Negara: Jerman

  • Kamerun, Krisis Pengungsi Terbesar yang Luput dari Perhatian Dunia

    Kamerun, Krisis Pengungsi Terbesar yang Luput dari Perhatian Dunia

    Jakarta

    Ketika konflik meletus di suatu belahan dunia, masyarakat global umumnya merespons dalam tiga cara, yakni diplomasi oleh pemerintah dan lembaga internasional, penyaluran bantuan kemanusiaan, dan liputan media untuk menumbuhkan kesadaran publik. Absennya ketiga jenis respons menandakan bahwa sebuah krisis perlahan tenggelam dari perhatian dunia. Itulah yang kini terjadi di Kamerun.

    Laporan tahunan dari Norwegian Refugee Council (NRC) kembali menyoroti krisis yang paling terabaikan di dunia. Dalam daftar terbaru itu, delapan dari sepuluh konflik berada di Afrika, dan posisi teratas ditempati oleh Kamerun yang, menurut NRC, hampir tak mendapat perhatian dari media, minim dukungan politik untuk penyelesaian konflik, dan kekurangan dana kemanusiaan.

    “Kamerun adalah contoh nyata dari krisis yang benar-benar dilupakan dunia. Krisis di sana lemah dalam ketiga indikator utama kami: minim pemberitaan, nol kemauan politik, dan dana bantuan yang sangat terbatas,” ujar juru bicara NRC, Laila Matar, kepada DW.

    Konflik yang berlapis

    Di balik statistik, tersembunyi kompleksitas konflik di Kamerun. Negara di pesisir Afrika Tengah ini sedang menghadapi dua perang besar yang hampir tak tersentuh oleh perhatian internasional.

    Sejak tahun 2017, pertempuran bersenjata menjalar dari wilayah barat. Perang dikobarkan kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dan memproklamasikan “Republik Ambazonia.” Konflik di North dan South West Kamerun merupakan perselisihan warisan kolonialisme antara Prancis dan Inggris setelah Perang Dunia I. Konflik ini kerap berujung pada bentrokan dengan militer, dan telah merenggut ribuan nyawa.

    Adapun konflik kedua terjadi di utara, tepatnya di wilayah sekitar Danau Chad. Di sana, kelompok militan Islam transnasional seperti Boko Haram dan afiliasinya, ISWAP yang merupakan cabang ISIS di Afrika Barat, terus menebar teror dan kekerasan.

    “Maret lalu saja ada lebih dari sepuluh serangan di utara Kamerun dan negara bagian Borno di Nigeria, termasuk penyergapan terhadap pos militer dan perampasan senjata serta kendaraan,” kata Remadji Hoinathy, analis dari Institute for Security Studies (ISS) yang berbasis di Chad, dalam podcast DW Africalink.

    Sementara kelompok JAS, pecahan Boko Haram lainnya, dikenal sangat brutal dan acap menyerang tentara, pejabat, hingga mengorbankan warga sipil tanpa pandang bulu.

    “Penduduk di sana terjebak. Mereka kadang terpaksa bekerja sama demi bertahan hidup,” ungkap Hoinathy.

    Potret penderitaan Haoua

    Konflik di utara Kamerun ini menciptakan gelombang pengungsian besar. NRC mencatat, ada lebih dari 1,1 juta warga Kamerun yang mencari perlindungan di dalam negeri, dan 480.000 pengungsi tambahan dari negara tetangga, seperti Republik Afrika Tengah. Hanya 30 persen dari mereka yang tinggal di kamp resmi; sisanya bertahan dalam kondisi seadanya.

    Salah satu dari mereka adalah Haoua, seorang perempuan berusia 39 tahun yang ditemui DW pada akhir 2024 di Maroua, kota di utara Kamerun. Sejak suaminya ditangkap dan menantunya dibunuh oleh kelompok militan, Haoua hidup bersama delapan anak dan dua cucu, tanpa penghasilan tetap.

    “Anak-anak tidak sekolah. Saya tidak punya uang untuk biaya mereka. Kami sudah empat hari tidak makan. Kalau saya mengemis di jalan, saya malah diusir,” tuturnya lirih. Dia hanya sesekali bisa mendapat uang dengan mencuci pakaian orang lain.

    Apa solusinya?

    Agar situasi membaik, pemerintah Kamerun harus bergantung kepada koalisi lintas negara. Negara-negara di kawasan Danau Chad sudah lama bekerja sama dalam operasi militer lintas batas untuk memberantas milisi Islam. Selain itu, ada juga inisiatif regional untuk stabilisasi sipil. Namun, setelah lebih dari satu dekade perang melawan Boko Haram, koordinasi antarnegara mulai mengalami kelelahan.

    “Kerja sama regional terlihat mulai melemah, terutama karena hasilnya belum signifikan dan dukungan politiknya semakin menipis,” kata Hoinathy.

    NRC pun menyuarakan kritik tajam terhadap penurunan perhatian global. Dalam laporannya, lembaga ini menyebut masa depan Kamerun akan semakin suram tanpa intervensi politik, bantuan kemanusiaan, atau pemberitaan media yang memadai.

    “Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman justru memotong anggaran bantuan luar negeri, tapi terus meningkatkan belanja pertahanan,” tegas Matar. “Anggaran militer global pada 2024 saja – kalau diambil dari pengeluaran militer tiga atau empat hari saja, itu sudah cukup untuk menutup seluruh kekurangan pendanaan kemanusiaan.”

    Menurut NRC, penyelesaian krisis seperti di Kamerun sebenarnya bukan hal mustahil. “Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik,” pungkas Matar.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga “Kamerun Mulai Program Vaksinasi Malaria Pertama di Dunia” di sini:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ancaman Bom Bekas Perang Dunia Masih Mengintai

    Ancaman Bom Bekas Perang Dunia Masih Mengintai

    Jakarta

    Lima belas pasangan telah menantikan momen spesial untuk mengucapkan janji pernikahan mereka. Namun, pernikahan yang seharusnya berlangsung di balai kota bersejarah Kln, Jerman, pada 4 Juni harus dibatalkan karena gedung tersebut berada tepat di tengah zona evakuasi. Untungnya, mereka tetap bisa menikah di balai kota distrik lain.

    Tiga bom peninggalan Perang Dunia II yang tidak meledak, adalah penyebab dilakukannya evakuasi tersebut. Sedikitnya 20.500 warga dalam radius satu kilometer persegi, harus diungsikan ke tempat aman. Evakuasi ini disebut yang terbesar sejak 1945. Tiga bom ditemukan saat persiapan pembangunan di Jembatan Deutz, Kln. Bom buatan Amerika Serikat (AS) ini terdiri dari satu bom seberat 450 kilogram dan dua bom seberat 900 kilogram.

    Ketiganya menggunakan sumbu pemicu tumbukan sehingga tidak bisa dipindahkan demi alasan keamanan. Oleh sebab itu, bom harus dijinakkan di lokasi, yang membuat beberapa distrik di kota Nordrhein-Westfalen, Jerman Barat, harus dievakuasi.

    Ribuan orang dievakuasi

    Sekitar 20.500 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka pada hari Rabu (04/06). Pasien satu rumah sakit dan dua panti wreda juga dievakuasi, di mana para pasien serta penghuni dipindahkan ke fasilitas lain. Hampir 60 hotel ditutup sementara dan tamu-tamunya dipindahkan ke tempat lain.

    Penjinakan bom adalah tugas yang sangat kompleks dan rumit, tapi Jerman sudah sangat terbiasa dengan hal ini. Tahun 2024 lalu, lebih dari 1.600 bom berhasil dijinakkan hanya di negara bagian Nordrhein-Westfalen saja. Saat proyek pembangunan terus berlangsung, seperti pemasangan kabel serat optik baru, renovasi jembatan, atau perbaikan jalan, penggalian sering kali menemukan bom yang belum meledak dari era tahun 1930-an dan 1940-an.

    Masalah serupa di Prancis, Belgia dan Polandia

    Kawasan metropolitan seperti Hamburg dan Berlin adalah target utama pengeboman Sekutu selama Perang Dunia II. Infrastruktur sipil juga menjadi sasaran, sehingga daerah-daerah ini sangat terpengaruh. Selain negara bagian Nordrhein-Westfalen, negara bagian Brandenburg juga sangat terkontaminasi bom peninggalan perang Dunia Kedua. Pada tahun 2024, tim penjinak bom menemukan 90 ranjau, 48.000 granat, 500 bom api, 450 bom seberat lebih dari 5 kilogram, dan sekitar 330.000 peluru artileri yang tidak meledak dari PD II.

    Masalah ini juga ada di negara tetangga seperti Prancis dan Belgia, terutama bom sisa dari Perang Dunia I di wilayah Verdun dan Somme. Tiga tahun lalu, kekeringan di Lembah Po, Italia, mengungkap sejumlah bom yang belum meledak. Di Inggris pada 2021, sebuah bom udara Jerman seberat 1.000 kilogram diledakkan secara terkendali di Exeter, dan lebih dari 250 bangunan mengalami kerusakan.

    Bahaya mematikan di Vietnam, Laos, dan Gaza

    Di Asia, situasinya juga mengkhawatirkan. Di Vietnam, Laos, dan Kamboja, orang-orang masih menjadi korban bom cluster buatan AS yang digunakan pada tahun 1960-an dan 1970-an. Menurut PBB, ada sekitar 80 juta bom yang belum meledak di Laos akibat 500.000 serangan AS yang dilakukan secara rahasia antara tahun 1964 hingga 1973.

    Masih banyak juga bom yang belum meledak dan mengancam keselamatan wargai di Suriah dan Irak. Namun, kedua negara ini belum memiliki sistem penjinakan bom yang memadai.

    PBB juga menyatakan bahwa bom yang belum meledak di wilayah Gaza, Palestina, telah menimbulkan bahaya mematikan, meskipun Israel terus melakukan pengeboman di wilayah tersebut.

    Seperempat wilayah Ukraina terkontaminasi

    Situasi di Ukraina pun sangat dramatis. Sejak invasi besar-besaran Rusia pada tahun 2022, sekitar seperempat wilayah Ukraina diduga tercemar ranjau, bom kluster, dan alat peledak lainnya.

    Lebih dari setengah juta alat peledak sudah berhasil dijinakkan, tapi jutaan lainnya masih tersisa. Konsekuensi kemanusiaan dan ekonomi sangat besar: Ratusan warga sipil meninggal, lahan pertanian luas menjadi tidak bisa digunakan, dan gagal panen semakin memperparah krisis ekonomi.

    Saat perang berakhir, penjinakan ranjau akan menjadi salah satu tugas utama selama bertahun-tahun ke depan.

    Jerman menanggung biaya terbesar

    Di Jerman, sebagian besar bom yang dijinakkan adalah peninggalan Perang Dunia II dan dibuat oleh Sekutu. Negara-negara bagian di Jerman menanggung sebagian besar biaya penjinakan bom ini. Jerman sendiri bertanggung jawab atas bom-bom buatannya dari era Kekaisaran Jerman (1871-1945). Upaya untuk membuat pemerintah bertanggung jawab atas semua bom yang belum meledak di Jerman sejauh ini belum berhasil. Tahun lalu, biaya penjinakan bom di negara bagian Nordrhein-Westfalen saja mencapai 20 juta euro (sekitar Rp320 miliar).

    Sementara biaya terus naik, teknologi penjinakan bom juga berkembang. Jika dulu pada tahun 1990-an petugas menggunakan tangan, palu, dan pahat, dan tang air, sekarang mereka memakai alat pemotong air bertekanan tinggi yang dapat memotong bom dari jarak aman dan menmbuat sumbu pemicunya tidak berfungsi.

    Para ahli memperkirakan, ada puluhan ribu bahan peledak yang belum meledak di Jerman, dengan total berat mencapai 100.000 ton.

    Meskipun teknik pendeteksian modern dan foto udara digital bisa mengurangi risiko, setiap operasi penjinakan bom adalah perlombaan melawan waktu. Semakin tua bom, semakin tinggi risiko korosi dan ledakan tidak terkendali. Menjinakkan bom yang lebih tua juga lebih sulit karena perubahan kimia dalam bom antara selongsong dan sumbu pemicunya.

    Penjinakan tiga bom di Kln bukan hanya soal gangguan pernikahan dan aktivitas warga, tapi juga menjadi pengingat nyata akan kehancuran perang — baik di Jerman, Prancis, Vietnam, Laos, Suriah, Ukraina, maupun Gaza.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Melisa Lolindu

    Editor: Agus Setiawan

    Tonton juga “Detik-detik Setelah Bom Meledak di Klinik California, FBI: Terorisme!” di sini:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Mengintip Pabrik Mercedes-Benz di Tengah Tekanan Trump ke Uni Eropa

    Mengintip Pabrik Mercedes-Benz di Tengah Tekanan Trump ke Uni Eropa

    Foto Bisnis

    Rafida Fauzia – detikFinance

    Kamis, 05 Jun 2025 13:00 WIB

    Jerman – Presiden Donald Trump mengancam Uni Eropa dengan tarif 50%. Industri otomotif Eropa pun ikut tertekan, termasuk pabrik-pabrik besar seperti Mercedes-Benz.

  • Komdigi dan BSSN Siap Alihkan Pengujian Perangkat dari Luar Negeri ke Dalam Negeri

    Komdigi dan BSSN Siap Alihkan Pengujian Perangkat dari Luar Negeri ke Dalam Negeri

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berupaya mengalihfungsikan pengujian perangkat telekomunikasi dari luar negeri ke laboratorium dalam negeri.

    Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan menggandeng Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk menyederhanakan proses akreditasi dan penetapan Balai Uji Dalam Negeri (BUDN) untuk alat dan perangkat telekomunikasi. 

    Kolaborasi itu ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara komdigi dengan BSN di Indonesia Digital Test House (IDTH), Depok, Jawa Barat pada Rabu (5/6/2025).

    “Kerja sama ini adalah langkah nyata. Sinergi ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan nasional yang utama dan juga dari internasional terhadap hasil uji kita,” kata Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid dalam keterangannya, dikutip Kamis (5/6/2025).

    Meutya mengatakan, kerja sama ini akan semakin memperkuat komitmen Indonesia dalam menyederhanakan tahapan kerja sama penguatan mutu pengujian.

    Lebih lanjut, Meutya menuturkan bahwa IDTH yang diresmikan pada Mei 2024 itu telah menjadi pusat pengujian dengan fasilitas lengkap dan sumber daya manusia unggul. 

    Fasilitas ini siap mendukung percepatan akreditasi laboratorium dan penetapan BUDN.

    Menurutnya, IDTH harus berkembang menjadi center of excellence yang bukan hanya relevan di dalam negeri, tetapi juga di tingkat regional dan internasional.

    “Setiap hasil uji harus dapat diuji ulang, dapat dipercaya, dan dapat diakui lintas negara,” tegasnya.

    Komdigi mencatat, IDTH dalam tiga tahun terakhir sukses membukukan pendapatan lebih dari Rp32 miliar dari layanan pengujian. Kendati begitu, Meutya menilai nominal tersebut masih sangat kecil dibanding potensi pasar global.

    Sebagai pembanding, Jerman meraih lebih dari Rp59 triliun per tahun dari layanan serupa, dan Korea Selatan mematok target lebih dari Rp11 triliun.

    Menurutnya dengan kesiapan yang ada saat ini, dalam satu tahun berjalan Meutya menilai Indonesia harus sudah mampu menggeser pengujian perangkat telekomunikasi dari luar negeri ke laboratorium dalam negeri.

    “Kalau sekarang sebagian besar perangkat yang masuk ke Indonesia masih diuji di luar negeri, maka dengan kesiapan kita semua hari ini, saya rasa dalam satu tahun berjalan ini harus sudah mampu untuk menggeser pengujian ke dalam negeri untuk hampir semua perangkat,” tuturnya.

  • Kekurangan Tenaga Kerja, Jerman Incar Perawat Filipina

    Kekurangan Tenaga Kerja, Jerman Incar Perawat Filipina

  • Warga Gaza Utara Berjuang di Tengah Krisis Pangan-Minimnya Bantuan

    Warga Gaza Utara Berjuang di Tengah Krisis Pangan-Minimnya Bantuan

    Jakarta

    Sebelum perang terjadi, Hazem Lubbad adalah seorang mahasiswa yang juga bekerja sebagai pelayan restoran di Gaza City untuk membiayai kuliahnya. Selama 19 bulan terakhir, ia berlindung bersama keluarga besarnya di Sheikh Radwan, sebuah kawasan di barat laut Kota Gaza.

    Warga di sejumlah daerah di sekitarnya, seperti Beit Lahiya dan Jabalia telah diperintahkan oleh militer Israel untuk ‘mengungsi’ ke arah selatan. Warga mengatakan kawasan ini mengalami serangan udara dan penembakan yang terus menerus. Warga juga harus berjuang keras untuk mendapatkan makanan. Bergerak di wilayah ini pun sangat berbahaya.

    “Kami makan apa pun yang ada, hanya satu kali sehari, dari pagi sampai malam. Kadang-kadang hanya lentil (kacang-kacangan kecil), kadang pasta,” ujar Hazem, 21 tahun, dalam pesan video dari Gaza.

    Sulitnya akses makanan sudah terjadi sejak awal perang, kata Hazem. Kini, meski sebagian kecil bantuan mulai masuk setelah blokade 11 minggu oleh pemerintah Israel, warga mengatakan bantuan itu tidak sampai ke wilayah utara

    Israel menutup semua perlintasan dan menghentikan pengiriman bantuan sejak 2 Maret. Pejabat Israel menyatakan Hamas mencuri bantuan dan menggunakannya untuk kepentingan kelompok mereka, meskipun belum ada bukti yang mendukung klaim tersebut. Hamas, yang menguasai Gaza, dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel, Jerman, Amerika Serikat, dan beberapa negara lainnya.

    Sulitnya perjuangan warga mendapat makanan di tengah perang

    “Sudah satu setengah sampai dua bulan tidak ada tepung sama sekali. Harga satu kilo tepung di pasar gelap bisa mencapai 80 – 100 shekel (sekitar Rp350 – 450 ribu), dan kondisi kami sekarang tidak memungkinkan untuk membelinya,” jelas Hazem.

    Ia menambahkan bahwa tidak ada satu pun anggota keluarga yang memiliki penghasilan tetap akibat perang. Lubbad juga mengatakan bahwa mereka telah membuat stasiun pengisian daya ponsel sederhana bertenaga surya dan warga bisa mengisi daya ponsel dengan membayar sejumlah uang.

    Israel hingga kini tidak mengizinkan jurnalis asing masuk ke Gaza sejak perang dimulai pasca serangan Hamas pada 2023. Karena itu, DW kerap mewawancarai warga Gaza melalui sambungan telepon.

    Warga Gaza utara juga mengikuti dengan ngeri berita tentang jatuhnya korban jiwa, hampir setiap hari, mereka yang mencoba mencapai lokasi distribusi makanan di Gaza selatan. Lokasi ini dijalankan oleh perusahaan swasta Amerika-Israel bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF) dan mendapat pengamanan dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

    PBB dan sejumlah organisasi kemanusiaan telah menolak sistem distribusi makanan baru ini. Mereka menyatakan sistem ini tak akan mampu memenuhi kebutuhan 2,3 juta penduduk Gaza dan berisiko membuat makanan sebagai alat untuk mengontrol penduduk. Di Gaza utara tidak ada lokasi distribusi, dan bagi warga yang tinggal di utara, mencapai titik tersebut sangat berbahaya dan terlalu jauh.

    PBB menyatakan bahwa mereka hanya diizinkan membawa sejumlah truk yang membawa tepung, yang hanya boleh dibagikan ke toko roti, serta pasokan terbatas lain seperti obat-obatan dan makanan bayi.

    UN-OCHA: “Ini penderitaan yang dirancang secara sengaja”

    “Ini adalah kelangkaan yang direkayasa,” ujar Jonathan Whittall, kepala UN-OCHA, dalam jumpa pers di Yerusalem pekan lalu. Ia menekankan bahwa bantuan harus diberikan kepada semua warga sipil, di mana pun mereka berada. “Skema ini adalah sistem penjatahan berbasis pengawasan yang melegitimasi kebijakan penderitaan yang dirancang secara sengaja. Ini terjadi ketika warga Gaza, setengahnya adalah anak-anak, sedang berjuang untuk bertahan hidup.”

    Selain kekurangan makanan, warga juga kesulitan mendapatkan air bersih dan gas untuk memasak. Banyak yang terpaksa membakar sampah atau kayu dari bangunan yang hancur untuk menyalakan api.

    Pada Selasa (03/06), dilaporkan terjadi lagi insiden penembakan oleh pasukan Israel dekat pusat distribusi bantuan. Laporan media menyebut 27 orang tewas. Banyak warga harus berjalan jauh untuk mencapai lokasi distribusi, yang biasanya berada dekat zona militer Israel.

    IDF menyebut: “Selama pergerakan massa di sepanjang jalur yang ditentukan menuju lokasi distribusi bantuan, yang jaraknya sekitar setengah kilometer dari lokasi, pasukan IDF akan mengidentifikasi beberapa tersangka yang bergerak mendekat dan menyimpang dari rute akses. Pasukan melepaskan tembakan peringatan, dan ketika para tersangka tidak mundur, tembakan diarahkan ke beberapa individu yang mendekat.”

    Militer Israel mengatakan mereka “mengetahui adanya laporan korban jiwa dan sedang menyelidiki insiden tersebut.” Mereka juga menyatakan bahwa mereka “mengizinkan organisasi sipil Amerika (GHF) untuk beroperasi secara independen agar bantuan bisa disalurkan langsung ke warga Gaza, dan bukan ke Hamas.”

    Palang Merah Internasional (ICRC) menyebut rumah sakit lapangan mereka di Rafah menerima “gelombang korban massal sebanyak 184 pasien” pada Selasa (03/06) pagi. Sebanyak 19 orang meninggal saat tiba, dan delapan lainnya meninggal tak lama kemudian. Mayoritas menderita luka tembak.

    Apa yang terjadi di titik distribusi baru?

    Pekan lalu, DW mewawancarai seorang pria muda yang mengungsi ke Gaza selatan dan berhasil mendapatkan dua kotak makanan dari titik distribusi GHF.

    “Siapa pun bisa bawa sebanyak yang mereka mampu. Tidak ada arahan jumlah, tidak ada pemeriksaan, apa pun,” ujar Muhammad Qishta lewat telepon. Kotak itu berisi beras, gula, tepung, halva (pasta wijen manis), minyak, biskuit, dan pasta. “Karena tidak ada arahan jelas mengenai rute masuk dan keluar, beberapa orang tanpa sadar masuk ke jalan yang ternyata berbahaya, dan terdengarlah suara tembakan. Saya langsung lari, tidak sempat melihat apa-apa, hanya mendengar suara tembakan,” ujar Qishta, 30 tahun.

    Sementara itu, Hazem Lubbad dan keluarganya tetap bertahan di Sheikh Radwan. Mereka enggan mengungsi karena menurut mereka “di mana-mana situasinya buruk. Di mana-mana berbahaya.”

    Kini, Lubbad dan keluarganya menghaluskan pasta dan lentil untuk membuat roti. “Kami buat 20 roti pita per hari dan membaginya untuk 13 orang. Setiap orang hanya mendapat satu atau dua potong roti per hari. Itu cukup untuk bertahan sampai kami menemukan makanan lainnya.”

    Sebelumnya mereka sempat bisa membeli dukkah, campuran rempah yang biasa dimakan dengan roti, tetapi stoknya mulai habis. Makanan kaleng yang mereka beli saat masih tersedia juga telah habis, kata Lubbad.

    “Bagi anak-anak, ini sangat berat,” kata Hazem. “Makan sekali sehari jelas tidak cukup, tapi memang tidak ada makanan untuk lebih dari itu.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ausirio Ndolu

    Editor: Prita Kusumaputri dan Yuniman Farid

    Lihat juga Video ‘Dalih Israel Tembak Warga Gaza saat Antre Bantuan’:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 3 Bom Era Perang Dunia II Picu Evakuasi Besar-besaran di Jerman

    3 Bom Era Perang Dunia II Picu Evakuasi Besar-besaran di Jerman

    Berlin

    Tiga bom bekas Perang Dunia II yang belum meledak ditemukan di pusat kota Cologne, Jerman. Temuan bom bekas perang ini memicu evakuasi besar-besaran terhadap sekitar 20.000 orang di kota tersebut.

    Para teknisi regu penjinak bom, seperti dilansir AFP, Rabu (4/6/2025), berencana untuk menjinakkan tiga bom perang buatan Amerika tersebut, yang ditemukan saat pekerjaan pembangunan di area Deutz, tepi timur Sungai Rhine, pada Senin (2/6) waktu setempat.

    Dua bom di antaranya berbobot hingga 1.000 kilogram dan satu bom lainnya berbobot 500 kilogram.

    Ini akan menjadi operasi penjinakan bom terbesar di kota Cologne sejak berakhirnya perang.

    Ruas jalanan dan jalur kereta api ditutup sementara, dengan para pejabat kota Cologne mendatangi rumah-rumah untuk membersihkan zona evakuasi yang luasnya mencapai sekitar 10.000 meter persegi, yang mencakup tiga jembatan di atas Sungai Rhine.

    Evakuasi besar-besaran itu membuat jantung kota Cologne menjadi kosong, dengan sebuah rumah sakit, dua panti jompo, sembilan sekolah, sebuah studio TV dan puluhan hotel terkena dampak evakuasi.

    Pekerjaan pembangunan di wilayah Jerman cukup sering berujung temuan persenjataan era Perang Dunia II yang belum meledak.

    Temuan bom terbesar terjadi di kota Frankfurt tahun 2017 lalu, ketika bom bekas prang seberat 1,4 ton memaksa evakuasi besar-besaran sebanyak 65.000 orang. Itu tercatat sebagai evakuasi terbesar di Eropa sejak perang berakhir tahun 1945 silam.

    Tahun 2021 lalu, sedikitnya empat orang mengalami luka-luka ketika sebuah bom bekas Perang Dunia II meledak di sebuah lokasi pembangunan di dekat stasiun kereta api utama di Munich, yang menyebarkan puing-puing hingga sejauh ratusan meter.

    Lihat juga Video ‘Horor Penikaman di Stasiun Jerman Buat Belasan Orang Terluka’:

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Diskriminasi di Jerman Semakin Meningkat

    Diskriminasi di Jerman Semakin Meningkat

    Jakarta

    Tahun lalu, Badan Anti-Diskriminasi menerima banyak laporan dari orang-orang seperti Mahmoud, yang sangat kesulitan mencari apartemen tapi jarang sekali diajak melihat unit yang tersedia. Sebaliknya, temannya yang orang Jerman, Stefan, diundang untuk melihat apartemen yang katanya sudah diambil orang.

    Kasus diskriminasi lain yang dilaporkan adalah pasangan sesama jenis yang diberi label “hubungan tidak normal dan patologis” oleh lembaga perlindungan anak di Jerman, dan seorang trainee di perusahaan logistik yang beberapa kali mengalami pelecehan seksual oleh rekan kerjanya.

    Pelapor menghubungi Badan Anti-Diskriminasi Federal pada 2024 untuk melaporkan pengalaman mereka.

    “Diskriminasi adalah masalah yang semakin besar di Jerman. Kita memiliki masalah besar dengan rasisme, masalah besar dengan seksisme, dan ada penolakan besar terhadap partisipasi setara bagi penyandang disabilitas,” ujar Ferda Ataman, komisaris anti-diskriminasi independen federal.

    Namun, Ataman juga melihat meningkatnya permintaan bantuan ini sebagai tanda bahwa makin banyak orang percaya hukum akan melindungi mereka, dan makin sadar hak-hak mereka serta berani melawan diskriminasi — terutama soal rasisme.

    Tahun lalu, lebih dari 3.800 orang melaporkan kejadian rasisme, di mana hampir setengah dari semua pengaduan yang diterima Badan Anti-Diskriminasi.

    Rasisme masih jadi bentuk diskriminasi yang paling umum

    Ayman Qasarwa, direktur organisasi DaMOst untuk komunitas migran di Jerman Timur, menggambarkan pengalaman korban rasisme dalam laporan tahunan Badan Anti-Diskriminasi: “Remaja migran paling sering mengalami pelecehan rasial di sekolah, dan mereka sering tidak punya tempat yang tepat untuk minta bantuan.”

    “Mereka dihina secara verbal di jalan, diludahi, atau diserang, dan terkadang hijab mereka dirobek.”

    Hal ini juga terjadi di tempat kerja.

    “Misalnya, dokter perempuan di rumah sakit sering mendengar pasien berkata, ‘Saya tidak ingin dirawat oleh perempuan itu,’” ujar Qasarwa.

    Perempuan di tempat kerja: Seksisme dan kerugian karier

    Perempuan kulit berwarna sering mengalami diskriminasi ganda. Pada 2024, ada 2.133 laporan diskriminasi gender — dua kali lipat lebih banyak dibanding lima tahun lalu.

    “Diskriminasi gender masih sangat melekat di masyarakat kita — dan malah semakin meningkat,” kata Ferda Ataman.

    Orang-orang mencari bantuan untuk masalah diskriminasi di tempat kerja. Perempuan sering mengalami pelecehan seksual, mulai dari isyarat kasar, tatapan mengganggu, sentuhan tak diinginkan, sampai email dengan konten seksual.

    Contoh lain, perempuan sering dilewatkan untuk promosi karena hamil atau cuti orang tua. Seringkali perempuan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang sama. Perempuan Muslim berhijab sangat terdampak karena lamaran mereka sering diabaikan.

    Kerja sama tapi gaji lebih rendah: Kisah wali kota yang menang gugatan

    Perempuan di Jerman rata-rata masih mendapat gaji 16% lebih rendah dibanding laki-laki. Penyebab utama kesenjangan gaji ini adalah perempuan lebih banyak bekerja paruh waktu atau di profesi yang penting tapi gajinya rendah, seperti perawat.

    Namun, meskipun melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, perempuan masih bisa mendapat gaji lebih rendah. Contohnya Astrid Siems-Knoblich, Wali Kota Müllheim di Baden-Württemberg, yang gajinya lebih rendah dari wali kota pria sebelum dan sesudahnya. Ia berhasil menggugat agar mendapatkan gaji yang setara.

    “Saya tidak melakukan ini hanya untuk diri saya sendiri, tapi untuk semua perempuan yang juga mengalami diskriminasi seperti ini,” tulisnya dalam laporan tahunan Badan Anti-Diskriminasi.

    “Gaji setara adalah hak dasar, dan tidak ada orang di negara kita yang harus takut menuntut hak dasarnya.”

    ‘Reformasi Undang-Undang Anti-Diskriminasi sudah terlalu lama ditunda’

    “Undang-undang anti-diskriminasi tidak pernah sepenting sekarang. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas melawan diskriminasi dan mereformasi Undang-Undang Anti-Diskriminasi,” tegas Ataman.

    “Di Jerman, pelanggaran parkir dihukum lebih berat daripada diskriminasi terhadap orang lain.”

    Undang-undang yang disahkan tahun 2006 ini adalah tonggak penting dalam gerakan anti-diskriminasi, tapi sejak itu belum pernah diperbarui dan, menurut Ataman, sudah tidak relevan lagi. Karena undang-undang ini tidak mengatur diskriminasi oleh lembaga negara: kantor pemerintah, pengadilan, sekolah negeri, atau polisi.

    “Kita sedang menghadapi situasi absurd di mana orang lebih terlindungi dari diskriminasi di supermarket daripada di sekolah atau kantor pemerintah,” katanya, sambil mendesak tindakan cepat untuk memperbaiki keadaan ini.

    “Diskriminasi bukan hanya masalah bagi mereka yang mengalaminya. Diskriminasi merugikan ekonomi, membahayakan demokrasi, dan mengancam konstitusi kita secara keseluruhan.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Melisa Lolindu

    Editor: Rahka Susanto

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • NATO Tak Punya ‘Masa Depan’

    NATO Tak Punya ‘Masa Depan’

    Jakarta

    Pertanyaan para peneliti seakan meramalkan kegelapan. “Siapa atau apa yang masih bisa menyelamatkan perdamaian di dunia?” demikian pertanyaan yang diajukan ilmuwan dari empat lembaga riset di Jerman dalam Friedensgutachten 2025. Sejak 1987, mereka telah menganalisis konflik internasional dan memberikan rekomendasi politik. Namun, pesimisme yang dituangkan dalam laporan tahun ini merupakan sesuatu yang langka.

    Perang di Ukraina, Gaza, Sudan, lebih dari 122 juta orang mengungsi, serta konflik kekerasan di berbagai belahan dunia, memperlihatkan betapa situasi global kian memburuk.

    Christopher Daase dari Leibniz-Institut fr Friedens- und Konfliktforschung menyatakan, “Dalam beberapa tahun terakhir, fokus analisis kami adalah serangan Rusia ke Ukraina dan penghancuran tatanan perdamaian serta keamanan Eropa oleh Rusia.” Kini, situasi keamanan semakin memburuk. “Amerika Serikat justru menambah ketidakpastian baru.”

    Kritik terhadap Trump

    Salah satu sorotan utama dalam laporan tahun ini adalah perubahan politik di Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump dan gerakan MAGA-nya, menurut para peneliti, “dalam waktu singkat dan nyaris tanpa perlawanan” telah berhasil mengubah demokrasi tertua di dunia menjadi semacam rezim otoriter.

    Di panggung global, pemerintahan baru AS juga dinilai telah meruntuhkan lembaga dan nilai-nilai liberal. “Para penguasa otoriter dan diktator dirangkul, sementara gerakan populis sayap kanan didukung di negara-negara demokratis.”

    Daase menyebutkan bahwa ada risiko “penularan ideologi otoriter” ke negara lain. Di Eropa, misalnya, sudah tampak gejala mengkhawatirkan, entah itu perlemahan lembaga hukum internasional, ancaman terhadap kebebasan akademik, serta intervensi terhadap otonomi lembaga masyarakat seperti gereja.

    Matinya NATO?

    Menurut laporan tersebut, persekutuan transatlantik antara Eropa dan AS “seperti yang kita kenal, sudah berakhir.” Hal serupa juga berlaku untuk kerja sama militer. “Janji solidaritas NATO telah kehilangan kredibilitasnya,” dan keakraban baru antara AS dan Rusia dikhawatirkan akan mengorbankan Ukraina dan kepentingan Eropa.

    Ketika ditanya apakah NATO sudah mati, dia enggan menyangkal. “Kita sedang mempersiapkan berakhirnya NATO,” ujarnya. Menurutnya, Eropa masih bekerja sama dengan NATO selama memungkinkan, sembari memperkuat kemampuan pertahanan sendiri.

    Eropa harus lebih kompak

    Para peneliti mendesak pemerintah Jerman untuk membuat rencana yang transparan dan bertahap guna memperkuat serta mengintegrasikan struktur pertahanan Eropa. Hanya masalahnya, Uni Eropa dinilai masih jauh dari tujuan tersebut.

    “Yang kita lihat sekarang bukan penguatan pertahanan bersama dalam kerangka politik UE, melainkan penguatan pertahanan nasional masing-masing negara anggota,” jelas Ursula Schrder dari Institut Penelitian Perdamaian dan Kebijakan Keamanan Universitas Hamburg (IFSH).

    Keamanan, lanjutnya, tidak boleh hanya dimaknai dalam pengertian militer. Menurut Conrad Schetter dari Bonn International Centre for Conflict Studies (BICC), arsitektur keamanan juga mencakup pengendalian senjata, upaya membangun kepercayaan, dan diplomasi. Kebijakan pembangunan yang efektif juga penting. Dia mengingatkan bahwa penguatan militer tidak boleh menjadi “blanko kosong” untuk mengekspor senjata ke seluruh dunia.

    Desakan untuk stop suplai senjata ke Israel

    Para peneliti juga mengaku prihatin terhadap melemahnya hukum internasional. Mereka mencatat meningkatnya “dehumanisasi dalam peperangan,” seperti pelanggaran berat terhadap perlindungan warga sipil, serangan langsung terhadap rumah sakit dan sekolah, serta penyalahgunaan bantuan kemanusiaan untuk kepentingan politik.

    Dampak paling brutal terlihat dalam perang Rusia di Ukraina dan konflik Israel-Hamas. Kritik terutama diarahkan terhadap perang di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 53.000 orang dan menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut. Para peneliti menyerukan “dengan urgensi yang belum pernah ada sebelumnya” agar semua pengiriman senjata yang bisa digunakan di Gaza dan Tepi Barat dihentikan. Israel, menurut laporan itu, telah “melanggar hukum humaniter internasional secara mencolok” dan “melampaui batas hak pembelaan diri yang sah.”

    Antara Oktober 2023 dan Mei 2025, Jerman mengizinkan ekspor senjata senilai hampir 500 juta euro ke Israel. Hal ini diungkapkan pemerintah sebagai jawaban atas pertanyaan resmi dari fraksi Partai Kiri di Bundestag. Ekspor tersebut mencakup senjata api, amunisi, komponen senjata, peralatan khusus untuk angkatan darat dan laut, peralatan elektronik, serta kendaraan lapis baja khusus.

    Menolak Netanyahu di Jerman

    Laporan ini juga menyinggung pentingnya menghormati hukum internasional. Hal ini merespons pernyataan Kanselir Friedrich Merz, yang sebelumnya sempat menyatakan akan tetap mengundang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, meski ada surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

    Merz bahkan menawarkan “cara dan jalur” khusus agar Netanyahu bisa datang dan pergi dari Jerman tanpa ditangkap. Laporan Friedensgutachten 2025 menegaskan, “hukum internasional harus diutamakan di atas alasan kenegaraan.” Oleh karena itu, “untuk saat ini, kunjungan resmi Netanyahu ke Jerman tidak dapat diterima.”

    Para peneliti juga mendesak Jerman agar dalam jangka menengah mendukung pengakuan negara Palestina. Menurut mereka, penyelesaian jangka panjang konflik Palestina “tidak mengurangi sedikit pun hak Israel atas keberadaan sebagai negara Yahudi dalam batas yang aman.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi Oleh: Rizki Nugraha
    Editor: Hendra Pasuhuk

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Wamenlu Arief Havas Bicara Mineral Kritis Incaran Dunia, Ini Katanya

    Wamenlu Arief Havas Bicara Mineral Kritis Incaran Dunia, Ini Katanya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno mengatakan, permintaan mineral kritis di dunia saat ini meningkat secara eksponensial sebagai bagian dari teknologi energi bersih dunia. Karena itu, mineral kritis menjadi sangat penting sebagai bahan baku dalam energi bersih dunia.

    “Mineral kritis global yang kita lihat hari ini sekarang menjadi aspek yang sangat penting dalam permintaan energi bersih. Seperti nikel, kobalt, zinc, aluminium, tembaga, dan lain-lain,” Arif Havas dalam keynote speech-nya di acara Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 di Jakarta, pada Selasa (3/6/2025).

    Salah satu industri yang membutuhkan mineral kritis yang disebutkan oleh Arif Havas adalah kendaraan listrik.

    Sebagai informasi, penjualan mobil listrik pada 2024 mencapai 17 juta unit secara global dan diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan semakin murahnya harga kendaraan. Mengutip laporan Badan Energi Internasional (EIA), pangsa pasar mobil listrik di dunia diprediksi akan tembus 40% pada tahun 2030. 

    Bahkan, dalam jangka pendek, penjualan mobil listrik bisa mencapai 20 juta unit pada 2025. Atau setara seperempat dari total mobil yang dijual di dunia. Kebutuhan mobil listrik nantinya diperkirakan merata di berbagai benua, Asia, Amerika, hingga Eropa. 

    “Saya menjadi Ambassador ke Jerman selama 7 tahun. Saya tahu betapa pentingnya di Eropa, permintaan energi bersih di Jerman dan juga di Eropa,” ucapnya.

    Arief Havas menjelaskan betapa pentingnya mineral kritis saat ini bukan hanya untuk perkembangan energi terbarukan, tapi juga kesejahteraan. Peran Indonesia di industri mineral kritis tidak hanya sebagai produsen saja tapi sebagai jembatan bagi dunia.

    “Aktivisme Indonesia dalam membuat kooperasi global dan menjadikan jembatan global antara pemain-pemain yang berbeda dalam hal-hal yang sangat penting dalam hidup kita,” katanya.

    Lebih lanjut Arief juga mengatakan, Indonesia mendapatkan nilai tambah yang begitu fantastis dari hilirisasi mineral kritis.

    “Hanya selama 4 tahun, nilai kami akan mencapai 20 juta dolar,” katanya.

    Keunggulan Indonesia adalah memiliki beragam mineral kritis, Sehingga nilai yang didapatkan Indonesia dari hilirisasi mineral kritis akan lebih besar lagi. Arief mengatakan pemberdayaan sumber daya mineral kritis Indonesia juga dibarengi dengan penerapan ESG.

    “Saya pikir ESG adalah elemen yang sangat penting untuk proses dan ekstraksi mineral kritikal kita,” ungkapnya.

    (dce)