Negara: Lebanon

  • Lebanon Desak Militer Lucuti Senjata Hizbullah

    Lebanon Desak Militer Lucuti Senjata Hizbullah

    Jakarta

    Pemerintah Lebanon telah menugaskan militer untuk menyusun rencana yang mengatur hanya institusi negara yang memiliki senjata sebelum akhir tahun 2025.

    Langkah ini secara efektif akan melucuti senjata Hizbullah, sebuah partai politik dan kelompok militan Syiah yang didukung Iran di Lebanon.

    Keputusan kabinet pada Selasa (05/08) ini diambil setelah adanya tekanan besar dari Amerika Serikat (AS) untuk melucuti senjata kelompok tersebut.

    Langkah ini merupakan bagian dari implementasi gencatan senjata November 2024 yang bertujuan mengakhiri lebih dari satu tahun permusuhan antara Israel dan Hizbullah, termasuk dua bulan perang besar-besaran.

    Dalam perjanjian gencatan senjata tersebut, otoritas pemerintah Lebanon, termasuk militer dan layanan keamanan dalam negeri, seharusnya menjadi satu-satunya kekuatan bersenjata di Lebanon.

    Perdana Menteri (PM) Lebanon Nawaf Salam mengatakan, pemerintah “menugaskan militer Lebanon untuk menyusun rencana pelaksanaan pembatasan kepemilikan senjata” hanya untuk militer dan aparat negara lainnya sebelum akhir tahun ini.

    Rencana tersebut akan diajukan ke kabinet sebelum akhir Agustus untuk dibahas dan disetujui, ungkap Salam dalam konferensi pers setelah sesi kabinet marathon yang berlangsung hampir enam jam.

    Kenapa Hizbullah punya banyak senjata?

    Kelompok ini adalah satu-satunya faksi yang mempertahankan senjatanya setelah perang saudara Lebanon 1975-1990, dengan alasan “perlawanan” terhadap Israel.

    Hizbullah telah lama menjadi kekuatan militer terkuat di Lebanon bahkan lebih kuat dari militer negara berkat pendanaan, pelatihan, dan persenjataan dari Iran. Kelompok ini pernah dianggap sebagai aktor non-negara yang memiliki paling banyak senjata di dunia.

    Namun, perang dengan Israel melemahkan Hizbullah secara signifikan, di mana persenjataan mereka dihantam habis-habisan dan banyak pemimpin politik serta militer mereka tewas.

    Akankah Hizbullah setujui pelucutan senjata?

    Pemimpin Hizbullah, Naim Qassem, pada Selasa (05/08) menyatakan bahwa kelompoknya tidak akan melucuti senjata selama serangan Israel terus berlanjut.

    “Setiap jadwal pelaksanaan di bawah… agresi Israel tidak bisa kami setujui,” katanya dalam pertemuan rapat kabinet.

    “Masalahnya, kami harus berikan senjata, tapi tanpa keamanan nasional. Mana mungkin? Kami tidak bisa menerimanya karena kami menganggap kelompok ini bagian fundamental dari Lebanon,” ujar Qassem.

    Hizbullah masih mendapat dukungan signifikan dari komunitas Syiah di Lebanon.

    Namun, survei Arab Barometer yang dilakukan pada awal 2024 menemukan bahwa “meskipun Hizbullah punya pengaruh besar di Lebanon, hanya sedikit warga Lebanon yang benar-benar mendukungnya.”

    Kenapa Israel masih menyerang Lebanon?

    Bentrokan lintas batas antara Hizbullah dan Israel sudah terjadi selama beberapa dekade. Perang terbaru meletus pada Oktober 2023 ketika Hizbullah mulai menembakkan roket ke Israel setelah pembantaian yang dilakukan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023.

    Israel terus melakukan serangan ke Lebanon meskipun ada gencatan senjata pada November 2024. Israel mengklaim, serangan itu menargetkan gudang senjata dan pejuang Hizbullah, serta menuduh kelompok tersebut berupaya membangun kembali kemampuan militernya.

    Israel mengancam akan terus menyerang Lebanon sampai kelompok itu benar-benar dilucuti.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi

    Editor: Tezar Aditya dan Hani Anggraini

    Tonton juga video “Hizbullah Ancam Bakal Serang Israel Jika Perang Lebanon Berlanjut” di sini:

    (ita/ita)

  • Hizbullah Ancam Bakal Serang Israel Jika Perang Lebanon Berlanjut

    Hizbullah Ancam Bakal Serang Israel Jika Perang Lebanon Berlanjut

    Pemimpin Hizbullah Naim Qassem mengancam Israel dengan rudal jika negara itu melanjutkan perang besar-besaran di Lebanon. Qassem mengatakan Hizbullah, tentara dan rakyat Lebanon akan membela diri jika Israel terlibat dalam agresi skala besar.

    Hizbullah mengatakan mereka tidak menyetujui perjanjian baru apapun selain yang sudah ada antara Lebanon dan Israel.

  • Houthi Tembakkan Rudal ke Israel, tapi Berhasil Dicegat Militer

    Houthi Tembakkan Rudal ke Israel, tapi Berhasil Dicegat Militer

    Jakarta

    Houthi menembakkan rudal ke Israel. Namun, serangan itu tidak menghancurkan Israel karena berhasil dicegat oleh militer Israel.

    “Menyusul sirene yang berbunyi beberapa saat yang lalu di beberapa wilayah di Israel, sebuah rudal yang diluncurkan dari Yaman berhasil dicegat oleh Angkatan Udara Israel,” demikian pernyataan militer sebagaimana dilansir AFP, Selasa (5/8/2025).

    Houthi, yang menguasai ibu kota Yaman, Sanaa, dan sebagian besar wilayah negara itu, merupakan bagian dari aliansi melawan Israel yang dibentuk oleh Iran, yang mencakup kelompok-kelompok lain seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza.

    Sejak dimulainya perang di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, Houthi secara rutin menembakkan rudal ke Israel, yang sebagian besar berhasil dicegat.

    Sebagai tanggapan, Israel telah berulang kali mengebom infrastruktur di bawah kendali mereka, termasuk pelabuhan di bagian barat negara itu dan bandara Sanaa.

    (zap/yld)

  • Kami Tak Akan Tunduk ke Israel

    Kami Tak Akan Tunduk ke Israel

    Pemimpin Hizbullah Lebanon, Sheikh Naim Qassem, mengatakan bahwa seruan agar kelompok militannya melucuti senjata hanya akan menguntungkan Israel. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tunduk terhadap Israel.

    Amerika Serikat (AS) kini mendesak Lebanon untuk mengeluarkan keputusan kabinet resmi untuk melucuti senjata Hizbullah. Hizbullah secara terbuka menolak menyerahkan persenjataannya secara penuh.

    Simak berita lain seputar Hizbullah di sini.

  • Israel Izinkan Akses Terbatas Pasukan Suriah ke Sweida Usai Bentrok Mematikan

    Israel Izinkan Akses Terbatas Pasukan Suriah ke Sweida Usai Bentrok Mematikan

    JAKARTA – Israel mengizinkan akses terbatas bagi pasukan Suriah ke wilayah Sweida di Suriah selatan selama dua hari ke depan.

    Izin ini keluar setelah pertumpahan darah selama berhari-hari di dalam dan sekitar kota Sweida, Suriah yang dihuni mayoritas Druze.

    “Mengingat ketidakstabilan yang sedang berlangsung di barat daya Suriah, Israel telah setuju untuk mengizinkan masuknya pasukan keamanan internal (Suriah) secara terbatas ke distrik Sweida selama 48 jam ke depan,” kata pejabat pemerintahan Israel yang menolak disebutkan namanya itu kepada wartawan dilansir Reuters, Jumat, 18 Juli.

    Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Suriah mengatakan pasukan pemerintah tidak bersiap untuk dikerahkan kembali ke Provinsi Sweida.

    Pasukan Suriah mundur dari Sweida setelah gencatan senjata diumumkan pada Rabu, tetapi bentrokan kembali terjadi pada Kamis malam antara pejuang dari suku Badui dan Druze, yang merupakan  minoritas agama di Suriah yang memiliki pengikut di Lebanon dan Israel.

    Bentrokan di beberapa bagian Provinsi Sweida berlanjut hingga Jumat, menurut penduduk Sweida dan Ryan Marouf, kepala media lokal Sweida24.

    Damaskus minggu ini mengerahkan pasukan ke Sweida, yang berbatasan dengan wilayah yang dikuasai Israel, untuk mencoba meredakan beberapa pertempuran internal paling intens di Suriah sejak pemerintah sementara berkuasa akhir tahun lalu.

    Kelompok pemantau Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah (SNAHR) mengatakan telah mendokumentasikan 254 orang tewas dalam empat hari pertempuran, di antaranya tenaga medis, perempuan, dan anak-anak.

    Israel terlibat dalam permusuhan pada Rabu. Israel menyatakan tidak akan mengizinkan pemerintah Suriah yang dipimpin kelompok Islamis untuk mengerahkan pasukan ke selatan, menyerang pasukan Suriah di Sweida dan Kementerian Pertahanan Suriah, serta menyerang di dekat istana presiden di Damaskus.

    Israel yang menggambarkan para penguasa baru Suriah sebagai jihadis yang nyaris tak tersamar, berjanji untuk melindungi komunitas Druze di wilayah tersebut dari serangan, didorong oleh seruan dari minoritas Druze Israel sendiri.

  • Suriah Berdarah Gara-gara Israel Bikin Dunia Marah

    Suriah Berdarah Gara-gara Israel Bikin Dunia Marah

    Jakarta

    Israel menyerang sejumlah lokasi di Suriah. Serangan Israel itu membuat marah dunia.

    Dilansir AFP, Kamis (17/7/2025), serangan udara dilancarkan setelah Israel berjanji meningkatkan serangan mereka kecuali pemerintah Suriah menarik pasukan dari wilayah bagian selatan. Wilayah di selatan Suriah baru-baru ini dilanda bentrokan mematikan antara para petempur Druze dan Bedouin.

    Serangan udara Israel terhadap wilayah Damaskus ini disebut melibatkan drone. Militer Israel menyatakan pihaknya terus memantau perkembangan situasi di Suriah bagian selatan menyusul bentrokan berdarah antara Druze dan Bedouin.

    “IDF (Angkatan Bersenjata Israel) terus memantau perkembangan dan aktivitas terhadap warga sipil Druze di Suriah bagian selatan dan, sesuai dengan arahan eselon politik, menyerang wilayah tersebut dan bersiap menghadapi berbagai skenario,” ujar militer Israel dalam pernyataannya seperti dilansir Times of Israel.

    Televisi pemerintah Suriah melaporkan dua warga sipil mengalami luka-luka akibat serangan di pusat kota Damaskus. Serangan udara Israel terhadap wilayah Suriah ini dilancarkan saat bentrokan berdarah terjadi di wilayah Suweida, yang mayoritas penghuninya merupakan penganut Druze.

    Puluhan orang dilaporkan tewas dalam bentrokan yang terjadi sejak Minggu (13/7) waktu setempat. Pasukan keamanan Suriah, seperti dilansir Al Arabiya, dikerahkan ke wilayah Suweida sejak Senin (14/7) untuk meredakan pertempuran antara para petempur Druze dan kelompok bersenjata Bedouin.

    Namun, mereka malah terlibat bentrok dengan milisi Druze. Pertempuran itu menarik perhatian Israel, yang kemudian melancarkan serangan udara terhadap pasukan pemerintah Suriah pada Senin (14/7) dan Selasa (15/7) dengan tujuan melindungi komunitas Druze.

    Pada Rabu (16/7), Israel memperbarui serangannya di wilayah Suweida, setelah gencatan senjata yang sebelumnya diumumkan Kementerian Pertahanan Damaskus gagal bertahan lama dengan pertempuran kembali terjadi antara para petempur Druze dan pasukan pemerintah Suriah. Tel Aviv mengatakan pihaknya akan mengirimkan lebih banyak pasukan ke perbatasan dengan Suriah setelah berjanji meningkatkan serangan jika pasukan pemerintah Suriah tidak ditarik dari wilayah Suweida.

    “Sesuai dengan penilaian situasi, (militer Israel) memutuskan untuk memperkuat pasukannya di wilayah perbatasan Suriah,” demikian pernyataan militer Israel.

    Siapa Sebenarnya Kelompok Druze?

    Komunitas Druze (Foto: BBC World)

    Druze adalah komunitas minoritas etnoreligius berbahasa Arab di Suriah, Lebanon, Israel, dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Agama Druze merupakan cabang dari Syiah dengan identitas yang unik.

    Separuh dari sekitar satu juta pengikutnya tinggal di Suriah atau sekitar 3% dari populasi negara tersebut. Komunitas Druze di Israel dianggap loyal karena banyak yang menjalani dinas militer Israel.

    Ada sekitar 152.000 orang Druze yang tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, menurut Biro Pusat Statistik Israel. Secara historis, mereka menempati posisi yang genting dalam tatanan politik Suriah.

    Selama perang saudara Suriah yang berlangsung hampir 14 tahun, Druze punya milisi sendiri di Suriah selatan. Sejak Assad dijatuhkan pada Desember 2024, komunitas Druze telah menentang upaya negara Suriah untuk memaksakan otoritas atas Suriah selatan.

    Banyak di antara mereka yang keberatan dengan kehadiran militer resmi Suriah di Suweida dan menolak bergabung dengan tentara Suriah. Mereka memilih mengandalkan milisi lokal.

    Serangan Israel di Suriah Sebabkan Warga Tewas

    Israel gempur Suriah (Foto: BBC World)

    Militer Israel menghancurkan gedung kantor pusat Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus dan pasukan pemerintah di Suriah selatan pada Rabu (16/7). Serangan Israel juga diarahkan ke area sekitar Istana Presiden Suriah di Damaskus, kendaraan-kendaraan lapis baja, serta fasilitas penyimpanan senjata di Suriah selatan.

    Kementerian Luar Negeri Suriah mengatakan serangan Israel menargetkan lembaga-lembaga pemerintah dan fasilitas sipil di Damaskus dan Suweida. Kementerian Luar Negeri Suriah mengatakan beberapa warga sipil tewas dalam serangan tersebut.

    “Serangan terang-terangan ini, yang merupakan bagian dari kebijakan yang disengaja oleh entitas Israel untuk mengobarkan ketegangan, menyebarkan kekacauan, dan merusak keamanan dan stabilitas di Suriah, merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum humaniter internasional,” ujar Kemlu Suriah.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan pasukannya ‘berusaha menyelamatkan saudara-saudara Druze kami dan melenyapkan geng-geng rezim’. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Suriah menuduh Israel melakukan agresi berbahaya.

    Dunia Kecam Serangan Israel ke Suriah

    Kerusakan akibat serangan Israel ke Suriah (Foto: REUTERS/Khalil Ashawi)

    Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) mengecam serangan Israel di wilayah kedaulatan Suriah. Kemlu menyampaikan keprihatinannya atas apa yang terjadi di Suweida, Suriah.

    “Indonesia prihatin atas memburuknya situasi di Suweida, Suriah, yang telah menimbulkan banyak korban sipil,” tulis Kemlu RI lewat akun X @Kemlu_RI, Kamis (17/7/2025).

    Indonesia mengecam Israel dan menyebut negara Yahudi itu tidak menghormati kedaulatan Suriah. Indonesia mendorong terjadinya gencatan senjata antara kelompok yang berkonflik.

    “Indonesia juga mengecam intervensi militer Israel yang tidak menghormati kedaulatan Suriah,” katanya.

    Kemlu menyatakan Indonesia selalu mendukung upaya perdamaian yang dilakukan pemerintah Suriah. Kemlu RI menekankan pentingnya penyelesaikan konflik lewat dialog.

    “Indonesia mendorong terwujudnya gencatan senjata permanen antara Pemerintah Suriah dan Kelompok Druze, dan terus mendukung upaya yang dilakukan pemerintah Suriah dalam menciptakan perdamaian di seluruh wilayah Suriah,” ujarnya.

    Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres juga mengecam serangan udara Israel di Suriah. Guterres juga mengecam pengerahan kembali pasukan Israel di dataran tinggi Golan.

    “Sekretaris Jenderal juga mengecam serangan udara Israel yang meningkat di Suweida, Daraa, dan di pusat kota Damaskus, serta laporan pengerahan kembali pasukan IDF di Golan,” ujar juru bicara Guterres, Stephane Dujarric, dalam sebuah pernyataan, dilansir AFP, Kamis (17/7/2025).

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan dirinya sangat khawatir tentang kekerasan di selatan. Tetapi, dia mengaku yakin kekerasan itu akan berakhir dalam beberapa jam.

    “Kami telah menyepakati langkah-langkah spesifik yang akan mengakhiri situasi yang meresahkan dan mengerikan ini malam ini,” tulisnya di X pada Rabu (16/7) malam.

    Halaman 2 dari 4

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Siapa Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

    Siapa Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

    Jakarta

    Gelombang aksi kekerasan SARA yang baru-baru ini berlangsung di Suriah menyoroti kerapuhan negara tersebut.

    Pada Minggu, 13 Juli, kabar mengenai penculikan seorang pedagang dari kelompok minoritas Druze memicu bentrokan mematikan selama berhari-hari antara milisi Druze dan suku Badui yang beragama Islam Sunni di Suriah selatan.

    Kemudian pada Selasa, 15 Juli, Israel menyerang pasukan propemerintah yang dituduh menyerang komunitas Druze di Suweida. Setidaknya 350 orang dilaporkan tewas di Suweida sejak Minggu (13/07), menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia.

    Kekerasan ini merupakan yang pertama di Suweida yang mayoritas penduduknya Druze sejak pertempuran pada April dan Mei antara pejuang Druze dan pasukan keamanan Suriah.

    Sebelumnya, bentrokan di provinsi-provinsi pesisir Suriah pada Maret lalu dikabarkan telah menewaskan ratusan anggota komunitas minoritas Alawi. Mantan penguasa Bashar al-Assad berasal dari komunitas tersebut.

    Pertikaian yang mematikan ini, ditambah dengan serangan udara Israel, telah memicu kembali kekhawatiran soal gangguan keamanan di Suriah setelah pengambilalihan Damaskus oleh kelompok pemberontak pada Desember 2024.

    Pemimpin Suriah saat ini, Ahmed al-Sharaa, telah berjanji untuk melindungi minoritas Suriah.

    Siapa komunitas Druze?

    Separuh dari sekitar satu juta pengikutnya tinggal di Suriah, sekitar 3% dari populasi negara tersebut.

    Komunitas Druze di Israel dianggap loyal, karena banyak anggota komunitasnya menjalani dinas militer Israel. Ada sekitar 152.000 orang Druze yang tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, menurut Biro Pusat Statistik Israel.

    Secara historis, mereka menempati posisi yang genting dalam tatanan politik Suriah. Selama perang saudara Suriah yang berlangsung hampir 14 tahun, Druze punya milisi sendiri di Suriah selatan.

    Sejak Assad dijatuhkan pada Desember, komunitas Druze telah menentang upaya negara Suriah untuk memaksakan otoritas atas Suriah selatan.

    Banyak di antara mereka yang keberatan dengan kehadiran militer resmi Suriah di Suweida dan menolak bergabung dengan tentara Suriah. Mereka memilih mengandalkan milisi lokal.

    BBC

    Meskipun pemerintah Suriah mengutuk serangan terbaru terhadap penduduk Druze dan berjanji memulihkan ketertiban di Suriah selatan, pasukannya juga dituduh menyerang minoritas tersebut.

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) yang berbasis di UK mendokumentasikan “eksekusi” terhadap penduduk Druze oleh pasukan pemerintah Suriah.

    Laporan semacam itu telah memicu ketidakpercayaan di antara beberapa anggota komunitas Druze terhadap pihak berwenang di Damaskus.

    Setelah kejatuhan Assad, Israel telah menjangkau komunitas Druze di dekat perbatasan utaranya dalam upaya untuk menjalin aliansi dengan minoritas Suriah.

    Israel semakin memposisikan dirinya sebagai pelindung regional bagi kaum minoritas, termasuk Kurdi, Druze, dan Alawi di Suriah, sambil menyerang lokasi militer di Suriah dan pasukan pemerintah.

    Selama bentrokan sektarian pada Mei, Israel melakukan serangan di dekat Istana Presiden Suriah di Damaskus. Israel mengatakan aksi itu adalah peringatan kepada pemerintah Suriah agar tidak menyerang komunitas Druze.

    Di sisi lain, ada beberapa tokoh Druze di Suriah dan Lebanon yang menuduh Israel mengobarkan perpecahan sektarian untuk memajukan aksi ekspansionis di wilayah tersebut.

    Mengapa Israel menyerang Suriah?

    Serangan terbaru Israel merupakan cara Israel memperingatkan sekaligus mencegah Suriah mengerahkan tentara ke Suriah selatan. Sebab, Israel berupaya menciptakan zona demiliterisasi di wilayah tersebut.

    Israel khawatir dengan keberadaan kelompok Islam di dekat perbatasan utaranya, di sepanjang Dataran Tinggi Golan.

    Meskipun serangan udara Israel pada 15 Juli berfokus pada pasukan keamanan dan kendaraan di Suweida, militer Israel memperluas cakupan serangannya pada 16 Juli dengan menyerang Kementerian Pertahanan dan markas besar tentara Suriah di Damaskus. Suriah mengutuk serangan tersebut.

    Serangan tersebut merupakan eskalasi Israel paling serius di Suriah sejak Desember 2024, saat Israel menghancurkan ratusan lokasi militer di seluruh negeri dan merebut zona penyangga yang dipatroli PBB di Dataran Tinggi Golan Suriah.

    Israel telah menyerang Suriah beberapa kali dengan tujuan mencegah pemerintah baru Suriah membangun kapasitas militernya yang dipandang sebagai ancaman potensial bagi keamanan Israel.

    “Peringatan di Damaskus telah berakhir – kini pukulan berat akan datang,” tulis Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, di media sosial pada 16 Juli, tak lama setelah serangan Israel di Damaskus dimulai.

    Penargetan markas militer Suriah disiarkan langsung oleh saluran TV terkemuka Suriah, dari studionya yang terletak di seberang Gedung.

    Bagaimana reaksi dunia?

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan AS “sangat prihatin” atas kekerasan tersebut.

    Pada 16 Juli, dia merilis pernyataan:

    “Kami telah menyepakati langkah-langkah spesifik yang akan mengakhiri situasi yang meresahkan dan mengerikan ini malam ini.”

    Beberapa negara Arab, termasuk Lebanon, Irak, Qatar, Yordania, Mesir, dan Kuwait, telah mengutuk serangan Israel yang menargetkan pemerintah dan pasukan keamanan Suriah.

    Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengecam apa yang disebutnya sebagai “serangan terang-terangan Israel” terhadap Suriah. Adapun Iran menggambarkan serangan itu sebagai “sangat mudah ditebak”.

    Turki, pemangku kepentingan utama di Suriah pasca-Assad, menggambarkan serangan itu sebagai “tindakan sabotase terhadap upaya Suriah untuk mengamankan perdamaian, stabilitas, dan keamanan”.

    Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk serangan “eskalasi” Israel di Suweida dan Damaskus.

    Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

    Kekerasan tersebut telah menggarisbawahi rapuhnya lanskap keamanan dan politik di Suriah pascaperang saudara. Rentetan kekerasan terbaru memicu kekhawatiran pertikaian SARA akan muncul lagi di seluruh Suriah.

    Ketika Sharaa berupaya menguasai Suriah dan menyatukan berbagai kelompoknya, masih harus dilihat apakah pemerintahannya yang didominasi kaum Islamis akan mampu mendamaikan perpecahan sektarian yang mengakar di Suriah, akibat perang saudara selama bertahun-tahun.

    Bentrokan SARA tersebut, ditambah serangan Israel, mengancam akan menggagalkan upaya pembangunan negara dan pemulihan pascaperang.

    Israel, di sisi lain, kemungkinan akan terus menganggap pemerintah baru, dan para petempur Islamis yang berafiliasi dengan Sharaa di selatan, sebagai ancaman keamanan yang signifikan.

    Israel bisa terdorong untuk menjalin aliansi dengan kelompok-kelompok yang mungkin merasa terasing oleh pemerintah baru di Suriah.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Suriah Umumkan Perdamaian di Wilayah Konflik Sekte Usai Israel Mau Intervensi

    Suriah Umumkan Perdamaian di Wilayah Konflik Sekte Usai Israel Mau Intervensi

    Jakarta – Menteri Pertahanan Suriah, Murhaf Abu Qasra, mengumumkan gencatan senjata tak lama setelah pasukan pemerintah memasuki ibu kota provinsi Suwaida hari ini. Langkah ini diambil menyusul bentrokan sektarian yang menewaskan puluhan orang, serta laporan dari kantor berita pemerintah tentang serangan Israel di wilayah tersebut.

    Dalam pernyataannya, Abu Qasra mengatakan, setelah tercapainya “kesepakatan dengan para tokoh dan pemuka kota Suwaida,” pasukan pemerintah hanya akan merespons terhadap “sumber tembakan” dan menangani setiap serangan dari kelompok-kelompok di luar hukum.

    Bentrokan dimulai akibat serangkaian penculikan, dan serangan balasan antara anggota suku Badui Sunni lokal dan faksi bersenjata Drusen di provinsi selatan, yang merupakan pusat komunitas Drusen. Pasukan keamanan pemerintah yang dikerahkan pada Senin (14/6/2025) untuk memulihkan ketertiban, juga sempat terlibat bentrokan dengan kelompok bersenjata Drusen.

    Di tengah kekacauan, Israel meluncurkan serangan terhadap tank militer Suriah, dan menyatakan tindakan itu dilakukan untuk melindungi minoritas agama Drusen. Di Israel sendiri, komunitas Drusen dikenal sebagai kelompok minoritas loyal yang sering bertugas di angkatan bersenjata.

    Kantor berita pemerintah Suriah, SANA, tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai serangan Israel pada Selasa. Namun, Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris melaporkan, Israel menyerang sebuah tank militer Suriah saat pasukan mulai bergerak lebih jauh ke dalam kota Suwaida. Hingga kini, militer Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi.

    Damai, lalu berbalik marah

    Para pemuka agama Drusen di Suriah pada Selasa (15/7) pagi, awalnya menyerukan agar faksi-faksi bersenjata menghentikan perlawanan terhadap pasukan pemerintah, dan menyerahkan senjata. Namun, salah satu otoritas agama utama merilis pernyataan video yang mencabut seruan tersebut.

    Pernyataan awal menyerukan, agar kelompok bersenjata Drusen di Suwaida “bekerja sama dengan pasukan Kementerian Dalam Negeri, tidak melawan kedatangan mereka, dan menyerahkan senjata.” Mereka juga mendorong “dialog terbuka dengan pemerintah Suriah untuk mengatasi dampak dari peristiwa yang terjadi.”

    Namun, Sheikh Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual Drusen yang selama ini menentang pemerintah Damaskus, menyatakan dalam sebuah video, bahwa pernyataan sebelumnya dikeluarkan setelah kesepakatan dengan pihak berwenang, namun “mereka mengingkari janji dan terus membombardir warga sipil yang tidak bersenjata.”

    “Kami sedang mengalami perang pemusnahan total,” katanya.

    Ketegangan komunal dan kekhawatiran regional

    Drusen merupakan sekte agama minoritas yang muncul pada abad ke-10 sebagai cabang dari Ismailiyah, salah satu aliran Syiah. Dari sekitar satu juta penganut Drusen di dunia, lebih dari setengahnya tinggal di Suriah. Sisanya tersebar di Lebanon dan Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967 dan dianeksasi pada 1981.

    Sejak jatuhnya Presiden Bashar al-Assad pada Desember lalu, bentrokan antara pasukan pro-pemerintah dan gerilyawan Drusen telah berulang kali terjadi. Aksi kekerasan terbaru menimbulkan kekhawatiran terhadap lingkaran kekerasan sektarian yang lebih luas.

    Pada Maret lalu, penyergapan terhadap pasukan keamanan pemerintah oleh loyalis Assad juga memicu tindak kekerasan dan pembalasan sektarian yang menewaskan ratusan warga sipil, sebagian besar dari kalangan minoritas Alawit, kelompok yang menaungi dinasti Assad.

    Pemerintah pusat lalu membentuk komisi khusus, untuk menyelidiki serangan tersebut, namun hasilnya hingga kini belum diumumkan ke publik.

    Ketegangan ini juga meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi campur tangan Israel di wilayah Suriah.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, pada Senin menyatakan, militer Israel “menyerang target di Suriah sebagai pesan dan peringatan yang jelas kepada rezim Suriah—kami tidak akan membiarkan kaum Drusen di Suriah disakiti.”

    Meskipun banyak warga Drusen di Suriah menyatakan penolakan terhadap intervensi Israel atas nama mereka, kecurigaan terhadap otoritas baru di Damaskus tetap tinggi, terutama setelah serangan terhadap kelompok Alawit dan minoritas lain dalam beberapa bulan terakhir.

    rzn/as (AP, Reuters)

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Israel Kembali Serang Lebanon Meskipun Ada Gencatan Senjata

    Israel Kembali Serang Lebanon Meskipun Ada Gencatan Senjata

    Jakarta

    Israel kembali melancarkan serangan di Lebanon. Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan serangan Israel di Lebanon selatan pada hari Sabtu (12/7) menewaskan satu orang.

    Ini merupakan serangan terbaru Israel meskipun ada gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah, kelompok militan di Lebanon yang didukung Iran.

    Dilansir dari kantor berita AFP, Sabtu (12/7/2025), dalam sebuah pernyataan, Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan bahwa “serangan musuh Israel” terhadap sebuah rumah di Wata al-Khiam menewaskan satu orang.

    Belum ada komentar langsung dari militer Israel terkait serangan tersebut.

    Israel telah berulang kali menggempur Lebanon meskipun ada gencatan senjata pada bulan November lalu, yang bertujuan untuk mengakhiri permusuhan selama lebih dari setahun antara Israel dan kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.

    Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata tersebut, Hizbullah harus menarik pasukannya ke utara Sungai Litani, sekitar 30 kilometer (20 mil) dari perbatasan dengan Israel, sehingga hanya tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB yang boleh berada di wilayah tersebut.

    Israel pun diharuskan menarik pasukannya sepenuhnya dari Lebanon, tetapi tetap menempatkan pasukan mereka di lima titik perbatasan yang dianggap strategis.

    Pada hari Jumat (11/7) waktu setempat, Presiden Lebanon Joseph Aoun mengatakan bahwa meskipun ia terbuka untuk hubungan damai dengan Israel, tapi dia mengesampingkan kemungkinan normalisasi hubungan dengan Israel. Normalisasi hubungan “saat ini bukan bagian dari kebijakan luar negeri Lebanon,” ujar Aoun.

    Pernyataan Aoun ini merupakan reaksi resmi pertama terhadap pernyataan Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar pekan lalu, yang menyampaikan minat negaranya untuk menormalisasi hubungan dengan Lebanon dan Suriah.

    Lebanon dan Suriah secara teknis telah berperang dengan Israel sejak tahun 1948. Pemerintah Suriah pun mengatakan bahwa pembicaraan tentang normalisasi dengan Israel masih “prematur.”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kena Mental, Tentara Israel Bunuh Diri usai Ikut Perang di Gaza

    Kena Mental, Tentara Israel Bunuh Diri usai Ikut Perang di Gaza

    Jakarta

    Seorang tentara Israel menembak dirinya sendiri hingga tewas di pangkalan militer Sde Teiman, Israel Selatan. Aksi bunuh diri ini dilakukan tentara tersebut setelah dirinya kembali dari pertempuran di Jalur Gaza.

    Dikutip dari Haaretz, tentara tersebut teridentifikasi anggota Brigade Golani. Dia bunuh diri setelah diinterogasi oleh polisi militer.

    Prajurit tersebut telah meninggalkan Jalur Gaza untuk menghadiri kursus pelatihan, ketika penyidik polisi militer sedang menunggu untuk menanyakan mengenai kasus sebelumnya.

    Menurut surat kabar tersebut, setelah interogasi, komandan prajurit tersebut memutuskan untuk menyita senjatanya, tetapi beberapa jam kemudian, ia berhasil mendapatkan senjata temannya dan menggunakannya untuk bunuh diri.

    Dikutip dari Tasnim, tentara Israel lainnya sebelumnya juga ada yang melakukan tindakan serupa. Dia bunuh diri setelah berbulan-bulan mengalami trauma di Gaza dan Lebanon, karena tidak mampu menanggung kengerian yang disaksikannya.

    Kepala Pusat Penelitian Bunuh Diri di Ruppin Academic Center, Profesor Yossi Levi-Belz memperingatkan bahwa tentara Israel menghadapi gelombang besar bunuh diri, karena para prajurit tidak dapat mengatasi dampak psikologis perang.

    Militer Israel menolak untuk mengungkapkan statistik bunuh diri yang sebenarnya dan telah menguburkan banyak tentara secara diam-diam, tanpa pemakaman militer atau pengumuman publik.

    Sebagian besar prajurit yang mengakhiri hidup mereka selama setahun terakhir adalah prajurit cadangan, meskipun militer mengklaim bahwa tingkat bunuh diri tidak terlalu tinggi, meskipun ada mobilisasi dalam skala besar.

    (dpy/kna)