Negara: Kamboja

  • Indonesia bahas tarif resiprokal dengan negara ASEAN lainnya

    Indonesia bahas tarif resiprokal dengan negara ASEAN lainnya

    Presiden Prabowo Subianto bahas resiprokal dengan pemimpin ASEAN seperti Malaysia. Foto: Setpres

    Indonesia bahas tarif resiprokal dengan negara ASEAN lainnya
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Sabtu, 05 April 2025 – 16:50 WIB

    Elshinta.com Presiden Prabowo Subianto bersama pemimpin empat negara anggota ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Brunei, Filipina dan Singapura, berkomunikasi untuk membahas respons terhadap kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik dari Amerika Serikat (AS) yang diumumkan Presiden AS Donald Trump.

    Seperti diketahui, Rabu (2/4/2025) lalu, Trump mengumumkan penerapan tarif minimal 10 persen terhadap semua impor barang dari seluruh dunia, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif impor 32%.

    Dalam menghadapi hal tersebut, Prabowo melakukan telewicara dan bertukar pandangan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong.

    “Hari ini saya berkesempatan melakukan diskusi melalui telepon dengan para pemimpin negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Singapura, untuk memperoleh pandangan dan mengoordinasikan tanggapan bersama mengenai masalah tarif timbal balik oleh Amerika Serikat (AS),” ujar Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam akun Instagram @anwaribrahim_my, dikutip Sabtu (5/4/2025).

    Ia juga mengatakan bahwa pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang akan digelar pada Minggu depan akan menindaklanjuti pembicaraan terkait solusi terbaik menghadapi penerapan tarif resiprokal AS tersebut.

    “Insyaallah, Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN minggu depan akan terus membahas masalah ini dan mencari solusi terbaik bagi seluruh negara anggota,” sambungnya.

    Tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap negara-negara ASEAN yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam 24%, Filipina 17%, Singapura 10%, Kamboja 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, Myanmar 44% dan Thailand 36%.

    Penulis: Hutomo Budi/Ter

    Sumber : Radio Elshinta

  • Prabowo bersama empat pemimpin negara ASEAN atur strategi hadapi tarif Trump

    Prabowo bersama empat pemimpin negara ASEAN atur strategi hadapi tarif Trump

    Jakarta (ANTARA) – Presiden RI Prabowo Subianto bersama empat pemimpin negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengatur strategi untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik Amerika Serikat yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump.

    Tim Media Presiden Prabowo Subianto dalam siaran resminya di Jakarta, Sabtu, menjelaskan keempat pemimpin itu berdiskusi melalui sambungan telepon.

    “Presiden Prabowo melakukan telewicara dan bertukar pandangan dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong,” demikian siaran resmi Tim Media Presiden Prabowo.

    Dalam kesempatan terpisah, PM Malaysia Anwar Ibrahim mengungkap isi pembicaraan tersebut dalam akun sosial media pribadinya. PM Anwar menyebut dirinya bersama Presiden Prabowo, Presiden Marcos, dan PM Wong berbagi pandangan masing-masing terkait kebijakan tarif Trump, dan mengoordinasikan respons bersama terhadap kebijakan tersebut.

    “Hari ini saya berkesempatan melakukan diskusi melalui telepon dengan para pemimpin negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Singapura untuk memperoleh pandangan dan mengoordinasikan tanggapan bersama mengenai masalah tarif timbal balik oleh Amerika Serikat,” kata PM Anwar sebagaimana dikutip dari akun media sosial resminya di Jakarta, Sabtu.

    PM Anwar menyebut menteri ekonomi dari negara-negara ASEAN bakal bertemu minggu depan untuk membahas respons bersama terhadap kebijakan tarif Trump tersebut.

    “Insyaallah, pertemuan menteri ekonomi ASEAN minggu depan akan terus membahas masalah ini, dan mencari solusi terbaik bagi seluruh negara anggota,” kata PM Anwar.

    Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara termasuk Indonesia, yang efektif 3 hari setelah diumumkan.

    Kebijakan Trump itu bakal diterapkan secara bertahap, yaitu mulai dari pengenaan tarif umum 10 persen untuk seluruh negara terhitung sejak tanggal 5 April 2025, kemudian tarif khusus untuk sejumlah negara termasuk Indonesia mulai berlaku pada 9 April 2025 pukul 00.01 EDT (11.01 WIB).

    Dari kebijakan baru itu, Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

  • Dampak Perang Dagang Trump, Masyarakat Tidak Usah Panik, Saatnya Indonesia Bersatu – Halaman all

    Dampak Perang Dagang Trump, Masyarakat Tidak Usah Panik, Saatnya Indonesia Bersatu – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo diharapkan sesegera mungkin bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk melakukan negoisasi ulang terkait tarif timbal balik AS (resiprokal) ke Indonesia sebesar 32 persen. Tarif ini di luar tarif dasar yang diketok Trump di hari yang sama 10 persen.

    Hal ini disarankan oleh Silfester Matutina, Direktur Merah Putih Institut dan juga Ex Wakil Ketua TKN Prabowo Gibran Sabtu, 5 April 2025 ketika dimintai tanggapan oleh Media mengenai langkah-langkah apa yang akan dilakukan oleh Indonesia menghadapi Kebijakan Penerapan Tarif Impor oleh Pemerintahan Amerika Serikat tersebut.

    “Yang harus kita garisbawahi bahwa pemberlakuan tarif impor ini dilakukan oleh Presiden Trump kepada hampir 180 Negara kecuali Rusia, Belarus, Kuba dan Korea Utara.Jadi bukan hanya khusus kepada Indonesia, ” ujarnya.

    Menurut dia  ini bukan perang dagang khusus antara Indonesia dan Amerika.

    “Dan ini dilakukan oleh Trump untuk mengamankan ekonomi negaranya tanpa ambil pusing dampak buruk kepada negara negara lainnya juga  iklim ekonomi dan politik dunia,” ujarnya.

    Untuk itu Silfester mengatakan harus sangat hati-hati meresponnya dan tidak perlu panik apalagi ikut ikutan perang dagang dan  bereaksi keras seperti Kanada, China dan lainnya. 

    “Indonesia juga tidak perlu ikut ikutan memboikot produk Amerika. Kita Bangsa Indonesia harus bersatu dan optimis bahwa kita dapat melalui situasi sulit ini dengan baik seperti yang terjadi sewaktu Krisis Moneter tahun 1998 dan Pandemi Covid 19,” ujarnya.

    Kata dia oleh karena itu tidak perlu  menjadi takut dan khawatir sehingga seolah olah akan terjadi krisis ekonomi dan politik di bangsa kita.

    Dan juga sebaiknya kita tetap harus tenang dan mencari solusi yang terbaik untuk sama sama bersatu menghadapinya. 

    Kepada  para pengamat, politisi, Praktisi Ekonomi dan Pengambil Kebijakan hendaknya tidak memberikan pernyataan yang negatif dan pesimistis yang memanaskan situasi dan membuat ketakutan di Bangsa Kita.

    Tentunya kita harus memberikan dukungan dan kepercayaan kepada Presiden Prabowo dan pihak terkait agar mengambil kebijakan yang cerdas dan terukur sehingga tidak merugikan Indonesia melainkan nantinya malah bisa menguntungkan Indonesia. 

    Untuk itu hal pertama tentunya kita meminta sesegera mungkin Presiden Prabowo langsung menegoisasikan ulang dengan Presiden Trump mengenai Penerapan tarif resiprokal
    ini kepada Indonesia. Hingga tidak merugikan perekonomian kita. Memang sebaiknya Presiden Prabowo yang langsung bertemu,jangan diwakilkan oleh bawahannya karena pengambil keputusan adalah Presiden Amerika Donald Trump langsung dan Presiden Prabowo langsung juga.

    Yang kedua tentunya Indonesia harus melakukan diversifikasi market ekspor bukan hanya ke Amerika atau China melainkan ke negara negara lainnya.

    Yang ketiga tentunya Pemerintah Presiden Prabowo juga harus secepatnya melakukan pertemuan, memberikan kemudahan dan konsolidasi dengan ekportir Indonesia yang terdampak dan pihak terkait lainnya untuk mencari jalan keluar terbaik.

    Dan yang keempat kita harus cerdas mengambil peluang berpindahnya investasi dari negara negara yang dikenakan tarif impor lebih tinggi dari Indonesia seperti Vietnam 46 persen,Kamboja 49% atau China 36%, untuk itu diperlukan stimulus dan relaksasi atas kebijakan Investasi. 

    Yang kelima kita harus benar benar melakukan riset dan survey yang valid mengenai realisasi ekspor dan impor,daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi sehingga kita bisa melakukan program dan rencana yang solutif dan terukur dan tidak bias atas opini opini negatif yang sengaja dihembuskan untuk menghancurkan bangsa kita. 

    Demikian dikatakan oleh Silfester Matutina, Ketum Solidaritas Merah Putih yang juga seorang Pebisnis dan Advokat.

     

  • Momen Prabowo Berbincang via Telepon dengan Pemimpin Negara Asean Soal Tarif Trump

    Momen Prabowo Berbincang via Telepon dengan Pemimpin Negara Asean Soal Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto berbincang dengan sejumlah pemimpin negara di Asean untuk menyiapkan respons terhadap kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. 

    Sebagaimana diketahui, negara-negara Asean termasuk Indonesia diganjar dengan tarif impor dasar 10% dan sebagian besar terkena tarif timbal balik atau resiprokal yang lebih tinggi. Beberapa negara Asean, termasuk Indonesia juga, masuk dalam daftar sejumlah negara yang dinilai memiliki hambatan tinggi atas perdagangan AS karena mencetak surplus. 

    Adapun perbincangan Prabowo dan empat pemimpin negara Asean itu terekam dalam dua penggalan video masing-masing berdurasi sekitar 20 detik dan 30 detik. 

    Indonesia, yang diganjar tarif impor resiprokal 32%, lalu berbincang dengan empat negara Asean lainnya. Pemimpin-pemimpin negara Asean yang berbincang dengan Prabowo yakni Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong Barcos, serta Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong.

    Secara terpisah, melalui akun Instagram resmi miliknya, PM Malaysia Anwar Ibrahim turut mengunggah momen bersama dengan empat pemimpin negara Asean lainnya.

    “Hari ini saya berkesempatan melakukan diskusi melalui telepon dengan para pemimpin negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Singapura, untuk memperoleh pandangan dan mengoordinasikan tanggapan bersama mengenai masalah tarif timbal balik oleh Amerika Serikat (AS),” ujar Anwar melalui akun Instagram _@anwaribrahim_my_, dikutip Sabtu (5/4/2025).

    Anwar juga mengatakan bahwa pertemuan Menteri Ekonomi Asean yang akan digelar pada minggu depan akan menindaklanjuti pembicaraan terkait solusi terbaik menghadapi penerapan tarif resiprokal AS tersebut. 

    “Insyaallah, Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN minggu depan akan terus membahas masalah ini dan mencari solusi terbaik bagi seluruh negara anggota,” sambungnya.

    Adapun, tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap negara-negara Asean yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam 24%, Filipina 17%, Singapura 10%, Kamboja 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, Myanmar 44% dan Thailand 36%.

    Penerapan tarif impor timbal balik dilakukan pemerintahan Donald Trump menyusul defisit neraca perdagangan yang melebar. Kenaikan tarif ini turut menyasar mitra dagang AS di Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Thailand, Malaysia dan Kamboja.

    “Sebagaimana terindikasi pada defisit tahunan perdagangan barang AS yang besar dan terus menerus, hal ini merupakan ancaman yang luar biasa terhadap keamanan nasional dan ekonomi AS,” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi Gedung Putih, Kamis (3/4/2025). 

    Trump pun mengakui bahwa defisit neraca perdagangan yang terus menerus dialami AS berdampak pada pelemahan sektor manufaktur di negaranya.

    Trump juga menyoroti perbedaan jomplang antara besaran tarif rata-rata yang diterapkan oleh AS dan negara mitranya atas barang-barang yang diperdagangkan. Dia memberi contoh besaran tarif untuk impor kendaraan yang masuk AS di level 2,5%, sementara Uni Eropa, India dan China masing-masing menerapkan tarif rata-rata sebesar 10%, 70% dan 15% untuk produk serupa.

    Untuk saklar jaringan, AS menerapkan tarif impor 0%, sementara itu India menerapkan 10%. 

    “Brasil dan Indonesia menerapkan tarif lebih tinggi untuk etanol yakni 18% dan 30%, jauh dari AS yakni 2,5%,” paparnya.

  • Tarif Baru Trump Berpotensi Pengaruhi Industri Otomotif Nasional

    Tarif Baru Trump Berpotensi Pengaruhi Industri Otomotif Nasional

    Jakarta, Beritasatu.com – Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, terhadap 185 negara termasuk Indonesia, dikhawatirkan dapat memberikan dampak terhadap sektor industri nasional, khususnya otomotif di ranah kendaraan listrik.

    Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) Budi Setiyadi menjelaskan, meskipun Indonesia tidak secara langsung mengekspor sepeda motor listrik maupun komponennya ke AS, efek tidak langsung dari kebijakan tersebut tetap harus diwaspadai.

    “Dari sisi makroekonomi, kebijakan ini bisa menimbulkan tekanan terhadap inflasi serta melemahkan daya beli masyarakat. Negara-negara lain yang juga terdampak, seperti Tiongkok, kemungkinan besar akan mengalihkan target pasar mereka ke negara lain, termasuk Indonesia,” ujar Budi dikutip dari Antara, Sabtu (5/4/2025).

    Untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan dagang global tersebut, pemerintah dinilai perlu mengambil langkah aktif guna melindungi pelaku industri lokal agar tidak terlalu terdampak oleh lonjakan produk impor.

    Menurut Aismoli, upaya konkret dari pemerintah diperlukan untuk mengantisipasi tarit Trump tersebut, seperti penguatan pasar dalam negeri serta kebijakan yang mendukung industri lokal.

    Salah satunya adalah menjaga penerapan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar produk lokal tetap memiliki daya saing dan tidak tergeser oleh produk luar.

    Berdasarkan daftar negara yang terdampak tarif baru dari AS, Indonesia menempati peringkat kedelapan dengan tarif sebesar 32%. Selain itu, sekitar 60 negara lain akan dikenai tarif timbal balik yang setara dengan separuh tarif yang mereka terapkan terhadap AS.

    Indonesia bukan satu-satunya negara Asia Tenggara yang terdampak. Negara, seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga masuk dalam daftar, masing-masing dikenai tarif sebesar 24%, 49%, 46%, dan 36%.

    Trump menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja di dalam negeri. Menurutnya, Amerika Serikat telah mengalami kerugian akibat praktik perdagangan internasional yang dinilai tidak adil. Kebijakan tarif Trump ini diumumkan dalam acara bertajuk “Make America Wealthy Again” yang digelar di Rose Garden, Gedung Putih.

  • BI Buka Suara soal RI Kena Tarif Trump 32%

    BI Buka Suara soal RI Kena Tarif Trump 32%

    Jakarta

    Bank Indonesia (BI) buka suara terkait kebijakan tarif baru yang dirilis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trump menaikkan tarif sebesar 32% untuk produk-produk asal Indonesia.

    Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menyampaikan tiga poin pemantauan yang dilakukan bank sentral RI itu. Pertama, BI terus memonitor perkembangan pasar keuangan global dan juga domestik pasca pengumuman kebijakan tarif Trump yang baru pada 2 April 2025.

    Pasca pengumuman tersebut dan kemudian disusul oleh pengumuman retaliasi tarif oleh Tiongkok pada 4 April 2025, Denny mengatakan, pasar bergerak dinamis, di mana pasar saham global mengalami pelemahan dan yield US Treasury mengalami penurunan hingga jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024.

    “BI tetap berkomitmen untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, terutama melalui optimalisasi instrumen triple intervention (intervensi di pasar valas pada transaksi spot dan DNDF, serta SBN di pasar sekunder),” ujar Denny, dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/4/2025).

    Denny menjelaskan, langkah ini dilakukan dalam rangka memastikan kecukupan likuiditas valas untuk kebutuhan perbankan dan dunia usaha. Hal ini juga sekaligus untuk menjaga keyakinan pelaku pasar.

    Sebagai informasi, Trump telah mengumumkan kebijakan tarif impor baru menyasar berbagai negara asing yang dianggap memiliki surplus perdagangan terhadap AS. Ada 100 mitra dagang yang terdampak, beberapa negara dengan tarif cukup besar ada China 34%, Vietnam 46%, Kamboja 49%, Taiwan 32%, India 26%, hingga Korea Selatan 25%.

    Dalam laporan dari situs resmi Gedung Putih, whitehouse.gov, terdapat dua alasan utama RI kena penyesuaian tarif 32%. Pertama, Trump mengenakan tarif balasan ke Indonesia karena ada kaitannya dengan tarif yang dikenakan terhadap produk etanol asal AS sebesar 30%.

    Menurut Trump, tarif itu lebih besar dari yang diterapkan AS untuk produk serupa ke Indonesia yakni 2,5%.

    Kedua, Trump mengatakan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diterapkan oleh Indonesia di berbagai sektor, seperti perizinan impor hingga kebijakan pemerintah Indonesia yang mengharuskan perusahaan sumber daya alam menyimpan pendapatan ekspor dalam bentuk dolar AS di rekening dalam negeri.

    “Indonesia menerapkan persyaratan konten lokal di berbagai sektor, rezim perizinan impor yang kompleks, dan mulai tahun ini, akan mewajibkan perusahaan sumber daya alam untuk memindahkan semua pendapatan ekspor mereka ke dalam negeri untuk transaksi senilai US$ 250.000 atau lebih,” ujar Trump, dikutip dari situs resmi Gedung Putih, Kamis (3/4/2025).

    (shc/fdl)

  • Kompak Hadapi Donald Trump, Prabowo Bersama Pemimpin 4 Negara ASEAN Bahas Kebijakan Tarif AS – Halaman all

    Kompak Hadapi Donald Trump, Prabowo Bersama Pemimpin 4 Negara ASEAN Bahas Kebijakan Tarif AS – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto bersama pemimpin empat negara anggota ASEAN lainnya berkomunikasi membahas kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik dari Amerika Serikat (AS) yang diumumkan Presiden Donald Trump.

    Prabowo melakukan telewicara dan bertukar pandangan dengan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim; Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah; Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr; dan Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong.

    “Hari ini saya berkesempatan melakukan diskusi melalui telepon dengan para pemimpin negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Singapura, untuk memperoleh pandangan dan mengkoordinasikan tanggapan bersama mengenai masalah tarif timbal balik oleh Amerika Serikat (AS),” ujar Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam akun Instagram @anwaribrahim_my, dikutip Sabtu (5/4/2025).

    Ia juga mengatakan Menteri Ekonomi ASEAN akan menggelar pertemuan pada pekan depan menindaklanjuti pembicaraan pimpinan empat negara dalam rangka merumuskan solusi terbaik menghadapi penerapan tarif resiprokal AS tersebut.

    “InsyaAllah, Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN minggu depan akan terus membahas masalah ini dan mencari solusi terbaik bagi seluruh negara anggota,” ucapnya.

    Sekadar informasi pada Rabu 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan penerapan tarif minimal 10 persen terhadap semua impor barang dari seluruh dunia, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif impor 32 persen.

    Adapun, tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap negara-negara ASEAN yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam 24 persen, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Kamboja 49 persen, Laos 48 persen, Vietnam 46 persen, Myanmar 44 persen, dan Thailand 36 persen. (*)

  • Kebijakan Tarif Trump Bisa Hambat Cloud hingga 5G Indonesia

    Kebijakan Tarif Trump Bisa Hambat Cloud hingga 5G Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Internet of Things Indonesia (Asioti) memandang kebijakan tarif timbal balik atau reciprocal tariff Presiden Amerika Serika Donald Trump berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur digital nasional dan memperlambat percepatan transformasi digital Indonesia secara menyeluruh.

    Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet, Indonesia kini sangat bergantung pada jaringan konektivitas yang luas dan berkualitas.

    Infrastruktur digital seperti jaringan 5G, FWA (Fixed Wireless Access), dan sistem komunikasi satelit memainkan peran vital dalam mendorong pemerataan ekonomi digital di seluruh wilayah, termasuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

    Kebijakan tarif tersebut berdampak langsung terhadap ketersediaan perangkat keras dan komponen teknologi yang mayoritas masih tergantung pada rantai pasok global, termasuk dari Amerika Serikat dan mitra yang terpengaruh.

    Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, Indonesia mengalami surplus perdagangan US$14,34 miliar pada Januari-Desember 2024. Pada 2024, mesin dan perlengkapan elektronik menjadi produk yang paling banyak diekspor dari Indonesia ke AS. Nilai ekspor produk mencapai US$4,18 miliar.

    Ketua Umum Asioti, Teguh Prasetya, menyampaikan kebijakan proteksionis ini tidak hanya mempengaruhi pelaku industri, tetapi juga memperlambat pengembangan teknologi seperti IoT, Cloud Computing, Big Data, AI, hingga jaringan 5G yang menjadi tulang punggung transformasi digital Indonesia.

    “Jika tidak diantisipasi, kita berisiko mengalami penurunan posisi dalam indeks broadband global yang saat ini sudah berada di bawah rata-rata negara Asean,” kata Teguh dalam keteranganya, Sabtu (5/4/2025).

    Menurut data terakhir Speedtest Global Index, posisi Indonesia dalam Global Broadband Index untuk kecepatan internet mobile masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia. 

    Indonesia berada di peringkat 103 dengan kecepatan rerata 20,17 Mbps, jauh dibandingkan dengan Brunei di peringkat 16, Singapura peringkat 22, Malaysia peringkat 46, Vietnam peringkat 52, Thailand peringkat 54,  Laos peringkat 68, Myanmar peringkat 75, dan Filipina serta Kamboja yang masing-masing di peringkat 80 dan 96 dunia.

    Tanpa penguatan infrastruktur digital, Indonesia akan semakin sulit mengejar ketertinggalan dan mewujudkan visi sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

    Selain itu, tensi geopolitik antara AS dan China bakal mempersulit akses terhadap teknologi canggih dari kedua belah pihak. Padahal sebagian besar solusi digital dan IoT di Indonesia sangat bergantung pada produk dari dua negara tersebut.

    “Hal ini menambah tantangan bagi Indonesia untuk menjaga kestabilan pembangunan teknologi nasional,” ucap Teguh.

    Sehingga, Asioti tidak merekomendasikan penutupan impor dari Amerika Serikat sebagai solusi, mengingat pentingnya tetap menjaga akses terhadap teknologi global demi mendukung inovasi dan efisiensi nasional.

    Sebaliknya, Asioti mendorong pendekatan strategis melalui, lokalisasi produksi teknologi kunci, diversifikasi mitra teknologi global, dan perlindungan terhadap proyek infrastruktur 5G dan satelit.

    Serta, dukungan terhadap startup dan R&D teknologi nasional. Kemudian perlunya regulasi inklusif dan adaptif terhadap perkembangan digital.

    “Kita harus melihat krisis ini sebagai momentum untuk membangun ketahanan digital nasional. Kemandirian bukan berarti isolasi, melainkan kemampuan untuk tetap terhubung dengan dunia sambil memperkuat fondasi teknologi kita sendiri,” tutur Teguh.

  • Begini Dampak Buruk Kebijakan Trump untuk Industri Motor Listrik RI

    Begini Dampak Buruk Kebijakan Trump untuk Industri Motor Listrik RI

    Jakarta

    Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik (AISMOLI), Budi Setiyadi menegaskan, kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal tarif resiprokal 32 persen ke Indonesia akan mengganggu industri nasional, termasuk kendaraan listrik.

    Budi menjelaskan, meski Indonesia belum menjadi negara pengekspor motor listrik atau komponennya ke Amerika Serikat, namun dampaknya dapat dirasakan secara tak langsung di dalam negeri.

    “Secara makro akan beresiko terhadap inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Selain itu, negara-negara lain yang mengalami kondisi serupa, seperti China, akan mencari pasar alternative selain Amerika Serikat,” ujar Budi Setiyadi melalui keterangan resminya, dikutip Sabtu (5/4)

    Presiden AS Donald Trump saat umumkan kebijakan baru. Foto: AP/Mark Schiefelbein

    Dengan populasinya yang besar dan daya beli yang kuat, Indonesia masih dianggap pasar yang menarik. Itulah mengapa, AISMOLI meminta pemerintah untuk melakukan inisiatif-inisiatif untuk melindungi produsen lokal dari kemungkinan gempuran barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri.

    “Salah satu lingkup yang perlu dijaga oleh pemerintah adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk melindungi produk- produk lokal Indonesia dan mencegah dominasi produk impor,” tuturnya.

    “Tidak hanya dari sisi kebijakan, pengawasan pemerintah dalam memastikan kebijakan TKDN sudah dijalankan secara tepat oleh industri juga perlu diperkuat,” kata dia menambahkan.

    Diketahui, Indonesia berada di urutan ke delapan dalam daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen. Sekitar 60 negara bakal dikenakan tarif timbal balik separuh dari tarif yang mereka berlakukan terhadap AS.

    Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia bukan negara satu-satunya di kawasan Asia Tenggara yang menjadi korban dagang AS. Ada pula Malaysia, Kamboja, Vietnam serta Thailand dengan masing-masing kenaikan tarif 24 persen, 49 persen, 46 persen, dan 36 persen.

    (sfn/lth)

  • Medan tempur baru Prabowo: tarif Trump dan tekanan asimetris

    Medan tempur baru Prabowo: tarif Trump dan tekanan asimetris

    Indonesia, yang selama ini mengambil posisi netral-aktif, kini menghadapi pertanyaan yang tidak lagi bisa dihindari: ‘bersama siapa kamu berdiri?’

    Jakarta (ANTARA) – Dunia hari ini tidak lagi memberikan ruang bagi kenyamanan semu. Krisis demi krisis, dari pandemi global hingga perang tarif antarnegara besar, telah menjungkirbalikkan tatanan yang selama ini kita kenal.

    Medan yang kita hadapi bukan lagi sekadar persoalan pembangunan atau pertumbuhan, melainkan palagan geopolitik yang kian brutal dan tanpa ampun. Dalam lanskap ini, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka atau pasar, melainkan bagian integral dari strategi pertahanan nasional.

    Kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, yang menjatuhkan beban 32 persen kepada ekspor Indonesia, memberi sinyal jelas bahwa dunia telah bergeser. Ekonomi menjadi instrumen tekanan, simbol pemihakan, dan alat dalam perebutan dominasi global.

    Dalam konteks ini, ekonomi Indonesia tak bisa lagi hanya ditopang oleh hitungan neraca dan target makro. Ia harus dibangun sebagai sistem pertahanan, sebagai resiliensi strategis.

    Tantangan Geopolitik dan Perang Ekonomi

    Tarif tinggi ini adalah bagian dari strategi decoupling atau de-risking Amerika Serikat dari China, tapi dengan efek domino ke negara-negara lain yang dianggap terlalu dekat dengan orbit ekonomi Beijing. Indonesia, yang selama ini menjadi tujuan relokasi industri dari China, mulai dipersepsikan sebagai bagian dari “proksi dan rantai pasok China”. Akibatnya, kita ikut terkena imbas.

    Kita juga sedang terlibat dalam perang ekonomi global. Tarif yang dulu digunakan untuk melindungi industri dalam negeri, kini menjadi alat untuk membatasi pertumbuhan negara-negara yang dianggap mengancam posisi AS.

    Indonesia, dengan posisi bebas-aktifnya, justru terseret dalam tarik-menarik antara dua kekuatan besar. Bahkan negara-negara kecil seperti Kamboja dan Laos pun turut dikenai penalti.

    Sebagai pemerhati isu strategis dan pertahanan, saya melihat bahwa kebijakan tarif ini merupakan bagian dari kompetisi kekuatan global yang tak lagi mengenal batas antara sipil dan militer. Ekonomi kini adalah front terdepan dari perang hibrida, perang tanpa peluru, namun berdampak langsung pada stabilitas dan kedaulatan negara. Kita tidak bisa lagi memisahkan perdagangan dari politik luar negeri, atau investasi dari orientasi keamanan nasional.

    Lebih dari itu, kebijakan tarif semacam ini dapat digunakan sebagai alat bargaining atau bahkan tekanan untuk menentukan arah aliansi. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat, negara-negara berkembang akan dihadapkan pada dilema geopolitik yang lebih tajam: apakah tetap berpegang pada prinsip non-blok, atau bersiap memilih blok kekuatan baru.

    Respons strategis Indonesia

    Era Prabowo dimulai di tengah perubahan lanskap global yang cepat dan penuh tekanan. Dunia bergerak dari multilateralisme menuju proteksionisme bersenjata.

    Posisi Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara menjadikannya medan rebutan pengaruh dua kekuatan utama dunia. Tapi terlalu lama kita hanya menjadi objek, bukan aktor.

    Kini saatnya berubah. Sejak awal, pemerintahan Prabowo tidak hendak membiarkan ekonomi kita hanya menjadi penyangga pertumbuhan global. Sektor strategis hendak ditransformasi menjadi pilar ketahanan nasional: dari industri pertahanan, pangan, energi, hingga teknologi. Kebijakan ekonomi harus dijalankan tidak hanya untuk mengejar angka, tetapi untuk membangun daya tahan dan daya saing.

    Tarif tinggi dari AS menjadi pengingat bahwa dalam kompetisi global, kekuatan ekonomi adalah cermin dari kekuatan negara. Maka, kebijakan ekonomi Indonesia ke depan harus didesain sebagai strategi geopolitik: bukan hanya untuk tumbuh, tapi untuk bertahan dan memimpin. Diplomasi perdagangan harus diperkuat, tak hanya untuk membuka pasar, tetapi untuk menegosiasikan posisi Indonesia secara strategis dalam rantai nilai global.

    Prabowo tidak sedang bermaksud membangun ekonomi yang sekadar kompetitif secara pasar, melainkan ekonomi yang berdaulat secara strategis. Dari hilirisasi hingga digitalisasi, dari pertanian modern hingga penguatan industri pertahanan, semuanya adalah bagian dari sistem pertahanan nasional yang holistik. Visi ini memerlukan konsistensi, ketegasan birokrasi, dan dukungan kolektif dari seluruh elemen bangsa.

    Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor nonmigas Indonesia ke AS dalam lima tahun terakhir mengalami fluktuasi, dari 18,62 miliar dolar AS pada 2020 hingga 26,31 miliar dolar AS pada 2024. Produk padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur kini terancam kehilangan daya saing akibat beban tarif yang tinggi.

    Inilah ujian nyata atas kapasitas kita menjaga keberlanjutan sektor industri di tengah turbulensi global. Dan ini juga menjadi ujian bagi kemampuan negara melindungi dan memperkuat tulang punggung ekonominya sendiri.

    Ekonomi sebagai sistem pertahanan nasional

    Kemandirian ekonomi bukan lagi sekadar jargon pembangunan. Ia adalah inti dari statecraft, kemampuan negara untuk mengelola kekuatan nasional demi kepentingan strategis. Dalam doktrin geopolitik, ekonomi adalah barikade pertama. Negara yang tidak menguasai pangan, energi, dan industrinya sendiri, akan tumbang tanpa tembakan.

    Langkah-langkah seperti hilirisasi industri strategis, pembangunan lumbung pangan, transisi energi, dan insentif industri nasional tidak boleh dipandang sebagai proyek sektoral semata. Mereka adalah bangunan awal dari benteng ketahanan nasional yang akan menentukan nasib Indonesia dalam puluhan tahun ke depan.

    Presiden Prabowo sudah berpikir jauh ke depan untuk menjadikan ekonomi sebagai fondasi pertahanan nirmiliter yang menyatu dengan sistem keamanan nasional. Sinergi antara kementerian ekonomi, pertahanan, luar negeri, dan BUMN harus dipercepat, agar kebijakan tidak berjalan dalam silo dan fragmentasi. Di tengah dunia yang makin saling bergantung, justru ketergantungan yang tidak seimbang akan menjadi kerentanan baru.

    Tantangan ini memang tidak bisa dijawab hanya dengan retorika. Dibutuhkan keberanian politik, strategi lintas sektor, dan konsistensi kebijakan yang menjadikan ekonomi sebagai instrumen pertahanan.

    Nah, Presiden Prabowo memiliki modal visi dan legitimasi publik yang cukup untuk menyatukan pelaku industri, petani, buruh, teknokrat, dan militer dalam satu misi besar: membangun kemandirian strategis.

    Tarif tinggi dari AS adalah tamparan, tapi juga peluang. Ia membangunkan kita dari mimpi panjang globalisasi tanpa kendali. Inilah waktunya menjadikan ekonomi sebagai palagan strategis: medan tempur, dan sekaligus medan penempaan kekuatan nasional.

    Dalam konteks ini, kita perlu menyadari bahwa tarif bukan hanya instrumen perdagangan, tapi juga bagian dari ancaman asimetris yang kini menjadi wajah baru konflik antarnegara. Tidak ada kapal perang yang berlayar, tidak ada peluru yang ditembakkan, namun efeknya bisa melumpuhkan industri strategis, memicu PHK massal, hingga melemahkan posisi tawar politik sebuah negara.

    Ini adalah bagian dari perang zona abu-abu (grey zone warfare), di mana instrumen ekonomi digunakan untuk melemahkan lawan tanpa deklarasi perang. Dan jika kita tidak waspada, tekanan semacam ini akan terus menjadi senjata ampuh untuk menguji dan menggoyahkan kedaulatan negara.

    Saatnya berdiri bersama

    Langkah Amerika menerapkan tarif tinggi terhadap produk Indonesia sebetulnya bukan sebuah strategic surprise bagi pemerintahan Prabowo. Gejalanya telah terlihat sejak lama, ketika Washington semakin agresif mendorong decoupling dari China dan memandang Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok baru yang berpotensi memperkuat posisi Beijing secara tidak langsung.

    Maka, kebijakan tarif pemerintahan Trump ini lebih tepat dibaca sebagai bentuk strategic pressure yang dirancang untuk menekan, menguji, dan menundukkan arah kebijakan ekonomi Indonesia.

    Dalam situasi seperti ini, pilihan kita hanya dua: mempertegas arah strategis dengan memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan konsolidasi politik luar negeri, atau menjadi bulan-bulanan tekanan dari berbagai kekuatan besar.

    Maka sewajarnya jika Pemerintahan Prabowo menjadikan tekanan ini sebagai momen untuk menyatukan arah diplomasi dan membangun blok kekuatan sendiri, sembari tetap cermat menjaga keseimbangan.

    Apalagi, arah kebijakan ekonomi dan diplomasi yang ditempuh Presiden Prabowo sejauh ini justru tampak relevan dalam menjawab tekanan semacam ini. Strategi hilirisasi, keterlibatan aktif Indonesia dalam forum-forum global seperti G20 di satu sisi, dan BRICS+ di sisi lain, serta langkah memperkuat kapasitas pembiayaan domestik melalui sumber daya dalam negeri, termasuk inisiatif pendanaan strategis seperti Danantara, adalah upaya membangun kemandirian yang mengurangi ketergantungan pada investasi asing.

    Dengan fondasi seperti ini, ketika sinyal keras bahwa dunia sedang mengalami realignment –dan Indonesia didorong untuk menunjukkan secara jelas di mana berpijak karena langkah konkretnya justru dibaca sebagai posisi strategis yang cenderung tak netral bahkan ambigu– Indonesia justru tidak hanya sedang menyiapkan kemampuan untuk bertahan, tetapi juga untuk menciptakan ruang manuver lebih luas dalam menghadapi tekanan global yang terus meningkat.

    Kebijakan tarif Trump ini pada dasarnya merupakan bentuk tekanan geopolitik. Melalui kebijakan ekonomi yang tampak teknokratis, Amerika Serikat sejatinya tengah menguji posisi negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan orbit kekuatan lain, terutama China.

    Indonesia, yang selama ini mengambil posisi netral-aktif, kini menghadapi pertanyaan yang tidak lagi bisa dihindari: “bersama siapa kamu berdiri?”

    Pertanyaan itu tidak hanya relevan di kancah internasional. Di dalam negeri pun, Presiden Prabowo layak untuk mengajukan pertanyaan yang sama kepada seluruh komponen bangsa: “bersama siapa kalian berdiri?”

    Apakah kita bersedia berdiri bersama agenda kemandirian dan ketahanan nasional? Apakah kita siap membangun ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga tangguh dan berdaulat? Di tengah dunia yang semakin tidak pasti, hanya bangsa yang mampu menyatukan visi strategis dan keberanian politik yang akan bertahan dan menang.

    Inilah saatnya kita menjadikan ekonomi bukan hanya sebagai alat pencapaian kemakmuran, tapi juga sebagai landasan ketahanan nasional yang sejati. Bukan hanya agar kita tidak dijatuhkan, tetapi agar kita mampu berdiri tegak dengan kepala terangkat dan harga diri sebagai bangsa merdeka.

    *) Khairul Fahmi adalah Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

    Copyright © ANTARA 2025