Negara: Korea Utara

  • Ledakan di Kawasan Garis Pemisah Korut-Korsel, 1 Perwira Militer Luka

    Ledakan di Kawasan Garis Pemisah Korut-Korsel, 1 Perwira Militer Luka

    Jakarta

    Ledakan terjadi di sepanjang garis pemisah Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel), melukai seorang perwira militer Korsel yang sedang berpatroli. Kementerian Pertahanan Korsel mengatakan bahwa perwira tersebut saat ini dalam kondisi stabil.

    Ledakan yang belum diketahui penyebabnya itu, terjadi pada Kamis (20/11) pagi di garis depan barat Garis Demarkasi Militer (MDL), kata Kementerian Pertahanan Korsel dalam sebuah pernyataan.

    Perwira yang terluka tersebut “dievakuasi segera dengan helikopter darurat dan dalam kondisi stabil tanpa cedera yang mengancam jiwa”, kata Kementerian tersebut, dilansir kantor berita AFP, Kamis (20/11/2025).

    MDL terletak di dalam Zona Demiliterisasi (DMZ), sebuah wilayah penyangga sepanjang empat kilometer yang membentang 250 kilometer (160 mil) melintasi Semenanjung Korea.

    DMZ dikenal sebagai suaka margasatwa yang tidak disengaja sekaligus lokasi ranjau darat yang tak terhitung jumlahnya.

    Ledakan itu terjadi setelah Seoul minggu ini mengusulkan perundingan militer dengan Korea Utara — tawaran pertama semacam itu dalam beberapa tahun.

    Dalam usulannya, Seoul mengatakan banyak penanda MDL yang dipasang berdasarkan gencatan senjata 1953 telah menghilang seiring waktu. Ini menyebabkan “persepsi yang berbeda tentang batas wilayah di area tertentu oleh kedua belah pihak”.

    Seoul dan Pyongyang secara teknis masih berperang, karena gencatan senjata 1953 yang menghentikan pertempuran, tidak pernah diikuti oleh perjanjian damai.

    Seoul mengatakan ada sekitar 10 serangan oleh pasukan Korea Utara tahun ini.

    Sebelumnya pada tahun 2015, dua tentara Korea Selatan terluka parah oleh ranjau darat yang ditanam Korea Utara saat berpatroli di selatan perbatasan. Salah satu dari tentara tersebut kehilangan kedua kakinya dan yang lainnya diamputasi kakinya.

    Tonton juga video “Detik-Detik Israel Ledakan Gedung di Tayr Filsay Lebanon”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • AS-Korsel Sepakat Bikin Kapal Selam Nuklir, Korut Marah!

    AS-Korsel Sepakat Bikin Kapal Selam Nuklir, Korut Marah!

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) mengecam keras kesepakatan antara negara tetangganya, Korea Selatan (Korsel), dan Amerika Serikat (AS) untuk membuat kapal selam bertenaga nuklir. Pyongyang memperingatkan bahwa kesepakatan tersebut akan menyebabkan efek “domino nuklir”.

    Presiden Korsel Lee Jae Myung pekan lalu mengumumkan finalisasi perjanjian keamanan dan perdagangan dengan AS yang telah ditunggu sejak lama. Perjanjian itu mencakup kerja sama melanjutkan pengembangan kapal selam bertenaga nuklir.

    Otoritas Seoul mengatakan bahwa pihaknya telah mendapatkan “dukungan untuk memperluas kewenangan atas pengayaan uranium dan pemrosesan ulang bahan bakar bekas”.

    Dalam komentar pertama terhadap kesepakatan Korsel-AS tersebut, seperti dilansir AFP, Selasa (18/11/2025), Korut yang bersenjata nuklir mengecam program kapal selam itu sebagai “upaya konfrontasi yang berbahaya”.

    “Perjanjian itu merupakan perkembangan serius yang mengganggu stabilitas keamanan militer di kawasan Asia-Pasifik di luar Semenanjung Korea dan menyebabkan situasi kendali nuklir yang mustahil di ranah global,” demikian komentar otoritas Korut, yang disampaikan lewat kantor berita resmi Korut, Korean Central News Agency (KCNA), pada Selasa (18/11).

    Kepemilikan Korsel atas kapal selam tenaga nuklir, sebut otoritas Pyongyang dalam komentarnya, “pasti akan menyebabkan ‘fenomena domino nuklir’ di kawasan dan memicu perlombaan senjata panas”.

    “DPRK akan mengambil tindakan balasan yang lebih beralasan dan realistis,” tegas otoritas Korut, sembari menyebut kedua negara memiliki “niat konfrontatif”.

    Media pemerintah Korut melaporkan pada Oktober lalu bahwa Pyongyang telah melakukan uji coba mesin balistik ke-9 dan terakhir, yang mengindikasikan peluncuran sepenuhnya untuk rudal balistik antarbenua (ICBM) terbaru dapat dilakukan dalam beberapa bulan ke depan.

    Komentar Korut itu disampaikan sehari setelah Seoul mengusulkan perundingan militer dengan Pyongyang untuk mencegah bentrokan di perbatasan. Ini menjadi usulan pertama dalam tujuh tahun terakhir.

    Presiden Lee juga menawarkan untuk menggelar diskusi yang lebih luas dengan Korut tanpa prasyarat — sebuah pergeseran posisi yang drastis dari sikap keras yang diambil pendahulunya yang konservatif.

    Tidak hanya Korut, kesepakatan kapal selam tenaga nuklir antara AS-Korsel juga menuai kritikan China. Duta Besar China di Seoul, Dai Bing, mengatakan pekan lalu bahwa kemitraan itu “melampaui sekadar kemitraan komersial, dan secara langsung menyentuh rezim non-proliferasi global serta stabilitas Semenanjung Korea dan kawasan yang lebih luas”.

    Tonton juga video “Cekcok Dengan Eks Presiden Rusia, Trump Kirim 2 Kapal Selam Nuklir”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Rusia Tiba-Tiba ‘Serang’ NATO, Bawa-Bawa Bom Yugoslavia

    Rusia Tiba-Tiba ‘Serang’ NATO, Bawa-Bawa Bom Yugoslavia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rusia mengecam keras pernyataan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte yang menuding Moskow bersekongkol dengan China dan negara lain untuk “merusak aturan global”.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyebut Rutte menerapkan standar ganda dan menantang NATO untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “aturan global” itu.

    “Apa sebenarnya ‘aturan global’ yang mereka maksud? Mungkin NATO bisa mengunggah daftar lengkapnya di situs resmi mereka,” sindir Zakharova dalam unggahan di kanal Telegram-nya, dikutip Minggu (16/11/2025).

    Ia menilai tudingan NATO tidak berdasar, mengingat blok militer Barat itu sendiri memiliki catatan panjang pelanggaran hukum internasional. Zakharova mencontohkan pengeboman Yugoslavia oleh NATO pada 1999 serta invasi Irak pada 2003 yang dipimpin Amerika Serikat dengan “dalih yang dibuat-buat”.

    Zakharova juga menyinggung bahwa tak satupun negara anggota NATO menghentikan kerja sama dengan China, meski Rutte mengkritik Rusia karena hal serupa.

    “Beberapa hari lalu, KTT AS-China baru saja digelar. Saya tidak mendengar Rutte mengkritik Presiden AS Donald Trump untuk itu,” ujarnya.

    Sebelumnya, dalam Forum Industri NATO di Bucharest, Rumania, Rutte mengatakan Rusia “tidak sendirian dalam upayanya melemahkan aturan global.” Ia menuding Moskow bekerja sama dengan China, Korea Utara, Iran, dan negara lain, serta memperkuat kolaborasi industri pertahanan untuk menghadapi konfrontasi jangka panjang.

    Pernyataan itu memperpanjang ketegangan antara Moskow dan aliansi Barat. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuding NATO berusaha “memperluas zona tanggung jawabnya jauh melampaui kawasan Euro-Atlantik” untuk membendung Tiongkok dan mengisolasi Rusia.

    Sementara itu, Beijing berulang kali membantah tuduhan Barat yang menyebutnya membantu militer Rusia dalam konflik Ukraina.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Korea Nyaris Chaos Karena Orang Ini, Rela Perang Demi Tetap Berkuasa

    Korea Nyaris Chaos Karena Orang Ini, Rela Perang Demi Tetap Berkuasa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol, diduga terlibat dalam rencana rahasia untuk memprovokasi Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un melalui penerbangan drone ke jantung Pyongyang.

    Jaksa Korsel merilis detail plot tersebut, yang diklaim mendahului upaya Yoon mendeklarasikan undang-undang darurat militer yang gagal pada Desember tahun lalu.

    Jaksa merilis bukti tersebut pada Senin (10/11/2025), yang tampaknya mengonfirmasi klaim Korut bahwa Korsel mengirim drone terselubung untuk menjatuhkan selebaran anti-rezim pada Oktober tahun lalu. Penerbangan tersebut memicu pernyataan keras dari adik Kim Jong Un, Kim Yo Jong, yang mengancam akan memutuskan semua koneksi ke Selatan.

    Di antara catatan yang ditemukan, terdapat referensi untuk menciptakan situasi yang tidak stabil. Hal ini untuk melanggengkan darurat militer

    “Harus mencari dan memanfaatkan peluang sekali seumur hidup yang dapat menghasilkan efek jangka pendek. Untuk melakukan itu, kita harus menciptakan situasi yang tidak stabil atau memanfaatkan peluang yang telah tercipta,” tulis memo itu.

    Memo lain bahkan secara spesifik menargetkan lokasi sensitif Korut Lokasi yang didaftar termasuk ibu kota, dua fasilitas nuklir, rumah liburan Kim, serta situs suci Samjiyon dan kawasan wisata Wonsan.

    “Menargetkan di mana (Korea Utara) kehilangan muka sedemikian rupa sehingga mereka merasa tidak punya pilihan selain merespons.”

    Rencana tersebut tampak bertujuan untuk menciptakan kondisi perang. Hal ini diketahui dari memo lain tertanggal 5 November.

    “Tindakan musuh harus datang lebih dulu. Harus ada situasi perang atau situasi yang tidak dapat dikendalikan oleh pasukan polisi. Ciptakan kondisi musuh… kita harus menunggu kesempatan yang menentukan,” tambahnya.

    Kim Byung-joo, pensiunan jenderal Tentara Korea dan anggota parlemen, mengatakan kepada CNN bahwa drone tersebut terbang setidaknya pada tiga kesempatan dan bertujuan untuk memprovokasi respons militer dari Utara.

    “Itu seperti menodongkan pisau ke leher (Korea Utara),” ujarnya.

    Para analis mengatakan pengiriman drone ke Korut dapat ditafsirkan sebagai tindakan perang yang dapat memicu konflik. Victor Cha, Ketua Korea di Center for Strategic and International Studies, mencatat bahwa penerbangan drone ke Korut merupakan pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata yang membagi Semenanjung Korea sejak tahun 1953.

    Meskipun darurat militer yang dideklarasikan Yoon pada Desember lalu dicabut dalam hitungan jam setelah parlemen membatalkannya, tindakannya memicu protes massa, tantangan hukum, dan akhirnya pemakzulan.

    (luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Eks PM Korsel Ditahan Buntut Unggah Seruan Pemberontakan di Facebook

    Eks PM Korsel Ditahan Buntut Unggah Seruan Pemberontakan di Facebook

    Jakarta

    Mantan Perdana Menteri Korea Selatan (Korsel), Hwang Kyo-ahn, ditahan oleh pengadilan Korsel. Penahanan terhadap Hwang dilakukan atas tuduhan melakukan penghasutan pemberontakan kepada masyarakat.

    Dilansir Yonhap News Agency, Rabu (12/11/2025), dugaan penghasutan yang dilakukan Hwang berkaitan dengan penerapan darurat militer yang dilakukan mantan Presiden Korsel, Yoon Suk Yeol, akhir tahun lalu. Hwang ditangkap hari ini waktu setempat.

    Hwang diketahui mengunggah unggahan di Facebook pada 3 Desember tahun lalu yang berisi seruan pemberontakan. Setelah darurat militer diterapkan, Hwang menyerukan pemberantasan pasukan pro Korea Utara dan mereka yang terlibat dalam kecurangan pemilu.

    Hwang juga menyerukan penangkapan Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik dan pemimpin Partai Kekuatan Rakyat saat itu, Han Dong-hoon.

    Penyidik dari tim penasihat khusus Cho Eun-suk mengeksekusi surat perintah penahanan untuk Hwang di rumahnya di Distrik Yongsan, Seoul. Langkah itu diambil usai Hwang mengabaikan tiga panggilan pemeriksaan.

    Tim Cho ditugaskan untuk menyelidiki berbagai tuduhan terkait upaya penerapan darurat militer yang dilakukan Yoon. Cakupan investigasinya mencakup tuduhan menyarankan penerapan darurat militer, menyiapkan fasilitas penahanan, merencanakan atau membunuh dengan tujuan melancarkan pemberontakan, dan menghasut pemberontakan.

    Tim tersebut meluncurkan investigasi terhadap Hwang menyusul pengaduan terkait dari sebuah media daring dan beberapa kali mencoba mengeksekusi surat perintah penggeledahan rumahnya. Namun, setiap upaya gagal karena Hwang menutup pintu rumahnya.

    Eks Bos Intelijen Korsel Juga Ditangkap

    Mantan kepala intelijen Korsel, Cho Tae Yong, juga ditangkap hari ini terkait penetapan darurat militer tahun lalu. Cho yang masih menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional Korsel (NIS) ketika Yoon mengumumkan darurat militer pada Desember 2024, didakwa atas kelalaian dalam tugas.

    Penangkapan itu, seperti dilansir AFP, Rabu (12/11), dilakukan menyusul langkah jaksa khusus Korsel mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Cho atas tuduhan mengabaikan tugas sebagai kepala badan intelijen dan menimbulkan risiko penghancuran barang bukti, di antara beberapa tuduhan lainnya.

    Pengadilan distrik pusat Seoul meninjau keabsahan pengajuan surat perintah penangkapan itu pada Selasa (11/11) dan telah mengabulkannya.

    “Hasil peninjauan tersebut adalah… dikeluarkannya surat perintah tersebut dengan alasan risiko penghancuran barang bukti,” demikian pernyataan pengadilan distrik pusat Seoul saat mengumumkan pengabulan permohonan jaksa tersebut.

    “Dakwaan utamanya adalah kelalaian dalam tugas,” imbuh pernyataan tersebut.

    Jaksa khusus Korsel mengatakan Cho tidak melaporkan langkah Yoon mengumumkan darurat militer pada saat itu ke parlemen, meskipun dia “memahami ilegalitasnya”. Cho juga dituduh telah memberikan pernyataan palsu.

    “Kemungkinan keterlibatannya dalam pemberontakan telah meningkat,” kata jaksa Korsel, Park Ji Young, kepada wartawan pekan lalu.

    Lihat juga Video: Eks Presiden Korsel Yoon Suk Hadiri Sidang Perdana, Tampak Kurusan

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/maa)

  • Buntut Darurat Militer Berdampak hingga Eks Bos Intelijen Korsel

    Buntut Darurat Militer Berdampak hingga Eks Bos Intelijen Korsel

    Jakarta

    Kebijakan darurat militer di Korea Selatan (Korsel) tahun lalu masih berbuntut panjang. Usai eks Presiden Yoon Suk Yeol dimakzulkan, kini mantan Kepala Intelijen Korsel Cho Tae Yong ditangkap.

    Cho ditangkap pada Rabu (12/11/2025) waktu setempat, seperti dilansir AFP. Cho yang menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional Korsel (NIS) ketika Yoon mengumumkan darurat militer pada Desember 2024, didakwa atas kelalaian dalam tugas.

    Penangkapan dilakukan menyusul langkah jaksa khusus Korsel mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Cho atas tuduhan mengabaikan tugas sebagai kepala badan intelijen dan menimbulkan risiko penghancuran barang bukti, di antara beberapa tuduhan lainnya.

    Pengadilan distrik pusat Seoul meninjau keabsahan pengajuan surat perintah penangkapan itu pada Selasa (11/11) dan telah mengabulkannya.

    “Hasil peninjauan tersebut adalah… dikeluarkannya surat perintah tersebut dengan alasan risiko penghancuran barang bukti,” demikian pernyataan pengadilan distrik pusat Seoul saat mengumumkan pengabulan permohonan jaksa tersebut.

    “Dakwaan utamanya adalah kelalaian dalam tugas,” imbuh pernyataan tersebut.

    Jaksa khusus Korsel mengatakan Cho tidak melaporkan langkah Yoon mengumumkan darurat militer pada saat itu ke parlemen, meskipun dia “memahami ilegalitasnya”. Cho juga dituduh telah memberikan pernyataan palsu.

    “Kemungkinan keterlibatannya dalam pemberontakan telah meningkat,” kata jaksa Korsel, Park Ji Young, kepada wartawan pekan lalu.

    Penangkapan Cho ini dilakukan setelah jaksa Korsel menambahkan satu lagi dakwaan terhadap Yoon, yakni membantu musuh. Yoon dituduh memerintahkan pengerahan drone ke wilayah udara Pyongyang, ibu kota Korea Utara (Korut), untuk memperkuat rencana darurat militernya.

    Tahun lalu, Korut mengatakan pihaknya telah “membuktikan” bahwa Korsel mengerahkan drone untuk menyebarkan selebaran propaganda di atas wilayah Pyongyang — tindakan itu tidak pernah dikonfirmasi oleh militer Seoul.

    Jaksa Park, pada Senin (10/11), mengatakan bahwa timnya telah “menjeratkan dakwaan menguntungkan musuh secara umum dan penyalahgunaan kekuasaan” terhadap Yoon.

    Yoon sendiri sedang menghadapi persidangan atas dakwaan pemberontakan dan beberapa dakwaan lainnya terkait penetapan darurat militer yang menjerumuskan Korsel ke dalam kekacauan politik.

    Eks Presiden Korsel Dimakzulkan

    Yoon dimakzulkan oleh Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi pada pertengahan Desember 2024 atas tuduhan melanggar Konstitusi dan hukum dengan mengumumkan darurat militer pada 3 Desember.

    Mahkamah Konstitusi Korea Selatan kemudian menguatkan pemakzulan Yoon Suk Yeol dari Presiden. Putusan ini resmi membuat Yoon dicopot dari jabatan atas pemberlakuan darurat militer kontroversial pada Desember 2024.

    Dilansir Yonhap dan AFP, Jumat (4/4), putusan tersebut, yang dibacakan oleh kepala pengadilan sementara Moon Hyung-bae dan disiarkan langsung di televisi, berlaku segera. Korsel diharuskan mengadakan pemilihan presiden dadakan untuk memilih pengganti Yoon dalam waktu 60 hari.

    Proses pemakzulan sendiri berlangsung lebih dari 3 bulan. Pemakzulan yang diputuskan Majelis Nasional Korsel hanya membuat Yoon diskors atau dinonaktifkan dari jabatannya.

    Keputusan pemakzulan itu dibawa ke MK Korsel. Yoon diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan sebelum akhirnya majelis hakim MK Korsel memutuskan menguatkan pemakzulan itu.

    “Dengan ini kami mengumumkan putusan berikut, dengan persetujuan bulat dari semua Hakim. (Kami) memberhentikan terdakwa Presiden Yoon Suk Yeol,” kata penjabat kepala hakim Moon Hyung-bae.

    Yoon Suk Yeol menyesal tidak dapat memenuhi harapan pendukungnya usai Mahkamah Konstitusi mencopotnya dari jabatan karena deklarasi darurat militer. Dia meminta maaf kepada pendukungnya.

    “Saya sangat menyesal tidak dapat memenuhi harapan dan ekspektasi Anda. Merupakan kehormatan terbesar dalam hidup saya untuk mengabdi kepada negara kita. Saya sangat berterima kasih atas dukungan dan dorongan Anda yang tak tergoyahkan, bahkan ketika saya gagal,” ujar Yoon.

    Lihat juga Video: Presiden Korsel Disebut Tak Bermaksud Memberlakukan Darurat Militer Penuh

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • Sanggupkah Korsel Ambil Alih Komando Militer dari AS?

    Sanggupkah Korsel Ambil Alih Komando Militer dari AS?

    Jakarta

    Selama tujuh puluh lima tahun, Amerika Serikat memegang kendali operasional perang (OPCON) atas militer Korea Selatan.

    Sejak meletus Perang Korea tahun 1950, komando tertinggi berada di tangan Amerika Serikat. Amanat ini tak dikembalikan setelah tercapainya gencatan senjata pada 1953.

    Di atas kertas, Seoul berdaulat. Tapi di bawah protokol militer, perintah terakhir tetap datang dari Washington. Seoul hanya bisa memimpin pasukannya sendiri selama tidak ada perang terbuka. Meski peran militer Korea Selatan terus bertambah dalam beberapa dekade terakhir, kendali tetap akan beralih ke Washington jika perang digencarkan.

    Serah terima komando OPCON sejatinya telah direncanakan pada 2015. Namun, menjelang batas waktu, AS dan Korsel sepakat menunda serah terima sampai setelah syarat-syarat tertentu terpenuhi. Seoul masih membutuhkan waktu untuk bersiap menghadapi ancaman yang kian sengit dari Pyongyang.

    Kunjungan terbaru Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth, kembali menyoroti isu serah terima tanggung jawab ini kepada pemerintah Korea Selatan.

    AS siap menyerahkan kendali

    Di Korea Selatan, kendali atas pasukan sendiri berkembang menjadi isu kedaulatan dan kebanggaan nasional. Pemerintahan AS saat ini, yang dipimpin Presiden Donald Trump, juga mendukung penyerahan OPCON. Washington ingin melihat sekutunya itu mengurangi ketergantungan pada AS serta mengambil peran lebih besar dalam mengelola pertahanan sendiri.

    Rencana yang diusulkan oleh Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menargetkan transfer OPCON terjadi sebelum masa jabatannya berakhir pada 2030. Namun dipertanyakan, apakah Seoul siap mengambil tanggung jawab sebesar itu.

    Pengalihan OPCON terlalu dini?

    “AS kini tampak berada dalam posisi ‘kalau mau, ambil saja,’” kata Chun In-bum, pensiunan letnan jenderal militer Korea Selatan yang kini menjadi peneliti senior di National Institute for Deterrence Studies, lembaga kajian berbasis di AS.

    “Hal ini membuat saya khawatir, karena proses transfer bisa terjadi tanpa kesiapan yang matang.”

    Dia juga memperingatkan bahwa “saat ini, banyak orang yang lebih mengkhawatirkan kapan proses ini akan terjadi, dan bukan kesiapan militer itu sendiri.”

    “Kita juga harus ingat bahwa Korea Utara masih menjadi ancaman yang sangat nyata bagi kita semua,” kata Chun.

    AS melihat ‘kemajuan yang berarti’

    Kepala Staf Gabungan Korea Selatan Jin Yong-sung dan mitra AS-nya John Daniel Caine menyambut “kemajuan berarti di banyak bidang” terkait transfer komando perang. Hal ini disampaikan saat kedua jenderal militer bertemu minggu lalu.

    Pemimpin politik AS juga menyatakan dukungan mereka, dengan Menteri Pertahanan Hegseth menggambarkan Seoul dalam posisi yang “luar biasa” dan menekankan posisi Washington dengan menyebut Korea Selatan “hanya memerlukan kepemimpinan AS dalam situasi darurat.”

    Namun, mampukah Korea Selatan menjalankan parameter yang telah ditetapkan: termasuk kemampuan untuk memimpin pasukan gabungan AS dan Korea Selatan, kapabilitas merespons ancaman nuklir dan rudal Korea Utara, serta stabilitas dan keamanan keseluruhan di Asia Timur Laut.

    Seoul kurang pengalaman memimpin saat krisis

    Mason Richey, seorang profesor politik dan hubungan internasional di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul, meragukan bahwa kondisi tersebut dapat terpenuhi sebelum berakhirnya masa jabatan Lee sebagai presiden.

    “Militer Korea Selatan masih kekurangan beberapa kemampuan utama, terutama dalam hal komando dan kendali, serta intelijen, pengintaian, dan pengamatan,” katanya. “Kemampuan-kemampuan tersebut kritis untuk memimpin pasukan gabungan secara strategis, terutama secara taktis dan operasional dalam misi-misi.”

    Masalah ini juga lebih dalam dari sekadar kemampuan militer, kata Richey, mencatat bahwa pemimpin militer Korea Selatan belum pernah menjalankan kemandirian operasional militer sejak Perang Korea. Meskipun militer Seoul dinilai kuat, mereka kekurangan pengalaman kritis dalam mengambil alih kendali saat krisis.

    Lee tetap pada pendiriannya mengenai OPCON

    Meskipun demikian, pemerintah berhaluan kiri Presiden Lee tampaknya tetap pada pendirian untuk mematuhi batas waktu yang ditetapkan.

    Keinginan untuk OPCON perang selalu paling kuat di kalangan pemerintahan “progresif” di Seoul, kata Richey, dengan pemerintahan Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun (berkuasa antara 1998 dan 2008) secara terbuka mendukungnya sebagai simbol “kedaulatan nasional” dan kenormalan.

    Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, juga menggambarkannya sebagai cara untuk “meringankan beban pertahanan AS di kawasan Indo-Pasifik.”

    Mengingat dukungan Washington terhadap rencana tersebut, serta mayoritas parlemen yang besar dan dukungan populer yang dimiliki Lee, pemimpin Korea Selatan tampaknya akan berhasil untuk mengalihkan OPCON perang ke Seoul sebelum meninggalkan jabatannya.

    “Saya pikir Lee juga sedang bersiap menghadapi kemungkinan ditinggalkan oleh pemerintahan AS saat ini,” kata Richey. “Pemerintahan Trump sulit ditebak, dan jika Korea Selatan bisa memperoleh lebih banyak kedaulatan atas angkatan bersenjatanya, itu akan menjadi langkah bijak menghadapi ketidakpastian tersebut.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Iryanda Mardanuz
    Editor: Rizki Nugraha

    Lihat juga Video: Trump Tiba di Korsel, Jadi Akhir dari Perjalanannya ke Asia

    (ita/ita)

  • Buntut Darurat Militer Berdampak hingga Eks Bos Intelijen Korsel

    Eks Bos Intelijen Korsel Ditangkap Terkait Darurat Militer

    Seoul

    Mantan kepala intelijen Korea Selatan (Korsel), Cho Tae Yong, ditangkap pada Rabu (12/11) waktu setempat terkait penetapan darurat militer tahun lalu, yang membuat mantan Presiden Yoon Suk Yeol dimakzulkan dan dicopot dari jabatannya.

    Cho yang masih menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional Korsel (NIS) ketika Yoon mengumumkan darurat militer pada Desember 2024, didakwa atas kelalaian dalam tugas.

    Penangkapan itu, seperti dilansir AFP, Rabu (12/11/2025), dilakukan menyusul langkah jaksa khusus Korsel mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Cho atas tuduhan mengabaikan tugas sebagai kepala badan intelijen dan menimbulkan risiko penghancuran barang bukti, di antara beberapa tuduhan lainnya.

    Pengadilan distrik pusat Seoul meninjau keabsahan pengajuan surat perintah penangkapan itu pada Selasa (11/11) dan telah mengabulkannya.

    “Hasil peninjauan tersebut adalah… dikeluarkannya surat perintah tersebut dengan alasan risiko penghancuran barang bukti,” demikian pernyataan pengadilan distrik pusat Seoul saat mengumumkan pengabulan permohonan jaksa tersebut.

    “Dakwaan utamanya adalah kelalaian dalam tugas,” imbuh pernyataan tersebut.

    Jaksa khusus Korsel mengatakan Cho tidak melaporkan langkah Yoon mengumumkan darurat militer pada saat itu ke parlemen, meskipun dia “memahami ilegalitasnya”. Cho juga dituduh telah memberikan pernyataan palsu.

    “Kemungkinan keterlibatannya dalam pemberontakan telah meningkat,” kata jaksa Korsel, Park Ji Young, kepada wartawan pekan lalu.

    Penangkapan Cho ini dilakukan setelah jaksa Korsel menambahkan satu lagi dakwaan terhadap Yoon, yakni membantu musuh. Yoon dituduh memerintahkan pengerahan drone ke wilayah udara Pyongyang, ibu kota Korea Utara (Korut), untuk memperkuat rencana darurat militernya.

    Tahun lalu, Korut mengatakan pihaknya telah “membuktikan” bahwa Korsel mengerahkan drone untuk menyebarkan selebaran propaganda di atas wilayah Pyongyang — tindakan itu tidak pernah dikonfirmasi oleh militer Seoul.

    Jaksa Park, pada Senin (10/11), mengatakan bahwa timnya telah “menjeratkan dakwaan menguntungkan musuh secara umum dan penyalahgunaan kekuasaan” terhadap Yoon.

    Yoon sendiri sedang menghadapi persidangan atas dakwaan pemberontakan dan beberapa dakwaan lainnya terkait penetapan darurat militer yang menjerumuskan Korsel ke dalam kekacauan politik.

    Lihat juga Video ‘Prabowo dan Presiden Korsel Lee Jae Sepakat Perkuat Kerjasama Militer’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Mantan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Dijerat Dakwaan Bantu Musuh

    Mantan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Dijerat Dakwaan Bantu Musuh

    Seoul

    Jaksa penuntut Korea Selatan (Korsel) menjeratkan dakwaan baru terhadap mantan Presiden Yoon Suk Yeol, yakni membantu musuh. Yoon dituduh telah memerintahkan pengerahan drone ke wilayah udara Korea Utara (Korut) untuk memperkuat upayanya dalam memberlakukan darurat militer.

    Otoritas Korut mengatakan tahun lalu bahwa pihaknya telah “membuktikan” jika Korsel menerbangkan sejumlah drone untuk menyebarkan selebaran propaganda di atas ibu kota Pyongyang — tindakan itu tidak pernah dikonfirmasi oleh militer Seoul.

    Jaksa penuntut Korsel, seperti dilansir AFP, Senin (10/11/2025), membuka penyelidikan kasus pada tahun ini untuk memeriksa apakah pengerahan drone itu merupakan upaya ilegal oleh Yoon untuk memprovokasi Korut dan menggunakan reaksi Pyongyang sebagai alasan untuk mendeklarasikan darurat militer.

    Salah satu jaksa penuntut Korsel yang menyelidiki Yoon, Park Ji Young, mengatakan kepada wartawan bahwa tim penasihat khusus telah “mengajukan dakwaan menguntungkan musuh secara umum dan penyalahgunaan kekuasaan” terhadap sang mantan Presiden Korsel tersebut.

    Jaksa Park mengatakan bahwa Yoon dan beberapa pihak lainnya “melakukan konspirasi untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan diberlakukannya darurat militer, sehingga meningkatkan risiko konfrontasi bersenjata antar-Korea dan merugikan kepentingan militer publik”.

    Dia menambahkan bahwa bukti kuat telah ditemukan dalam sebuah memo yang ditulis oleh mantan komandan kontra-intelijen Korsel era Yoon pada Oktober tahun lalu, yang isinya mendesak untuk “menciptakan situasi yang tidak stabil atau memanfaatkan peluang yang muncul”.

    Memo tersebut menyatakan bahwa militer Korsel harus menargetkan tempat-tempat “yang harus membuat mereka (Korut-red) kehilangan muka sehingga responsnya tak terelakkan, seperti Pyongyang” atau kota pesisir utama Wonsan di Korut.

    Seoul dan Pyongyang secara teknis masih berperang sejak Perang Korea tahun 1950-1953 silam berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

    Yoon menjerumuskan Korsel ke dalam krisis politik ketika dia berupaya menumbangkan pemerintahan sipil pada Desember 2024 lalu, dengan mengirimkan tentara bersenjata ke parlemen untuk mencegah para anggota parlemen menolak deklarasi darurat militer yang diumumkannya.

    Upaya itu gagal, dengan Yoon akhirnya ditahan dalam penggerebekan pada dini hari pada Januari lalu. Dia mencetak sejarah kelam sebagai Presiden Korsel pertama yang ditahan saat masih aktif menjabat.

    Yoon kemudian dimakzulkan dan dicopot dari jabatannya pada April lalu. Saat ini, dia masih diadili atas dakwaan pemberontakan dan beberapa pelanggaran hukum lainnya terkait darurat militer yang ditetapkannya.

    Dalam pemilu pada Juni lalu, para pemilih Korsel memilih Lee Jae Myung sebagai penggantinya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Rusia Serang NATO, Bawa-Bawa Bom Yugoslavia

    Rusia Serang NATO, Bawa-Bawa Bom Yugoslavia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rusia mengecam keras pernyataan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte yang menuding Moskow bersekongkol dengan China dan negara lain untuk “merusak aturan global”.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyebut Rutte menerapkan standar ganda dan menantang NATO untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “aturan global” itu.

    “Apa sebenarnya ‘aturan global’ yang mereka maksud? Mungkin NATO bisa mengunggah daftar lengkapnya di situs resmi mereka,” sindir Zakharova dalam unggahan di kanal Telegram-nya, Kamis (6/11/2025).

    Ia menilai tudingan NATO tidak berdasar, mengingat blok militer Barat itu sendiri memiliki catatan panjang pelanggaran hukum internasional. Zakharova mencontohkan pengeboman Yugoslavia oleh NATO pada 1999 serta invasi Irak pada 2003 yang dipimpin Amerika Serikat dengan “dalih yang dibuat-buat”.

    Zakharova juga menyinggung bahwa tak satupun negara anggota NATO menghentikan kerja sama dengan China, meski Rutte mengkritik Rusia karena hal serupa.

    “Beberapa hari lalu, KTT AS-China baru saja digelar. Saya tidak mendengar Rutte mengkritik Presiden AS Donald Trump untuk itu,” ujarnya.

    Sebelumnya, dalam Forum Industri NATO di Bucharest, Rumania, Rutte mengatakan Rusia “tidak sendirian dalam upayanya melemahkan aturan global.” Ia menuding Moskow bekerja sama dengan China, Korea Utara, Iran, dan negara lain, serta memperkuat kolaborasi industri pertahanan untuk menghadapi konfrontasi jangka panjang.

    Pernyataan itu memperpanjang ketegangan antara Moskow dan aliansi Barat. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuding NATO berusaha “memperluas zona tanggung jawabnya jauh melampaui kawasan Euro-Atlantik” untuk membendung Tiongkok dan mengisolasi Rusia.

    Sementara itu, Beijing berulang kali membantah tuduhan Barat yang menyebutnya membantu militer Rusia dalam konflik Ukraina.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]