Negara: Korea Selatan

  • KTT APEC 2025: Momen Keakraban Xi Jinping dan Prabowo di Sesi Foto Bersama

    KTT APEC 2025: Momen Keakraban Xi Jinping dan Prabowo di Sesi Foto Bersama

    Bisnis.com, GYEONGJU — Terdapat momen menarik dari formasi sesi foto bersama (family photo) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC 2025 di Gyeongju, Korea Selatan, memperlihatkan posisi strategis Presiden Prabowo Subianto, yang berdiri di barisan depan bersama para pemimpin utama kawasan Asia Pasifik.

    Berdasarkan pantauan Bisnis, dari susunan yang terlihat, Presiden Prabowo berdiri di barisan depan diapit oleh Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung selaku tuan rumah di sisi kiri dan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi di sisi kanan.

    Bahkan, sebelum memulai sesi foto terlihat orang nomor satu di Indonesia itu menyalami tangan dari Presiden China Xi Jinping dan melakukan obrolan dengan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Christopher Luxon.

    Posisi ini berbeda saat agenda APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM), di mana dalam sesi pertemuan para pemimpin ekonomi Asia-Pasifik, Prabowo duduk diapit oleh Kepala Eksekutif Hong Kong (China) John Lee di sebelah kiri, dan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi di sebelah kanan.

    Namun, pengaturan penempatan kursi ini ternyata mengikuti urutan alfabet berdasarkan nama ekonomi anggota APEC, yang menjadi tradisi resmi dalam setiap pertemuan tingkat tinggi AELM.

    Di barisan yang sama untuk sesi foto, juga berdiri para pemimpin dari Malaysia, Selandia Baru, dan Filipina di sisi kanan Prabowo, serta China, Chile, dan Kanada di sisi kiri. Sedangkan di barisan belakang tampak sejumlah kepala pemerintahan dari Amerika Serikat, Vietnam, Thailand, Singapura, Rusia, hingga Meksiko dan Peru.

    Penempatan posisi dalam family photo APEC bukan sekadar simbol protokoler, melainkan juga mencerminkan status diplomatik dan kontribusi ekonomi tiap negara anggota dalam forum kerja sama tersebut.

    Dengan ditempatkannya Presiden Prabowo di barisan tengah, Indonesia menunjukkan pengakuan atas peran aktifnya dalam isu rantai pasok global, transisi energi, dan kemitraan strategis lintas kawasan.

    “Dan kami semua telah belajar dari sejarah bahwa Indonesia telah memimpin pembentukan semangat [di KTT Asia-Afrika] Bandung. Dan jika melihat elemen-elemen kunci dari semangat Bandung, itu adalah keseimbangan, otonomi strategis, kerja sama, dan pragmatisme. Dan nilai-nilai ini merupakan pilar yang sangat kuat bagi kebijakan luar negeri Korea Selatan,” kata Lee Jae-myung saat melakukan pertemuan bilateral dengan Prabowo.

  • Negara Maju kalau Rakyatnya Produktif

    Negara Maju kalau Rakyatnya Produktif

    Jakarta

    Menteri Koordinator Bidang Pangan Zukifli Hasan atau Zulhas mengusulkan agar penyaluran bantuan sosial tidak selamanya dilakukan. Menurutnya, kunci menjadi negara maju adalah dengan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia (SDM).

    “Kami meyakini negara itu akan maju, kalau dia produktif. Tidak mungkin bangsa itu maju kalau tidak produktif rakyatnya. Kami buka tidak setuju bantuan sosial, tentu itu bagus. Tetap kalau bantuan sosial, orang susah kasih beras, orang susah kasih uang, berpuluh-puluh tahun, saya kira itu mesti dikaji,” kata dia dalam Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia & Indonesia Fintech Summit 2025 di JCC, Jakarta, Sabtu (1/11/2025).

    Zulhas menyebut, sebenarnya Indonesia terus mengalami kemajuan. Pada era 1980-an, menurutnya Indonesia menjadi negara yang disegani, bahkan oleh China. Pada saat itu, Indonesia sudah punya perusahaan yang bisa membuat pesawat, pabrik pupuk, hingga manufaktur kapal.

    Zulhas meyakini bukan tidak mungkin Indonesia dapat mencapai ekonomi 7-8%. Karena pada zaman reformasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencapai 7,5% selama puluhan tahun.

    “Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 7,5% puluhan tahun, bukan satu tahun. Jadi, kalau kita punya target pertumbuhan 7-8%, dikatakan mustahil, kita pernah mengalami puluhan tahun,” jelasnya.

    Namun, pekerjaan rumah (PR) Indonesia dalam meningkatkan perekonomian masih banyak tantangan. Kondisi perekonomian Indonesia diakui masih tertinggal dibandingkan China, Korea Selatan, bahkan Malaysia.

    Ia menuturkan, saat ini pendapatan perkapita Malaysia telah mencapai US$ 12.000, dan Thailand US$ 8.000. Melihat ketertinggalan itu, menurut Zulhas kuncinya ada di produktivitas SDM.

    “Kita masih US$ 4.000 lebih. Kenapa? (Tertinggal) karena mereka produktif,” tegasnya.

    Oleh sebab itu, saat ini pemerintah sudah punya program peningkatan produktivitas ketahanan pangan dan program makan bergizi gratis (MBG).

    “Kenapa makanan bergizi? Kenapa kita kalah cepat sama negara lain? Tentu kuncinya sumber daya manusia. Tidak mungkin negara itu maju atau miskin, itu tergantung cara ngelolanya, tergantung produktivitasnya. Artinya tergantung kepada manusianya, tergantung kepada sumber daya manusianya,” pungkasnya.

    (ada/fdl)

  • Prabowo Ucapkan Selamat ke Presiden Lee Jae-myung: KTT APEC 2025 Korsel Sukses!

    Prabowo Ucapkan Selamat ke Presiden Lee Jae-myung: KTT APEC 2025 Korsel Sukses!

    Bisnis.com, GYEONGJU — Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melaksanakan pertemuan bilateral dengan Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung di sela rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC 2025, yang digelar di Ruang Bilateral, Hwabaek International Convention Center, Sabtu (1/11/2025). 

    Dalam sambutannya, Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi atas sambutan hangat serta kepemimpinan Presiden Lee dalam penyelenggaraan KTT APEC tahun ini yang dinilai sangat profesional dan tertib.

    “Terima kasih banyak, Yang Mulia Presiden Lee Jae-myung, dan para pemimpin terhormat dari pemerintah Republik Korea. Sungguh suatu kehormatan bagi saya untuk berada di sini dan bertemu langsung dengan Anda,” ujar Presiden Prabowo.

    Prabowo juga menyampaikan permohonan maaf karena belum sempat melakukan kunjungan kenegaraan resmi ke Korea Selatan, seraya menegaskan keinginannya untuk segera merealisasikannya dalam waktu dekat. 

    “Saya mohon maaf karena tidak dapat melaksanakan kunjungan kenegaraan ini, tetapi saya berharap kita dapat melakukannya sesegera mungkin. Mohon Menteri Luar Negeri, usahakan untuk mengorganisasi sesegera mungkin,” ujarnya.

    Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo juga memberikan ucapan selamat kepada Presiden Lee atas suksesnya pelaksanaan KTT APEC 2025.

    “Saya ingin mengucapkan selamat kepada Anda atas kepemimpinan Anda di APEC. Acara ini diselenggarakan dengan sangat baik, sangat efisien, dan selalu tepat waktu, selalu tepat waktu,” tutur Prabowo, disambut senyum dan apresiasi dari Presiden Lee.

  • Prabowo Sapa Annyeong ke Lee Jae-Myung: Anak Muda Indonesia Gila K-Pop

    Prabowo Sapa Annyeong ke Lee Jae-Myung: Anak Muda Indonesia Gila K-Pop

    Bisnis.com, GYEONGJU — Presiden Prabowo Subianto menyampaikan apresiasinya atas penyelenggaraan KTT APEC yang dinilai sangat tertib dan berkelas, sekaligus menyelipkan pujian untuk kekuatan budaya pop Korea (K-pop) yang mendunia.

    Dalam suasana hangat dan bersahabat, Presiden Prabowo pun menyapa Presiden Korea Selatan dengan mengatakan annyeong atau yang artinya halo dalam bahasa Indonesia.

    Hal ini dia sampaikan saat melaksanakan pertemuan bilateral dengan Presiden Lee Jae-myung di sela agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC 2025, yang berlangsung di Ruang Bilateral, Hwabaek International Convention Center, Sabtu (1/11/2025).

    “Saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas jamuan makan malam yang indah tadi malam. Sangat menarik, dan saya yakin Korea akan menaklukkan dunia dengan musik dan tarian Anda,” ujar Presiden Prabowo dengan nada bersahabat.

    Presiden Prabowo menambahkan, fenomena K-pop telah menjadi bagian dari keseharian generasi muda Indonesia.

    “Semua anak muda Indonesia, mereka semua tergila-gila dengan K-pop,” ujarnya disambut senyum hangat Presiden Lee dan delegasi Korea Selatan.

    Pernyataan ringan tetapi sarat makna tersebut mencerminkan kedekatan hubungan kedua negara, tidak hanya dalam bidang ekonomi dan pertahanan, tetapi juga dalam dimensi budaya dan masyarakat.

    Korea Selatan saat ini merupakan salah satu mitra strategis Indonesia di kawasan Asia Timur, dengan kerja sama yang meluas mulai dari industri kreatif, teknologi, energi terbarukan, hingga proyek pertahanan bersama seperti KF-21 Boramae.

  • Prabowo Bertemu Presiden Korsel, Bahas Kelanjutan Jet Tempur KF-21

    Prabowo Bertemu Presiden Korsel, Bahas Kelanjutan Jet Tempur KF-21

    Bisnis.com, GYEONGJU — Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung di sela agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC 2025, yang berlangsung di Hwabaek International Convention Center, Gyeongju, Sabtu (1/11/2025).

    Dalam kesempatan tersebut, Prabowo menyinggung keberlanjutan kerja sama dalam proyek pesawat tempur KF-21 Boramae, yang menjadi simbol kolaborasi teknologi pertahanan antara kedua negara.

    “Kerja sama pertahanan dengan Korea telah berjalan baik, dan kami ingin terus melanjutkan serta membahas tindak lanjut dari proyek KF-21. Negosiasi masih berlangsung, dan tentu hal ini berkaitan dengan aspek ekonomi, harga, serta skema pembiayaan,” ujar Prabowo.

    Orang nomor satu di Indonesia itu pun mendorong langkah konkret memperkuat kerja sama di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, investasi, energi baru terbarukan, hingga pertahanan antara Indonesia dan Korea Selatan.

    Prabowo menegaskan bahwa Korea Selatan merupakan salah satu mitra strategis utama Indonesia di kawasan Asia Timur, terutama dalam pengembangan industri dan teknologi.

    Dia menambahkan pembahasan teknis lanjutan proyek pesawat tempur KF-21 Boramae antara tim dari RI-Korsel akan terus berlanjut secara intensif.

    “Jadi, saya pikir para menteri kami akan terus berdiskusi dengan tim Anda, dan tim teknis kami juga akan melanjutkan hal ini,” tandas Prabowo.

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, total investasi dalam proyek pengembangan jet tempur KF-21 Boramae mencapai 8,1 triliun won atau Rp93 triliun (asumsi kurs Rp11,5 per won).

    Dalam kontrak kerja sama pembuatan KFX/IFX, pemerintah Korsel menanggung 60% pembiayaan dan sisanya dibagi rata (cost share) antara Indonesia dan Korea Aerospace Industry (KAI) masing-masing 20%.

    Dengan demikian, jumlah cost share yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia berkisar Rp24,8 triliun.

    Adapun, Indonesia baru membayar 17% dari kewajibannya dan 83 persen belum dilunasi hingga saat ini. Selama program berlangsung, Korsel terpaksa membayar sebagian besar cost share dari periode 2016—2022.

  • Trump-Xi Ulur Waktu, Tapi Kecurigaan Masih Mengakar

    Trump-Xi Ulur Waktu, Tapi Kecurigaan Masih Mengakar

    Jakarta

    Pertemuan berisiko tinggi antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pada Kamis lalu di Busan, Korea Selatan, semula digadang sebagai momentum meredakan ketegangan tarif global yang telah berlangsung berbulan-bulan. Namun, pertemuan itu hanya berlangsung 100 menit – jauh dari ekspektasi tiga sampai empat jam—dan hasilnya pun tipis.

    Trump menyebut pembicaraan itu berjalan “luar biasa”, bahkan memberi nilai 12 dari 10. Beijing lebih berhati-hati, sekadar menyerukan agar saluran komunikasi tetap terbuka. Bagi mereka yang berharap hubungan Washington–Beijing mencair, singkatnya pertemuan itu menjadi pengingat bahwa ketidakpercayaan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia masih mengakar dalam.

    Gencatan senjata taktis

    Trump mengumumkan sedikit rincian dari kesepakatan terbatas yang disampaikan Washington awal pekan itu: penundaan kenaikan tarif, pembatalan pembatasan ekspor logam tanah jarang, serta dimulainya kembali impor kedelai Amerika. Xi, lewat kantor berita Xinhua, menyebut kedua pemimpin mencapai “konsensus dasar” di bidang ekonomi dan perdagangan, seraya mengingatkan pentingnya kerja sama jangka panjang dan menghindari “siklus balas-membalas yang merugikan”.

    Deborah Elms, Direktur Hinrich Foundation di Hong Kong, menilai hasilnya “menarik tapi kabur.” Tak ada pernyataan bersama, tak ada konferensi pers. Pasar pun merespons datar: reli singkat saham Tiongkok memudar, sementara indeks berjangka Amerika melemah.

    “Pasar berharap banyak, tapi kecewa oleh minimnya detail,” kata Anna Wu, analis di Van Eck Associates. Ia menyebut kesepakatan itu sekadar “gencatan senjata taktis” dan memperingatkan volatilitas masih akan berlanjut.

    Tarik ulur Logam Tanah Jarang

    Trump mengklaim Cina sepakat menurunkan tarif 10 persen atas perdagangan terkait fentanyl, sebagai imbalan janji Beijing menekan peredaran opioid mematikan itu di AS. Ia juga menyebut adanya kesepakatan satu tahun untuk menjamin pasokan logam tanah jarang – bahan vital industri teknologi tinggi yang 70 persen dikuasai Tiongkok.

    Namun, seperti diingatkan ekonom Alicia Garcia-Herrero dari Natixis, kesepakatan itu belum jelas bagaimana izin ekspor akan dilonggarkan. “Logam tanah jarang tetap menjadi kartu truf Beijing,” ujarnya.

    Usai pembicaraan, Trump menulis di Truth Social bahwa Cina akan segera memulai pembelian energi Amerika dalam “transaksi besar-besaran”, termasuk minyak dan gas dari Alaska. Ia juga menyebut Cina akan membeli “jumlah luar biasa besar” kedelai dan hasil pertanian lain. Beijing, lagi-lagi, memilih nada hati-hati: kedua pihak, katanya, akan “memperkuat kerja sama di bidang energi dan perdagangan.”

    Uji Nuklir, gelagat Perang Dingin?

    Beberapa jam sebelum bertemu Xi, Trump mengumumkan rencana Amerika melanjutkan uji coba nuklir—yang pertama dalam 33 tahun—dengan fokus pada kemampuan kapal selam. Ia menyebut langkah itu demi “menyamakan kedudukan” dengan para rival.

    Langkah itu memicu kecaman para ahli pengendalian senjata. Garcia-Herrero menyebut keputusan itu “menakutkan” dan memperingatkan pasar bisa bereaksi negatif bila eskalasi bergeser dari ekonomi ke nuklir.

    Damai yang rapuh

    Meski ada jeda sementara, pembicaraan Busan jauh dari terobosan. Persoalan mendasar—seperti perlindungan kekayaan intelektual, dominasi teknologi AI, hingga persaingan strategis—nyaris tak tersentuh.

    Kedua ekonomi raksasa itu masih tertekan dampak perang dagang yang hampir setahun berjalan: tarif tinggi, rantai pasok terganggu, dan ketidakpastian investor menahan pertumbuhan. Krisis properti dan permintaan domestik yang lesu terus membebani ekonomi Tiongkok. Amerika pun bergulat dengan inflasi dan melemahnya industri manufaktur.

    Gencatan ini mungkin memberi napas pendek, tapi tanpa reformasi mendalam dan kerja sama berkelanjutan, ancaman eskalasi baru tinggal menunggu waktu.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Trump-Kim Jong Un Terlihat Masih Ingin Akur, Apa Alasannya?

    Trump-Kim Jong Un Terlihat Masih Ingin Akur, Apa Alasannya?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengonfirmasi bahwa ia tidak akan bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, selama kunjungan dinasnya ke Asia. Alasannya: gagal “mengatur jadwal yang tepat.”

    Sehari sebelum Trump tiba di Korea Selatan untuk KTT APEC, Korea Utara menguji coba rudal jelajah di lepas pantai baratnya.

    Padahal, awal pekan ini Trump sempat menyatakan bahwa ia akan “senang sekali bertemu” Kim. Bahkan dia menawarkan diri untuk kembali mengunjungi Korea Utara.

    Sebelumnya, sekitar enam tahun lalu, Donald Trump mencetak sejarah dengan menjadi Presiden AS aktif pertama yang menginjakkan kaki di Korea Utara.

    Sepanjang masa jabatan pertamanya (20182019), ia tercatat bertemu dengan Kim Jong Un sebanyak tiga kali.

    Namun kini, alur komunikasi antara kedua negara tersebut diselimuti ketidakjelasan.

    Amerika Serikat kukuh pada tujuan utamanya, yaitu denuklirisasi total di Semenanjung Korea. Namun, Kim yang menolak itu dan terus mengembangkan senjata nuklirnya telah menganggap tuntutan ini sebagai “obsesi kosong” yang harus ditinggalkan Barat.

    “Mereka punya banyak senjata nuklir, tapi tidak banyak layanan telepon.”

    Meskipun demikian, bulan lalu, Kim secara mengejutkan mengumumkan niatnya untuk melanjutkan dialog dengan AS, seraya mengatakan ia memiliki “kenangan baik tentang Presiden Trump.”

    Korea Selatan telah menangguhkan kunjungan wisatawan ke “desa gencatan senjata” zona demiliterisasi, Panmunjom, tempat pertemuan Trump-Kim terakhir diadakan, pada tahun 2019. (Reuters)

    Meskipun pertemuan antara Trump dan Kim kali ini batal, beberapa analis meyakini Amerika Serikat kemungkinan besar akan tetap melanjutkan keterlibatan diplomatik dengan Korea Utara.

    Bukan rahasia lagi bahwa Presiden Trump, yang menampilkan dirinya sebagai pembawa perdamaian global, mengincar penghargaan Nobel Perdamaian.

    Awal pekan ini, dalam perhentian pertamanya di Asia, Trump mengunjungi Malaysia untuk ambil bagian dalam penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja.

    Pada Juli lalu, kedua negara itu melakukan pertempuran yang terburuk dalam satu dekade, yang menewaskan puluhan orang.

    Mungkin Anda tertarik:

    Setelahnya, Trump mengklaim telah mengakhiri delapan perang dalam delapan bulan.

    “Saya tidak boleh menyebutnya sebagai hobi, karena ini jauh lebih serius, tetapi ini adalah sesuatu yang saya kuasai dan sukai,” ujarnya.

    “Akan ada dorongan untuk mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea, yang dapat dikatakan sebagai tempat ‘terpanas’ di Asia Timur Laut, menormalisasi hubungan AS dan Korea Utara, dan bahkan menyelesaikan isu nuklir Korea Utara,” kata Kim Jae-chun, profesor hubungan internasional dari Universitas Sogang.

    Cho Han-beom, peneliti senior di Korean Institute for National Unification, sependapat. Ia menyebut Korea Utara sebagai “kepingan puzzle terakhir” yang tersisa.

    “Bahkan jika masalahnya tidak terselesaikan sepenuhnya, hal itu bisa menjadi jalan pintas menuju Hadiah Nobel Perdamaian karena dapat membangun citra bahwa masalah keamanan utama telah teratasi,” jelasnya.

    Pada September 2025, Kim terlihat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin China Xi Jinping selama parade militer China. (Reuters)

    Korea Utara telah muncul dalam posisi yang lebih kuat sejak pertemuan terakhir antara Trump dan Kim pada 2019.

    “Rezim Korea Utara telah memasuki periode stabilitas,” ujar Profesor Kang In-deok dari Universitas Kyungnam, yang pernah menjabat sebagai Menteri Unifikasi Korea Selatan pada akhir 1990-an.

    Pada September 2025, Kim Jong Un tertangkap kamera bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin China Xi Jinping, selama parade militer China yang memperingati 80 tahun kemenangan atas Jepang di Perang Dunia II.

    Ini adalah penampilan publik pertama ketiga pemimpin tersebut secara bersamaan.

    Korea Utara telah menjalin aliansi militer dengan Rusia. Tahun lalu, kedua negara yang dikenai sanksi oleh Barat itu menandatangani perjanjian pertahanan bersama.

    Mereka sepakat untuk “segera memberikan bantuan militer dan bantuan lain dengan menggunakan semua sarana yang tersedia” jika salah satu menghadapi agresi.

    Pada Januari 2025, pejabat Barat melaporkan kepada BBC bahwa Korea Utara telah mengirim sekitar 11.000 tentara untuk berperang bagi Rusia di Ukraina.

    Sebagai imbalannya, Korea Utara diperkirakan akan menerima bantuan finansial dan teknologi.

    Sementara itu, hubungan ekonomi Pyongyang dengan China juga menguat secara signifikan. Data bea cukai China menunjukkan, perdagangan antara kedua negara meningkat sebesar 33%, mencapai US$1,05 miliar pada paruh pertama tahun 2025.

    Para analis menyebut China sempat menjaga jarak dari Korea Utara karena hubungan militernya yang semakin mendalam dengan Rusia.

    Namun, kini, dengan Washington dan Seoul yang kembali menunjukkan minat untuk memperbaiki hubungan dengan Pyongyang, Beijing tampaknya juga berusaha merapatkan barisan.

    Dalam tatanan dunia yang baru ini, dibandingkan dengan 2018 dan 2019, prospek pencabutan sanksi AS telah kehilangan sebagian urgensinya bagi Korea Utara, ujar Profesor Kang.

    Reportase dan penyuntingan tambahan oleh Grace Tsoi dan Olga Sawczuk, BBC World Service

    (ita/ita)

  • Trump Sebut AS Akan Uji Coba Nuklir Jika Negara Lain Juga Melakukan

    Trump Sebut AS Akan Uji Coba Nuklir Jika Negara Lain Juga Melakukan

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan akan melakukan uji coba nuklir apabila negara lain juga melakukan hal serupa. Dia menyebut akan melakukan beberapa uji coba.

    “Kami akan melakukan beberapa uji coba, ya, dan negara lain melakukannya. Jika mereka akan melakukannya, kami akan melakukannya,” ujar Trump dilansir AFP, Sabtu (1/11/2025).

    Trump tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis nuklir yang akan diuji coba, serta negara mana yang menjadi acuan dalam pernyataannya tersebut.

    Sebelumnya, Trump pada Kamis (30/10) saat sedang berada di Korea Selatan (Korsel), secara mengejutkan mengumumkan bahwa dirinya telah memerintahkan Departemen Pertahanan AS atau Pentagon untuk segera memulai kembali uji coba senjata nuklir –pertama kalinya setelah moratorium selama 33 tahun.

    Pengumuman itu disampaikan Trump setelah Rusia melakukan uji coba rudal Burevestnik yang berkemampuan nuklir dan drone Poseidon yang juga bertenaga nuklir dalam beberapa hari terakhir. Trump bahkan menyinggung soal nuklir Rusia dan China dalam pernyataannya.

    “Proses itu akan segera dimulai,” cetusnya.

    China, dalam tanggapannya, mengingatkan AS untuk “secara sungguh-sungguh mematuhi” larangan uji coba nuklir global.

    Sementara Rusia lebih berhati-hati dalam memberikan komentar, dengan Kremlin mengatakan pihaknya tidak melakukan uji coba semacam itu, namun akan mengikutinya jika Washington melakukannya.

    Iran mengkritik langkah semacam itu sebagai langkah yang “regresif dan tidak bertanggung jawab”.

    (dek/dek)

  • Usai Pertemuan APEC, RI Lanjut Bujuk AS Kasih Tarif 0%

    Usai Pertemuan APEC, RI Lanjut Bujuk AS Kasih Tarif 0%

    Jakarta

    Indonesia masih negosiasi tarif dengan Amerika Serikat (AS) untuk produk kelapa sawit, kakao, karet, hingga mineral. Melalui negosiasi ini, pemerintah berharap bisa mendapatkan tarif 0% untuk produk tersebut masuk ke AS.

    Jika tidak ada halangan, negosiasi dengan AS akan digelar usai KTT APEC Korea Selatan.

    “Negosiasi dengan Amerika kita akan lanjutkan sesudah APEC ini. Komuditas yang di-nol-kan hampir sama dengan Malaysia yang tidak bisa di produksi Amerika Serikat, sawit, cocoa, rubber, dan laiinya,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis, Jumat (31/10/2025).

    Sementara untuk komoditas mineral krisis, terang Airlangga, negosiasi akan dilakukan secara terpisah.

    “Critical mineral pembahasan sendiri terkait dengan suplay chain dan dalam joint statement kita sebutnya sebagai industrial communitie,” jelasnya.

    Meski begitu, Airlangga mengatakan tarif sebesar 19% dari AS untuk Indonesia sudah bersifat final. Negosiasi lanjutan hanya untuk beberapa komoditas yang dikecualikan.

    “Yang 19% sudah final. Jadi tinggal mencari komoditas-komoditas yang dikecualikan. Dan yang kedua, yang paling banyak bukan mengenai tarif, tapi non tarif barrier,” tutur Airlangga.

    (hns/hns)

  • Bos Danantara Ungkap Lotte Tawarkan Porsi 35% di Proyek Petrokimia

    Bos Danantara Ungkap Lotte Tawarkan Porsi 35% di Proyek Petrokimia

    Jakarta

    Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) Rosan Roeslani mengungkapkan tawaran dari perusahaan raksasa asal Korea Selatan, Lotte.

    Menurut Rosan, Lotte menawarkan Danantara ikut terlibat dalam proyek Petrokimia di Cilegon, dengan porsi saham 35%.

    “Di chemical product, yang di mana kebetulan ada diskusi juga dengan Danantara untuk ikut masuk di dalam perusahaan chemical-nya Lotte yang akan diresmikan ini,” ujar Rosan di sela agenda KTT APEC 2025 di Ruang Agenas, Hotel Lahan Select Gyeongju, Korea Selatan, dalam keterangan tertulis Jumat (31/10/2025).

    “Mereka menawarkan 35% tapi ya kita sedang mulai kaji karena ini kan produk yang sangat baik ya dan ini proyek juga sudah selesai. Risikonya juga lebih terukur kita bisa lihat potensi-potensi ke depannya sekarang saya perintahkan untuk segera mengkaji penawaran dari Lotte ini,” terang Rosan.

    Rencananya, kata Rosan, para petinggi Lotte akan berkunjung ke Indonesia pada 6 November untuk membahas tawaran tersebut. Di sisi lain, Lotte telah mengguyur investasi senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 66,63 triliun (kurs Rp 16.659/US$), di Indonesia

    (hns/hns)