Negara: Jalur Gaza

  • 1.700 Jutawan Israel Hengkang Meninggalkan Israel Akibat Perang Gaza – Halaman all

    1.700 Jutawan Israel Hengkang Meninggalkan Israel Akibat Perang Gaza – Halaman all

    1.700 Jutawan Israel Hengkang Meninggalkan Israel Akibat Perang Gaza

    TRIBUNNEWS.COM- Setidaknya 1.700 jutawan Israel meninggalkan Israel tahun lalu karena memburuknya kondisi ekonomi yang timbul akibat perang genosida negara pendudukan itu terhadap warga Palestina di Gaza, kata media lokal pada hari Selasa, Anadolu melaporkan.

    Angka yang dirilis oleh Henley & Partners, perusahaan Inggris terkemuka yang mengkhususkan diri dalam layanan migrasi, dan New World Wealth, perusahaan intelijen data yang berbasis di Afrika Selatan, menunjukkan bahwa ada 22.600 jutawan yang tinggal di Tel Aviv dan Herzliya di Israel tengah pada tahun 2024, turun dari 24.300 pada tahun 2023.

    “Ini berarti tidak kurang dari 1.700 jutawan meninggalkan Israel selama setahun terakhir,” kata Henley & Partners.

    Meskipun laporan itu tidak menyebutkan alasan kepergian mereka, laporan media Israel sebelumnya menunjukkan bahwa banyak warga Israel telah meninggalkan negara itu setelah dimulainya perang Israel di Gaza dan dampaknya terhadap ekonomi dan keamanan di negara pendudukan tersebut.

     

     

     

     

     

    Tahun lalu, lembaga pemeringkat kredit Amerika Fitch menurunkan peringkat Israel dari A+ menjadi A. Israel telah menderita kerugian besar akibat perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, yang menyebabkan krisis ekonomi dalam negeri.

    Menteri Keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich mengeluhkan biaya perang beberapa bulan lalu dengan mengatakan, “Kita berada dalam perang terpanjang dan termahal dalam sejarah Israel.” 

    Smotrich menambahkan bahwa biaya operasi militer dapat berkisar antara 200 dan 250 miliar shekel ($54 dan $68 miliar). Namun, para ahli yakin angkanya lebih tinggi.

    Lebih dari 50.800 warga Palestina telah terbunuh di Gaza dalam serangan brutal Israel sejak Oktober 2023, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

    Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan November lalu untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. 

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di wilayah kantong tersebut.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR 

  • Hamas: Israel Tidak akan Membebaskan Tawanannya Melalui Eskalasi Militer, Hanya Melalui Negosiasi – Halaman all

    Hamas: Israel Tidak akan Membebaskan Tawanannya Melalui Eskalasi Militer, Hanya Melalui Negosiasi – Halaman all

    Hamas: Israel Tidak akan Membebaskan Tawanannya Melalui Eskalasi Militer, Hanya Melalui Negosiasi

    TRIBUNNEWS.COM- Hamas mengatakan bahwa pembebasan tawanan Israel tidak akan dicapai melalui eskalasi militer.

    Hamas juga memperingatkan bahwa tindakan Israel membahayakan nyawa para tawanan.

    Hamas menegaskan bahwa negosiasi adalah satu-satunya jalan yang layak untuk maju, Anadolu melaporkan, mengutip pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh gerakan Palestina dari Istanbul.

    Dalam pernyataannya, Hamas menekankan bahwa apa yang dilakukan Israel di Jalur Gaza bukan sekadar tekanan militer, tetapi lebih merupakan “tindakan balas dendam yang brutal terhadap warga sipil yang tidak bersalah.” 

    Kelompok tersebut menyerukan kepada masyarakat internasional untuk segera memikul tanggung jawabnya guna menghentikan tindakan tersebut.

    Pernyataan tersebut lebih lanjut mencatat bahwa meningkatnya agresi “tidak akan mematahkan keinginan rakyat kami; hal itu hanya memperkuat tekad dan tekad mereka untuk melawan.”

     

     

     

     

     

     

     

     

    Sejak melanjutkan serangannya di Gaza pada 18 Maret 2025, operasi militer Israel telah menewaskan 1.449 warga Palestina dan melukai 3.647 lainnya — kebanyakan wanita dan anak-anak — menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

    Hamas juga mengkritik pendekatan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dengan menyatakan: “Kebijakan Netanyahu yang menargetkan anak-anak, wanita, dan orang tua bukanlah strategi untuk apa yang disebut kemenangan, tetapi resep untuk kegagalan yang pasti.”

    Kelompok tersebut menggarisbawahi bahwa tindakan militer yang semakin intensif “tidak akan mengembalikan tawanan Israel hidup-hidup; sebaliknya, tindakan tersebut mengancam nyawa mereka dan dapat membunuh mereka. 

    Satu-satunya cara untuk mengamankan pemulangan mereka adalah melalui negosiasi.”

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR 

  • Hamas: Israel Tidak akan Membebaskan Tawanannya Melalui Eskalasi Militer, Hanya Melalui Negosiasi – Halaman all

    Pejabat Israel Mengatakan Tekanan Terhadap Hamas Memudar – Halaman all

    Pejabat Israel Mengatakan Tekanan Terhadap Hamas Memudar

    TRIBUNNEWS.COM- Penilaian dalam lembaga keamanan dan politik Israel menunjukkan bahwa tekanan terhadap Hamas mulai mereda, Quds Press melaporkan pada hari Selasa. 

    Kritik internal meningkat terkait cara operasi militer terbaru di Gaza selama tiga minggu terakhir telah dikelola, kata kantor berita tersebut, mengutip surat kabar Israel Maariv .

    “Hasil di lapangan tidak mencerminkan tingkat tekanan yang kami harapkan akan dirasakan Hamas,” kata seorang pejabat politik. 

    Ia mencatat bahwa gerakan perlawanan Islam tidak menunjukkan fleksibilitas dalam negosiasi pembebasan tawanan Israel, karena tingkat tekanan yang diberikan tidak memadai.

    Menurut seorang pejabat keamanan senior yang dikutip oleh Maariv , kemampuan Israel untuk memberikan tekanan yang berarti berkurang seiring berjalannya waktu. 

    “Hamas menggunakan waktu ini untuk memulihkan diri,” katanya, sambil menekankan bahwa situasi kelompok itu saat ini sama sekali berbeda dari tiga minggu lalu. 

    Ia mengklaim bahwa tidak ada pertempuran ofensif yang nyata di Gaza sekarang, dan bahwa tekanan terhadap Hamas hampir tidak ada dan terus menghilang.

    Israel melanjutkan serangannya dan memperketat blokade di Jalur Gaza pada dini hari tanggal 18 Maret, setelah jeda selama dua bulan berdasarkan perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada tanggal 19 Januari. 

    Namun, Israel berulang kali melanggar ketentuan gencatan senjata bahkan ketika gencatan senjata tersebut masih berlaku.

    Sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan AS dan Eropa, Israel telah melakukan apa yang oleh kelompok hak asasi manusia dan pengamat internasional digambarkan sebagai genosida di Gaza. 

    Serangan tersebut telah menewaskan atau melukai sedikitnya 166.000 warga Palestina — sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak — sementara lebih dari 14.000 orang hilang, diduga tewas di bawah reruntuhan rumah mereka dan infrastruktur sipil lainnya yang dihancurkan oleh negara pendudukan.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR 

  • Israel Gempur Gedung Permukiman di Gaza, 20 Orang Tewas

    Israel Gempur Gedung Permukiman di Gaza, 20 Orang Tewas

    Gaza City

    Serangan udara terbaru Israel menghantam sebuah gedung permukiman di area Shujaiya, Jalur Gaza, pada Rabu (9/4) waktu setempat. Badan pertahanan sipil Gaza melaporkan sedikitnya 20 orang tewas akibat serangan tersebut.

    Juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, Mahmud Bassal, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Rabu (9/4/2025), menuturkan bahwa serangan udara Israel itu mengakibatkan “20 orang martir dan lebih dari 40 orang mengalami luka-luka”.

    Bassal menambahkan bahwa upaya pencarian jenazah korban yang tertimbun reruntuhan bangunan masih berlangsung.

    Militer Israel, dalam tanggapannya, mengatakan pihaknya sedang menyelidiki laporan soal serangan mematikan tersebut.

    Israel kembali melanjutkan serangan udara besar-besaran terhadap Jalur Gaza sejak 18 Maret lalu, yang mengakhiri gencatan senjata dengan Hamas yang berlangsung selama dua bulan. Upaya-upaya untuk memulihkan gencatan senjata sejauh ini gagal.

    Kementerian Kesehatan Gaza, dalam pernyataan terbaru pada Rabu (9/4), melaporkan sedikitnya 1.482 warga Palestina tewas akibat rentetan serangan terbaru Israel sejak pertengahan Maret lalu.

    Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.

    Saat berbicara kepada AFP pada Selasa (8/4), salah satu anggota biro politik Hamas, Hossam Badran, menegaskan bahwa “penting untuk mencapai gencatan senjata” di Jalur Gaza. Dia mengungkapkan bahwa “komunikasi dengan para mediator masih berlangsung, tetapi “sejauh ini, belum ada usulan baru”.

    Badran juga mengatakan bahwa Hamas “terbuka terhadap semua gagasan yang akan mengarah pada gencatan senjata dan menghentikan genosida yang dilakukan terhadap rakyat Palestina”.

    Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada Senin (7/4) bahwa negosiasi baru sedang dilakukan yang bertujuan untuk membebaskan lebih banyak sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza.

    Dari total 251 sandera yang diculik sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, sekitar 58 sandera di antaranya masih ditahan di Jalur Gaza, termasuk yang menurut militer Tel Aviv telah tewas.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • AS Gempur Kota Pelabuhan Yaman, 8 Orang Tewas

    AS Gempur Kota Pelabuhan Yaman, 8 Orang Tewas

    Sanaa

    Kelompok Houthi yang bermarkas di Yaman menyebut sedikitnya delapan orang tewas dalam serangan udara yang menghantam kota pelabuhan Hodeidah. Houthi menuduh Amerika Serikat (AS) sebagai dalang di balik serangan mematikan di Hodeidah tersebut.

    Serangan udara AS itu, seperti dilansir AFP, Rabu (9/4/2025), menghantam kota pelabuhan Hodeidah pada Selasa (8/4) waktu setempat. Hodeidah yang merupakan pelabuhan penting di tepi Laut Merah, dikuasai oleh Houthi yang didukung Iran.

    “Jumlah korban tewas akibat agresi Amerika di Hodeidah meningkat menjadi delapan martir dan 16 korban luka, dengan operasi pembersihan puing-puing masih berlangsung,” demikian dilaporkan Al-Masirah TV, yang dikelola Houthi, dengan mengutip Kementerian Kesehatan Houthi.

    Juru bicara Kementerian Kesehatan, Anis al-Asbahi, sebelumnya melaporkan empat anak-anak dan dua wanita tewas dalam serangan itu.

    Media yang berafiliasi dengan Houthi melaporkan bahwa serangan udara itu menargetkan area permukiman di Hodeidah. Pada Selasa (8/4) malam, seorang wartawan AFP yang ada di area tersebut melaporkan dirinya mendengar tiga suara ledakan secara beruntun.

    Wilayah-wilayah Yaman yang dikuasai Houthi dilanda serangan hampir setiap hari sejak AS melancarkan rentetan serangan udara terhadap kelompok pemberontak itu pada 15 Maret lalu, untuk memaksa mereka berhenti mengancam kapal-kapal yang berlayar melintasi rute maritim utama.

    Sejak saat itu, Houthi juga mulai melancarkan serangan-serangan yang menargetkan kapal militer AS dan Israel, dengan mengklaim serangannya merupakan bentuk solidaritas untuk warga Palestina di Jalur Gaza.

    Pemberontak Houthi mulai menargetkan kapal-kapal yang melintasi Laut Merah dan Teluk Aden, serta wilayah Israel, setelah perang berkecamuk di Jalur Gaza pada Oktober 2023. Houthi sempat menghentikan serangan mereka selama gencatan senjata berlangsung di Jalur Gaza pada pertengahan Januari lalu.

    Namun ketika Israel menghentikan semua pasokan kemanusiaan ke Jalur Gaza pada awal Maret dan melanjutkan kembali serangan terhadap daerah kantong Palestina tersebut, Houthi melontarkan ancaman untuk melanjutkan serangan mereka di Laut Merah dan sekitarnya.

    Ancaman Houthi itu mendorong AS untuk melancarkan operasi militer terhadap kelompok pemberontak itu di wilayah Yaman.

    Serangan Houthi melumpuhkan rute penting Laut Merah, yang biasanya dilalui sekitar 12 persen lalu lintas pelayaran dunia, sehingga memaksa banyak perusahaan untuk mengambil rute pelayaran yang lebih jauh di sekitar ujung Afrika Selatan.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Gaza Telah Menjadi Ladang Pembantaian, Lingkaran Kematian yang Tak Berujung

    Gaza Telah Menjadi Ladang Pembantaian, Lingkaran Kematian yang Tak Berujung

    PIKIRAN RAKYAT – Kerusakan masif serta banyaknya jumlah korban genosida di Gaza telah menuai kecaman dunia. Namun, Israel tetaplah Israel yang bebal dan tak mengindahkan kecaman tersebut.

    Berdasarkan data Kementerian Kesehatan setempat, sejak serangan Israel ke Gaza Oktober 2023 lalu, Israel telah menewaskan 50.810 warga Palestina yang sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai 115.688 lainnya.

    Banyaknya korban jiwa serta kerusakan masif yang semakin meluas, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres mengatakan Gaza telah menjadi “ladang pembantaian”.

    Selain itu, dia menyebut Gaza telah dibiarkan dengan kondisi yang mengenaskan tanpa setetes bantuan pun lebih dari sebulan. Situasi ini begitu mengerikan dan membuat penduduk Palestina di wilayah tersebut tersiksa.

    “Lebih dari sebulan penuh telah berlalu tanpa setetes pun bantuan ke Gaza. Tidak ada makanan. Tidak ada bahan bakar. Tidak ada obat-obatan. Tidak ada pasokan komersial,” katanya kepada wartawan di New York.

    “Ketika bantuan telah habis, pintu air kengerian telah terbuka kembali. Gaza adalah ladang pembantaian dan warga sipil berada dalam lingkaran kematian yang tak berujung,” tuturnya dilaporkan WAFA.

    Tak hanya melakukan genosida, Israel juga tak mengizinkan bantuan internasional masuk ke kawasan tersebut. Padahal, bantuan sangat diperlukan oleh warga Palestina di Gaza yang kian hari berada dalam situasi sulit.

    “Tidak ada pasokan kemanusiaan yang dapat memasuki Gaza. Sementara itu, di titik-titik penyeberangan, pasokan makanan, obat-obatan, dan tempat berlindung menumpuk, dan peralatan vital tertahan,” kata Guterres.

    “Saya tegaskan, kami tidak akan berpartisipasi dalam pengaturan apa pun yang tidak sepenuhnya menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan: kemanusiaan, imparsialitas, independensi, dan netralitas. Akses kemanusiaan tanpa hambatan harus dijamin,” katanya.

    Guterres juga turut menanggapi usulan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang ingin memindahkan warga Palestina ke berbagai negara.

    “Warga Palestina memiliki hak untuk hidup di Palestina, di negara Palestina, berdampingan dengan negara Israel. Dipaksa untuk dipindahkan adalah melanggar hukum internasional,” tuturnya.

    Setidaknya 58 warga Palestina tewas dan 213 lainnya terluka di Jalur Gaza selama 25 jam terakhir akibat genosida Israel yang sedang berlangsung di wilayah tersebut, menurut laporan medis.

    Menurut sumber yang sama, layanan darurat masih belum dapat menjangkau banyak korban dan mayat yang terjebak di bawah reruntuhan atau berserakan di jalan.

    Di sisi lain pasukan pendudukan Israel terus menargetkan ambulans dan kru pertahanan sipil dalam genosida di Gaza.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Gaza Jadi Medan Pembunuhan, Israel Penjajah Perketat Rezim Militer di Tepi Barat

    Gaza Jadi Medan Pembunuhan, Israel Penjajah Perketat Rezim Militer di Tepi Barat

    PIKIRAN RAKYAT – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, menyampaikan kecaman keras terhadap agresi militer Israel penjajah di Jalur Gaza yang terus berlanjut tanpa jeda.

    Dia menyebut Gaza telah berubah menjadi “medan pembunuhan” akibat serangan brutal Israel penjajah yang menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina.

    “Gaza adalah medan pembunuhan – dan warga sipil berada dalam lingkaran kematian yang tak ada habisnya,” kata Antonio Guterres dalam konferensi pers di New York, Selasa 8 April 2025.

    Gaza Tanpa Bantuan, Situasi Kemanusiaan Memburuk

    Guterres menyoroti kondisi kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan di Gaza. Selama lebih dari sebulan, tidak ada bantuan kemanusiaan yang berhasil masuk ke wilayah itu.

    “Lebih dari sebulan penuh telah berlalu tanpa setetes bantuan ke Gaza. Tidak ada makanan. Tidak ada bahan bakar. Tidak ada obat. Tidak ada pasokan komersial,” ucapnya.

    Antonio Guterres juga menolak keras mekanisme baru yang diusulkan Israel penjajah untuk mengontrol masuknya bantuan, menyebutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan internasional.

    “Kami tidak akan berpartisipasi dalam pengaturan apa pun yang tidak sepenuhnya menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan: kemanusiaan, ketidakberpihakan, kemandirian dan netralitas,” tuturnya.

    Agresi Terus Berlanjut: Serangan Udara Tewaskan Anak-anak

    Serangan udara Israel penjajah pada Selasa 8 April 2025 malam menewaskan enam warga sipil, termasuk tiga anak-anak, di daerah pengungsian al-Mawasi, sebelah barat Khan Younes, Jalur Gaza bagian selatan. Jet-jet tempur dilaporkan menargetkan tenda pengungsi dan beberapa titik di lingkungan Zeitoun, Gaza.

    Menurut sumber medis, hanya dalam 24 jam terakhir, sedikitnya 58 jenazah warga Palestina ditemukan, dan 213 orang terluka di berbagai wilayah Gaza.

    Sejak Israel penjajah kembali melanjutkan serangan udara besar-besaran pada 18 Maret 2025, usai mengakhiri secara sepihak gencatan senjata, lebih dari 1.449 orang tewas dan 3.647 terluka dalam waktu kurang dari sebulan.

    Secara keseluruhan, sejak awal agresi Oktober 2023, Israel penjajah telah menewaskan 50.810 warga Palestina dan melukai 115.688 lainnya, mayoritas adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, sekitar 10.000 orang masih dinyatakan hilang dan diduga tewas tertimbun di bawah reruntuhan.

    Tepi Barat: Pengetatan Militer dan Penutupan Sekolah UNRWA

    Sementara itu, Israel penjajah juga terus memperketat kontrol di wilayah Tepi Barat yang diduduki. Pada Selasa malam, tentara Israel penjajah meningkatkan pembatasan di pos pemeriksaan Beit Furik, timur kota Nablus.

    Warga dilaporkan dipaksa turun dari kendaraan dengan tangan terangkat, mengalami kekerasan fisik, dan ditahan dalam waktu lama hingga menyebabkan kemacetan parah.

    Sejak dimulainya gencatan senjata awal tahun ini, militer Israel penjajah justru memperluas blokade dan membangun penghalang baru. Setidaknya 898 titik penghalang kini mengisolasi wilayah Tepi Barat, termasuk 18 gerbang militer baru yang dibangun sejak awal 2025.

    Pengetatan ini bertepatan dengan penutupan enam sekolah yang berafiliasi dengan UNRWA di Yerusalem Timur. Penutupan dilakukan oleh aparat Israel penjajah dengan dalih keamanan, meski dikecam luas sebagai bentuk pembungkaman hak pendidikan warga Palestina.

    Pengusiran Sistematis dan Serangan terhadap Komunitas Badui

    Di wilayah Jericho, komunitas Arab al-Mlaihat menjadi sasaran serangan brutal kolonis Israel penjajah. Penjajah bersenjata dan bertopeng dilaporkan menyerbu pemukiman Badui, menggeledah lumbung ternak, dan mencoba menabrak seorang guru perempuan.

    “Serangan ini adalah bagian dari upaya sistematis pendudukan untuk menggusur komunitas Badui dan mencuri tanah mereka demi perluasan permukiman ilegal,” kata Hasan Mlaihat, pengawas dari Organisasi al-Baidar.

    Sekitar satu juta warga Israel penjajah saat ini tinggal di permukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang menurut hukum internasional merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa.

    Guterres: Pemindahan Paksa adalah Kejahatan

    Menanggapi usulan dari mantan Presiden AS Donald Trump untuk “memindahkan warga Palestina ke negara-negara lain”, Guterres dengan tegas menolaknya.

    “Palestina memiliki hak untuk tinggal di Palestina, di negara Palestina, berdampingan dengan negara Israel. Dipaksa untuk dipindahkan bertentangan dengan hukum internasional,” katanya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari WAFA News.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Fatwa Ulama Internasional Serukan Boikot Total Perusahaan Israel dan Negara Pendukung

    Fatwa Ulama Internasional Serukan Boikot Total Perusahaan Israel dan Negara Pendukung

    Jakarta (beritajatim.com) – Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional atau International Union of Muslim Scholars (IUMS) yang berbasis di Qatar mengeluarkan fatwa boikot total terhadap perusahaan Israel dan perusahaan dari negara pendukung Israel. Fatwa ini dirilis melalui situs resmi IUMS dalam 15 poin, tiga di antaranya menekankan ajakan boikot yang menyeluruh.

    Boikot pertama ditujukan kepada seluruh entitas dan aktivitas politik, ekonomi, budaya, serta akademik milik Israel maupun pihak yang mendukungnya. “Investasi di perusahaan yang terlibat dalam penjajahan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan,” tulis fatwa tersebut. Boikot kedua difokuskan kepada perusahaan yang terlibat dalam mendukung aktivitas penjajahan Israel di Wilayah Pendudukan Palestina. Boikot ketiga diperluas kepada perusahaan dari negara-negara pendukung Israel, khususnya yang memasok senjata.

    Sekretaris Jenderal IUMS, Ali Al-Qaradaghi, pada Jumat (4/4/2025), menyerukan umat Islam di seluruh dunia untuk bertindak secara militer, ekonomi, dan politik dalam menghentikan genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.

    “Oleh karena itu, dan dalam rangka memenuhi kepercayaan yang diberikan Allah kepada para ulama, Komite Ijtihad dan Fatwa IUMS menyajikan keputusan-keputusan berikut tentang agresi Zionis yang sedang berlangsung,” ujar Qaradaghi dalam fatwanya.

    Fatwa ini dikeluarkan menyusul eskalasi kekerasan militer Israel di Gaza dalam dua pekan terakhir. Sejak 18 Maret 2025, Israel dilaporkan melanggar gencatan senjata dengan Hamas. Serangan tersebut telah menyebabkan lebih dari 1.400 warga Gaza tewas, sepertiganya adalah anak-anak. Korban sipil dari agresi dalam 18 bulan terakhir kini telah melampaui angka 50 ribu jiwa.

    Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung penuh fatwa IUMS. Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof Sudarnoto Abdul Hakim, menyatakan fatwa IUMS sejalan dengan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang dukungan bagi Palestina dan ajakan boikot terhadap Israel. Ia juga menyebutkan bahwa keputusan Ijtima’ MUI menegaskan kewajiban umat Islam untuk membela Palestina.

    “Kami mendorong seluruh kekuatan masyarakat sipil di berbagai belahan dunia untuk terus melakukan dan mengintensifkan aksi boikot terhadap produk Israel dan produk pihak manapun yang berafiliasi dengan Israel dan gerakan Zionisme,” kata Prof. Sudarnoto pada awal Maret lalu.

    Sebagai tindak lanjut dari Fatwa MUI tersebut, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merilis daftar 25 merek asing yang dinilai perlu diboikot karena keterkaitannya dengan ekonomi Israel atau dukungan negara asal mereka terhadap kebijakan Zionisme. Daftar ini dibagi dalam lima kategori: minuman (Danone Aqua, Coca-Cola, Milo, Pepsi, Nescafé); kudapan (Oreo, Cadbury, Toblerone, KitKat, Good Time); bumbu masak (Heinz ABC, Knorr, Royco, Maggi, Kraft); produk rumah tangga (Rinso, Molto, Sunlight, SuperPell, Vixal); serta produk perawatan pribadi (Pepsodent, Axe, Pantene, Oral-B, L’Oréal).

    Sekjen PB PMII, M. Irkham Tamrin, menjelaskan bahwa penyusunan daftar tersebut dilakukan berdasarkan riset internal dan konsultasi eksternal dengan berbagai organisasi. Ia menyebut produk-produk itu sebagai kebutuhan sehari-hari keluarga besar PMII yang kini menjadi fokus gerakan boikot. “Perusahaan-perusahaan ini berkontribusi pada ekonomi Israel atau kebijakan luar negeri negara pendukungnya. Memboikot mereka adalah langkah minimal untuk memutus mata rantai pendanaan Zionis,” tegasnya. [beq]

  • Gaza Jadi Medan Pembunuhan, Israel Penjajah Perketat Rezim Militer di Tepi Barat

    Organisasi Israel Ungkap Kesaksian Tentara-Tentara Zionis, Gaza Diratakan seperti Hiroshima

    PIKIRAN RAKYAT – Organisasi non-pemerintah yang berasal dari Israel yaitu Israel Breaking The Silence merilis laporan soal kebiadaban Israel di Gaza, Palestina. Laporan tersebut berisi kesaksian dari para prajurit Israel yang tidak disebutkan namanya.

    Para prajurit menggambarkan penghancuran serta pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Gaza. Dalam laporan itu diungkap bahwa Israel melakukan upaya untuk menciptakan zona penyangga di Gaza.

    “Salah satu misi ini adalah untuk menciptakan ‘zona penyangga’ di dalam Jalur Gaza, yang dalam praktiknya berarti meratakan area tersebut dengan tanah. Melalui penghancuran yang luas dan disengaja, militer meletakkan dasar bagi kendali Israel di masa mendatang atas area tersebut,” demikian laporan itu.

    Dilaporkan zona penyangga ini membentang dari pantai utara Gaza hingga perbatasan selatan dengan Mesir. Lokasinya berada di dalam Gaza, yang berarti di luar perbatasan Israel yang diakui internasional.

    Organisasi itu melaporkan zona penyangga sebelumnya meluas sekitar 300 meter (984 kaki) ke dalam Gaza. Zona baru tersebut berkisar antara 800m hingga 1.500m (2.624-4.921 kaki) lebarnya, yang memengaruhi area seluas sekitar 55-58 kilometer persegi (21-22 mil persegi) sekitar 16% dari lahan kantong tersebut, termasuk 35% dari area pertaniannya.

    Pengakuan tentara zionis

    Berikut adalah pengakuan demi pengakuan dari prajurit Israel yang tercantum dalam laporan Israel Breaking the Silence.

    “Apa yang mereka (komandan) katakan di ruang operasi pada bulan November (2023) adalah bahwa perang tersebut diperkirakan akan berlangsung selama satu tahun, kami akan menaklukkan area yang akan dibersihkan dari segalanya,” kata seorang mayor di Divisi Gaza Utara Angkatan Darat 

    Pada operasi Januari dan Februari 2024, pasukan Israel diberi tahu bahwa di area tersebut tidak ada warga sipil dan semuanya dianggap teroris.

    “Tidak ada penduduk sipil. Mereka teroris, semuanya. Tidak ada orang yang tidak bersalah,” ujar seorang perwira bintara dari Korps Lapis Baja.

    “Kami masuk dan jika kami mengidentifikasi tersangka, kami menembak mereka,” tuturnya lagi.

    “‘Beruang’, D9 (buldoser lapis baja), melaju dan merobohkan semua yang ada di jalurnya. Intinya, semua dirobohkan, semua yang dibangun, kebun buah, kandang sapi, kandang ayam,” ucapnya.

    Bahkan, menurutnya setelah bangunan-bangunan dirobohkan kondisi wilayah tersebut seperti Hiroshima, Jepang setelah dibom Amerika Serikat.

    “Hiroshima. Itulah yang saya katakan, Hiroshima,” katanya.

    Seorang prajurit lain juga mengungkap pengakuan serupa. Dia adalah sersan pertama di Batalyon Cadangan 5, mengatakan tugas utama mereka di Khuza’ah, Khan Younis, antara Desember 2023 dan Januari 2024.

    “Saya berbicara tentang ratusan unit bangunan, kehancurannya total,” ujarnya.

    Dalam operasi penghancuran tersebut, Divisi Gaza memetakan zona kehancuran menggunakan warna: 

    “Hijau berarti lebih dari 80% bangunan dirobohkan, bangunan tempat tinggal, rumah kaca, gudang, pabrik, harus datar,” ucapnya.

    Pengakuan lain datang dari seorang sersan pertama di Korps Teknik Tempur yang bertugas di Gaza utara pada November 2023. Dia menyebut hari-harinya saat ditugaskan di Gaza adalah melakukan penghancuran.

    “Anda bangun pagi-pagi, mencari lokasi, setiap hari, kecuali jika kami kehabisan bahan peledak,” ujarnya.

    Tak hanya melakukan penghancuran masif di Gaza, sejak Oktober 2023 lalu, Israel telah menewaskan 50.810 warga Palestina yang sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai 115.688 lainnya berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan setempat.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Alasan Mufti Besar Mesir Tolak Fatwa Jihad Melawan Israel Penjajah: Bukan Untuk Agenda Sembrono

    Alasan Mufti Besar Mesir Tolak Fatwa Jihad Melawan Israel Penjajah: Bukan Untuk Agenda Sembrono

    PIKIRAN RAKYAT – Mufti Agung Mesir, Nazir Ayyad dengan tegas menolak fatwa jihad yang dikeluarkan oleh Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS) terkait genosida di Gaza. Dia menyebut fatwa tersebut tidak sah secara syar’i dan berpotensi membahayakan keamanan masyarakat dan stabilitas kawasan.

    Fatwa yang dikeluarkan IUMS pada Jumat 4 April 2025 lalu menyerukan seluruh umat Muslim yang mampu untuk melancarkan jihad terhadap Israel penjajah, sebagai respon terhadap apa yang mereka sebut sebagai “genosida” dan “kehancuran menyeluruh” yang dilakukan Israel penjajah di Jalur Gaza.

    “Kegagalan pemerintah Arab dan Islam untuk mendukung Gaza saat sedang dihancurkan dianggap oleh hukum Islam sebagai kejahatan besar terhadap saudara-saudara kita yang tertindas di Gaza,” kata Ali al-Qaradaghi, Sekretaris Jenderal IUMS.

    IUMS juga menyerukan negara-negara Muslim untuk segera melakukan intervensi militer, politik, dan ekonomi terhadap Israel penjajah serta memberlakukan pengepungan terhadap negara tersebut.

    Mufti Ayyad: Jihad Bukan Keputusan Sembarang Entitas

    Menanggapi seruan tersebut, Nazir Ayyad selaku otoritas tertinggi dalam urusan fatwa di Mesir menegaskan bahwa fatwa semacam itu melanggar prinsip-prinsip dasar Syariah.

    “Tidak ada kelompok atau entitas individu yang memiliki hak untuk mengeluarkan fatwa tentang hal-hal yang rumit dan kritis yang melanggar prinsip-prinsip Syariah dan tujuannya yang lebih tinggi,” tuturnya dalam pernyataan resmi, Selasa 8 April 2025.

    Menurut Ayyad, deklarasi jihad dalam Islam hanya dapat diumumkan oleh otoritas sah yang diakui, yakni pemerintah dan kepemimpinan politik yang berwenang, bukan oleh serikat atau organisasi yang tidak memiliki legitimasi negara.

    “Di era kita saat ini, otoritas ini terkandung dalam kepemimpinan negara dan politik yang diakui, bukan dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh entitas atau serikat pekerja yang tidak memiliki otoritas hukum dan tidak mewakili Muslim baik secara agama maupun dalam praktik,” ujar Nazir Ayyad. 

    Dia juga menekankan bahwa jihad tidak bisa diserukan tanpa mempertimbangkan kondisi riil suatu negara, baik secara politik, militer, maupun ekonomi.

    “Menyerukan jihad tanpa memperhatikan kemampuan negara dan realitas politik, militer dan ekonominya adalah tindakan tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah, yang menyerukan kesiapsiagaan, kehati-hatian, dan pertimbangan konsekuensi,” kata Nazir Ayyad.

    Dukung Palestina dengan Cara yang Bijak

    Meski menolak fatwa jihad, Nazir Ayyad menegaskan dukungan penuh terhadap perjuangan rakyat Palestina. Namun, menurutnya, dukungan tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab dan tidak merugikan rakyat Palestina itu sendiri.

    “Mendukung rakyat Palestina dalam hak-hak sah mereka adalah kewajiban agama, kemanusiaan dan moral. Namun, dukungan ini harus diberikan dengan cara yang benar-benar melayani kepentingan rakyat Palestina, dan bukan untuk memajukan agenda spesifik atau usaha sembrono yang dapat menyebabkan kehancuran, pengungsian, dan bencana lebih lanjut bagi Palestina sendiri,” tuturnya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Middle East Eye.

    Penolakan dari Ulama Salafi Pro-Pemerintah

    Penolakan terhadap fatwa IUMS juga datang dari kalangan ulama Salafi di Mesir. Yasser Burhami, tokoh Salafi terkemuka dan pendukung Presiden Abdel Fattah el-Sisi, mengatakan bahwa fatwa tersebut tidak realistis dan bertentangan dengan perjanjian damai Mesir-Israel penjajah tahun 1979.

    Burhami, yang juga pimpinan Gerakan Salafi Mesir, mengatakan seruan jihad seperti itu hanya akan memperburuk situasi dan memicu ketegangan regional.

    Konteks Situasi di Gaza: Tuduhan Genosida dan Krisis Kemanusiaan

    Fatwa jihad IUMS muncul di tengah meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel. Sejak agresi militer Israel di Gaza dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 50.000 warga Palestina telah tewas, mayoritas wanita dan anak-anak. Selain itu, jutaan lainnya mengalami pengungsian paksa akibat kehancuran luas di Jalur Gaza.

    Saat ini, Jalur Gaza berada dalam kondisi pengepungan total, tanpa akses makanan, obat-obatan, atau bantuan kemanusiaan. PBB dan organisasi hak asasi manusia telah memperingatkan akan krisis kemanusiaan besar-besaran jika situasi tidak segera berubah.

    Di sisi hukum internasional, Afrika Selatan telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) yang menuduh Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Sementara itu, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News