang dikoordinasi AS tersebut, kemungkinan besar akan mencakup pasukan dari Mesir, Qatar, dan Turki, serta UEA.

    Pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan ia memperkirakan pasukan tersebut akan berada di Gaza “segera”, seiring gencatan senjata berlaku setelah dua tahun perang di Gaza.

    UEA yang kaya minyak adalah salah satu dari sedikit negara Arab yang memiliki hubungan resmi dengan Israel setelah menandatangani Perjanjian Abraham pada masa jabatan pertama Trump pada tahun 2020.

    (ita/ita)

  • Turki Coba Evakuasi 200 Warga Sipil Terjebak di Terowongan Gaza

    Turki Coba Evakuasi 200 Warga Sipil Terjebak di Terowongan Gaza

    Gaza City

    Otoritas Turki sedang berupaya memastikan evakuasi sekitar 200 warga sipil yang terjebak di terowongan di Jalur Gaza. Hal ini setelah Ankara berhasil memfasilitasi pemulangan jenazah tentara Israel yang tewas dalam perang Tel Aviv-Hamas di Jalur Gaza satu dekade lalu.

    Pada Minggu (9/11) waktu setempat, Israel mengatakan pihaknya telah menerima jenazah Hadar Goldin, seorang perwira militer yang tewas dalam penyergapan di Jalur Gaza selama perang Israel-Hamas tahun 2014 lalu, setelah penyerahan yang difasilitasi Komite Palang Merah Internasional (ICRC).

    Seorang pejabat senior Turki, yang enggan disebut namanya, seperti dilansir Reuters, Senin (10/11/2025), mengatakan bahwa Ankara “berhasil memfasilitasi pemulangan jenazah Hadar Goldin ke Israel” setelah “upaya intensif (yang mencerminkan) komitmen Hamas yang jelas terhadap gencatan senjata”.

    “Pada saat yang sama, kami berupaya memastikan perjalanan yang aman bagi sekitar 200 warga sipil yang saat ini terjebak di terowongan,” kata pejabat senior Turki itu kepada Reuters.

    Turki merupakan salah satu penandatangan dalam kesepakatan gencatan senjata Gaza antara Israel dan Hamas bulan lalu, yang didukung oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Ankara menjalin hubungan dekat dengan Hamas dan selama ini mengecam keras operasi militer Israel di Jalur Gaza.

    Sementara itu, Hamas sebelumnya menegaskan bahwa para petempur mereka yang bersembunyi di area Rafah, yang dikuasai pasukan Tel Aviv, tidak akan menyerah kepada Israel.

    “Musuh harus mengetahui bahwa konsep menyerah dan menyerahkan diri tidak ada dalam kamus Brigade al-Qassam,” tegas Hamas dalam pernyataannya pada Minggu (9/11) waktu setempat.

    Hamas juga mendesak para mediator untuk menemukan solusi atas krisis yang mengancam gencatan senjata rapuh yang berlangsung sebulan terakhir.

    Diungkapkan seorang pejabat keamanan Kairo bahwa mediator Mesir telah mengusulkan agar, sebagai imbalan atas akses yang aman ke area-area lainnya di Jalur Gaza, para petempur Hamas yang berada di Rafah, yang dikuasai pasukan Israel, akan menyerahkan senjata mereka kepada Mesir, dan memberikan detail terowongan bawah tanah di area itu agar dapat dihancurkan.

    Hamas tidak memberikan komentar langsung, namun menyiratkan bahwa krisis tersebut dapat mempengaruhi gencatan senjata Gaza.

    “Kami menempatkan para mediator di atas tanggung jawab mereka, dan mereka harus menemukan solusi untuk memastikan kelanjutan gencatan senjata dan mencegah musuh menggunakan dalih yang lemah untuk melanggarnya, dan mengeksploitasi situasi untuk menargetkan warga sipil tidak bersalah di Gaza,” sebut Hamas dalam pernyataannya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Tak Akan Menyerah ke Israel!

    Tak Akan Menyerah ke Israel!

    Gaza City

    Kelompok Hamas menegaskan para petempurnya yang bersembunyi di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan, tidak akan menyerah kepada Israel. Wilayah Rafah saat ini dikuasai oleh pasukan militer Israel.

    Penegasan itu disampaikan saat para mediator sedang berupaya menemukan solusi atas krisis yang mengancam gencatan senjata rapuh, yang telah berlangsung sebulan terakhir.

    Sayap bersenjata Hamas, Brigade Ezzedine al-Qassam, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Senin (10/11/2025), menyatakan Israel bertanggung jawab atas pertempuran dengan petempur mereka, yang mereka klaim sedang membela diri mereka.

    “Musuh harus mengetahui bahwa konsep menyerah dan menyerahkan diri tidak ada dalam kamus Brigade al-Qassam,” tegas Hamas dalam pernyataannya pada Minggu (9/11) waktu setempat.

    Sejumlah sumber, yang memahami upaya mediasi yang berlangsung, mengungkapkan kepada Reuters pada Kamis (6/11) bahwa para petempur Hamas dapat menyerahkan senjata mereka, dengan imbalan akses ke area-area lainnya di Jalur Gaza, berdasarkan proposal yang bertujuan menyelesaikan kebuntuan tersebut.

    Diungkapkan seorang pejabat keamanan Kairo bahwa mediator Mesir telah mengusulkan agar, sebagai imbalan atas akses yang aman, para petempur Hamas yang berada di Rafah, yang dikuasai pasukan Israel, menyerahkan senjata mereka kepada Mesir, dan memberikan detail terowongan bawah tanah di area itu agar dapat dihancurkan.

    Utusan khusus Amerika Serikat (AS) Steve Witkoff mengatakan secara terpisah bahwa proposal yang diusulkan untuk sekitar 200 petempur Hamas akan menjadi ujian bagi proses yang lebih luas untuk melucuti persenjataan Hamas di seluruh wilayah Jalur Gaza.

    Brigade Ezzedine al-Qassam tidak berkomentar langsung terhadap perundingan yang sedang berlangsung membahas para petempur mereka di Rafah. Namun kelompok ini menyiratkan bahwa krisis tersebut dapat mempengaruhi gencatan senjata Gaza.

    “Kami menempatkan para mediator di atas tanggung jawab mereka, dan mereka harus menemukan solusi untuk memastikan kelanjutan gencatan senjata dan mencegah musuh menggunakan dalih yang lemah untuk melanggarnya, dan mengeksploitasi situasi untuk menargetkan warga sipil tidak bersalah di Gaza,” sebut Hamas dalam pernyataannya.

    Sejak gencatan senjata Gaza yang dimediasi AS berlaku pada 10 Oktober lalu, area Rafah menjadi lokasi setidaknya dua serangan terhadap pasukan Israel. Militer Tel Aviv menuduh Hamas sebagai dalang di balik serangan-serangan itu.

    Tuduhan tersebut telah dibantah keras oleh Hamas, yang menegaskan mereka berkomitmen terhadap kesepakatan gencatan senjata.

    Sedikitnya tiga tentara Israel tewas akibat serangan di Rafah sejak gencatan senjata berlangsung. Serangan itu memicu balasan Israel yang menggempur area tersebut hingga menewaskan puluhan warga Palestina.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Perang Sudan, Milisi RSF Terima Tawaran Gencatan Senjata

    Perang Sudan, Milisi RSF Terima Tawaran Gencatan Senjata

    Jakarta

    Pasukan Dukungan Cepat atau RSF, Kamis (6/11) kemarin, menyatakan menerima usulan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan yang dimediasi kelompok “Quad” pimpinan Amerika Serikat. Kelompok paramiliter yang dituduh membantai warga sipil di Darfur itu sudah lebih dari dua tahun berperang melawan militer Sudan.

    Gencatan senjata disepakati lebih dari sepekan setelah RSF merebut kota El-Fasher, yang sebelumnya dikepung selama 18 bulan. Kota yang usai pengungsian massal berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa itu merupakan benteng terakhir militer Sudan di Darfur.

    “RSF menantikan pelaksanaan kesepakatan ini dan segera memulai pembahasan tentang penghentian aksi permusuhan serta prinsip-prinsip dasar proses politik di Sudan, demi mengatasi akar konflik dan mengakhiri penderitaan rakyat Sudan,” demikian pernyataan resmi RSF.

    Seorang pejabat militer Sudan mengatakan kepada Associated Press bahwa pihaknya menyambut baik usulan Quad, namun baru akan menyetujui gencatan senjata bila RSF menarik diri sepenuhnya dari area sipil dan menyerahkan senjata, sesuai perjanjian damai sebelumnya.

    Jutaan warga hadapi kelaparan dan pengungsian

    Perang antara RSF dan militer Sudan pecah pada 2023. Ketegangan itu bermula dari perselisihan dua sekutu lama yang semestinya mengawal transisi demokrasi usai pemberontakan 2019.

    Pertempuran sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 40 ribu orang dan membuat 12 juta lainnya mengungsi, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, lembaga kemanusiaan memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. Sekitar 24 juta jiwa kini mengalami krisis pangan akut, lapor Program Pangan Dunia (WFP).

    Massad Boulos, penasihat urusan Afrika dari pemerintah AS, mengatakan Washington tengah bekerja sama dengan kedua pihak untuk mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan. “Kami telah berupaya hampir sepuluh hari terakhir untuk memfinalisasi rincian kesepakatan ini,” katanya. Rencana yang dipimpin AS itu mencakup gencatan senjata selama tiga bulan, dilanjutkan proses politik sembilan bulan.

    Kerja sama kuartet: AS, Saudi, Mesir, dan UEA

    “Kami mendesak kedua pihak agar segera merespons upaya AS dalam mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan, mengingat urgensi menurunkan eskalasi dan mengakhiri penderitaan rakyat Sudan,” demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS.

    Kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, menjadi salah satu dari dua wilayah yang dilanda kelaparan parah, menurut laporan lembaga pemantau pangan global Integrated Food Security Phase Classification (IPC). Wilayah lainnya adalah Kadugli di provinsi Kordofan Selatan.

    “Penyebab utama kelaparan ini bukan bencana alam, melainkan buatan manusia,” ujar Abdul Hakim Elwaer, perwakilan regional FAO untuk Timur Dekat dan Afrika Utara. “Konflik yang terus berlangsung, ketidakamanan, dan terhambatnya jalur bantuan membuat jutaan orang tidak bisa mendapatkan makanan.”

    Bantuan kemanusiaan terhambat

    Elwaer menambahkan, selama hampir dua tahun, pembicaraan soal pembukaan koridor kemanusiaan aman belum membuahkan hasil. “Saya optimistis pada akhir tahun ini kita bisa menemukan solusi. Kita tak bisa membiarkan jutaan orang mati kelaparan hanya karena bantuan tidak sampai,” ujarnya.

    Organisasi Islamic Relief memperingatkan dapur umum yang menjadi tumpuan banyak keluarga kini terancam tutup. Survei terbaru lembaga itu menemukan 83 persen keluarga di Sudan timur dan barat kekurangan makanan.

    Sudan sejak lama digolongkan sebagai salah satu negara dengan krisis pengungsian paling parah di dunia. Setelah RSF merebut El-Fasher, gelombang pengungsi kembali melonjak. Banyak warga menempuh perjalanan ratusan kilometer menuju kamp Al-Affad di kota Al-Dabbah, Negara Bagian Utara, sekitar 350 kilometer dari ibu kota Khartoum.

    Pelarian dari El-Fasher

    Kepada kantor berita AP, sejumlah pengungsi menuturkan kesaksian mengerikan selama pelarian. Othman Mohamed, seorang guru, mengatakan ia melihat jasad bergelimpangan di sepanjang jalan saat melarikan diri pada akhir September. Banyak yang tumbang karena kelelahan dan kekerasan.

    Ia menggambarkan kehidupan di El-Fasher di tengah serangan drone dan artileri. “Makanan hampir tak ada. Kami hidup dari ombaz — sisa hasil perasan minyak kacang tanah — sampai itu pun sulit diperoleh,” ujarnya.

    Rawda Mohamed, yang berjalan berjam-jam menuju kamp Al-Affad, menambahkan, “Di El-Fasher tak ada selain pemukulan dan pembunuhan oleh drone yang tak terlihat tapi mematikan.”

    Menurut Mathilde Vu dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), warga di El-Fasher bertahan hidup dengan pakan ternak dan air hujan. Mereka berlindung di lubang yang mereka gali sendiri. Banyak yang diserang saat mencoba melarikan diri.

    “Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari, dengan rasa haus, lapar, dan kekerasan ekstrem. Beberapa akhirnya diangkut truk untuk sisa perjalanan terakhir. Ratusan harus segera dirawat. Banyak yang terlalu lemah bahkan untuk berbicara,” katanya.

    *Editor: Yuniman Farid


    (ita/ita)

  • Bisakah Kekuatan Asing Hentikan Konflik di Sudan?

    Bisakah Kekuatan Asing Hentikan Konflik di Sudan?

    Jakarta

    Tanpa dukungan eksternal, tidak ada satu pun pihak di Sudan mampu memperpanjang perang saudara yang tengah berlangsung.

    Konflik ini telah menjadikan negara tersebut sebagai lokasi salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Belakangan, terjadi pembunuhan massal serta kekejaman terhadap warga sipil Sudan di ibu kota regional Darfur, El-Fasher.

    Perang pertama kali meletus pada April 2023 ketika milisi lokal, yaitu pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan militer Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF), berselisih mengenai integrasi RSF ke dalam militer reguler.

    Akibat berlanjutnya pertempuran di Darfur, angka korban hanya bisa diperkirakan, tapi organisasi bantuan dan PBB memperkirakannya di atas 140.000 orang. Sekitar setengah dari 51 juta penduduk Sudan bergantung pada bantuan kemanusiaan. Kelaparan dan penyakit menyebar luas dan sebagian besar infrastruktur serta lahan pertanian negara itu telah rusak.

    Para pengamat mengatakan pemerintah Sudan yang diakui secara internasional di bawah jenderal Abdel-Fattah al-Burhan, yang juga memimpin SAF, mendapat dukungan dari Mesir, Turki, Rusia, dan Iran. Sementara, Mesir dan Arab Saudi membantah memberikan dukungan senjata kepada kelompok apa pun di Sudan. RSF dituding mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), tapi kemudian dibantah oleh UEA.

    “Hasil penelitian menunjukkan bahwa RSF memiliki sejumlah pemasok senjata dan bahan bakar selama perang, tetapi penyedia utama tetap UEA,” kata Hager Ali, peneliti di lembaga kajian German Institute for Global and Area Studies (GIGA), kepada DW.

    Agenda kontroversial UEA di Sudan

    UEA berkali-kali membantah mendukung RSF. Mereka menyebut tuduhan tersebut sebagai kampanye media oleh SAF dan menuntut permintaan maaf.

    Namun, PBB dan organisasi hak asasi manusia sering menemukan bukti pasokan militer dari UEA. Analis independen secara rutin menyimpulkan bahwa senjata dan amunisi yang digunakan RSF berasal dari UEA.

    “Materi tersebut mencakup drone buatan Cina yang canggih berikut senjata ringan, mesin berat, kendaraan, artileri, mortir dan amunisi,” ujar sumber dari US Defense Intelligence Agency dan biro intelijen Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) kepada The Wall Street Journal.

    Pada Januari, ketika pemerintahan AS dipimpin Presiden Joe Biden, Paman Sam menjatuhkan sanksi kepada kedua pihak. Waktu itu, Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi terhadap tujuh perusahaan dari UEA dan menuduh mereka menyediakan senjata, pendanaan dan dukungan lain kepada RSF.

    Lebih jauh, laporan PBB Januari 2024 menyatakan bahwa milisi yang berpihak kepada Jenderal Libya Khalifa Haftar menggunakan jaringan penyelundupan yang sudah ada untuk memasok RSF dengan bahan bakar, kendaraan, dan amunisi.

    “Kami tahu bahwa UEA telah menyelundupkan senjata langsung melintasi perbatasan Libya ke Sudan, tetapi juga via Chad dan Uganda,” kata Ali.

    “Sebagai imbalannya, UEA, sebagai importir emas Sudan terbesar secara tradisional, memiliki kepentingan besar untuk menjaga aksesnya ke emas Sudan.”

    Bagi RSF, sumber daya emas Sudan yang kaya, yang sebagian besar berada di wilayah kekuasaannya, telah menjadi mata uang utama untuk membeli senjata dan menghindari sanksi.

    “Aman untuk diasumsikan bahwa senjata yang sekarang digunakan di Sudan bukan hanya dari sedikit penyedia tetapi senjata yang telah diselundupkan ke seluruh Sahel,” lanjut Ali, sambil menambahkan bahwa pengiriman senjata di medan perang sering dilakukan oleh Africa Corps, divisi Afrika dari kelompok mercenary (militer bayaran) Rusia Wagner yang telah berganti nama.

    Kepentingan lain di Sudan

    Mesir telah menjadi pendukung utama SAF dan mengakui pemerintahan Burhan sebagai pemerintahan resmi Sudan. Menurut tinjauan dari Institute of War, lembaga kajian independen, Mesir juga telah melatih pilot SAF dan menyediakan drone, kemudian hal ini dibantah Kairo.

    Mesir bertujuan menjaga konflik tetap di sisi Sudan dan berharap bisa mengembalikan jutaan pengungsi Sudan.

    Pendukung lain SAF adalah Iran, yang juga telah menyediakan drone. Teheran berharap mengamankan pangkalan angkatan laut di Laut Merah yang akan membantunya terus mendukung milisi Houthi di Yaman. Sudan diketahui telah menjadi pusat logistik bagi Houthi. Turki juga telah menyediakan drone dan misil untuk SAF. Kepentingan Ankara di sini adalah mengamankan aksesnya ke Laut Merah.

    Meski keterlibatan Rusia melalui Africa Corps atas nama RSF ada, Rusia memainkan peran yang relatif kecil di Sudan, menurut Achim Vogt, Direktur Friedrich Ebert Stiftung untuk wilayah Uganda dan Sudan.

    Bisakah ‘inisiatif Quad’ membantu?

    Menurut Vogt, keempat negara yang membentuk apa yang disebut “inisiatif Quad”, yakni AS, Mesir, Arab Saudi dan UEA, akan jadi negara yang bisa memberi pengaruh nyata di Sudan meskipun mereka punya aliansi berbeda dengan kedua pihak. Sasaran inisiatif ini adalah membuat peta jalan untuk mengakhiri perang atau setidaknya gencatan senjata kemanusiaan.

    Vogt mengatakan jika keempat negara ini bersatu, mungkin dengan dukungan negara Eropa, mereka bisa membawa kembali hukum humaniter internasional, mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia dan memperbaiki situasi kemanusiaan bagi warga sipil.

    Namun, pada 26 Oktober 2025, pembicaraan Quad di Washington yang ditujukan untuk membawa pihak yang bertikai bersama-sama menyepakati gencatan senjata tiga bulan, berakhir tanpa hasil. Pada hari yang sama, RSF merebut kontrol atas ElFasher dan meningkatkan pembunuhan massal serta kekejaman lainnya.

    “Mereka punya kepentingan ekonomi terkait ekspor emas dan pelabuhan Port Sudan, tetapi mereka sudah cukup jelas menyatakan bahwa mereka tidak tertarik ikut campur dalam apa yang mereka sebut konflik internal,” katanya.

    Bagi Laetitia Bader, Direktur Horn of Africa di Human Rights Watch, skala dan beratnya pelanggaran terbaru di dan sekitar El-Fasher sekarang memerlukan adanya “konsekuensi bagi pimpinan RSF dan para pendukungnya, khususnya Uni Emirat Arab, yang terus menyediakan dukungan… meskipun ada bukti jelas atas kejahatan,” ujarnya kepada DW.

    “Kami ingin melihat Dewan Keamanan PBB segera bergerak dengan sanksi terhadap pimpinan RSF,” kata Bader.

    “Kami menyerukan agar komunitas internasional memastikan ada akuntabilitas politik dan pidana.”

    Pada hari Jumat (31/10), menghadapi kemarahan internasional atas pembantaian dan kejahatan lainnya, RSF menangkap beberapa anggotanya sendiri. Namun, pengamat mengatakan kekejaman terus berlangsung.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara

    Editor: Muhammad Hanafi dan Melisa Lolindu


    (ita/ita)

  • Trump Bilang Pasukan Internasional Akan Berada di Gaza Segera

    Trump Bilang Pasukan Internasional Akan Berada di Gaza Segera

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa ia mengharapkan pasukan stabilisasi internasional yang dikoordinasi AS akan berada di Gaza “segera.”

    Pasukan multinasional tersebut merupakan bagian dari rencana pemerintahan pascaperang Trump untuk Gaza. Pasukan internasional itu kemungkinan mencakup pasukan dari Mesir, Qatar, Turki, dan Uni Emirat Arab.

    Rencana tersebut membantu menghasilkan gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hamas pada 10 Oktober, tetapi krisis kemanusiaan di Gaza belum mereda.

    “Ini akan segera terjadi. Dan Gaza berjalan dengan sangat baik,” kata Trump dalam sebuah acara di Gedung Putih bersama para pemimpin Asia Tengah pada Kamis (6/11) waktu setempat.

    “Anda belum banyak mendengar tentang masalah-masalah ini, dan saya katakan, kami memiliki negara-negara yang telah menjadi sukarelawan jika ada masalah dengan Hamas,” ujar Trump, dilansir kantor berita AFP, Jumat (7/11/2025).

    Pasukan tersebut seharusnya melatih dan mendukung polisi Palestina yang telah diseleksi di Jalur Gaza, dengan dukungan dari Mesir dan Yordania.

    Misi ini juga akan bertugas mengamankan wilayah perbatasan dan mencegah penyelundupan senjata ke Hamas.

    Sebelumnya pada hari Rabu lalu, Amerika Serikat mengedarkan rancangan atau draf resolusi Dewan Keamanan PBB kepada negara-negara mitra yang bertujuan untuk memperkuat rencana Trump, termasuk dengan memberikan lampu hijau bagi pasukan internasional tersebut.

    Duta Besar (Dubes) AS untuk PBB, Mike Waltz, membagikan rancangan tersebut kepada 10 anggota Dewan Keamanan dan beberapa mitra regional — Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Turki — kata juru bicara misi AS dalam sebuah pernyataan.

    Menurut sumber-sumber diplomatik, beberapa negara telah menunjukkan kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam pasukan tersebut. Namun, mereka bersikeras harus ada mandat Dewan Keamanan PBB sebelum benar-benar mengerahkan pasukan ke wilayah Palestina.

    Sementara itu, kepala Komando Pusat AS, komando militer yang bertanggung jawab atas Timur Tengah, mengatakan bulan lalu dalam kunjungan ke Gaza, bahwa tidak ada pasukan AS yang akan dikerahkan ke wilayah Palestina itu.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Haruskah Jerman Kembalikan Patung Nefertiti ke Mesir?

    Haruskah Jerman Kembalikan Patung Nefertiti ke Mesir?

    Jakarta

    Nefertiti adalah simbol abadi kecantikan dan kekuasaan yang penuh misteri. Keindahan karya ikonik ini memikat Adolf Hitler, Beyonce, hingga para aktivis Revolusi Arab. Namanya berarti “yang indah telah datang,” tapi mungkin juga berarti: yang tak pernah kembali.

    Lebih dari tiga ribu tahun yang lalu, Nefertiti berdiri di sisi Akhenaten, Firaun yang menantang langit Mesir dengan hanya satu dewa—Aten, sang matahari. Ia adalah ratu yang ikut mengubah tatanan kosmos dan kepercayaan, memindahkan pusat penyembahan dari banyak wajah ilahi ke satu cahaya tunggal.

    Patung dada Nefertiti yang terbuat dari batu kapur dan berlapis plaster dan cat ini ditemukan tim arkeologi Jerman yang dipimpin Ludwig Borchardt dalam ekspedisi yang didanai kolektor seni James Simon di tahun 1912.

    Borchardt lalu memboyong patung tersebut ke Berlin. Pengelolanya, Yayasan Warisan Budaya Prusia, menyebut Nefertiti sebagi ‘primadona tak terbatantahkan di Museum Neues’. Museum ini merupakan bagian dari kompleks Museuminsel Berlin, salah satu situs warisan dunia UNESCO.

    Seruan restitusi kian keras

    Tuntutan pengembalian oleh Mesir muncul sejak hari pertama patung dada Nefertiti diperkenalkan ke publik di Jerman. Kini, dengan dibukanya Grand Egyptian Museum di Kairo, restitusi kembali bergema.

    Semua pengunjung yang melakukan tur di Grand Egyptian Museum diminta menandatangani petisi restitusi Nefertiti. Hal ini diprakarsai mantan Menteri Pariwisata dan Urusan Kepurbakalaan Mesir, Zahi Hawass, tahun lalu.

    “Meski banyak seruan untuk berdialog dan juga permintaan untuk mengakui bagaimana artefak unik ini berakhir di Jerman telah diabaikan, petisi ini dimaksudkan untuk membuka kembali dialog, mendorong pengembalian patung ke Kairo, dan meminta tanggapan resmi otoritas Jerman,” bunyi petisi yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan Jerman dan Yayasan Warisan Budaya Prusia.

    Juru bicara Menteri Kebudayaan Jerman mengatakan kepada DW melalui pernyataan tertulis bahwa “pertanyaan mengenai perlindungan properti budaya yang berkaitan dengan Mesir, termasuk Patung dada Nefertiti, berada di bawah yurisdiksi Kementerian Luar Negeri Federal.”

    Yayasan Warisan Budaya Prusia tidak menanggapi permintaan komentar dari DW, tetapi posisi yayasan tersebut mengenai isu ini tidak berubah selama beberapa tahun terakhir: patung tersebut diperoleh secara sah dan tidak ada alasan untuk mengembalikannya ke Mesir.

    Apakah Nefertiti diperoleh secara sah?

    “Patung Nefertiti ditemukan dalam proses penggalian yang diizinkan oleh Dinas Layanan Kepurbakalaan Mesir,” kata Stefan Mchler, juru bicara Yayasan Warisan Budaya Prusia, kepada DW dalam pernyataan tertulis pada Oktober 2024.” Patung itu dibawa ke Berlin berdasarkan pembagian hasil temuan arkeologi, yang saat itu lazim dilakukan. Pembagian itu juga mencakup banyak artefak lainnya.

    “Patung itu dibawa keluar dari Mesir secara sah, dan tidak ada klaim restitusi dari pemerintah Mesir,” tambah Mchler.

    Namun, peneliti dan aktivis pelestarian warisan Mesir, Monica Hanna, membantah klaim tersebut. Menurut penelitiannya, Ludwig Borchardt secara sengaja dan curang menampilkan Nefertiti sebagai patung murahan saat pembagian hasil temuan. Ia menggambarkannya sebagai “seorang putri kerajaan yang dicat,” sementara dari catatan pribadinya Borchardt menunjukkan bahwa ia tahu nilai patung tersebut yang menggambarkan Ratu Nefertiti.

    “Deskripsi patung tidaklah berguna, harus lihat langsung,” tulis Borchardt dalam catatannya.

    Sejarawan Jerman Sebastian Conrad, penulis buku The Making of a Global Icon: Nefertiti’s Twentieth-Century Career, menambahkan bahwa selain perdebatan mengenai pembagian hasil temuan, validitas etis dari hukum pembagian hasil temuan itu patut dipertanyakan.

    “Itu adalah hukum yang eksis di bawah ketimpangan kekuasaan era imperialisme, karena Mesir pada dasarnya adalah koloni Inggris saat itu. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah seseorang bisa dengan sah menggunakan basis hukum tersebut,” katanya kepada DW. “Saya akan katakan begini: secara formal sah, tetapi dari perspektif masa kini, tidak sah secara moral.”

    Sejarawan Jrgen Zimmerer, yang berfokus pada studi kolonialisme dan genosida, menyoroti perdebatan serupa terjadi di Jerman terkait karya seni yang dirampas dari kaum Yahudi oleh Nazi pada masa drittes Reich.

    “Kita tidak bisa hanya diam dan berkata, ‘Itu legal saat itu, jadi mereka tidak memiliki hak mengklaim,’ alih-alih mematuhi hukum secara kaku (kata per kata), kita baiknya menekankan prinsip dan nilai hukum yang benar secara moral. Kita tahu hukum-hukum itu tidak adil dan merampas hak orang Yahudi, dan kita tidak ingin mengambil keuntungan dari itu,” katanya kepada DW.

    “Mengapa kita harus bersikap berbeda dalam konteks kolonial?” tegas Zimmerer.

    Hitler memblokir upaya restitusi

    Ahli Mesir Kuno Monica Hanna juga mempertanyakan Jerman yang menyatakan tidak ada klaim restitusi dari pemerintah Mesir. Ia menegaskan bahwa otoritas Mesir sudah meminta pengembalian patung itu tak lama setelah pertama kali dipamerkan di Berlin pada tahun 1924 dan menambahkan,
    “Apakah museum benar-benar membutuhkan permintaan resmi dari pemerintah? Opini publik di Mesir sangat jelas menginginkan kembalinya patung dada Nefertiti. Apa yang menjadi milik kami, adalah milik kami.”

    Pada tahun 1925, Mesir mengancam akan melarang penggalian arkeologi Jerman di wilayahnya kecuali patung itu dikembalikan. James Simon, dermawan yang membiayai penggalian Borchardt dan yang menyumbangkan patung dada Nefertiti kepada Museum Berlin, secara pribadi mendukung pertukaran artefak dengan Mesir dan membantu negosiasi pengembalian Nefertiti, sebagaimana dijelaskan peneliti Ruth E. Iskin dalam artikelnya The Other Nefertiti: Symbolic Restitutions.

    Meski kontribusi Simon diakui di Berlin melalui dengan keberadaan Galeri James Simon di pintu masuk utama Museuminsel, upaya Simon untuk mengembalikan patung itu telah dihapus dari narasi resmi Jerman.

    Rencana pertukaran Simon tidak pernah terwujud, begitu pula upaya berikutnya pada tahun 1933. Salah satu pemimpin Nazi, Hermann Gring, berharap dapat menarik dukungan politik Mesir kepada Jerman dengan mengembalikan Nefertiti. Namun, Hitler, pengagum sang ratu menggagalkan rencana tersebut, “Saya tidak akan pernah menyerahkan kepala sang ratu,” katanya.

    Bertahan dalam Perang Dunia II di dalam kantong plastik

    Jerman juga beralasan bahwa patung tersebut terlalu rapuh untuk dipindahkan kembali ke Mesir.

    Meski mengakui bahwa dirinya bukan ahli dalam hal ini, sejarawan Sebastian Conrad menunjukkan, “Pada akhir Perang Dunia II, mereka memasukkannya ke dalam kantong plastik dan menyimpannya di tambang garam di Thuringia. Setelah itu, ia dipindahkan ke Wiesbaden. Jadi sebenarnya Nefertiti sudah melakukan banyak perjalanan, bukan hanya dari Kairo ke Berlin.”

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Pertanyaan penting bagi Jerman

    Berlin saat ini sedang menjalankan proses pengembalian objek-objek kolonial, terutama melalui pengembalian Perunggu Benin ke Nigeria. Meskipun hasilnya merupakan buah dari perjuangan panjang para aktivis, keputusan itu relatif lebih mudah dilakukan. Sebagian dari 512 koleksi objek di Berlin dikembalikan ke Nigeria, sementara lainnya tetap dipajang di Humboldt Forum melalui perjanjian pinjaman jangka panjang.

    Namun, Nefertiti jelas merupakan artefak yang unik. Conrad dan Zimmerer berpendapat masih ada alternatif selain mempertahankan aslinya: tiruan patung yang dipamerkan bersama sejarah penemuan dan upaya restitusinya “tentu akan menarik,” ujar Conrad.

    “Yang hilang hanyalah apa yang disebut ‘aura autentiknya’,” kata Zimmerer. Namun ia lanjut bertanya, “Haruskah museum Berlin mendapatkan keuntungan dari ‘aura’ ini, mengingat keberadaaanya lahir dari ketidakadilan kolonial?

    “Menurut saya, seharusnya tidak.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizki Nugraha

    (ita/ita)