Negara: Mesir

  • Mengerikan! Perang Saudara di Sudan Dekati Level Genosida

    Mengerikan! Perang Saudara di Sudan Dekati Level Genosida

    Jakarta

    Waktu kian mendesak bagi jutaan manusia di Sudan, tulis Perserikatan Bangsa-bangsa, PBB, dan organisasi kemanusiaan internasional dalam sebuah pernyataan bersama belum lama ini. Ancaman bencana kelaparan meningkat drastis di tengah berkecamuknya perang saudara.

    Sudah sejak setahun silam, negeri di Tanduk Afrika itu terkoyak oleh pertarungan dua jendral, yang tak segan menghentikan atau membajak pengiriman bantuan kemanusiaan bagi warga sipil.

    Bencana terutama mengintai di wilayah Darfur, kata Alice Nderitu, utusan khusus PBB untuk pencegahan genosida. Menurutnya, apa yang terjadi di barat Sudan sudah mencapai dimensi pembersihan etnis, kata Nderitu, dalam keterangan di hadapan Dewan Keamanan PBB, beberapa hari silam.

    “Kaum sipil diserang dan dibunuh karena warna kulitnya, karena asal usul etnisnya.”

    Gambaran serupa dilaporkan organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas, MSF, “kami melihat dengan mata kepala sendiri pertumpahan darah yang terjadi,” kata Claire Nicolet, salah seorang petinggi MSF.

    Menurut organisasi yang pernah mendapat Nobel Perdamaian pada 1999 silam itu, sedikitnya 145 orang dibunuh dan 700 mengalami luka-luka sejak tanggal 10 Mei. Saat ini, organisasi bantuan internasional tidak lagi bisa bekerja di lapangan lantaran besarnya risiko serangan bersenjata.

    Gawat di al Fashir

    Situasi dramatis dilaporkan di al Fashir, ibu kota negara bagian Darfur Utara. Ke sana lah jutaan warga sipil mencari perlindungan dari perang yang berkobar di pedalaman.

    “Di sana, bencana kelaparan sudah di depan mata,” kata Marina Peter, direktur Forum Sudan dan Sudan Selatan, sebuah organisasi kemanusiaan di Eropa. Penaklukkan al Fashir oleh RSF akan memicu gelombang pengungsi baru. Kelangkaan dan inflasi harga bahan pangan juga melanda kota-kota yang dikuasai oleh milisi binaan Hemeti.

    “Mereka yang punya sedikit uang, mungkin bisa meninggalkan kota jika mereka beruntung. Tapi kaum miskin akan dibantai,” kata Marina Peter.

    Aliansi rapuh

    Menurutnya, RSF menggunakan taktik brutal untuk meneror warga sipil agar mau bergabung. “Al Fashir pada dasarnya adalah rantai terakhir yang menyatukan Sudan. Jika direbut RSF, maka Sudan akan terbelah dua, yang berarti bencana secara politis,” imbuhnya lagi.

    Brutalitas militer Sudan dan RSF membiaskan ketergesaan, menurut analisa lembaga penelitian International Crisis Group, ICG. Karena menurut para analis, semakin lama konflik berkecamuk, semakin rapuh pula aliansi yang dijalin kedua jendral dengan milisi-milisi lokal.

    Kerapuhan itu menyulitkan SAF dan RSF untuk mengendalikan milisi-milisi binaan mereka, yang kini semakin leluasa menebar prahara. “Konflik ini sudah memasuki fase baru yang lebih berbahaya, di mana Sudan semakin tercerai-berai,” tulis organisasi yang bermarkas di Brussels, Belgia, itu.

    Intervensi dunia internasional

    Bantuan bagi militer Sudan datang dari luar negeri. Menjelang akhir tahun lalu, Jendral al-Burhan melobi Iran untuk mengirimkan senjata. Sejak itu, SAF rajin menerbangkan drone tempur untuk menyerang posisi RSF. Pengakuan juga diumumkan Mesir dan Arab Saudi bagi pemerintahan junta di Khartoum.

    “Seseorang seperti dia lah yang ingin dilihat Mesir dan Arab Saudi di puncak pemerintahan sebuah negara,” kata analis Sudan, Marina Peter.

    Mesir dan Sudan juga dikaitkan oleh ideologi yang sama, kata pakar politik Afrika Hager Ali dari Institut Penelitian GIGA, Jerman, yang baru-baru ini merilis analisa terkait situasi di Sudan. “Mesir tidak bekerja sama dengan RSF, karena mereka tidak dianggap sebagai aktor negara.”

    Sebab itu pula, pentolan RSF Hemeti memposisikan diri sebagai pemberontak kemerdekaan. Melalui cara itu, dia bisa mendulang dukungan Uni Emirat Arab, termasuk juga Rusia, yang dijanjikan hak penambangan atas cadangan emas Sudan.

    Destabilisasi Sudan

    Namun Moskow kini mulai mengulurkan tangan ke arah SAF, dan akan membangun pangkalan angkatan laut di Port Sudan. Selain itu, delegasi Rusia juga telah bertemu dengan petinggi junta pada akhir April silam.

    “Baik UEA atau Rusia ingin memperluas pengaruhnya di Sudan,” kata Hager Ali. Di Sudan, kedua negara memadu kepentingan ekonomi atas cadangan sumber daya alam. Selain itu, Sudan terletak strategis dan bisa menjadi labuhan bagi negara luar untuk berjejak di Afrika.

    “Akses diupayakan melalui kerja sama, baik dengan aktor non-negara seperti Hemeti yang memberontak, tapi juga dengan aktor negara melalui jalur diplomasi resmi.”

    Patut dipertimbangkan, aktor-aktor internasional tidak berkepentingan pada solusi konflik atau perdamaian di Sudan. “Bagi semua negara yang terlibat, Sudan adalah gerbang menuju Laut Merah, dan dari Laur Merah menuju Afrika,” kata Ali.

    Sebab itu, akan menguntungkan bagi aktor internasional jika Sudan tidak memiliki administrasi yang berfungsi maksimal, karena melapangkan jalan bagi masuknya pengaruh asing. “Prosesnya akan sangat lebih cepat melalui jalur tidak resmi, seperti misalnya penyelundupan senjata, seperti yang sedang terjadi di Sudan saat ini.”

    “Dalam hal ini, aktor-aktor asing tidak punya kepentingan perdamaian dalam jangka panjang, melainkan pada ketidakstabilan terkendali.”

    rzn/yf

    (ita/ita)

  • AS Desak DK PBB Dukung Resolusi Gencatan Senjata Hamas-Israel

    AS Desak DK PBB Dukung Resolusi Gencatan Senjata Hamas-Israel

    Jakarta

    Amerika Serikat mengumumkan rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendukung rencana gencatan senjata Israel-Hamas, yang diuraikan oleh Presiden Joe Biden pekan lalu, dan mendesak kelompok Hamas untuk menerimanya.

    “Banyak pemimpin dan pemerintahan, termasuk di kawasan ini, telah mendukung rencana ini,” kata Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, dikutip dari AFP dan Al Arabiya, Selasa (4/6/2024).

    Draf teks tersebut, yang dilihat oleh AFP, “menyambut baik kesepakatan baru yang diumumkan pada 31 Mei lalu, dan menyerukan Hamas untuk menerimanya sepenuhnya dan melaksanakan ketentuannya tanpa penundaan dan tanpa syarat.”

    Sebelumnya pada hari Jumat lalu, Biden menguraikan apa yang dia sebut sebagai rencana Israel, yang dalam tiga fase akan mengakhiri perang di Gaza, membebaskan semua sandera dan mengarah pada pembangunan ulang wilayah Palestina tersebut tanpa Hamas berkuasa lagi.

    Namun, perpecahan antara AS dan Israel muncul ketika kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menekankan, bahwa perang yang sedang berlangsung di Gaza akan terus berlanjut sampai semua “tujuan Israel tercapai,” termasuk penghancuran kemampuan militer dan pemerintahan Hamas.

    Media Israel mempertanyakan sejauh mana pidato Biden soal gencatan senjata dan beberapa rincian pentingnya telah dikoordinasikan dengan tim Netanyahu, termasuk berapa lama gencatan senjata akan berlangsung dan berapa banyak tawanan yang akan dibebaskan serta kapan.

    Sebelumnya pada hari Senin, Gedung Putih menyampaikan bahwa Biden mengatakan kepada emir Qatar selaku mediator, bahwa dia melihat Hamas sebagai “satu-satunya hambatan bagi gencatan senjata total” di Gaza.

    Hamas pekan lalu mengatakan mereka memandang positif garis besar gencatan senjata yang disampaikan Biden. Namun sejak itu, Hamas tidak lagi memberikan komentar resmi mengenai negosiasi yang terhenti tersebut, sementara mediator Qatar, Mesir dan Amerika Serikat belum mengumumkan adanya pembicaraan baru.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Gencatan Senjata Permanen di Gaza, Akankah Jadi Nyata?

    Gencatan Senjata Permanen di Gaza, Akankah Jadi Nyata?

    Jakarta

    Desakan agar Israel menyetujui usulan gencatan senjata di Jalur Gaza terus diserukan. Israel akhirnya, merespons desakan gencatan senjata itu.

    Israel dilaporkan telah menawarkan dua proposal kepada para mediator dalam perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza. Namun, dalam proposal itu tidak ada yang mengindikasikan penghentian perang secara permanen.

    Dalam rangkuman detikcom, Minggu (2/6/2024), stasiun televisi Israel, Kan 11, pada Minggu (26/5) lalu menyebutkan bahwa dua proposal berbeda itu telah diajukan kepada mediator, tapi tidak satupun proposal mencakup soal gencatan senjata permanen dalam perang di Jalur Gaza.

    Informasi mengenai proposal terbaru itu mencuat setelah Israel menggelar rapat kabinet perang pada hari yang sama, untuk membahas soal dimulainya kembali perundingan gencatan senjata, dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu disebut “sangat menentang” penghentian perang secara permanen.

    Meskipun detail pasti dari kedua proposal yang diajukan oleh Israel masih belum diketahui secara jelas. Namun disebutkan bahwa kedua proposal itu hanya memiliki sedikit perbedaan, dengan kedua proposal mencerminkan tekad Tel Aviv untuk melanjutkan perang tanpa pandang bulu di Jalur Gaza dan membebaskan para sandera yang masih ditahan oleh Hamas pada saat bersamaan.

    Respons Hamas

    Lalu, bagaimana tanggapan Hamas?

    Dalam sebuah pernyataan, kelompok milisi Palestina itu mengatakan bahwa mereka memandang positif proposal yang diumumkan Biden untuk gencatan senjata permanen di Gaza.

    “Hamas menegaskan kesiapannya untuk menangani secara positif dan konstruktif setiap proposal yang didasarkan pada gencatan senjata permanen dan penarikan penuh [pasukan Israel] dari Jalur Gaza, rekonstruksi [Gaza], dan kembalinya para pengungs. ke tempat mereka, bersamaan dengan pemenuhan kesepakatan pertukaran tahanan jika pihak pendudukan dengan jelas mengumumkan komitmen terhadap kesepakatan tersebut,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan, dilansir Al Arabiya, Sabtu (1/6).

    Selanjutnya Israel tak serius

    Israel Tak Serius Gencatan Senjata

    Diketahui, awal bulan Mei Hamas menerima proposal gencatan senjata yang diajukan Mesir dan Qatar sebagai mediator yang di dalamnya memuat soal pembebasan seluruh sandera Israel. Namun Tel Aviv menolak proposal itu dan terus melanjutkan serangan brutal di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan.

    Proposal baru Israel pada dasarnya sama dengan gencatan senjata yang disepakati dengan Hamas pada November tahun lalu, di mana Tel Aviv menyetujui “gencatan senjata sementara” selama Hamas membebaskan para sandera. Menurut sejumlah laporan, proposal baru ini juga memuat ketentuan bahwa semakin banyak sandera yang dibebaskan Hamas, maka semakin lama gencatan senjata berlangsung.

    Kantor Netanyahu dalam pernyataannya memaparkan posisi negosiasi pemerintah Israel.

    “Sementara Perdana Menteri Netanyahu berulang kali memberikan mandat yang luas kepada tim perunding untuk membebaskan para sandera kami, (pemimpin Hamas Yahya) Sinwar terus menuntut diakhirinya perang, penarikan (pasukan Israel) dari Gaza, dan mempertahankan Hamas seperti sebelumnya, untuk bisa mengulangi kekejaman yang terjadi pada 7 Oktober lalu. Ini adalah hal yang ditolak mentah-mentah oleh Perdana Menteri Netanyahu,” sebut pernyataan itu.

    Dalam pernyataan terpisah, Hamas menyatakan keyakinan mereka bahwa Israel tidak serius untuk memulai kembali perundingan dan mengatakan bahwa Israel hanya sekadar basa-basi terhadap upaya para mediator untuk mengakhiri perang.

    “Kami tidak mempercayai bahwa musuh itu serius dengan keputusannya mengenai negosiasi gencatan senjata di Gaza,” ucap pejabat senior Hamas, Bassem Naim, saat berbicara kepada outlet media Al-Araby Al-Jadeed yang merupakan afiliasi The New Arab.

    “Keputusan yang dikeluarkan oleh kabinet perang Israel untuk mengamanatkan tim perunding tidak lain hanyalah sebuah manuver baru untuk menyelesaikan perang dan memperluas operasi darat,” imbuhnya.

    Keengganan pemerintahan Netanyahu untuk mengakhiri perang secara permanen dan kurangnya keseriusan dalam mencapai kesepakatan pembebasan sandera yang realistis telah memicu reaksi negatif di dalam negeri.

    Pada Sabtu (25/5) dan Minggu (26/5) waktu setempat, para demonstran Israel yang menuntut diakhirinya perang di Jalur Gaza dan menuntut Netanyahu mundur, terlibat bentrokan dengan polisi dalam aksi protes di Tel Aviv.

    Halaman 2 dari 2

    (zap/isa)

  • Israel Kembali Serang Kamp di Rafah Barat, 21 Orang Tewas

    Israel Kembali Serang Kamp di Rafah Barat, 21 Orang Tewas

    Rafah

    Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan Israel terus melakukan serangan ke kamp pengungsi di sebelah barat kota selatan Rafah. Sebanyak 21 orang tewas.

    Dikutip AFP, Selasa (28/5/2024), seorang pejabat senior di badan tersebut, Mohammad al-Mughayyir mengatakan 21 orang tewas dalam “serangan pendudukan yang menargetkan tenda-tenda pengungsi di sebelah barat Rafah”.

    Kelompok Hamas juga mengatakan serangan Israel telah menyebabkan “puluhan orang syahid dan terluka” di daerah tersebut. Saat dimintai komentar mengenai kejadian tersebut, tentara Israel meminta koordinat serangan.

    Serangan Israel pada hari Minggu membakar sebuah kamp yang penuh sesak di Rafah dan menewaskan 45 orang. Serangan itu memicu kemarahan global.

    Israel menggempur Rafah sejak awal Mei yang mengabaikan kekhawatiran akan keselamatan 1,4 juta warga sipil Palestina yang saat itu berlindung di kota tersebut. Sekitar satu juta warga sipil telah meninggalkan kota tersebut, badan pengungsi Palestina PBB (UNRWA) melaporkan pada hari Selasa.

    Seperti diketahui Israel juga merebut sisi Palestina di perbatasan Rafah antara Mesir dan Gaza. Sejak perang 7 Oktober, 1.170 orang di Israel tewas. Hamas juga menyandera 252 orang, 121 di antaranya masih berada di Gaza, termasuk 37 orang yang menurut tentara tewas.

    Kemudian balasan Israel menewaskan sedikitnya 36.096 orang di Gaza, sebagian besar warga sipil, menurut kementerian kesehatan wilayah yang dikelola Hamas.

    (idn/lir)

  • Netanyahu Tawarkan 2 Proposal Gencatan Senjata Gaza, Tanpa Setop Perang

    Netanyahu Tawarkan 2 Proposal Gencatan Senjata Gaza, Tanpa Setop Perang

    Tel Aviv

    Pemerintah Israel dilaporkan telah menawarkan dua proposal kepada para mediator dalam perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza. Namun, tidak ada satupun proposal yang melibatkan penghentian perang secara permanen.

    Seperti dilansir The New Arab, Selasa (28/5/2024), laporan stasiun televisi pemerintah Israel, Kan 11, pada Minggu (26/5) malam, menyebut bahwa dua proposal berbeda itu telah diajukan kepada mediator, tapi tidak satupun proposal mencakup soal gencatan senjata permanen dalam perang di Jalur Gaza.

    Kabar soal proposal terbaru itu mencuat setelah Israel menggelar rapat kabinet perang pada hari yang sama, untuk membahas soal dimulainya kembali perundingan gencatan senjata, dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu disebut “sangat menentang” penghentian perang secara permanen.

    Meskipun detail pasti dari kedua proposal yang diajukan oleh Israel masih belum diketahui secara jelas. Namun disebutkan bahwa kedua proposal itu hanya memiliki sedikit perbedaan, dengan kedua proposal mencerminkan tekad Tel Aviv untuk melanjutkan perang tanpa pandang bulu di Jalur Gaza dan membebaskan para sandera yang masih ditahan oleh Hamas pada saat bersamaan.

    Namun, Hamas sebelumnya menegaskan bahwa setiap kesepakatan pembebasan sandera harus mencakup gencatan senjata permanen di Jalur Gaza.

    Awal bulan ini, Hamas menerima proposal gencatan senjata yang diajukan Mesir dan Qatar sebagai mediator yang di dalamnya memuat soal pembebasan seluruh sandera Israel. Namun Tel Aviv menolak proposal itu dan terus melanjutkan serangan brutal di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan.

    Proposal baru Israel pada dasarnya sama dengan gencatan senjata yang disepakati dengan Hamas pada November tahun lalu, di mana Tel Aviv menyetujui “gencatan senjata sementara” selama Hamas membebaskan para sandera. Menurut sejumlah laporan, proposal baru ini juga memuat ketentuan bahwa semakin banyak sandera yang dibebaskan Hamas, maka semakin lama gencatan senjata berlangsung.

    Kantor Netanyahu dalam pernyataannya memaparkan posisi negosiasi pemerintah Israel.

    “Sementara Perdana Menteri Netanyahu berulang kali memberikan mandat yang luas kepada tim perunding untuk membebaskan para sandera kami, (pemimpin Hamas Yahya) Sinwar terus menuntut diakhirinya perang, penarikan (pasukan Israel) dari Gaza, dan mempertahankan Hamas seperti sebelumnya, untuk bisa mengulangi kekejaman yang terjadi pada 7 Oktober lalu. Ini adalah hal yang ditolak mentah-mentah oleh Perdana Menteri Netanyahu,” sebut pernyataan itu.

    Dalam pernyataan terpisah, Hamas menyatakan keyakinan mereka bahwa Israel tidak serius untuk memulai kembali perundingan dan mengatakan bahwa Israel hanya sekadar basa-basi terhadap upaya para mediator untuk mengakhiri perang.

    “Kami tidak mempercayai bahwa musuh itu serius dengan keputusannya mengenai negosiasi gencatan senjata di Gaza,” ucap pejabat senior Hamas, Bassem Naim, saat berbicara kepada outlet media Al-Araby Al-Jadeed yang merupakan afiliasi The New Arab.

    “Keputusan yang dikeluarkan oleh kabinet perang Israel untuk mengamanatkan tim perunding tidak lain hanyalah sebuah manuver baru untuk menyelesaikan perang dan memperluas operasi darat,” imbuhnya.

    Keengganan pemerintahan Netanyahu untuk mengakhiri perang secara permanen dan kurangnya keseriusan dalam mencapai kesepakatan pembebasan sandera yang realistis telah memicu reaksi negatif di dalam negeri.

    Pada Sabtu (25/5) dan Minggu (26/5) waktu setempat, para demonstran Israel yang menuntut diakhirinya perang di Jalur Gaza dan menuntut Netanyahu mundur, terlibat bentrokan dengan polisi dalam aksi protes di Tel Aviv.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • ICJ Perintahkan Setop Serangan Direspons Israel dengan Bombardir Rafah

    ICJ Perintahkan Setop Serangan Direspons Israel dengan Bombardir Rafah

    Jakarta

    Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) memerintahkan Israel untuk menghentikan serangan di Rafah, Palestina. Israel tidak mengindahkan perintah itu dan tetap membombardir Rafah.

    Dilansir AFP dan Al Arabiya, putusan itu disampaikan pada Jumat (24/5/2024) waktu setempat. Israel didesak menghentikan serangan militernya yang menyebabkan kehancuran fisik.

    Israel harus “segera menghentikan serangan militernya, dan tindakan lain apa pun di Kegubernuran Rafah, yang dapat berdampak pada kondisi kehidupan kelompok Palestina di Gaza yang dapat menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,” kata Mahkamah Internasional.

    Mahkamah Internasional juga memerintahkan Israel untuk tetap membuka penyeberangan Rafah untuk memastikan akses bantuan kemanusiaan “tanpa hambatan”.

    Israel harus “menjaga penyeberangan Rafah tetap terbuka untuk penyediaan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan tanpa hambatan”, kata ICJ dalam keputusan yang ditunggu-tunggu.

    Dalam tanggapannya, Israel tidak memberikan indikasi bahwa mereka bersiap mengubah haluan di Rafah. Israel bersikeras menyebut ICJ telah melakukan kesalahan.

    “Israel belum dan tidak akan melakukan tindakan militer di wilayah Rafah yang bisa berdampak pada kondisi kehidupan penduduk sipil Palestina di Gaza yang dapat menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,” tegas Penasihat Keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi, dalam pernyataan bersama dengan juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel.

    Mengenai putusan ICJ yang memerintahkan Israel untuk tetap membuka perlintasan perbatasan Rafah, yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir, Isarel memberikan tanggapan. Jalur tersebut awal bulan ini ditutup saat dimulainya serangan Tel Aviv terhadap Rafah.

    “Israel akan terus mengizinkan perlintasan perbatasan Rafah tetap terbuka untuk masuknya bantuan kemanusiaan dari sisi perbatasan Mesir, dan akan mencegah kelompok-kelompok teror mengendalikan jalur tersebut,” tegas pemerintah Israel dalam pernyataannya.

    Afrika Selatan membawa kasus ini ke hadapan ICJ tahun lalu dengan tuduhan yang menyebut serangan Israel terhadap Jalur Gaza melanggar Konvensi Genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948. Tuduhan itu telah dibantah mentah-mentah oleh Tel Aviv.

    “Tuduhan genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional di Den Haag adalah keliru, keterlaluan dan menjijikkan secara moral,” tegas pemerintah Israel dalam pernyataannya.

    Israel Bombardir Rafah

    Beberapa jam usai putusan ICJ diumumkan, militer Israel terdeteksi melancarkan serangan terbaru terhadap Jalur Gaza pada Sabtu (25/5) pagi waktu setempat. Serangan udara itu dilancarkan saat pertempuran antara pasukan Tel Aviv dan sayap bersenjata Hamas terus berlanjut.

    Sejumlah saksi mata warga Palestina dan tim AFP yang ada di Jalur Gaza melaporkan rentetan serangan udara Israel menghantam wilayah Rafah dan Deir al-Balah.

    “Kami mengharapkan putusan pengadilan akan memberikan tekanan pada Israel untuk mengakhiri perang pemusnahan ini, karena tidak ada lagi yang tersisa di dini,” ucap seorang warga Palestina bernama Oum Mohammad Al-Ashqa, yang berasal dari Gaza City dan terpaksa mengungsi ke Deir al-Balah.

    Seorang warga Palestina lainnya bernama Mohammed Saleh, yang ditemui AFP di area tersebut, meragukan Israel akan menghentikan serangannya.

    “Tapi Israel adalah negara yang menganggap dirinya kebal hukum. Oleh karena itu, saya tidak meyakini bahwa serangan atau perang akan berhenti kecuali dengan kekerasan,” ujarnya kepada AFP.

    Belum diketahui apakah ada kerusakan atau korban jiwa akibat serangan udara terbaru Israel tersebut.

    Pasukan darat militer Israel mulai memasuki Rafah pada awal Mei lalu, mengabaikan seruan dunia untuk tidak menginvasi kota paling selatan di Jalur Gaza tersebut. Tel Aviv bersikeras mengatakan bahwa serangan terhadap Rafah diperlukan untuk memusnahkan sisa-sisa batalion Hamas yang bersembunyi di area itu.

    Dalam operasinya, tentara Israel berhasil mengambil alih sisi Palestina pada perlintasan perbatasan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir, sehingga memperlambat penyaluran bantuan kemanusiaan untuk 2,4 juta penduduk daerah kantong Palestina tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • Israel Bombardir Rafah Usai ICJ Perintahkan Setop Serangan

    Israel Bombardir Rafah Usai ICJ Perintahkan Setop Serangan

    Rafah

    Militer Israel membombardir wilayah Jalur Gaza, termasuk Rafah, pada Sabtu (25/5) waktu setempat. Pengeboman dilakukan sehari setelah Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan operasi militer di Rafah yang menjadi tempat perlindungan para pengungsi Palestina.

    Seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Sabtu (25/5/2024), ICJ dalam putusannya pada Jumat (24/5) memerintahkan Israel “segera menghentikan serangan militernya, dan tindakan apa pun lainnya di wilayah Rafah yang bisa berdampak pada kondisi kehidupan kelompok Palestina di Gaza yang bisa menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian”.

    Ditegaskan juga oleh ICJ dalam putusannya bahwa Israel harus “menjaga perlintasan perbatasan Rafah tetap terbuka untuk penyediaan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan tanpa hambatan”. Perlintasan perbatasan Rafah ditutup awal bulan ini saat Tel Aviv mulai menyerang kota tersebut.

    ICJ juga menuntut pembebasan segera semua sandera yang masih ditahan Hamas di wilayah Jalur Gaza.

    Putusan pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkantor di Den Haag, Belanda itu bersifat mengikat secara hukum, namun tidak memiliki mekanisme penegakan langsung. Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa putusan ICJ harus dipatuhi oleh pihak-pihak terkait.

    Dalam tanggapannya, Israel tidak memberikan indikasi bahwa mereka bersiap mengubah haluan di Rafah, dan bersikeras menyebut ICJ telah melakukan kesalahan.

    “Israel belum dan tidak akan melakukan tindakan militer di wilayah Rafah yang bisa berdampak pada kondisi kehidupan penduduk sipil Palestina di Gaza yang dapat menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,” tegas Penasihat Keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi, dalam pernyataan bersama dengan juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel.

    Beberapa jam usai putusan ICJ diumumkan, militer Israel terdeteksi melancarkan serangan terbaru terhadap Jalur Gaza pada Sabtu (25/5) pagi waktu setempat. Serangan udara itu dilancarkan saat pertempuran antara pasukan Tel Aviv dan sayap bersenjata Hamas terus berlanjut.

    Simak laporan soal serangan terbaru Israel terhadap Rafah di halaman berikutnya.

    Sejumlah saksi mata warga Palestina dan tim AFP yang ada di Jalur Gaza melaporkan rentetan serangan udara Israel menghantam wilayah Rafah dan Deir al-Balah.

    “Kami mengharapkan putusan pengadilan akan memberikan tekanan pada Israel untuk mengakhiri perang pemusnahan ini, karena tidak ada lagi yang tersisa di dini,” ucap seorang warga Palestina bernama Oum Mohammad Al-Ashqa, yang berasal dari Gaza City dan terpaksa mengungsi ke Deir al-Balah.

    Seorang warga Palestina lainnya bernama Mohammed Saleh, yang ditemui AFP di area tersebut, meragukan Israel akan menghentikan serangannya.

    “Tapi Israel adalah negara yang menganggap dirinya kebal hukum. Oleh karena itu, saya tidak meyakini bahwa serangan atau perang akan berhenti kecuali dengan kekerasan,” ujarnya kepada AFP.

    Belum diketahui apakah ada kerusakan atau korban jiwa akibat serangan udara terbaru Israel tersebut.

    Pasukan darat militer Israel mulai memasuki Rafah pada awal Mei lalu, mengabaikan seruan dunia untuk tidak menginvasi kota paling selatan di Jalur Gaza tersebut. Tel Aviv bersikeras mengatakan bahwa serangan terhadap Rafah diperlukan untuk memusnahkan sisa-sisa batalion Hamas yang bersembunyi di area itu.

    Dalam operasinya, tentara Israel berhasil mengambil alih sisi Palestina pada perlintasan perbatasan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir, sehingga memperlambat penyaluran bantuan kemanusiaan untuk 2,4 juta penduduk daerah kantong Palestina tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Diperintahkan ICJ Setop Serangan ke Rafah, Israel Bilang Begini

    Diperintahkan ICJ Setop Serangan ke Rafah, Israel Bilang Begini

    Tel Aviv

    Israel menanggapi putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang memerintahkan negaranya untuk segera menghentikan serangannya di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan. Tel Aviv bersikeras menyatakan operasi militer mereka di Rafah “tidak berisiko memicu kehancuran penduduk sipil Palestina”.

    Seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Sabtu (25/5/2024), ICJ dalam putusan pada Jumat (24/5) waktu setempat menyatakan Israel harus “segera menghentikan serangan militernya, dan tindakan apa pun lainnya di wilayah Rafah yang bisa berdampak pada kondisi kehidupan kelompok Palestina di Gaza yang bisa menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian”.

    Tel Aviv, dalam tanggapannya, menolak dasar-dasar yang diberikan oleh ICJ, dan bersikeras menyatakan operasi militer mereka di Rafah sudah sejalan dengan hukum internasional.

    “Israel belum dan tidak akan melakukan tindakan militer di wilayah Rafah, yang bisa berdampak pada kondisi kehidupan penduduk sipil Palestina di Gaza yang dapat menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,” tegas Penasihat Keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi, dalam pernyataan bersama dengan juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel.

    ICJ dalam putusannya juga memerintahkan Israel untuk tetap membuka perlintasan perbatasan Rafah, yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir, yang awal bulan ini ditutup saat dimulainya serangan Tel Aviv terhadap kota tersebut.

    “Israel akan terus mengizinkan perlintasan perbatasan Rafah tetap terbuka untuk masuknya bantuan kemanusiaan dari sisi perbatasan Mesir, dan akan mencegah kelompok-kelompok teror mengendalikan jalur tersebut,” tegas pemerintah Israel dalam pernyataannya.

    Afrika Selatan membawa kasus ini ke hadapan ICJ tahun lalu dengan tuduhan yang menyebut serangan Israel terhadap Jalur Gaza melanggar Konvensi Genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948. Tuduhan itu telah dibantah mentah-mentah oleh Tel Aviv.

    “Tuduhan genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional di Den Haag adalah keliru, keterlaluan dan menjijikkan secara moral,” tegas pemerintah Israel dalam pernyataannya.

    Putusan ICJ itu bersifat mengikat secara hukum, namun tidak memiliki mekanisme penegakan langsung.

    Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa putusan ICJ itu bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak terkait. “Putusan pengadilan itu bersifat mengikat dan mempercayai para pihak akan mematuhi perintah pengadilan,” tegas Guterres dalam pernyataan via juru bicaranya.

    Selain memerintahkan Israel menghentikan serangannya di Rafah, putusan ICJ juga menuntut pembebasan segera semua sandera yang masih ditahan Hamas di Jalur Gaza.

    “Pengadilan mendapati sangat meresahkan karena banyak sandera yang masih ditahan dan menegaskan kembali seruan agar mereka segera dibebaskan tanpa syarat,” tegas ICJ dalam putusannya.

    Hamas telah menanggapi putusan ICJ itu, dengan melontarkan pujian, namun tidak merespons seruan ICJ soal pembebasan para sandera di Jalur Gaza. Hamas, dalam tanggapannya, justru menyesalkan putusan itu hanya berlaku untuk Rafah dan bukan untuk seluruh wilayah Jalur Gaza.

    Sementara itu, Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyerukan Israel untuk mematuhi perintah tersebut segera.

    Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu terhadap putusan ICJ tersebut. Namun anggota kabinet perang Israel, Benny Gantz, menegaskan Israel tetap berkomitmen untuk terus bertempur “demi memulangkan para sandera dan menjamin keamanan warganya setiap saat dan di mana saja, juga di Rafah”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Perintah ICJ Soal Israel Setop Serang Rafah Harus Dipatuhi

    Perintah ICJ Soal Israel Setop Serang Rafah Harus Dipatuhi

    New York

    Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres menegaskan bahwa putusan Mahkamah Internasional atau ICJ bersifat “mengikat” setelah pengadilan tinggi PBB itu memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militernya di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan.

    Guterres juga mengingatkan bahwa putusan ICJ harus dipatuhi oleh pihak-pihak terkait.

    “Putusan pengadilan itu bersifat mengikat dan mempercayai para pihak akan mematuhi perintah pengadilan,” tegas Guterres dalam pernyataan via juru bicaranya, seperti dilansir AFP, Sabtu (25/5/2024).

    ICJ dalam putusan, yang diumumkan pada Jumat (24/5) waktu setempat, memerintahkan Israel untuk segera menghentikan serangannya di wilayah Rafah. Putusan ini berpotensi meningkatkan tekanan internasional untuk mewujudkan gencatan senjata setelah perang berkecamuk selama tujuh bulan terakhir di Jalur Gaza.

    Putusan ICJ juga menuntut pembebasan segera semua sandera yang masih ditahan Hamas di Jalur Gaza.

    Pengadilan yang berkantor di Den Haag, Belanda itu juga memerintahkan Israel untuk tetap membuka perlintasan perbatasan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza dan Mesir. Perlintasan perbatasan itu ditutup sejak awal bulan ini saat militer Tel Aviv mulai melancarkan serangan darat terhadap Rafah.

    Dalam putusannya yang sangat ditunggu-tunggu, ICJ menyatakan Israel harus “segera menghentikan serangan militernya, dan tindakan apa pun lainnya di wilayah Rafah yang bisa berdampak pada kondisi kehidupan kelompok Palestina di Gaza yang bisa menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian”.

    Ditegaskan juga oleh ICJ dalam putusannya bahwa Israel harus “menjaga perlintasan perbatasan Rafah tetap terbuka untuk penyediaan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan tanpa hambatan”.

    “Pengadilan mendapati sangat meresahkan karena banyak sandera yang masih ditahan dan menegaskan kembali seruan agar mereka segera dibebaskan tanpa syarat,” tegas ICJ dalam putusannya.

    Perang yang berkecamuk di Jalur Gaza selama tujuh bulan terakhir dipicu oleh serangan Hamas terhadap wilayah Israel bagian selatan pada 7 Oktober tahun lalu. Dilaporkan otoritas Tel Aviv bahwa serangan Hamas itu menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil.

    Lebih dari 250 orang lainnya, menurut otoritas Israel, diculik dan disandera oleh Hamas di Jalur Gaza. Dengan puluhan orang dibebaskan selama kesepakatan gencatan senjata singkat pada November tahun lalu, Tel Aviv meyakini sekitar 121 sandera masih berada di Jalur Gaza, termasuk 37 orang yang diyakini tewas.

    Sementara itu, rentetan serangan Israel terhadap Jalur Gaza untuk membalas serangan Hamas dilaporkan telah menewaskan lebih dari 35.800 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak.

    Dalam tanggapan terhadap putusan ICJ, Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyerukan Israel untuk mematuhi perintah tersebut segera. Sedangkan Hamas memuji ICJ atas putusannya memerintahkan Tel Aviv menghentikan serangan di Rafah, namun menyesalkan putusan itu hanya berlaku untuk Rafah dan bukan untuk seluruh wilayah Jalur Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Netanyahu Kembali Berulah Sebut Tak Ada Bencana Kemanusiaan di Rafah

    Netanyahu Kembali Berulah Sebut Tak Ada Bencana Kemanusiaan di Rafah

    Tel Aviv

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali berulah. Terbaru, Netanyahu menyebut tak ada bencana kemanusiaan di Rafah, Jalur Gaza, Palestina.

    Netanyahu awalnya menyebut hampir 500.000 orang mengungsi dari Rafah saat ancaman invasi darat membayangi. Netanyahu lalu menepis kekhawatiran dunia soal potensi terjadinya bencana kemanusiaan di Rafah.

    “Upaya kami yang bertanggung jawab telah membuahkan hasil. Sejauh ini, di Rafah, hampir setengah juta orang telah dievakuasi dari zona pertempuran,” ucap Netanyahu dalam pernyataan terbaru, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Kamis (16/5/2024).

    Komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat (AS) yang merupakan sekutu utama Israel, telah mendesak Tel Aviv untuk menahan diri dari serangan darat secara besar-besaran di Rafah. Dunia khawatir serangan itu bakal menimbulkan bencana kemanusiaan di Rafah yang menjadi tempat mengungsi 1,4 juta.

    Namun, Netanyahu bersikeras menyatakan tidak ada bencana kemanusiaan di Rafah. Dia tetap mengabaikan desakan internasional untuk segera melakukan gencatan senjata.

    “Bencana kemanusiaan yang dibahas-bahas tidak terjadi, dan tidak akan terjadi,” tegas Netanyahu.

    Israel telah mengabaikan peringatan internasional, termasuk dari AS, dan mengirimkan pasukan militernya bersama tank-tank ke wilayah Rafah bagian timur untuk memburu militan di sana sejak pekan lalu. PBB menyebut 450.000 orang telah mengungsi dari Rafah sejak Israel mengeluarkan perintah evakuasi untuk wilayah timur area tersebut pada 6 Mei lalu.

    Sekitar 100.000 orang lainnya, menurut PBB, telah meninggalkan rumah-rumah mereka di tengah pertempuran baru yang berkecamuk di Jalur Gaza bagian utara. Hal itu berarti sekitar seperempat penduduk Jalur Gaza telah mengungsi lagi hanya dalam waktu seminggu.

    “Pasukan kami bertempur di seluruh Jalur Gaza. Kami melakukan hal ini sambil mengevakuasi penduduk sipil dan memenuhi komitmen kami terhadap kebutuhan kemanusiaan mereka,” ujar Netanyahu.

    Netanyahu juga menyatakan Israel ingin menghancurkan Hamas sepenuhnya usai serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Jalur Gaza. Serangan Hamas itu menewaskan 1.200 orang di Israel. Sementara, serangan Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 35 ribu orang.

    “Memusnahkan Hamas adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa pada ‘hari berikutnya’, tidak akan ada elemen di Gaza yang mengancam kita,” ujarnya.

    Netanyahu Tuduh Mesir Sandera Warga Gaza

    Netanyahu juga menuduh Mesir ‘menyandera’ warga Jalur Gaza dengan tidak mau bekerja sama dengan Tel Aviv untuk membuka perlintasan perbatasan Rafah. Israel beberapa waktu terakhir menekan Kairo membuka perlintasan perbatasan Rafah, namun negara itu menolak karena mengkhawatirkan hal tersebut dimanfaatkan Tel Aviv untuk mengusir paksa warga Palestina dari Rafah.

    Dilansir AFP dan Al Arabiya, pernyataan Netanyahu itu disampaikan sehari setelah Mesir dengan marah menuding Israel menyangkal tanggung jawab atas krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. Mesir merupakan negara Arab pertama yang berdamai dengan Israel dan menjadi tuan rumah perundingan gencatan senjata serta pembebasan sandera yang kini berujung kebuntuan.

    Perlintasan perbatasan Rafah menghubungkan Jalur Gaza bagian selatan dengan wilayah Mesir. Perlintasan Rafah menjadi pintu gerbang utama bagi masuknya barang juga orang ke daerah kantong Palestina tersebut.

    Perlintasan perbatasan Rafah di sisi Gaza telah ditutup sejak militer Israel pada 7 Mei lalu mengumumkan pasukannya berhasil mengambil alih perlintasan perbatasan itu dari Hamas. Mesir pun menolak untuk berkoordinasi dengan Israel mengenai perlintasan perbatasan Rafah karena mengkhawatirkan pengambilalihan itu menjadi bagian dari upaya Netanyahu melancarkan serangan darat di dalam Rafah.

    “Kami ingin melihatnya terbuka,” ucap Netanyahu dalam wawancara dengan media AS, CNBC.

    “Saya berharap kami bisa mencapai kesepahaman (dengan Mesir),” imbuhnya.

    Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Netanyahu mengatakan perlintasan perbatasan Rafah akan dibuka ‘kemarin’ jika semuanya bergantung pada Israel.

    “Maksud saya, itu bukan masalah kami. Kami tidak menunda pembukaan Rafah. Saya berharap Mesir mempertimbangkan apa yang saya katakan sekarang,” ujarnya.

    “Tidak seorang pun boleh menyandera penduduk Palestina dengan cara apa pun dan saya tidak menyandera mereka. Saya pikir tidak ada pihak yang seharusnya melakukan itu,” ujar Netanyahu merujuk pada Mesir.

    Klaim Setengah Korban Tewas di Gaza Adalah Hamas

    Netanyahu juga mengklaim hampir setengah korban tewas dalam perang Gaza merupakan pejuang Hamas. Netanyatu menyebut jumlah korban jiwa keseluruhan lebih rendah ketimbang data dari pihak berwenang Palestina.

    Dilansir AFP, pernyataan itu diucapkan Netanyahu dalam sebuah podcast ‘Call Me Back’. Dia meremehkan jumlah korban sipil yang telah memicu kemarahan global.

    Data Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas, setidaknya 35.091 orang telah tewas di wilayah tersebut selama lebih dari tujuh bulan perang antara Israel dan militan Palestina.

    Namun, Netanyahu menyatakan bahwa jumlah korban tewas di Gaza sekitar 30.000. Dia juga menyebut pejuang Hamas menyumbang hampir setengah dari jumlah korban tersebut.

    Pihak berwenang Gaza tidak memberikan gambaran umum mengenai jumlah militan Palestina yang tewas, namun berulang kali mengatakan bahwa sebagian besar korban tewas dalam perang tersebut adalah perempuan dan anak-anak. PBB dan banyak negara telah menyuarakan kekhawatiran atas jumlah kematian warga sipil.

    Netanyahu bersikeras kepada podcaster Dan Senor bahwa Israel ‘mampu menjaga rasio warga sipil dan kombatan yang terbunuh… (menjadi) rasio sekitar satu banding satu’.

    “Empat belas ribu orang tewas, kombatan, dan mungkin sekitar 16.000 warga sipil tewas,” katanya.

    Dia memberikan angka serupa pada bulan Maret saat wawancara dengan Politico, pada saat Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan jumlah korban jiwa sedikitnya 31.045 orang. Netanyahu mengklaim saat itu jumlah tersebut termasuk 13.000 militan dan jumlah warga sipil ‘jauh kurang dari’ 20.000.

    Komentar terbarunya ini muncul di saat meningkatnya tekanan dari pemasok militer utama Israel, AS, mengenai jumlah korban jiwa di pihak Palestina dalam perang tersebut. Washington telah menghentikan pengiriman 3.500 bom, dan Presiden AS Joe Biden memperingatkan dia akan berhenti memasok peluru artileri dan senjata lainnya jika Israel melakukan invasi besar-besaran ke Rafah.

    Laporan Departemen Luar Negeri AS pada hari Jumat menyebut ‘menilai secara masuk akal’ bahwa Israel telah menggunakan senjata Amerika dengan cara yang tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia, namun Amerika Serikat tidak dapat mencapai ‘temuan yang meyakinkan’.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini