Negara: Korea Utara

  • PBB Desak IDF Angkat Kaki dari Dataran Tinggi Golan, Sebut Tindakan Israel Ilegal – Halaman all

    PBB Desak IDF Angkat Kaki dari Dataran Tinggi Golan, Sebut Tindakan Israel Ilegal – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Majelis Umum PBB secara resmi menuntut PM Israel Benjamin Netanyahu menarik pasukan pertahanan IDF dari Dataran Tinggi Golan, Suriah.

    Desakan itu dilayangkan lewat resolusi atau naskah formal yang diadopsi oleh PBB, pada Kamis (5/12/2024).

    Isi resolusi tersebut menegaskan kembali perlunya Israel untuk mematuhi hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan.

    Serta menekankan bahwa keputusannya untuk memaksakan hukum dan yurisdiksinya di Dataran Tinggi Golan adalah “batal demi hukum dan tidak memiliki keabsahan apa pun.”

    Lebih lanjut, pasukan Israel juga dituntut untuk menarik diri dari seluruh Golan, Suriah hingga ke garis batas 4 Juni 1967.

    Resolusi itu juga menekankan legalitas pembangunan pemukiman serta kegiatan lain di wilayah tersebut.

    “Pendudukan berkelanjutan atas Golan Suriah dan aneksasi de facto merupakan batu sandungan dalam upaya mencapai perdamaian yang adil, komprehensif, dan abadi di wilayah tersebut,” jelas resolusi tersebut, dikutip dari Anadolu Agency.

    PBB tak sendiri untuk menekan resolusi tersebut sekelompok negara turut mendukung upaya ini diantaranya ada Bolivia, Kuba, Korea Utara, Mesir, Irak, Yordania, Lebanon.

    Disusul Oman, Qatar, Arab Saudi, Afrika Selatan, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Yaman.

    Dataran Tinggi Golan sejak dulu menjadi medan tempur antara Israel dan Hizbullah. 

    Penara berbatu yang menjulang hingga ketinggian 2.800 meter di barat daya Suriah itu telah lama diperebutkan lantaran letaknya yang strategis.

    Golan sendiri membelah Israel, Lebanon, Suriah dan Yordania, antara Danau Galilea di barat, Sungai Yarmouk di selatan, Wadi Raqqad di timur dan Gunung Hermon di utara.

    Meski dipenuhi berbatu, Golan menyisakan lahan pertanian yang luas yang kini digunakan untuk perkebunan anggur atau lahan rumput untuk sapi dan domba.

    Elevasi ini yang membuat Golan bernilai strategis bagi militer Israel, terutama untuk mencegah serangan dari Suriah dan Lebanon.

    Karena dengan menduduki Golan, militer Israel memaksa Suriah tidak berkutik karena punya alat perang yang hanya berjarak 60 kilometer dari ibu kota Damaskus. 

    Selain itu, dengan menduduki Golan Israel dapat mengamankan sumber air minum bagi populasinya.

    Alasan ini yang membuat Israel mencaplok wilayah tersebut pada tahun 1981, sebuah tindakan yang tidak diakui oleh sebagian besar komunitas internasional.
     
    Suriah mengatakan wilayah tersebut selalu menjadi miliknya dan telah berjanji untuk merebut kembali wilayah tersebut, sementara Israel mengatakan bahwa ketinggian tersebut sangat penting untuk pertahanannya dan akan tetap berada di tangannya selamanya.

    Pasca perebutan itu, sekitar 20.000 pemukim Yahudi dilaporkan tinggal secara ilegal di Dataran Tinggi Golan.

    Permukiman tersebut dianggap ilegal menurut hukum internasional, meskipun Israel membantahnya.
     
     (Tribunnews.com / Namira Yunia)

  • Partai Oposisi Korea Selatan Bersiap Lakukan Pemakzulan Presiden Yoon, Ini Alasannya

    Partai Oposisi Korea Selatan Bersiap Lakukan Pemakzulan Presiden Yoon, Ini Alasannya

    ERA.id – Partai oposisi utama Demokrat (DP) menuntut Presiden Yoon Suk-yeol untuk mundur dari jabatannya. Tuntutan ini sehubungan dengan deklarasi Darurat Militer yang mengejutkan.

    Selama pertemuan darurat para anggota parlemennya di Majelis Nasional, DP mengumumkan bahwa mereka akan segera memulai proses pemakzulan terhadap Yoon. Namun pemakzulan itu tidak akan dilakukan bila Yoon mengundurkan diri dari jabatan.

    “Deklarasi darurat militer Yoon merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Konstitusi,” kata pemimpin partai oposisi Park Chan-dae, dalam resolusinya, dikutip Yonhap News, Rabu (4/12/2024).

    Dalam pernyataan itu, Partai Demokrat menilai bahwa Yoon gagal mematuhi persyaratan untuk mendeklarasikan darurat militer. Hal ini pun dinilai sebagai pemberontakan serius yang menguatkan untuk pemakzulannya.

    “Ini adalah tindakan pemberontakan yang serius dan alasan yang sempurna untuk pemakzulan,” tegasnya.

    Presiden Yoon sebelumnya mengeluarkan pernyataan kontroversi soal darurat militer di Korea Selatan pada Selasa (3/12) malam. Yoon menuduh oposisi di parlemen melumpuhkan pemerintah dengan kegiatan anti-negara.

    “Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh kekuatan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen anti-negara dengan ini saya umumkan darurat darurat militer,” kata Yoon dalam konferensi pers yang disiarkan televisi nasional.

    Selain itu, Yoon menuduh anggota parlemen oposisi memotong semua anggaran utama yang penting bagi fungsi inti negara, seperti memerangi kejahatan narkoba dan menjaga keamanan publik. Pemotongan anggaran itu disebut akan menjadikan Korea Selatan sebagai surga bagi narkoba dan kekacauan keamanan publik.  

    Akan tetapi kurang dari satu jam sejak mengumumkan daruart militer, Majelis Nasional Korea Selatan membuat mosi untuk membatalkan situasi tersebut. Berselang enam jam, Yoon pun mematuhi keputusan Majelis Nasional untuk mencabut deklarasi daruart militer di Korea Selatan.

  • Presiden Yoon Perintahkan Militer Siaga Potensi Provokasi Korea Utara

    Presiden Yoon Perintahkan Militer Siaga Potensi Provokasi Korea Utara

    ERA.id – Jenderal tertinggi Korea Selatan memerintahkan militer untuk siaga akan potensi ancaman Korea Utara usai pencabutan deklarasi Darurat Militer.

    Ketua Kepala Staf Gabungan (JCS) Laksamana Kim Myung-soo menyampaikan pernyataan tersebut dalam rapat darurat para komandan utama setelah Yoon mencabut darurat militer setelah pemungutan suara bulat oleh Majelis Nasional pada hari Rabu (4/12) pagi untuk menuntut presiden mengakhirinya.

    “Presiden memerintahkan pasukan untuk menjaga keselamatan publik dengan prioritas utama dan mempertahankan sikap kesiapan yang kuat sehingga Korea Utara tidak akan membuat keputusan yang salah,” kata Kim, dikutip Yonhap News, Rabu (4/12/2024).

    Selain itu, Kim juga menginstruksikan pasukan untuk bergerak di bawah pengawasan JCS, kecuali unit yang bertugas mengawasi ancaman Korea Utara, yang dipandang sebagai upaya untuk kembali ke keadaan normal dan meredakan kecemasan publik.

    Bukan hanya itu saja, Kim dilaporkan mengadakan pembicaraan telepon dengan Jenderal Paul J. LaCamera, komandan Pasukan AS di Korea, Komando Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Komando Korea Selatan-AS, serta Komando Pasukan Gabungan, dan menegaskan kembali bahwa militer Korea Selatan mempertahankan sikap siaga penuh terhadap potensi provokasi Korea Utara.

    Di sisi lain, sekretaris pers Pentagon Mayjen Pat Ryder mengatakan tidak ada perubahan sikap pasukan di Pasukan AS di Korea setelah deklarasi darurat militer.

    “Tentu saja, kami memantau situasi dengan saksama, tetapi saya tidak mengetahui adanya perubahan sikap pasukan,” katanya dalam jumpa pers itu.

    Anggota angkatan bersenjata Korea Selatan dimobilisasi sebagai pasukan darurat militer menyusul pernyataan Yoon yang tak terduga pada larut malam, dengan pasukan operasi khusus terlihat memasuki kompleks Majelis Nasional.

    JCS mengatakan bahwa semua pasukan yang dimobilisasi telah kembali ke unit mereka pada pukul 4:22 pagi.

  • Ketakutan dan Amarah, Enam Jam yang Mengguncang Korsel

    Ketakutan dan Amarah, Enam Jam yang Mengguncang Korsel

    Jakarta

    Hwang, pemuda berusia 19 tahun di Korsel, sedang menyimak aksi demonstrasi warga Georgia di layar televisi pada Selasa (03/12) malam, saat tiba-tiba tayangan berubah menampilkan kondisi genting yang terjadi di negaranya saat Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer.

    “Saya tak percaya dengan apa yang saya lihat,” kata Hwang, seorang pelajar yang meminta nama lengkapnya tidak dipublikasikan.

    Keesokan harinya, tepatnya Rabu (04/12) siang, Hwang yang masih terkejut dengan perubahan drastis di negerinya, menjadi bagian dari demonstrasi memprotes kebijakan darurat militer di depan gedung Majelis Nasional.

    “Penting bagi saya untuk hadir di sini untuk menunjukkan kami menentang apa yang sedang dilakukan Presiden Yoon,” katanya.

    Kurang dari enam jam, Presiden Yoon Suk Yeol dipaksa untuk mencabut darurat militer, setelah anggota parlemen melakukan pemungutan suara darurat untuk membatalkan pemberlakuan darurat militer tersebut.

    Itu adalah enam jam berisi kekacauan, demonstrasi, ketakutan, dan ketidakpastian di negeri yang membawa Presiden Yoon ke tampuk kekuasaan tertinggi Korea Selatan.

    Pengumuman darurat militer

    Selasa (03/12), tepat pukul 23.00 waktu setempat, Presiden Yoon yang tampak duduk di depan tirai berwarna biru, membacakan pidato yang mengejutkan warga Korea Selatan.

    Kebijakan ini diumumkan Presiden Yoon yang tengah berjuang menghadapi kebuntuan legislasi rancangan undang-undang anggaran negara dan upaya penyelidikan terhadap anggota kabinetnya.

    Getty Images

    Pengumuman ini memantik kegaduhan semalam suntuk di Seoul, ibu kota negeri itu.

    Tak lama berselang setelah dekrit darurat militer, polisi mulai memasang gerbang metal berwarna putih di luar gedung Majelis Nasional yang berlokasi di jantung Seoul, gedung yang selama ini digambarkan sebagai “simbol demokrasi Korea” oleh instansi pariwisata negeri tersebut.

    Militer kemudian mengumumkan semua aktivitas parlemen dihentikan sebagai bagian dari pemberlakuan darurat militer.

    Baca juga:

    Akan tetapi, pengumuman penerapan darurat militer militer dan pengerahan aparat keamanan tidak menghentikan ribuan orang berkumpul di depan gedung tersebut dalam marah dan keprihatinan.

    Kondisi ini mengingatkan pada era lampau. Sebagai negara yang kini menerapkan demokrasi secara penuh, Korea Selatan sebenarnya baru lepas dari bawah rezim otoriter pada 1987. Darurat militer terakhir kali diberlakukan negara ini pada 1979.

    Apa yang terjadi saat ini adalah “gerakan yang tak pernah saya bayangkan akan terjadi di Korea Selatan pada abad ke-21,” kata seorang pelajar, Juye Hong, kepada BBC World Service.

    Upaya perlawanan

    Tak lama setelah darurat militer diumumkan Presiden Yoon, pimpinan oposisi dari Partai Demokrat, Lee Jae-myung, menayangkan siaran langsung lewat Instagram, meminta rakyat untuk hadir di gedung Majelis Nasional dan menggelar demonstrasi di sana.

    Ia juga meminta koleganya, sesama anggota parlemen untuk hadir di gedung Majelis Nasional guna menolak pemberlakuan darurat militer.

    Ratusan warga merespons ajakan itu.

    Ketegangan meruyak seiring warga yang mengenakan mantel musim dingin berdatangan dan berupaya menembus barisan polisi berjaket neon.

    “Tolak darurat militer,” seru para peserta aksi.

    Kendaraan-kendaraan yang membawa personel militer dihadang oleh kerumunan orang. Seorang perempuan berbaring di antara roda-roda kendaraan militer, menantang kehadiran tentara di sana.

    Namun kondisi itu, begitu kontras dengan kondisi bagian Seoul lainnya, yang terkesan normal, meski kebingungan menggelayut.

    “Jalan-jalan tampak normal, orang-orang di sini jelas kebingungan,” kata John Nilsson-Wright, seorang profesor di Universitas Cambridge, kepada BBC World Service, dari Seoul.

    John mengatakan seorang polisi sempat berbincang dengannya “sama bingungnya dengan saya”.

    Seorang perempuan berbaring di jalan untuk menghalangi kendaraan yang mengangkut unit tentara (Reuters)

    Bagi sebagian orang, momen pergolakan itu adalah malam yang panjang.

    “Awalnya saya senang karena tahu saya tidak perlu pergi ke sekolah hari ini,” kata seorang remaja berusia 15 tahun kepada BBC di Seoul, Rabu (04/12).

    “Tapi kemudian rasa takut yang amat sangat hinggap, dan membuat saya terjaga sepanjang malam.”

    “Tak ada kata yang mampu menggambarkan rasa takut saya, bahwa kejadian ini mungkin mengubah kami menjadi seperti Korea Utara,” kata seorang warga yang enggan diungkap identitasnya kepada BBC.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Sementara itu, kabar bahwa pasukan khusus telah dikerahkan ke gedung parlemen mulai menyebar. Suara helikopter terdengar mengitari langit sebelum mendarat di atap gedung parlemen.

    Para wartawan berdesakan di antara kerumunan di luar gerbang, sambil mengambil gambar dengan kamera.

    Kekhawatiran soal potensi pembatasan kerja media membuat para wartawan di Seoul tetap berhubungan satu sama lain sambil bertukar saran tentang cara untuk tetap aman.

    Sementara itu, Ahn Gwi-ryeong, juru bicara berusia 35 tahun dari Partai Demokrat oposisi berhadapan dengan tentara di bawah todongan senjata. Aksinya menarik laras senapan seorang tentara tersorot kamera dan kemudian viral di dunia maya.

    Ahn Gwi-ryeong, juru bicara berusia 35 tahun dari Partai Demokrat oposisi berhadapan dengan tentara di bawah todongan senjata. (BBC)

    “Saya tidak memikirkan hal-hal yang intelektual atau rasional, saya hanya berpikir, ‘Kami harus menghentikan ini, jika kami tidak menghentikannya, tidak ada yang lain,” ungkapnya kepada BBC.

    “Sejujurnya, saya agak takut pada awalnya ketika pertama kali melihat pasukan darurat militer. Saya berpikir, ‘Apakah ini sesuatu yang bisa terjadi di Korea pada abad ke-21, terutama di Majelis Nasional?”

    “Setelah badai malam itu, sulit untuk kembali ke kenyataan,” tambahnya.

    “Saya merasa seperti menyaksikan kemunduran sejarah.”

    Saat Ahn berhadapan dengan para tentara, waktu terus mengejar anggota parlemen oposisi, yang bergegas masuk ke gedung untuk membuat keputusan penjegalan perintah darurat militer. Keputusan Majelis Nasional diketahui mampu membatalkan perintah darurat militer.

    Reuters

    Namun, anggota parlemen dan para pembantunya harus masuk ke dalam. Beberapa dari mereka merangkak melewati kaki pasukan keamanan. Sementara yang lain mendorong dan berteriak kepada tentara bersenjata.

    Kepanikan melanda, banyak dari anggota Majelis Nasional yang terpaksa masuk dengan memanjat pagar dan tembok.

    Hong Kee-won dari Partai Demokrat mengatakan kepada BBC bahwa dirinya harus memanjat pagar setinggi 1,5m untuk memasuki gedung.

    Ia juga sempat dicegat polisi meski sudah menunjukkan identitas yang membuktikan bahwa ia adalah anggota parlemen.

    ReutersPara anggota parlemen harus memaksa masuk ke dalam gedung parlemen

    Hong bilang para pengunjuk rasa membantu mengangkat tubuhnya melewati tembok.

    Dia mengaku sedang terlelap tidur saat Yoon mengumumkan darurat militersaat istrinya membangunkannya, dia langsung bergegas ke gedung parlemen.

    “Demokrasi kuat di sini,” kata Hong.

    “Militer perlu mendengarkan kami, konstitusi, dan bukan presiden.”

    Getty ImagesAnd vote by barricading themselves inside it

    Pemungutan suara

    Para anggota parlemen yang berhasil masuk ke gedung itu berkerumun. Suasana terasa sedikit lebih tenang daripada kondisi di luar.

    Dengan tergesa, mereka membarikade pintu masuk dengan apa pun yang dapat mereka temukan: bangku empuk, meja panjang, sofa.

    Beberapa mencoba memukul mundur tentara yang berhasil masuk ke gedung pertemuan.

    Pada pukul 01.00 waktu setempat, Ketua Majelis Nasional Woo Won-sik mengajukan resolusi agar darurat militer dicabut.

    Dengan itu, kurang dari dua jam setelah pengumuman mendadak Yoon, 190 anggota parlemen yang berkumpul termasuk beberapa orang dari partai Yoon, memberikan suara bulat untuk memblokir darurat militer.

    EPA-EFEAnggota parlemen memberikan suara menentang perintah darurat militer Yoon

    Setelah pemungutan suara, pemimpin oposisi Lee mengatakan kepada wartawan bahwa ini adalah “kesempatan yang menentukan untuk memutus lingkaran setan dan kembali ke masyarakat normal”.

    Pada pukul 04:30, Yoon kembali tampil di televisi, di depan tirai biru yang sama, dan mengatakan bahwa ia akan mencabut darurat militer.

    Namun, ia mengatakan pembatalan baru sah ketika ia dapat mengumpulkan cukup banyak anggota kabinetnya untuk mencabut perintah tersebut.

    Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai di luar gedung. Beberapa jam sebelum fajar, lebih banyak orang keluar dari gedung, dari balik barikade yang mereka porak porandakan.

    Gedung megah itu menanggung kerusakan, dengan lubang di pintu dan jendela yang pecah, sebagai bagian dari upaya warga Korea Selatan yang berusaha menyelamatkan demokrasi.

    Aktivitas di sekolah, tempat usaha, dan bank berjalan seperti biasa pada Rabu (04/12) pagi, sementara pesawat-pesawat terus mendarat tanpa gangguan di ibu kota Korea Selatan yang ramai.

    Namun, kemarahan publik dan dampak politiknya belum mereda.

    Saat matahari terbit pada Rabu, ribuan orang berkumpul mendesak Yoon mundur. Ia juga terjerat upaya pemakzulan.

    “Kami adalah negara demokrasi yang kuat Tetapi rakyat Korea ingin aman. Presiden Yoon harus mengundurkan diri atau dimakzulkan,” kata Yang Bu-nam, seorang politikus Partai Demokrat, kepada BBC.

    (ita/ita)

  • Oposisi Mulai Pemakzulan Presiden Korsel, Apa yang Akan Terjadi?

    Oposisi Mulai Pemakzulan Presiden Korsel, Apa yang Akan Terjadi?

    Jakarta

    Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengejutkan negaranya pada Selasa (03/12) malam dengan mengumumkan darurat militer yang pertama dalam hampir 50 tahun dengan alasan “pasukan anti-negara” dan ancaman dari Korea Utara.

    Akan tetapi, tindakan yang diduga bermotif politik itu memicu protes massa dan pemungutan suara darurat di parlemen yang membatalkan tindakan Presiden Yoon tersebut hanya dalam hitungan jam.

    Yoon akhirnya menerima keputusan parlemen dan mencabut darurat militer.

    Sementara itu, anggota parlemen bersiap memberikan suara atas pemakzulannya, seraya menuduh Yoon telah melakukan “aksi pemberontakan”.

    Ribuan orang di penjuru Korea Selatan turun ke jalan memprotes tindakan presiden dan menuntut pengunduran dirinya.

    Dalam perkembangan terbaru, menteri pertahanan Kim Yon-hyun mengundurkan diri dengan alasan dirinya “bertanggung jawab penuh” atas deklarasi darurat militer dan meminta maaf kepada publik karena telah “menyebabkan kebingungan dan gangguan”, menurut pernyataan kementerian.

    Siapa presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol?

    Yoon bisa dibilang pendatang baru di dunia politik saat memenangi kursi presiden pada 2022, dalam persaingan yang paling ketat sejak negara tersebut mulai menggelar pemilihan presiden yang bebas pada 1980-an.

    Selama masa kampanyenya, pria berusia 63 tahun ini menganjurkan pendekatan yang lebih keras terhadap Korea Utara dan isu-isu gender yang memecah belah.

    Dalam wawancara dengan BBC, mantan Menteri Luar Negeri Kang Kyung-wha bilang keputusan Yoon menunjukkan bahwa presiden “sama sekali tak memahami realitas yang dialami negara ini saat ini”.

    Baca juga:

    Apa yang terjadi selanjutnya, kata Kang, sepenuhnya tergantung pada Yoon.

    “Keputusan ada di tangan presiden untuk menemukan jalan keluar dari situasi yang telah dia buat sendiri.”

    Kendati demikian, sejumlah anggota parlemen dari partai sayap kanan yang berkuasa menyatakan dukungan kepada presiden.

    Salah satunya adalah Hwang Kyo-ahn, mantan Perdana Menteri Korea Selatan, yang menyerukan penangkapan Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik dan Han Dong-hoon, pemimpin partai yang mendukung Yoon, di sosial medianya seraya menuduh keduanya menghalangi tindakan presiden.

    Hwang lebih lanjut menegaskan bahwa “kelompok pro-Korea Utara harus disingkirkan kali ini” dan mendesak Yoon untuk menanggapi dengan tegas, menyerukan penyelidikan dan penggunaan semua kekuatan darurat yang dimilikinya.

    Akankah Presiden Yoon dimakzulkan?

    Parlemen Korea Selatan akan melakukan pemungutan suara terkait pemakzulan Yoon. (Reuters)

    Kini, semua mata tertuju pada apakah Yoon akan menghadapi pemakzulan, meskipun dia bukan presiden Korea Selatan pertama yang mengalaminya.

    Usulan pemakzulan terhadap Yoon diajukan oleh enam partai oposisi dan harus diputuskan dalam waktu 72 jam. Para anggota parlemen akan berkumpul pada Jumat, 6 Desember, atau Sabtu, 7 Desember.

    Agar usulan tersebut dapat disahkan, diperlukan suara dua pertiga dari 300 anggota Majelis Nasional200 suara.

    Partai oposisi hampir memiliki cukup suara, sementara partai Yoon sendiri telah mengkritik tindakannya tetapi belum memutuskan sikap mereka.

    Jika hanya beberapa anggota partai yang berkuasa mendukung usulan tersebut, pemakzulan akan dilakukan.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Jika parlemen menyetujui usulan tersebut, kekuasaan Yoon akan segera ditangguhkan, dan Perdana Menteri Han Duck-soo akan menjadi penjabat presiden.

    Mahkamah Konstitusi, dewan beranggotakan sembilan orang yang mengawasi pemerintahan Korea Selatan, selanjutnya akan memberikan keputusan akhir.

    Jika Mahkamah Konstitusi mendukung pemakzulan, Yoon akan dicopot, dan pemilihan umum baru harus diadakan dalam waktu 60 hari. Jika ditolak, Yoon akan tetap menjabat.

    BBC

    Hal ini mengingatkan kita pada penggulingan Presiden Park Geun-hye pada 2016. Kala itu, Yoon berperan penting dalam memimpin penuntutan kasus korupsi.

    Park dibebaskan pada 2022 setelah menjalani hukuman penjara selama 4 tahun 9 bulan.

    Presiden Roh Moo-hyun juga nyaris dicopot dari jabatannya setelah pemungutan suara pemakzulan parlemen dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2004.

    Apakah darurat militer pernah diberlakukan sebelumnya di Korea Selatan?

    Getty ImagesAnggota parlemen membawa plakat bertuliskan “Yoon Suk Yeol harus mengundurkan diri” pada 4 Desember

    Deklarasi darurat militer oleh Yoon adalah yang pertama terjadi di Korea Selatan dalam 45 tahun terakhir, membuka luka lama penyalahgunaan tindakan darurat dalam sejarah negara tersebut.

    Darurat militer, yang pada awalnya dimaksudkan untuk menstabilkan keadaan darurat nasional, sering dikritik sebagai alat untuk menekan perbedaan pendapat, mempertahankan kekuasaan dan dengan demikian merusak demokrasi.

    Pada 1948, Presiden Syngman Rhee mengumumkan darurat militer untuk mengendalikan pemberontakan menentang penindasan pemberontakan Jeju, yang mengakibatkan kematian banyak warga sipil.

    Pada 1960, darurat militer disalahgunakan selama Revolusi April, karena protes terhadap pemerintahan Rhee meningkat setelah polisi membunuh seorang siswa sekolah menengah selama unjuk rasa menentang penipuan pemilu.

    Baca juga:

    Presiden Park Chung-hee juga sering memberlakukan darurat militer untuk menekan ancaman terhadap rezimnya, sementara darurat militer selama 440 hari setelah pembunuhannya berpuncak pada Pembantaian Gwangju di bawah Presiden Chun Doohwan.

    Peristiwa ini meninggalkan kenangan traumatis bagi warga Korea Selatan, yang mengaitkan darurat militer dengan alat kekuasaan politik, bukan sebagai tindakan untuk keselamatan publik.

    Sejak 1987, konstitusi Korea Selatan telah memperketat persyaratan untuk mendeklarasikan darurat militer, dengan memerlukan persetujuan parlemen untuk perpanjangan atau pencabutannya.

    Seberapa stabil demokrasi di Korea Selatan?

    ReutersPemimpin partai oposisi utama, Partai Demokrat, berbicara kepada media setelah parlemen menolak darurat militer pada Rabu pagi

    Tindakan gegabah Yoon mengejutkan negara tersebut yang mengklaim sebagai negara demokrasi modern yang berkembang pesat dan telah berkembang jauh sejak masa kediktatorannya.

    Banyak orang melihat kejadian yang terjadi pekan ini sebagai tantangan terbesar bagi masyarakat demokratis tersebut dalam beberapa dekade.

    Para ahli berpendapat bahwa tindakan itu mungkin lebih merusak reputasi Korea Selatan sebagai negara demokrasi, lebih parah dari kerusuhan 6 Januari di AS.

    “Pernyataan darurat militer yang dikeluarkan Yoon tampaknya merupakan tindakan yang melampaui batas hukum dan salah perhitungan politik, yang membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan,” kata Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha di Seoul.

    Baca juga:

    “Ia tampak seperti politisi yang sedang terkepung, mengambil langkah putus asa di tengah skandal, hambatan kelembagaan, dan seruan pemakzulan, yang semuanya kini kemungkinan akan meningkat.”

    Namun, meskipun terjadi kekacauan di Seoul, demokrasi Korea Selatan tampaknya tetap kokoh.

    Kang, mantan menteri luar negeri, mengatakan kepada BBC bahwa dia “sangat lega” bahwa ketegangan tampaknya mereda.

    “Selama berjam-jam sepanjang malam, [melihat] Majelis Nasional melakukan tugasnya dan warga turun ke jalan menuntut agar RUU ini dicabutharus saya katakan pada akhirnya, hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di negara saya kuat dan tangguh.”

    Apa tanggapan Korea Utara?

    Sejauh ini, Korea Utara belum memberikan respons terkait situasi politik yang terjadi di Korea Selatan. (EPA)

    Dalam deklarasinya, Yoon menargetkan Korea Utara, dengan menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk “melindungi Republik Korea yang bebas dari ancaman pasukan komunis Korea Utara” dan untuk “memberantas pasukan anti-negara pro-Korea Utara yang tercela yang menjarah kebebasan dan kebahagiaan rakyat kita.”

    Komentar seperti ini biasanya akan memancing reaksi dari Korea Utara, tetapi belum ada tanggapan dari media pemerintah negara tersebut.

    Komando militer Korea Selatan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Rabu dini hari bahwa perintah darurat militer Yoon telah dibubarkan dan bahwa “tidak ada kegiatan yang tidak biasa dari Korea Utara.”

    “Posisi keamanan terhadap Korea Utara tetap stabil,” lanjut pernyataan itu, menurut kantor berita Yonhap.

    Para pakar mengatakan masih belum jelas mengapa Yoon menyebutkan ancaman Korea Utara, tetapi banyak yang percaya hal itu tidak akan berdampak positif pada meningkatnya ketegangan antara Korea Utara dan Selatan.

    Fyodor Tertitskiy, yang meneliti politik Korea Utara di Universitas Kookmin di Seoul, meyakini bahwa “tidak ada cara bagi Korea Utara untuk memanfaatkan krisis ini.”

    “Semuanya terjadi begitu cepat; hanya berlangsung beberapa jam,” ungkapnya kepada BBC.

    (ita/ita)

  • Negara-negara Waswas Usai Geger Korsel Sempat Darurat Militer

    Negara-negara Waswas Usai Geger Korsel Sempat Darurat Militer

    Seoul

    Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol membuat kehebohan gara-gara mengumumkan darurat militer secara mendadak. Negara-negara lain pun waswas akibat tindakan Yoon.

    Dilansir BBC, Yonhap, dan AFP, Rabu (4/12/2024), Yoon mengumumkan darurat militer pada Selasa (3/12) malam waktu setempat. Pengumuman mendadak itu menjadi darurat militer di Korsel untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun.

    Keputusan Yoon diumumkan melalui siaran televisi pada pukul 23.00 waktu setempat. Dia mengklaim terdapat ‘kekuatan anti-negara’ dan ancaman dari Korea Utara. Namun belakangan, terungkap keputusan itu tidak didorong oleh ancaman eksternal tetapi oleh situasi politik internal.

    Dalam pidatonya, Yoon memaparkan upaya oposisi untuk melemahkan pemerintahannya. Dia juga mengatakan dirinya mengumumkan darurat militer untuk ‘menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah menimbulkan kekacauan’.

    Dekrit darurat militer yang diumumkan Yoon untuk sementara menempatkan militer sebagai penanggung jawab pemerintahan. Dalam waktu singkat, sejumlah serdadu dan polisi dikerahkan ke gedung parlemen. Sejumlah helikopter bahkan terlihat mendarat di atap gedung tersebut.

    Media lokal juga menampilkan tayangan pasukan bertopeng dan bersenjata memasuki gedung parlemen. Sementara, staf gedung mencoba menahan mereka dengan alat pemadam kebakaran.

    Sekitar pukul 23.00 waktu setempat (21.00 WIB), militer Korsel mengeluarkan aturan larangan protes dan aktivitas oleh parlemen serta kelompok politik, sekaligus menempatkan media di bawah kendali pemerintah. Namun, politikus Korsel segera menyebut dekrit darurat militer yang dikeluarkan Yoon ilegal dan inkonstitusional.

    Keputusan Yoon itu juga memicu ribuan orang berkumpul di depan parlemen sebagai bentuk protes. Anggota parlemen dari kubu oposisi langsung bergegas ke Gedung Parlemen dan menggelar pemungutan suara darurat demi mencabut darurat militer. Beberapa jam kemudian Yoon mencabut perintah darurat militer.

    Langkah Yoon itu memicu kekhawatiran dari beberapa negara. Berikut sejumlah negara yang merespons darurat militer Korsel itu:

    China Minta Warganya Hati-hati

    Kedutaan Besar China di Seoul memperingatkan warganya untuk bersikap ‘hati-hati’ usai darurat militer diumumkan di Korsel. Kedutaan Besar China meminta warganya bersikap tenang dan mematuhi aturan.

    “Menyarankan warga negara Tiongkok di Korea Selatan untuk tetap tenang, memantau perkembangan situasi politik Korea Selatan, meningkatkan kewaspadaan terhadap keselamatan, membatasi perjalanan yang tidak perlu, dan bersikap hati-hati saat mengungkapkan pendapat politik,” demikian pernyataan Kedubes China di Seoul.

    Inggris Pantau Saksama Situasi Korsel

    Pemerintah Inggris mengatakan akan mengikuti dengan saksama situasi di Korsel. Inggris meminta warganya memantau status perjalanan ke Korsel.

    “Kami memantau dengan saksama perkembangan di Korea Selatan. Kami menyarankan semua warga negara Inggris untuk memantau saran perjalanan Inggris untuk mendapatkan informasi terkini dan mengikuti saran dari otoritas setempat,” kata wakil juru bicara Perdana Menteri Inggris Keir Starmer kepada wartawan.

    Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

  • Update ‘Skandal’ Darurat Militer Korsel, Pemakzulan Presiden Dimulai

    Update ‘Skandal’ Darurat Militer Korsel, Pemakzulan Presiden Dimulai

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol menghadapi upaya pemakzulan setelah mengambil langkah kontroversial dengan mendeklarasikan darurat militer. Langkah ini, yang pertama sejak empat dekade terakhir, dituduh digunakan untuk menghentikan penyelidikan kriminal terhadap dirinya dan keluarganya.

    Keputusan tersebut dengan cepat dibatalkan oleh parlemen, tetapi telah memicu krisis politik besar yang mengguncang negeri ini dan mencemaskan sekutu-sekutunya.

    Anggota parlemen oposisi menyerahkan mosi pemakzulan pada Kamis (5/12/2024) dini hari, menuduh Yoon telah “melanggar konstitusi dan hukum”. Mosi tersebut juga menuduh presiden mencoba menghindari penyelidikan atas dugaan tindakan ilegal yang melibatkan dirinya dan keluarganya.

    “Ini adalah kejahatan yang tak termaafkan-sesuatu yang tidak boleh dan tidak akan dimaafkan,” kata anggota parlemen Kim Seung-won, dilansir AFP.

    Menurut undang-undang Korea Selatan, mosi ini harus diputuskan dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah diajukan. Dengan mayoritas besar di parlemen yang dipegang oleh oposisi, peluang Yoon untuk bertahan tampak suram.

    Adapun keputusan Yoon untuk mendeklarasikan darurat militer mengejutkan sekutu-sekutu internasionalnya. Amerika Serikat, yang memiliki hampir 30.000 pasukan di Korea Selatan, menyatakan bahwa mereka tidak diberi tahu sebelumnya.

    “Kami lega bahwa keputusan ini telah dibatalkan,” kata Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS. Ia juga menambahkan bahwa demokrasi Korea Selatan tetap tangguh dan bahwa Washington akan terus memperkuat hubungan bilateral.

    Sebelumnya, ribuan warga Korea Selatan memadati jalan-jalan di sekitar kantor presiden di Seoul, menuntut pengunduran dirinya. Demonstrasi juga berlangsung di Gwanghwamun Square, dengan pengunjuk rasa membawa bendera dan spanduk yang menyerukan perubahan.

    “Saya begitu marah hingga tak bisa tidur semalam. Saya datang ke sini untuk memastikan Yoon benar-benar lengser,” kata Kim Min-ho, seorang warga berusia 50 tahun.

    Situasi di parlemen berlangsung dramatis. Lebih dari 280 tentara, beberapa di antaranya diterbangkan dengan helikopter, berusaha mengunci gedung parlemen. Namun, 190 anggota parlemen berhasil masuk dan membatalkan deklarasi darurat militer.

    Konstitusi Korea Selatan mengharuskan darurat militer dicabut jika mayoritas parlemen menuntutnya, memaksa Yoon untuk menarik keputusannya dalam pidato yang disiarkan enam jam kemudian.

    Dalam pidatonya, Yoon mengklaim darurat militer diperlukan untuk melindungi Korea Selatan dari ancaman Korea Utara dan “elemen anti-negara”. Namun, ia tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang ancaman tersebut.

    Langkah ini juga memicu ketegangan politik terkait pernyataannya yang menyebut Partai Demokrat, oposisi utama, sebagai “elemen anti-negara”.

    Ketua partai penguasa Yoon, People Power Party, menggambarkan langkah tersebut sebagai “tragedi”. Namun, partai ini tetap memutuskan untuk menolak mosi pemakzulan.

    Sejak terpilih pada tahun 2022, Yoon menghadapi penurunan popularitas yang signifikan. Dalam jajak pendapat terbaru Gallup, tingkat persetujuan publik terhadapnya hanya 19%, dengan banyak pemilih marah atas kondisi ekonomi dan kontroversi yang melibatkan istrinya.

    Situasi ini mencerminkan masa depan politik Yoon yang semakin tidak menentu, dengan ketegangan antara pemerintah dan oposisi yang terus meningkat.

    (luc/luc)

  • Ribuan Warga Korsel Unjuk Rasa Tuntut Presiden Yoon Mundur

    Ribuan Warga Korsel Unjuk Rasa Tuntut Presiden Yoon Mundur

    Seoul

    Ribuan warga berunjuk rasa di depan Kantor Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol di Seoul, Korea Selatan (Korsel). Mereka menuntut Yoon mengundurkan diri buntut pemberlakukan darurat militer.

    Dilansir AFP, Rabu (4/12/2024), dari video siaran langsung menunjukkan ribuan pengunjuk rasa berbaris menuju kantor Yoon di Seoul. Sebelumnya, massa menggelar unjuk rasa di Gwanghwamun Square.

    Partai-partai oposisi Korea Selatan – yang anggota parlemennya menentang keras dan bertikai dengan pasukan keamanan untuk menolak darurat militer – mengajukan mosi untuk memakzulkan Yoon. Mereka belum memutuskan kapan akan melakukan pemungutan suara, tetapi kemungkinan akan dilakukan paling cepat pada hari Jumat (6/12).

    Pihak oposisi memegang mayoritas besar kursi di parlemen dengan beranggotakan 300 orang. Mereka hanya membutuhkan sedikit penolakan dari partai pendukung Presiden Yoon untuk dapat 2/3 mayoritas suara untuk meloloskan mosi tersebut.

    Serikat buruh terbesar di Korsel menyerukan “pemogokan umum tanpa batas waktu” sampai Yoon mengundurkan diri. Bahkan pemimpin partai yang berkuasa, menggambarkan upaya Yoon terkait darurat militer sebagai tindakan yang “tragis” dan menyerukan agar mereka yang terlibat bertanggung jawab.

    Pada Selasa (3/12) malam, Yoon secara tiba-tiba mengumumkan darurat militer. Dalam pidatonya, dia menuduh kubu oposisi pemerintah bersimpati dengan Korea Utara (Korut) dan melakukan aktivitas “anti-negara”. Namun tuduhan itu disampaikan Yoon tanpa memberikan bukti yang kuat dan konkret.

    Belakangan terungkap bahwa darurat militer yang ditetapkan Yoon itu tidak didorong oleh ancaman eksternal, tetapi oleh situasi politik internal.

    Lihat juga video: Oposisi Desak Presiden Korsel Mundur, Ancam Pemakzulan

    (isa/haf)

  • Oposisi Resmi Ajukan Mosi Pemakzulan Presiden Korsel

    Oposisi Resmi Ajukan Mosi Pemakzulan Presiden Korsel

    Partai Demokrat dan partai-partai oposisi kecil lainnya secara total menguasai 192 kursi dalam parlemen. Ini berarti dibutuhkan setidaknya delapan anggota parlemen dari partai berkuasa, Partai Kekuatan Rakyat (PPP), yang menaungi Yoon untuk mendukung mosi pemakzulan tersebut.

    Diketahui bahwa ketika parlemen Korsel memvoting secara bulat untuk menolak penetapan darurat militer Yoon pada Selasa (3/12) malam, terdapat 18 anggota parlemen dari PPP yang bergabung dengan oposisi untuk turut menentang darurat militer tersebut.

    Jika RUU itu diloloskan parlemen, maka selanjutnya menjadi tugas Mahkamah Konstitusi Korsel untuk menggelar sidang dan memutuskan apakah pemakzulan terhadap Yoon bisa dibenarkan. Terdapat enam hakim konstitusi yang nantinya akan menjatuhkan putusan akhir untuk pemakzulan Yoon.

    Selama pertimbangan Mahkamah Konstitusi berlangsung, kekuasaan kepresidenan akan ditangguhkan dan Perdana Menteri (PM) Han Duck Soo, yang merupakan orang nomor dua dalam pemerintahan Korsel, akan mengambil tanggung jawab kepresidenan.

    Pada Selasa (3/12) malam, Yoon secara tiba-tiba mengumumkan darurat militer. Dalam pidatonya, dia menuduh kubu oposisi pemerintah bersimpati dengan Korea Utara (Korut) dan melakukan aktivitas “anti-negara”. Namun tuduhan itu disampaikan Yoon tanpa memberikan bukti yang kuat dan konkret.

    Belakangan terungkap bahwa darurat militer yang ditetapkan Yoon itu tidak didorong oleh ancaman eksternal, tetapi oleh situasi politik internal.

    Darurat militer itu hanya berlaku selama enam jam dan dicabut pada Rabu (4/12) pagi, sekitar pukul 04.30 waktu setempat, setelah mayoritas anggota parlemen Korsel — sebanyak 190 anggota dari total 300 anggota — secara bulat sepakat menentang darurat militer dan mendesak Yoon mencabutnya.

    “Darurat militer yang ditetapkan Presiden Yoon Suk Yeol jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Itu tidak mematuhi persyaratan apa pun untuk mendeklarasikannya,” kecam Partai Demokrat dalam pernyataannya.

    “Penetapan darurat militer itu sejak awal tidak sah dan merupakan pelanggaran berat terhadap konstitusi. Itu merupakan tindakan pemberontakan yang serius dan memberikan dasar yang sempurna untuk pemakzulannya,” tegas pernyataan tersebut.

    (nvc/ita)

  • Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Jakarta

    Pada Desember 1950, seorang juru kamera BBC merekam rangkaian peristiwa yang menentukan dalam Perang Korea, yaitu ketika militer China merebut Pyongyang. BBC merangkum bagaimana konflik tersebut menghancurkan lahan dan penduduknya, menentukan masa depan Semenanjung Korea, dan mendorong dunia ke ambang bencana nuklir.

    “Semua jalan menuju keluar kota dipenuhi pengungsi. Hanya sedikit yang tahu ke mana mereka akan pergi,” demikian laporan BBC saat menyiarkan tayangan warga Korea Utara yang mencoba melarikan diri dari Kota Pyongyang yang dilalap api pada 5 Desember 1950.

    Rekaman tersebut diabadikan oleh juru kamera BBC, Cyril Page, selama jam-jam terakhirnya di ibu kota Korea Utara itu.

    Setelah mendengar bahwa pasukan PBB akan ditarik dari Korut, Page turun ke jalan untuk mendokumentasikan kekacauan dan ketakutan warga Pyongyang di tengah kabar bahwa pasukan China segera tiba.

    Dalam kondisi musim dingin yang menusuk tulang, ia merekam para pengungsi yang ketakutan. Mereka tampak membawa apa pun yang bisa diangkut saat asap mengepul dari berbagai bangunan yang terbakar di belakang mereka.

    Evakuasi tersebut merupakan perubahan dramatis yang dialami oleh pasukan PBB pimpinan Jenderal Douglas MacArthur.

    Beberapa minggu sebelumnya, sang jenderal telah berjanji kepada Presiden Amerika Serikat, Harry S Truman, bahwa ia siap untuk menyatukan Korea.

    Kekacauan dan pertumpahan darah ini disebabkan oleh Perang Korea. Bagaimana perang itu bisa terjadi?

    Beberapa tahun sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Korea mengalami penderitaan akibat penjajahan Jepang yang brutal.

    AS mengusulkan kepada sekutu masa perangnya, Uni Soviet, bahwa mereka harus membagi kendali Korea untuk sementara waktu setelah Jepang menyerah guna memudahkan pelucutan pasukan Jepang.

    Pada 1945, AS dan Uni Soviet membagi Korea menjadi dua. Pembatasnya adalah garis demarkasi yang diberi nama paralel ke-38. Di utara, Uni Soviet mendukung Kim Il-sung dalam membentuk Republik Rakyat Demokratik Korea. Sedangkan AS mendukung Syngman Rhee membentuk Republik Korea di selatan.

    Sejak awal, Korea Utara dan Korea Selatan tidak mengakui legitimasi satu sama lain ataupun garis demarkasi yang ditetapkan oleh AS dan Uni Soviet.

    “[Garis] itu tidak pernah dianggap sah atau bermakna oleh orang Korea. Sama sekali tidak berarti bagi mereka,” kata Dr Owen Miller dari Pusat Studi Korea di SOAS, Universitas London, kepada siniar BBC History Magazine.

    Baca juga:

    Pada 1949, AS dan Uni Soviet telah menarik sebagian besar pasukan mereka dari Korea, tetapi tindakan itu tidak banyak membantu meredakan ketegangan antara Korut dan Korsel.

    Sebaliknya, bentrokan berdarah antara kedua negara semakin sering terjadi di sepanjang perbatasan de facto.

    Baik pemimpin Korut maupun pemimpin Korsel ingin menyatukan kembali Korea secara paksa.

    Getty ImagesPendiri Korea Utara, Kim Il Sung.

    Pada 25 Juni 1950, pemimpin komunis Korea Utara, Kim Il-sung, melancarkan aksinya.

    Saat matahari belum terbit, ia mengerahkan pasukan tempur yang terlatih guna melancarkan serangan mendadak dengan melintasi perbatasan paralel ke-38.

    Pasukan Korea Utara, yang dilengkapi senjata buatan Soviet, dengan cepat mengalahkan tentara Korea Selatan. Dalam beberapa hari, mereka berhasil merebut ibu kota Korea Selatan, Seoul, dan memaksa banyak warganya untuk bersumpah setia kepada Partai Komunis. Jika menolak, warga akan menghadapi hukuman penjara atau eksekusi mati.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Di AS, Presiden Truman terkejut dengan kecepatan dan keberhasilan serangan Korea Utara.

    Sebagai seorang yang percaya pada “teori domino”bahwa jika satu negara jatuh ke tangan komunisme, negara lain akan mengikutiia memohon kepada PBB untuk membela Korea Selatan.

    Uni Soviet dapat saja memveto pemungutan suara ini. Namun pada saat itu, Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan PBB karena menolak mengakui Republik Rakyat China.

    Maka, pada 28 Juni 1950, sebuah resolusi disahkan yang menyerukan kepada semua negara anggota PBB untuk membantu mengusir invasi Korut. MacArthur, jenderal AS yang telah menerima penyerahan Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua, diangkat menjadi komandan pasukan gabungan PBB.

    Membalikkan arus serangan

    AS adalah pihak pertama yang merespons, dengan mengirim tentaranya yang ditempatkan di Jepang. Namun, pasukan ini tidak siap menghadapi pasukan Korea Utara yang lebih unggul dan mampu memukul mundur pasukan AS.

    Pertempuran yang berkecamuk membuat ribuan warga sipil Korea terperangkap sehingga menewaskan mereka. Pada September, pasukan Korea Selatan dan PBB terdesak dan hanya mampu mempertahankan kantong kecil di sekitar Pelabuhan Busan di ujung selatan.

    Saat itu Korea Utara tampak selangkah lagi menyatukan seluruh semenanjung Korea.

    Baca juga:

    Namun, MacArthur memutuskan untuk mencoba melakukan serangan laut terhadap Inchon, sebuah pelabuhan di belakang lini pasukan Korea Utara.

    Melalui pengeboman besar-besaran, pasukan PBB mendarat di Inchon pada 15 September 1950, merebut pelabuhan tersebut, dan bergerak cepat untuk merebut kembali Seoul.

    Setelah mereka merebut kembali ibu kota Korsel, puluhan ribu penduduknya yang telah bersumpah setia kepada Korut ditembak oleh pasukan Korea Selatan.

    Itu hanyalah salah satu dari serangkaian pembunuhan massal yang mengerikan dan membabi buta terhadap warga sipil yang terjadi selama perang.

    “Terjadi banyak pembantaian selama perang, jauh dari garis depan. Di sana orang-orang ditangkap karena dianggap tidak setia,” kata Dr. Miller.

    AFPJenderal MacArthur (kanan) bersama Syngman Rhee, sosok yang didukung AS untuk mendirikan Korea Selatan.

    Operasi Inchon berhasil memutus jalur pasokan dan komunikasi tentara Korea Utara. Di lain pihak, pasukan PBB berhasil keluar dari Busan dan melancarkan serangan balasan. Hal ini membalikkan arus konflik sehingga tentara Korea Utara terpaksa mundur ke utara dan kembali melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat.

    Namun berbekal resolusi PBB, MacArthur bertekad menghancurkan pasukan komunis sepenuhnya. Ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mengejar pasukan Korea Utara hingga melintasi perbatasan.

    Pada 19 Oktober 1950, pasukan PBB telah merebut Pyongyang dan bergerak maju menuju Sungai Yalu di perbatasan China. Situasi yang begitu mengerikan bagi Korea Selatan beberapa bulan sebelumnya kini tampaknya telah berubah.

    Baca juga:

    Truman ragu untuk memperluas konflik karena bisa menyeret China dan Rusiayang saat itu telah mengembangkan bom atomnya sendirike dalam perang dunia ketiga.

    Namun MacArthur yakin bahwa ia bisa meraih kemenangan yang akan menyatukan kembali Korea di bawah kepemimpinan Korea Selatan yang pro-Barat. Ia meyakinkan Truman bahwa perang akan berakhir sebelum Natal.

    Namun, kemajuan pesat PBB menuju perbatasan China membuat pemimpin komunis Tiongkok, Mao Zedong, gelisah.

    Getty ImagesSejumlah serdadu Korea Utara dan China menjadi tahanan perang pasukan PBB pada Juni 1950.

    Mao memerintahkan tentara China untuk berkumpul secara diam-diam di perbatasan untuk menghadapi pasukan MacArthur yang terus bergerak maju. Pada akhir November, tentara China mengubah arah Perang Korea.

    Ribuan tentara Tiongkok melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan PBB.

    Menderita kerugian besar dan bertempur dalam kondisi musim dingin, pasukan MacArthur tidak mampu mempertahankan wilayah luas yang telah mereka rebut beberapa minggu sebelumnya.

    Pada Pertempuran Sungai Ch’ongch’on, pasukan Tiongkok mengalahkan pasukan PBB secara telak, yang disebut-sebut sebagai salah satu penarikan mundur paling berdarah dalam sejarah Korps Marinir AS.

    Ancaman perang nuklir

    Karena tidak mampu menghentikan laju pasukan China yang tak kenal lelah, MacArthur memutuskan untuk meninggalkan Pyongyang.

    Pasukan PBB diperintahkan untuk membakar semua perlengkapan dan peralatan, yang menyebabkan banyak bangunan di kota itu dilalap api.

    Getty ImagesWarga sipil Korea mengungsi ke arah selatan pada Januari 1951.

    Menyadari bahwa tentara Korea Utara dan China mengancam akan membersihkan siapa pun yang dicurigai membantu pasukan PBB, ribuan penduduk Pyongyang meninggalkan kota itu dalam ketakutan dan kondisi lelah.

    Juru kamera BBC, Cyril Page, merekam orang-orang Korea ini yang berusaha mati-matian untuk menyeberangi Sungai Taedong agar tidak terjebak di Pyongyang saat pasukan PBB pergi.

    “Karena prioritasnya adalah kendaraan militer, para pengungsi tidak diizinkan menyeberangi jembatan di atas Sungai Taedong sebelah selatan Pyongyang,” demikian BBC melaporkan.

    Baca juga:

    Para teknisi militer AS sengaja mengatur agar jembatan-jembatan ini meledak setelah kendaraan militer pasukan gabungan PBB melintasinya demi memperlambat laju pasukan Korea Utara.

    “Namun, karena takut tertinggal di kota, ribuan orang berjalan ke tepi sungai,” lanjut laporan BBC. “Di sana, berbagai jenis kapal disiapkan untuk membawa mereka menyeberang.”

    Page sendiri diperintahkan untuk meninggalkan lapangan terbang sebelum senja. Ketika ia tiba di lapangan terbang itu, ia mendapati bahwa sebagian besar lapangan terbang itu juga dibakar pasukan PBB karena khawatir fasilitas itu dapat digunakan oleh Korea Utara.

    “Saat hari mulai gelap, hanggar dan bengkel yang menyala-nyala menerangi langit malam,” sebut laporan BBC. “Pada tengah malam, ratusan rumah pribadi di dekat lapangan terbang itu juga terbakar.”

    Saat pesawat yang ditumpangi Page lepas landas, ia mengambil gambar terakhir Pyongyang, yang sempat menjadi tempat kemenangan MacArthur tetapi saat itu melambangkan kegagalan strategi militernya.

    “Hari sudah hampir fajar ketika juru kamera kami meninggalkan lapangan udara Pyongyang,” BBC melaporkan, “dan saat pesawatnya berangkat, ia melihat pasukan PBB mundur ke selatan bersama barisan kendaraan yang tampaknya tak berujung.”

    Baca juga:

    Pada 6 Desember 1950, saat pasukan China dan Korea Utara kembali memasuki Pyongyang, strategi AS untuk mengakhiri perang mulai bergeser ke arah yang jauh lebih berbahaya.

    Hubungan Truman dengan MacArthur selalu sulit karena sang jenderal cenderung melangkahi wewenangnya dan mengabaikan perintah langsung.

    Kini, saat menghadapi situasi yang memburuk di Korea, kedua pria itu berulang kali berselisih pendapat mengenai arah perang.

    MacArthur, yang sebelumnya meremehkan kekhawatiran Truman bahwa Mao Zedong mungkin akan campur tangan, kini mulai secara terbuka menganjurkan peningkatan konflik.

    Ia berpendapat bahwa AS harus mengancam menggunakan senjata nuklir dan mengebom China jika pasukan komunis di Korea tidak meletakkan senjata mereka.

    MacArthur tidak sendirian dalam hal ini: Curtis LeMay, kepala Komando Strategis Udara AS selama Perang Korea, juga mendukung serangan pendahuluan.

    LeMay, yang percaya bahwa perang nuklir tidak dapat dihindari, belakangan mencoba membujuk Presiden John F Kennedy agar ia diizinkan untuk mengebom lokasi rudal nuklir saat Krisis Rudal Kuba.

    Desakan untuk menggunakan senjata nuklir ini sangat mengkhawatirkan negara-negara PBB lainnya yang terlibat dalam konflik Korea, termasuk Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee. Dia bahkan sengaja terbang ke Washington DC untuk menolak gagasan tersebut.

    Namun MacArthur berkeras bahwa rencananya akan berhasil, karena ia yakin Rusia akan terintimidasi dan tidak akan melakukan apa pun terhadap serangan AS ke China.

    Kembali ke garis awal

    Pada 9 Desember 1950, MacArthur secara resmi meminta kewenangan untuk menggunakan senjata nuklir. Truman menolaknya.

    Dua pekan kemudian, MacArthur menyerahkan daftar target serangan, termasuk yang berada di China. Dia bahkan mencantumkan jumlah bom atom yang akan dibutuhkannya.

    Ia terus mendesak Pentagon untuk memberinya keleluasaan menggunakan senjata nuklir kapanpun diperlukan.

    Pada akhir Desember 1950, pasukan PBB telah didorong mundur melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat. Adapun pasukan China dan Korea Utara merebut kembali kota Seoul yang terkepung dan dibom pada Januari 1951.

    “Mungkin jika beberapa komandan seperti Curtis LeMay lebih dekat dengan presiden, mereka mungkin akan menggunakan senjata nuklir karena komandan seperti LeMay dan MacArthur memang ingin menggunakannya,” kata Dr. Miller.

    “Mereka berpikir, ‘Apa gunanya punya senjata nuklir kalau kita tidak menggunakannya?’”

    Lantaran Truman tidak yakin dirinya bisa mengendalikan MacArthur, ditambah kekhawatiran bahwa sikap agresif sang jenderal dapat memicu Perang Dunia Ketiga, Truman memecatnya atas tuduhan pembangkangan pada April 1951.

    Baca juga:

    Getty ImagesPasukan PBB yang mundur dari Pyongyang menuju selatan dengan melintasi perbatasan garis lintang paralel ke-38, pada 1950.

    Perang Korea terus berlanjut selama dua tahun berikutnya. Adapun Seoul berpindah tangan lagi untuk keempat kalinya.

    Karena tidak ada pihak yang mampu meraih kemenangan yang menentukan, perang ini berubah menjadi perang yang berkepanjangan dan berdarah.

    “Salah satu ironi terbesar dari perang ini adalah, garis depan kedua pasukan berada pada musim semi tahun 1951 tidak jauh dari garis lintang 38 derajat,” kata Dr. Miller.

    “Setelah semua kerugian besar ini terjadi di kedua belah pihak, kehancuran sipil yang terjadi, tetapi mereka kurang lebih kembali ke garis awal.”

    Korsel dan Korut akhirnya mengakhiri pertempuran dengan gencatan senjata pada 1953, tetapi mereka tidak menandatangani perjanjian damai. Artinya, secara teknis mereka masih berperang.

    Konflik tersebut merusak Semenanjung Korea. Perkiraannya bervariasi, tetapi diyakini bahwa sekitar empat juta orang tewas selama Perang Korea dan setengahnya adalah warga sipil. Lebih banyak lagi yang mengungsi atau kelaparan.

    Pengeboman udara menghancurkan negara itu, menghancurkan seluruh kota. Keluarga yang terpisah akibat pemisahan tersebut tidak pernah bersatu kembali.

    Puluhan tahun kemudian, kedua negara masih terjebak dalam konflik, dipisahkan oleh zona demiliterisasi sepanjang 250 km yang dipenuhi ranjau darat dan dijaga oleh ratusan tentara.

    Warisan perang yang tidak pernah berakhir.

    Artikel ini dapat Anda baca dalam versi bahasa Inggris berjudul ‘As darkness fell, blazing hangars lit up the sky’: How the fall of Pyongyang brought the world to the brink of crisis pada laman BBC Culture.

    (ita/ita)