Negara: Jerman

  • Guru Besar IPB Beberkan Solusi Gemukkan Sapi Sekaligus Selamatkan Bumi

    Guru Besar IPB Beberkan Solusi Gemukkan Sapi Sekaligus Selamatkan Bumi

    Jakarta

    Sektor peternakan selama ini dikenal sebagai penyedia protein hewani bagi manusia. Namun di balik itu, kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca, khususnya gas metana, sangat mengkhawatirkan.

    “Metana ini kontribusi ke global warming. Bahkan kemampuan metana dalam frekuensi panas dibandingkan karbon dioksida 20 sampai 25 kali lebih tinggi,” kata Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc., saat berbicara di acara Habibie Prize 2025, yang digelar di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).

    Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University ini, selain memperburuk iklim, metana juga menandakan adanya energi yang hilang dari proses pencernaan ternak.

    “Biasanya sekitar 4-15% energi yang hilang sebagai metana. Jadi jelasnya. Kalau kita misalkan energi dasar ini, di satu sisi menurunkan emisi lingkungan, satu sisi juga meningkatkan ketersediaan energi bagi ternak untuk produktivitas,” jelasnya.

    Dengan kata lain, Anuraga dan timnya berhasil menemukan cara untuk menekan emisi metana sekaligus meningkatkan berat badan ternak. Solusi ini datang dari bahan alami berupa senyawa polifenol atau tanin yang diformulasikan dalam bentuk plastic compound dan digunakan sebagai feed additive atau bahan tambahan pakan.

    “Pada sapi, bisa meningkatkan pertambahan bobot. Misalnya, biasanya berat badan sapi naik 1,2 kg per hari, bisa meningkat menjadi 1,4 bahkan 1,5 kg per hari,” ungkapnya.

    Secara sederhana, dengan menekan emisi metana, energi yang semula terbuang bisa dimanfaatkan tubuh ternak untuk pertumbuhan. Dampaknya, lingkungan lebih bersih dan ekonomi peternak lebih kuat karena sapi yang lebih gemuk.

    Anuraga Jayanegara berbicara di panggung Habibie Prize 2025. Foto: Rachmatunnisa/detikINETTerinspirasi dari Eropa

    Inovasi ini bermula dari pengalaman Anuraga saat menempuh studi S2 di Jerman dan S3 di ETH Zürich, Swiss. Di sana, ilmuwan menggunakan tanin alami untuk meningkatkan produktivitas lahan, menurunkan emisi, dan memperbaiki kualitas lemak hewan ternak.

    Konsep itu kemudian ia bawa ke Indonesia, yang mendorongnya meneliti kandungan tanin di tanaman lokal. Hasilnya mengejutkan, karena kandungan tanaman lokal berlipat kali lebih tinggi dibandingkan tanaman di Eropa.

    Sayangnya, industri pengolahan tanin di Indonesia belum berkembang, sementara negara seperti Thailand dan Korea sudah lama mengindustrialisasinya.

    Padahal, sumber tanin berlimpah di Indonesia, terutama di kulit pohon dan daun-daunan. “Biasanya kulit kayu dibuang atau dibakar setelah panen industri hutan tanaman. Padahal itu sumber bahan bernilai tinggi. Kalau kita bisa ekstraksi dan konsentrasikan, nilai jualnya bisa sampai Rp120 ribu per kg,” ujar Anuraga.

    Tantangan

    Bagi Anuraga, tantangan terbesar bukan pada teknologi, tapi pada industrialisasi dan investasi. “Untuk teknologi know-how-nya Insya Allah kami memahami. Tapi ketika masuk ke tahap atas (skala industri), investasi, harus ini dan itu. Nah, sering kali ada kami tahan diri karena merasa belum yakin ke arah sana,” ungkapnya.

    Ia berharap kerja sama antara perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri bisa semakin erat untuk mewujudkan hal-hal semacam ini. Jika terwujud, lanjut Anuraga, industri hijau berbasis tanin tak hanya akan berkontribusi pada mitigasi iklim, tapi juga membuka lapangan kerja baru di daerah-daerah.

    Anuraga Jayanegara menerima penghargaan Habibie Prize 2025 dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Foto: Rachmatunnisa/detikINETHabibie Prize 2025

    Anuraga mengaku tak menyangka menjadi salah satu penerima Habibie Prize 2025. Ia merasa ada banyak orang-orang luar biasa di Indonesia yang memberikan kontribusi.

    “Tapi mungkin di sisi lain, mungkin bagi kami (para peneliti), ini sebuah hal kelompok besar kami untuk di-acknowledge,” katanya rendah hati.

    Ia berharap penghargaan ini menjadi inspirasi bagi generasi muda agar tak takut menekuni sains. “Sains itu seperti jalan ninja. Kadang tak terlihat di permukaan. Kita mungkin gak muncul di permukaan tapi dampaknya yang dirasakan. Itulah bagi saya, sains itu luar biasa,” tuturnya.

    Berbicara tentang masa depan, Anuraga membayangkan ekosistem pertanian dan peternakan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.

    “Di negara maju, petani dan peternak hidup sejahtera. Di Indonesia hingga saat ini belum begitu. Ini yang perlu kita sama-sama tumbuhkan ekosistem agar sistemnya berkeadilan. Keadilan ini sangat penting dalam ekosistem bisnis, tentunya juga nanti kami (para ilmuwan) dalam berinovasi lebih semangat lagi,” harapnya.

    Habibie Prize merupakan bentuk apresiasi tertinggi yang diberikan negara kepada para ilmuwan dan pakar yang telah mendedikasikan karya serta penelitiannya untuk kemajuan bangsa. Penghargaan ini sekaligus menjadi sarana untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, serta menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan generasi muda.

    Nama penghargaan ini diambil dari sosok Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3 sekaligus Menteri Riset dan Teknologi periode 1979-1998. Habibie dikenal luas sebagai tokoh visioner yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor pembangunan nasional.

    Tahun ini, BRIN memberikan penghargaan kepada lima penerima:

    Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc. (Ilmu Pengetahuan Dasar)R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D. (Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi)Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc. (Ilmu Rekayasa)Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi dan Hukum)Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. (Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan).

    (rns/rns)

  • Ilmuwan ITB Inovator Zeolit Sekam Padi Raih Habibie Prize 2025

    Ilmuwan ITB Inovator Zeolit Sekam Padi Raih Habibie Prize 2025

    Jakarta

    Pemanfaatan limbah pertanian tak sebatas wacana. Di tangan ilmuwan muda Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc., sekam padi bisa diubah menjadi material maju (advanced material) zeolit sintetis.

    Untuk diketahui, zeolit adalah kelompok mineral aluminosilikat terhidrasi yang memiliki struktur kristal berpori dengan kemampuan menyerap, menyaring, dan bertukar ion. Struktur unik ini memungkinkan zeolit digunakan sebagai penyerap (adsorben) dan katalis dalam berbagai industri, seperti pengolahan air, pertanian, dan petrokimia.

    “Indonesia mengonsumsi sekitar 36 juta ton beras per tahun, dan dari situ limbah sekamnya luar biasa banyak. Prinsipnya, jangan biarkan limbah berakhir di tempat sampah, jadikan sumber daya baru,” ujar Rino saat berbicara di Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11).

    Disebutkan Rino, riset ini berangkat dari semangat ekonomi sirkular, yakni mengubah limbah menjadi sumber daya baru. Zeolit sintetis yang ia kembangkan dibuat di laboratorium melalui proses kimia tertentu dengan memanfaatkan limbah sekam. Penemuannya ini bisa dimanfaatkan secara luas, mulai dari proses penyulingan minyak bumi, hingga pakan ternak.

    Zeolit dari sekam padi hanya salah satu dari banyak penelitian yang sudah lama dilakukannya. Atas kontribusinya dalam pengembangan riset kimia material yang berorientasi pada solusi berkelanjutan di bidang energi dan lingkungan, sosok bergelar doktor dari Jerman itu meraih Habibie Prize 2025 bidang Ilmu Dasar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

    Berbicara di atas panggung penghargaan Habibie Prize 2025, Rino juga sempat menyinggung pentingnya generasi muda untuk terlibat dalam riset dan pengembangan teknologi.

    “Kita akan menghadapi bonus demografi pada 2045, saat Indonesia berusia 100 tahun. Harapannya, anak-anak muda itu bukan hanya pengguna teknologi, tapi juga pencipta,” ujarnya.

    Menurut Rino, ilmuwan muda perlu terus dipromosikan dan diberi ruang, serta teknologi harus terus dihidupkan di tengah masyarakat agar lahir inovasi dari Indonesia untuk dunia.

    Rino Rakhmata Mukti menerima penghargaan dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko bersama empat ilmuwan lainnya. Foto: Rachmatunnisa/detikINETPentingnya Apresiasi bagi Ilmuwan

    Bagi Rino, penghargaan ini bukan akhir, tetapi pengingat agar riset selalu kembali ke akar, yaitu memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan memotivasi ilmuwan muda untuk tidak takut menapaki jalan panjang dunia penelitian.

    Lebih dari itu, ia menilai penghargaan seperti Habibie Prize berperan penting dalam menjaga semangat peneliti di Indonesia.

    “Acara seperti ini memotivasi para guru, dosen, dan ilmuwan. Mereka tahu kerja kerasnya dihargai. Jadi memang pemerintah harus menaruh perhatian serius untuk memperhatikan guru, dosen, dan ilmuwan di Indonesia, karena masa depan kita ada di tangan mereka,” ujarnya.

    Habibie Prize merupakan bentuk apresiasi tertinggi yang diberikan negara kepada para ilmuwan dan pakar yang telah mendedikasikan karya serta penelitiannya untuk kemajuan bangsa. Penghargaan ini sekaligus menjadi sarana untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, serta menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan generasi muda.

    Nama penghargaan ini diambil dari sosok Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3 sekaligus Menteri Riset dan Teknologi periode 1979-1998. Habibie dikenal luas sebagai tokoh visioner yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor pembangunan nasional.

    Tahun ini, BRIN memberikan penghargaan Habibie Prize kepada lima penerima:

    Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc. (Ilmu Pengetahuan Dasar)R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D. (Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi)Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc. (Ilmu Rekayasa)Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi dan Hukum)Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. (Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan)

    (rns/rns)

  • Jerman Pertimbangkan ‘Model Nordik’ untuk Tekan Praktik Kerja Seks

    Jerman Pertimbangkan ‘Model Nordik’ untuk Tekan Praktik Kerja Seks

    Jakarta

    Presiden Bundestag Julia Klckner dari Partai Kristen Demokrat (CDU) yang berhaluan tengah kanan baru-baru ini mengatakan bahwa Jerman telah menjadi “rumah bordil Eropa”, dan pernyataannya kembali memicu perdebatan nasional soal industri seks.

    Dalam pidato yang dibacakan pada sebuah acara penghargaan Selasa (4/11) lalu, Klckner mengkritik undang-undang yang berlaku saat ini dan menilai pekerja seks belum mendapatkan perlindungan yang memadai. “Saya sangat yakin kita akhirnya harus melarang prostitusi dan pembelian jasa seks di negara ini,” ujar Klckner.

    Klckner langsung mendapat dukungan dari Menteri Kesehatan Nina Warken, yang juga berasal dari CDU. “Seperti negara lain, Jerman perlu menetapkan larangan pidana bagi pembeli jasa seks,” kata Warken kepada harian Rheinische Post. “Pekerja seks seharusnya dibebaskan dari hukuman dan mendapat dukungan menyeluruh untuk keluar dari industri ini.”

    Industri seks di Jerman

    Pekerjaan seks tidak lagi dianggap “tidak bermoral” sejak Undang-Undang Prostitusi diberlakukan pada 2002. Kini pekerjaan ini diakui secara resmi sebagai layanan legal, yang berarti pekerja seks berhak menerima bayaran sesuai kesepakatan.

    Pada 2017, Undang-Undang Perlindungan Prostitusi disahkan untuk memperbaiki kondisi hukum dan sosial pekerja seks. Mereka diwajibkan mendaftarkan aktivitasnya ke otoritas setempat, sementara rumah bordil harus memiliki izin operasi yang hanya diberikan jika memenuhi standar minimum keamanan, kebersihan, dan fasilitas.

    Menurut Kantor Statistik Federal, terdapat sekitar 32.300 pekerja seks terdaftar di Jerman pada akhir 2024, dengan hanya 5.600 di antaranya warga negara Jerman. Sekitar 11.500 berasal dari Rumania dan 3.400 dari Bulgaria.

    Peneliti memperkirakan jumlah pekerja seks yang tidak terdaftar berkisar 200.000 hingga 400.000 orang, bahkan bisa mencapai 1 juta.

    Para pengkritik undang-undang yang berlaku mengatakan legalisasi prostitusi justru membuat pasar membengkak, harga turun karena persaingan meningkat, dan kasus perdagangan manusia serta prostitusi paksa bertambah. Laporan tahunan “Federal Situation Reports on Human Trafficking” dari Kepolisian Kriminal Federal juga menunjukkan peningkatan kekerasan seksual terhadap pekerja seks.

    Model Nordik Dilirik

    Klckner dan Warken mendorong agar Jerman menerapkan apa yang dikenal sebagai “model Nordik”, yang kembali membuka perdebatan panjang di negara tersebut.

    Model ini pertama kali diterapkan di Swedia pada 1999 dan kemudian di Norwegia pada 2009, sebelum diadopsi oleh Islandia, Kanada, Prancis, Irlandia, dan Israel. Model ini melarang pembelian jasa seksual dan kegiatan terorganisir yang berkaitan, tetapi tidak melarang penjualan langsung oleh pekerja seks. Artinya, klien dan muncikari yang dipidana, sementara pekerja seks tidak dikenai hukuman.

    Pendekatan ini juga mencakup program dukungan dan jalan keluar bagi pekerja seks. Klien dapat dikenai denda, dan di Swedia, hukuman penjara hingga satu tahun. Norwegia bahkan menjerat warga negaranya yang membeli jasa seksual di luar negeri.

    Pro dan kontra

    Banyak pihak yang menentang model ini berpendapat bahwa pekerjaan seks adalah pekerjaan sah dan seharusnya difokuskan pada penguatan hak pekerja, agar mereka bisa bekerja secara aman dan mandiri. Mereka menilai cara terbaik memerangi prostitusi paksa adalah dengan memperkuat hak korban serta menghapus stigma terhadap pekerja seks.

    Namun, para pembela hak pekerja seks khawatir kriminalisasi pembelian jasa seks justru mendorong mereka bekerja di ranah ilegal dan semakin tidak terlindungi, termasuk di platform daring.

    Sementara itu, para pendukung model Nordik berpendapat praktik prostitusi sebagian besar memang sudah berlangsung diam-diam, di luar jangkauan hukum. Karena itu, yang seharusnya dihukum bukan pekerja yang dipaksa, tetapi pihak yang membayar dan memaksa mereka.

    Menurut mereka, dekriminalisasi terhadap pekerja seks akan membuat mereka lebih berani melapor ke polisi atau pengadilan karena memiliki hak atas perlindungan dan bantuan hukum. Jika pembeli jasa seks dijerat pidana, maka jumlah praktik prostitusi diyakini akan menurun.

    Negara-negara yang menerapkan model Nordik menunjukkan penurunan signifikan jumlah pekerja seks dan klien yang tercatat. Studi terbaru dari Universitas Tbingen menyimpulkan bahwa model ini “berkontribusi nyata dalam mengurangi jumlah korban perdagangan manusia dalam jangka panjang.”

    Namun, menurut Asosiasi Federal untuk Model Nordik, penerapan undang-undang saja tidak cukup untuk memperbaiki situasi prostitusi paksa.

    Kelompok tersebut menegaskan bahwa dukungan menyeluruh bagi mereka yang ingin keluar dari industri seks harus dibiayai, dan hak korban perlu diperkuat secara nyata.

    Mereka juga menyerukan pendanaan untuk dukungan sosial yang lebih luas, agar korban bisa mendapatkan tempat tinggal, perawatan psikologis, dan akses pendidikan. Selain itu, pendanaan untuk pencegahan serta penindakan tegas terhadap perdagangan manusia dan praktik pemaksaan prostitusi dinilai penting untuk menekan pasar prostitusi paksa secara keseluruhan.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara
    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • China Mulai Longgarkan Pembatasan Ekspor Chip Nexperia untuk Komponen Otomotif

    China Mulai Longgarkan Pembatasan Ekspor Chip Nexperia untuk Komponen Otomotif

    JAKARTA – Pemerintah China melalui Ministry of Commerce of the People’s Republic of China (MOFCOM) mengumumkan pemberian pengecualian terhadap pembatasan ekspor chip produksi Nexperia yang digunakan untuk keperluan sipil. Kebijakan ini menjadi sinyal meredanya tekanan pada rantai pasok komponen elektronik yang selama ini memengaruhi industri otomotif global.

    Pelonggaran ini diberikan setelah ekspor chip Nexperia sempat dibekukan sebagai respons atas pengambilalihan perusahaan tersebut oleh pemerintah Belanda pada 30 September 2025. Kebijakan sebelumnya menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya produksi kendaraan di berbagai negara karena banyak komponen otomotif masih bergantung pada chip dasar dari Nexperia.

    Dilansir dari Reuters, Senin, 10 November, MOFCOM belum merinci definisi “keperluan sipil”, namun sejumlah perusahaan Jerman dan Jepang disebut sudah menerima izin ekspor kembali dari China. Pemerintah China juga berharap Uni Eropa dapat mendorong Belanda untuk mencabut keputusan pengambilalihan Nexperia yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip tata kelola perusahaan.

    Direktur Eksekutif Aumovio, pemasok komponen otomotif asal Jerman, mengatakan bahwa perusahaan mereka telah menerima lisensi ekspor dari China dan pengiriman chip dari fasilitas Nexperia kembali berjalan. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa proses normalisasi tidak terjadi seketika.

    “Masih akan butuh waktu hingga semua proses dan prosedur berjalan normal kembali. Dalam empat hingga enam minggu ke depan, bisa tetap ada masalah pada pasokan,” ujarnya.

    Chip buatan Nxperia memiliki peran penting di sektor otomotif. Perusahaan tersebut memproduksi ratusan juta semikonduktor sederhana seperti dioda, transistor, dan MOSFET yang digunakan pada sistem kelistrikan kendaraan, kontrol pengereman, airbag, hingga fitur kenyamanan.

    Kalangan produsen otomotif Eropa menyambut baik pengecualian ini, tetapi tetap berhati-hati. Mereka menilai masih ada sejumlah pertanyaan mengenai mekanisme pemberian izin ekspor dan kecepatan pemulihan distribusi komponen hingga kembali ke level normal.

  • Hal Ini Bikin Trump Ogah Hadir di KTT G20

    Hal Ini Bikin Trump Ogah Hadir di KTT G20

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menegaskan tidak ada pejabat pemerintah AS yang akan menghadiri KTT G20 di Afrika Selatan akhir bulan ini. Apa alasannya?

    Dilansir Reuters, Minggu (9/11), Trump menegaskan gelaran KTT G20 di Afrika Selatan merupakan hal yang memalukan. Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan menyesali pernyataan Trump itu.

    “Sungguh memalukan bahwa G20 akan diadakan di Afrika Selatan,” kata Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social.

    Trump lantas menjelaskan alasannya menyebut KTT G20 yang digelar di Afsel sebagai hal yang memalukan. Dia menyinggung warga Afrikaner.

    “Warga Afrikaner (orang-orang keturunan pemukim Belanda, serta imigran Prancis dan Jerman) dibunuh dan dibantai, dan tanah serta pertanian mereka disita secara ilegal. Tidak ada pejabat pemerintah AS yang akan hadir selama pelanggaran hak asasi manusia ini terus berlanjut. Saya berharap dapat menjadi tuan rumah G20 2026 di Miami, Florida!” tegas Trump.

    Wakil Presiden AS JD Vance, yang awalnya dijadwalkan menghadiri pertemuan KTT G20 di Johannesburg pada 22-23 November, juga dipastikan tidak akan hadir. Trump telah mempermasalahkan kebijakan dalam dan luar negeri Afrika Selatan mulai dari kebijakan pertanahannya hingga gugatan Afsel terhadap Israel atas genosida di Gaza.

    Bulan lalu, Trump telah menetapkan batas terendah yang pernah tercatat untuk penerimaan pengungsi AS dan mengatakan orang-orang yang diterima sebagian besar akan berfokus pada warga Afrikaner kulit putih. Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan mengatakan telah memperhatikan unggahan Trump ‘yang patut disesali’ tersebut dan menegaskan penolakan Pretoria yang sering dinyatakan atas tuduhan bahwa warga Afrikaner mengalami penindasan.

    “Klaim bahwa komunitas ini menghadapi penganiayaan tidak didukung oleh fakta,” kata kementerian tersebut, seraya menambahkan bahwa masa lalu Afrika Selatan yang diwarnai ketimpangan rasial memberinya pengalaman untuk membantu dunia mengatasi perpecahan melalui platform G20.

    “Bangsa kita berada di posisi unik untuk memperjuangkan masa depan solidaritas sejati di dalam G20,” katanya.

    Mereka berharap dapat menyelenggarakan pertemuan puncak yang sukses. Awal tahun ini, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga memboikot pertemuan para menteri luar negeri G20 di Afrika Selatan, yang memegang jabatan presiden G20 dari Desember 2024 hingga November 2025. Amerika Serikat akan mengambil alih jabatan presiden G20 dari Afrika Selatan.

    Halaman 2 dari 2

    (maa/rfs)

  • Populasi Muslim di Eropa Diprediksi Capai 58 Juta Jiwa pada 2030, Negara Ini yang Terbanyak

    Populasi Muslim di Eropa Diprediksi Capai 58 Juta Jiwa pada 2030, Negara Ini yang Terbanyak

    GELORA.CO – Islam merupakan salah satu agama dengan jumlah pemeluk terbanyak di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan umat Muslim di Eropa terus menunjukkan peningkatan yang signifikan dan diperkirakan tren tersebut akan berlanjut di masa mendatang.

    Menurut laporan Pew Forum on Religion & Public Life, populasi Muslim di Eropa diproyeksikan mencapai 58,2 juta jiwa pada tahun 2030, atau sekitar 8% dari total populasi di Benua Eropa. Kenaikan jumlah ini terutama disebabkan oleh migrasi besar-besaran umat Muslim ke berbagai negara Eropa.

    Negara-Negara Eropa dengan Populasi Muslim Terbanyak:

    Rusia

    Pada masa Uni Soviet, aktivitas keagamaan, termasuk Islam, sempat mengalami penekanan. Sekolah-sekolah Islam ditutup, dan penyebaran agama dibatasi. Namun setelah Rusia menjadi negara federasi, pemerintah memberikan kebebasan beragama dan mengakui Islam sebagai salah satu agama tradisional.

    Rusia diperkirakan akan tetap menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar di Eropa pada tahun 2030. Jumlahnya meningkat dari 16,4 juta jiwa pada 2010 menjadi 18,6 juta jiwa pada 2030, dengan laju pertumbuhan sekitar 0,6% selama dua dekade mendatang.

    Prancis

    Sebagai negara republik dengan sistem presidensial-parlementer dan prinsip sekularisme yang kuat, Prancis memisahkan urusan agama dari negara.

    Islam mulai berkembang di Prancis sekitar tahun 1960 melalui imigrasi dari kawasan Maghreb. Saat ini, Islam menjadi agama terbesar kedua setelah Katolik, dan pada 2030 diperkirakan mencapai 10,3% dari total populasi.

    Jerman

    Jerman, yang secara resmi bernama Federal Republic of Germany, memiliki 16 negara bagian dengan Berlin sebagai ibu kota. Berdasarkan data SalamGateway, populasi Muslim di Jerman saat ini berkisar antara 5,3 hingga 5,6 juta jiwa (6,4–6,7%), dan diprediksi meningkat menjadi 7,1% pada 2030.

    Albania

    Menurut Encyclopedia, Islam berkembang di Albania sejak penaklukan Ottoman pada abad ke-15. Kini, Muslim Community of Albania menjadi lembaga keagamaan utama di negara itu. Diperkirakan hingga 2030, 83,2% dari total penduduk Albania (sekitar 2,8 juta jiwa) akan memeluk Islam.

    Britania Raya

    Britania Raya (United Kingdom) mencakup Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. m

    Berdasarkan data Office for National Statistics (ONS) yang dikutip Muslim Council of Britain, terdapat 3,87 juta Muslim di Inggris dan Wales (sekitar 6,5% populasi). Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 5,5 juta jiwa (8,2%) pada 2030.

  • Trump Ogah Hadiri KTT G20, Tuding Ada Pembantaian Warga Kulit Putih di Afsel

    Trump Ogah Hadiri KTT G20, Tuding Ada Pembantaian Warga Kulit Putih di Afsel

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan tidak ada pejabat pemerintah AS yang akan menghadiri KTT G20 di Afrika Selatan akhir bulan ini. Dia menuding ada ‘pelanggaran hak asasi manusia’ yang terjadi di negara tersebut.

    Dilansir Reuters, Minggu (9/11/2025), Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan telah menyesalkan keputusan Trump itu dan mengulangi penolakannya terhadap klaim Trump bahwa warga Afrikaner kulit putih menghadapi penganiayaan berdasarkan ras mereka di negara mayoritas kulit hitam tersebut.

    “Sungguh memalukan bahwa G20 akan diadakan di Afrika Selatan,” kata Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social.

    “Warga Afrikaner (orang-orang keturunan pemukim Belanda, serta imigran Prancis dan Jerman) dibunuh dan dibantai, dan tanah serta pertanian mereka disita secara ilegal. Tidak ada pejabat pemerintah AS yang akan hadir selama pelanggaran hak asasi manusia ini terus berlanjut. Saya berharap dapat menjadi tuan rumah G20 2026 di Miami, Florida!” sambung Trump.

    Wakil Presiden AS JD Vance, yang awalnya dijadwalkan menghadiri pertemuan KTT G20 di Johannesburg pada 22-23 November dipastikan tidak akan hadir. Trump telah mempermasalahkan kebijakan dalam dan luar negeri Afrika Selatan mulai dari kebijakan pertanahannya hingga gugatan Afsel terhadap Israel atas genosida di Gaza.

    Bulan lalu, Trump telah menetapkan batas terendah yang pernah tercatat untuk penerimaan pengungsi AS dan mengatakan orang-orang yang diterima sebagian besar akan berfokus pada warga Afrikaner kulit putih. Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan mengatakan telah memperhatikan unggahan Trump ‘yang patut disesali’ tersebut dan menegaskan penolakan Pretoria yang sering dinyatakan atas tuduhan bahwa warga Afrikaner mengalami penindasan.

    “Klaim bahwa komunitas ini menghadapi penganiayaan tidak didukung oleh fakta,” kata kementerian tersebut, seraya menambahkan bahwa masa lalu Afrika Selatan yang diwarnai ketimpangan rasial memberinya pengalaman untuk membantu dunia mengatasi perpecahan melalui platform G20.

    “Bangsa kita berada di posisi unik untuk memperjuangkan masa depan solidaritas sejati di dalam G20,” katanya.

    Mereka berharap dapat menyelenggarakan pertemuan puncak yang sukses. Awal tahun ini, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga memboikot pertemuan para menteri luar negeri G20 di Afrika Selatan, yang memegang jabatan presiden G20 dari Desember 2024 hingga November 2025. Amerika Serikat akan mengambil alih jabatan presiden G20 dari Afrika Selatan.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/imk)

  • Gara-Gara Hal Ini, Trump Menolak Hadir di G20 Afrika Selatan

    Gara-Gara Hal Ini, Trump Menolak Hadir di G20 Afrika Selatan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Donald Trump menegaskan tidak ada pejabat pemerintah AS yang akan menghadiri KTT G20 di Afrika Selatan akhir bulan ini. Keputusan Trump ini terkait dengan “pelanggaran hak asasi manusia” yang terjadi di negara tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan menyesalkan keputusan Trump dan menegaskan penolakannya terhadap klaim Trump bahwa warga Afrika kulit putih menghadapi penganiayaan atau tindakan rasis di negara mayoritas kulit hitam tersebut.

    “Sungguh memalukan bahwa G20 akan diadakan di Afrika Selatan,” kata Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social.

    “Warga Afrikaner (orang-orang keturunan pemukim Belanda, serta imigran Prancis dan Jerman) dibunuh dan dibantai, dan tanah serta pertanian mereka disita secara ilegal,” lanjutnya, dikutip dari Reuters.

    “Tidak ada pejabat pemerintah AS yang akan hadir selama pelanggaran hak asasi manusia ini terus berlanjut. Saya berharap dapat menjadi tuan rumah G20 2026 di Miami, Florida!” kata Trump.

    Wakil Presiden JD Vance, yang dijadwalkan menghadiri pertemuan para pemimpin dunia G20 di Johannesburg pada 22-23 November, tidak akan hadir lagi, menurut seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut.

    Trump telah mempermasalahkan kebijakan dalam dan luar negeri Afrika Selatan – mulai dari kebijakan pertanahannya hingga tuduhan Israel atas genosida dalam perang yang dilancarkan sekutu AS tersebut di Gaza.

    Bulan lalu, Trump menetapkan batas terendah yang pernah tercatat untuk penerimaan pengungsi AS dan mengatakan bahwa orang-orang yang diterima AS sebagian besar akan berfokus pada warga Afrikaner kulit putih.

    Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan mengatakan telah memperhatikan unggahan “menyesalkan” Trump di platform tersebut, dan menegaskan kembali penolakan Pretoria yang sering dinyatakan atas tuduhan bahwa warga Afrikaner mengalami penindasan.

    “Klaim bahwa komunitas ini menghadapi penganiayaan tidak didukung oleh fakta,” kata kementerian tersebut, seraya menambahkan bahwa masa lalu Afrika Selatan yang diwarnai ketimpangan rasial memberinya pengalaman untuk membantu dunia mengatasi perpecahan melalui platform G20. Negara kita berada di posisi unik untuk memperjuangkan masa depan solidaritas sejati di G20,” katanya, seraya menambahkan bahwa negara itu berharap dapat menyelenggarakan KTT yang sukses.

    Awal tahun ini, Menteri Luar Negeri Marco Rubio juga memboikot pertemuan para menteri luar negeri G20 di Afrika Selatan, yang memegang jabatan presiden G20 dari Desember 2024 hingga November 2025. Amerika Serikat akan mengambil alih jabatan presiden G20 setelah Afrika Selatan.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jerman Khawatirkan Masa Depan Demokrasi

    Jerman Khawatirkan Masa Depan Demokrasi

    Berlin

    Dunia digital media sosial kian riuh dan cepat. Siapa yang menonjol, akan terangkat ke permukaan — Donald Trump, Elon Musk, Javier Milei. Mereka menguasai tajuk berita lewat pesta mewah, roket luar angkasa, hingga gergaji mesin. Semangat zaman seolah diringkas dalam segelintir tokoh flamboyan.

    Namun di luar hiruk-pikuk itu, ada kelompok yang justru tampak seperti antitesis dunia digital: kelas menengah — orang-orang yang jarang menjadi sorotan, tapi menjadi tulang punggung masyarakat demokratis dan terbuka.

    Karena peran penting itulah, selama hampir dua dekade para ilmuwan sosial Jerman meneliti bagaimana “tengah” ini berpikir. Studi yang dilakukan atas dukungan Friedrich-Ebert-Stiftung itu menelusuri sikap mereka terhadap ekstremisme kanan, xenofobia, antisemitisme, dan pandangan sosial-darwinistik. Studi ini disebut sebagai semacam seismograf sosial, alat pendeteksi dini terhadap gejala anti-demokrasi di Jerman.

    Spektrum tengah yang stabil tapi tegang

    Hasil penelitian terbaru menggambarkan kondisi yang kontradiktif: stabil, tapi tegang.

    “Kelompok tengah kini lebih stabil dan menahan laju dukungan terhadap ekstremisme kanan,” kata Andreas Zick, Direktur Institut Penelitian Konflik dan Kekerasan di Universitas Bielefeld, kepada DW.

    Tim peneliti mewawancarai sekitar 2.000 responden dari berbagai lapisan — mencerminkan keragaman latar belakang, pendidikan, pendapatan, dan perilaku pemilih di Jerman.

    Ekstremisme kanan menurun

    Berbeda dengan gambaran gaduh di media sosial dan kenaikan pamor partai Alternatif untuk Jerman (AfD), temuan ini menunjukkan: hanya tiga persen warga Jerman memiliki pandangan ekstrem kanan yang solid — angka yang menurun dibanding masa lalu.

    Mayoritas masyarakat justru melihat demokrasi dan keberagaman secara positif. Tujuh dari sepuluh responden menganggap peningkatan ekstremisme kanan sebagai ancaman — meski faktanya tren itu menurun. Lebih dari setengah responden juga menyatakan siap terlibat melawan ekstremisme.

    Koreksi terhadap citra miring

    Temuan ini juga membantah persepsi umum bahwa kawasan timur Jerman lebih ekstrem dibanding barat. Memang, xenofobia lebih banyak ditemukan di timur, tapi secara mengejutkan, pandangan ekstrem kanan yang utuh justru sedikit lebih banyak di barat.

    Para peneliti mendefinisikan “pandangan ekstrem” bukan dari satu-dua sikap diskriminatif, melainkan bila seluruh pandangan hidup seseorang dibentuk oleh ide-ide anti-demokratis dan anti-kemanusiaan.

    Meski kabar baiknya cukup banyak, para ilmuwan tetap waspada. “Kita harus bertanya, seberapa kuat demokrasi bila diuji dari tengahnya sendiri?” ujar Zick.

    Di zona abu-abu

    Tim peneliti menemukan semakin banyak orang berada di wilayah abu-abu — tidak ekstrem, tapi juga tidak teguh mendukung demokrasi. “Jika kita lihat pandangan mereka terhadap isu rasisme dan seksisme, kelompok ini cenderung condong ke penolakan demokrasi ketimbang dukungan,” kata Zick.

    Mereka lebih mudah terpengaruh populisme dan retorika kanan. Yang lebih mengkhawatirkan: kepercayaan terhadap institusi dan prinsip demokrasi menurun tajam.

    Fenomena ini tak lepas dari serangan terus-menerus partai AfD terhadap institusi negara, partai demokratis, dan masyarakat sipil. Dengan dukungan algoritma media sosial, narasi mereka — sering kali disertai gambar buatan kecerdasan buatan (AI) — menyebar luas, menampilkan Jerman seolah berada di tepi kehancuran.

    Akibatnya, banyak media justru ikut terjebak dalam nada panik dan sensasi: apakah masyarakat Jerman akan “tergelincir”?

    Tren autoritarianisme di kalangan muda

    Meski para peneliti menilai alarm semacam itu berlebihan, mereka tetap mencatat tren mengkhawatirkan: pandangan ekstrem kanan meningkat di kalangan muda.

    “Semakin muda usianya, semakin kuat kecenderungan ke arah pandangan ekstrem,” ujar Nico Mokros, salah satu penulis studi dan pakar radikalisme pemuda.

    Mokros menemukan, sebagian anak muda mulai menyerap unsur ideologi nasional-sosialis: keyakinan akan diktator kuat, sentimen antisemit, dan kerinduan pada nasionalisme sempit.

    Yang lebih ironis, di satu sisi mereka menginginkan figur kuat yang bisa memutuskan segalanya, tapi di sisi lain frustrasi karena keputusan hidup mereka diambil orang lain. Frustrasi itu sering berubah menjadi agresi terhadap kelompok minoritas — mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahan.

    Para peneliti memperingatkan, dinamika ini bisa berujung pada kekerasan dan eksklusi sosial.

    Suara tengah yang tak boleh diabaikan

    Pesan utama dari penelitian ini jelas: suara kelompok tengah harus lebih mendapat ruang dalam wacana publik.

    Menurut Zick, hal itu belum terjadi. “Ketika orang melihat ekstremisme kanan meningkat, tapi negara seolah tak berbuat cukup, kepercayaan terhadap demokrasi menurun,” katanya.

    “Dan di situlah ekstremis serta populis masuk dengan klaim: kami punya solusinya.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Erdogan Sekakmat Kanselir Jerman yang Salahkan Hamas Atas Gaza”

    (nvc/nvc)

  • Laporan Liputan6.com dari Hanoi: Cerita Kenapa Banyak Orang Vietnam Bernama Nguyen

    Laporan Liputan6.com dari Hanoi: Cerita Kenapa Banyak Orang Vietnam Bernama Nguyen

     

    Liputan6.com, Hanoi – Meski tidak ada data resmi, sejumlah sumber termasuk Wikipedia menulis bahwa hampir 40 persen penduduk Vietnam menyandang nama Nguyen. Jika populasi Vietnam pada 2025 diperkirakan mencapai 101,6 juta jiwa, maka sekitar 40,64 juta orang di negara itu memiliki nama yang sama: Nguyen.

    Fenomena ini kerap menjadi bahan pembicaraan, bahkan di lapangan hijau. Saat timnas Indonesia U-23 berhadapan dengan Vietnam di final Kejuaraan U-23 ASEAN pada Juli 2025 lalu, publik menyoroti hal unik dalam daftar pemain lawan: 12 pemain Vietnam bernama Nguyen, dan tujuh di antaranya tampil sebagai starter. Bahkan, pemain naturalisasi asal Brasil yang membela Vietnam pun ikut mengganti namanya menjadi Nguyen, sebut saja Rafaelson, yang kini dikenal sebagai Nguyen Quan Son.

    Dominasi satu nama dalam satu negara ini luar biasa. Angka 40 persen jauh melampaui pemilik nama Kim di Korea Selatan yang sekitar 21 persen, atau nama Li di Tiongkok yang diperkirakan mencakup 7,9 persen populasi. Juga jauh melebihi popularitas nama Mueller di Jerman yang ditaksir tidak lebih dari satu persen penduduk.

    Pekan lalu tepatnya 3-7 November 2025, Liputan6.com berkesempatan mengunjungi Vietnam atas undangan VinFast, produsen mobil terbesar negara itu. Di sela perjalanan, Liputan6.com mencoba bertanya langsung ke beberapa penduduk setempat: mengapa begitu banyak orang Vietnam bernama Nguyen?

    Beberapa narasumber yang ditemui lebih dulu menjelaskan struktur nama khas Vietnam. Umumnya, nama seseorang terdiri dari tiga unsur: nama keluarga, nama tengah, dan nama pribadi. Nama keluarga diwariskan secara turun-temurun, digunakan bersama oleh seluruh anggota keluarga inti, dan secara tradisional bersifat patrilineal, anak-anak mewarisi nama keluarga ayah mereka sejak lahir.

    Nama tengah adalah unsur tambahan yang ditulis di antara nama keluarga dan nama pribadi. Misalnya, dalam nama Nguyen Dong Truong, unsur “Dong” adalah nama tengah. Fungsinya beragam: membedakan individu yang memiliki nama depan dan belakang serupa, menghormati leluhur, atau menandakan jenis kelamin. Adapun nama pribadi dipilih saat lahir dan berfungsi sebagai identitas personal seseorang.

    Selain Nguyen, Vietnam memiliki sejumlah marga besar lain seperti Tran, Le, Pham, dan Hoang. Namun, semuanya jauh tertinggal dari sisi jumlah.

    Mengapa nama Nguyen begitu dominan? Jawabannya ternyata berakar pada sejarah panjang pergantian kekuasaan di negeri ini.

    “Dulu, setiap kali terjadi pergantian dinasti di Vietnam, mereka yang memiliki nama belakang dari dinasti sebelumnya akan menggantinya dengan nama dinasti yang berkuasa, demi keselamatan,” tutur Nguyen Quoc Anh, seorang warga Hanoi, kepada Liputan6.com, Kamis (6/11/2025).

    Sebab, dalam tradisi feodal Asia Timur, ketika sebuah dinasti tumbang, dinasti penerus kerap memburu dan membunuh keturunan penguasa sebelumnya. Untuk menghindari pembalasan, banyak orang memilih menggunakan nama keluarga yang paling umum, dan pada akhirnya, Nguyen menjadi pilihan aman, terutama karena inilah dinasti terakhir yang berkuasa di Vietnam.