Negara: Mesir

  • Menag Nasaruddin Umar Singgung Banyak Orang Ngaku Ulama Hanya Modal Kartu Nama

    Menag Nasaruddin Umar Singgung Banyak Orang Ngaku Ulama Hanya Modal Kartu Nama

    loading…

    Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan banyak orang mengaku ulama dengan hanya bermodalkan kartu nama, padahal minim pengetahuan. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan banyak orang mengaku ulama dengan hanya bermodalkan kartu nama, padahal minim pengetahuan. Bahkan, tidak punya kapasitas.

    “Hanya modalnya cetak kartu nama, sudah modal haji, kiai haji, dan lantas menggunakan pakaian sorban, sangat-sangat berwibawa. Padahal background-nya sangat-sangat minim. Jadilah ulama besar dalam masyarakat kita,” kata Menag saat membuka Wisuda dan Pengukuhan Kader Ulama Masjid istiqlal ke-1 2024 di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, dikutip Jumat (13/12/2024).

    “Apa jadinya masyarakat Indonesia kalau guru agama Islamnya tidak capable. Maka otomatis umatnya pun juga tidak akan menjadi umat yang maksimum. Karena itu, pendidikan kader ulama akan kita jadikan semacam standar,” tambahnya.

    Pendidikan Kader Ulama-Masjid Istiqlal (PKU-MI) memberikan beasiswa jenjang magister dan doktoral bekerja sama dengan Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan pembiayaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Beasiswa ini diperuntukan bagi calon ulama.

    Sosok yang juga merupakan Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengungkapkan harapannya kepada para wisudawan-wisudawati. “Kalian adalah sarjana pertama (alumni PKU-MI pertama) yang dicetak oleh Indonesia. Jangan sampai mengecewakan Indonesia. Tapi kalian kebanggaan bahwa semenjak ada Pendidikan Kader Ulama, maka semenjak itu ada perkembangan baru dalam dunia intelektual muslim di Indonesia,” pungkasnya.

    Para wisudawan-wisudawati ini telah menyelesaikan program pendidikan formal setingkat magister di universitasnya masing-masing, dan menempuh short course selama 3-6 bulan di Amerika Serikat, Maroko, atau Mesir dalam program PKU-MI.

    (rca)

  • Momen kader Fatayat NU komplain dipanggil ibu-ibu oleh Wapres

    Momen kader Fatayat NU komplain dipanggil ibu-ibu oleh Wapres

    Jakarta (ANTARA) – Acara pembukaan Konferensi Besar Fatayat Nahdlatul Ulama di Jakarta, Jumat, dipenuhi gelak tawa saat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendapat komplain dari kader organisasi tersebut karena menyapa dengan sebutan ibu-ibu.

    Sejak awal memberikan sambutan, Wapres Gibran sudah menyapa para kader dengan sebutan ibu-ibu Fatayat NU.

    “Ibu Ketua Umum Fatayat NU beserta jajarannya. Para tokoh agama, kiai, ibu nyai yang hadir. Selamat pagi semua ibu-ibu,” sapa Gibran di Jakarta, Jumat.

    Sapaan ibu itu dikeluhkan para kader Fatayat NU yang menghendaki Wapres menyapa kader dengan sebutan sahabat.

    “Pagi sahabat. Sahabat,” kata Wapres seraya tersenyum.

    Para kader pun meminta Wapres mengulangi sapaan kepada mereka. “Ya sudah, selamat pagi para sahabat,” ujar Wapres disambut tawa kader.

    Gibran menyampaikan salam hangat Presiden RI Prabowo Subianto kepada para kader dan berterima kasih kepada Fatayat NU yang sejak awal sampai titik saat ini masih membersamai Presiden Prabowo dan dirinya.

    Wapres lalu kembali lupa menyapa kader Fatayat NU dengan sebutan sahabat.

    “Terima kasih sekali untuk ibu-ibu, sahabat-sahabat Fatayat NU. Terakhir kita ketemu pada saat kampanye kemarin,” ujar Gibran​​​​​​​

    Wapres lalu bertanya siapa kader Fatayat yang hadir di lokasi yang berasal dari daerah paling jauh.

    Dalam acara itu hadir perwakilan kader Fatayat NU dari berbagai daerah, termasuk Merauke, Papua, hingga Manokwari. Ada pula kader dari luar negeri yang mengikuti acara secara daring, dari Turki dan Mesir.

    “Ini dedikasinya ibu-ibu (luar biasa),” ujar Gibran.

    Karena dirasa terus mengulangi sapaan ibu-ibu, para kader kembali melayangkan komplain kepada Wapres Gibran dan meminta disapa dengan sebutan sahabat.

    “Haduh salah terus ya. Sahabat. Sahabat-sahabat Fatayat NU,” ujar Wapres Gibran.

    Pada kesempatan itu Wapres menyatakan wanita merupakan tiang negara yang memiliki peran penting dalam kehidupan.

    Gibran mengatakan perempuan yang ada di Kabinet Merah Putih berjumlah 16 orang, di antaranya menjabat sebagai menteri, wakil menteri hingga Utusan Khusus Presiden.

    Wapres menyampaikan pemerintah terus berupaya memberikan perlindungan dan memperkuat peran perempuan dalam pembangunan nasional, baik melalui peningkatan kualitas hidup maupun penambahan gizi anak, ibu hamil dan menyusui.

    Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Mengapa Israel Serang Suriah Setelah Assad Tumbang?

    Mengapa Israel Serang Suriah Setelah Assad Tumbang?

    Jakarta

    Israel telah melancarkan serangan udara terhadap pangkalan militer Suriah dan mengerahkan pasukan ke zona penyangga demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan, memperluas jumlah wilayah Suriah yang berada di bawah kendali Israel.

    Israel mengatakan pihaknya mengambil langkah-langkah ini untuk menjamin keamanan warga negaranya, tetapi sejumlah pihak mengatakan Israel sedang mengambil kesempatan untuk melemahkan musuh lama.

    Serangan apa yang telah dilakukan Israel?

    BBC

    Pengawas Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) yang berbasis di Inggris mengatakan telah mendokumentasikan lebih dari 310 serangan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sejak jatuhnya rezim Assad pada hari Minggu (08/12).

    Serangan tersebut dilaporkan menargetkan fasilitas militer tentara Suriah yang terletak di Aleppo di utara Suriah hingga Damaskus di selatan.

    Target serangan Israel termasuk gudang senjata, depot amunisi, bandara, pangkalan angkatan laut, dan pusat penelitian.

    Rami Abdul Rahman, pendiri SOHR, mengatakan serangan tersebut telah menghancurkan “semua kemampuan tentara Suriah”.

    Apa kekhawatiran Israel tentang senjata kimia?

    AFPDugaan serangan kimia di Douma, dekat Damaskus, oleh pasukan pro-Assad pada 2018.

    Israel khawatir mengenai siapa yang mungkin mendapatkan senjata kimia yang diduga milik Bashar al-Assad.

    Tidak diketahui di mana atau berapa banyak senjata kimia yang dimiliki Suriah, tetapi diyakini mantan Presiden Bashar al-Assad menyimpannya.

    Pada hari Senin (09/12), pengawas kimia PBB memperingatkan pihak berwenang di Suriah untuk memastikan bahwa semua yang mereka miliki aman.

    Ake Sellstrom, mantan kepala inspektur senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Suriah yang kini menjadi profesor madya histologi di Universitas Umea di Swedia, mengatakan bahwa Israel telah menargetkan kemampuan senjata kimia Suriah dengan serangan udaranya.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    “Yang dilakukan Israel adalah merampas aset,” katanya kepada BBC.

    “Aset ini bisa berupa orang, fasilitas, atau peralatan.

    Pasukan yang setia kepada Bashar al-Assad diketahui telah menggunakan gas sarin dalam serangan di pinggir ibu kota Damaskus, Ghouta, pada 2013, yang diperkirakan telah menewaskan lebih dari seribu orang.

    Mereka juga dituduh menggunakan senjata kimia seperti gas sarin dan gas klorin dalam serangan lain beberapa tahun kemudian.

    Baca juga:

    Dr Sellstrom mengatakan pasukan pemberontak mungkin juga memiliki persediaan senjata kimia, karena mereka diketahui telah menggunakannya sebelumnya terhadap musuh-musuh mereka di Suriah.

    “Assad memiliki senjata-senjata ini untuk menunjukkan kekuatannya dalam konflik dengan Israel, tetapi tidak akan pernah menggunakannya secara langsung. Sekarang Anda memiliki pemerintahan yang sama sekali berbeda.

    “Israel akan membereskan apa pun yang mereka miliki dalam hal senjata kimia.”

    Apa yang dilakukan Israel di Dataran Tinggi Golan?

    BBC

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengumumkan pasukannya berhasil merebut kendali zona penyangga demiliterisasi di Dataran Tinggi Golanmemperluas jumlah wilayah Suriah yang didudukinya di wilayah ini.

    Netanyahu mengatakan ini adalah “posisi pertahanan sementara sampai ditemukan pengaturan yang sesuai.”

    “Israel mengatakan bahwa mereka ingin mencegah serangan seperti serangan Hamas pada 7 Oktober terjadi dari pihak Suriah,” kata Profesor Gilbert Achcar dari Universitas SOAS London.

    “Tetapi ini adalah kesempatan untuk bergerak maju dan menghentikan pasukan lain bergerak mendekati perbatasan zona pendudukan.”

    Getty ImagesAsap mengepul menyusul serangan udara di Damaskus pada Selasa (10/12) pagi

    Perebutan zona penyangga demiliterisasi oleh Israel dikecam habis-habisan oleh negara-negara Arab.

    Kementerian Luar Negeri Mesir menggambarkan tindakan Israel sebagai “pendudukan wilayah Suriah dan pelanggaran terhadap Perjanjian Pelepasan 1974”.

    Sementara sejumlah laporan yang beredar di Suriah mengeklaim bahwa Israel telah melampaui zona penyangga, bahkan berada dalam jarak 25 km dari Damaskus.

    Kendati begitu, sumber militer Israel membantah klaim ini.

    Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengakui untuk pertama kalinya bahwa pasukannya beroperasi di luar zona penyangga demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan, tetapi juru bicara IDF Nadav Shoshani mengatakan serangan Israel tidak berlanjut lebih jauh.

    Baca juga:Apa itu Dataran Tinggi Golan dan siapa yang mendudukinya?

    Dataran Tinggi Golan adalah dataran tinggi berbatu di barat daya Suriah, yang telah diduduki oleh Israel selama lebih dari setengah abad.

    Dalam perang Timur Tengah pada 1967, Suriah membombardir Israel dari ketinggian, tetapi Israel dengan cepat memukul mundur pasukan Suriah dan mengambil alih sekitar 1.200 kilometer persegi wilayah tersebut, yang kemudian berada di bawah kendali militer.

    Suriah mencoba merebut kembali Dataran Tinggi Golan selama perang Timur Tengah (Yom Kippur) tahun 1973, namun upaya itu gagal.

    Kedua negara akhirnya menandatangani gencatan senjata pada 1974, dan pasukan pengamat PBB telah ditempatkan di garis gencatan senjata sejak 1974.

    Akan tetapi, Israel mencaplok wilayah itu pada 1981, dalam suatu tindakan yang tidak diakui oleh sebagian besar masyarakat internasional.

    Getty ImagesMiliter Israel memperkuat pasukan darat saat mobilitas militer berlanjut di Dataran Tinggi Golan, Israel pada 9 Desember 2024.

    Suriah mengatakan tidak akan membuat kesepakatan damai dengan Israel kecuali negara itu menarik diri dari seluruh Dataran Tinggi Golan.

    Sebagian besar penduduk Arab Suriah di Dataran Tinggi Golan telah meninggalkan daerah itu selama perang pada 1967.

    Saat ini terdapat lebih dari 30 permukiman Israel di wilayah Golan, yang merupakan rumah bagi sekitar 20.000 orang. Israel mulai membangunnya segera setelah berakhirnya konflik tahun 1967.

    Permukiman itu dianggap ilegal menurut hukum internasional, meskipun Israel membantahnya.

    Para pemukim tinggal bersama sekitar 20.000 warga Suriahsebagian besar dari mereka berasal dari sekte Druze, yang memutuskan bertahan di sana ketika Golan direbut Israel.

    Apakah kekhawatiran Israel beralasan?

    EPAPasukan Israel dikerahkan di dekat pagar keamanan dekat desa Druze Majdal Shams, di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, pada 8 Desember 2024.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa pendudukan IDF di zona penyangga di Dataran Tinggi Golan bersifat sementara, namun penarikan pasukan dari wilayah itu akan tergantung pada sikap pemerintahan Suriah berikutnya.

    “Jika kami dapat membangun hubungan bertetangga dan hubungan damai dengan kekuatan baru yang muncul di Suriah, itulah keinginan kami,” katanya.

    “Namun jika tidak, kami akan melakukan apa pun untuk mempertahankan Negara Israel dan perbatasan Israel.”

    “Yang ada dalam pikiran Israel adalah kemungkinan adanya serangan ke Golan oleh pasukan di Suriah dan untuk memastikan tidak ada kemungkinan itu, Israel telah maju lebih jauh,” kata Dr HA Hellyer dari Royal United Services Institute, lembaga pemikir yang berpusat di London.

    “Namun, Israel sebelumnya menduduki wilayah di Dataran Tinggi Golan sebagai tindakan keamanan dan kemudian membentenginya. Israel mungkin akan melakukannya lagi.”

    Getty ImagesSeorang tentara Israel di atas tank di pagar perbatasan di sepanjang zona penyangga dengan Suriah terlihat dari Dataran Tinggi Golan, pada Rabu, 11 Desember 2024.

    Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar mengatakan serangan udara terhadap pangkalan militer Suriah dilakukan semata-mata untuk membela warganya.

    “Itulah sebabnya kami menyerang sistem persenjataan strategis seperti, misalnya, senjata kimia yang tersisa atau rudal dan roket jarak jauh agar tidak jatuh ke tangan para ekstremis,” katanya.

    Namun, kata Prof Achcar: “Senjata kimia tidak tersebar luas di Suriah. Senjata itu hanya ada di dua atau tiga tempat. Namun dengan lebih dari 300 serangan udara, Anda mencoba membuat negara itu jauh lebih lemah.”

    Israel menganggap Bashar al-Assad sebagai “setan yang mereka kenal”, katanya, tetapi tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.

    “Mereka memperkirakan Suriah akan terpecah antara faksi-faksi yang bertikai, seperti Libya, dan takut akan munculnya faksi yang memusuhi Israel.

    “Mereka ingin mencegah faksi seperti itu menggunakan senjata tentara Suriah untuk melawannya.”

    (ita/ita)

  • Terus Hajar Suriah, Modus Baru Israel Menggambar Ulang Peta Timur Tengah Sesuai Seleranya Sendiri – Halaman all

    Terus Hajar Suriah, Modus Baru Israel Menggambar Ulang Peta Timur Tengah Sesuai Seleranya Sendiri – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM – Ada modus baru Israel di balik serangan militernya yang masif terhadap Suriah. Israel ingin menggambar ulang peta Timur Tengah sesuai rancangannya sendiri.

    Menyusul serangan barunya terhadap Suriah, para pemimpin Israel dan sebagian besar medianya menggembar-gemborkan terciptanya Timur Tengah baru. 

    Sejak kaburnya mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad ke Moskow pada hari Minggu lalu, Israel telah melancarkan ratusan serangan terhadap Suriah yang menjadi negara tetangganya langsung itu.

    Israel mengklaim hal ini perlu mereka lakukan untuk kepentingan menjaga pertahanannya.

    Namun sejarah membuktikan, Israel sudah menyerang Suriah setidaknya sejak Januari 2013 dan tidak ada sanksi internasional terhadap perbuatannya itu.

    Termasuk pula, ketika Israel mengebom konvoi senjata Suriah dan menewaskan dua orang.

    Sejak saat itu, Israel terus-menerus menyerang Suriah, biasanya mengklaim bahwa mereka menargetkan posisi musuh-musuhnya seperti Hizbullah dan Iran.

    Dalam beberapa hari terakhir, Israel telah melancarkan lebih dari 480 serangan udara ke Suriah.

    Pada saat yang sama, Israel telah memindahkan pasukan daratnya ke zona demiliterisasi yang terletak di wilayah Suriah di sepanjang perbatasan dengan Israel di Dataran Tinggi Golan.

    Tank tentara Israel bermanuver di dekat Garis Alpha yang memisahkan Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel dari Suriah,di kota Majdal Shams, Rabu, 11 Desember 2024. (AP Photo/Matias Delacroix)

    Untuk diketahui sebagian Dataran Tinggi Golan sudah diduduki Israel secara ilegal.

    Israel berkilah menyatakan ingin menciptakan “zona pertahanan steril” dan menyatakan perjanjian tahun 1974 yang menetapkan zona penyangga “runtuh”.

    Serangan ini juga menghantam 15 kapal yang berlabuh di Pelabuhan Mediterania Bayda dan Latakia pada hari Senin, sekitar 600 km jaraknya di utara Dataran Tinggi Golan.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada wartawan pada hari Senin lalu bahwa runtuhnya rezim Suriah adalah akibat langsung dari pukulan telak terhadap kelompok Islam di Suriah. yang telah Israel serang, yakni Hamas, Hizbullah dan Iran.

    Serangan terhadap Suriah, menurut Mairav ​​Zonszein, analis senior di Crisis Group, adalah “campuran antara oportunisme dan strategi”.

    Bahwa Israel harus berusaha untuk menetralisir potensi ancaman terhadap perbatasannya ketika negara tersebut tidak memiliki pertahanan, adalah hal yang “tidak perlu dipikirkan”, namun rencana jangka panjangnya mungkin kurang pasti.

    “Saya pikir apa yang kita lihat dalam kenyataannya adalah strategi yang telah dikembangkan Israel sejak 7 Oktober: mengidentifikasi ancaman atau peluang, mengerahkan pasukan, dan kemudian mencari solusinya.”

    Namun ilmuwan politik Ori Goldberg tidak yakin ada strategi yang berperan dalam hal ini.

    “Ini adalah doktrin keamanan baru kami. Kami melakukan apa pun yang kami inginkan, kapan pun kami mau, dan kami tidak berkomitmen,” katanya dari Tel Aviv.

    “Orang-orang berbicara tentang Israel Raya dan tentang bagaimana Israel mengirimkan sulur-sulurnya ke negara-negara tetangga. Saya tidak melihatnya, ”katanya.

    “Saya pikir ini sebagian besar disebabkan oleh kekacauan, dan kecenderungan [Israel] yang baru – atau bukan baru – untuk melakukan kehancuran.”

    Israel Abaikan Kecaman Dunia

    Israel telah membunuh sedikitnya 48.833 orang selama 14 bulan terakhir. Mereka telah menyerang Iran, sekutunya Hizbullah di Lebanon, lalu menginvasi Lebanon, dan kini menyerang Suriah.

    Sementara menyerang daerah kantong Gaza yang terkepung, sebuah serangan ditemukan sebagai genosida oleh beberapa negara dan organisasi serta badan internasional.

    Tidak peduli dengan jatuhnya korban jiwa, pembicaraan Netanyahu tentang “mengubah wajah Timur Tengah” telah mendapat gaung di sebagian besar media Israel.

    Hari Rabu kemarin, sebuah artikel opini di The Jerusalem Post dengan berani menyatakan, pada tahun lalu, Israel telah melakukan lebih banyak hal untuk stabilitas di Timur Tengah dibandingkan dengan beberapa dekade yang dilakukan badan-badan PBB dan diplomat Barat yang tidak efektif.

    Berbagai negara telah mengkritik serangan Israel terhadap Suriah yang baru dibebaskan, termasuk Mesir, Perancis, Iran, Irak, Qatar, Rusia dan Arab Saudi.

    Gambar ini menunjukkan pasukan militer Israel mengemudi di zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. – Setelah serangan kilat oleh pejuang pemberontak Islam menggulingkan presiden Bashar al-Assad , Israel, yang berbatasan dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri Gideon Saar sebagai “langkah terbatas dan sementara” untuk “alasan keamanan”. (Photo by Jalaa MAREY / AFP) (AFP/JALAA MAREY)

    Sabtu lalu, Liga Arab yang beranggotakan 22 negara mengeluarkan pernyataan yang menuduh Israel berusaha “mengeksploitasi tantangan internal Suriah”.

    PBB, yang mandatnya untuk mengawasi zona penyangga antara Suriah dan Israel berlangsung hingga akhir tahun ini, mengecam pelanggaran hukum internasional ini.

    “Protes PBB sama sekali tidak berarti apa-apa,” kata Golberg, seraya menyatakan bahwa bentrokan berulang kali antara Israel dengan berbagai organisasi internasional adalah bagian dari suasana hati yang menyeluruh di negara tersebut.

    “Kami ingin tetap berpegang pada Manusia,” katanya. “Kami ingin menunjukkan kepada ICJ dan ICC bahwa kami tidak peduli. Bahwa kami akan melakukan apa yang kami inginkan.”

    Seorang tentara menutup gerbang ketika pasukan militer Israel melintasi pagar ke dan dari zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. – Setelah serangan kilat oleh pemberontak Islam pejuang presiden terguling Bashar al-Assad, Israel, yang berbatasan dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri Gideon Saar sebagai a “langkah terbatas dan sementara” untuk “alasan keamanan”. (Photo by Jalaa MAREY / AFP) (AFP/JALAA MAREY)

    Pada hari Rabu, kolumnis The Times of Israel Jeffrey Levine menggambarkan 13 bulan terakhir ini sebagai langkah menuju “Timur Tengah Baru yang Damai dan Sejahtera”.

    Dalam visi Levine, setelah pergeseran tektonik sekitar setahun terakhir, Suriah akan bebas dari manuver geopolitik rezim al-Assad, Iran akan bebas dari “rezim teokratisnya”, dan suku Kurdi akan bebas membentuk negara mereka sendiri, serta warga Palestina akan bebas mendirikan “tanah air” baru di Yordania.

    “Saya tidak berpikir sebagian besar warga Israel membayangkan mereka akan menjadi populer di wilayah ini setelah ini,” kata analis politik Israel Nimrod Flashenberg, meskipun pemulihan hubungan mungkin bisa dilakukan dengan minoritas Kurdi dan Druze di Suriah.

    “Tetapi saya pikir mereka berharap akan terciptanya Timur Tengah di mana akan ada lebih sedikit rezim yang memusuhi Israel,” katanya.

    Sumber: Aljazeera

     

     

  • Arab Saudi Disebut Pendukung Terkuat Rakyat Suriah, Beri Pesan Dukungan dan Tolak Agresi Israel – Halaman all

    Arab Saudi Disebut Pendukung Terkuat Rakyat Suriah, Beri Pesan Dukungan dan Tolak Agresi Israel – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Arab Saudi adalah satu dari beberapa negara Arab yang menunjukkan “dukungan terkuat” bagi rakyat Suriah setelah jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad.

    Hal ini sebagaimana disampaikan perwakilan tetap Suriah untuk PBB, Qusay Al-Dahhak.

    “Dukungan terkuat datang dari negara-negara Arab, terutama dari Arab Saudi,” ujarnya dalam wawancara dengan AlHadath pada Selasa (10/12/2024).

    “Kami menerima banyak pesan dukungan yang menegaskan kembali dukungan mereka terhadap rakyat Suriah dan penolakan terhadap segala bentuk agresi Israel terhadap tanah dan rakyatnya,” jelasnya.

    Dikutip dari Arab News, Bashar al-Assad melarikan diri dari Suriah setelah serangan kilat yang dipelopori kelompok Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) dan sekutunya, yang mengakhiri secara spektakuler lebih dari lima dekade kekuasaan klannya.

    Warga Suriah di seluruh negeri dan dunia bersorak dalam perayaan, setelah mengalami era yang menyesakkan, di mana siapa pun yang dicurigai melakukan perbedaan pendapat dapat dijebloskan ke penjara atau dibunuh.

    Dengan penggulingan Assad yang menjerumuskan Suriah ke dalam ketidakpastian, para pemimpin barunya telah berupaya meyakinkan anggota kelompok minoritas agama di negara itu bahwa mereka tidak akan menindas mereka.

    “Penggantian bendera Suriah di markas besar PBB memiliki protokol yang melibatkan pemerintah dan mengharuskan pemerintah Suriah untuk secara resmi menerapkan bendera baru tersebut agar dapat dikibarkan di gedung tersebut,” ungkap Al-Dahhak.

    “Melalui berbagai kedutaan, perwakilan Suriah bekerja keras untuk membela kepentingan Suriah dan mematuhi semua perintah pejabat yang datang dari Damaskus,” jelasnya.

    “Perdana Menteri Mohammad Al-Bashir memerintahkan kedutaan besar dan diplomat Suriah untuk melindungi kepentingan Suriah.”

    “Di PBB, kami menyebarkan pesan Suriah yang saat ini tengah mengalami perubahan historis sementara rezim baru sedang diberlakukan,” terang Qusay Al-Dahhak.

    Negara-negara Arab Sambut Baik Keputusan di Suriah

    Beberapa negara Arab menyambut baik keputusan di Suriah yang menyebabkan penggulingan rezim Bashar al-Assad dan menyerukan tindakan yang bertujuan untuk memastikan stabilitas, pembangunan, dan mencegah situasi terjerumus ke dalam kekacauan.

    Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan pihaknya “memantau perkembangan pesat di negara sahabat Suriah dan menyatakan kepuasannya dengan langkah-langkah positif yang diambil untuk memastikan keselamatan rakyat Suriah, mencegah pertumpahan darah, dan menjaga lembaga-lembaga negara serta sumber daya Suriah.”

    Dilansir Anadolu Agency, Arab Saudi mengimbau masyarakat internasional “untuk mendukung rakyat Suriah dan bekerja sama dengan mereka dalam segala hal yang melayani Suriah dan memenuhi aspirasi rakyatnya, sambil tidak mencampuri urusan dalam negerinya.”

    Di Qatar, Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa Doha “memantau dengan saksama perkembangan di Suriah” dan menggarisbawahi “perlunya menjaga lembaga-lembaga nasional dan persatuan negara untuk mencegah negara terjerumus ke dalam kekacauan.”

    Qatar menegaskan kembali pendiriannya untuk mengakhiri krisis Suriah sesuai dengan legitimasi internasional dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254, dengan cara yang “melayani kepentingan rakyat Suriah dan menjaga persatuan, kedaulatan, dan kemerdekaan negara mereka.”

    Kementerian Luar Negeri Bahrain juga mengeluarkan pernyataan, yang mencatat bahwa Manama mengikuti dengan saksama perkembangan pesat di Suriah, “menekankan komitmennya terhadap keamanan, stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritorial Suriah.”

    Bahrain menyerukan kepada “semua pihak dan komponen penduduk Suriah untuk memprioritaskan kepentingan tertinggi bangsa dan kesejahteraan warga negaranya sambil memastikan pelestarian lembaga-lembaga publik dan perlindungan infrastruktur vital dan ekonomi.”

    Lalu, Kementerian Luar Negeri Mesir menyatakan bahwa Kairo “mengikuti dengan penuh minat perubahan yang terjadi di Suriah” dan menegaskan kembali dukungannya terhadap kedaulatan Suriah, integritas teritorial, dan persatuan rakyatnya.

    Mesir menyerukan “semua pihak di Suriah, apa pun orientasinya, untuk menjaga sumber daya negara dan lembaga nasional, memprioritaskan kepentingan nasional, menyatukan tujuan dan prioritas, serta memulai proses politik komprehensif untuk membangun fase baru konsensus dan perdamaian internal, memulihkan posisi regional dan internasional Suriah.”

    Di Yordania, Raja Abdullah II mengatakan negaranya “mendukung rakyat Suriah dan menghormati keinginan dan pilihan mereka,” menurut pernyataan dari Pengadilan Kerajaan.

    Raja Abdullah menekankan dalam pertemuan Dewan Keamanan Nasional “perlunya menjaga keamanan Suriah dan keselamatan serta pencapaian warga negaranya dan bekerja segera untuk memastikan stabilitas dan menghindari konflik yang dapat menyebabkan kekacauan.”

    Ia menambahkan bahwa “Yordania selalu mendukung saudara-saudarinya di Suriah sejak awal krisis, menyambut para pengungsi Suriah selama dekade terakhir dan menyediakan mereka pendidikan, perawatan kesehatan dan layanan lainnya, layanan yang sama yang diberikan kepada warga Yordania.”

    Gambar ini menunjukkan pasukan militer Israel mengemudi di zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. (AFP/JALAA MAREY)

    Sementara itu, Dewan Pimpinan Presiden di Yaman mengucapkan selamat kepada rakyat Suriah atas jatuhnya Bashar al-Assad.

    Yaman menegaskan kembali posisinya, mendukung integritas wilayah Suriah, menghormati kemerdekaannya dan keinginan rakyat Suriah untuk kebebasan, perubahan, perdamaian, keamanan dan stabilitas.

    Di Irak, juru bicara pemerintah Basim al-Awadi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Irak “mengikuti perkembangan di Suriah dan terus melakukan kontak internasional dengan negara-negara persaudaraan dan sahabat untuk mendorong upaya menuju stabilitas, keamanan, ketertiban umum, dan perlindungan kehidupan dan harta benda rakyat Suriah.”

    Irak menekankan pentingnya tidak mencampuri urusan dalam negeri Suriah atau mendukung satu pihak di atas pihak lain, karena campur tangan seperti itu hanya akan menyebabkan lebih banyak konflik dan perpecahan.

    Aljazair dalam sebuah pernyataan menyatakan dukungannya terhadap rakyat Suriah, menekankan hubungan yang kuat antara rakyat Aljazair dan Suriah berdasarkan sejarah dan solidaritas bersama.

    Kemudian, Presiden Palestina mengatakan “Palestina dan rakyatnya berdiri bersama rakyat Suriah, menghormati keinginan dan pilihan politik mereka, menjamin keamanan, stabilitas, dan pelestarian pencapaian mereka,” menurut kantor berita resmi Palestina WAFA.

    Hal ini menekankan pentingnya “semua partai politik mengutamakan kepentingan rakyat Suriah, memastikan pemulihan peran penting Suriah di kawasan dan dunia, yang melayani kepentingan rakyat Palestina dan tujuan mulia mereka untuk kebebasan dan kemerdekaan.”

    Diberitakan Al Jazeera, Angkatan udara Israel terus menggempur Suriah, menyerang pelabuhan dan gudang rudal di Latakia dan Tartous, sementara pasukan darat mereka bergerak lebih dalam ke Dataran Tinggi Golan Suriah, yang secara efektif memperluas pendudukan mereka.

    Kelompok hak asasi manusia membunyikan peringatan atas memburuknya kondisi di timur laut, tempat pertempuran antara pasukan yang didukung Turki dan pasukan Kurdi telah menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengungsi.

    Pejuang Suriah membakar makam Hafez al-Assad, ayah Presiden terguling Bashar, di kota Qardaha di Latakia utara.

    Ahmed al-Sharaa, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham, berjanji untuk menutup penjara terkenal rezim al-Assad dan mengamankan lokasi potensial senjata kimia dengan bantuan mitra internasional.

    Perdana Menteri sementara Suriah Mohammed al-Bashir mengatakan salah satu tujuan pertamanya adalah “memulangkan jutaan pengungsi Suriah yang berada di luar negeri” dan berjanji untuk memulihkan dan menjalankan lembaga-lembaga negara.

    Pemerintahan Penyelamatan Suriah yang dipimpin HTS telah menyampaikan rasa terima kasih kepada Mesir, Irak, Arab Saudi, UEA, Yordania, Bahrain, Oman dan Italia karena melanjutkan pekerjaan misi diplomatik mereka di Damaskus.

    Arus pengungsi Suriah yang pulang dari Turki terus berlanjut, dengan seorang koresponden Al Jazeera memperkirakan hingga 700 orang setiap hari menyeberang dari Cilvegozu ke Bab al-Hawa menuju Idlib.

    Puluhan ribu orang diperkirakan akan menghadiri pemakaman aktivis terkemuka Mazen al-Hamada, yang dijadwalkan akan diadakan hari ini di Damaskus.

    Pemerintahan baru Suriah telah mengundang warganya untuk mendaftar bergabung dengan akademi kepolisian yang berlokasi di Idlib atau Aleppo.

    Mohammad Bagher Ghaliba, juru bicara parlemen Iran, telah mengakui bahwa jatuhnya al-Assad di Suriah telah “mengganggu momentum” “poros perlawanan” yang didukung Iran.

    Komite Penyelamatan Internasional memperingatkan bahwa “situasi di dalam Suriah masih sangat buruk” setelah beberapa negara Eropa menangguhkan permohonan suaka ribuan warga Suriah.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Suriah

  • Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Jakarta

    Sebagian warga Suriah yang tinggal di berbagai negara merayakan kejatuhan rezim Presiden Bashar al-Assad. Apa makna peristiwa ini bagi masa depan mereka?

    Seperti banyak warga Suriah, Youssef, yang sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur, merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad. Namun, dia mengaku tidak berkeinginan untuk kembali ke negaranya.

    Laki-laki berusia 25 tahun yang meminta agar nama depannya tidak dipublikasikan itu datang ke Indonesia pada tahun 2021. Dia pergi dari negaranya untuk menjadi pelajar di bidang farmasi.

    “Saya sudah mau lulus,” ujar Youssef kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/12).

    Youssef berasal dari Kota Al Qardahahtempat kelahiran Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal dunia tahun 2000.

    Umur Youssef baru menginjak 11 tahun ketika perang saudara Suriah pecah pada 2011. Kala itu banyak orang terpaksa pindah atau mengungsi dari Suriah.

    “Setengah hidup saya dihabiskan dalam konflik,” ujarnya.

    Pasukan pemerintah Suriah berlindung di balik tembok saat bentrokan dengan kelompok militan di Aleppo, 3 November 2012. Pada periode Maret 2011 hingga November 2012, lebih dari 36.000 orang tewas sejak pemberontakan kelompok militan terhadap pemerintahan Assad (AFP)

    Bashar al-Assad baru saja digulingkan kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak sekutu mereka.

    Dengan begitu, berakhir sudah rezim keluarga Assad yang dikenal tangan besi selama lebih dari lima dekade.

    Sama seperti banyak orang Suriah di penjuru dunia, termasuk jutaan di antara mereka yang mengungsi, Youssef bersuka cita atas kejatuhan rezim Assad.

    Walaupun begitu, Youssef menyebut masih banyak hal sumber duka dari Suriah yang membuatnya enggan untuk kembali ke negaranya.

    Youssef justru berharap suatu saat dapat memindahkan dua anggota keluarganya yang masih berada di Suriah ke Indonesia.

    “Saya merayakan kejatuhan al-Assad. 50 tahun terakhir tidak bisa dikatakan sebagai kehidupan [yang layak],” ujar Youssef.

    “Tapi ke mana kita pergi dari sini?”

    Youssef menyamakan kondisi Suriah sekarang seperti ketika masyarakat Afghanistan merayakan hengkangnya tentara AS pada Agustus 2021.

    Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena setelahnya rezim Taliban menguasai negara itu.

    “Saya tidak tahu apakah ini akan terjadi atau tidak, tapi saya tahu kelompok Muslim radikal tidak pernah suka dengan kelompok-kelompok minoritas,” ujar Youssef.

    “Kami punya sekte minoritas [di Suriah]. Jadi, ya, saya tidak yakin situasinya akan membaik.”

    Youssef mengklaim dirinya memperoleh foto-foto dan video penjarahan yang terjadi di negaranya setelah penggulingan Assad.

    Koresponden BBC yang melaporkan dari Suriah, Lina Sinjab, menjadi saksi mata aksi penjarahan, termasuk yang terjadi di kediaman Bashar al-Assad.

    Pengungsi Suriah yang tinggal di Turki kembali ke tanah airnya pada 10 Desember 2024 melalui Gerbang Perbatasan Cilvegz di Hatay, Turki (Getty Images)

    Dibandingkan dengan pengungsi dari negara-negara seperti Afghanistan dan Myanmar yang mencapai ratusan hingga ribuan orang, jumlah pengungsi dari Suriah di Indonesia berjumlah puluhan orang.

    Merujuk data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), terdapat 60 warga Suriah yang telah mendapat status pengungsi di Indonesia.

    Angka ini tidak termasuk warga Suriah yang berada di Indonesia, tapi masih tergolong sebagai pencari suaka.

    Adapun menurut catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, ada 713 warga negara Suriah yang punya izin tinggal aktif di Indonesia per Desember 2024. Mereka memegang izin tinggal sebagai diplomat, pekerja, dan pelajar.

    Seorang perempuan bersenjata mengacungkan tanda V yang berarti kemenangan saat warga Kurdi Suriah merayakan jatuhnya ibu kota Damaskus ke tangan pemberontak di Qamishli pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Apa pendapat orang-orang Suriah di negara-negara lainnya

    Di Ankara, Turki, ratusan warga Suriah bersiul, menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel dalam perayaan di Altnda. Sejak dini hari, mereka merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad.

    “Bahagia sekali rasanya baru pertama kalinya dalam hidup saya bisa sesenang ini,” ujar Asif, laki-laki berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari kota Hama, Suriah.

    Asif mengibarkan bendera Turki dan bendera oposisi Suriah dengan kedua tangannya.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    “Sejak tadi malam, kami belum tidur. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ujarnya.

    “Tidak ada lagi yang akan tinggal di sini. Semuanya ingin pulang karena perang di negara kami sudah berakhir. Kami sungguh-sungguh berterima kasih kepada Turki.”

    Ayham, teman Asif yang berasal dari Aleppo, mengungkapkan perasaan yang sama.

    “Kami tidak bisa pulang akibat kekejaman Assad. Semuanya kabur dari tangan tirani Assad. Orang-orang mesti hengkang karena kami tidak mau dipaksa menghabisi warga kami sendiri. Sekarang, kami bisa kembali karena semua ini sudah berakhir,” tuturnya.

    Para pejuang pemberontak Suriah merayakan kemenangan di Homs pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Seorang pria muda lainnya yang sudah tinggal di Turki selama 14 tahun bertekad untuk segera kembali ke Suriah.

    “Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami [di Turki]. Saatnya kembali ke Suriah. Jika perlu, kami akan kembali membangun bahkan dari nol sekalipun. Pada hari saya berencana untuk menikah, Suriah merdeka. Saya tidak akan pernah melupakan tanggal ini.”

    Selebrasi dan keriaan serupa terlihat di kota-kota Turki lainnya yang memiliki populasi orang Suriah dalam jumlah besar, termasuk Istanbul.

    Di Sisli, orang-orang berkerumun di depan gedung konsulat Suriah. Mereka menurunkan bendera rezim Assad.

    Turki sudah menjadi rumah bagi sedikitnya tiga juta pengungsi Suriah sejak perang sipil di negara itu pecah pada tahun 2011.

    Rasa bingung dan kekhawatiran

    Di tengah semua keriaan dan perasaan penuh harap, ada juga orang Suriah yang tidak terlalu ingin cepat-cepat kembali ke negaranya.

    Di sebuah kereta Berlin yang hening, Rasha dengan suara pelan merekam suaranya di telepon genggam. Dia berhati-hati agar tidak mengganggu penumpang lain.

    Sampai baru-baru ini, Rasha sudah pasrah bahwa dirinya tidak akan lagi bisa melihat rumah keluarganya di Damaskus.

    Selama lebih dari satu dekade terakhir, konflik Suriah yang berkelanjutan memaksa jutaan orang Suriah termasuk Rasha untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari masa lalu mereka akan musnah. Namun, kabar penggulingan Assad mengubah segalanya.

    Bagi banyak pengungsi Suriah, berita itu memicu berbagai emosi yang saling kontradiksi: tidak percaya, bahagia, penuh harapan, bingung, dan takut.

    Warga Suriah yang tinggal di Essen, Jerman, merayakan runtuhnya rezim Assad pada Minggu, 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Kebahagiaan yang dirasakan Rasha berbenturan dengan realita. Dia mengaku awalnya ingin segera “mengepak koper dan pulang”.

    Akan tetapi, Rasha kemudian memikirkan apakah keputusan itu benar-benar dapat dilakukan secara tergesa-gesa.

    “Saya tahu bahwa tidak ada lagi perasaan waswas tatkala melewati perbatasan dan ketakutan akan ditangkap atau bahkan hilang,” jelas Rasha.

    “Tapi sekarang ada rasa takut yang baru: kemungkinan serangan balasan, ketegangan di antara sekte, dan balas dendam.”

    Rasha merupakan penganut agama minoritas di Suriah. Dia benar-benar memikirkan potensi risiko dengan waspada sekalipun belum ada laporan kekerasan yang menargetkan kelompok tertentu.

    Baca juga:

    “Saat ini kita masih merasakan momen-momen bahagia yang dini,” ujar Rasha perlahan.

    “Kita harus berpikir rasional.”

    Situasi Rasha semakin rumit karena statusnya sebagai pengungsi di Jerman. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengintegrasikan diri ke komunitas barunya, Rasha berada di jalur yang tepat untuk menerima kewarganegaraan Jerman dalam satu tahun ke depan.

    Jika Rasha mendapatkan ini, dia akan bisa lebih bebas untuk pindah ke mana pun dia mau.

    “Kami ingin kembali ke Suriah tanpa kehilangan semua pencapaian di sini,” terangnya.

    Warga Suriah merayakan jatuhnya rezim Assad di Istanbul (Azra Tosuner/BBC)

    Rasha merujuk ke keterampilan bahasa, pendidikan, dan stabilitas yang telah dibangunnya.

    “Jika kembali sekarang dan kehilangan status legal, saya barangkali akan kehilangan segalanya.”

    Rasha juga mengkhawatirkan nasib rumah keluarganya di Damaskus.

    “Sebelum kemarin, saya tidak menyangka bisa melihat rumah kami lagi,” akunya. “Harapan itu kini ada. Tapi bagaimana kalau sudah ada yang merebut rumah kami?”

    Sama seperti Youssef di Indonesia, Rasha juga mengkhawatirkan kelompok radikal di negaranya.

    “Saya senang rezim itu sudah runtuh,” ujarnya, “tetapi saya kini mengkhawatirkan adanya bentrokan serta kemunculan ekstremisme dan fanatisme.”

    Rasha hanyalah satu dari setidaknya 14 juta orang Suriah yang harus meninggalkan negara mereka sejak konflik pecah pada tahun 2011.

    Menurut UNHCR, krisis pengungsi di Suriah adalah pemindahan paksa terbesar pada masa kini.

    Lebih dari 5,5 juta pengungsi Suriah menetap di negara-negara tetangga termasuk Turki, Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir.

    Jerman merupakan negara non-tetangga Suriah dengan populasi pengungsi Suriah terbesar, sekitar 850.000 orang.

    Bagi banyak pengungsi, tinggal di luar negeri merupakan suatu tantangan tersendiri.

    Selama bertahun-tahun, mereka mesti menghadapi rintangan hukum, menanggung kesulitan ekonomi, dan menghadapi serangan xenofobia.

    Pulang ke Suriah ‘bukan perkara sepele’

    Ayah Majzoub, Wakil Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, menekankan bahwa tidak akan mudah bagi orang-orang Suriah untuk kembali ke negaranya.

    “Banyak orang Suriah yang menimbang-nimbang untuk pulang telah kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang tercinta,” kata perempuan itu.

    “Perekonomian di Suriah sudah hancur akibat konflik dan sanksi asing selama bertahun-tahun.”

    “Organisasi-organisasi kemanusiaan harus segera memastikan bahwa pemulangan dilakukan secara sukarela, aman, dan bermartabat.”

    “Para pengungsi yang kembali membutuhkan akses ke tempat penampungan, makanan, air, sanitasi, dan perawatan kesehatan,” ujarnya.

    Seorang pengungsi Suriah di Ankara, Turki (Getty Images)

    Majzoub juga menekankan pentingnya untuk menghindari repatriasi secara paksa.

    “Pemerintah-pemerintah tuan rumah tidak boleh memaksa siapa pun untuk pulang,” ujarnya.

    “Kepulangan orang Suriah harus dilakukan sepenuhnya sukarela. Kami akan terus mengawasi risiko-risiko yang dihadapi para pengungsi yang kembali tanpa memandang agama, etnis, atau sikap politik mereka.”

    Mahmoud Bouaydani, pengungsi Suriah di Turki, mengaku berita dari Damaskus membawa kembali banyak memori.

    “Rasanya seperti menonton rekaman sepuluh tahun terakhir setiap peluru mortir, setiap serangan kimia, setiap serangan udara,” kenangnya.

    Baca juga:

    Pada tahun 2018, Mahmoud melarikan diri dari Douma setelah bertahun-tahun merasa terkepung. Dia sekarang menjadi mahasiswa teknik komputer di Universitas Kocaeli dekat Istanbul.

    Meski optimis, Mahmoud menyadari betapa besarnya tantangan menanti jika dirinya kembali.

    “Hal pertama yang ada di benak saya adalah harta benda keluarga. Kami tidak tahu bagaimana nasibnya. Barangkali sudah dijual tanpa sepengetahuan kami.”

    Mahmoud juga ingin tetap fokus untuk menyelesaikan pendidikannya.

    “Saya ingin mengunjungi Suriah terlebih dahulu,” katanya.

    “Saya butuh kejelasan tentang keamanan, pemerintahan, dan aturan hukum. Saya tidak bisa melepaskan status perlindungan sementara saya. Saya juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan pendidikan atau stabilitas di sini.”

    Warga Suriah di Turki merayakan berakhirnya kekuasaan Assad di Suriah setelah pemberontak menguasai Damaskus pada malam hari, di Masjid Fatih, di Istanbul, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di Zarqa, Yordania, perempuan Suriah bernama Um Qasim mengenang tahun-tahunnya sebagai pengungsi.

    “Kami sudah menghabiskan 12 tahun di Yordania,” katanya.

    “Walau kami disambut bak keluarga, pengasingan tetaplah pengasingan.”

    Dia menggambarkan momen-momen kegembiraan yang diwarnai dengan kepedihan. Baik ketika merayakan sesuatu seperti ulang tahun, maupun ketika ada yang meninggal.

    Ketiadaan sanak saudara untuk berbagi sangat terasa baginya.

    Um Qasim bermimpi untuk kembali ke Suriah yang damai. Akan tetapi, dia mengaku realistis dengan kondisi ekonomi yang mengerikan di negara tersebut.

    “Keluarga saya di sana masih menderita. Tidak ada listrik yang konsisten, tidak ada air, dan harga-harga yang tidak terjangkau. Bagaimana orang bisa hidup?”

    Perasaannya yang campur aduk mencerminkan perasaan banyak orang di diaspora.

    “Kami senang rezim telah jatuh, tetapi akan pilu rasanya meninggalkan Yordania apalagi setelah membangun keluarga kedua di sini.”

    Warga Suriah di Lebanon berbondong-bondong ke Perbatasan Masnaa yang terletak di antara Lebanon dan Suriah untuk pulang ke rumah setelah runtuhnya rezim Assad, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di perbatasan Masnaa, Lebanon, ratusan warga Suriah telah berkumpul dalam beberapa hari terakhir. Mereka menunggu untuk bisa menyeberang pulang ke Suriah.

    Lebanon adalah negara dengan jumlah pengungsi per kapita tertinggi di dunia dan saat ini memiliki 768.353 pengungsi Suriah yang terdaftar di UNHCR meskipun diyakini masih banyak yang belum terdaftar.

    Juru bicara UNHCR di Lebanon, Dalal Harb, mengatakan bahwa lembaga itu mengamati beberapa pemulangan, termasuk melalui penyeberangan tidak resmi di daerah-daerah seperti Wadi Khaled, sebuah wilayah di perbatasan timur laut Lebanon.

    “UNHCR menegaskan kembali bahwa semua pengungsi memiliki hak fundamental untuk kembali ke negara asal mereka pada waktu yang mereka pilih, dan semua pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bermartabat, dan aman.”

    Harb menambahkan bahwa UNHCR siap untuk mendukung para pengungsi yang kembali jika kondisinya memungkinkan.

    Kerumunan orang Suriah di Tripoli, Lebanon (EPA-EFE/REX/Shutterstock)

    Di sisi lain, dia menggarisbawahi bahwa selama masa-masa yang tidak menentu sekarang ini, para pengungsi Suriah harus diberi keleluasaan untuk menilai kondisi Suriah dengan mata kepala mereka sendiri.

    “Situasi di internal Suriah masih terus berkembang. Banyak warga Suriah yang mencoba menilai dalam beberapa minggu terakhir, seberapa amankah situasi di sana dan apakah ini waktu yang tepat bagi mereka untuk kembali atau tidak,” imbuhnya.

    Bagi banyak warga Suriah, ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya sangat membebani pikiran mereka.

    Kenangan akan perang, kehilangan, dan pengungsian tetap membayangi mereka. Sekarang pun mereka masih berusaha membayangkan bagaimana rasanya pulang ke negaranya.

    Untuk saat ini, mereka hanya bisa melihat dan menunggu.

    Bagi Youssef di Malang, Jawa Timur, yang memperoleh beasiswa pendidikan di sini, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan keluarganya.

    “Saya ingin bisa menghasilkan banyak uang supaya keluarga saya tidak menderita. Setidaknya mereka bisa kembali dapat akses air bersih.”

    Laporan tambahan oleh Sanaa Alkhoury dan Fundanur ztrk.

    Baca juga:

    Tonton juga video: Dampak Jatuhnya Rezim Assad ke Ekonomi, Pasar di Suriah Hidup Lagi

    (nvc/nvc)

  • Israel Babat Kemampuan Militer Suriah, Luncurkan 350 Serangan dalam 48 Jam – Halaman all

    Israel Babat Kemampuan Militer Suriah, Luncurkan 350 Serangan dalam 48 Jam – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pada Selasa (10/12/2024), sebuah laporan mengejutkan datang dari lembaga pemantau perang oposisi Suriah.

    Israel membabat kemampuan militer Suriah dengan meluncurkan lebih dari 350 serangan udara dalam rentang waktu 48 jam, BBC melaporkan.

    Serangan tersebut mengakibatkan kehancuran signifikan di seluruh Suriah.

    “Angkatan Laut Suriah telah hancur total akibat serangan tersebut,” kata Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz.

    Serangan ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah jatuhnya senjata strategis ke tangan pihak oposisi yang ingin menggulingkan rezim Bashar Assad.

    Dalam rangka menjaga stabilitas dan keamanan, Israel mengeklaim bahwa serangan ini dilakukan untuk menghancurkan stok senjata yang ada di Suriah.

    Hal ini juga sebagai respons terhadap ancaman militan Hizbullah yang beroperasi di wilayah perbatasan Suriah-Lebanon.

    Menurut pejabat militer Israel, sasaran serangan termasuk sistem pertahanan udara, depot rudal, serta lokasi produksi senjata di Damaskus dan kota-kota lainnya.

    Rudal Israel menyerang dua fasilitas angkatan laut di Suriah, menghancurkan setidaknya enam kapal rudal era Soviet.

    Meskipun rincian lengkap tidak diumumkan, aksi ini menegaskan niat Israel untuk tidak membiarkan musuh-musuhnya memiliki akses terhadap kemampuan militer yang memadai.

    Reaksi Internasional

    Serangan Israel ini tidak lepas dari perhatian internasional.

    Mesir, Yordania, dan Arab Saudi mengutuk aksi tersebut, menyebutnya sebagai eksploitasi terhadap kekacauan di Suriah dan pelanggaran hukum internasional.

    Sementara itu, PBB juga meminta Israel dan Suriah untuk menghormati perjanjian pelepasan yang telah ada sejak 1974.

    Walaupun kehidupan di Suriah menunjukkan tanda-tanda normalisasi, laporan tentang pencurian bantuan kemanusiaan masih terus bermunculan.

    Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun rezim lama telah runtuh, tantangan untuk membangun kembali negara masih sangat besar.

    Kehidupan di Suriah Pasca Serangan

    Di tengah gejolak yang terjadi, masyarakat Suriah perlahan-lahan menemukan harapan baru setelah penggulingan rezim Assad.

    Kehidupan di Damaskus mulai kembali normal, dengan bank-bank dan toko-toko dibuka kembali.

    Kota Damaskus kini dipenuhi dengan semangat baru.

    Banyak warga yang merayakan kejatuhan rezim Assad, berharap untuk mengakhiri praktik suap yang selama ini membebani mereka.

    Pengungsi Suriah Balik Kampung

    Baru-baru ini, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa negaranya akan membuka perbatasan baru bagi pengungsi Suriah yang ingin kembali ke tanah air mereka.

    Pengumuman ini memicu banyak warga Suriah berbondong-bondong menuju penyeberangan perbatasan, berusaha untuk pulang, Al Jazeera melaporkan.

    Pemandangan di perbatasan saat ini menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan beberapa tahun lalu.

    Sebelumnya, antrean panjang orang-orang terlihat melarikan diri dari Suriah menuju Turki.

    Namun, kini untuk pertama kalinya, mereka tampak ingin pulang.

    Menurut pengamatan di lapangan, pemerintah Turki berupaya memfasilitasi kepulangan pengungsi dengan menambah jumlah titik perbatasan.

    Hal ini memungkinkan pengungsi untuk diperiksa dan diizinkan masuk kembali dengan lebih mudah.

    Dengan dibukanya penyeberangan perbatasan baru, semakin banyak pengungsi merasa memiliki kesempatan untuk kembali ke rumah mereka.

    Langkah ini tentu membawa harapan baru bagi banyak pengungsi Suriah yang telah lama berada di Turki.

    lihat foto
    Anggota masyarakat Suriah meneriakkan slogan-slogan saat berkumpul di Lapangan Syntagma di Athena untuk merayakan berakhirnya rezim diktator Suriah Bashar al-Assad setelah pejuang pemberontak menguasai ibu kota Suriah, Damaskus, pada malam hari, 8 Desember 2024. – Pemberontak yang dipimpin kaum Islamis menggulingkan penguasa lama Suriah, Bashar al-Assad, dalam serangan kilat yang disebut utusan PBB sebagai “momen penting” bagi negara yang dirusak oleh perang saudara. (Photo by Angelos TZORTZINIS / AFP)

    Kembalinya mereka ke tanah air setelah bertahun-tahun dapat memberikan kesempatan untuk memulai hidup baru di kampung halaman.

    Namun, meskipun banyak yang ingin kembali, tantangan tetap ada.

    Keamanan, stabilitas, dan kondisi di Suriah masih menjadi pertimbangan utama bagi mereka yang ingin pulang.

    Keputusan untuk kembali bukanlah hal yang sepele, dan setiap pengungsi tentu memiliki pertimbangan yang mendalam mengenai langkah ini.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • BPIP: Tumbangnya Assad buktikan prinsip bebas aktif tetap relevan

    BPIP: Tumbangnya Assad buktikan prinsip bebas aktif tetap relevan

    Keterlibatan pihak asing dalam perang saudara di Suriah bukan menyelesaikan masalah, malah membuat konflik makin parah.

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Internasional Darmansjah Djumala mengatakan bahwa tumbangnya rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad menjadi bukti prinsip bebas aktif yang dianut Indonesia masih relevan di kancah politik global.

    “Ini memberi pelajaran, prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam tarikan kepentingan geopolitik negara asing,” kata Djumala di Jakarta, Rabu.

    Dengan terpecahnya Suriah di bawah Assad akibat intervensi asing, kata dia, terbukti bahwa prinsip bebas aktif tetap relevan dalam politik global

    Djumala, yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekretariat Presiden/Sekretaris Presiden pada periode pertama presiden ke-7 RI Joko Widodo, juga mengingatkan keterlibatan asing menjadi poin utama dalam perang saudara di Suriah.

    Rusia dan Iran terlibat dalam konflik tersebut dengan mendukung rezim Assad, Turki terlibat dalam perang saudara di Suriah dengan mendukung kelompok oposisi terbesar Suriah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan sayap militer oposisi Tentara Nasional Suriah (Syrian National Army/SNA).

    Amerika Serikat (AS) juga ikut melibatkan diri dalam perang tersebut dengan mendukung kelompok perlawanan separatis Kurdi, SDF (Syrian Democratic Forces).

    Dalam pandangannya, Djumala menegaskan bahwa perang saudara di Suriah mulanya hanyalah gerakan prodemokrasi yang muncul seiring dengan berembusnya angin demokratisasi di Timur Tengah atau Arab Spring, dan keterlibatan pihak asing dalam gerakan tersebut malah menambah kompleksitas.

    “Keterlibatan pihak asing dalam perang saudara di Suriah bukan menyelesaikan masalah, malah membuat konflik makin parah sehingga menumbangkan Presiden Assaad,” ujarnya.

    Djumala mengatakan bahwa Assad adalah presiden di negara Timur Tengah yang relatif cukup lama bertahan dari gempuran badai demokratisasi Arab Spring 2011.

    Tidak seperti Ben Ali (Tunisia), Hosni Mobarak (Mesir), Khadafy (Libya), Morsi (Mesir), dan Abdullah Saleh (Yaman) yang tumbang diterpa badai Arab Spring, Bashar Assad mampu bertahan lebih dari 13 tahun.

    Dalam pengamatan Djumala, yang pernah menjabat Dubes RI untuk Astria dan PBB, kemampuan Assad bertahan karena didukung secara militer oleh Rusia dan Iran, yang sudah lama menjadi sekutu dekatnya dalam geopolitik Timur Tengah.

    Namun, belakangan dukungan kedua sekutu tersebut mengendur karena Rusia disibukkan oleh perang dengan Ukraina. Begitu pula dengan Iran yang dukungannya ke rezim Assad mulai mengendur ketika Hamas menyerang Israel, Iran kemudian terlibat dalam perang itu dengan mendukung proxy-nya di Lebanon, Hisbullah.

    Diberitakan sejumlah media internasional, Presiden Suriah Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia sebelum jatuhnya Kota Damaskus ke tangan pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pimpinan Abu Mohammed al-Golani.

    Dunia kini menanti dengan cemas, bagaimana Golani menggunakan kekuasaan de facto yang kini berada di tangannya untuk melakukan pengalihan kekuasaan. Kekhawatiran tersebut muncul mengingat Suriah selama ini diperintah dengan tangan besi oleh keluarga Hafez al-Assad, ayah Bashar al-Assad.

    Banyak pihak khawatir akan muncul aksi balas dendam oleh pemberontak terhadap keluarga Assad dan kroni-kroninya. Internasional bahkan mengkhawatirkan Suriah akan menjadi negara gagal (failed state) karena dikoyak oleh pertikaian kelompok-kelompok kepentingan yang berlatar etnik, suku, dan agama.

    Pada tahun 2014 Golani kepada stasiun televisi Al Jazeera menyatakan sikapnya bahwa pihaknya ingin membuat Suriah menjadi negara Islam dan tidak ada tempat bagi kelompok minoritas. Namun, pada tahun 2016 dia mulai menjaga jarak dengan kelompok radikal ISIS.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Inilah Data dan Fakta Pengungsi Suriah di Jerman – Halaman all

    Inilah Data dan Fakta Pengungsi Suriah di Jerman – Halaman all

    Jutaan warga Suriah telah melarikan diri sejak dimulainya perang saudara di Suriah pada tahun 2011. Meskipun sebagian besar mengungsi di dalam negeri, sejumlah besar pengungsi mencari perlindungan di negara-negara tetangga seperti Turki, Lebanon, Yordania, Irak dan Mesir.

    Jerman khususnya telah menampung jumlah pengungsi terbanyak di Eropa. Adalah bekas Kanselir Angela Merkel yang pada tahun 2015 menangguhkan penerapan Regulasi Dublin dan membuka pintu bagi masuknya 320.000 warga Suriah di Jerman.

    Berapa banyak warga Suriah yang tinggal di Jerman?

    Menurut Kantor Statistik Federal, sekitar 973.000 warga Suriah tinggal di Jerman pada akhir tahun 2023. Dari jumlah tersebut, 712.000 dianggap sedang mencari perlindungan. Status itu mencakup semua orang asing yang tinggal di Jerman dengan alasan kemanusiaan, termasuk pencari suaka, pencari suaka yang ditolak, dan orang-orang yang menikmati perlindungan sementara.

    Sebagian besar datang ke Jerman selama gelombang pengungsi tahun 2015. Meskipun banyak yang kini memiliki izin tinggal permanen, sejumlah kecil lainnya masih berstatus mengambang. Artinya, mereka hanya diizinkan tinggal, tanpa izin kerja atau akses bantuan sosial dan pendidikan kejuruan.

    Menurut Kantor Statistik Federal, warga negara Suriah merupakan kelompok terbesar di antara mereka yang dinaturalisasi tahun lalu. Jumlahnya meningkat sebanyak 75.500 orang. Rata-rata, mereka telah menetap selama 6,8 tahun sebelum mendapatkan paspor Jerman.

    Pada akhir tahun 2023, total lebih dari 160.000 warga Suriah menerima kewarganegaraan Jerman.

    Jerman hentikan permohonan suaka usai penggulingan Assad

    Pada tahun 2024, Suriah kembali menjadi negara asal pencari suaka terbesar di Jerman. Menurut perhitungan Kantor Statistik Federal, hampir 75.000 permohonan suaka diajukan oleh warga Suriah pada bulan November, diikuti oleh Afganistan dengan 34.300 permohonan dan Turki dengan sekitar 29.600 permohonan. Menurut Kementerian Dalam Negeri Federal, total 5.090 warga Suriah diakui berhak mendapatkan suaka pada akhir Oktober tahun ini.

    Namun, pada tanggal 9 Desember, satu hari setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi, BAMF, menangguhkan keputusan suaka bagi warga negara Suriah. Menurut pihak berwenang, 47.270 permohonan suaka dari warga Suriah yang belum diputuskan akan terkena dampaknya, termasuk sekitar 46.000 aplikasi awal. Namun, situasi baru di Suriah saat ini tidak berdampak pada keputusan yang ada.

    Sebanyak sekitar 236.000 permohonan suaka telah diajukan di Jerman sepanjang tahun ini. Pengungsi Ukraina tidak dimasukkan karena mereka menerima status perlindungan sementara tanpa prosedur suaka.

    Usia rata-rata 25 tahun

    Mayoritas pengungsi Suriah di Jerman adalah laki-laki. Hanya sekitar 41 persen yang merupakan perempuan. Secara keseluruhan, warga Suriah di Jerman cenderung berusia lebih muda dibandingkan populasi umum: usia rata-rata mereka adalah sekitar 25 tahun. 37 persennya adalah anak di bawah umur.

    Menurut informasi BAMF, lebih dari 60 persen orang yang mengajukan permohonan suaka ke Jerman antara tahun 2017 hingga 2023 adalah orang yang sudah menikah. Banyak anak pengungsi Suriah yang lahir di Jerman: antara tahun 2019, saat survei dimulai, hingga tahun 2024 terdapat sekitar 56.200 anak.

    Lebih dari 60 persen warga Suriah yang mengajukan permohonan suaka ke Jerman sejak tahun 2015 adalah orang Arab. Sekitar sepertiganya adalah minoritas Kurdi. Mayoritasnya, lebih dari 90 persen adalah Muslim, kurang dari dua persen beragama Kristen, dan sekitar satu persen adalah Yazidi.

    Di mana warga Suriah tinggal di Jerman?

    Mayoritas warga Suriah tinggal di negara-negara bagian yang sangat atraktif karena kepadatan penduduknya – dan tawaran yang lebih baik di pasar tenaga kerja seperti di Nordrhein-Westfalen, Bayern dan Baden-Württemberg, .

    Kota-kota besar seperti Berlin, München, dan Hamburg juga menawarkan akses program dan jejaring sosial. Daerah pedesaan biasanya kurang populer karena menawarkan lebih sedikit program integrasi dan kesempatan kerja.

    Dibandingkan dengan kelompok pengungsi lainnya, pengungsi Suriah dinilai memiliki kualifikasi yang baik. Hampir separuh orang yang datang ke Jerman antara tahun 2015 dan 2017 adalah lulusan sekolah menengah atas atau universitas. Bagi pengungsi yang kemudian datang ke Jerman, angkanya lebih dari sepertiganya. Pada tahun ajaran 2022/23, sekitar 186.000 siswa Suriah bersekolah di sekolah pendidikan umum di Jerman, dan 50.000 lainnya bersekolah di sekolah kejuruan.

    Hambatan bahasa dan pengakuan

    Menurut Badan Ketenagakerjaan Federal, sekitar 226.600 warga Suriah bekerja dan membayar asuransi kesehatan, pensiun serta jaminan pengangguran. Sekitar 279.600 terdaftar sebagai “pencari kerja” pada akhir November 2024. Dari jumlah tersebut, 155.100 orang dianggap “pengangguran”. Artinya, tingkat pengangguran berkisar di angka 37 persen.

    Banyak warga Suriah yang bekerja di sektor konstruksi, katering atau keperawatan. Minat terhadap kualifikasi profesional juga meningkat tajam. Hambatan terbesar dalam mendapatkan pekerjaan adalah kendala bahasa dan masalah pengakuan ijazah dan kualifikasi warga Suriah.

    Pekerja asal Suriah memainkan peran penting, khususnya di sektor kesehatan, karena melakukan pekerjaan yang sangat dibutuhkan. Banyak orang yang mampu menjalani profesi keperawatan, misalnya, melalui program pelatihan khusus.

    Jika mereka ingin atau harus kembali ke tanah air karena berakhirnya kediktatoran Assad, seperti yang dituntut oleh beberapa politisi, kekurangan pekerja terampil dalam sistem kesehatan dapat memburuk. Kementerian Kesehatan Federal mengeluh bahwa sekitar 200.000 posisi dalam profesi keperawatan sudah kosong.

  • PKUMI Yudisium 38 Kader Ulama Masjid Istiqlal

    PKUMI Yudisium 38 Kader Ulama Masjid Istiqlal

    Jakarta, Beritasatu.com – Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) di bawah Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) melakukan yudisium 38 kader ulama Masjid Istiqlal yang diharapkan menjadi role model atau teladan ulama Indonesia dan dunia. 

    “Alhamdulillah, hari ini kami yudisium 38 kader ulama Masjid Istiqlal. Besok pada 12 Desember 2024 kami akan melakukan wisuda dan pengukuhan untuk angkatan pertama sebanyak 38 mahasiswa di Masjid Istiqlal,” kata Direktur PKUMI Ahmad Thib Raya di Jakarta, Rabu (11/12/2024).

    PKUMI didirikan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar sejak 2021 bekerja sama oleh dengan Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Universitas PTIQ Jakarta.

    Dia mengatakan, pengukuhan 38 kader ulama Masjid Istiqlal akan dihadiri manteri agama, menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan, menteri keuangan, dan menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. “Ini adalah produk ulama yang telah dihasilkan oleh Masjid Istiqlal melalui PKUMI,” tambah Ahmad Thib Raya.

    Dia mengatakan, produk PKUMI diharapkan menjadi kader ulama Masjid Istiqlal dan role model ulama Indonesia dan dunia. 

    Terdapat tiga program yang ditawarkan dalam beasiswa PKUMI, yaitu Magister Pendidikan Kader Ulama (S2 PKU), Magister Pendidikan Kader Ulama Perempuan (S2 PKUP) dan Doktor Pendidikan Kader Ulama (S3 PKU). Pendidikan formal (Magister dan Doktor Ilmu Al-Qur’an dan tafsir) ditempuh di Universitas PTIQ, dan pendidikan keulamaan didapatkan di PKUMI.

    Selain itu, mahasiswa wajib mengikuti program penguatan kapasitas menjadi ulama bertaraf internasional yang merupakan bagian dari kurikulum atau kegiatan akademik. Program diselenggarakan dalam bentuk short course dengan durasi 3 bulan bagi peserta program magister dan 6 bulan bagi peserta program doktor.

    Sampai saat ini, PKUMI yang telah melahirkan kader ulama Masjid Istiqlal, menjalin kerja sama dengan berbagi perguruan tinggi di dunia, seperti University of California, Riverside di Amerika Serikat dan Universitas Al-Azhar, Cairo di Mesir.