Negara: Meksiko

  • Sebanyak 124 Jurnalis Terbunuh Tahun Lalu, 2024 Jadi Tahun Paling Mematikan bagi Pekerja Media

    Sebanyak 124 Jurnalis Terbunuh Tahun Lalu, 2024 Jadi Tahun Paling Mematikan bagi Pekerja Media

    PIKIRAN RAKYAT – Jumlah jurnalis yang terbunuh pada tahun 2024 mencapai rekor, menurut laporan yang dirilis oleh Committee to Protect Journalists. Setidaknya 124 jurnalis dan pekerja media terbunuh di seluruh dunia, dan sekitar dua pertiga dari mereka adalah warga Palestina yang dibunuh oleh Israel selama perang melawan Hamas di Gaza.

    Rekor sebelumnya adalah 113 jurnalis yang terbunuh pada tahun 2007, selama Perang Irak.

    Negara-negara lain termasuk Sudan, Pakistan, Meksiko, dan Suriah juga memiliki beberapa kasus jurnalis yang terbunuh tahun lalu, menurut laporan tersebut.

    CPJ menganggap jurnalis atau pekerja media sebagai seseorang yang meliput berita atau mengomentari urusan publik, dalam media apa pun. Agar dapat dimasukkan dalam daftarnya, kematian orang tersebut harus terkait dengan pekerjaan. Kematian tersebut dapat disengaja atau tidak disengaja, seperti jika seorang jurnalis terbunuh di zona konflik.

    Kematian seorang jurnalis tidak akan dimasukkan jika ada bukti bahwa mereka menghasut kekerasan dengan efek yang akan segera terjadi atau secara langsung berpartisipasi sebagai kombatan dalam konflik bersenjata pada saat kematian mereka.

    CPJ mengatakan bahwa mereka hanya memasukkan kasus yang dikonfirmasi dalam laporannya, yang berarti mereka menemukan bukti yang menunjukkan bahwa jurnalis tersebut terbunuh sehubungan dengan pekerjaan mereka; mereka mengatakan menganggap semua kasus zona perang sebagai yang dikonfirmasi.

    Meningkatnya Konflik Global Menyebabkan Rekor Kematian

    Dari 124 jurnalis yang terbunuh pada tahun 2024, laporan CPJ mengatakan 82 orang tewas di tengah perang di Gaza dan tiga orang tewas di Lebanon, tempat Israel memerangi Hizbullah. Dalam sedikitnya 10 kasus, CPJ mengatakan penyelidikannya menentukan bahwa para jurnalis itu sengaja menjadi sasaran. Kelompok itu mengatakan terus menyelidiki apakah sedikitnya 20 kasus lainnya mungkin disengaja.

    Tiga puluh satu jurnalis yang terbunuh di Gaza adalah pekerja lepas Palestina yang menurut CPJ masuk untuk mengisi kekosongan informasi setelah banyak outlet berita berhenti beroperasi di wilayah tersebut.

    Peningkatan kematian jurnalis terjadi di tengah meningkatnya jumlah konflik secara global, menurut CPJ. Pembunuhan jurnalis lainnya pada tahun 2024 terjadi di lebih dari puluhan negara, termasuk Sudan, Pakistan, dan Meksiko.

    Sudan dan Pakistan masing-masing menyaksikan enam pembunuhan jurnalis, sementara Meksiko mengalami lima pembunuhan. Empat jurnalis tewas di Suriah. Tiga tewas di Myanmar, di mana wartawan bawah tanah semakin diperlakukan sebagai kombatan musuh, menurut CPJ. Tiga kematian jurnalis lainnya tercatat di Irak, menandai kematian jurnalis pertama di sana sejak 2020. Dua jurnalis tewas di Haiti, tempat geng-geng sekarang secara terbuka mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan jurnalis.

    CPJ mengatakan bahwa mereka menemukan negara-negara tempat jurnalis dibunuh dengan sengaja sering kali mencoba mengubur bukti pembunuhan, mengalihkan kesalahan, dan menghindari akuntabilitas. Tindakan semacam itu menempatkan jurnalis yang masih hidup dalam bahaya yang lebih besar, kata kelompok itu, dan menghilangkan kemungkinan keadilan bagi mereka yang telah meninggal.

    Di seluruh dunia, jurnalis juga telah diintimidasi, disensor, dan ditangkap atau diserang. Insiden semacam itu dilaporkan di Kamerun, Somalia, dan Afghanistan, meskipun tidak ada jurnalis yang tewas di negara-negara tersebut. Tidak ada juga kematian jurnalis dalam perang antara Ukraina dan Rusia, meskipun beberapa serangan yang mungkin ditargetkan menyebabkan wartawan terluka, kata CPJ. Seorang jurnalis Ukraina yang ditahan pada Agustus 2023 meninggal dalam tahanan Rusia tahun lalu.

    “Kondisi dapat menjadi lebih mematikan bagi pers ketika mereka yang membunuh wartawan tidak dimintai pertanggungjawaban. Dan semakin sedikit wartawan berarti semakin sedikit informasi bagi warga yang mencari kebenaran,” kata CPJ.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Di Balik Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Penyelamat – Halaman all

    Di Balik Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Penyelamat – Halaman all

    Makna Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Guardian Angel

    TRIBUNNEWS.COM – Panggilan telepon antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, Rabu (12/2/2025) dinilai punya makna mendalam terkait realias baru hubungan AS dengan para sekutu mereka di Eropa, khususnya terkait aliansi keamanan.

    Sebagai catatan, obrolan Trump-Putin berisi rencana mereka untuk mengakhiri perang di Ukraina dan sepakat untuk bertukar kunjungan.

    Reporter senior CNN, Stephen Collinson, menganalisis, panggilan telepon antar-presiden tersebut sebagi satu di antara dua kejutan geopolitik yang akan mengubah hubungan transatlantik, merujuk pada aliansi pertahanan negara-negara Eropa, NATO.

    Satu kejutan lainnya adalah, juga pada Rabu, kepergian Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth ke Brussels dan meminta sekutu Eropa untuk “mengambil alih kepemilikan keamanan konvensional di benua itu.”

    Collinson menggarisbawahi, dua kejutan ini menggambarkan kalau AS, di bawah kendali Trump, kini punya kebijakan luar negeri dan keamanan yang cenderung tidak lagi ramah bagi para sekutunya, khususnya mereka yang tidak menghasilkan keuntungan materialistis bagi negara Paman Sam.

    “Titik balik ini menyoroti jargon ‘America First’ Trump dan kecenderungannya untuk melihat setiap isu atau aliansi sebagai proposisi nilai dolar dan sen,” kata ulasan tersebut, dikutip Kamis.

    Artinya, meminjam istilah ‘matre’ untuk menunjukkan hal yang mengutamakan sisi matrialistis, AS kini akan lebih menimbang untung-rugi dalam jalinannya terhadap negara-negara sekutunya. 

    Selain berubah ‘matre’ demi AS, sikap Trump ini juga dinilai sebagai gambaran betapa sang presiden AS tak lagi mematuhi saran-saran yang berlandaskan pada pakem lama kebijakan luar negeri Barat.

    Kebijakan luar negeri yang lazimnya dijalankan AS lazimnya bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional, keamanan, dan kemakmuran ekonomi baik untuk AS maupun bagi negara-negara sekutunya. 

    Collinson menyebut pakem ini dengan istilah ‘mitologi’ yang sudah tidak dipakai lagi oleh Trump karena dianggap andil dalam kegagalan pada masa jabatan pertamanya di kursi presiden AS, empat tahun lalu.

    Dengan kata lain, Trump kini berfokus pada keuntungan materi dan strategis AS semata, dan untuk itu, kepentingan para sekutu tidak lagi menjadi hal utama. 

    Ilustrasi tank M1 Abram buatan AS yang disumbangkan ke Ukraina (Kementerian Pertahanan Ukraina)

    Bukan Lagi Guardian Angel

    Collinson juga menyoroti sikap AS terhadap aliansi pertahanan Eropa, NATO.
     
    “Meskipun Hegseth tetap berkomitmen membantu NATO, sesuatu yang mendasar telah berubah,” kata sang jurnalis.

    Ulasannya menyinggung soal peran besar Amerika memenangkan dua perang dunia yang dimulai di Eropa dan kemudian menjamin kebebasan benua itu dalam menghadapi ancaman Soviet.

    Namun, kata Collinson, makan siang tidak lagi gratis, dan AS meminta jatah lebih dalam porsi bagiannya.

    “Trump mengatakan di jalur kampanye bahwa ia mungkin tidak akan membela anggota aliansi yang belum cukup berinvestasi dalam pertahanan. Dengan demikian, ia menghidupkan kembali poin abadi yang dikemukakan dengan sangat fasih oleh Winston Churchill pada tahun 1940 tentang kapan “Dunia Baru, dengan segala kekuatan dan kekuasaannya” akan melangkah “untuk menyelamatkan dan membebaskan yang lama”,” kata ulasan Collinson menggambarkan paradigma baru AS terhadap hubungannya dengan negara-negara Eropa.

    Sebenarnya, tanda-tanda pemerintahan Trump ‘akan lebih matre’ dan lebih menuntut ke sekutu-sekutu AS di Eropa, sudah terlihat lebih mana.

    Namun, aksi dan pernyataan terang-terangan dari kubu Trump seperti membuat Eropa tersedak kenyataan kalau AS bukan lagi ‘Guardian Angel’ yang murah hati memberi perlindungan secara murah atau bahkan gratis.

    Terlebih, AS merasa dikerjai karena banyak negara-negara di Eropa banyak yang lebih mementingkan anggaran keperluan sosial ketimbang pertahanan.

    Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengatakan kepada Parlemen Eropa bulan lalu bahwa orang-orang Eropa harus menyediakan lebih banyak uang untuk militer mereka.

    “Jika Anda tidak melakukannya, ambil kursus bahasa Rusia atau pergilah ke Selandia Baru,” katanya.

    Wujud kegerahan AS atas sikap negara-negara Eropa soal anggaran pertahanan ditegaskan Hegseth.

    Ia memformalkan permintaan Trump agar anggota aliansi membelanjakan 5 persen dari PDB untuk pertahanan dan mengatakan AS akan memprioritaskan konfliknya yang semakin meningkat dengan Tiongkok dan keamanan perbatasannya daripada Eropa. 

    “Amerika Serikat tidak akan lagi menoleransi hubungan yang tidak seimbang yang mendorong ketergantungan,” kata kepala Pentagon yang baru tersebut.

    Collinson menyebut, pendekatan baru yang keras AS ini tidak seperti fantasi Trump untuk menggusur warga Palestina di Gaza untuk membangun “Riviera Timur Tengah.” 

    “Ini adalah respons rasional terhadap realitas politik yang berubah.  Generasi Terhebat yang berjuang dalam Perang Dunia II dan menghasilkan presiden yang memahami bahaya kekosongan kekuasaan di Eropa telah tiada. Setiap orang Amerika yang memiliki ingatan dewasa tentang Perang Dingin melawan Uni Soviet setidaknya berusia pertengahan 50-an,” kata dia dalam ulasannya untuk menjelaskan kalau perimbangan kekuatan dunia sudah berubah. 

    Realitasnya adalah, pesaing terkuat Amerika Serikat, China, ada di Asia, bukan Eropa. 

    “Jadi, wajar bagi Trump untuk bertanya mengapa benua itu masih belum mengambil alih pertahanan dirinya sendiri 80 tahun setelah kekalahan Nazi,” kata ulasan tersebut mencermati cara pandang Trump yang memandang NATO terlalu bergantung ke AS.

    “Presiden Amerika dan pemimpin Eropa (dalam beberapa dekade belakanan) berturut-turut telah gagal memikirkan kembali NATO untuk abad ke-21. Jika melihat ke belakang, aliansi transatlantik itu membuat dirinya sangat rentan terhadap presiden Amerika yang paling transaksional dan nasionalis (Trump) sejak abad ke-19,” sambung ulasan tersebut.

    Tulisan itu dimaksudkan untuk menohok NATO yang cenderung mengandalkan AS untuk maju bertempur, sedangkan mereka ‘asyik’ memikirkan negara masing-masing.

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio mengusulkan dalam sebuah wawancara baru-baru ini di “The Megyn Kelly Show” di Sirius XM bahwa AS seharusnya tidak menjadi “ujung tombak” keamanan Eropa, tetapi justru sebagai “back stopper”, beking di belakang.

    Rubio menegur negara-negara besar Eropa. “Ketika Anda bertanya kepada mereka, mengapa Anda tidak bisa menghabiskan lebih banyak uang untuk keamanan nasional, argumen mereka adalah karena itu akan mengharuskan kita melakukan pemotongan pada program kesejahteraan, tunjangan pengangguran, agar bisa pensiun pada usia 59 tahun dan semua hal lainnya,” kata Rubio. 

    “Itu pilihan yang mereka buat. Tapi kita mensubsidi itu?”

    Perlakuan Trump terhadap sekutu seperti Kanada dan Meksiko, serta seruannya agar Denmark menyerahkan Greenland, menunjukkan rasa jijiknya terhadap kebijakan luar negeri multilateral AS di masa lalu. 

    Ia selalu memuji Putin dan Presiden China Xi Jinping atas kecerdasan dan kekuatan mereka. Jelas ia menganggap mereka satu-satunya lawan bicara yang layak bagi pemimpin tangguh dari negara adidaya lainnya, Amerika Serikat.

    “Agenda Trump bukan tentang keamanan Eropa: ia berpendapat bahwa AS tidak perlu membayar keamanan Eropa,” kata Nicholas Dungan, pendiri dan CEO CogitoPraxis, konsultan strategis di Den Haag.

    “Ini bukan era baru hubungan transatlantik, melainkan era baru hubungan negara-negara besar global yang menggantikan struktur kelembagaan tatanan internasional liberal yang disengaja.”

    PRESIDEN ZELENSKY – Foto yang diambil dari laman President.gov.ua tanggal 5 Februari 2025 menunjukkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Presiden Ukraina nyatakan kesiapannya untuk berunding dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. (President.gov.ua)

    Kabar Buruk Bagi Ukraina

    Ujian pertama realitas baru AS-Eropa ini akan datang melalui Ukraina.

    Trump mengatakan kalau negosiasi untuk mengakhiri perang Ukraina akan dimulai “segera” setelah panggilan teleponnya dengan Putin.

    Perlu dicatat, Putin adalah sosok yang telah dikucilkan oleh Barat sejak invasi militer Rusia ke Ukraina, sebuah negara demokrasi berdaulat, tiga tahun lalu.

    Obrolan Trump-Putin ini tidak menyertakan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, sebuah tanda yang mengkhawatirkan bagi pemerintah di Kyiv. 

    Selama ini, Zelensky berada di pusat (prioritas) semua hal yang dilakukan pemerintahan Joe Biden dalam perang tersebut. 

    “Trump memang menelepon Zelensky pada hari Rabu, tetapi presiden Amerika tersebut sudah memicu kekhawatiran bahwa dia akan menyusun resolusi yang menguntungkan Rusia,” kata ulasan tersebut. 

    Ketika ditanya oleh seorang reporter apakah Ukraina akan menjadi mitra yang setara dalam perundingan damai, Trump menjawab: “Itu pertanyaan yang menarik,” dan tampak berpikir dengan hati-hati, sebelum menjawab, “Saya katakan itu bukan perang yang baik untuk dilakukan,”.

    Ucapan Trump ini tampaknya menunjukkan kalau dia mempercayai pernyataan Putin kalau konflik tersebut adalah ‘kesalahan sebuah negara yang secara brutal diserbu oleh negara tetangga yang otoriter.’

    Pernyataan Hegseth juga terus terang menyudutkan posisi Ukraina dalam konfliknya dengan Rusia.

    “Ia memaparkan titik awal AS untuk negosiasi tersebut: Ukraina tidak dapat kembali ke perbatasannya sebelum tahun 2014 sebelum invasi Krimea, Ukraina tidak dapat bergabung dengan NATO, dan pasukan AS tidak akan berperan dalam pasukan keamanan apa pun untuk menjamin perdamaian pada akhirnya,” kata laporan tersebut. 

    Pasukan penjaga perdamaian apa pun harus terdiri dari pasukan Eropa dan non-Eropa dan tidak akan tercakup dalam klausul pertahanan bersama NATO — yang berarti AS tidak bisa campur tangan menyelamatkan aliansi ini jika terjadi bentrokan dengan pasukan Moskow.

    Sebagai catatan, mantan Presiden Joe Biden juga enggan membahas kemungkinan Ukraina mendapatkan keanggotaan NATO, karena khawatir akan terjadi bentrokan dengan Rusia yang memiliki senjata nuklir yang dapat berubah menjadi Perang Dunia III. 

    “Dan desakan Trump bahwa pasukan penjaga perdamaian Eropa tidak akan mengenakan seragam NATO akan dilihat sebagai langkah yang sama bijaksananya oleh banyak pengamat untuk menghindari menyeret AS ke dalam konflik dengan Rusia,” papar ulasan tersebut

    Namun, Rabu juga merupakan hari terbaik bagi Putin sejak invasi, karena hari itu menyapu bersih banyak ‘mimpi’ yang diperjuangkan Ukraina dalam perangnya dengan Rusia. 

    Hegseth berpendapat bahwa ia hanya mengutarakan kenyataan yang ada di lapangan.

    “Dan ia ada benarnya. Tidak seorang pun di AS atau Eropa berpikir waktu dapat diputar kembali ke tahun 2014. Dan Ukraina tidak dapat merebut kembali wilayahnya di medan perang meskipun mendapat bantuan miliaran dolar dari Barat,” papar ulasan tersebut.

    “Namun, dengan menyingkirkan isu-isu tersebut dari meja perundingan, Trump, yang seharusnya menjadi pembuat kesepakatan tertinggi, telah merampas kesempatan Ukraina untuk mendapatkan konsesi dari teman lamanya, Putin,” kata ulasan tersebut. 

    “Seperti yang terjadi saat ini, Trump tampaknya tidak keberatan Rusia mempertahankan hasil rampasan invasi yang tidak beralasan itu,” lanjut tulisan tersebut.

    Sikap AS terhadap negosiasi yang cenderung menguntungkan Rusia ini dinilai bukan hal yang mengejutkan.

    “Sebab, seperti Rusia, Amerika sekarang memiliki presiden yang percaya bahwa negara-negara besar berhak melakukan ekspansionisme di wilayah pengaruh regional mereka. Namun, memberi Rusia penyelesaian yang menguntungkan akan menjadi preseden yang buruk,” kata ulasan tersebut.

    Kemesraan yang Mengerikan

    Panggilan telepon AS-Rusia dan pertemuan puncak mendatang dengan Putin di Arab Saudi, yang menurut Trump akan segera terjadi, bisa jadi kode kalu Trump tidak hanya mengeluarkan Zelensky dari kesepakatan – tetapi Eropa juga.

    Dalam sebuah pernyataan, Prancis, Jerman, Polandia, Italia, Spanyol, Uni Eropa, Komisi Eropa, ditambah Inggris dan Ukraina, memperingatkan kalau “Ukraina dan Eropa harus menjadi bagian dari setiap negosiasi.”

    Dan mereka memperingatkan Trump, yang tampaknya menginginkan kesepakatan damai dengan cara apa pun, bahwa “perdamaian yang adil dan abadi di Ukraina merupakan syarat yang diperlukan untuk keamanan transatlantik yang kuat.”

    Mantan Perdana Menteri Swedia Carl Bildt merasa khawatir dengan panggilan telepon yang mesra antara Trump dan Putin. 

    “Yang mengganggu tentu saja adalah kita memiliki dua orang besar, dua ego besar… yang percaya bahwa mereka dapat mengatur semua masalah sendiri,” katanya kepada Richard Quest di CNN International.

    Bildt membangkitkan analogi sejarah yang paling memberatkan yang mungkin terjadi — peredaan Adolf Hitler oleh Inggris yang memungkinkan Nazi untuk mencaplok Sudetenland.

    “Bagi telinga orang Eropa, ini terdengar seperti Munich. Kedengarannya seperti dua pemimpin besar yang menginginkan perdamaian di zaman kita, (atas) negara yang jauh yang tidak mereka ketahui. Mereka sedang mempersiapkan untuk membuat kesepakatan di atas kepala negara tertentu. Banyak orang Eropa tahu bagaimana film itu berakhir.”

    Strategi Trump Masih belum Jelas

    Hancurnya banyak keinginan dan harapan Zelensky berarti bahwa persetujuan Kyiv terhadap kesepakatan Putin-Trump tidak dapat dianggap remeh. 

    Dan setelah kemenangannya yang stabil di medan perang, tidak ada kepastian bahwa pemimpin Rusia itu sangat menginginkan penyelesaian yang cepat seperti Trump, yang telah lama mendambakan Hadiah Nobel Perdamaian.

    Namun, kerangka penyelesaian yang memungkinkan telah menjadi topik pembicaraan pribadi di Washington dan ibu kota Eropa selama berbulan-bulan, bahkan selama pemerintahan Biden.

    Seperti yang dijelaskan Hegseth, harapan Ukraina untuk mendapatkan kembali semua tanahnya yang hilang tidaklah realistis.

    Yang mungkin muncul adalah solusi yang sejalan dengan pemisahan Jerman setelah Perang Dunia II, dengan wilayah yang diduduki Rusia dibekukan di bawah kendalinya sementara wilayah Ukraina lainnya — di sisi lain perbatasan yang keras — tetap menjadi negara demokrasi.

    Mungkin wilayah barat akan diizinkan untuk bergabung dengan Uni Eropa, seperti Jerman Barat lama. Namun kali ini, pasukan AS tidak akan membuatnya aman untuk kebebasan.

    “Posisi AS terhadap Ukraina sebagaimana diutarakan hari ini seharusnya tidak mengejutkan siapa pun di Eropa: itu hanyalah apa yang telah dikatakan oleh orang dalam Eropa kepada saya secara rahasia, di saluran rahasia, di balik layar selama dua tahun: Ukraina Barat dan Ukraina Timur, seperti Jerman Barat dan Jerman Timur, tetapi dalam kasus ini – Uni Eropa Ya, NATO Tidak,” kata Dungan.

    “Solusi semacam itu akan memunculkan ironi sejarah yang kejam. Putin, yang menyaksikan dengan putus asa dari jabatannya sebagai perwira KGB di Dresden saat Uni Soviet bubar, mungkin akan segera menciptakan Jerman Timur baru di Eropa abad ke-21 dengan bantuan Amerika,” tulis kesimpulan Collinson dalam ulasannya.
     
     

  • Siapa Pemasok Baja dan Aluminium Utama ke AS, Apakah Kena Imbas Tarif Impor Trump? – Halaman all

    Siapa Pemasok Baja dan Aluminium Utama ke AS, Apakah Kena Imbas Tarif Impor Trump? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif sebesar 25 persen pada semua impor baja dan aluminium.

    Selain itu, tarif timbal balik akan diterapkan pada negara-negara yang mengenakan bea masuk pada barang-barang AS.

    Pada Senin (10/2/2025), dalam sebuah upacara penandatanganan di Ruang Oval, Trump mengumumkan bahwa tarif pada baja dan aluminium asing akan dikenakan “tanpa pengecualian atau pembebasan”.

    Tarif ini akan mulai berlaku pada tanggal 12 Maret.

    Lalu, siapa saja pemasok baja dan aluminium utama Amerika?

    Pemasok Baja Utama ke AS

    Baja merupakan material penting yang banyak digunakan dalam sektor konstruksi, manufaktur, transportasi, dan energi karena kekuatan, daya tahan, dan keserbagunaannya.

    Sekitar seperempat dari seluruh baja yang digunakan di Amerika Serikat diimpor.

    Kanada, Brasil, dan Meksiko merupakan tiga pemasok baja teratas bagi Amerika Serikat.

    Antara Maret 2024 dan Januari 2025, ketiga negara tersebut memasok sekitar setengah (49 persen) dari total impor baja untuk konsumsi domestik, menurut Administrasi Perdagangan Internasional.

    Selama periode tersebut, Kanada memasok 22 persen (5,47 juta ton) dari 25 juta ton baja yang diimpor ke AS.

    Brasil menyusul dengan 15 persen (3,74 juta ton), sementara Meksiko menyumbang 12 persen (2,9 juta ton).

    Negara-negara lainnya seperti Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Jerman, Taiwan, Belanda, dan Cina bersama-sama menyumbang sekitar 30 persen dari total impor baja AS.

    Pemasok Aluminium Utama ke AS

    Kanada merupakan pemasok aluminium terbesar bagi Amerika Serikat.

    Antara Maret 2024 dan Januari 2025, Kanada menyediakan hampir 40 persen dari total impor aluminium AS, dengan total hampir 3 juta metrik ton, menurut Administrasi Perdagangan Internasional.

    Uni Emirat Arab, Cina, Korea Selatan, dan Bahrain mengikuti Kanada dalam menempati lima besar pemasok aluminium ke AS.

    Aluminium, sebagai logam yang ringan, digunakan secara luas dalam industri otomotif dan kedirgantaraan.

    Aluminium juga sering digunakan dalam kemasan, terutama untuk makanan dan minuman, karena kemampuannya untuk mengawetkan isi dan dapat didaur ulang.

    Amerika Serikat lebih bergantung pada impor aluminium, dengan sekitar setengah dari seluruh aluminium yang digunakan di negara tersebut diimpor.

    Apa Itu Tarif dan Bagaimana Cara Kerjanya?

    Tarif adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah terhadap barang dan jasa impor.

    Tarif ini dibayarkan oleh bisnis yang membawa barang-barang tersebut ke suatu negara.

    Dirancang untuk melindungi industri dalam negeri, tarif sering kali membuat produk asing menjadi lebih mahal, yang dapat mengurangi permintaan.

    Presiden Trump mengatakan dia akan menerapkan tarif pada berbagai barang impor untuk melindungi industri AS, mengurangi ketidakseimbangan perdagangan, dan mempromosikan manufaktur dalam negeri.

    Bagaimana Tarif Periode Pertama Trump Mempengaruhi Baja AS?

    Pada Maret 2018, Trump mengenakan tarif sebesar 25 persen pada baja dan 10 persen pada aluminium.

    Gagasan di balik pengenaan tarif ini adalah untuk mengurangi ketergantungan AS pada baja asing dan meningkatkan produksi dalam negeri.

    Pada awalnya, pasar merespons dengan lonjakan harga baja AS dan penurunan impor baja murah, yang meningkatkan laba bagi perusahaan domestik.

    Peningkatan produksi baja domestik menyebabkan pasokan yang berlebihan di pasar, yang menyebabkan harga baja turun lebih dari 40 persen pada akhir 2019.

    Hal ini terjadi sebagian besar karena tarif balasan dari mitra dagang AS dan penurunan konsumsi, khususnya di sektor pembuatan mobil dan konstruksi.

    Antara Mei 2018 dan Mei 2019, produksi baja mentah AS meningkat hampir 4 persen.

    Pabrik dan gudang menaikkan harga, yang menghasilkan laba besar bagi mereka, tetapi juga meningkatkan biaya konstruksi.

    “Industri beralih ke produsen dalam negeri, dan kita kemungkinan akan melihat tren yang sama,” kata Deborah Idowu, Spesialis Riset Logam di London Stock Exchange Group (LSEG).

    Bagaimana Tarif Ini Mempengaruhi Industri Baja dan Aluminium AS?

    Baja dan aluminium merupakan material penting dalam industri konstruksi dan otomotif.

    Keduanya juga digunakan dalam pembuatan mesin, barang-barang rumah tangga tahan lama, dan barang elektronik.

    Jika tarif diterapkan, dampaknya terhadap perdagangan logam bisa sangat besar, menurut laporan tim Riset Logam LSEG.

    Tarif berpotensi meningkatkan biaya bagi produsen dan mengganggu rantai pasokan yang sudah ada.

    Sementara produsen AS mungkin akan beralih ke produsen dalam negeri untuk memenuhi permintaan, mereka akan menghadapi harga yang lebih tinggi, yang dapat meningkatkan biaya untuk industri seperti pembuatan mobil dan perumahan.

    Kanada dan Meksiko bersama-sama menyediakan 90 persen dari sisa aluminium yang diimpor ke AS pada tahun lalu.

    “Tarif yang diusulkan berisiko memicu tindakan balasan dari mitra dagang utama dan mengganggu rantai pasokan aluminium Amerika Utara,” kata Saida Litosh, analis logam utama di LSEG.

    Bagaimana Tarif Ini Mungkin Berbeda dari Tarif Trump Tahun 2018?

    Ada satu perbedaan besar yang mungkin terjadi, kata Idowu.

    Setahun setelah penerapan tarif tahun 2018, Trump membebaskan mitra dagang utama Kanada dan Meksiko dari tarif tersebut.

    Namun, menurut Idowu, Trump telah mengindikasikan bahwa pengecualian mungkin lebih sulit untuk diperoleh kali ini.

    “Ada pula masalah eskalasi – apa yang akan dilakukan negara-negara yang terkena dampak sebagai tanggapan, apakah mereka akan menaikkan tarif balasan, dan jika ya, seberapa besar skalanya?” tambahnya.

    Ada juga perbedaan dalam skala tarif yang diusulkan Trump.

    Sementara tarif 2018 ditetapkan sebesar 10 persen, tarif yang diusulkan kali ini sebesar 25 persen, yang akan menaikkan biaya secara signifikan bagi produsen AS yang mengandalkan aluminium impor.

    Bagaimana Tarif Akan Mempengaruhi China?

    China mendominasi pasar baja global dan merupakan produsen terbesar di dunia, menguasai lebih dari separuh produksi baja global.

    Akibatnya, ekspor baja China yang lebih murah telah membanjiri pasar global.

    Meskipun bukan pengekspor besar ke AS, China kemungkinan akan terpengaruh karena pengolahan baja dan aluminium China yang diproses di negara lain, seperti Vietnam, yang kemudian diekspor ke AS.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Rock & Roll Hall of Fame Umumkan 14 Nominasi yang “Bertarung” untuk Dilantik Tahun Ini

    Rock & Roll Hall of Fame Umumkan 14 Nominasi yang “Bertarung” untuk Dilantik Tahun Ini

    JAKARTA – Rock & Roll Hall of Fame melalui akun Instagram resmi telah mengumumkan nominasi pada Rabu, 14 Februari. Daftar tersebut memuat 14 nama, yang mana beberapa diantaranya akan dilantik tahun ini.

    “Selamat untuk nominasi #RockHall2025,” tulis akun Instagram Rock & Roll Hall of Fame dalam keterangan unggahan.

    Dari daftar tersebut, terdapat dua band besar asal Manchester, Inggris, yaitu Oasis dan dan New Order. Keduanya sudah pernah masuk nominasi, namun gagal untuk dilantik.

    Nominasi lain meliputi ikon pop Cyndi Lauper dan Mariah Carey; duo rock alternatif AS, The White Stripes; band rock asal Meksiko, Maná; serta band rock yang dibentuk mendiang Chris Cornell, Soundgarden.

    Sementara, nama-nama lain baru pertama kali menjadi nominasi di Rock & Roll Hall of Fame, yaitu Billy Idol, mendiang Joe Cocker, Chubby Checker, OutKast, Phish, Bad Company, dan The Black Crowes.

    Adapun, setengah dari nominasi akan dilantik ke dalam lembaga tersebut akhir tahun ini, dan para pemenang dipilih oleh panel internasional yang terdiri dari 1.200 musisi, profesional industri, dan sejarawan.

    Para penggemar juga dapat memilih artis favorit mereka secara daring, dan Lima Pilihan Teratas mereka akan dihitung sebagai satu suara. Voting ini dapat dilakukan melalui tautan di akun Instagram resmi Rock & Roll Hall of Fame.

    Pemungutan suara untuk penggemar sudah tersedia sekarang, dan para finalis akan diumumkan pada April mendatang, sementara tanggal upacara pelantikan akan dibagikan di kemudian hari.

  • Ancaman AS Tak Mempan, Afrika Selatan Terus Seret Israel ke Pengadilan atas Kasus Genosida Gaza – Halaman all

    Ancaman AS Tak Mempan, Afrika Selatan Terus Seret Israel ke Pengadilan atas Kasus Genosida Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Afrika Selatan bersikeras menolak mencabut gugatan kasus dugaan genosida oleh Israel di Jalur Gaza.

    Meski Amerika Serikat (AS) sudah menyampaikan ancaman berupa penghentian bantuan, Afrika Selatan tetap kokoh dalam pendiriannya.

    Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Ronald Lamola mengatakan “tidak ada kemungkinan” negaranya bakal mencabut gugatan yang diajukan di Mahkamah Internasional pada bulan Desember 2023 itu.

    “Teguh pada prinsip kami terkadang ada konsekuensinya, tetapi kami tetap tegas bahwa ini penting bagi dunia dan supremasi hukum,” kata Lamola kepada Financial Times, dikutip dari TRT World.

    Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menyeret Israel ke Mahkamah Internasional atas kasus dugaan genosida di Gaza.

    Tekanan AS

    Pekan lalu Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang menghentikan pengiriman bantuan ke Afrika Selatan.

    Langkah itu diambil sebagai balasan atas gugatan kasus genosida dan  undang-undang pertanahan yang menurut AS merampas tanah minoritas warga kulit putih di Afrika Selatan.

    AS juga menuding Afrika Selatan bekerja sama dengan Iran untuk mengembangkan rencana dagang, militer, dan nuklir dengan Iran.

    “AS tidak bisa mendukung pelanggaran hak oleh pemerintah Afrika Selatan di negaranya atau kebijakan luar negerinya yang mengganggu AS, yang memberikan ancaman keamanan nasional kepada negara kita, sekutu kita, rekan kita di Afrika, dan kepentingan kita,” demikian perintah itu.

    Sementara itu, Lamola membantah tudingan AS mengenai kerja sama nuklir dengan Iran.

    “Meski kami punya hubungan baik dengan Iran, kami tidak punya program nuklir apa pun dengan Iran, tidak punya pula perdagangan untuk dibicarakan,” ujar Lamola.

    Mengenai undang-undang bidang pertanahan, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan undang-undang itu ditujukan untuk menangani ketidakadlian apartheid pada masa lalu.

    Ramaphosa lalu menganggap tudingan AS adalah kebohongan dan misinformasi. Dia menyebut Afrika Selatan hanya menerima dana pencegahan HIV/AIDS dari AS.

    Afrika Selatan menjadi pelopor dalam gugatan kasus genosida Israel. Negara itu menuding Israel telah melanggar Konvensi Genosida 1948.

    Setelah Afrika Selatan, beberapa negara lain yang turut menggugat Israel adalah Nikaragua, Kolombia, Kuba, Libya, Meksiko, Spanyol, Belize, dan Turki.

    Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan eks Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas kejahatan perang di Gaza.

    BBC melaporkan Trump membela Israel dengan cara menjatuhkan sanksi kepada para staf ICC.

    Puluhan negara, termasuk Inggris, Jerman, dan Prancis, kemudian bereaksi dengan cara mengungkapkan dukungannya kepada ICC. Menurut banyak negara itu, ICC adalah pilar penting dalam sistem pengadilan internasional.

    Adapun AS dan Israel tidak mengakui otoritas ICC yang punya kekuasaan untuk mengadili para individu atas kejahatan genosida, kemanusiaan, dan kejahatan perang.

    Saat ini ICC memiliki 125 anggota di seluruh dunia. ICC pekan lalu meminta para anggotanya untuk bersatu demi keadilan dan hak dasar umat manusia.

    ICC juga berjanji untuk terus menghadirkan keadilan dan harapan kepada jutaan korban kejabatan di seluruh dunia.

    (*)

  • Inflasi AS Tak Terduga Naik Jadi 3% di Januari 2025

    Inflasi AS Tak Terduga Naik Jadi 3% di Januari 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Inflasi Amerika Serikat (AS) naik menjadi 3% pada Januari 2025. Angka tersebut melampaui prediksi para ekonom yang memperkirakan inflasi AS akan tetap stabil di angka 2,9% seperti pada Desember 2024.

    Melansir Reuters, Rabu (12/2/2025), kenaikan inflasi tersebut memperkuat argumen Federal Reserve atau The Fed untuk tidak terburu-buru menurunkan suku bunga.

    Indeks harga konsumen naik sebesar 0,5% pada bulan Januari, sedangkan indeks inti naik sebesar 0,4%. Angka tersebut melampaui prediksi yaitu 0,3%. Hal itu membuat kenaikan harga konsumen utama sebesar 3,0% untuk tahun ini.

    “Intinya adalah apa pun alasan di balik kejutan kenaikan tersebut, Fed telah sangat jelas menyatakan tidak akan memangkas suku bunga hingga inflasi mendekati 2%,” kata Adam Button, kepala analis mata uang di ForexLive di Toronto.

    Angka dari Biro Statistik Tenaga Kerja membuat investor bertaruh bahwa Fed akan memangkas suku bunga hanya sekali tahun ini. Sebelum publikasi data tersebut, pasar berjangka telah memperkirakan pemangkasan pertama akan dilakukan pada  September, dengan peluang 40% untuk pemangkasan kedua pada akhir tahun.

    “Pasar tidak yakin bahwa kita akan melihat disinflasi di akhir tahun, dan data hari ini tentu saja tidak memberikan bukti akan hal itu,” kata Eric Winograd, kepala ekonom di AllianceBernstein.

    Dia juga menyoroti kekhawatiran bahwa jika inflasi tidak terus turun, maka Fed tidak akan memangkas suku bunga sama sekali.

    Diberitakan sebelumnya, survei Reuters memperkirakan inflasi inti AS naik 0,3% pada Januari. Sementara itu, pelaku usaha telah mulai mengantisipasi potensi kenaikan harga akibat kebijakan tarif.

    Pasar saat ini memperkirakan pemangkasan suku bunga AS tidak akan terjadi sebelum September, dengan total penurunan hanya sekitar 35 basis poin sepanjang tahun ini.

    “Jika angka inflasi lebih tinggi dari perkiraan, ekspektasi pemangkasan suku bunga bisa semakin mundur. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pemangkasan baru terjadi tahun depan,” ujar Analis mata uang Westpac Imre Speizer.

    Di tengah kebijakan tarif yang diterapkan AS, dolar Kanada tetap stabil di C$1,4293 per dolar AS, meskipun seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa tarif baja akan ditambah dengan rencana penerapan pajak 25% bagi Meksiko dan Kanada.

    Sementara itu, peso Meksiko dan mata uang pasar negara berkembang lainnya terus tertekan, mendekati level terendah dalam beberapa waktu terakhir.

    Sebelumnya, Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada mengecam keputusan Donald Trump untuk menerapkan tarif 25% pada impor baja dan aluminium. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menegaskan bahwa pihaknya akan mengambil langkah balasan.

  • ‘Hujan Bom’ AS Belum Usai, Trump Siapkan Tarif Balas Dendam

    ‘Hujan Bom’ AS Belum Usai, Trump Siapkan Tarif Balas Dendam

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald Trump makin memperdalam ketegangan dagang global dengan mempersiapkan tarif balasan (resiprokal) terhadap negara-negara yang mengenakan bea masuk pada barang-barang AS. Langkah ini, yang sedang difinalisasi oleh para penasihat perdagangan Gedung Putih pada Rabu (12/2/2025), telah memicu kekhawatiran dari banyak pihak, termasuk industri dalam negeri dan mitra dagang utama seperti Meksiko, Kanada, Uni Eropa, Jepang, dan Australia.

    Setelah mengejutkan pasar dengan pengumuman tarif impor baja dan aluminium sebesar 25% pada Senin lalu-yang berlaku mulai 12 Maret-Trump kini berencana menaikkan tarif untuk setiap negara yang menerapkan bea masuk pada produk AS.

    Langkah ini menambah ketidakpastian di sektor industri yang bergantung pada impor baja dan aluminium, serta memperdalam risiko perang dagang global yang lebih luas.

    Sebelumnya, Trump telah mengenakan tambahan tarif 10% pada barang-barang China yang berlaku mulai 4 Februari, dengan Beijing membalas dengan kebijakan serupa pada pekan ini.

    Tarif impor sebesar 25% untuk barang dari Meksiko dan Kanada seharusnya berlaku bulan ini, tetapi ditunda hingga 4 Maret untuk memberikan waktu bagi negosiasi terkait pengamanan perbatasan AS dan upaya mengatasi perdagangan fentanyl ilegal.

    Meskipun beberapa pekerja industri baja di AS mendukung kebijakan ini, banyak perusahaan manufaktur besar yang mengandalkan impor mengkhawatirkan efek domino dari kenaikan tarif ini terhadap rantai pasokan dan harga produk mereka.

    “Perusahaan-perusahaan dengan ketergantungan besar pada impor baja dan aluminium kini kesulitan menyusun strategi jangka panjang,” ujar seorang eksekutif manufaktur yang enggan disebutkan namanya, dilansir Reuters.

    Banyak industri, termasuk otomotif, farmasi, dan teknologi semikonduktor, khawatir dengan ancaman Trump yang juga mempertimbangkan tarif baru pada sektor mereka.

    Hingga kini, Gedung Putih belum memberikan detail lengkap mengenai bagaimana tarif balasan ini akan diterapkan, meskipun Trump berjanji akan mengumumkannya dalam dua hari ke depan.

    Menurut William Reinsch, analis senior di Center for Strategic and International Studies, tim perdagangan Trump menghadapi dilema besar dalam menyusun skema tarif ini. Ada dua pilihan utama yang bisa diambil:

    Pertama, Pemerintah AS bisa mengenakan tarif rata, misalnya 10% atau 20% untuk semua negara, agar lebih mudah diterapkan.

    Kedua, tarif berbasis timbal balik, yakni AS bisa menyesuaikan tarif untuk setiap negara berdasarkan bea masuk yang mereka kenakan terhadap barang AS.

    “Jika kita mengikuti metode kedua, ini akan sangat kompleks dan sulit diterapkan,” kata Reinsch.

    Seorang sumber di Gedung Putih yang terlibat dalam perumusan tarif mengatakan bahwa detailnya masih dirampungkan hingga Selasa malam, mengindikasikan masih adanya perdebatan internal.

    Menurut Damon Pike, pakar perdagangan internasional di BDO International, skema tarif yang diusulkan Trump berpotensi menjadi pekerjaan monumental.

    “Di tingkat internasional, ada sekitar 5.000 deskripsi produk dengan kode 6 digit yang digunakan di 186 negara anggota Organisasi Bea Cukai Dunia. Jadi, ini berarti 5.000 dikalikan 186 negara-ini hampir seperti proyek kecerdasan buatan,” jelasnya.

    Dukungan dan Tantangan Hukum

    Para penasihat perdagangan Trump sedang mengeksplorasi berbagai undang-undang yang dapat digunakan untuk menerapkan tarif ini. Beberapa opsi yang sedang dipertimbangkan antara lain Trade Act 1974, Section 122 – hanya memungkinkan tarif flat maksimum 15% selama enam bulan; Tariff Act 1930, Section 338 – memungkinkan AS mengambil tindakan terhadap negara yang melakukan diskriminasi perdagangan terhadap produk AS, tetapi belum pernah digunakan sebelumnya; dan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) – digunakan untuk mengenakan tarif terhadap China, serta rencana tarif baru untuk Kanada dan Meksiko.

    Menurut Pike, jika tidak menggunakan IEEPA, maka pemerintah harus melibatkan Kongres sebelum memberlakukan tarif baru.

    “Segala sesuatu tampaknya bergerak dengan sangat cepat, tetapi jika tidak melalui IEEPA, tarif harus mendapat persetujuan dari badan pemerintah lain sebelum bisa diterapkan,” katanya.

    Namun, metode “tarif balasan” yang diusulkan Trump juga bisa menjadi bumerang bagi AS sendiri.

    Reinsch memperingatkan bahwa pendekatan ini berarti AS menyerahkan kendali atas kebijakan tarifnya kepada negara lain.

    “Misalnya, jika Kolombia menetapkan tarif tinggi untuk kopi demi melindungi industrinya, maka kita akan menerapkan tarif tinggi pada kopi Kolombia juga-padahal AS tidak memproduksi kopi. Akibatnya, yang rugi adalah konsumen Amerika sendiri,” jelasnya.

    (luc/luc)

  • Pakai Pesawat Militer, AS Mulai Deportasi Migran Ilegal ke India – Halaman all

    Pakai Pesawat Militer, AS Mulai Deportasi Migran Ilegal ke India – Halaman all

    Harwinder Singh banyak merenung dalam 40 jam penerbangan pulang dari Texas menuju Kota Amritsar, negara bagian Punjab, India. Perjalanan dengan pesawat militer AS ini adalah babak terakhir dari cobaan yang dihadapinya mulai Juni 2024 lalu. Pada saat itu, Singh membayar seorang agen seharga lebih dari empat juta rupee (atau setara dengan sekitar 44.500 Euro) untuk menempuh perjalanan ke AS.

    Agen tersebut meyakinkan pria berusia 41 tahun itu bahwa ia dapat mencapai AS secara legal dalam waktu dua minggu. “Namun, perjalanan itu membawa saya melewati Qatar, Brasil, Peru, Kolombia, Panama, Nikaragua dan Meksiko – sering kali dalam kondisi yang tidak menentu, dengan harapan dapat tiba di the land of opportunity,” kata Singh dalam sebuah wawancara dengan DW.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Agennya telah menyelundupkan Singh melalui “rute keledai” – istilah yang terkenal di India untuk rute migrasi ilegal dan berisiko.Rute ini digunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai Amerika Serikat atau negara-negara Barat lainnya tanpa dokumen yang sah. Perjalanan yang berbahaya ini biasanya melibatkan beberapa persinggahan di negara-negara yang berbeda.

    Singh melaporkan bahwa ia dan para migran lainnya bertahan hidup dengan makanan seadanya selama perjalanan mereka dan sering kali dipaksa untuk melintasi medan yang berat – dalam kondisi cuaca yang ekstrim.

    Sebagai contoh, ia dibawa bersama sekelompok migran dengan perahu kecil ke laut lepas menuju Meksiko. Selama penyeberangan, satu orang jatuh ke dalam air tanpa jaket pelampung – mereka tidak dapat diselamatkan. “Saya melihat seorang lagi meninggal di hutan Panama,” kata Singh.

    Gagal dan kehilangan segalanya

    Pada akhir Januari, tak lama sebelum rencana masuk ke Amerika Serikat, Singh ditangkap di Meksiko dan diserahkan kepada patroli perbatasan AS. Dia menghabiskan beberapa minggu di pusat penahanan sebelum akhirnya kaki dan tangannya dibelenggu lalu dimasukkan ke dalam pesawat militer AS.

    Bersama dengan lebih dari 100 migran yang dideportasi lainnya, yang berasal dari negara bagian Punjab, Gujarat, Haryana, Uttar Pradesh dan Maharashtra, Singh pun diterbangkan kembali ke India.

    Di antara penumpang yang dideportasi terdapat 19 wanita dan 13 anak di bawah umur, termasuk seorang anak laki-laki berusia empat tahun dan dua anak perempuan berusia lima dan tujuh tahun.

    “Saya sangat terpukul setelah mempertaruhkan segalanya, uang, keselamatan, dan bahkan martabat saya – dengan harapan dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi keluarga saya,” kata Singh, ayah dua anak tersebut.

    Berapa banyak warga India di AS tanpa dokumen resmi?

    Berdasarkan data terbaru dari Pew Research Center yang berbasis di Washington di tahun 2022 diperkirakan ada sekitar 725.000 imigran ilegal dari India di Amerika Serikat- menjadikan India ranking ketiga setelah Meksiko dan El Salvador.

    Sebaliknya, Migration Policy Institute memberikan angka yang jauh lebih rendah untuk tahun yang sama yakni 375.000 imigran ilegal dari India, mendudukkan India di rangking kelima.

    Terlepas dari angka-angka tersebut, India dan Amerika Serikat telah lama menegosiasikan deportasi. Menurut laporan eksklusif Bloomberg tahun 2024, pihak berwenang AS telah mengidentifikasi hampir 18.000 migran India tidak berdokumen akan dideportasi.

    Tantangan setelah “kembali”

    Banyak dari mereka yang telah kembali kini menghadapi tantangan yang sangat besar. Beberapa dari mereka telah menginvestasikan seluruh tabungan mereka untuk bisa sampai ke AS, banyak yang kini terlilit hutang.

    “Ini sangat sulit dan saya tidak bisa memikirkan bagaimana ke depan. Satu-satunya yang melegakan adalah suami saya telah kembali meski hutangnya sangat banyak,” kata Kuljinder Kaur, istri Harwinder Singh. “Untuk saat ini, biarkanlah kami sendiri, sehat terlebih dahulu.”

    Migran yang ditinggalkan dalam kesulitan

    Akashdeep Singh, yang ikut dalam penerbangan deportasi, juga mengatakan kepada DW bahwa hal itu tak hanya berisiko secara keuangan tetapi juga kesehatan emosional keluarganya demi sebuah kesempatan untuk hidup di AS.

    Pria berusia 23 tahun dari sebuah desa dekat Amritsar itu menjual sebagian besar tanahnya dan mengambil pinjaman sebesar 6 juta rupee (setara dengan 66.000 euro) untuk membiayai perjalanannya.

    Sekitar delapan bulan sebelum dideportasi, ia pindah ke Dubai dengan harapan dapat bekerja sebagai sopir truk. Namun tidak berhasil, sehingga ia memutuskan untuk menggunakan jaringan penyelundupan untuk sampai ke AS.

    “Saya ditangkap pada bulan Januari. Itu sangat mengerikan dan saya tidak ingin menceritakannya secara rinci – tetapi saya tidak akan pernah bisa melupakan aib ini,” kata Singh. Akashdeep tidak memberikan rincian: “Jangan tanya saya apa yang memotivasi saya untuk mengambil keputusan yang berisiko seperti itu.”

    Trump perketat kebijakan imigrasi

    Deportasi dari AS ke India ini merupakan bagian dari tindakan keras komprehensif terhadap migrasi ilegal di bawah Presiden AS Donald Trump,yang telah menjadikan penegakan hukum imigrasi yang ketat sebagai prioritas politiknya.

    Kali pertama penggunaan pesawat militer AS, bukan pesawat komersil untuk mendeportasi 104 warga negara India ini sangat kontroversial. Sebuah keputusan yang memberi pesan simbolis dan politis yang jelas.

    Deportasi ini terjadi sebelum kunjungan Perdana Menteri India, Narendra Modi, ke Washington minggu depan. Waktu dan perlakuan terhadap para deportan oleh pihak berwenang AS memicu kritik tajam di India – terutama dari partai-partai oposisi India yang mempertanyakan tindakan AS.

    Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, dalam sebuah pernyataan resmi di hadapan majelis parlemen menyatakan bahwa pembelengguan selama penerbangan deportasi sejalan dengan standar procedure di AS. Selanjutnya ia mengatakan bahwa New Delhi telah melakukan kontak dengan Washington, memastikan bahwa para deportan tidak diperlakukan dengan buruk.

    “Prosedur standar untuk deportasi dengan pesawat ICE (US Immigration and Customs Enforcement atau Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS), yang ada sejak tahun 2012, melibatkan penggunaan belenggu,” Jaishankar menjelaskan ketika ditanya tentang kondisi deportasi.

    Di bandara Amritsar, Swaran Singh (55), ayah dari Akashdeep Singh, menunggu kepulangan anaknya. Terlepas dari beban keuangan yang sangat besar, ia menekankan bahwa kepulangannya ke rumah dengan selamat adalah hal yang paling penting baginya.

    “Agen berjanji kepada saya bahwa perjalanan anak saya akan aman. Saya mempercayainya – tetapi sekarang semuanya hilang. Setidaknya, saya memiliki anak saya kembali, dan itulah yang terpenting. Masa depan kami tidak pasti dan mengkhawatirkan, karena kami memiliki utang yang sangat besar untuk dilunasi,” katanya.

    “Kenyataan pahitnya adalah bahwa kami – seperti banyak keluarga di Punjab dan di tempat lain di negara ini – menghadapi kehancuran finansial. Ditambah lagi dengan stigmatisasi sosial, yang begitu buruk ketika kerabat kami dikembalikan dengan cara seperti ini.”

    Diadaptasi dari artikel DW Bahasa Inggris

  • Indonesia Harus Ambil kesempatan dari Kebijakan Ekonomi Donald Trump – Page 3

    Indonesia Harus Ambil kesempatan dari Kebijakan Ekonomi Donald Trump – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif impor untuk beberapa negara seperti China, Kanada, dan Meksiko, tengah jadi sorotan dunia saat ini. Beberapa negara melihat ini bukan ancaman tetapi justru peluang dari kebijakan Donald Trump tersebut.

    Ketua Dewan Pembina Indonesia Business Council (IBC) Arsjad Rasjid menilai, imbas kebijakan Trump bisa dilihat dari beberapa sisi. Menurutnya, Indonesia bisa mengambil sudut pandang positif terhadapnya.

    “Untuk kita, kita harus melihat peluangnya. Misalnya contoh, kalau mereka enggak mau beli produk China, kalau produk Indonesia gimana?” kata Arsjad di Jakarta, Rabu (12/2/2025).

    “Dengan begitu, pengusaha China akan lebih banyak investasi di Indonesia. Kalau enggak, tidak bisa dia jualan,” dia menambahkan.

    Menurut dia, Indonesia harus bisa mengambil sisi positif dari kebijakan Trump, lantaran banyak potensi perdagangan yang bisa dikawal oleh Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia pun didorong untuk bisa bersinergi dengan negara tetangga dalam menyikapinya.

    “Di sisi ini juga yang penting, bicara mengenai, kenapa enggak Indonesia, kenapa enggak Asean, menjadi the supply chain,” ujar Arsjad.

    Sudut pandang terhadap kebijakan Donald Trump pun telah beberapa kali diutarakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Khususnya setelah Amerika Serikat memilih keluar dari Paris Agreement.

    Bahlil bilang, keputusan Trump hengkang dari Paris Agreement membuat batu bara kembali dibutuhkan. Utamanya sebagai sumber kelistrikan yang lebih hemat biaya dibanding energi baru terbarukan (EBT).

    “Kita pikir batu bara udah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak/ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” kata Bahlil di Mandiri Investment Forum 2025 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (11/2/2025) kemarin.

     

  • Pemerintah Masih Pantau Efek Eskalasi Perang Dagang AS

    Pemerintah Masih Pantau Efek Eskalasi Perang Dagang AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak ingin gegabah merespons perang dagang yang semakin memanas antara Amerika Serikat dengan China, Meksiko, Kanada, hingga Brasil.

    Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi menjelaskan pemerintah ingin melihat perkembangan yang terjadi akibat perang dagang itu terlebih dahulu sebelum ambil tindakan.

    “Antisipasi situasi kompetisi yang keras seperti ini, kita juga tidak boleh melakukan tindakan yang sifatnya langsung keras juga. Kita lihat dulu, pelajari dulu,” ujar Edi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2025).

    Dia mencontohkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump awalnya menerapkan tarif tinggi kepada barang impor dari Kanada dan Meksiko, namun akhirnya direlaksasi. Edi pun melihat Trump memakai perang dagang untuk melakukan lobi dengan negara lain.

    Lagi pula, sambungnya, AS tidak menerapkan tarif khusus kepada barang impor dari Indonesia. Oleh sebab itu, yang perlu diwaspadai pemerintah adalah kebijakan yang sifatnya nontarif. “Kalau tarif kelihatan angkanya, kita bisa turunkan-naikkan dari proses produksi, tapi kalau nontarif itu sulit,” jelas Edi.

    Sebagai informasi, sebelumnya Trump menerapkan bea masuk atau tarif impor sebesar 25% terhadap barang dari Kanada dan Meksiko serta 10% terhadap barang dari China.

    Kendati demikian, Trump menangguhkan tarif atas barang impor Kanada dan Meksiko usai kedua negara itu mengancam ingin membalasnya.

    Kanada mengancam akan mengenakan pungutan sebesar 25% pada sejumlah besar produk impor asal AS, sementara Meksiko mempersiapkan kemungkinan tarif balasan berkisar antara 5% hingga 20% pada daging babi, keju, produk segar, baja manufaktur, dan aluminium.

    Terbaru, Trump resmi menaikkan tarif impor baja dan aluminium menjadi 25% tanpa pengecualian. Kebijakan ini akan berdampak pada jutaan ton baja dan aluminium dari Kanada, Brasil, Meksiko, Korea Selatan, dan negara lain yang sebelumnya mendapat pengecualian tarif.

    Sebelumnya, Wakil Kepala Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu mendorong pemerintah mendiservikasi mitra dagang sebagai langkah antisipasi dari efek negatif ekskalasi perang dagang.

    “Jadi, saya pikir Indonesia sedang berada di jalan yang benar. Kami ingin berteman dengan siapa saja, yang artinya mendiversifikasi mitra dagang dan meningkatkan negosiasi bilateral,” ungkap Mari Elka dalam Mandiri Investment Forum 2025 di Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2025).