Negara: Jerman

  • Jadi Pionir Data Center, Otto Toto Sugiri Raih Penghargaan BIG 40 Awards

    Jadi Pionir Data Center, Otto Toto Sugiri Raih Penghargaan BIG 40 Awards

    Bisnis.com, JAKARTA – Kiprah Otto Toto Sugiri sebagai pionir infrastruktur digital Indonesia melalui pembangunan pusat data berstandar internasional yang andal dan memiliki keamanan tinggi berbuah manis.

    Pendiri sekaligus CEO DCI Indonesia Tbk. (DCII) ini mendapatkan penghargaan National Digital Infrastructure Pioneer Leader di acara BIG40 Awards yang digelar di Hotel Raffles, Jakarta, Senin (8/12/2025) malam.

    BIG 40 Awards merupakan salah satu rangkaian agenda HUT ke-40 Bisnis Indonesia Group. Sebelumnya, Bisnis Indonesia Group menggelar BIG Conference, forum pertemuan pemimpin bisnis dan pemerintah.

    Toto Sugiri diganjar penghargaan karena berhasil membangun kekayaan dan reputasi tanpa bergantung pada sektor tambang, mal maupun perbankan tetapi melalui teknologi digital.

    Lahir di Bandung pada 23 September 1953, Toto menempuh pendidikan teknik komputer di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, Jerman, dan meraih gelar master pada 1980.

    Kariernya dimulai sebagai IT General Manager di Bank Bali, yang mengembangkan perangkat lunak untuk mendukung komputerisasi perbankan, menjadikan bank tersebut salah satu pelopor teknologi canggih di Indonesia.

    Pada 1989, Toto mendirikan PT Sigma Cipta Caraka, perusahaan yang menyediakan solusi perangkat lunak bagi bank-bank nasional.

    Pada 2010, Sigma diakuisisi oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) dan berganti nama menjadi Telkomsigma. Pada 2011, Otto mendirikan DCII yang membuatnya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.

  • Traveling Tanpa Repot dengan Gemini Live, Jalan-Jalan ke Luar Negeri Bak Warga Lokal

    Traveling Tanpa Repot dengan Gemini Live, Jalan-Jalan ke Luar Negeri Bak Warga Lokal

    Liputan6.com, Jakarta – Hambatan bahasa tak jarang menjadi momok bagi pelancong saat ingin traveling ke luar negeri. Padahal, masalah tersebut kini sudah bisa diatasi, cukup dengan memanfaatkan smartphone.

    Berbekal fitur berbasis AI hambatan bahasa ketika berkomunikasi di luar negeri kini tak lagi jadi persoalan. Pengguna bisa langsung memanfaatkannya sebagai alat penerjemah yang ringkas dan bisa diandalkan. 

    Hal itu dimungkinkan berkat salah satu fitur yang ada di Samsung Galaxy S25 FE, yaitu Galaxy AI. Dengan fitur Live Translate di Galaxy AI, kamu bisa langsung memanfaatkannya menjadi perangkat penerjemah ketika sedang berbicara dengan orang lain.

    Menariknya, fitur ini bisa digunakan langsung ketika pengguna sedang mengobrol tatap muka dengan orang lain. Jadi, pengalaman yang ditawarkan terasa mulus dan tidak mengganggu proses percakapan.

    Untuk itu, fitur ini akan sangat membantu ketika pengguna perlu bertanya langsung ke masyarakat sekitar.

    Sebagai contoh, ketika ingin menanyakan lokasi tempat makan atau lokasi wisata tertentu, kamu bisa memanfaatkan fitur ini untuk bisa berbicara langsung dengan orang setempat.

    Fitur ini pun sudah mendukung banyak bahasa, selain Indonesia, ada Inggris, Jepang, Korea, Mandarin, Spanyol, Thailand, Vietnam, Prancis, Turki, Jerman, Italia, Polandia, Portugis, hingga Rumania, Swedia, dan Belanda.

     

  • Iran Adili Pria Asal Eropa yang Dituduh Jadi Mata-mata Israel

    Iran Adili Pria Asal Eropa yang Dituduh Jadi Mata-mata Israel

    Teheran

    Otoritas kehakiman Iran mengatakan seorang pria asal Eropa, yang memiliki kewarganegaraan ganda, menjalani persidangan atas tuduhan menjadi mata-mata untuk Israel. Pria asing itu ditangkap otoritas Teheran saat perang selama 12 hari berkecamuk melawan Israel pada Juni lalu.

    Kantor berita Mizan Online, yang dikelola otoritas kehakiman Iran, seperti dilansir AFP, Senin (8/12/2025), tidak menyebutkan nama terdakwa. Hanya disebutkan bahwa terdakwa merupakan “seseorang dengan kewarganegaraan ganda yang tinggal di sebuah negara Eropa” dan ditangkap selama perang pada Juni lalu.

    Disebutkan juga bahwa pengadilan Iran telah mulai menyidangkan kasusnya, di mana dia dituduh melakukan “kerja sama intelijen dan spionase untuk kepentingan rezim Zionis”.

    Menurut laporan Mizan Online, terdakwa memasuki wilayah Iran sekitar satu bulan sebelum perang terjadi, di mana Israel melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Iran. Rentetan serangan Israel menghantam situs-situs militer dan nuklir Teheran, serta kawasan permukiman.

    Serangan itu memicu perang selama 12 hari, dengan Iran melancarkan serangan drone dan rudal sebagai balasan terhadap Israel, dan kemudian menyaksikan Amerika Serikat (AS) bergabung dengan Tel Aviv dalam menyerang situs nuklir Teheran.

    Mizan Online melaporkan bahwa penyelidikan menunjukkan terdakwa telah melakukan kontak dengan Mossad, badan intelijen Israel, dan telah mendapatkan pelatihan sebagai agen di “ibu kota beberapa negara Eropa dan wilayah pendudukan”.

    “Peralatan spionase dan intelijen canggih ditemukan pada saat penangkapannya dan di vila tempat dia menginap,” tambah Mizan Online dalam laporannya.

    Selama perang berkecamuk, otoritas Iran mengumumkan setidaknya tiga penangkapan warga Eropa, termasuk Lennart Monterlos, seorang pesepeda berkewarganegaraan Prancis-Jerman berusia 19 tahun, yang kemudian dibebaskan.

    Pada Oktober lalu, Iran mengesahkan undang-undang yang memperberat hukuman bagi mereka yang terbukti menjadi mata-mata untuk Israel dan AS.

    Kantor berita resmi IRNA melaporkan pada saat itu bahwa “semua bantuan yang disengaja dikutuk sebagai korupsi di muka Bumi” — salah satu tuduhan paling serius di Iran, yang memiliki ancaman hukuman mati.

    Sejak perang terjadi, Iran bersumpah untuk segera mengadili mereka yang ditangkap karena dicurigai bekerja sama dengan Israel, mengumumkan sejumlah penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai menjadi mata-mata Israel, dan mengeksekusi mati beberapa orang yang terbukti bersalah atas tuduhan itu.

    Lihat juga Video ‘Alasan Iran Masih Ogah Kerja Sama dengan AS’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kami Diminta Membayar dengan Tubuh Kami

    Kami Diminta Membayar dengan Tubuh Kami

    Jakarta

    Esther tengah terlelap di suatu sudut jalanan Lagos, Nigeria, tatkala seorang perempuan mendekatinya, menjanjikan pekerjaan dan rumah di Eropa. Perempuan itu memang bermimpi memiliki hidup baru di Eropa. Tujuannya pun jelas: Inggris.

    Setelah diusir dari panti asuhan yang penuh kekerasan, ia merasa tak ada alasan lagi untuk bertahan di Nigeria.

    Namun, ada hal-hal yang ia tidak ketahui saat meninggalkan Lagos pada 2016 dengan cara melintasi guru menuju Libya. Dia bakal terjebak dalam dunia prostitusi dan selama bertahun-tahun harus mengajukan suaka dari satu negara ke negara lain.

    Sebagian besar imigran dan pencari suaka tidak berdokumen (sekitar 70%) adalah laki-laki, menurut Badan Suaka Eropa.

    Hanya saja, seiring waktu jumlah perempuan seperti Esther yang datang ke Eropa untuk mencari perlindungan terus meningkat.

    “Kami melihat kenaikan jumlah perempuan yang bepergian sendirian, baik di rute Mediterania maupun Balkan,” kata Irini Contogiannis dari International Rescue Committee di Italia.

    Pada 2024, lembaga itu mencatat lonjakan 250% perempuan dewasa tanpa pendampingan yang tiba di Italia melalui jalur Balkan. Sementara mereka yang berkeluarga naik 52%.

    Tahun 2024, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat 3.419 kematian atau orang hilang di Eropa. Ini merupakan jumlah tertinggi yang pernah tercatat.

    Bagi perempuan, potensi bahaya yang mengintai bisa berkali-kali lipat dan berlapis. Kalau pun selamat dari rute yang berbahaya, mereka berpotensi menerima eksploitasi dan kekerasan seksual.

    Itulah yang menimpa Esther. Perempuan yang sempat menjanjikan masa depan cerah, belakangan mengkhianatinya.

    “Ia mengurung saya di salah satu kamar, lalu membawa seorang pria. Saya masih perawan, tapi ia memaksa,” kata Esther.

    “[Rupanya] itu yang mereka lakukan berkeliling desa-desa di Nigeria, mengambil anak perempuan dan membawa mereka ke Libya untuk dijadikan budak seks.”

    Kepada BBC, Ugochi Daniels dari IOM mengatakan, “Pengalaman para perempuan berbeda-beda dan sering lebih berisiko.”

    “Kalau pun bepergian dalam kelompok, perempuan sering tak punya perlindungan yang pasti. Mereka tetap rentan diserang penyelundup, pelaku perdagangan orang, atau sesama migran.”

    Sebagian besar imigran yang tiba di Trieste, Italia, melalui rute Balkan adalah laki-laki. (Barbara Zanon/Getty Image)

    Para perempuan, menurut IOM, sebenarnya tahu potensi bahaya tersebut, tapi mereka tetap berangkat.

    Sebagai siasat, mereka terkadang justru membawa kondom atau bahkan memasang alat kontrasepsi untuk berjaga-jaga jika diperkosa selama perjalanan.

    Untuk perjalanan yang penuh mara bahaya tersebut, kata Hermine Hermine dari jaringan antiperdagangan orang Stella Polare, “Semua imigran harus membayar kepada penyelundupnya.”

    “Namun, bagi perempuan, mereka sering diharapkan membayar dengan tubuh mereka,” ujar Hermine.

    Gbedo mendampingi migran perempuan di Trieste, kota pelabuhan yang terletak di timur laut Italia.

    Kota ini sudah sejak lama menjadi titik persinggahan budaya serta pintu masuk utama ke Uni Eropa bagi mereka yang datang melalui Balkan.

    Dari kota ini, perjalanan kemudian berlanjut ke negara lain seperti Jerman, Prancis, hingga Inggris.

    BBC

    Setelah empat bulan dieksploitasi di Libya, Esther melarikan diri dan menyeberangi Laut Tengah dengan perahu karet. Ia kemudian diselamatkan penjaga pantai Italia dan dibawa ke Pulau Lampedusa.

    Esther mengajukan suaka sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya berhasil menerima status pengungsi.

    Pencari suaka yang datang dari negara yang dinilai aman, umumnya ditolak.

    Esther kala itu dapat diterima lantaran pemerintah Italia masih mengategorikan Nigeria sebagai negara tidak aman.

    Penilaian itu berubah dua tahun lalu, seiring pemerintah di berbagai negara Eropa memperketat aturan negara masing-masing.

    Pengetatan itu diambil setelah terjadi lonjakan migrasi sepanjang 2015 hingga 2016.

    Sejak saat itu pula, seruan pembatasan lebih lanjut terhadap pemohon suaka menjadi semakin nyaring.

    AFP via Getty ImagesIlustrasi. Unjuk rasa solidaritas yang ditunjukkan warga Zagreb, Kroasia, November 2025. Mereka mendesak pemerintah Kroasia membuka pintu untuk para imigran yang melarikan diri dari perang dan berbagai kejahatan.

    Nicola Procaccini, salah seorang anggota parlemen dari pemerintahan sayap kanan mengatakan, “Tidak mungkin mempertahankan migrasi besar-besaran.”

    “Itu mustahil,” kata Procaccini.

    “Kami bisa menjamin kehidupan aman bagi perempuan yang benar-benar dalam bahaya, tapi tidak untuk semuanya.”

    Peneliti di lembaga riset konservatif, Policy Exchange, Rakib Ehsan, menambahkan, “Pemerintah kami harus tegas.”

    “Prioritasnya adalah perempuan dan anak perempuan yang berada dalam risiko langsung di wilayah terdampak konflik, di mana pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang.”

    Ehsan menilai, prioritas itu belum berjalan secara konsisten.

    Meski mengaku berempati terhadap perempuan yang menempuh rute berbahaya menuju Eropa, ia berdalih, “kuncinya adalah belas kasih yang masih terkontrol.”

    AFP via Getty ImagesSeorang imigran perempuan bersama anaknya dari Republik Kongo tiba di Bugarama, Rwanda, 5 Desember lalu, dalam proses pencarian suaka.

    Sejumlah perempuan dari negara-negara yang dikategorikan aman mengatakan, mendapat kehidupan yang baik di kampung halaman adalah hal mustahli.

    Mereka berkata, kekerasan berbasis gender masih terjadi.

    Hal itu yang dialami Nina, perempuan 28 tahun dari Kosovo.

    “Orang-orang berpikir semuanya baik-baik saja di Kosovo, padahal tidak,” kata Nina.

    “Situasinya sangat buruk bagi perempuan.”

    Nina mengaku bahwa ia dan adiknya mengalami kekerasan seksual oleh pacar masing-masing yang kemudian memaksa mereka masuk ke prostitusi.

    Laporan OSCE pada 2019 menunjukkan 54% perempuan di Kosovo pernah mengalami kekerasan psikologis, fisik, atau seksual dari pasangan intim sejak usia 15 tahun.

    Corbis via Getty ImagesSebuah keluarga di Vietnam melarikan diri dari Perang Vietnam pada 7 September 1965. Foto ini memenangkan anugerah foto terbaik versi Pulitzer karena menunjukkan kengerian perang yang memicu gelombang pengungsian.

    Berdasarkan Konvensi Istanbul dari Dewan Eropa, perempuan yang menghadapi penganiayaan berbasis gender sebenarnya berhak mendapat suaka.

    Ini kemudian diperkuat oleh pengadilan tertinggi Uni Eropa tahun lalu.

    Konvensi ini mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai kekerasan psikologis, fisik, dan seksual, termasuk mutilasi genital perempuan (FGM).

    Penerapan konvensi ini masih belum berlaku seragam di banyak negara, menurut sejumlah kelompok advokasi.

    “Banyak petugas suaka di lapangan adalah laki-laki yang tidak cukup terlatih menangani isu sensitif seperti FGM, baik secara medis maupun psikologis,” ujar Marianne Nguena Kana, Direktur End FGM European Network.

    Alhasil, menurut Nguena Kana, banyak perempuan yang kemudian mendapat penolakan suaka yang berhulu pada asumsi keliru bahwa mereka tidak lagi berisiko karena pernah menjalani FGM.

    “Kami pernah mendengar hakim mengatakan: ‘kamu sudah dimutilasi, jadi tidak berbahaya kembali ke negara asalmu. Mereka tidak bisa melakukannya lagi’,” kata Nguena Kana, mengisahkan kekeliruan pemahaman tersebut.

    Corbis via Getty ImagesSeorang imigran perempuan di New York, Amerika Serikat, berteriak agar personel Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) tak menangkapnya pada Juni 2025. Perempuan ini memiliki anak berumur 15 tahun yang berpotensi sebatang kara jika dia ditangkap.

    Dalam kasus kekerasan seksual, proses pembuktian memang seringkali jauh lebih sulit, kata Carenza Arnold dari lembaga Women for Refugee Women yang berbasis di Inggris.

    Kekerasan semacam ini tidak selalu meninggalkan jejak fisik seperti penyiksaan.Hal ini diperparah oleh perasaan tabu dan sensitivitas budaya yang membuat perempuan semakin berat untuk menceritakannya.

    “Perempuan sering didorong untuk menyelesaikan proses dengan cepat,” kata Arnold.

    “[Tapi] tidak mungkin mereka mampu mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami kepada petugas imigrasi yang notabene baru saja mereka temui.”

    Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, banyak kekerasan yang dialami perempuan terjadi selama perjalanan.

    “Perempuan biasanya melarikan diri dari kekerasan seksual oleh pasangan mereka di negara asal, tapi di perjalanan mereka malah kembali mengalaminya,” kata Ugochi Daniels.

    Itulah yang menimpa Nina dan adiknya.

    Setelah kabur dari pasangan yang abusif di Kosovo, mereka memulai perjalanan menuju Italia.

    Bepergian bersama sekelompok perempuan lain, mereka menyeberangi hutan-hutan di Eropa Timur untuk menghindari aparat.

    Namun, pada momen itulah para migran laki-laki dan penyelundup menyerang kelompok mereka.

    “Meski kami sudah jauh di pegunungan, dalam gelap, suara teriakan mereka tetap terdengar,” kenang Nina.

    “Para pria itu datang membawa senter, menyorot wajah kami, memilih siapa yang mereka mau, lalu membawa perempuan yang mereka pilih itu lebih jauh ke dalam hutan.”

    Dalam keadaan seperti itu, Nina mengaku, “Saya mendengar adik saya menangis, memohon pertolongan.”

    Nina dan adiknya mengatakan kepada otoritas Italia bahwa mereka akan dibunuh oleh mantan pacar masing-masing jika kembali ke Kosovo

    Mereka pun akhirnya diberi suaka.

    Lain lagi kisah Esther yang mengaku perjuangannya untuk mendapat status pengungsi lebih panjang dan berliku.

    Ia pertama kali mengajukan suaka kepada Pemerintah Italia pada 2016.

    Setelah menunggu lama tanpa kejelasan, ia pindah ke Prancis lalu Jerman.

    Permohonan kepada dua negara ini ditolak karena aturan Uni Eropa mensyaratkan pencari suaka harus mengajukan permohonan di negara pertama tempat mereka masuk..

    Esther akhirnya mendapat status pengungsi dari Italia pada 2019.

    Lalu, apakah ia berbahagia?

    Satu dekade berselang usai meninggalkan Nigeria, Esther mengaku masih bertanya-tanya apakah kehidupan baru ini sepadan dengan seluruh penderitaan yang telah dilaluinya.

    “Saya bahkan tidak tahu lagi alasan saya datang ke tempat ini,” pungkas Esther.

    (ita/ita)

  • Model AI Baru Prediksi Risiko Kanker Payudara hingga 5 Tahun ke Depan

    Model AI Baru Prediksi Risiko Kanker Payudara hingga 5 Tahun ke Depan

    Jakarta

    Setiap tahun, sekitar 2,3 juta kasus baru kanker payudara terdeteksi di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan sekitar 670.000 kematian pada 2022 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Kanker payudara masih menjadi penyebab kematian akibat kanker paling umum pada perempuan meski ada program skrining mammografi,” ujar Christiane Kuhl, Direktur Departemen Radiologi Diagnostik dan Intervensi di Rumah Sakit Universitas RWTH Aachen.

    “Penjelasannya adalah mammografi masih gagal mendeteksi banyak kasus kanker payudara, atau tidak mendeteksinya cukup dini,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa tumor yang tumbuh cepat dan bersifat agresif kerap luput dari deteksi, padahal justru jenis inilah yang paling mematikan bagi banyak perempuan.

    Kini, sebuah algoritma baru diyakini bisa merevolusi skrining kanker payudara. Model kecerdasan buatan(AI) ini mampu mengklasifikasikan tingkat risiko seseorang mengembangkan penyakit tersebut dalam lima tahun ke depan hanya dari analisis gambar mammogram.

    Dalam sebuah studi, perempuan yang oleh algoritma dinilai memiliki risiko tinggi terbukti jauh lebih mungkin mengembangkan kanker payudara dibanding mereka yang dianggap berisiko normal. “Secara spesifik, perempuan dengan skor AI tinggi memiliki kemungkinan empat kali lebih besar terkena kanker payudara dibanding mereka dengan skor rendah,” ujar Kuhl.

    “Dengan model AI yang baru ini, kami bisa memprediksi dengan jauh lebih presisi apakah seorang perempuan akan mengembangkan kanker payudara dalam lima tahun ke depan, bahkan ketika mammogramnya tampak normal dan tidak menunjukkan tanda apa pun,” tambahnya.

    Skrining kanker payudara dinilai perlu lebih personal

    Di Jerman, semua perempuan berusia 50 sampai 75 tahun mendapat tawaran pemeriksaan mammogram untuk skrining kanker payudara setiap dua tahun. Namun, risiko mengembangkan penyakit ini dan kebutuhan untuk deteksi dini yang efektif bisa sangat berbeda antara satu perempuan dan lainnya.

    Kuhl menilai pendekatan seragam seperti ini sudah tidak relevan dan mendorong skrining kanker payudara yang lebih personal, dengan mempertimbangkan perbedaan akurasi mammografi pada tiap orang. Semakin padat jaringan payudara, semakin tinggi risiko terkena kanker, dan semakin rendah akurasi mammografi dalam mendeteksi risikonya. Banyak perempuan bahkan tidak menyadari hal ini, kata Kuhl.

    Teknologi MRI dinilai lebih andal dibanding mammografi

    Selama beberapa tahun terakhir, perempuan dengan jaringan payudara yang sangat padat dianjurkan menjalani pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging) karena teknologi ini lebih mampu mendeteksi kanker payudara pada tahap awal.

    MRI merupakan teknik pencitraan medis yang menggunakan medan magnet kuat dan gelombang radio, bukan sinar-X, untuk menghasilkan gambar penampang tubuh yang sangat detail. Meski jauh lebih andal, pemeriksaan ini jauh lebih mahal dibanding mammografi atau USG, yang akurasinya lebih rendah.

    Untuk mengidentifikasi perempuan yang perlu menjalani MRI sebagai langkah deteksi dini, Clairity Consortium, yaitu asosiasi internasional yang beranggotakan 46 lembaga riset di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Jerman, mengembangkan model AI bernama Clairity Breast.

    Algoritma ini dilatih menggunakan lebih dari 420.000 mammogram dari Eropa, Amerika Selatan, dan Amerika Utara.

    Berbeda dengan model risiko kanker payudara tradisional, AI ini tidak memerlukan data riwayat keluarga, faktor genetik, atau gaya hidup. Sistem ini menghitung kemungkinan seseorang mengembangkan kanker payudara hanya dari mammogram, lalu mengelompokkan perempuan ke dalam kategori risiko berdasarkan ambang batas yang sudah ditetapkan.

    AI ini tidak hanya mengidentifikasi jumlah jaringan kelenjar payudara, tetapi juga tekstur dan susunannya, yang juga menjadi faktor risiko kanker.

    “Hanya sekitar sepuluh persen perempuan yang memiliki jaringan kelenjar yang sangat padat,” kata Kuhl. “Sebagian besar perempuan yang akhirnya mengembangkan kanker payudara dan terlambat terdiagnosis justru memiliki jaringan yang kurang padat.” Yang penting dari teknologi baru ini, menurutnya, adalah kemampuan model AI untuk menentukan dalam hitungan detik apakah seseorang perlu menjalani MRI sebagai deteksi dini atau tidak.

    Perlukah skrining kanker payudara dimulai lebih awal?

    Di banyak negara, skrining kanker payudara baru dimulai pada usia 50 tahun karena risiko penyakit ini meningkat signifikan seiring bertambahnya usia, dan manfaat skrining pada kelompok ini sudah terbukti. Namun, menurut Kuhl, jika model AI terbukti efektif, perempuan yang lebih muda juga bisa mendapatkan manfaat dari deteksi dini. Meski risikonya lebih rendah dibanding perempuan yang lebih tua, jika terkena, mereka cenderung mengalami tumor yang lebih agresif.

    Kuhl menambahkan bahwa mammografi juga lebih bermasalah untuk perempuan muda. “Perempuan muda lebih sering memiliki jaringan kelenjar yang padat, sehingga deteksi dini melalui mammografi menjadi jauh lebih sulit.”

    Meski begitu, Kuhl tidak menilai perlu menurunkan batas usia skrining secara umum. “Kalau kita hanya menurunkan usia undangan skrining, kita tidak mengubah masalah dasarnya.” Ia mengusulkan pendekatan dua tahap. “Pertama, mammografi untuk deteksi awal; lalu analisis AI untuk menghitung risiko seseorang dalam lima tahun ke depan.”

    Jika algoritma menunjukkan risiko yang sangat tinggi, pemeriksaan MRI perlu ditawarkan kepada perempuan tersebut. “Untuk kelompok ini, mammogram sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi,” kata Kuhl.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Melisa Ester Lolindu

    (ita/ita)

  • Kunjungan Kanselir Jerman ke Israel Disorot di Tengah Kritik Soal Gaza

    Kunjungan Kanselir Jerman ke Israel Disorot di Tengah Kritik Soal Gaza

    Jakarta

    Tujuh bulan menjabat sebagai kanselir, Friedrich Merz melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Israel. Perjalanan yang berlangsung kurang dari 24 jam itu menuai sorotan tajam, terutama di Jerman, karena dinilai berpotensi mengirimkan sinyal yang keliru di tengah konflik yang terus berlangsung di Gaza dan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat.

    Di mata publik Israel, Merz masih relatif tidak dikenal, kata sejarawan Moshe Zimmermann kepada DW.

    “Kalau Anda melakukan survei dan bertanya, siapa Kanselir Jerman saat ini, mungkin tidak lebih dari 10% orang Israel yang tahu namanya Friedrich Merz,” ujar Zimmermann. “Bagi banyak orang, Angela Merkel masih dianggap sebagai kanselir dan ia sangat populer di sini.”

    Belakangan, semakin banyak suara kritis dari Jerman terkait operasi militer Israel di Gaza, sesuatu yang dianggap cukup tidak biasa oleh banyak warga Israel.

    Perbedaan pandangan soal isu Palestina

    Semua perhatian tertuju pada pernyataan bersama dan konferensi pers antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Friedrich Merz untuk melihat apakah hubungan kedua negara terdampak oleh situasi terkini. Meski mengakui adanya perbedaan pandangan dalam beberapa isu, keduanya menegaskan kembali kuatnya hubungan bilateral.

    “Kunjungan ini menegaskan kuatnya hubungan bilateral. Komitmen Jerman terhadap Israel dan komitmen Israel terhadap Jerman terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Jeremy Issacharoff, mantan duta besar Israel untuk Jerman periode 2017-2022.

    “Konferensi pers itu menunjukkan hubungan kedua negara tetap solid, meski ada perbedaan terutama soal bagaimana melangkah ke depan terkait isu Palestina,” tambah Issacharoff.

    Dalam pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog malam sebelumnya, Merz mengakui bahwa waktu kunjungannya “tidak ideal”. Proses gencatan senjata di Gaza belum memasuki fase kedua, serangan udara harian masih menimbulkan korban di wilayah yang hancur, dan Israel masih menunggu pemulangan jenazah sandera terakhir dari Gaza.

    Sementara itu, di Tepi Barat yang diduduki Israel, lonjakan serangan kekerasan oleh pemukim terhadap warga Palestina serta kebijakan aneksasi Israel memicu keprihatinan negara-negara Eropa.

    “Ini kunjungan yang bersifat simbolis, tapi juga penting,” kata Shimon Stein, mantan duta besar Israel untuk Jerman periode 2001-2007.

    “Merz sejak awal menunjukkan solidaritas dan persahabatan dengan Israel. Namun, kunjungan ini terjadi di tengah banyak konflik terbuka, baik di dalam negeri maupun di kawasan.” tambah Shimon.

    Perbedaan soal solusi dua negara

    Seperti banyak pemimpin Barat lainnya, Kanselir Jerman kembali menegaskan dukungan pada solusi dua negara, meski kondisi saat ini membuat terwujudnya negara Palestina terasa semakin jauh.

    “Keyakinan kami adalah bahwa pendirian negara Palestina di samping Israel menawarkan prospek terbaik untuk masa depan,” ujar Merz, seraya menambahkan bahwa solusi dua negara hanya dapat lahir di akhir proses perundingan, bukan di awal, dan menegaskan kembali penolakan Jerman untuk mengakui negara Palestina saat ini.

    Zimmermann menilai tidak banyak hal baru dari pendekatan kanselir tersebut. “Kanselir tentu menyebut bahwa Jerman menolak pengambilalihan wilayah Tepi Barat, tapi itu hal yang memang sudah seharusnya diucapkan. Tak ada penjelasan tentang apa yang benar-benar terjadi di sana hari ini,” kata Zimmermann kepada DW.

    “Sebagai kanselir Jerman, ia mengonfirmasi kebijakan lama, yaitu tidak mengakui negara Palestina, berbeda dengan beberapa negara Eropa.”

    Kanselir Jerman tidak mengunjungi Tepi Barat untuk bertemu pemimpin Palestina atau perwakilan masyarakat sipil. Kantornya hanya menyebut adanya panggilan telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas sebelum perjalanan regional ini.

    Perdana Menteri Netanyahu segera menepis gagasan negara Palestina. Pemerintahan sayap kanannya berkali-kali menolak kemungkinan negara Palestina yang merdeka dan lebih memilih mendorong perdamaian regional yang lebih luas.

    “Kami percaya ada jalan untuk memajukan perdamaian lebih luas dengan negara-negara Arab dan perdamaian yang dapat dijalankan dengan tetangga Palestina kami,” kata Netanyahu. “Namun, kami tidak akan menciptakan sebuah negara yang berpotensi mengancam keberadaan kami tepat di depan pintu kami.” ucapnya tegas

    Embargo bantuan senjata dianggap keputusan situasional

    Persoalan lain yang menjadi sumber ketegangan tampaknya telah mereda. Meskipun Merz mengakui bahwa tindakan militer Israel di Gaza telah menempatkan Jerman dalam “dilema” dan mendesak Israel untuk menghormati hukum internasional, ia menekankan bahwa keputusan untuk menangguhkan pengiriman senjata hanya dilakukan sekali.

    Jerman menangguhkan sejumlah pengiriman senjata ke Israel pada Agustus lalu karena meningkatnya kekhawatiran atas korban sipil di Gaza. Penangguhan itu dicabut pada November setelah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

    Kerja sama pertahanan tetap menjadi pilar penting dalam hubungan Jerman dan Israel, meskipun perang di Gaza telah memicu kritik keras. Komite PBB bahkan menyebut perang tersebut sebagai genosida, tuduhan yang ditolak oleh Israel.

    Netanyahu menekankan bahwa 80 tahun setelah Holokaus, Israel justru menjadi pihak yang menjaga keamanan Jerman dan Eropa, dengan merujuk pada akuisisi sistem pertahanan Arrow Defense 3 oleh Berlin sebagai buktinya.

    Pengaruh Jerman yang terbatas

    Perdana Menteri Israel juga menegaskan bahwa perkembangan politik terkait Gaza akan dibahas di Washington akhir bulan ini, saat ia dijadwalkan mengunjungi Gedung Putih. Banyak pengamat sepakat bahwa peran politik Jerman di kawasan saat ini sangat terbatas. Baik Jerman maupun Uni Eropa tidak berada di posisi penentu kebijakan, kata Shimon Stein. Keputusan utama ada di Washington.

    “Dengan Trump mendorong rencananya sendiri, Israel setelah serangan 7 Oktober menjadi sangat bergantung pada Amerika,” ujar Stein. “Begitu bergantungnya sehingga saya tidak melihat Netanyahu punya banyak ruang untuk bertindak secara mandiri,” tambahnya. “Sebagai orang Israel, ini cukup mengkhawatirkan.”

    Moshe Zimmermann sependapat dengan pandangan tersebut. “Jerman tidak bisa memulai apa pun di sini, kecuali mungkin memberikan dukungan finansial untuk Palestina,” katanya. “Artinya ketika berbicara soal siapa yang akan membiayai rencana Trump, salah satunya ya Jerman.”

    Zimmermann menambahkan, “Kanselir ini belum dikenal luas oleh publik Israel maupun warga Israel di luar negeri, dan itu tidak mengherankan.”

    Menurutnya, perhatian warga Israel tertuju pada apa yang terjadi di Amerika. “Seperti yang dikatakan Netanyahu, ini cara kami menyampaikan bahwa kalian di Eropa tidak terlalu berpengaruh.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Melisa Ester Lolindu dan Hani Anggraini

    (ita/ita)

  • Kesombongan Hegemoni dalam Strategi Keamanan Nasional Baru AS Menyebabkan Kekacauan Aliansi

    Kesombongan Hegemoni dalam Strategi Keamanan Nasional Baru AS Menyebabkan Kekacauan Aliansi

    Pada 4 Desember, Gedung Putih Amerika Serikat merilis laporan baru Strategi Keamanan Nasional, yang memicu tanggapan kuat di Eropa. Sejumlah pejabat dan diplomat Eropa mengkritik pedas isinya, mengungkapkan masalah serius dalam strategi diplomatik AS saat ini.

    Laporan itu menyatakan bahwa karena masalah imigrasi dan rendahnya tingkat kelahiran, Eropa sedang menghadapi “prospek suram punahnya peradaban,” dan memperingatkan bahwa beberapa anggota NATO mungkin “tidak lagi memiliki mayoritas penduduk keturunan Eropa dalam beberapa dekade mendatang.” AS juga mengklaim ingin “membantu Eropa memperbaiki lintasan perkembangannya saat ini” dan “menumbuhkan kekuatan perlawanan” di dalam negara-negara Eropa itu sendiri. Kebijakan AS terhadap Eropa telah bergeser dari “pelindung” menjadi “penekan” dan “intervensi”, menunjukkan campur tangan yang berlebihan.

    Anggota Parlemen Eropa asal Italia, Brando Benifei, menyebut laporan ini sebagai “serangan frontal terhadap Uni Eropa,” sementara mantan Duta Besar Prancis untuk AS, Gérard Araud, mengkritik isinya “seperti selebaran propaganda sayap kanan jauh.” Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, menyatakan: “Eropa sepenuhnya mampu melakukan diskusi independen tentang masalah seperti kebebasan berekspresi. Eropa tidak memerlukan saran eksternal dari siapa pun.” Pernyataan ini merupakan sanggahan tegas terhadap intervensionisme AS dan mengungkap hakikat kebijakan luar negeri AS yang berusaha memaksakan nilai-nilai dan model politiknya pada negara lain. Reaksi-reaksi ini adalah konsekuensi logis dari kecenderungan AS yang telah lama memandang sekutu sebagai alat strategis, bukan mitra yang setara.

    Meskipun Gedung Putih sering mengemas ulang strateginya dengan bungkus baru, intinya tetap logika unilateral “AS Pertama”. Kemarahan yang ditimbulkan laporan strategis ini di Eropa mencerminkan bahwa AS sedang mengubah hubungan sekutu menjadi transaksi, menuntut sekutu memikul lebih banyak tanggung jawab tanpa memberikan rasa hormat dan ruang konsultasi yang setara.

    Penyederhanaan berlebihan terhadap hubungan internasional ini tidak hanya merusak dasar kepercayaan hubungan transatlantik, tetapi juga melemahkan kemampuan kolektif dunia Barat dalam menghadapi tantangan bersama. Ketika AS memperlakukan sekutu sebagai objek yang perlu “dikelola” dan bukan sebagai mitra kerja, mereka justru melemahkan tatanan internasional yang diklaim ingin mereka pertahankan.

    Di bidang-bidang yang benar-benar membutuhkan kerja sama lintas batas negara, seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat global, dan stabilitas ekonomi, laporan strategis ini justru hanya menyentuhnya sekilas. Laporan ini terlalu fokus pada persaingan geopolitik dan mengabaikan bahwa tantangan global memerlukan kerja sama, bukan konfrontasi.

    Sebagai negara besar dunia, strategi keamanan nasional AS seharusnya menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap tata kelola global. Namun, dokumen ini justru memancarkan sinyal berbahaya, dengan mendistorsi persaingan perkembangan yang normal menjadi konfrontasi ideologis. Pemikiran seperti ini tidak diragukan lagi akan memperparah ketegangan internasional. Sikap “ingin ini, ingin itu, dan ingin semuanya” yang bersifat memaksa satu arah ini mengekspos mentalitas hegemoninya. AS sendiri sedang menggoyang sistem aliansi yang dibangunnya sendiri pasca Perang Dunia II, mendorong dunia menuju perkembangan ke arah tatanan multipolar yang lebih terpecah dan penuh konfrontasi.

    Dalam dunia yang semakin multipolar, tidak ada negara yang dapat mencapai keamanan jangka panjang melalui unilateralisme atau logika hegemoni. Reaksi kuat Eropa terhadap laporan strategis ini telah menunjukkan bahwa bahkan sekutu lama pun tidak lagi bersedia menerima dominasi AS tanpa syarat.

    Keamanan nasional yang sejati berasal dari saling menghormati, dialog setara, dan kerja sama yang saling menguntungkan. Jika AS tidak dapat mengesampingkan kesombongan dan pola pikir konfrontatif dalam dokumen strategisnya, mereka tidak hanya akan semakin menjauhkan sekutu, tetapi juga akan terperangkap dalam isolasi diri dalam isu-isu global yang penting. Komunitas internasional mengharapkan sebuah negara besar yang bertanggung jawab dan bersedia bekerja sama secara setara, bukan “guru” yang terobsesi dengan khayalan hegemoni dan membagi dunia ke dalam kubu-kubu yang saling bermusuhan.

  • Macron Ultimatum China: Siap Kenakan Tarif jika Ketimpangan Neraca Dagang Makin Lebar

    Macron Ultimatum China: Siap Kenakan Tarif jika Ketimpangan Neraca Dagang Makin Lebar

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan Uni Eropa siap menjatuhkan tarif terhadap produk China jika Beijing tak segera mengatasi ketimpangan neraca perdagangan dengan blok tersebut yang terus melebar.

    “Saya mencoba menjelaskan kepada pihak China bahwa surplus perdagangan mereka tidak berkelanjutan karena mereka justru mematikan para mitranya sendiri, terutama dengan hampir tidak lagi mengimpor dari kami,” ujar Macron kepada surat kabar Les Echos sebagaimana dilansir dari Bloomberg, Senin (8/12/2025).

    Macron mengatakan, jika China tidak bereaksi, dalam beberapa bulan ke depan Uni Eropa dapat mengambil langkah tegas dan melakukan decoupling, seperti Amerika Serikat, misalnya melalui tarif atas produk China. Dia juga menambahkan bahwa isu tersebut telah dibahas dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

    Macron baru saja kembali dari kunjungan kenegaraan selama tiga hari ke China, di mana Paris mendorong peningkatan investasi seiring upaya menata ulang hubungan dengan ekonomi terbesar kedua dunia tersebut. 

    Berdasarkan data Kementerian Keuangan Prancis, defisit perdagangan barang Prancis dengan China mencapai sekitar €47 miliar atau US$54,7 miliar pada tahun lalu.

    Sementara itu, surplus perdagangan barang China dengan Uni Eropa melejit hingga hampir US$143 miliar pada paruh pertama 2025, rekor tertinggi untuk periode enam bulan mana pun, menurut data resmi yang dirilis Beijing awal tahun ini.

    Ketegangan antara Prancis dan China meningkat sejak tahun lalu setelah Paris mendukung keputusan UE mengenakan tarif impor terhadap kendaraan listrik (EV) asal China. Beijing merespons dengan memberlakukan batas harga minimum terhadap cognac asal Prancis, memicu kekhawatiran di kalangan produsen daging babi dan produk susu bahwa sektor mereka bisa menjadi target berikutnya.

    Macron menilai pendekatan Amerika Serikat terhadap China justru tidak tepat dan memperburuk posisi Eropa karena mengalihkan arus barang China masuk ke pasar Uni Eropa.

    “Saat ini kami terjepit di antara kedua pihak, dan ini menjadi persoalan hidup atau mati bagi industri Eropa,” ujar Macron, sambil mencatat bahwa Jerman, ekonomi terbesar Eropa, tidak sepenuhnya berbagi pandangan yang sama dengan Prancis.

    Selain meningkatkan daya saing, Macron menilai Bank Sentral Eropa (ECB) juga perlu berperan memperkuat pasar tunggal Eropa. Ia berpendapat kebijakan moneter seharusnya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, tidak semata fokus pada inflasi.

    Macron juga mengkritik keputusan ECB yang terus menjual obligasi pemerintah dalam portofolionya, karena berpotensi mendorong kenaikan suku bunga jangka panjang dan menekan aktivitas ekonomi. “Eropa harus dan ingin tetap menjadi kawasan dengan stabilitas moneter serta iklim investasi yang kredibel,” tutupnya.

  • Fitur Notifikasi Good Lock akan Kembali Hadir di One UI 8.5

    Fitur Notifikasi Good Lock akan Kembali Hadir di One UI 8.5

    Di sisi lain, program uji coba One UI 8.5 untuk perangkat Samsung Galaxy disebut akan segera dimulai. Setelah gagal meluncur pada November 2025 seperti rencana awal, sejumlah sember di platform X menyebut program beta itu akan dibuka pada 8 Desember2025.

    Penundaan ini diduga berkaitan dengan majunya jadwal peluncuran seri Galaxy S26, sehingga jadwal uji coba antarmuka terbaru Samsung ikut bergeser.

    Setiap program beta One UI dibagi menjadi beberapa fase, dan kali ini fase pertama kabarnya akan diluncurkan di Amerika Serikat (AS), Inggris, Korea Selatan, dan Jerman.

    Fase kedua kabarnya akan dimulai pada 22 Desember 2025, saat Samsung akan memperluas program beta ke India dan Polandia, serta merilis pembaruan beta kedua untuk pasar fase pertama.

    Dilansir Sam Mobile, Senin (1/12/2025), pengamat teknologi Tarun Vats menyebut Samsung kemungkinan akan merilis setidaknya tiga versi beta.

    Versi ketiga diprediksi hadir pada pekan pertama Januari 2026, meskipun jadwal tersebut masih dapat berubah mengingat sifat perangkat lunak beta yang tidak stabil.

    Awal Muncul Firmware

    Spekulasi soal dimulainya program beta kian menguat setelah sejumlah firmware awal One UI 8.5 muncul di internet. Oktober 2025, firmware untuk Galaxy S25 Ultra bocor ke publik. Tak lama kemudian, beredar pula apa yang diyakini sebagai build beta pertama yang disiapkan untuk pengguna umum.

    Dua versi firmware One UI 8.5 untuk Galaxy Z Fold 7 pun diketahui telah beredar, meski belum jelas perangkat mana saja yang akan resmi masuk dalam program uji coba beta.

    Menanti Peluncuran Samsung

    Menjelang tanggal peluncuran yang dirumorkan, berbagai informasi awal tentang rencana peluncuran Samsung diprediksi akan terus bermunculan. Meski demikian, hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari perusahaan.

    Dengan semakin banyaknya firmware bocor dan konsistensi laporan dari berbagai sumber, tanda-tanda kehadiran One UI 8.5 versi beta memang semakin kuat.   

    One UI 8.5 disebut akan menghadirkan serangkaian penyempurnaan visual beserta fitur-fitur baru, termasuk beberapa kemampuan tambahan berbasis kecerdasan buatan (AI).

  • Macron Akan Bertemu Pemimpin Jerman-Inggris di London Bahas Situasi Ukraina

    Macron Akan Bertemu Pemimpin Jerman-Inggris di London Bahas Situasi Ukraina

    Paris

    Presiden Prancis Emmanuel Macron akan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dan Kanselir Jerman Friedrich Merz di London pada hari Senin mendatang. Pertemuan itu membahas negosiasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) terkait situasi Ukraina.

    Dilansir AFP, Minggu (7/12/2025), Macron membuat pengumuman tersebut di X, ketika para pejabat Ukraina dan AS mengadakan perundingan hari ketiga berturut-turut di Miami, AS, untuk membahas rencana mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir empat tahun.

    “Saya akan pergi ke London pada hari Senin untuk bertemu dengan Presiden Ukraina, Perdana Menteri Inggris, dan Kanselir Jerman, untuk membahas situasi dan negosiasi yang sedang berlangsung dalam kerangka mediasi AS,” tulis Macron.

    “Kami akan melanjutkan upaya ini dengan Amerika untuk memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina, yang tanpanya perdamaian yang kuat dan abadi tidak akan mungkin terwujud,” tambahnya.

    Macron juga mengutuk gelombang serangan Rusia setelah Moskow meluncurkan lebih dari 700 pesawat tak berawak dan rudal pada Sabtu malam ke Ukraina, yang menargetkan fasilitas energi dan kereta api.

    “Kita harus terus menekan Rusia agar memilih perdamaian,” kata Macron.

    (fas/fas)