Negara: Korea Selatan

  • Nyawa Taruhannya Jika Berani Nonton Film Asing di Korea Utara

    Nyawa Taruhannya Jika Berani Nonton Film Asing di Korea Utara

    Jakarta

    Menonton film asing atau luar negeri manapun mungkin merupakan hal yang lumrah dan dapat dilakukan dengan bebas di berbagai negara. Namun, menonton film asing bisa membuat kehilangan nyawa jika dilakukan di Korea Utara (Korut).

    Dilansir BBC, Senin (15/9/2025), Pemerintah Korea Utara makin gencar menerapkan hukuman mati, termasuk kepada orang-orang yang ketahuan menonton dan membagikan film dan drama TV asing. Hal itu menjadi salah satu temuan laporan penting PBB.

    Rezim kediktatoran Korut juga disebut makin sering menghukum rakyatnya mengikuti kerja paksa seraya membatasi kebebasan mereka. Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebut Korut telah memperketat kendali atas ‘semua aspek kehidupan warga negara’ selama satu dekade terakhir.

    “Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini,” sebut laporan PBB.

    Lebih lanjut, menurut laporan itu, pengawasan ‘lebih meluas’ sebagian karena dibantu oleh kemajuan teknologi. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Trk, khawatir warga Korut akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami begitu lama.

    Laporan tersebut, yang didasarkan pada lebih dari 300 wawancara dengan orang-orang yang melarikan diri dari Korut dalam 10 tahun terakhir, menemukan hukuman mati makin sering digunakan. Setidaknya, ada enam undang-undang baru yang diberlakukan sejak 2015 dan memungkinkan hukuman mati dijatuhkan di Korut.

    Salah satu kejahatan yang kini dapat dihukum mati adalah menonton dan membagikan konten media asing seperti film dan drama TV. Hukuman itu diterapkan karena pemimpin Korut Kim Jong Un berupaya membatasi akses masyarakat terhadap informasi.

    Warga Korut yang melarikan diri atau sering disebut penyintas mengatakan kepada para peneliti PBB bahwa sejak 2020 dan seterusnya, makin banyak orang yang dieksekusi mati karena mendistribusikan konten asing. Warga yang ketahuan menonton atau membagikan film asing, menurut para penyintas, ditembak mati oleh regu tembak di depan umum untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat.

    Kang Gyuri, yang melarikan diri pada 2023, mengatakan bahwa tiga temannya dieksekusi setelah tertangkap membawa film Korea Selatan. Dia mengaku menghadiri persidangan salah seorang temannya yang dijatuhi hukuman mati. Dia menyebut temannya saat itu berusia 23 tahun.

    “Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba,” ujarnya.

    Sebagai informasi, Kim Jong Un melarang penggunaan bahasa gaul, film asing, mengecat rambut dan memakai legging ketat. Melakukan salah satu di antaranya bisa dianggap pengkhianat dan terancam hukuman mati.

    Kembali kepada Kang Gyuri, dia menambahkan sejak 2020 orang-orang menjadi lebih takut. Pengalaman Kang Gyuri dan para penyintas Korut bertolak belakang dengan apa yang diharapkan rakyat Korea Utara lebih dari 10 tahun lalu.

    Ketika Kim Jong Un pertama kali berkuasa pada 2011, warga Korut yang diwawancarai mengaku berharap kehidupan mereka akan membaik. Warga saat itu berharap kepada Kim yang berjanji mereka tidak perlu lagi ‘mengencangkan ikat pinggang’. Mereka menganggap ucapan itu berarti warga Korut akan memiliki cukup makanan.

    Saat itu, Kim berjanji menumbuhkan ekonomi sekaligus melindungi negara dengan mengembangkan senjata nuklir. Namun, laporan PBB menemukan bahwa sejak Kim berfokus pada program persenjataan serta menghindari diplomasi dengan Barat dan AS pada 2019, situasi kehidupan dan hak asasi manusia rakyat Korut telah “menurun”.

    Hampir semua orang yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, makan tiga kali sehari adalah sebuah ‘kemewahan’ di Korut.

    Selama pandemi COVID-19, banyak pelarian mengatakan terjadi kekurangan makanan yang parah sehingga banyak orang meninggal karena kelaparan. Pada saat yang sama, pemerintah Korut menindak pasar-pasar informal tempat penduduk berdagang, sehingga mempersulit mereka untuk mencari nafkah.

    Rezim Korut juga membuat hampir mustahil bagi warganya untuk melarikan diri dengan memperketat kontrol di sepanjang perbatasan dengan China. Para prajurit diperintahkan untuk menembak warga yang mencoba menyeberang.

    “Pada masa-masa awal Kim Jong Un, kami punya sedikit harapan, tetapi harapan itu tidak bertahan lama,” kata seorang perempuan muda yang melarikan diri dari Korut pada 2018 di usia 17 tahun.

    Laporan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu. Orang-orang dari keluarga miskin direkrut ke dalam ‘brigade kejut’ untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kerja fisik, seperti proyek konstruksi atau pertambangan.

    Para pekerja berharap ini akan meningkatkan status sosial mereka, tetapi pekerjaan tersebut berbahaya, dan kematian merupakan hal yang umum. Alih-alih meningkatkan keselamatan pekerja, pemerintah justru mengagungkan kematian, melabeli mereka sebagai pengorbanan bagi Kim Jong Un.

    Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korut dilaporkan telah merekrut ribuan anak yatim dan anak jalanan. Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling parah ditemukan terjadi di kamp-kamp penjara politik yang terkenal kejam di negara itu, tempat orang-orang dapat dikurung seumur hidup dan ‘dihilangkan’.

    Laporan 2025 ini menemukan setidaknya empat dari kamp-kamp ini masih beroperasi, sementara para tahanan di penjara biasa masih disiksa dan dianiaya. Banyak tahanan yang melarikan diri mengatakan mereka telah menyaksikan kematian para tahanan akibat perlakuan buruk, kerja berlebihan, dan malnutrisi, meskipun PBB mendengar adanya ‘beberapa perbaikan terbatas’ di fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk ‘sedikit penurunan kekerasan oleh para penjaga’.

    PBB telah menyerukan agar situasi ini diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Namun, agar hal ini bisa terwujud, Dewan Keamanan PBB perlu mendukungnya.

    Sejak 2019, dua anggota tetap DK PBB, China dan Rusia, telah berulang kali memblokir upaya untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara. Pekan lalu, Kim Jong Un bergabung dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah parade militer di Beijing.

    Peristiwa ini menandakan penerimaan kedua negara tersebut terhadap program senjata nuklir Korea Utara dan perlakuan terhadap warga Korut. PBB sendiri telah meminta pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan kamp-kamp penjara politiknya, mengakhiri penggunaan hukuman mati, dan mendidik warganya tentang hak asasi manusia.

    “Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda (Korea Utara),” kata kepala hak asasi manusia PBB, Trk.

    Halaman 2 dari 5

    (haf/haf)

  • Kafe-kafe Korsel Kewalahan Ladeni Mahasiswa Belajar Berjam-jam

    Kafe-kafe Korsel Kewalahan Ladeni Mahasiswa Belajar Berjam-jam

    Jakarta

    Di kawasan elite Daechi di Kota Seoul, Hyun Sung-joo menghadapi dilema.

    Kedai kopinya kerap kali dikunjungi Cagongjok, istilah yang umumnya digunakan anak muda Korea Selatan untuk belajar atau bekerja di kafe.

    Namun, baru-baru ini Cagongjok membuat Hyun geleng-geleng kepala.

    Ada seorang pelanggan menggunakan dua laptop dan kabel gulung berisi enam stopkontak untuk mengisi daya semua perangkat elektroniknya selama seharian penuh.

    “Akhirnya saya menutup semua stopkontak,” ujarnya kepada BBC.

    “Dengan harga sewa yang tinggi di Daechi, sulit untuk menjalankan kafe jika seseorang menempati kursi sepanjang hari.”

    Fenomena Cagongjok merajalela di Korea Selatan, terutama di area dengan jumlah mahasiswa dan pekerja kantoran yang tinggi.

    Mereka mendominasi kafe, seringkali dalam skala yang jauh lebih besar daripada negara-negara Barat lainnya seperti UK.

    Fenomena itu begitu menguat sampai Starbucks Korea mengatakan ada sebagian orang membawa monitor desktop dan printer, membuat partisi, serta meninggalkan meja tanpa pengawasan.

    Jaringan kedai kopi ini kini telah meluncurkan pedoman nasional yang bertujuan mengekang “sejumlah kecil kasus ekstrem” yang mengganggu pelanggan lain.

    Starbucks mengatakan staf tidak akan meminta pelanggan untuk pergi, tapi akan memberikan “panduan” bila diperlukan.

    Starbucks juga mengutip kasus-kasus pencurian sebelumnya ketika pelanggan meninggalkan barang-barang mereka tanpa pengawasan.

    Perusahaan itu menyebut pedoman baru ini adalah “langkah menuju lingkungan kedai yang lebih nyaman”.

    Namun, hal ini tampaknya tidak sampai menghentikan Cagongjok mengingat budaya kerja dan belajar di kafe sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.

    Para pelajar dan mahasiswa Korsel kerap belajar selama berjam-jam di gerai Starbucks. (BBC)

    Pada suatu malam di Distrik Gangnam, Seoul, sebuah cabang Starbucks ramai dengan pelanggan yang sedang belajar. Mereka tampak menundukkan kepala di depan layar laptop dan buku.

    Di antara mereka terdapat seorang pelajar berusia 18 tahun yang sedang mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas, “Suneung”.

    “Saya tiba di sini sekitar pukul 11.00 dan terus di sini sampai pukul 22.00,” ujarnya kepada BBC.

    “Terkadang saya meninggalkan barang-barang saya dan pergi makan di dekat sini,” sambungnya.

    Baca juga:

    Kami tidak melihat peralatan besar selama duduk di Starbucks sejak pedoman baru dikeluarkan pada 7 Agustus. Yang kami lihat ada seorang pria membawa dudukan laptop, keyboard, dan mouse.

    Tapi beberapa pelanggan tampaknya masih meninggalkan meja mereka untuk waktu yang lama. Laptop dan buku mereka terlihat berserakan di meja.

    Ketika ditanya apakah pembatasan baru ini telah menyebabkan perubahan, Starbucks Korea mengatakan kepada BBC bahwa hal itu “sulit untuk dipastikan”.

    Sejumlah mahasiswa belajar di kedai Starbucks, namun kerap meninggalkan barang bawaan mereka untuk makan di luar kemudian kembali lagi. (BBC)

    Reaksi terhadap langkah Starbucks beragam. Sebagian besar menyambut kebijakan ini sebagai langkah yang telah lama dinantikan untuk memulihkan normalisasi penggunaan kafe.

    Tanggapan semacam itu khususnya datang dari pengunjung Starbucks untuk bersantai atau berbincang. Mereka mengaku sulit menemukan tempat duduk karena Cagongjok.

    Suasana yang hening seringkali juga membuat mereka merasa canggung untuk berbicara dengan bebas.

    Beberapa mengkritik kebijakan Starbucks Korea sebagai tindakan berlebihan, seraya mengatakan bahwa jaringan kedai kopi tersebut telah ikut campur urusan pengunjung.

    Baca juga:

    Hal ini mencerminkan perdebatan publik di Korea Selatan tentang Cagongjok yang telah memanas sejak 2010, bertepatan dengan pertumbuhan jaringan kedai kopi waralaba di negara tersebut.

    Saat ini, jumlah kedai kopi waralaba di Korsel mengalami peningkatan sebesar 48% selama lima tahun terakhir hingga mendekati 100.000 unit, menurut Layanan Pajak Nasional Korsel.

    Sekitar 70% orang dalam survei terbaru terhadap lebih dari 2.000 pencari kerja Gen Z di Korea Selatan oleh platform perekrutan Jinhaksa Catch mengatakan mereka belajar di kafe setidaknya sekali seminggu.

    ‘Dua orang menempati ruang untuk 10 pelanggan’

    Mengatasi masalah pelanggan yang “menempati tempat duduk berlama-lama” dan masalah terkait terbilang rumit. Kafe-kafe non-waralaba yang menghadapi hal serupa telah menerapkan berbagai pendekatan.

    Meskipun Hyun pernah mengalami pelanggan yang membawa beberapa perangkat elektronik dan menyiapkan meja kerja di kafe, ia mengatakan kasus ekstrem seperti ini jarang terjadi.

    “Mungkin hanya dua atau tiga orang dari 100 orang,” kata pria yang telah buka usaha sebagai pemilik kafe selama 15 tahun ini.

    “Kebanyakan orang baik hati. Beberapa bahkan memesan minuman lagi jika mereka tinggal lama, dan saya tidak masalah dengan itu,” lanjutnya.

    Kafe Hyun, yang juga digunakan penduduk setempat sebagai ruang untuk mengobrol atau les privat, masih menerima Cagongjok selama pelakunya menghormati ruang bersama.

    Beberapa kafe waralaba lain bahkan menyediakan stopkontak dan meja terpisah.

    BBC Sebagai pemilik kafe, Hyun Sung-joo, tidak menentang Cagongjok. Namun, menurutnya, ada pengunjung yang keterlaluan.

    Namun, sejumlah kafe lain mengambil langkah yang lebih ketat.

    Kim, seorang pemilik kafe di Jeonju yang meminta BBC agar identitasnya dirahasiakan, menerapkan kebijakan “Zona Dilarang Belajar” setelah berulang kali menerima keluhan tentang ruang yang dimonopoli.

    “Dua orang mengambil alih ruang untuk 10 pelanggan. Terkadang mereka pergi untuk makan dan kembali untuk belajar selama tujuh atau delapan jam,” ujarnya.

    “Akhirnya kami memasang tanda yang menyatakan bahwa ini adalah ruang untuk mengobrol, bukan untuk belajar,” sambungnya.

    Kini, kafenya hanya mengizinkan waktu maksimal dua jam bagi mereka yang ingin belajar atau bekerja. Aturan ini tidak berlaku bagi pelanggan tetap yang hanya ingin minum kopi.

    “Saya membuat kebijakan ini untuk mencegah potensi konflik antar pelanggan,” kata Kim.

    ‘Cagongjok’ akan bertahan?

    Jadi apa yang melatarbelakangi tren ini dan mengapa begitu banyak orang di Korea Selatan merasa perlu bekerja atau belajar di kafe ketimbang di perpustakaan, ruang kerja bersama, atau di rumah?

    Bagi sebagian orang, kafe lebih dari sekadar ruang santai; melainkan tempat untuk merasa membumi.

    Yu-jin Mo, 29, bercerita kepada BBC tentang pengalamannya tumbuh besar di panti asuhan.

    “Rumah bukanlah tempat yang aman. Saya tinggal bersama ayah saya di dalam kontainer kecil, dan terkadang ia mengunci pintu dari luar dan meninggalkan saya sendirian di dalam.”

    Bahkan sekarang, sebagai orang dewasa, ia merasa sulit untuk menyendiri.

    “Begitu bangun tidur, saya langsung pergi ke kafe. Saya mencoba perpustakaan dan tempat belajar, tetapi rasanya menyesakkan,” ujarnya.

    BBCYu-jin Mo lebih nyaman belajar di kafe ketimbang di perpustakaan.

    Mo bahkan mengelola kafenya sendiri selama setahun, berharap dapat menyediakan tempat untuk orang-orang seperti dirinya dapat merasa nyaman untuk belajar.

    Profesor Choi Ra-young dari Universitas Ansan, yang telah mempelajari pendidikan seumur hidup selama lebih dari dua dekade, memandang Cagongjok sebagai fenomena budaya bentukan masyarakat Korea Selatan yang sangat kompetitif.

    “Ini adalah budaya anak muda yang diciptakan oleh masyarakat yang kita bangun,” ujarnya kepada BBC.

    “Kebanyakan Cagongjok kemungkinan besar adalah pencari kerja atau mahasiswa.”

    “Mereka berada di bawah tekananentah itu dari akademisi, ketidakamanan pekerjaan, atau kondisi perumahan tanpa jendela dan tanpa ruang untuk belajar.

    “Dalam arti tertentu, anak-anak muda ini adalah korban dari sistem yang tidak menyediakan ruang publik yang cukup bagi mereka untuk bekerja atau belajar,” tambahnya.

    “Mereka mungkin dianggap mengganggu, tetapi mereka juga merupakan produk dari struktur sosial,” cetusnya.

    Profesor Choi mengatakan sudah saatnya menciptakan ruang yang lebih inklusif.

    “Kita membutuhkan pedoman dan lingkungan yang memungkinkan belajar di kafetanpa mengganggu orang lainjika kita ingin mengakomodasi budaya ini secara realistis.”

    (ita/ita)

  • AS-Korsel-Jepang Latihan Perang Bareng, Adik Kim Jong Un Berang!

    AS-Korsel-Jepang Latihan Perang Bareng, Adik Kim Jong Un Berang!

    Pyongyang

    Kim Yo Jong, adik perempuan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un, berang mengecam latihan militer gabungan yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) bersama Korea Selatan (Korsel) dan Jepang. Kim Yo Jong mengancam “konsekuensi negatif” untuk ketiga negara tersebut terkait latihan gabungan itu.

    AS, Korsel dan Jepang dijadwalkan menggelar latihan pertahanan tahunan yang disebut “Freedom Edge” mulai Senin (15/9) waktu setempat. Militer Seoul menyebut latihan gabungan itu bertujuan meningkatkan kemampuan operasional udara, laut dan siber terhadap ancaman nuklir dan rudal Korut.

    Reaksi keras diberikan oleh Korut, dengan Kim Yo Jong mengecam latihan gabungan itu sebagai “unjuk kekuatan yang sembrono”.

    “Ini mengingatkan kita bahwa unjuk kekuatan yang sembrono oleh AS, Jepang, dan Korea Selatan di tempat yang salah, yaitu di sekitar Republik Rakyat Demokratik Korea (nama resmi Korut, niscaya akan menimbulkan konsekuensi negatif bagi mereka sendiri,” tegas Kim Yo Jong seperti dilansir Reuters, Senin (15/9/2025).

    Peringatan tersebut disampaikan melalui kantor berita resmi Korut, Korean Central News Agency (KCNA), dalam laporannya pada Minggu (14/9).

    AS dan Korsel juga berencana menggelar latihan “tabletop” bernama “Iron Mace” pekan depan untuk mengintegrasikan kemampuan konvensional dan nuklir mereka dalam menghadapi ancaman Korut.

    Secara terpisah, seorang pejabat tinggi partai buruh yang berkuasa di Korut, Pak Jong Chon, seperti dikutip KCNA, juga memperingatkan jika “kekuatan musuh” terus membanggakan kekuatan mereka melalui latihan gabungan semacam itu, maka Pyongyang akan mengambil langkah balasan “dengan lebih jelas dan tegas”.

    Korut secara tradisional mengkritik latihan gabungan antara negara tetangganya, Korsel, dengan AS, sebagai latihan invasi, dan dalam beberapa kasus, negara terisolasi itu merespons dengan uji coba senjata. Namun Seoul dan Washington menegaskan latihan gabungan itu murni bersifat defensif.

    Peringatan dari Kim Yo Jong itu disampaikan setelah kakaknya, Kim Jong Un, seperti dilansir AFP, mengatakan dalam pertemuan penting partai berkuasa di negaranya bahwa Korut akan mengungkap kebijakan untuk memajukan persenjataan nuklir dan kekuatan militer konvensionalnya.

    Sejak pertemuan puncak dengan AS yang gagal pada tahun 2019, Pyongyang telah berulang kali menyatakan tidak akan pernah menyerahkan senjata nuklirnya dan mendeklarasikan diri sebagai negara nuklir yang “tidak dapat diubah”.

    Kim Jong Un, saat mengunjungi fasilitas penelitian senjata pekan lalu, mengatakan Korut “akan mengajukan kebijakan untuk secara bersamaan mendorong pembangunan kekuatan nuklir dan angkatan bersenjata konvensional.

    Dia juga menekankan perlunya “memodernisasi” angkatan bersenjata konvensional negaranya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Korut Makin Sering Eksekusi Mati Warga yang Nonton Film Asing

    Korut Makin Sering Eksekusi Mati Warga yang Nonton Film Asing

    Jakarta

    Pemerintah Korea Utara makin gencar menerapkan hukuman mati, termasuk kepada orang-orang yang ketahuan menonton dan membagikan film dan drama TV asing, demikian temuan laporan penting PBB.

    Rezim kediktatoran Korut juga makin sering menghukum rakyatnya mengikuti kerja paksa seraya membatasi kebebasan mereka, tambah laporan tersebut.

    Kantor Hak Asasi Manusia PBB menemukan bahwa selama satu dekade terakhir, Korea Utara memperketat kendali atas “semua aspek kehidupan warga negara”.

    “Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini,” sebut laporan PBB.

    Lebih lanjut, menurut laporan itu, pengawasan “lebih meluas”, sebagian karena dibantu oleh kemajuan teknologi.

    Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Trk, mengatakan bahwa apabila situasi ini berlanjut, warga Korea Utara “akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami begitu lama”.

    Laporan tersebut, yang didasarkan pada lebih dari 300 wawancara dengan orang-orang yang melarikan diri dari Korea Utara dalam 10 tahun terakhir, menemukan bahwa hukuman mati makin sering digunakan.

    Menonton film asing, ditembak di depan umum

    Setidaknya enam undang-undang baru telah diberlakukan sejak 2015 yang memungkinkan hukuman mati dijatuhkan.

    Salah satu kejahatan yang kini dapat dihukum mati adalah menonton dan membagikan konten media asing seperti film dan drama TV. Hukuman itu diterapkan karena Kim Jong Un berupaya membatasi akses masyarakat terhadap informasi.

    KCNA via EPALaporan PBB menemukan bahwa pemerintah Korut menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu.

    Para penyintas mengatakan kepada para peneliti PBB bahwa sejak 2020 dan seterusnya, makin banyak orang yang dieksekusi mati karena mendistribusikan konten asing.

    Warga yang ketahuan menonton atau membagikan film asing, menurut para penyintas, ditembak mati oleh regu tembak di depan umum untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat.

    Baca juga:

    Kang Gyuri, yang melarikan diri pada 2023, mengatakan kepada BBC bahwa tiga temannya dieksekusi setelah tertangkap membawa film Korea Selatan.

    Ia menghadiri persidangan salah seorang temannya yang dijatuhi hukuman mati. Temannya berusia 23 tahun.

    “Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba,” ujarnya.

    Dia menambahkan bahwa sejak 2020 orang-orang menjadi lebih takut.

    Berharap pada pemimpin baru, tapi rakyat makin lapar

    Pengalaman Kang Gyuri dan para penyintas Korut bertolak belakang dengan apa yang diharapkan rakyat Korea Utara lebih dari 10 tahun lalu.

    Ketika Kim Jong Un pertama kali berkuasa pada 2011, warga Korut yang diwawancarai mengaku berharap kehidupan mereka akan membaik, karena Kim telah berjanji bahwa mereka tidak perlu lagi “mengencangkan ikat pinggang”. Artinya mereka akan memiliki cukup makanan.

    Saat itu, Kim berjanji menumbuhkan ekonomi sekaligus melindungi negara dengan mengembangkan senjata nuklir.

    AFP via Getty ImagesWarga Korut membungkuk di hadapan mosaik yang menggambarkan ayah dan kakek Kim Jong Un di Pyongyang. Foto ini diabadikan pada 9 September.

    Namun, laporan PBB menemukan bahwa sejak Kim berfokus pada program persenjataan serta menghindari diplomasi dengan Barat dan AS pada 2019, situasi kehidupan dan hak asasi manusia rakyat Korut telah “menurun”.

    Hampir semua orang yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, makan tiga kali sehari adalah sebuah “kemewahan”.

    Selama pandemi Covid, banyak pelarian mengatakan bahwa terjadi kekurangan makanan yang parah sehingga banyak orang meninggal karena kelaparan.

    Baca juga:

    Pada saat yang sama, pemerintah Korut menindak pasar-pasar informal tempat penduduk berdagang, sehingga mempersulit mereka untuk mencari nafkah.

    Rezim Korut juga membuat hampir mustahil bagi warganya untuk melarikan diri dengan memperketat kontrol di sepanjang perbatasan dengan China. Para prajurit diperintahkan untuk menembak warga yang mencoba menyeberang.

    “Pada masa-masa awal Kim Jong Un, kami punya sedikit harapan, tetapi harapan itu tidak bertahan lama,” kata seorang perempuan muda yang melarikan diri dari Korut pada 2018 di usia 17 tahun.

    “Pemerintah secara bertahap menghalangi orang-orang untuk mencari nafkah secara mandiri, dan menjalani hidup menjadi siksaan setiap hari,” ia bersaksi kepada para peneliti.

    ‘Rezim Korut menutup mata dan telinga rakyat’

    Laporan PBB menyatakan bahwa “selama 10 tahun terakhir, pemerintah menjalankan kendali hampir total atas rakyat, membuat mereka tidak mampu membuat keputusan sendiri”baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik.

    Laporan tersebut menambahkan bahwa kemajuan teknologi pengawasan telah membantu mewujudkan hal ini.

    Seorang warga Korut yang melarikan dari negara tersebut mengatakan kepada para peneliti bahwa tindakan keras rezim Pyongyang dimaksudkan “untuk menutup mata dan telinga rakyat”.

    “Ini adalah bentuk kendali yang bertujuan menghilangkan tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan sekecil apa pun,” kata mereka yang berbicara secara anonim.

    Baca juga:

    Laporan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu.

    Orang-orang dari keluarga miskin direkrut ke dalam “brigade kejut” untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kerja fisik, seperti proyek konstruksi atau pertambangan.

    Para pekerja berharap ini akan meningkatkan status sosial mereka, tetapi pekerjaan tersebut berbahaya, dan kematian merupakan hal yang umum.

    Alih-alih meningkatkan keselamatan pekerja, pemerintah justru mengagungkan kematian, melabeli mereka sebagai pengorbanan bagi Kim Jong Un.

    Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bahkan telah merekrut ribuan anak yatim dan anak jalanan, klaim laporan tersebut.

    Kejahatan terhadap kemanusiaan

    Penelitian terbaru ini menindaklanjuti laporan komisi penyelidikan PBB pada 2014, yang untuk pertama kalinya menemukan bahwa pemerintah Korea Utara melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

    Baca juga:

    Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling parah ditemukan terjadi di kamp-kamp penjara politik yang terkenal kejam di negara itu, tempat orang-orang dapat dikurung seumur hidup dan “dihilangkan”.

    Laporan 2025 ini menemukan bahwa setidaknya empat dari kamp-kamp ini masih beroperasi, sementara para tahanan di penjara biasa masih disiksa dan dianiaya.

    Banyak tahanan yang melarikan diri mengatakan mereka telah menyaksikan kematian para tahanan akibat perlakuan buruk, kerja berlebihan, dan malnutrisi, meskipun PBB mendengar adanya “beberapa perbaikan terbatas” di fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk “sedikit penurunan kekerasan oleh para penjaga”.

    Dilindungi China dan Rusia

    PBB menyerukan agar situasi ini diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag.

    Namun, agar hal ini bisa terwujud, Dewan Keamanan PBB perlu mendukungnya.

    Sejak 2019, dua anggota tetap DK PBB, China dan Rusia, telah berulang kali memblokir upaya untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara.

    KCNA via ReutersDari kiri ke kanan: Vladimir Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un di Beijing.

    Pekan lalu, Kim Jong Un bergabung dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah parade militer di Beijing. Peristiwa ini menandakan penerimaan kedua negara tersebut terhadap program senjata nuklir Korea Utara dan perlakuan terhadap warga Korut.

    Selain mendesak masyarakat internasional untuk bertindak, PBB meminta pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan kamp-kamp penjara politiknya, mengakhiri penggunaan hukuman mati, dan mendidik warganya tentang hak asasi manusia.

    “Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda (Korea Utara),” kata kepala hak asasi manusia PBB, Trk.

    (ita/ita)

  • Heboh Ortu di Korsel Jalani IVF Khusus Biar Bisa Request Jenis Kelamin Anak

    Heboh Ortu di Korsel Jalani IVF Khusus Biar Bisa Request Jenis Kelamin Anak

    Jakarta

    Seorang perempuan yang disamarkan dengan nama ‘Sohan’ menceritakan pengalamannya menjalani fertilisasi in vitro (IVF) khusus untuk bisa memilih jenis kelamin bayi yang ingin dilahirkan. Perempuan berusia 30-an ini menjalani IVF khusus di Bangkok, Thailand karena prosedur ini ilegal di Korea Selatan, menurut Undang-Undang Bioetika dan Keamanan.

    Sohan dan suaminya ingin mendapatkan anak laki-laki, setelah sebelumnya mereka memiliki anak perempuan. Sekitar 10 bulan setelah menjalani IVF khusus di Bangkok, ia akhirnya bisa melahirkan anak laki-laki yang diinginkan.

    Sohan menceritakan sebenarnya ada banyak orang tua yang menjalani prosedur serupa di luar negeri.

    “Aku pertama kali tahu tentang hal ini beberapa tahun lalu karena kerabat temanku mencoba program kehamilan dengan seleksi jenis kelamin di Hong Kong,” cerita Sohan dikutip dari Korea JoongAng Daily, Senin (15/9/2025).

    Di Korea, Undang-Undang Bioetika dan Keamanan yang diberlakukan pada 2005 melarang pembuahan sel telur dengan tujuan memilih jenis kelamin tertentu. Tenaga medis yang melakukan perawatan kesuburan berbasis seleksi gender bisa dipenjara hingga dua tahun atau didenda maksimal 30 juta won (Rp 353,4 juta rupiah).

    Larangan kehamilan berbasis seleksi gender awalnya dimaksudkan untuk mengurangi praktik aborsi. Ini terjadi khususnya pada 1980-1990-an ketika preferensi anak laki-laki lebih dominan di masyarakat Korea.

    Berdasarkan undang-undang, ibu hamil, termasuk yang menjalani IVF, harus menunggu hingga sekitar usia kehamilan 15 minggu untuk mengetahui jenis kelamin janinnya lewat USG. Namun, tidak ada aturan yang melarang orang Korea menjalani perawatan kesuburan di luar negeri.

    “Kebanyakan orang yang menghubungiku adalah mereka yang sudah punya anak. Mereka hanya ingin anak berikutnya berbeda jenis kelamin dari anak yang sudah lahir,” ujar Sohan menyebut tidak ada kecenderungan orang tua di Korsel mengutamakan anak laki-laki.

    Prosedur yang Dijalani Sohan

    Sohan menghabiskan sekitar 450 ribu baht (Rp 232,7 juta) untuk prosedur tersebut. Sedangkan, untuk satu kali prosedur IVF di Korea Selatan dapat menghabiskan 2 juta won (Rp 23,5 juta).

    Sohan menjelaskan proses IVF di Korea Selatan dan Thailand sebenarnya hampir sama. Namun, di Thailand orang tua menempuh tiga tahapan tambahan yaitu skrining embrio berdasarkan jenis kelamin, membekukan embrio sebelum ditanamkan, serta memiliki embrio dengan jenis kelamin tertentu.

    Jika IVF di Korea Selatan bisa selesai dalam 2-3 minggu, proses yang dijalani Sohan memakan waktu hingga 2 bulan. Ia mengambil sel telur pada awal April 2024, lalu baru mentransfer sel embrio pada awal Juni.

    “Karena perlu waktu untuk menentukan jenis kelamin embrio yang telah dibuahi, embrio harus dibekukan sebelum ditanamkan. Klinik di Bangkok memberiku laporan harian melalui email tentang perkembangan embrio, dan aku memilih jenis kelamin anak keduaku lewat telepon,” cerita Sohan.

    Setelah embrio ditanamkan, ia menjalani persalinan di Korea Selatan. Ia tidak menceritakan detail prosedur yang dijalani pada tenaga medis yang membantu kelahiran anaknya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: 300 Pekerja Korsel Dipulangkan Usai Ditahan Imigrasi AS”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/kna)

  • Menham: Ruang demonstrasi di halaman DPR langkah perkuat demokrasi

    Menham: Ruang demonstrasi di halaman DPR langkah perkuat demokrasi

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menjelaskan gagasan penyediaan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI merupakan langkah strategis untuk memperkuat praktik demokrasi substantif.

    Pigai dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin, mengatakan demokrasi substantif yang ia maksud, yaitu ketika aspirasi masyarakat tersalurkan, ketertiban publik terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di jantung parlemen.

    “Menyediakan ruang demonstrasi di halaman DPR adalah pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan serius karena akan mempertemukan masyarakat dengan lembaga yang mewakili mereka,” ucapnya.

    Menham mengemukakan masyarakat berhak menyampaikan pendapat secara damai. Negara bukan hanya menghormati hak tersebut, melainkan juga berkewajiban memastikan ruang tersebut ada, salah satunya melalui gagasan penyediaan ruang demonstrasi itu.

    Menurut Pigai, usulan dimaksud sejalan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto.

    Pada 31 Agustus 2025, ketika menyampaikan pernyataan terkait gelombang unjuk rasa, Presiden Prabowo menegaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat dijamin oleh Kovenan Internasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik serta Undang-Undang HAM.

    Bagi Pigai, pernyataan Presiden itu menunjukkan pemerintah konsisten dengan komitmen HAM internasional maupun nasional.

    Di samping itu, hak menyampaikan pendapat juga dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

    Namun, ia mengatakan praktik demokrasi di Indonesia kerap menimbulkan gesekan, terutama karena lokasi unjuk rasa sering berada di jalan utama yang menyebabkan kemacetan dan potensi benturan.

    Oleh karenanya, Pigai meyakini dengan menyediakan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI, negara bisa menjawab dilema tersebut. Dengan begitu, hak masyarakat dijamin dan ketertiban umum tetap terjaga.

    Menurut Pigai, setidaknya terdapat delapan alasan pentingnya ruang demonstrasi itu penting, antara lain, sebagai simbolisme demokrasi autentik, kedekatan dengan target aspirasi, mengurangi beban lalu lintas, keamanan dan ketertiban, budaya dialog langsung, menghapus stigma negatif demonstrasi, efisiensi logistik, dan preseden bagi daerah.

    Ia menyebut ruang demonstrasi sudah dipraktikkan di beberapa negara, di antaranya Jerman menyediakan alun-alun publik di Berlin untuk aksi besar dengan pemberitahuan resmi dan Inggris mengatur demonstrasi di Parliament Square dengan izin khusus.

    Singapura, kata dia, menyediakan ruang demonstrasi di Speakers’ Corner Hong Lim Park, sedangkan di Amerika Serikat terdapat free speech zones dalam acara politik besar.

    Sementara itu, Korea Selatan, masih menurut Pigai, melarang aksi di dekat istana, parlemen, dan pengadilan, tetapi memfasilitasi aksi besar di ruang publik ikonik seperti Gwanghwamun Square.

    “Gagasan semacam ruang demonstrasi ini juga sebenarnya sudah pernah diusulkan oleh DPR-RI dalam Rencana Strategis DPR 2015–2019 dengan menyebut pembangunan ‘alun-alun demokrasi’,” katanya.

    Alun-alun demokrasi itu diusulkan dibangun di sisi kiri kompleks DPR, menempati area Taman Rusa, lapangan futsal, dan parkir. Rencana tersebut didesain untuk menampung lebih kurang 10.000 orang dengan fasilitas panggung orasi permanen, pengeras suara, jalur evakuasi, dan akses aman.

    “Peresmian simbolis pernah dilakukan pada 21 Mei 2015, tetapi proyek ini tidak berlanjut,” ucapnya.

    Selain itu, sambung Pigai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2016 membangun Taman Aspirasi di Plaza Barat Laut Monas, seluas lebih kurang 1.000 meter persegi dengan fasilitas taman terbuka, mural, dan ruang ekspresi publik.

    “Namun, ruang ini lebih bersifat simbolik dan tidak difungsikan sebagai lokasi demonstrasi resmi yang diakui hukum,” tuturnya.

    Ia mengatakan pengalaman internasional memberi pelajaran penting, Singapura dengan Speakers’ Corner-nya kerap dikritik karena ruang demonstrasi justru berubah menjadi instrumen pembatasan.

    Sebaliknya, Jerman dan Korea Selatan menunjukkan ruang aspirasi di jantung kota memperkuat demokrasi tanpa menutup kemungkinan aksi di tempat lain.

    Oleh karena itu, kata Pigai, usulan ruang demokrasi di halaman DPR perlu dipandang sebagai penambahan ruang resmi yang representatif, aman, dan simbolis, alih-alih dimaknai sebagai upaya membatasi demonstrasi hanya di sana.

    Menurut Pigai, dengan cara itu, Indonesia bisa menghindari jebakan regulasi yang mengekang kebebasan dan justru memperluas fasilitasi demokrasi dalam bentuk paling substantif.

    Menteri HAM lanjut mengatakan usulan halaman DPR sebagai ruang demonstrasi merupakan kesempatan kedua untuk mewujudkan gagasan yang sudah lama tertunda.

    “Dulu, DPR pernah menuliskannya dalam renstra, Pemprov DKI pernah membangunnya di Monas. Kini, dengan momentum politik yang tepat, kita bisa memastikan ruang demokrasi itu benar-benar hadir, bukan sekadar wacana,” jelas Natalius Pigai.

    Usulan menyediakan pusat masyarakat menyampaikan aspirasi di halaman gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pertama kali disampaikan Natalius Pigai di sela-sela peninjauan Kantor Wilayah Kementerian HAM di Denpasar, Bali, Jumat (12/9).

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

    Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

    Jakarta

    Obesitas pada anak kini jadi sorotan serius dunia. Laporan terbaru UNICEF menyebutkan sedikitnya satu dari sepuluh anak di dunia mengalami obesitas. Kondisi ini tak hanya dipicu minimnya edukasi gizi di keluarga, tetapi juga gempuran makanan dengan pemrosesan ultra atau Ultra Processed Food (UPF) yang semakin mudah diakses dan kerap lebih murah dibanding buah serta sayur.

    Fenomena ini nyata terjadi di Indonesia. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menegaskan, Indonesia menghadapi situasi yang disebut double burden. Artinya, anak-anak tak hanya berisiko mengalami kekurangan gizi hingga stunting, tetapi juga obesitas. Bahkan, di kota besar, prevalensi obesitas anak tercatat lebih tinggi.

    “Kita (Indonesia) menghadapi double burden, disatu sisi kita kekurangan gizi yang menyebabkan terjadinya stunting, di sisi lain, anak-anak itu ternyata obesitas,” tuturnya saat ditemui di ASEAN Car Free Day, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (24/9/2025).

    Definisi Obesitas pada Anak

    Obesitas pada anak bukan sekadar masalah badan gemuk, melainkan kondisi saat lemak tubuh menumpuk secara berlebihan sehingga bisa mengganggu kesehatan. Cara menentukannya pun berbeda dengan orang dewasa. Jika pada orang dewasa cukup dengan menggunakan angka Indeks Massa Tubuh (IMT), pada anak lebih spesifik ukurannya, yaitu dengan menggunakan grafik pertumbuhan yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak usia 5-19 tahun dikategorikan obesitas bila nilai IMT-nya berada di atas persentil 97 dibanding anak seusianya. Singkatnya, jika berat badan dan tinggi badan seorang anak jauh melampaui sebagian besar teman sebayanya, ada kemungkinan ia sudah masuk kategori obesitas.

    Wamenkes Dante Saksono Harbuwono bicara soal obesitas pada anak. Foto: detikhealth/Nafilah Sri Sagita

    Belajar dari Negara Lain

    Beberapa negara telah berhasil menurunkan angka obesitas anak melalui kebijakan yang tegas. Meksiko misalnya, sejak 2014 memberlakukan pajak 10 persen untuk minuman manis. Jurnal BMC Public Health, mencatat bahwa kebijakan ini menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 7,6 persen hanya dalam dua tahun.

    Inggris memiliki kebijakan Universal Infant Free School Meal yaitu makan siang gratis untuk anak usia empat sampai tujuh tahun di sekolah dasar sejak tahun 2014. Menu yang disajikan di sekolah mengandung gizi seimbang dan membatasi asupan kalori yang tinggi. Inggris juga menerapkan kebijakan lain di tahun 2018 yaitu Soft Drinks Industry Levy. Alih-alih hanya mengurangi konsumsi, kebijakan ini mendorong produsen untuk reformulasi produk minuman agar kadar gulanya lebih rendah. Hasilnya kadar gula pada minuman ringan berkurang rata-rata 29 persen hanya dalam tiga tahun.

    Chile mengambil langkah lebih progresif dengan mewajibkan label peringatan hitam di depan kemasan untuk produk tinggi gula, garam, dan lemak. Studi ilmiah yang terangkum pada Jurnal Nutrients 2025 menunjukkan kebijakan ini efektif menurunkan konsumsi minuman berpemanis pada anak sebesar 23,7 persen dalam 18 bulan pertama, ditambah lagi larangan iklan junk food di jam tayang anak yang semakin membatasi paparan.

    Singapura juga menjadi contoh menarik dengan program “Healthier Choice Symbol” yang memberi tanda khusus pada produk lebih sehat dan memberi Nutri-grade Label untuk minuman manis. Pemerintah Negeri Singa bahkan melarang semua iklan minuman berpemanis sejak tahun 2020. Pemerintah Singapura juga aktif dalam memberikan edukasi ke sekolah tentang gaya hidup sehat. Keterlibatan komunitas, sekolah, orang tua pada program yang dijalankan pemerintah Singapura menjadi salah satu faktor penting tercapainya tujuan program. Menurut laporan Ministry of Health (MoH) Singapura tahun 2022, kebijakan ini berhasil menahan laju peningkatan obesitas anak.

    Korea Selatan juga menunjukkan langkah strategis. Negara ini melarang iklan junk food di jam tayang anak sejak tahun 2010 dan memperkenalkan konsep Green Food Zones, yaitu area 200 meter di sekitar sekolah, di mana penjualan makanan tinggi gula, garam, dan lemak dilarang.

    Jepang menempuh jalur berbeda melalui pendidikan gizi nasional atau Shokuiku sejak 2005. Setiap sekolah dasar dan menengah wajib menyediakan menu sehat untuk makan siang yang mengikuti standar gizi nasional.

    Upaya Indonesia Mengatasi Obesitas Anak

    Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam. Sejumlah program telah digulirkan, meskipun fokus besar pemerintah masih tertuju pada stunting. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) mengajak masyarakat untuk lebih aktif bergerak, rutin mengkonsumsi buah dan sayur, serta melakukan pemeriksaan kesehatan. Di sekolah, Program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) menjadi wadah integrasi edukasi gizi, olahraga, dan pemeriksaan kesehatan anak. Selain itu, pedoman gizi seimbang merupakan program edukasi gizi di sekolah, posyandu, dan fasilitas kesehatan melalui konsep “Isi Piringku” diperkenalkan sebagai pengganti 4 Sehat 5 Sempurna.

    KEMENKES juga meresmikan “Kantin Sehat” sekolah agar anak-anak tidak terbiasa mengkonsumsi jajanan tinggi gula, garam, dan lemak. Lebih jauh, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2025 bahkan secara eksplisit memasukkan target penurunan prevalensi obesitas anak yang berfokus pada perbaikan pola konsumsi, peningkatan aktivitas fisik, dan pembatasan pemasaran pangan tidak sehat untuk anak.

    Namun, data riset terbaru menunjukkan prevalensi obesitas anak di Indonesia belum mengalami penurunan signifikan, sehingga implementasi kebijakan ini dinilai belum sekuat negara lain.

    Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?

    Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kombinasi regulasi tegas dan edukasi gizi sejak dini adalah kunci. Indonesia bisa mencontoh Meksiko dan Inggris yang berhasil menekan konsumsi gula dengan pajak minuman berpemanis.
    Dante menyinggung rencana penerapan regulasi sugar tax pada makanan dan minuman manis di Indonesia sedang dibahas dan segera diproses.

    “Nanti kita sedang membuat regulasi, untuk melakukan sugar tax pada makanan. Sugar tax pada makanan ini akan memberlakukan pajak kepada sejumlah tertentu gula yang ada. Tapi masih dalam pembahasan, masih dalam proses, nanti akan kita wujudkan kalo sudah diselesaikan,” pungkasnya.

    Pengalaman negara juga Chile membuktikan bahwa label gizi yang jelas di depan kemasan sangat membantu orang tua dalam memilih makanan yang lebih sehat. Di Indonesia, saat ini label gula, garam, lemak (GGL) berada di belakang kemasan, kecil, dan sulit dipahami. Agar lebih sederhana dan tegas, diperlukan adanya front of pack label. Front of pack label adalah informasi sederhana dari nutrisi makanan yang ada di depan kemasan.

    Dari Korea Selatan, Indonesia bisa belajar pentingnya pembatasan iklan dan penjualan junk food di sekitar sekolah. Sementara Jepang memberi teladan lewat program makan siang sekolah yang konsisten menanamkan kebiasaan makan sehat sejak kecil. Saat ini Indonesia sudah ada program Kantin Sehat dan Makan Bergizi Gratis (MBG), hanya tinggal meningkatkan monitoring pelaksanaannya lebih baik lagi.

    Singapura memperlihatkan bagaimana kampanye nasional yang terintegrasi, melibatkan sekolah, industri, hingga masyarakat, mampu mengubah perilaku konsumsi secara bertahap. Jika Indonesia mampu menggabungkan regulasi ketat dengan edukasi dan pengawasan di sekolah, peluang menekan angka obesitas anak akan jauh lebih besar.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video Wamenkes: Anak Gemuk Belum Berarti Sehat”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

  • Khofifah Murka Ada yang Main Paralayang di Gunung Bromo: Itu Kawasan Sakral

    Khofifah Murka Ada yang Main Paralayang di Gunung Bromo: Itu Kawasan Sakral

    Liputan6.com, Surabaya – Video aktivitas paralayang wisatawan di Gunung Bromo berdurasi 24 detik viral di media sosial. Dalam video tersebut tampak seorang berjaket putih terekam mengambil ancang-ancang dari ketinggian sebelum terbang solo dengan paralayangnya, menuju kawah Gunung Bathok, yang lokasinya berdekatan dengan Gunung Bromo.

    Video itu langsung mendapat sorotan dari berbagai pihak, lantaran pengelola Gunung Bromo melarang aktivitas paralayang di gunung tersebut. 

    Belakangan diketahui, penerbang paralayang itu merupakan wisman asal Korea Selatan. Wisman tersebut diketahui sengaja membawa parasut paralayang dan mendarat di laut pasir sekitar Gunung Batok.

     

    Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TNBTS Septi Eka Wardhani, menyayangkan terjadinya aktivitas dalam video viral tersebut. Septi Ekameminta masyarakat yang mengetahui berbagai informasi menyangkut penerbangan paralayang dalam rekaman video tersebut agar segera menyampaikan kepada pihak Balai Besar TNBTS. Pihaknya menyayangkan aktivitas tersebut karena paralayang dilarang diterbangkan di dalam kawasan taman nasional tersebut.

    “Kami tidak mengizinkan, apalagi kawasan Bromo adalah wilayah yang sakral bagi masyarakat Tengger,” katanya.

    Sikap yang sama juga diutarakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Khofifah meminta masyarakat menjaga kelestarian serta kesakralan Gunung Bromo karena kawasan itu merupakan kawasan konservasi, warisan budaya Tengger, dan bagian Cagar Biosfer UNESCO.

    Khofifah dalam keterangannya Minggu (14/9/2025), menyampaikan apresiasi atas langkah cepat Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS) yang menegaskan bahwa kegiatan paralayang di kawasan Bromo tidak berizin resmi dan dilarang. Menurut dia, sikap tersebut menunjukkan komitmen menjaga Bromo sebagai kawasan konservasi.

    “Saya menghargai perhatian yang telah ditunjukkan BB TNBTS atas viralnya aktivitas paralayang di Gunung Bromo. Sebagai Gubernur Jawa Timur, saya ingin menegaskan bahwa kita harus menjaga Bromo tidak hanya sebagai destinasi wisata tetapi juga sebagai kawasan konservasi, warisan budaya masyarakat Tengger yang sakral, serta bagian dari Cagar Biosfer UNESCO,” ujar Khofifah.

    Dirinya juga menegaskan, seluruh aktivitas wisata di Bromo wajib mengikuti regulasi yang berlaku, termasuk aturan konservasi dan perizinan resmi.

    Baginya, tidak boleh ada toleransi terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan, mengabaikan keselamatan wisatawan, atau mengganggu nilai budaya setempat.

    “Saya meminta semua pihak mulai dari pemerintah, BB TNBTS, aparat keamanan, penyedia jasa wisata, dan masyarakat untuk bersinergi memperkuat pengawasan serta penegakan hukum. Turis asing maupun lokal yang melanggar akan ditertibkan sesuai peraturan,” katanya.

     

  • Khofifah Murka Ada yang Main Paralayang di Gunung Bromo: Itu Kawasan Sakral

    Khofifah Murka Ada yang Main Paralayang di Gunung Bromo: Itu Kawasan Sakral

    Liputan6.com, Surabaya – Video aktivitas paralayang wisatawan di Gunung Bromo berdurasi 24 detik viral di media sosial. Dalam video tersebut tampak seorang berjaket putih terekam mengambil ancang-ancang dari ketinggian sebelum terbang solo dengan paralayangnya, menuju kawah Gunung Bathok, yang lokasinya berdekatan dengan Gunung Bromo.

    Video itu langsung mendapat sorotan dari berbagai pihak, lantaran pengelola Gunung Bromo melarang aktivitas paralayang di gunung tersebut. 

    Belakangan diketahui, penerbang paralayang itu merupakan wisman asal Korea Selatan. Wisman tersebut diketahui sengaja membawa parasut paralayang dan mendarat di laut pasir sekitar Gunung Batok.

     

    Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TNBTS Septi Eka Wardhani, menyayangkan terjadinya aktivitas dalam video viral tersebut. Septi Ekameminta masyarakat yang mengetahui berbagai informasi menyangkut penerbangan paralayang dalam rekaman video tersebut agar segera menyampaikan kepada pihak Balai Besar TNBTS. Pihaknya menyayangkan aktivitas tersebut karena paralayang dilarang diterbangkan di dalam kawasan taman nasional tersebut.

    “Kami tidak mengizinkan, apalagi kawasan Bromo adalah wilayah yang sakral bagi masyarakat Tengger,” katanya.

    Sikap yang sama juga diutarakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Khofifah meminta masyarakat menjaga kelestarian serta kesakralan Gunung Bromo karena kawasan itu merupakan kawasan konservasi, warisan budaya Tengger, dan bagian Cagar Biosfer UNESCO.

    Khofifah dalam keterangannya Minggu (14/9/2025), menyampaikan apresiasi atas langkah cepat Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS) yang menegaskan bahwa kegiatan paralayang di kawasan Bromo tidak berizin resmi dan dilarang. Menurut dia, sikap tersebut menunjukkan komitmen menjaga Bromo sebagai kawasan konservasi.

    “Saya menghargai perhatian yang telah ditunjukkan BB TNBTS atas viralnya aktivitas paralayang di Gunung Bromo. Sebagai Gubernur Jawa Timur, saya ingin menegaskan bahwa kita harus menjaga Bromo tidak hanya sebagai destinasi wisata tetapi juga sebagai kawasan konservasi, warisan budaya masyarakat Tengger yang sakral, serta bagian dari Cagar Biosfer UNESCO,” ujar Khofifah.

    Dirinya juga menegaskan, seluruh aktivitas wisata di Bromo wajib mengikuti regulasi yang berlaku, termasuk aturan konservasi dan perizinan resmi.

    Baginya, tidak boleh ada toleransi terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan, mengabaikan keselamatan wisatawan, atau mengganggu nilai budaya setempat.

    “Saya meminta semua pihak mulai dari pemerintah, BB TNBTS, aparat keamanan, penyedia jasa wisata, dan masyarakat untuk bersinergi memperkuat pengawasan serta penegakan hukum. Turis asing maupun lokal yang melanggar akan ditertibkan sesuai peraturan,” katanya.

     

  • BYD dan Tesla Diprediksi Paling Rugi Jika Meksiko Terapkan Tarif Impor Mobil 50%

    BYD dan Tesla Diprediksi Paling Rugi Jika Meksiko Terapkan Tarif Impor Mobil 50%

    Bisnis.com, JAKARTA — Duo produsen mobil listrik BYD dan Tesla diprediksi akan menjadi pihak yang paling dirugikan dari tarif impor 50% yang diusulkan Meksiko terhadap mobil dari China.

    Kebijakan tersebut juga berpotensi memberikan pukulan bagi pasar mobil listrik yang sedang berkembang pesat di Meksiko, sementara produsen mobil tradisional “Big Three” AS, General Motors, Ford, dan Stellantis, terhindar dari dampak tersebut.

    Melansir dari Reuters, Minggu (14/9/2025), tarif yang diusulkan pada Rabu lalu, menargetkan mobil listrik dan bensin yang diimpor dari semua negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Meksiko, termasuk Korea Selatan, India, Indonesia, dan Rusia.

    Namun, dalam praktiknya, tarif tersebut akan berdampak paling besar pada mobil listrik yang diproduksi di China dan dijual di Meksiko, kata analis industri.

    Tarif ini berpotensi mengubah peta pasar mobil yang tumbuh paling cepat di Amerika Utara dan menghambat kenaikan pesat BYD di Meksiko. 

    Presiden Asosiasi Mobilitas Listrik Meksiko Eugenio Grandio menyampaikan bahwa selama setahun terakhir, Meksiko telah menaikkan tarif atas mobil listrik buatan China dari 0% menjadi 15% dan kini 50%. “Ini pasti menjadi game changer. Tarif 50% adalah angka yang sangat agresif,” ujarnya. 

    Rencana tersebut masih perlu disetujui oleh Kongres Meksiko, di mana partai Morena Presiden Claudia Sheinbaum memiliki mayoritas yang signifikan.

    Meskipun tarif yang diusulkan tampaknya bersifat luas, tarif tersebut sebenarnya akan mengabaikan produsen mobil “Big Three” AS yang sudah mapan. 

    Regulasi tersebut memungkinkan perusahaan otomotif yang memiliki pabrik di Meksiko untuk mengimpor persentase kendaraan bebas tarif dari negara-negara seperti China yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Meksiko. 

    Berbeda dengan Tesla dan BYD, ketiga produsen mobil AS tersebut telah memiliki pabrik di Meksiko. Alhasil, akan terbebas dari ancaman tarif 50% tersebut. 

    Sementara itu, rencana Tesla dan BYD untuk mendirikan operasi di Meksiko terhenti. Tesla menghentikan konstruksi pabriknya di utara Meksiko tahun lalu, dengan alasan tekanan suku bunga dan perlambatan ekonomi global. Pabrik yang direncanakan tersebut diperkirakan akan menjadi pabrik Tesla terbesar di dunia, menciptakan hingga 6.000 lapangan kerja lokal.

    Semua mobil Model 3 dan Model Y Tesla yang dijual di Meksiko sejak pertengahan 2023 diproduksi di pabrik Shanghai perusahaan tersebut, kata Salvador Rosas, wakil presiden Tesla Owners Club di Meksiko, sebuah kelompok penggemar yang berafiliasi dengan Tesla yang mengumpulkan nomor identifikasi kendaraan dari anggotanya.

    Grandio mengatakan Tesla kemungkinan memiliki persediaan mobil yang sudah ada di Meksiko, yang akan memberikan sedikit ruang gerak untuk mencoba beralih dan mengimpor mobil dari pabrik-pabrik lain di berbagai belahan dunia. Tesla tidak menanggapi permintaan komentar mengenai tarif yang diusulkan.

    Sementara itu, BYD mengumumkan rencana pada 2023 untuk membangun pabrik di Meksiko. Namun, rencana tersebut dibatalkan tahun ini akibat penolakan dari otoritas Meksiko, yang khawatir bahwa menyetujui pabrik China dapat memicu kemarahan Presiden AS Donald Trump dan mengancam hubungan perdagangan. 

    BYD mengatakan penghentian rencana pabrik tersebut karena ketidakpastian dari kebijakan perdagangan Trump, sementara Beijing juga menyatakan kekhawatiran tentang transfer teknologi ke Meksiko. Meskipun batal, BYD mengalami pertumbuhan pesat sejak masuk ke pasar Meksiko pada akhir 2023. 

    Produsen mobil China tersebut mengatakan telah menjual sekitar 40.000 mobil di Meksiko pada 2024, mewakili hampir setengah dari semua mobil listrik dan plug-in yang dijual di Meksiko tahun lalu. Pada Agustus, BYD mengumumkan bahwa penjualan di Meksiko telah meningkat dua kali lipat pada 2025.

    BYD mengandalkan biaya tenaga kerja yang rendah di China dan subsidi pemerintah untuk menjual mobil listriknya dengan harga termurah di dunia dan mengalahkan pesaingnya. BYD tidak dapat dihubungi untuk berkomentar tentang bagaimana tarif tersebut akan mempengaruhi harganya.

    Setelah Meksiko mengumumkan tarif yang diusulkan, China mendesak Meksiko untuk berpikir dua kali sebelum memberlakukan tarif tersebut dan mengatakan hal itu akan sangat mempengaruhi lingkungan bisnis Meksiko. 

    Sementara Presiden Asosiasi Produsen Komponen Otomotif Kanada Flavio Volpe mengatakan tarif yang diusulkan akan dilihat sangat positif oleh pemerintahan Trump karena akan memungkinkan produsen mobil AS untuk lebih mudah bersaing dengan BYD.