Negara: Korea Utara

  • Disebut ‘Negara Jahat’ oleh Menlu AS, Korut Meradang!    
        Disebut ‘Negara Jahat’ oleh Menlu AS, Korut Meradang!

    Disebut ‘Negara Jahat’ oleh Menlu AS, Korut Meradang! Disebut ‘Negara Jahat’ oleh Menlu AS, Korut Meradang!

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) meradang saat Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Marco Rubio menyebut negara yang dipimpin Kim Jong Un itu sebagai “negara jahat”. Pyongyang menyebut komentar Rubio sebagai “omong kosong”.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut, seperti dilansir AFP, Senin (3/2/2025), menegaskan Pyongyang “tidak akan pernah mentolerir provokasi apa pun yang dilakukan AS”.

    Pernyataan keras itu menjadi kecaman publik pertama Korut terhadap pemerintahan baru AS di bawah Presiden Donald Trump.

    Kementerian Luar Negeri Korut, dalam pernyataannya seperti dikutip kantor berita Korean Central News Agency (KCNA), menyatakan “akan mengambil tindakan balasan yang keras” terhadap setiap tindakan AS.

    Pernyataan Rubio yang menuai kemarahan Pyongyang itu disampaikan dalam wawancara radio baru-baru ini, di mana menyebut Korut dan Iran sebagai “negara jahat” yang “harus Anda hadapi” ketika membuat keputusan kebijakan luar negeri.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut mengecam pernyataan Rubio itu sebagai “omong kosong”, yang “tanpa berpikir panjang telah mencoreng citra negara berdaulat, sebagai provokasi politik yang serius”.

    Namun Pyongyang juga menyebut pernyataan Rubio tersebut “bukan hal baru” dan “akan lebih mengejutkan lagi jika dia menyampaikan kata-kata baik soal DPRK” — merujuk pada nama resmi Korut, Republik Demokratik Rakyat Korea.

    Kecaman Korut untuk Rubio itu disampaikan setelah Trump sebelumnya mengatakan dirinya akan “menghubungi” Kim Jong Un, setelah bertemu dengan pemimpin Korut itu pada masa jabatan pertamanya beberapa tahun lalu. Trump juga menyebut Kim Jong Un sebagai “sosok yang pintar”.

    Pertemuan keduanya di Hanoi, Vietnam, tahun 2019 lalu untuk membahas keringanan sanksi dan denuklirisasi Korut berujung kegagalan dalam mencapai kesepakatan.

    Pekan lalu, meskipun ada tawaran diplomatik dari Trump, Kim Jong Un dengan tegas mengatakan program nuklir Korut akan terus berlanjut “tanpa batas waktu”.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Banyak Korban, Pasukan Korut Ditarik dari Garis Depan Perang Rusia-Ukraina

    Banyak Korban, Pasukan Korut Ditarik dari Garis Depan Perang Rusia-Ukraina

    Kyiv

    Pasukan Korea Utara (Korut) dilaporkan tidak terlihat di garis depan di wilayah Kursk, Rusia, selama beberapa minggu. Pejabat militer Ukraina menyebut pasukan Korut banyak menjadi korban dalam perang di wilayah tersebut.

    “Kehadiran pasukan DPRK (nama resmi Korut) tidak terlihat selama sekitar tiga minggu, dan mereka mungkin terpaksa mundur setelah mengalami kerugian besar,” kata juru bicara Pasukan Operasi Khusus militer Ukraina, Kolonel Oleksandr Kindratenko, dilansir CNN, Minggu (2/2/2025).

    Penasihat presiden Ukraina Mykhailo Podolyak mengatakan ada laporan beberapa unit pasukan Korut telah ditarik mundur dari garis depan setelah mengalami kerugian yang signifikan. Sekitar 12.000 tentara Korut diyakini telah dikirim ke Rusia.

    Dari jumlah itu, sekitar 4.000 tentara dilaporkan telah tewas atau terluka. Pasukan Korut telah dikerahkan ke Kursk setidaknya sejak November 2024 untuk mengusir pasukan Ukraina di wilayah perbatasan selatan Rusia itu.

    “Kami masih berada di wilayah Kursk, pasukan Rusia tidak cukup kuat untuk mengusir kami,” kata Presiden Ukraina Zelensky minggu lalu dalam sebuah pidato di Davos, Swiss.

    Zelensky mencatat ada 60.000 tentara Rusia di Kursk dan 12.000 warga Korut. Zelensky juga mengatakan sepertiga dari pasukan Korut tersebut telah tewas.

    Pasukan Korut diduga melakukan taktik brutal dan hampir bunuh diri, yang dalam beberapa kasus telah meledakkan granat daripada ditangkap oleh pasukan Ukraina dan telah menulis janji setia di medan perang kepada Pemimpin Tertinggi Korut, Kim Jong Un. Seorang komandan resimen Pasukan Operasi Khusus ke-6, yang tidak ingin menyebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan kepada CNN meskipun tentara Korut semuanya adalah pejuang muda, terlatih, dan tangguh mereka tidak akan pernah menghadapi pesawat nirawak dalam pertempuran.

    “Mereka siap menghadapi kenyataan perang pada tahun 1980,” katanya.

    Prajurit batalion lainnya mengatakan kepada CNN bahwa Korut telah menunjukkan keahlian menembak yang baik saat menembak jatuh pesawat nirawak dari jarak sekitar 100 meter. Hal itu menunjukkan pelatihan tingkat tinggi di Korea Utara.

    Namun, Rusia tampaknya menggunakan pasukan tersebut sebagai prajurit infanteri. Rusia dilaporkan menggunakan mereka untuk melakukan serangan darat massal meskipun mengalami kerugian besar di Kursk.

    Institut Studi Perang (ISW) yang berbasis di Amerika Serikat menyebut Ukraina baru-baru ini membuat kemajuan di Kursk. Sementara itu, Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan awal minggu ini pasukannya merebut kembali desa Nikolayevo-Daryino di wilayah Kursk yang terletak di perbatasan Rusia-Ukraina.

    Baik Moskow maupun Pyongyang belum secara resmi mengakui keberadaan pasukan Korea Utara di Rusia. Tahun lalu, beberapa bulan sebelum pengerahan pasukan Korea Utara ke Rusia, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani pakta pertahanan penting dan berjanji untuk menggunakan semua cara yang tersedia untuk memberikan bantuan militer segera jika pihak lain diserang.

    Pakta tersebut merupakan perjanjian paling signifikan yang ditandatangani oleh Rusia dan Korea Utara dalam beberapa dekade dan telah dipandang sebagai semacam kebangkitan kembali janji pertahanan bersama era Perang Dingin 1961.

    (haf/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Komitmen Korea Utara dan Pelanggaran HAM terhadap Kelompok Rentan

    Komitmen Korea Utara dan Pelanggaran HAM terhadap Kelompok Rentan

    loading…

    Jisun Song, Akademi Diplomatik Nasional Korea Selatan. Foto/Istimewa

    Jisun Song
    Akademi Diplomatik Nasional Korea Selatan

    TAHUN 2024 merupakan tahun yang penting bagi hak asasi manusia (HAM). Tahun tersebut menandai peringatan 45 tahun Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) dan 35 tahun Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC).

    CEDAW dan CRC, bersama dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), merupakan beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Korea Utara, masing-masing pada tahun 2001 (CEDAW), 1990 (CRC), dan 2016 (CRPD).

    Namun, meski telah melakukan ratifikasi, realitas menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Situasi HAM di Korea Utara masih memprihatinkan. Secara khusus, perhatian lebih harus diberikan kepada kelompok rentan, termasuk pada perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

    Sejumlah laporan dari organisasi masyarakat sipil, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan berbagai pemerintahan terus mengungkap pelanggaran HAM di Korea Utara. Misalnya, laporan PBB tahun 2014 dari Commission of Inquiry on Human Rights di Korea Utara menunjukkan adanya diskriminasi berdasarkan gender, disabilitas, dan usia. Sayangnya, sepuluh tahun kemudian situasi ini masih berlanjut, bahkan semakin memburuk akibat pandemi.

    Dalam siklus keempat Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB terhadap Korea Utara tahun 2024, berbagai badan PBB dan pemangku kepentingan lainnya memberikan informasi mengenai situasi pelanggaran HAM di Korea Utara. Akibatnya, negara-negara anggota PBB mengajukan total 294 rekomendasi. Namun, Korea Utara mencatat 88 rekomendasi dan menyatakan akan mempertimbangkan 206 sisanya di kemudian hari.

    Sayangnya, dari 88 rekomendasi yang hanya dicatat—yang secara teknis berarti tidak diterima atau tidak ditanggapi—terdapat rekomendasi terkait hak-hak perempuan dan anak-anak. Misalnya, Korea Utara hanya mencatat rekomendasi untuk menghapus semua bentuk pekerja anak baik di dalam negeri maupun di luar negeri; mengakhiri impunitas terhadap kekerasan berbasis gender dan seksual; menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, menghentikan perdagangan manusia; serta menghentikan praktik aborsi paksa terhadap perempuan yang dideportasi ke Korea Utara saat hamil.

    Rekomendasi-rekomendasi ini sangat mendasar dalam melindungi HAM, tidak hanya bagi perempuan dan anak-anak tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebab, kesejahteraan kelompok rentan ini memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan anggota keluarga dan komunitas lainnya. Selain itu, masih perlu dilihat apakah Korea Utara akan menerima dan melaksanakan 206 rekomendasi lainnya.

    Hanya saja, rekam jejak Korea Utara dalam menangani rekomendasi UPR sebelumnya tidak menunjukkan hasil yang positif. Hal ini juga sangat kontras dengan gambaran yang disampaikan Korea Utara dalam laporan Voluntary National Review (VNR) mengenai implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) yang diajukan ke PBB tahun 2021.

    Dalam laporan VNR-nya, Korea Utara menyatakan telah mencapai kesetaraan gender sejak lama, meningkatkan investasi bagi anak yatim dan lansia yang tidak memiliki pengasuh. Korea Utara juga mengklaim telah memperbaiki gizi perempuan dan anak-anak sambil mengambil semua langkah yang mungkin untuk melindungi HAM bagi kelompok rentan.

    Namun, bila dibandingkan dengan respons Korea Utara terhadap rekomendasi UPR selama empat siklus secara jelas menunjukkan kesenjangan antara retorika dan praktiknya. Dalam konteks ini, Korea Utara seharusnya mempertimbangkan secara serius untuk merespons seruan internasional untuk bekerja sama.

    Misalnya, komunitas internasional telah menawarkan bantuan kemanusiaan kepada Korea Utara, seperti yang dilakukan terhadap negara lain yang membutuhkan, guna melindungi HAM dan martabat manusia selama dan setelah krisis kemanusiaan. Jika benar-benar ingin melindungi HAM rakyatnya seperti yang mereka klaim, Korea Utara seharusnya mencari cara untuk bekerja sama dengan komunitas global. Jangan malah menutup diri.

    (rca)

  • Tentara Korea Utara Pura-pura Menderita TBC Agar Tak Dikirim Berperang Bantu Rusia Melawan Ukraina – Halaman all

    Tentara Korea Utara Pura-pura Menderita TBC Agar Tak Dikirim Berperang Bantu Rusia Melawan Ukraina – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, KORUT –  Keluarga para tentara di Korea Utara rela membayar lebih dari 100 kali gaji bulanan rata-rata agar kerabat mereka didiagnosis tuberkulosis (TBC)  palsu.

    Tujuannya agar para tentara Korea Utara itu tidak dikirim ke garis depan membela Rusia dalam perang melawan Ukraina.

    Dikutip dari Newsweek, Minggu (2/2/2025), Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan memperkirakan bahwa rezim Pimpinan Korea Utara Kim Jong Un telah mengirim hingga 12.000 tentara ke Rusia.

    Dimana para tentara muda itu telah bergabung dalam pertempuran di Kurs.

    Tujuannya  membantu memukul mundur serangan balasan Ukraina yang mengejutkan pasukan Rusia di perbatasan pada Agustus 2024 lalu.

    Rusia dan pihak berwenang Korea Utara belum secara terbuka mengakui keberadaan pasukan Korea Utara di medan perang Rusia Vs Ukraina,

    Meskipun miskin dan kekurangan sumber daya karena kebijakan negara yang gagal dan sanksi internasional, Korea Utara mempertahankan tentara tetap sebanyak 1,3 juta orang.

    Tentara Korea Utara menempati peringkat keempat terbesar di dunia. 

    Sebanyak 7,6 juta tentara cadangan tambahan, sekitar 30 persen dari populasi, memperkuat kekuatan militernya.

    Untuk mempertahankan jumlah pasukan ini, pria harus bertugas selama 10 tahun, sementara wanita diharuskan bertugas selama lima tahun.

    Bayar Berapa untuk Surat Keterangan TBC

    Harga suap pejabat rumah sakit untuk mengeluarkan sertifikat tuberkulosis TBC palsu telah melonjak lima kali lipat dengan harganya sekitar 100 dolar AS akhir tahun lalu.

    Ini karena semakin banyak keluarga yang berupaya mencegah anak laki-laki mereka dikirim ke Rusia, menurut sumber Korea Utara dari Radio Free Asia .

    Ini adalah jumlah yang sangat besar mengingat gaji bulanan rata-rata seorang pekerja pemerintah di Korea Utara adalah antara 5.000 dan 10.000 won ($1-3), meskipun banyak keluarga menambah penghasilan mereka melalui ekonomi pasar gelap yang luas di negara tersebut.

    “Ada ketakutan yang mendasari bahwa jika putra-putra mereka bergabung dengan militer dan dikirim ke Rusia, orang tua mereka tidak akan pernah melihat mereka lagi dalam keadaan hidup,” kata seorang wanita di provinsi Ryanggang kepada media tersebut, yang berbicara dengan syarat anonim demi keselamatannya.

    Korea Utara telah terkejut dengan pengerahan pasukan ke sekutu mereka, Rusia.

    Tidak Tahu akan Dikirim ke Rusia

    Seorang tentara Korea Utara yang ditangkap mengatakan kepada pejabat Ukraina bahwa dia tidak diberitahu sebelumnya sedang menuju Rusia dan mengatakan dia bahkan tidak tahu siapa yang sedang dia lawan.

    Di dalam negeri, rezim diklaim telah diam-diam mengeluarkan surat kematian kepada keluarga yang ditinggalkan, yang menyatakan bahwa orang yang mereka cintai meninggal dalam “latihan tempur suci demi menghormati tanah air,”.

    Tanpa mengungkap keadaan sebenarnya di balik kematian mereka.

    Dalam beberapa minggu sejak pasukan mereka memasuki medan tempur, warga Korea Utara yang kebingungan mulai mempertanyakan mengapa mereka memerangi Ukraina dan bukannya AS, negara yang telah mereka doktrin sejak kecil sebagai musuh utama.

    “Siapa musuh kita? Mengapa kita punya musuh baru?” kata seorang warga Ryanggang kepada Radio Free Asia dalam artikel terpisah.

    “Pandangan konfrontatif terhadap Amerika, yang coba ditanamkan oleh pihak berwenang kepada masyarakat, sudah goyah.”

    Awal bulan ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan sejauh ini telah ada 3.800 korban Korea Utara di Kursk.

    Korea Utara memiliki salah satu tingkat tuberkulosis tertinggi dengan 513 kasus per 100.000 orang, menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2023.

    Apa Kata Orang

    Alina Hrytsenko, analis di Institut Nasional untuk Studi Strategis Ukraina, menulis untuk lembaga pemikir Atlantic Council.

    “Pada titik ini, keikutsertaan Korea Utara dalam invasi Rusia ke Ukraina tampaknya bukan untuk mendukung ambisi kekaisaran Putin, melainkan lebih untuk meningkatkan mesin perang Kim Jong Un.

    “Dalam jangka pendek, kehadiran tentara Korea Utara memungkinkan Rusia mengatasi kekurangan tenaga kerja yang terus meningkat. Namun dengan Rusia yang diyakini kehilangan puluhan ribu tentara setiap bulan, kecil kemungkinan Pyongyang akan mampu sepenuhnya memenuhi permintaan Moskow yang tak pernah terpuaskan akan tenaga kerja tambahan.”

    Apa berikutnya?

    Minggu lalu, Kepala Staf Gabungan Korea Selatan mengatakan mereka yakin Korea Utara sedang bersiap mengirim tenaga tambahan ke Rusia.

    Institut Studi Perang yang berpusat di Washington, DC memperkirakan hal ini dapat terjadi paling cepat pada pertengahan Maret.

    Sementara gelombang pasukan berikutnya  berpotensi jauh lebih tinggi, memperkirakan Pyongyang dapat kehilangan 45.000 tentara per bulan.

    Presiden AS Donald Trump  mengatakan perang tidak akan terjadi di bawah pengawasannya.

    Aakhir pekan dia lalu mengancam sanksi lebih lanjut jika mitranya dari Rusia Vladimir Putin tidak “membuat kesepakatan” untuk mengakhiri konflik selama tiga tahun tersebut.

    Seorang juru bicara pemerintah Rusia mengatakan Putin “menunggu sinyal” dari Washington.

     

  • Peta Konflik Dunia di 2025: AS Awas, Rusia Untung, Perhatian Timur Tengah, Situasi Korea hingga Cina – Halaman all

    Peta Konflik Dunia di 2025: AS Awas, Rusia Untung, Perhatian Timur Tengah, Situasi Korea hingga Cina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dewan Urusan Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah merilis jajak pendapat tahunan para ahli kebijakan luar negeri dengan pertimbangan konflik saat ini atau potensial yang dapat memengaruhi kepentingan Negeri Paman Sam.

    Laporan tersebut dirilis dengan latar belakang perang dan meningkatnya ketegangan di sejumlah kawasan dan saat Presiden AS Donald Trump memaparkan prioritas kebijakan luar negerinya untuk masa jabatan keduanya.

    Newsweek menghubungi Departemen Luar Negeri AS melalui email untuk meminta komentar.

    Laporan tersebut disusun dari informasi yang dikumpulkan pada bulan November dari 15.000 akademisi, pejabat pemerintah, dan pakar kebijakan luar negeri lainnya.

    Hasilnya menunjukkan bahwa tahun 2025 dapat menjadi tahun yang paling berbahaya sejak Dewan Urusan Luar Negeri mulai melakukan Survei Prioritas Pencegahan.

    Ada lebih banyak skenario yang lebih mungkin terjadi dan memiliki dampak potensial yang lebih tinggi terhadap kepentingan Washington daripada sebelumnya dalam 17 tahun jajak pendapat oleh lembaga pemikir yang berkantor pusat di Washington DC.

    Timur Tengah Masih Memanas

    Timur Tengah dianggap sebagai area yang memerlukan perhatian khusus.

    Menurut laporan tersebut, masih menjadi sorotan konflik Israel dan Hamas di Gaza, kemudian bentrokan dengan Hizbullah yang berpusat di Lebanon, dan meningkatnya permusuhan dengan pendukung kedua kelompok paramiliter—Iran.

    Tidak jelas bagaimana gencatan senjata minggu lalu antara Israel dan Hamas dan kembalinya ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi dari Gaza selatan ke utara akan memengaruhi hasil survei.

    Keuntungan Militer Rusia

    Lalu perang Rusia melawan Ukraina juga masuk dalam kategori konflik Tingkat I tertinggi. 

    Kini, perang yang telah memasuki tahun ketiga dinilai memiliki kemungkinan besar untuk terus berlanjut dan berdampak besar pada kepentingan AS.

    Laporan itu memprediksi berbagai  spekulasi yang bisa terjadi.

    “Keuntungan militer besar Rusia di Ukraina, termasuk penghancuran infrastruktur penting secara luas, dan berkurangnya bantuan asing ke Kyiv menyebabkan gencatan senjata yang menguntungkan Moskow.”

    Tekanan Militer Cina ke Taiwan

    Skenario Tingkat 1 yang dianggap cukup mungkin terjadi tetapi dengan dampak potensial yang tinggi adalah “peningkatan tekanan militer dan ekonomi oleh Tiongkok terhadap Taiwan ” yang dapat memicu krisis Selat Taiwan yang dapat menarik AS dan negara lain di kawasan Pasifik.

    Konflik Afghanistan

    Afghanistan masuk dalam kategori risiko rendah Tier II.

    Para ahli merasa penindasan Taliban dan kesulitan ekonomi yang sedang berlangsung di Afghanistan dapat memicu kekerasan sektarian, yang dapat memperburuk krisis kemanusiaannya.

    Skenario ini dianggap memiliki kemungkinan yang tinggi meskipun dampaknya rendah terhadap masalah kebijakan AS saat ini.

    Provokasi Perbatasan Korea

    Sementara itu, “uji coba senjata dan provokasi perbatasan” oleh Korea Utara tidak mungkin mengakibatkan konfrontasi penuh dengan Korea Selatan, menurut para ahli.

    Kontinjensi ini turun ke Tingkat II, turun dari Tingkat 1 tahun lalu, tetapi akan berdampak besar pada kawasan tersebut dan kemungkinan akan melibatkan AS, yang menempatkan sekitar 28.000 tentara di Korea Selatan yang bersekutu.

    Di antara potensi krisis dalam kategori Tingkat III adalah meningkatnya ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh meningkatnya terorisme dan melemahnya kewenangan pemerintah di Nigeria timur laut.

    ALUTSISTA KOREA UTARA – Meriam howitzer M1989 Koksan Korea Utara dikabarkan telah dikirim ke Rusia. Uji coba senjata dan provokasi perbatasan” oleh Korea Utara disebut pakar tidak mungkin mengakibatkan konfrontasi penuh dengan Korea Selatan. (NK News)

    Kemungkinan ini dianggap sedang dan berdampak rendah pada kepentingan Washington.

    Direktur Pusat Aksi Pencegahan di Council on Foreign Relations, Paul Stares, memberikan analisis terkait peta konflik dunia di 2025.

    “Tingkat kecemasan yang dirasakan responden survei tentang risiko konflik kekerasan selama 12 bulan mendatang tidak pernah sebesar ini. Dari 30 kemungkinan yang disurvei, 28 dinilai sangat mungkin terjadi dalam 12 bulan mendatang. Delapan belas di antaranya akan berdampak tinggi atau sedang terhadap kepentingan AS.”

    Untuk menghindari berbagai krisis yang terjadi secara bersamaan dengan konsekuensi yang mengerikan bagi Amerika Serikat, Stares menyarankan pemerintahan Trump untuk berpikir jernih dan berupaya mengurangi risiko konflik.

    Indeks Perdamaian Dunia

    Pada Juni 2024 lalu, Indeks Perdamaian Global (GPI) 2024 merilis peta konflik terbanyak sejak Perang Dunia II.

    Terdapat 56 konflik, 92 negara terlibat dalam konflik di luar perbatasan, yang merupakan jumlah terbanyak sejak GPI didirikan.

    Laporan yang dihasilkan oleh lembaga pemikir internasional, Institute for Economics & Peace (IEP), yang mengungkap bahwa dunia berada di persimpangan jalan. Tanpa upaya bersama, ada risiko lonjakan konflik besar, seperti dikutip dari visionofhumanity.org.

    Adapun 97 negara mengalami penurunan tingkat kedamaian, lebih banyak dari tahun mana pun sejak dimulainya Indeks Perdamaian Global pada tahun 2008.

    Konflik di Gaza dan Ukraina merupakan pendorong utama penurunan tingkat kedamaian global, karena kematian akibat pertempuran mencapai 162.000 pada tahun 2023.

    92 negara saat ini terlibat dalam konflik di luar perbatasan mereka, lebih banyak daripada kapan pun sejak dimulainya GPI.

    Sistem penilaian militer pertama dari jenisnya menunjukkan bahwa kemampuan militer AS hingga tiga kali lebih tinggi daripada Tiongkok.

    Dampak ekonomi global dari kekerasan meningkat menjadi $19,1 triliun pada tahun 2023, mewakili 13,5 persen dari PDB global. Paparan terhadap konflik menimbulkan risiko rantai pasokan yang signifikan bagi pemerintah dan bisnis.

    Militerisasi mencatat penurunan tahunan terbesarnya sejak dimulainya GPI, dengan 108 negara menjadi lebih termiliterisasi.

    110 juta orang menjadi pengungsi atau mengungsi di dalam negeri karena konflik kekerasan, dengan 16 negara kini menampung lebih dari setengah juta pengungsi.

    Amerika Utara mengalami kemerosotan regional terbesar, yang disebabkan oleh peningkatan kejahatan kekerasan dan ketakutan akan kekerasan.

    Jumlah negara yang terlibat konflik tertinggi sejak Perang Dunia II

    PEMBEBASAN SANDERA ISRAEL – Foto ini diambil pada Jumat (31/1/2025) dari publikasi resmi Telegram Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Kamis (30/1/2025), menunjukkan warga Palestina dan anggota Brigade Al-Qassam menyaksikan pertukaran tahanan ketiga di Jalur Gaza pada Kamis (30/1/2025). Hamas menyerahkan 3 sandera Israel dan 5 warga Thailand kepada ICRC sebelum dibawa ke negara masing-masing. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Saat ini terdapat 56 konflik, yang terbanyak sejak Perang Dunia II.

    Konflik-konflik tersebut telah menjadi lebih internasional dengan 92 negara terlibat dalam konflik di luar perbatasan mereka, yang terbanyak sejak dimulainya GPI.

    Meningkatnya jumlah konflik kecil meningkatkan kemungkinan terjadinya lebih banyak konflik besar di masa mendatang.

    Misalnya, pada tahun 2019, Ethiopia, Ukraina, dan Gaza semuanya diidentifikasi sebagai konflik kecil.

    Tahun lalu tercatat 162.000 kematian terkait konflik. Ini adalah jumlah korban tertinggi kedua dalam 30 tahun terakhir, dengan konflik di Ukraina dan Gaza yang menyumbang hampir tiga perempat kematian.

    Ukraina mewakili lebih dari separuhnya, mencatat 83.000 kematian akibat konflik, dengan perkiraan sedikitnya 33.000 untuk Palestina hingga April 2024.

    Dalam empat bulan pertama tahun 2024, kematian terkait konflik secara global berjumlah 47.000.

    Jika angka yang sama berlanjut hingga akhir tahun ini, ini akan menjadi jumlah kematian konflik tertinggi sejak genosida Rwanda pada tahun 1994.

    Dampak ekonomi global akibat kekerasan pada tahun 2023 adalah $19,1 triliun atau $2.380 per orang.

    Ini merupakan peningkatan sebesar $158 miliar, yang sebagian besar disebabkan oleh peningkatan kerugian PDB akibat konflik sebesar 20 persen.

    Pengeluaran untuk pembangunan perdamaian dan pemeliharaan perdamaian berjumlah total $49,6 miliar, yang mewakili kurang dari 0,6?ri total pengeluaran militer.

    Islandia tetap menjadi negara paling damai, posisi yang telah dipegangnya sejak 2008, diikuti oleh Irlandia, Austria, Selandia Baru, dan Singapura – pendatang baru di lima besar.

    Yaman telah menggantikan Afghanistan sebagai negara paling tidak damai di dunia. Diikuti oleh Sudan, Sudan Selatan, Afghanistan, dan Ukraina.

    Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) tetap menjadi kawasan yang paling tidak damai.

    Kawasan ini merupakan rumah bagi empat dari sepuluh negara yang paling tidak damai di dunia dan dua negara yang paling tidak damai, Sudan dan Yaman.

    Meskipun demikian, UEA mencatat peningkatan kedamaian terbesar di kawasan ini – naik 31 peringkat ke peringkat 53 pada tahun 2024.

    Meskipun sebagian besar indikator kedamaian memburuk selama 18 tahun terakhir, ada peningkatan dalam angka pembunuhan yang turun di 112 negara, sementara persepsi kriminalitas membaik di 96 negara.

    Perubahan sifat konflik

    Seiring meluasnya konflik dan semakin mendunianya konflik, meningkatnya kompleksitas mengurangi kemungkinan tercapainya solusi yang langgeng. Ukraina dan Gaza adalah contoh dari keluhan historis yang terus berlanjut atau “perang abadi” tanpa resolusi yang jelas.

    Jumlah konflik yang menghasilkan kemenangan yang menentukan bagi kedua belah pihak telah turun dari 49 persen pada tahun 1970-an, menjadi kurang dari 9 persen pada tahun 2010-an.

    Selama periode yang sama, jumlah konflik yang berakhir melalui perjanjian damai turun dari 23 persen menjadi lebih dari 4%.

    Faktor kunci lain yang membentuk kembali konflik adalah dampak teknologi peperangan asimetris, yang memudahkan kelompok non-negara, serta negara yang lebih kecil atau kurang kuat, untuk bersaing dalam konflik dengan negara atau pemerintah yang lebih besar.

    Jumlah negara yang menggunakan pesawat nirawak meningkat dari 16 menjadi 40, peningkatan 150% antara tahun 2018 dan 2023.

    Selama periode yang sama, jumlah kelompok non-negara yang melakukan setidaknya satu serangan pesawat nirawak meningkat dari 6 menjadi 91, peningkatan lebih dari 1.400%.

    Kemampuan militer global

    Sejak dimulainya perang Ukraina, militerisasi telah meningkat di 91 negara, membalikkan tren 15 tahun sebelumnya.

    Mengingat komitmen ke depan banyak negara terhadap pengeluaran militer, hal itu tidak mungkin membaik dalam beberapa tahun mendatang.

    Perubahan dalam dinamika peperangan telah menyebabkan jumlah pasukan berkurang sementara kecanggihan teknologi meningkat.

    Selama dekade terakhir, 100 negara mengurangi personel angkatan bersenjata mereka, sementara kemampuan militer global meningkat lebih dari 10%.

    Penelitian pertama yang dilakukan oleh IEP menghitung kemampuan militer suatu negara dengan menggabungkan kecanggihan militer, teknologi, dan kesiapan tempur.

    Penelitian ini mengungkap bahwa AS memiliki kemampuan militer yang jauh lebih tinggi daripada China, yang diikuti oleh Rusia.

    Pendekatan tradisional untuk mengukur kemampuan militer umumnya hanya menghitung jumlah aset militer.

    Sorotan regional

    Eropa tetap menjadi kawasan paling damai, namun, kawasan ini mencatat peningkatan pengeluaran militer tahunan terbesar sejak dimulainya GPI.

    Amerika Utara mencatat penurunan perdamaian regional terbesar dengan penurunan hanya di bawah 5%.

    Baik AS maupun Kanada mengalami penurunan yang signifikan, terutama didorong oleh peningkatan kejahatan kekerasan dan ketakutan akan kekerasan.

    Afrika Sub-Sahara sekarang menjadi kawasan paling tidak damai kedua setelah MENA karena menghadapi beberapa krisis keamanan – terutama meningkatnya kerusuhan politik dan terorisme di Sahel Tengah.

    Asia-Pasifik tetap menjadi kawasan paling damai kedua dengan sedikit penurunan perdamaian.

    Papua Nugini mencatat penurunan terburuk di kawasan tersebut, yang disebabkan oleh meningkatnya kekerasan suku akibat perselisihan atas wilayah dan kepemilikan tanah.

    Amerika Tengah dan Karibia mengalami sedikit penurunan perdamaian, karena negara-negara seperti Haiti memerangi kejahatan terorganisasi tingkat tinggi dan kerusuhan sipil.

    Meskipun demikian, El Salvador mencatat peningkatan perdamaian paling signifikan di dunia.

    Amerika Selatan mengalami penurunan perdamaian terbesar kedua dengan penurunan sebesar 3,6%.

    Perubahan terbesar terjadi pada indikator Tingkat Pembunuhan, Skala Teror Politik, dan Intensitas Konflik Internal.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha)

  • Kim Jong Un Siaga 1! Siapkan Nuklir Paling Canggih di Dunia

    Kim Jong Un Siaga 1! Siapkan Nuklir Paling Canggih di Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyerukan penguatan kekuatan nuklir negaranya tahun ini. Hal ini ia sampaikan saat berkunjung ke pangkalan produksi material nuklir dan lembaga senjata nuklir.

    “Tahun ini merupakan tahun yang krusial karena merupakan titik balik penting di mana kita harus melaksanakan tugas-tugas dalam periode penting dalam rangka menerapkan garis untuk memperkuat kekuatan nuklir,” kata Kim, seperti dilaporkan media pemerintah KCNA pada Rabu (29/1/2025).

    Kim memuji para ilmuwan dan pekerja lain di sana karena mencapai “keberhasilan luar biasa” dan “hasil produksi yang menakjubkan” dalam pekerjaan mereka tahun lalu. Pujian ia sampaikan saat pengarahan tentang proses produksi material nuklir tingkat senjata dan rencana mereka untuk tahun 2025 dan seterusnya.

    Kim menyerukan keberhasilan lebih lanjut dalam memproduksi material nuklir tingkat senjata tahun ini dan memperkuat kekuatan nuklir negara itu.

    Menurut Kim, Korea Utara menghadapi “situasi keamanan paling tidak stabil di dunia” karena konfrontasi yang telah berlangsung lama dengan “negara-negara yang paling kejam dan bermusuhan,” yang membuatnya sangat penting bagi negara itu untuk meningkatkan kemampuan nuklirnya.

    Sementara itu para analis memperkirakan Korea Utara mungkin telah menghasilkan cukup banyak bahan fisil untuk membangun hingga 90 hulu ledak nuklir.

    Badan Intelijen Nasional Seoul mengatakan bahwa unjuk kekuatan Korea Utara baru-baru ini sebagian dimaksudkan untuk “memamerkan aset pencegah AS dan menarik perhatian Presiden Amerika Serikat Donald Trump” setelah bersumpah untuk “melakukan tindakan balasan anti-AS yang paling keras” pada pertemuan kebijakan akhir tahun yang penting bulan lalu.

    Trump, yang mengadakan pertemuan puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Kim selama masa jabatan pertamanya dan telah memuji hubungan pribadi mereka, mengatakan minggu lalu bahwa ia akan “menghubunginya lagi.”

    Pada tanggal 20 Januari, hari pelantikannya, Trump menggambarkan Korea Utara sebagai “kekuatan nuklir,” seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertahanannya saat ini, Pete Hegseth, pada sidang konfirmasi Senat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah Washington akan mengupayakan perundingan pengurangan senjata daripada perundingan denuklirisasi.

    Korea Selatan mengatakan denuklirisasi Korea Utara harus tetap menjadi tujuan untuk setiap keterlibatan.

    Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan komentar, tetapi seseorang yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Reuters bahwa Trump akan terus mengupayakan denuklirisasi Semenanjung Korea.

    Kantor berita Korea Selatan Yonhap melaporkan pada Rabu bahwa Trump akan mengupayakan “denuklirisasi menyeluruh” Korea Utara, mengutip juru bicara Dewan Keamanan Nasional Brian Hughes.

    (tfa/mij)

  • Jam Kiamat 89 Detik Menuju Tengah Malam, Bumi di Ambang Kehancuran

    Jam Kiamat 89 Detik Menuju Tengah Malam, Bumi di Ambang Kehancuran

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Para ilmuwan internasional yang tergabung dalam Bulletin of the Atomic Scientists kembali memperingatkan bahwa dunia berada dalam ancaman besar. Panel tersebut telah menggeser Jam Kiamat (Doomsday Clock) lebih dekat ke tengah malam dibandingkan sebelumnya, sebagai simbol meningkatnya risiko bencana global yang dapat mengancam kelangsungan hidup umat manusia.

    Jarum Jam Kiamat diatur pada 89 detik sebelum tengah malam, lebih dekat satu detik dibandingkan tahun lalu. Keputusan ini mencerminkan meningkatnya risiko nuklir akibat invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan di Timur Tengah dan Asia, serta penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia militer. Selain itu, krisis iklim yang semakin parah juga menjadi faktor utama yang mendorong keputusan ini.

    Menurut Daniel Holz, ketua dewan sains dan keamanan Bulletin of the Atomic Scientists, ancaman nuklir tetap menjadi faktor utama dalam keputusan tahun ini.

    “Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan tahun ini-risiko nuklir, perubahan iklim, penyalahgunaan teknologi biologi, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya seperti kecerdasan buatan-sebenarnya bukan hal baru. Namun, kita telah melihat bahwa upaya untuk mengatasinya masih belum cukup, bahkan dalam banyak kasus justru semakin memburuk,” kata Holz, dilansir Reuters, Rabu (29/1/2025).

    Rusia masih menjadi perhatian utama setelah invasi ke Ukraina yang dimulai pada 2022. Perang tersebut menjadi konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia II dan menimbulkan risiko penggunaan senjata nuklir.

    “Perang di Ukraina tetap menjadi sumber risiko nuklir yang besar. Konflik ini bisa meningkat menjadi perang nuklir kapan saja, baik karena keputusan yang gegabah maupun karena kesalahan perhitungan,” tambah Holz.

    Kekhawatiran ini makin meningkat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin pada November 2023 mengumumkan kebijakan baru yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir. Doktrin baru ini memberi Putin lebih banyak alasan untuk menggunakan arsenal nuklir terbesar di dunia sebagai tanggapan terhadap serangan konvensional dari Barat.

    Selain itu, Rusia juga menolak negosiasi perjanjian baru dengan Amerika Serikat untuk menggantikan New Strategic Arms Reduction Treaty (New START) yang akan berakhir pada 2026. Moskow menuntut agar perjanjian semacam itu diperluas untuk mencakup negara-negara lain.

    Ketegangan di Timur Tengah dan Asia Timur

    Selain konflik Rusia-Ukraina, ketegangan di Timur Tengah juga makin mengkhawatirkan. Perang antara Israel dan Hamas di Gaza, serta ketegangan yang melibatkan Iran dan negara-negara lain di kawasan itu, berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut.

    “Kami memantau dengan cermat dan berharap gencatan senjata di Gaza akan bertahan. Namun, ketegangan di Timur Tengah, termasuk dengan Iran, masih sangat berbahaya dan tidak stabil,” kata Holz.

    Di Asia, China makin meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan dengan mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur di sekitar pulau yang diklaimnya sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba rudal balistik yang dapat membawa hulu ledak nuklir, yang semakin meningkatkan ketegangan di kawasan.

    “Ada banyak titik panas potensial di dunia, termasuk Taiwan dan Korea Utara. Jika salah satu dari konflik ini meletus, negara-negara berkekuatan nuklir bisa terlibat, yang akan membawa dampak tak terduga dan sangat menghancurkan,” kata Holz.

    Krisis Iklim yang Kian Memburuk

    Selain risiko geopolitik, krisis iklim juga menjadi faktor utama yang mendorong semakin dekatnya Jam Kiamat ke tengah malam. Menurut data dari Organisasi Meteorologi Dunia PBB, 2024 mencatatkan rekor sebagai tahun terpanas dalam sejarah,

    “Selama 10 tahun terakhir, dunia mengalami dekade terpanas dalam sejarah. Meskipun ada peningkatan dalam penggunaan energi angin dan surya, langkah-langkah global masih belum cukup untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim,” jelas Holz.

    Para ilmuwan memperingatkan bahwa jika dunia gagal mengendalikan pemanasan global, bencana seperti gelombang panas ekstrem, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, dan naiknya permukaan air laut akan semakin sering terjadi dan memperparah ketidakstabilan global.

    Panel ilmuwan juga menyoroti risiko dari kecerdasan buatan (AI) dalam dunia militer, yang makin berkembang pesat tanpa regulasi yang jelas. Kemajuan AI dalam sistem persenjataan dapat meningkatkan potensi perang otomatis, di mana keputusan untuk menyerang atau bertahan bisa diambil tanpa intervensi manusia, menimbulkan risiko eskalasi yang tidak terkendali.

    Peringatan Keras untuk Pemimpin Dunia

    Dengan hanya 89 detik tersisa sebelum tengah malam, para ilmuwan meminta para pemimpin dunia untuk bertindak lebih tegas dalam menangani ancaman-ancaman global ini.

    “Mengatur Jam Kiamat pada 89 detik sebelum tengah malam adalah peringatan bagi seluruh pemimpin dunia,” tegas Holz.

    Meskipun peringatan ini telah disampaikan setiap tahun, dunia masih belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengurangi risiko bencana nuklir, krisis iklim, maupun tantangan teknologi baru seperti AI. Jika langkah nyata tidak segera diambil, dunia bisa makin mendekati titik kehancuran yang tidak dapat dibalikkan.

    (luc/luc)

  • Menengok Geliat Investasi Pasca Pelantikan Trump – Page 3

    Menengok Geliat Investasi Pasca Pelantikan Trump – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Setelah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan sejumlah terobosan dalam hal kebijakan, termasuk menginisiasi gencatan senjata di Gaza. Gencatan senjata tersebut disambut dengan optimisme oleh banyak pihak, karena dianggap dapat meredakan ketegangan geopolitik sekaligus memberikan harapan bagi perbaikan situasi ekonomi global.

    Di tengah harapan terhadap kebijakan global yang lebih stabil, Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef  Abdul Manap Pulungan menilai gencatan senjata memang bisa sedikit meredakan, namun itu belum cukup untuk memulihkan ekonomi dunia yang masih rapuh.

    Apalagi saat ini prospek ekonomi global masih belum membaik. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 mencapai 3,3%. Sementara untuk AS dan China diproyeksikan melambat menjadi 2,7% dan 4,6%.

    “Gencatan senjata sedikit mendinginkan gejolak ekonomi global. Namun pasca pandemi terdapat persoalan kronis di sektor ketenagakerjaan dan investasi, apalagi pengangguran dunia sangat tinggi, dan investasi kini dihadapkan pada tingginya suku bunga kredit. Terlebih IMF memprediksi lalu lintas perdagangan dunia mungkin akan melambat menjadi 3,2% pada 2025,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (25/1/2025).

    Abdul menilai gejolak geopolitik global dinilai masih menjadi tantangan besar bagi perekonomian dunia. Ketegangan yang terjadi antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Rusia, dan Uni Eropa, ditambah dengan konflik-konflik lain seperti Taiwan-China dan Korea Selatan-Korea Utara, bisa semakin memperburuk ketidakpastian global. “Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakpastian global semakin tinggi,” katanya.

    Di tengah situasi ekonomi seperti ini, Abdul menganalisis sektor ekonomi yang diuntungkan. “Pertama, sektor yang connect langsung dengan ekonomi global seperti pertanian dan komoditas. Kedua, sektor ekonomi hijau,” katanya.

    Untuk itu, ia menilai, Indonesia perlu memanfaatkan potensi sektor-sektor tersebut di tengah progres hilirisasi yang telah dilakukan agar mendapatkan nilai tambah yang lebih optimal.

     

  • Kelanjutan Hubungan Trump dan Kim Jong Un di Periode Terbaru

    Kelanjutan Hubungan Trump dan Kim Jong Un di Periode Terbaru

    Jakarta

    Donald Trump memiliki hubungan dengan Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un pada periode pertama menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2017 hingga 2021. Pada periode keduanya kali ini, Trump mengatakan akan kembali menghubungi Kim Jong Un.

    Diketahui, Trump memiliki hubungan diplomatik yang tergolong langka dengan Kim Jong Un yang sangat tertutup. Trump tidak hanya bertemu langsung dengan Kim Jong Un, tapi juga menyebut mereka berdua telah “jatuh cinta”.

    Trump menyebut Kim Jong Un, yang telah ditemuinya sebanyak tiga kali, sebagai “sosok yang pintar”.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) baru AS, Marco Rubio mengakui, dalam sidang konfirmasi penunjukannya, bahwa upaya tersebut tidak menghasilkan kesepakatan jangka panjang untuk mengakhiri program nuklir Korut.

    Ketika ditanya dalam wawancara dengan Fox News soal rencananya untuk Kim Jong Un dan apakah dia akan “menghubungi” pemimpin Korut tersebut, seperti dilansir AFP, Jumat (24/1/2025), Trump mengiyakan.

    “Saya akan melakukannya, iya. Dia menyukai saya,” jawab Trump dalam wawancara tersebut.

    Namun Trump tidak menyebutkan lebih spesifik soal kapan komunikasi dengan pemimpin Korut itu akan dilakukan, dan apa yang akan dibahas keduanya.

    Pernyataan terbaru Trump soal Kim Jong Un ini disampaikan setelah Korut mengatakan negaranya sedang mengupayakan senjata nuklir untuk menangkal ancaman dari AS dan sekutunya, Korea Selatan (Korsel).

    Pyongyang dan Seoul secara teknis masih berperang sejak tahun 1950-1953 silam, yang berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

    Hubungan Trump dan Kim Jong Un

    Donald Trum dan Kim Jong Un (Foto: REUTERS/Kevin Lamarque)

    Trump dan Kim Jong Un memiliki hubungan yang sangat kuat selama masa jabatan pertama Trump. Dalam pernyataannya baru-baru ini, Trump menggambarkan hubungan antara dirinya dan Kim Jong Un sebagai “sangat, sangat baik” dan dia menyebut pemimpin Korut itu sebagai “sosok yang pintar”.

    Selama masa jabatan pertamanya, Trump bertemu Kim Jong Un dalam tiga kesempatan terpisah antara tahun 2018 dan tahun 2019.

    Namun setelah Trump meninggalkan Gedung Putih, rezim Kim Jong Un melakukan rentetan uji coba senjata dan peluncuran rudal, bahkan memamerkan program nuklirnya.

    AS dan negara-negara lainnya memperingatkan bahwa program nuklir Korut mengganggu stabilitas, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan beberapa resolusi yang melarang upaya-upaya Pyongyang terkait program tersebut.

    Trump Ingin Kesepakatan dengan Sekutu Korut

    Dalam wawancara dengan Fox News, Trump mengenang upayanya mewujudkan kesepakatan dengan sekutu Korut, seperti Rusia dan China, pada akhir masa jabatan pertamanya. Upaya tahun 2019 itu akan menetapkan batasan baru bagi senjata nuklir Moskow yang tidak diregulasi dan membujuk Beijing bergabung dengan pakta pengendalian senjata.

    “Saya hampir mencapai kesepakatan. Saya akan mencapai kesepakatan dengan (Presiden Vladimir) Putin mengenai denuklirisasi… Tapi kita mengalami pemilu yang buruk yang mengganggu kita,” ucapnya, merujuk pada kekalahannya dari mantan Presiden Joe Biden dalam pemilu tahun 2020.

    Halaman 2 dari 2

    (aik/lir)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Korea Utara Bersiap Kirim Lebih Banyak Tentara ke Rusia

    Korea Utara Bersiap Kirim Lebih Banyak Tentara ke Rusia

    Seoul

    Korea Utara (Korut) dicurigai sedang bersiap mengirimkan lebih banyak tentaranya ke Rusia untuk bertempur melawan pasukan Ukraina. Pengiriman lebih banyak pasukan tetap dilakukan, meskipun Pyongyang mengalami kerugian dan mendapati beberapa tentaranya ditangkap oleh Kyiv.

    Dugaan tersebut, seperti dilansir Reuters, Jumat (24/1/2025), disampaikan oleh Kepala Staf Gabungan militer Korea Selatan (Korsel) atau JCS dalam pernyataan terbarunya pada Jumat (24/1) waktu setempat.

    “Empat bulan telah berlalu untuk pengiriman pasukan untuk perang Rusia-Ukraina, dan banyak korban jiwa dan tawanan telah terjadi,” sebut JCS dalam pernyataannya.

    “(Korut) Diduga mempercepat langkah lebih lanjut dan persiapan untuk pengiriman pasukan tambahan,” demikian pernyataan JCS.

    Analisis JCS tidak merinci langkah lebih lanjut apa yang mungkin diambil oleh Pyongyang.

    Menurut JCS dalam laporannya, Korut juga bersiap meluncurkan satelit mata-mata dan rudal balistik antarbenua (ICBM), meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu akan dilakukan segera.

    Bulan ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan dua tentara Korut telah ditangkap di wilayah Kursk, Rusia yang diduduki pasukan Kyiv. Itu menandai pertama kalinya Ukraina menangkap tentara Korut dalam keadaan hidup sejak mereka terlibat dalam perang pada musim gugur lalu.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu