Negara: Korea Utara

  • Trump Larang Warga dari 41 Negara Datang ke AS, Indonesia Termasuk?

    Trump Larang Warga dari 41 Negara Datang ke AS, Indonesia Termasuk?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan pembatasan perjalanan menyeluruh bagi warga negara dari puluhan negara sebagai bagian dari larangan baru, mengutip Reuters, Sabtu (15/3/2025).

    Memo tersebut mencantumkan total 41 negara yang dibagi menjadi tiga kelompok terpisah. Kelompok pertama yang terdiri dari 10 negara, termasuk Afghanistan, Iran, Suriah, Kuba, dan Korea Utara, akan ditetapkan untuk penangguhan visa penuh.

    Pada kelompok kedua, lima negara — Eritrea, Haiti, Laos, Myanmar, dan Sudan Selatan — akan menghadapi penangguhan sebagian yang akan memengaruhi visa turis dan pelajar serta visa imigran lainnya, dengan beberapa pengecualian.

    Pada kelompok ketiga, total 26 negara yang mencakup Belarus, Pakistan, dan Turkmenistan, akan dipertimbangkan untuk penangguhan sebagian penerbitan visa AS jika pemerintah mereka “tidak melakukan upaya untuk mengatasi kekurangan dalam waktu 60 hari”, kata memo tersebut.

    Seorang pejabat AS memperingatkan, mungkin ada perubahan pada daftar tersebut dan bahwa daftar tersebut belum disetujui oleh pemerintah, termasuk Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio.

    The New York Times pertama kali melaporkan daftar negara tersebut.

    Langkah tersebut mengingatkan kembali pada larangan masa jabatan pertama Presiden Donald Trump terhadap pelancong dari tujuh negara mayoritas Muslim, sebuah kebijakan yang mengalami beberapa iterasi sebelum ditegakkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2018.

    Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada tanggal 20 Januari yang mengharuskan pemeriksaan keamanan intensif terhadap setiap orang asing yang ingin masuk ke AS untuk mendeteksi ancaman keamanan nasional.

    Perintah tersebut mengarahkan beberapa anggota kabinet untuk menyerahkan daftar negara-negara yang perjalanannya harus ditangguhkan sebagian atau seluruhnya sebelum 21 Maret karena “informasi pemeriksaan dan penyaringan mereka sangat kurang.”

    Arahan Trump merupakan bagian dari tindakan keras imigrasi yang ia luncurkan pada awal masa jabatan keduanya.

    Ia memaparkan rencananya dalam pidatonya pada Oktober 2023, berjanji untuk membatasi orang-orang dari Jalur Gaza, Libya, Somalia, Suriah, Yaman, dan “tempat mana pun yang mengancam keamanan kita.”

    Daftar Negara yang bakal masuk dalam daftar pembatasan masuk AS, seperti dilansir Reuters:

    Afghanistan
    Kuba
    Iran
    Libya
    Korea Utara
    Somalia
    Sudan
    Syria
    Venezuela
    Yaman

    rencana pembatasan visa sebagian (turis, pelajar bisa terkena dampak)

    Eritrea
    Haiti
    Laos
    Myanmar
    Sudan Selatan

    rencana pembatasan sebagian jika tak mampu mengatasi kekurangannya:

    Angola
    Antigua and Barbuda
    Belarus
    Benin
    Bhutan
    Burkina Faso
    Cabo Verde
    Kamboja
    Kamerun
    Chad
    Republik Demokratik Kongo
    Dominika
    Guinea Ekuatorial
    Gambia
    Liberia.

    (dce)

  • Kisah Peretas Korut Lakukan Perampokan Kripto Hampir Rp 25 T

    Kisah Peretas Korut Lakukan Perampokan Kripto Hampir Rp 25 T

    Jakarta

    Para peretas yang diduga bekerja untuk rezim Korea Utara berhasil menguangkan setidaknya US$300 juta (sekitar Rp4,9 triliun) dari hasil perampokan kripto sebesar US$1,5 miliar (Rp24,6 triliun).

    Para bandit yang dikenal sebagai Kelompok Lazarus ini menggondol sejumlah besar token digital dalam peretasan bursa kripto ByBit sekitar dua minggu lalu.

    Dengan total nilai US$1,5 miliar (Rp24,6 triliun), perampokan ini memecahkan rekor sebagai yang terbesar dalam sejarah.

    Sejak saat itu, terjadi permainan kucing-kucingan untuk menghalangi para peretas mengubah kripto menjadi uang tunai.

    Para ahli mengatakan kelompok ini bekerja hampir 24 jam sehari dan dana itu kemungkinan digunakan untuk pengembangan militer rezim Korut.

    “Bagi para peretas ini, setiap menit begitu berharga. Mereka berusaha mengaburkan jejak uang dan mereka sangat ahli dalam hal ini,” ujar Dr. Tom Robinson, salah satu pendiri Elliptic.

    Elliptic yang berbasis di London adalah firma yang menganalisa dan menginvestigasi mata uang digital.

    Logo ByBit. (Getty Images)

    Dari semua pelaku kriminal yang terlibat dalam kripto, Robinson menyebut Korut adalah yang terbaik dalam pencucian mata uang digital.

    “Saya membayangkan mereka punya satu ruangan yang dipenuhi orang-orang yang ahli menggunakan alat otomatis dengan pengalaman bertahun-tahun,” katanya.

    “Dari aktivitas mereka, terlihat bahwa orang-orang ini hanya beristirahat beberapa jam setiap harinya. Kemungkinan mereka punya giliran kerja untuk mengubah kripto menjadi uang tunai.”

    Analisis Elliptic sesuai dengan pernyataan ByBit yang mengatakan bahwa 20% dana sudah “lenyap”. Hal ini berarti kemungkinan besar dana itu tidak akan pernah ditemukan.

    Getty Images Ilustrasi peretas. BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    AS dan sekutunya menuduh Korut melakukan puluhan peretasan dalam beberapa tahun terakhir untuk mendanai pengembangan militer dan nuklir negara tersebut.

    Pada 21 Februari, para bandit meretas salah satu pemasok ByBit untuk secara diam-diam mengubah alamat dompet digital yang digunakan untuk mengirim 401.000 koin kripto Ethereum.

    Pihak ByBit mengira mereka memindahkan dana ke dompet digital sendiri, tetapi malah mengirimkannya ke para peretas.

    Getty ImagesCEO ByBit, Ben Zhou, berharap untuk memulihkan kembali sebagian dana yang dicuri melalui sebuah proyek berhadiah.

    Ben Zhou, CEO ByBit, meyakinkan konsumen bahwa dana mereka tidak ada yang diambil.

    Perusahaan mengganti koin yang dicuri menggunakan pinjaman dari investor. Zhou menambahkan pihaknya sedang “berperang melawan Lazarus”.

    Program hadiah (bounty) Lazarus ByBit mengajak masyarakat untuk melacak dana curian dan membekukannya jika memungkinkan.

    Semua transaksi kripto tercatat di blockchain publik sehingga dana tersebut bisa dilacak saat dipindahkan oleh Kelompok Lazarus.

    Jika peretas mencoba menggunakan layanan kripto umum untuk mengubah koin menjadi uang biasa seperti dolar AS, koin tersebut bisa dibekukan oleh perusahaan jika dicurigai terkait kejahatan.

    Getty ImagesIlustrasi peretas dengan latar bendera Korea Utara.

    Sejauh ini, sudah ada 20 orang yang membagi hadiah lebih dari US$4 juta dolar (Rp65,6 miliar) karena berhasil mengidentifikasi US$40 juta dolar (Rp656 miliar) dari uang curian dan memberi tahu perusahaan kripto agar memblokir transfer.

    Namun, para ahli pesimis sisa dana bisa dipulihkan mengingat keahlian Korut dalam peretasan dan pencucian uang.

    “Korea Utara merupakan suatu sistem dan ekonomi yang sangat tertutup. Mereka menciptakan industri peretasan dan pencucian uang yang sukses, dan mereka tidak peduli akan citra negatif kejahatan siber,” kata Dr. Dorit Dor dari perusahaan keamanan siber, Check Point.

    Baca juga:

    Tantangan lainnya adalah tidak semua perusahaan kripto bersedia membantu.

    ByBit dan perusahaan lainnya menuduh bursa kripto eXch tidak menghentikan para penjahat ketika mereka mencairkan dana.

    Lebih dari US$90 juta (Rp1,4 triliun) sudah disalurkan melalui bursa ini.

    Pemilik eXch yang terkenal sulit dilacak, Johann Roberts, membantah tuduhan itu melalui surat elektronik.

    Roberts mengaku mereka awalnya tidak menghentikan pencarian dana karena perusahaannya sudah lama berselisih engan ByBit. Selain itu, dia mengatakan timnya tidak yakin koin-koin itu benar-benar berasal dari peretasan.

    Roberts mengatakan saat ini dirinya sekarang berkooperasi. Di sisi lain, dia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan umum yang mengidentifikasi pelanggan kripto menelantarkan manfaat privasi dan anonimitas mata uang kripto.

    FBIPark Jin Hyok adalah salah satu peretas yang diduga anggota Kelompok Lazarus

    Korea Utara tidak pernah mengakui rezim berada di balik Kelompok Lazarus. Akan tetapi, mereka diduga satu-satunya negara di dunia yang menggunakan kemampuan peretasan untuk keuntungan finansial.

    Peretas Kelompok Lazarus sebelumnya menargetkan bank. Namun, dalam lima tahun terakhir, mereka mengkhususkan diri menyerang perusahaan mata uang kripto.

    Industri kripto kurang terlindungi karena hanya ada sedikit mekanisme yang tersedia untuk menghentikan pencucian uang.

    Getty ImagesIlustrasi peretas.

    Beberapa peretasan teranyar yang terkait dengan Korut antara lain:

    Peretasan UpBit pada tahun 2019 sebesar US$41 juta (Rp673 miliar)Pencurian kripto sebesar US$275 juta (Rp 4,5 triliun) dari bursa KuCoin (sebagian besar dana dipulihkan)Serangan Ronin Bridge tahun 2022 yang menyebabkan peretas membawa kabur US$600 juta (Rp9,8 triliun) dalam bentuk kriptoSekitar US$100 juta (Rp1,6 triliun) dalam bentuk kripto dicuri dalam serangan terhadap Atomic Wallet pada tahun 2023

    Pada tahun 2020, AS menambahkan sejumlah warga Korut yang dituduh menjadi anggota Kelompok Lazarus ke daftar Cyber Most Wanted.

    Namun, kecuali mereka meninggalkan Korut, kemungkinan orang-orang itu ditangkap sangatlah kecil

    Berita terkait:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jajaki Garis Depan Pertempuran, Putin Kenakan Seragam Militer untuk Pertama Kalinya Sejak Perang – Halaman all

    Jajaki Garis Depan Pertempuran, Putin Kenakan Seragam Militer untuk Pertama Kalinya Sejak Perang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin mengenakan seragam militer lengkap untuk pertama kalinya sejak melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada Rabu (12/3/2025).

    Dilansir Newsweek, keputusan Putin untuk mengenakan seragam militer tampaknya bertujuan memperkuat citranya sebagai pemimpin di masa perang.

    Putin juga dinilai ingin meningkatkan moral tentaranya menjelang kemungkinan perundingan damai untuk mengakhiri konflik.

    Ia mengenakan pakaian militer tersebut saat mengunjungi pos komando di garis depan pertempuran wilayah Kursk, Rusia bagian barat, yang berbatasan dengan Ukraina.

    Di sana, ia mengusulkan pembentukan “zona penyangga” di sepanjang perbatasan.

    Kunjungan ke Kursk ini merupakan yang pertama bagi Putin sejak wilayah tersebut diserang oleh Ukraina pada Agustus lalu.

    Dalam kunjungannya, Putin menyerukan agar pasukannya segera memukul mundur pasukan Ukraina dari wilayah tersebut secepat mungkin, demikian menurut laporan media pemerintah Rusia.

    Pasukan Rusia, yang dibantu oleh tentara Korea Utara, dilaporkan berhasil merebut kembali kendali atas beberapa desa di wilayah Kursk baru-baru ini.

    “Saya berharap semua tugas tempur yang dihadapi unit kita dapat diselesaikan, dan wilayah Kursk segera dibebaskan sepenuhnya dari musuh,” ujar Putin.

    “Tentu saja, saya ingin meminta Anda untuk mempertimbangkan pembentukan zona penyangga di sepanjang perbatasan negara di masa mendatang,” tambahnya saat mengunjungi pos komando.

    “Pasukan Ukraina akan diperlakukan sebagai teroris sesuai dengan hukum Federasi Rusia,” tegas Putin.

    Potensi Perundingan Damai

    Kemunculan Putin dengan seragam tempur bertepatan dengan agenda kunjungan utusan Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, ke Moskow minggu ini. 

    Witkoff disebut membawa usulan gencatan senjata untuk Kremlin serta membahas ketentuan perjanjian damai.

    Menurut juru bicara Gedung Putih Caroline Leavitt, Witkoff akan berada di Moskow dari 12 Maret hingga 16 Maret. 

    Namun, dia tidak mengungkapkan dengan siapa Witkoff akan bertemu.

    Laporan dari Bloomberg menyatakan bahwa Witkoff diperkirakan akan bertemu langsung dengan Putin. 

    Sebelumnya pada 11 Maret di Jeddah, Amerika Serikat mengusulkan rencana gencatan senjata Rusia-Ukraina selama 30 hari.

    Ukraina menyetujui usulan tersebut, yang membuat AS untuk melanjutkan pembagian informasi intelijen dan bantuan keamanan.

    Setelah itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengonfirmasi bahwa usulan gencatan senjata akan secara resmi disampaikan kepada Rusia. 

    Namun, Putin berulang kali menyatakan bahwa Rusia tidak menginginkan gencatan senjata sementara.

    Ia beralasan bahwa negara-negara NATO dapat menggunakan jeda tersebut untuk mempersenjatai kembali Ukraina.

    Meski Rusia belum secara resmi merespons usulan gencatan senjata 30 hari tersebut, dua sumber yang mengetahui masalah tersebut, mengatakan bahwa Kremlin telah memberikan daftar tuntutannya.

    Dilansir Reuters dan Sky News, para pejabat dari kedua belah pihak telah membahas persyaratan tersebut selama tiga minggu terakhir, ujar sumber tersebut.

    Tuntutan dari Rusia meliputi:

    1. Tidak ada keanggotaan NATO untuk Ukraina

    2. Perjanjian untuk tidak mengerahkan pasukan asing di Ukraina

    3. Pengakuan internasional atas klaim Vladimir Putin atas Krimea dan empat provinsi Ukraina (Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson) 

    Namun komitmen Putin terhadap kemungkinan perjanjian gencatan senjata masih belum pasti, dengan rincian yang belum diselesaikan.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Kim Jong Un Ngamuk, Korut Rilis Warning Perang Nuklir Pertama di Dunia

    Kim Jong Un Ngamuk, Korut Rilis Warning Perang Nuklir Pertama di Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketegangan di Semenanjung Korea kembali memuncak setelah Korea Utara mengeluarkan peringatan keras terkait potensi pecahnya “perang nuklir pertama di dunia” menyusul insiden pengeboman yang tidak disengaja oleh jet tempur Korea Selatan di sebuah desa perbatasan pekan lalu.

    Adapun hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan telah berada dalam kondisi yang semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, terus melakukan uji coba rudal balistik, sementara perjanjian militer antar-Korea yang ditandatangani pada 2018 telah runtuh tahun lalu.

    Selain itu, Pyongyang juga mengirimkan pasukan untuk mendukung Rusia dalam perang di Ukraina.

    Korea Utara berulang kali menyatakan bahwa latihan militer bersama antara Korea Selatan dan Amerika Serikat merupakan ancaman bagi kedaulatannya. Latihan militer tahunan yang sedang berlangsung, Freedom Edge, dianggap sebagai alasan bagi Pyongyang untuk terus memperluas program senjata nuklir dan rudal balistiknya yang telah dikenai sanksi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Insiden Pengeboman di Desa Perbatasan

    Insiden yang memicu ketegangan lebih lanjut terjadi pada Kamis lalu ketika dua jet tempur KF-16 milik Korea Selatan secara tidak sengaja menjatuhkan delapan bom sekitar lima mil sebelum mencapai target yang ditentukan.

    Akibat kesalahan tersebut, sebuah desa di perbatasan Korea Selatan terkena dampaknya, menyebabkan 31 orang luka-luka dan merusak lebih dari 150 rumah.

    Pejabat militer Korea Selatan menyalahkan kesalahan manusia dalam insiden ini. Salah satu pilot diketahui memasukkan koordinat serangan yang salah sebelum lepas landas, sementara alasan pilot kedua yang menjatuhkan muatannya terlalu dini masih dalam penyelidikan.

    Kejadian ini terjadi sekitar 15 mil di selatan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua Korea.

    Media resmi Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA), menanggapi insiden tersebut dengan tajam. Dalam pernyataan resminya, mereka menyoroti betapa dekatnya kejadian ini dengan pemicu konflik berskala besar.

    “Tidak perlu dijelaskan bagaimana situasi akan berkembang jika sebuah bom jatuh sedikit lebih jauh ke utara hingga melintasi perbatasan Republik Demokratik Rakyat Korea,” bunyi pernyataan KCNA, sebagaimana dilansir Newsweek, Kamis (13/3/2025).

    “Bukan hal yang berlebihan untuk membayangkan bahwa percikan yang tidak disengaja dapat menjadikan Semenanjung Korea, kawasan sekitarnya, dan seluruh dunia terjerumus ke dalam konflik bersenjata baru.”

    KCNA juga menghubungkan ledakan tersebut dengan latihan militer Freedom Edge yang tengah berlangsung, menuduh bahwa latihan tersebut “berbahaya” dan berpotensi “menyeret kawasan ini ke dalam perang nuklir pertama di dunia.”

    Respons Korsel

    Menanggapi insiden ini, Kepala Staf Gabungan Korea Selatan dalam pernyataan tertanggal 6 Maret menegaskan bahwa mereka dan Amerika Serikat telah mengidentifikasi berbagai ancaman realistis dari Korea Utara.

    “Republik Korea [Korea Selatan] dan Amerika Serikat telah mengidentifikasi ancaman nyata seperti strategi dan taktik militer Korea Utara, serta perubahan kekuatan yang berasal dari kerja sama militer Rusia-Korea Utara dan analisis berbagai konflik bersenjata. Semua ini akan tercermin dalam skenario [Freedom Shield] guna meningkatkan postur pertahanan gabungan dan kemampuan respons aliansi ROK-AS,” kata pernyataan tersebut.

    Pihak berwenang Korea Selatan juga telah meminta maaf atas insiden pemboman yang tidak disengaja ini dan berjanji akan memberikan kompensasi kepada warga yang terdampak.

    Sementara itu, latihan militer Freedom Edge 25 akan terus berlangsung hingga 20 Maret sesuai jadwal, meskipun latihan tembak langsung telah ditangguhkan untuk sementara waktu guna mengevaluasi kembali prosedur keselamatan.

    (luc/luc)

  • Latihan Militer Besar-besaran, Kapal Perang Rusia dan China Memasuki Perairan Iran – Halaman all

    Latihan Militer Besar-besaran, Kapal Perang Rusia dan China Memasuki Perairan Iran – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Armada kapal militer Rusia dan China telah tiba di perairan teritorial Iran di bagian utara Samudra Hindia, Senin (10/3/2025), PressTV melaporkan.

    Kapal-kapal itu akan berpartisipasi dalam latihan angkatan laut gabungan berskala besar.

    Diberi nama Security Belt-2025 atau Sabuk Keamanan-2025, latihan ini akan menampilkan berbagai divisi dari tiga kekuatan besar.

    Korvet Rusia Rezkiy dan Geroy Rossiyskoy Federatsii Aldar Tsydenzhapov serta kapal tanker minyak Armada Pasifik Pechenga, bersama kapal perusak Baotou dan kapal pengisian ulang Gaoyouhu China, telah berlabuh di Pelabuhan Chabahar di tenggara Iran.

    Kapal-kapal itu disambut oleh komandan dan pejabat Angkatan Laut Republik Islam Iran dan Angkatan Laut Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) pada saat kedatangan.

    Perwakilan dari beberapa negara lain, seperti Azerbaijan, Irak, Kazakhstan, Oman, Pakistan, Qatar, Afrika Selatan, Sri Lanka, dan Uni Emirat Arab, juga mendarat di satu-satunya kota pelabuhan laut Iran itu.

    Negara-negara itu akan mengambil bagian dalam latihan militer sebagai pengamat.

    Panggung utama latihan militer angkatan laut Sabuk Keamanan-2025 akan dimulai pada Selasa (11/3/2025).

    Fregat Jamaran dan Alvand, korvet Bayandor, kapal serang cepat Neyzeh, selain kapal-kapal tambahan Ganaveh, Nayband, dan Bahregan milik Angkatan Laut Iran akan ikut serta dalam latihan tersebut.

    Korvet rudal Shahid Sayyad Shirazi milik Angkatan Laut IRGC, kapal serang cepat Shahid Rouhi, dan kapal pasokan lepas pantai Shahid Mahmoudi juga akan hadir.

    Sabuk Keamanan-2025 akan menjadi latihan angkatan laut gabungan China-Iran-Rusia kelima sejak 2019.

    Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan militer dan memperkuat kerja sama praktis.

    Selama latihan, akan ada simulasi serangan terhadap target maritim, operasi kunjungan-pencarian-penyitaan kapal, dan latihan pencarian dan penyelamatan, ungkap Kementerian Pertahanan China dalam sebuah pernyataan.

    Angkatan laut Iran dan mitra-mitra dari China dan Rusia telah mengadakan beberapa latihan militer dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas perdagangan maritim internasional.

    Ketiganya juga terlibat dalam upaya bersama yang bertujuan untuk melawan pembajakan dan terorisme maritim, bertukar informasi dalam operasi penyelamatan dan bantuan angkatan laut serta berbagi pengalaman operasional dan taktis.

    Para ahli telah lama menganggap latihan tersebut sebagai cerminan dari kemitraan yang semakin kuat di antara ketiga kekuatan tersebut.

    Ketiga negara dianggap tengah berusaha untuk mengimbangi dominasi AS dan menantang tatanan global yang dipimpin Barat.

    Tanggapan AS

    Mengutip CNN, saat ditanya mengenai latihan militer gabungan tersebut, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa dirinya tidak merasa khawatir.

    “Kami lebih kuat dari mereka semua. Kekuatan kami jauh lebih besar dibanding mereka,” ujar Trump kepada Fox News saat berada di Air Force One, Minggu (9/3/2025).

    Sementara itu, kekhawatiran di Washington semakin meningkat seiring terbentuknya kemitraan strategis antara China, Rusia, Iran, dan Korea Utara.

    Para anggota parlemen AS menyebut aliansi ini sebagai “poros otoriterisme,” “poros otokrat,” dan “poros diktator.”

    Mereka khawatir bahwa permusuhan bersama terhadap AS akan semakin mendorong keempat negara ini untuk bekerja sama, memperbesar ancaman terhadap Washington dan sekutunya.

    Tak hanya di satu kawasan, ancaman tersebut bisa meluas ke berbagai bagian dunia secara bersamaan.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Ancaman ‘Perang Tak Disengaja’ dari Korut

    Ancaman ‘Perang Tak Disengaja’ dari Korut

    Pyongyang

    Latihan militer gabungan yang digelar Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) menarik perhatian Korea Utara (Korut). Korut mengutuk aksi ini dan memperingatkan soal ‘perang tak disengaja’.

    Peringatan ini disampaikan beberapa hari setelah jet tempur Angkatan Udara Korsel secara tidak sengaja menjatuhkan bom di area sipil hingga memicu puluhan korban luka dan menyebabkan kerusakan para rumah warga.

    “Ini adalah aksi provokatif berbahaya yang memicu situasi akut di Semenanjung Korea, yang dapat memicu konflik fisik antara kedua belah pihak melalui satu tembakan tidak disengaja,” kata Kementerian Luar Negeri Korut seperti dikutip media pemerintah Pyongyang dan dilansir AFP, Senin (10/3/2025).

    Latihan militer gabungan AS-Korsel yang diberi nama “Freedom Shield 2025” dimulai sejak Senin (10/3) waktu setempat. Latihan gabungan ini melibatkan “pelatihan langsung, virtual, dan berbasis lapangan”.

    Latihan militer gabungan ini akan berlangsung hingga 21 Maret mendatang.

    Bagaimana tanggapan Korut? Baca halaman selanjutnya.

    Pernyataan Keras Korut

    Foto: Rudal mengudara saat Korut menggelar uji coba peluncuran rudal jelajah strategis (KCNA via REUTERS Purchase Licensing Rights)

    Kementerian Luar Negeri Korut dalam pernyataannya menyebut latihan gabungan itu sebagai “latihan perang yang agresif dan konfrontatif”.

    Kerja sama militer antara Seoul dan Washington kerap mengundang kecaman dari Pyongyang, di mana pemerintah Korut menganggapnya sebagai persiapan untuk invasi terhadap wilayah mereka dan sering melakukan uji coba rudal sebagai respons.

    Latihan gabungan terbaru ini digelar beberapa hari setelah dua jet tempur Angkatan Udara Korsel secara tidak sengaja menjatuhkan delapan bom di sebuah desa setempat selama latihan gabungan secara terpisah dengan AS pada 6 Maret lalu.

    Badan Pemadam Kebakaran Nasional Korsel dalam laporannya menyebut 15 orang, termasuk warga sipil dan personel militer, mengalami luka-luka.

    Hubungan antara Pyongyang dan Seoul berada di titik terendah dalam beberapa tahun terakhir, dengan Korut meluncurkan serangkaian rudal balistik tahun lalu yang melanggar sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kedua Korea secara teknis masih berperang sejak konflik mereka tahun 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai. AS menempatkan puluhan ribu tentaranya di wilayah Korsel, sebagian untuk melindungi Seoul dari Pyongyang.

    Korut Kirim Rudal

    Foto: Kapal induk AS USS Theodore Roosevelt berlabuh di Busan, Korsel (Song Kyung-Seok/Pool via REUTERS Purchase Licensing Rights)

    Usai aksi ‘provokatif’ tersebut, Korut meluncurkan sejumlah rudal balistik pada Senin (10/3) waktu setempat.

    Militer Korsel, seperti dilansir Reuters dan AFP, Senin (10/3/2025), mendeteksi rudal-rudal ditembakkan dari wilayah barat Korut menuju ke arah Laut Kuning.

    “Militer kami mendeteksi sekitar pukul 13.50 waktu setempat, beberapa rudal balistik tidak teridentifikasi yang ditembakkan dari Provinsi Hwanghae ke area Laut Barat,” sebut Kepala Staf Gabungan Militer Korsel (JCS) dalam laporannya, merujuk pada perairan yang juga disebut sebagai Laut Kuning.

    “Militer kami akan meningkatkan pengawasan dan mempertahankan postur kesiapan penuh di bawah kerja sama yang erat dengan Amerika Serikat,” imbuh JCS.

    Peluncuran rudal ini menjadi uji coba rudal balistik pertama yang dilaporkan sejak Presiden AS Donald Trump menjabat pada pertengahan Januari lalu.

    Halaman 2 dari 3

    (rdp/rdp)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Panas, Korut Luncurkan Rudal di Tengah Latihan Militer AS-Korsel

    Panas, Korut Luncurkan Rudal di Tengah Latihan Militer AS-Korsel

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) meluncurkan sejumlah rudal balistik pada Senin (10/3) waktu setempat. Peluncuran terbaru ini dilakukan Pyongyang beberapa jam setelah mengecam latihan militer gabungan yang digelar Korea Selatan (Korsel) dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).

    Korut sebelumnya mengecam latihan gabungan itu sebagai “aksi provokatif berbahaya” yang berisiko memicu perang secara tidak sengaja.

    Militer Korsel, seperti dilansir Reuters dan AFP, Senin (10/3/2025), mendeteksi rudal-rudal ditembakkan dari wilayah barat Korut menuju ke arah Laut Kuning.

    “Militer kami mendeteksi sekitar pukul 13.50 waktu setempat, beberapa rudal balistik tidak teridentifikasi yang ditembakkan dari Provinsi Hwanghae ke area Laut Barat,” sebut Kepala Staf Gabungan Militer Korsel (JCS) dalam laporannya, merujuk pada perairan yang juga disebut sebagai Laut Kuning.

    “Militer kami akan meningkatkan pengawasan dan mempertahankan postur kesiapan penuh di bawah kerja sama yang erat dengan Amerika Serikat,” imbuh JCS.

    Peluncuran rudal ini menjadi uji coba rudal balistik pertama yang dilaporkan sejak Presiden AS Donald Trump menjabat pada pertengahan Januari lalu.

    Aktivitas Korut meluncurkan rudal ini bersamaan dengan digelarnya “Freedom Shield 2025”, atau latihan militer gabungan AS-Korsel yang dimulai sejak Senin (10/3) waktu setempat. Latihan gabungan yang melibatkan “pelatihan langsung, virtual, dan berbasis lapangan” ini akan berlangsung hingga 21 Maret mendatang.

    Lihat juga Video ‘Kim Jong Un Pantau Uji Coba Peluncuran Rudal Jelajah Strategis’:

    Beberapa jam sebelum melakukan peluncuran rudal, Kementerian Luar Negeri Korut mengecam latihan gabungan itu sebagai “aksi provokatif” dan memperingatkan bahaya memicu perang dengan “satu tembakan tidak disengaja”.

    Peringatan ini disampaikan beberapa hari setelah jet tempur Angkatan Udara Korsel secara tidak sengaja menjatuhkan bom di area sipil hingga memicu puluhan korban luka dan menyebabkan kerusakan para rumah warga.

    “Ini adalah aksi provokatif berbahaya yang memicu situ akut di Semenanjung Korea, yang dapat memicu konflik fisik antara kedua belah pihak melalui satu tembakan tidak disengaja,” kata Kementerian Luar Negeri Korut seperti dikutip media pemerintah Pyongyang.

    Kementerian Luar Negeri Korut dalam pernyataannya juga menyebut latihan gabungan itu sebagai “latihan perang yang agresif dan konfrontatif”.

    Lihat juga Video ‘Kim Jong Un Pantau Uji Coba Peluncuran Rudal Jelajah Strategis’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jalan Hidup Presiden Korsel: Dimakzulkan, Dipenjara, Kini Bebas

    Jalan Hidup Presiden Korsel: Dimakzulkan, Dipenjara, Kini Bebas

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol telah menjadi sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini terjadi setelah ia secara sepihak menerapkan darurat militer di negara itu pada 3 Desember lalu.

    Tindakan ini pun membawanya dalam sebuah pemakzulan oleh parlemen. Setelah dimakzulkan, ia ditahan oleh otoritas Negeri Ginseng. Nasibnya mulai membaik setelah pada Jumat (7/3/2025) lalu setelah pengadilan membatalkan surat perintah penangkapannya.

    Berikut sederet perjalanan hidup Yoon, dari bawah hingga berkuasa, dan dari keterpurukan hingga bebas.

    Dari Nol hingga Berkuasa

    Yoon adalah pendatang baru dalam dunia politik saat ia memenangkan kursi kepresidenan. Ia menjadi terkenal secara nasional setelah mengajukan tuntutan kasus korupsi terhadap mantan Presiden Park Geun Hye yang dipermalukan pada tahun 2016.

    Pada tahun 2022, politikus kelahiran 1960 ini mengalahkan lawannya dari partai liberal Lee Jae Myung dengan selisih kurang dari 1% suara. Saat itu, Yoon dianggap sebagai tokoh yang dapat membawa perubahan besar bagi Korsel.

    “Mereka yang memilih Yoon percaya bahwa pemerintahan baru di bawah Yoon akan mengejar nilai-nilai seperti prinsip, transparansi, dan efisiensi,” kata Don S Lee, profesor madya administrasi publik di Universitas Sungkyunkwan.

    Selama memimpin, Yoon telah memperjuangkan sikap agresif terhadap Korea Utara (Korut). Ia bahkan meningkatkan kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat menuju level ‘basis nuklir’ sebagai upaya untuk menahan ambisi Pyongyang.

    Skandal dan kesalahan

    Yoon dikenal karena kesalahan-kesalahannya, yang tidak membantu peringkatnya. Selama kampanye 2022, ia harus menarik kembali komentarnya bahwa presiden otoriter Chun Doo Hwan, yang mengumumkan darurat militer dan bertanggung jawab atas pembantaian para pengunjuk rasa pada tahun 1980, telah ‘pandai berpolitik’.

    Kemudian pada tahun itu, ia kedapatan sedang berbicara menggunakan mikrofon sambil mengumpatkan kata ‘idiot’ di depan anggota parlemen AS. Rekaman itu dengan cepat menjadi viral di Korsel.

    Selain kesalahan, Yoon juga dilanda skandal. Sebagian besar skandal berpusat di sekitar istrinya, Kim Keon Hee, yang dituduh melakukan korupsi dan penyalahgunaan pengaruh, terutama dugaan menerima tas Dior dari seorang pendeta.

    Pada bulan November, Yoon meminta maaf atas nama istrinya sambil menolak seruan untuk melakukan penyelidikan atas aktivitasnya. Namun, ia menolak penyelidikan yang lebih luas, yang menjadi permintaan partai-partai oposisi.

    Meski begitu, popularitasnya sebagai presiden masih belum stabil. Pada awal November, peringkat persetujuannya anjlok hingga 17%, rekor terendah sejak ia menjabat.

    Terpojok di Depan Oposisi

    Pada bulan April, Partai Demokrat yang beroposisi memenangkan pemilihan parlemen dengan telak, sehingga menimbulkan kekalahan telak bagi Yoon dan Partai Kekuatan Rakyatnya.

    Dalam laporan BBC News, setelah kemenangan Partai Demokrat, pemerintahannya sejak saat itu tidak dapat meloloskan RUU yang mereka inginkan. Mereka malah dipaksa untuk memveto RUU yang disahkan oleh oposisi liberal.

    Ada satu momen di mana Partai Demokrat yang beroposisi memangkas 4,1 triliun won (Rp 46 triliun) dari anggaran yang diusulkan pemerintah Yoon sebesar 677,4 triliun won (Rp 7.600 triliun). Sayangnya, hal ini tidak dapat diveto oleh presiden.

    “Yoon diturunkan jabatannya menjadi presiden yang tidak berdaya dan terpaksa memveto rancangan undang-undang yang disahkan oposisi, sebuah taktik yang ia gunakan dengan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.” kata Celeste Arrington, direktur Institut Studi Korea Universitas George Washington.

    Pada saat yang sama, pihak oposisi juga bergerak untuk memakzulkan anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi, termasuk kepala badan audit pemerintah, karena gagal menyelidiki Ibu Negara.

    Darurat militer

    Dalam pidatonya saat mencetuskan darurat militer, Yoon menceritakan upaya oposisi politik untuk melemahkan pemerintahannya. Ia kemudian mengumumkan darurat militer untuk ‘menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah menimbulkan kekacauan’.

    Walau begitu, Parlemen Korsel, Majelis Nasional tetap mengambil posisi untuk menentang situasi darurat tersebut. Setelah 7 jam darurat militer berlangsung, Majelis Nasional, yang dihadiri 190 dari 300 anggotanya, menolak tindakan tersebut dan dengan demikian, deklarasi darurat militer Presiden Yoon dinyatakan tidak sah.

    Direktur Institut Studi Korea Universitas George Washington, Celeste Arrington, mengatakan bahwa Yoon memang telah mengalami pelemahan dalam pemerintahannya, dengan posisi oposisi yang lebih kuat

    “Yoon diturunkan jabatannya menjadi presiden yang tidak berdaya dan terpaksa memveto rancangan undang-undang yang disahkan oposisi, sebuah taktik yang ia gunakan dengan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.” kata Arrington.

    Pada saat yang sama, pihak oposisi juga bergerak untuk memakzulkan anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi, termasuk kepala badan audit pemerintah, karena gagal menyelidiki Ibu Negara.

    Pemakzulan

    Yoon secara resmi dimakzulkan pada 14 Februari oleh Majelis Nasional. Dalam pantauan, tercatat semua anggota Majelis Nasional yang 300 orang ikut dalam pemungutan suara itu. Tercatat, ada 204 suara yang meminta Yoon diturunkan, sehingga presiden itu harus lengser dari jabatannya.

    Dengan ini, Yoon akan diskors sambil menunggu putusan dari hakim Mahkamah Konstitusi. Jika para hakim menyetujuinya, Yoon akan dimakzulkan dan pemilihan baru harus diadakan dalam waktu 60 hari.

    Penangkapan

    Pada tanggal 15 Januari, Yoon menjadi presiden pertama yang s yang ditangkap atas tuduhan pidana setelah memaksakan darurat militer secara sepihak pada 3 Desember lalu. Penangkapannya dilakukan Kantor Investigasi Korupsi Korsel (CIO), meski mendapatkan penghadangan dari pasukan pengawal presiden (PSS) dan militer mencegah lembaga tersebut menangkap figur 64 tahun itu.

    Batal Dipenjara

    Pada Jumat, 7 Maret lalu, Pengadilan Korea Selatan (Korsel) membatalkan surat perintah penangkapan Yoon. Hal ini kemudian membuka jalan bagi pembebasannya dari penjara pasca penangkapannya Januari lalu atas tuduhan pemberontakan atas penerapan darurat militer sementara.

    Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa putusannya didasarkan pada waktu dakwaan yang dikeluarkan setelah masa penahanan awal berakhir. Mereka juga mencatat ‘pertanyaan tentang legalitas’ proses investigasi yang melibatkan dua lembaga terpisah.

    Tim pembela juga berpendapat bahwa surat perintah yang dikeluarkan pada tanggal 19 Januari yang memperpanjang penahanan Yoon tidak sah karena permintaan yang diajukan oleh jaksa penuntut cacat secara prosedural.

    “Keputusan pengadilan untuk membatalkan penangkapan menunjukkan supremasi hukum negara ini masih berlaku,” kata pengacara Yoon dalam sebuah pernyataan.

    Meski begitu, Pengacara Yoon juga mengatakan bahwa ia mungkin tidak akan segera dibebaskan karena jaksa penuntut dapat mengajukan banding. Kantor kejaksaan tidak segera mengomentari putusan tersebut.

    (fab/fab)

  • Berkaca dari Trump-Zelensky, Menlu Iran Sebut Negaranya Pilih Jalur Berbeda dalam Hal Keamanan – Halaman all

    Berkaca dari Trump-Zelensky, Menlu Iran Sebut Negaranya Pilih Jalur Berbeda dalam Hal Keamanan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyoroti bahwa ketegangan yang muncul dari pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dapat memberikan pelajaran penting bagi negara-negara yang bergantung pada kekuatan besar, termasuk Amerika Serikat.

    Dalam opini yang diterbitkan pada 5 Maret 2025 di surat kabar Ettelaat, Araghchi menggambarkan ketegangan yang terjadi di Gedung Putih sebagai refleksi dari keretakan dalam tatanan global.

    Ia menekankan bahwa perselisihan antara Trump dan Zelensky menunjukkan risiko yang dihadapi oleh negara-negara yang mengandalkan AS untuk keamanan mereka.

    Araghchi mencatat, “Ini bukan sekadar konflik biasa; ini mencerminkan keretakan mendalam dalam tatanan dunia.”

    Pendapatnya ini menggambarkan bahwa bahkan sekutu-sekutu lama AS mulai mempertanyakan kepemimpinan Washington, dan negara-negara Eropa kini lebih berhati-hati terhadap situasi perang di Ukraina.

    Menurut Araghchi, Iran telah memilih jalur yang berbeda, yaitu kemandirian dan kemerdekaan strategis.

    Ia menjelaskan, “Tidak seperti banyak negara yang bergantung pada kekuatan asing untuk keamanan, Iran secara sadar memilih untuk mempertahankan kemandiriannya meskipun harus membayar harga atas keputusan tersebut.”

    Ini menegaskan bahwa kemandirian bukanlah hasil dari sanksi, melainkan sebuah keputusan strategis yang disengaja.

    Araghchi juga menyatakan bahwa Iran tidak membeli keamanannya; sebaliknya, negara tersebut membangun keamanannya sendiri.

    Pandangan ini mencerminkan sikap Iran yang telah lama meyakini bahwa aliansi dengan AS tidak dapat diandalkan.

    Hal ini sejalan dengan pendirian Pemimpin Tertinggi Iran yang menolak negosiasi dengan Washington.

    Meskipun Araghchi menekankan pentingnya kemandirian militer, Iran tetap menjalin kerja sama dengan pihak asing, khususnya Rusia.

    Pada Januari 2025, Iran dan Rusia menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi dan militer yang dianggap sebagai langkah penting dalam memperkuat hubungan bilateral.

    Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Iran Masoud Pezeshkian memuji perjanjian tersebut sebagai babak baru dalam kerjasama kedua negara.

    Perjanjian ini bertujuan untuk menciptakan kondisi yang stabil dan berkelanjutan antara Rusia, Iran, dan seluruh kawasan Eurasia.

    Apa Implikasi dari Perjanjian Ini?

    Sejak pecahnya perang di Ukraina pada Februari 2022, Iran semakin dilihat sebagai sekutu strategis oleh Rusia.

    Kedua negara sepakat untuk saling membantu menghadapi ancaman keamanan bersama.

    Meskipun demikian, perjanjian ini tidak mencakup pakta pertahanan seperti yang ditandatangani Rusia dengan Korea Utara.

    Dalam laporan France24, dijelaskan bahwa Iran dan Rusia sepakat untuk meningkatkan kerja sama perdagangan dan ekonomi, terutama dalam menghadapi sanksi Barat terhadap industri energi mereka.

    Mereka juga akan bekerja sama dalam pelatihan militer dan penggunaan fasilitas pelabuhan untuk kapal perang masing-masing negara.

    Sebelumnya, hubungan antara Iran dan Rusia diatur oleh dokumen kerja sama yang ditandatangani pada tahun 2001 dan diperbarui secara berkala.

    Namun, hubungan ini memiliki sejarah yang kompleks, dengan kedua negara pernah berperang pada abad ke-18 dan ke-19 untuk memperebutkan wilayah di Kaukasus.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Iran Ambil Pelajaran dari Cekcok Trump-Zelensky: Kami Tidak Bergantung pada Negara Lain – Halaman all

    Iran Ambil Pelajaran dari Cekcok Trump-Zelensky: Kami Tidak Bergantung pada Negara Lain – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan bahwa pemerintahan AS di bawah Donald Trump telah menciptakan “suasana kacau” setelah pertemuan sengitnya di Ruang Oval dengan pemimpin Ukraina minggu lalu.

    Dalam opini yang diterbitkan pada Rabu (5/3/2025) di surat kabar Ettela’at Iran, Araghchi menilai perselisihan tersebut mengungkapkan keretakan besar dalam tatanan global dan memperjelas bahaya mengandalkan Amerika Serikat dalam urusan keamanan.

    Araghchi mengkritik apa yang ia sebut sebagai “ketegangan verbal” dan “kebijakan impulsif” dalam diplomasi global.

    Ia menyoroti pertikaian di Ruang Oval sebagai momen refleksi bagi negara-negara yang selama ini bergantung pada AS, khususnya dalam konteks hubungan Ukraina dengan Barat.

    “Perselisihan baru-baru ini di Gedung Putih bukan sekadar konflik biasa; hal ini mencerminkan keretakan mendalam dalam tatanan dunia,” tulisnya.

    Araghchi menilai bahwa bahkan sekutu lama AS kini mulai mempertanyakan kepemimpinan Washington, dengan negara-negara Eropa mengambil pendekatan lebih hati-hati terhadap perang di Ukraina.

    Iran Pilih Kemandirian

    Dalam opininya, Araghchi menegaskan bahwa Iran telah memilih jalur berbeda, yaitu kemandirian dan kemerdekaan strategis.

    “Tidak seperti banyak negara yang bergantung pada kekuatan asing untuk keamanan, Iran telah secara sadar memilih untuk mempertahankan kemandiriannya, meskipun harus membayar harga atas keputusan tersebut,” tulisnya.

    Ia menegaskan bahwa pendekatan ini bukanlah akibat dari sanksi, melainkan keputusan strategis yang disengaja.

    “Iran tidak membeli keamanannya; Iran membangunnya,” tambahnya.

    Mengutip Newsweek, pernyataan Araghchi sejalan dengan sikap Iran yang telah lama meyakini bahwa aliansi dengan AS tidak dapat diandalkan.

    Pernyataannya juga mendukung sikap Pemimpin Tertinggi Iran yang menolak negosiasi dengan Washington.

    Garis keras Iran menilai bahwa konfrontasi Trump-Zelensky menjadi bukti ketidakstabilan diplomatik AS.

    Meskipun Araghchi menekankan pentingnya kemandirian militer, Iran tetap menjalin kerja sama dengan pihak asing, khususnya Rusia.

    Hubungan Rusia dan Iran

    Pada Januari 2025, Rusia dan Iran menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi dan militer.

    Kedua negara menganggap perjanjian ini sebagai tonggak penting dalam hubungan bilateral mereka.

    Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menandatangani perjanjian tersebut dalam sebuah upacara di Kremlin.

    Keduanya memuji kesepakatan ini sebagai babak baru dalam hubungan kedua negara.

    “Dokumen terobosan ini bertujuan menciptakan kondisi bagi pembangunan yang stabil dan berkelanjutan antara Rusia, Iran, serta seluruh kawasan Eurasia,” ujar Putin.

    Pezeshkian menambahkan bahwa perjanjian ini akan membuka babak baru dalam kerja sama Iran dan Rusia di berbagai sektor, terutama ekonomi.

    Mengutip laporan France24 pada 17 Januari 2025, sejak pecahnya perang di Ukraina pada Februari 2022, Rusia semakin memandang Iran sebagai sekutu strategis.

    Dalam dokumen yang diterbitkan Kremlin, kedua negara sepakat untuk saling membantu menghadapi ancaman keamanan bersama.

    Namun, perjanjian ini tidak mencakup pakta pertahanan bersama seperti yang ditandatangani Rusia dan Korea Utara tahun lalu.

    Rusia dan Iran sepakat untuk meningkatkan kerja sama perdagangan dan ekonomi di berbagai sektor, terutama dalam menghadapi sanksi Barat terhadap industri energi mereka.

    Selain itu, mereka juga akan bekerja sama dalam pelatihan militer dan penggunaan fasilitas pelabuhan untuk kapal perang masing-masing negara.

    Namun, perjanjian tersebut tidak secara eksplisit mencakup pertukaran senjata, yang merupakan aspek kerja sama yang telah dikenai sanksi oleh Barat.

    Iran diketahui telah memasok Rusia dengan pesawat nirawak “Shahed” yang digunakan dalam serangan ke Ukraina, menurut pejabat Ukraina dan Barat.

    Moskow dan Teheran telah merancang perjanjian baru ini selama bertahun-tahun.

    Sebelumnya, hubungan kedua negara diatur oleh dokumen kerja sama tahun 2001 yang diperbarui secara berkala.

    Meski kini semakin erat, hubungan Rusia dan Iran memiliki sejarah yang kompleks.

    Pada abad ke-18 dan ke-19, kedua negara berperang memperebutkan wilayah di Kaukasus. Selain itu, Uni Soviet dan Inggris pernah menginvasi Persia selama Perang Dunia II.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)