Negara: Jalur Gaza

  • 153 Warga Gaza ke Afsel, Palestina Tuduh Israel Lakukan Perdagangan Manusia

    153 Warga Gaza ke Afsel, Palestina Tuduh Israel Lakukan Perdagangan Manusia

    Ramallah

    Otoritas Palestina menuduh Israel melakukan praktik “perdagangan manusia” terhadap warga Gaza, yang pekan lalu tiba secara misterius di bandara Afrika Selatan (Afsel). Otoritas Palestina mengatakan pihaknya sama sekali tidak mengetahui pengiriman warga Gaza ke Afsel tersebut.

    Pada Jumat (14/11) lalu, pesawat yang mengangkut 153 warga Gaza mendarat di bandara OR Tambo di luar Johannesburg. Warga Gaza itu sempat tertahan selama 12 jam di dalam pesawat, karena tidak memiliki kelengkapan dokumen resmi untuk masuk ke Afsel.

    Pesawat carteran itu terbang dari Bandara Ramon di Israel ke Kenya, kemudian ke Afsel.

    Otoritas Afsel awalnya menolak memberikan izin masuk karena mereka tidak dapat memberikan informasi mengenai durasi tinggal atau alamat akomodasi mereka. Paspor mereka juga tidak mendapatkan stempel keberangkatan dari bandara Israel — syarat lazim dalam penerbangan.

    Namun akhirnya, otoritas Afsel mengizinkan mereka turun dari pesawat. Dari 153 warga Gaza itu, sebanyak 130 orang diproses untuk masuk ke negara itu dengan visa 90 hari. Sedangkan 23 orang lainnya melanjutkan penerbangan ke tujuan akhir mereka.

    Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya, seperti dilansir The Jerusalem Post, Senin (17/11/2025), mengucapkan terima kasih ke pemerintah Afsel karena telah menerima “warga kami yang disesatkan”.

    Namun, Kementerian Luar Negeri Palestina juga melontarkan peringatan terhadap jaringan yang berupaya mengusir warga Palestina, terutama penduduk Gaza, dari rumah-rumah mereka demi kepentingan Israel.

    “Memperingatkan perusahaan dan entitas yang menyesatkan rakyat kami, menghasut mereka untuk dideportasi atau dipindahkan, atau terlibat dalam perdagangan manusia, bahwa mereka akan menanggung konsekuensi hukum atas tindakan ilegal mereka dan akan dituntut dan dimintai pertanggungjawaban,” tegas Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya.

    “Kementerian mengimbau rakyat kami, terutama mereka yang berada di Jalur Gaza, untuk berhati-hati dan tidak menjadi korban perdagangan manusia, perdagangan darah, atau agen pengungsian paksa,” imbuh pernyataan itu.

    Otoritas Palestina, dalam pernyataannya, mengatakan bahwa tidak ada pemberitahuan sebelumnya atau koordinasi dengan otoritas Afsel.

    Pendiri organisasi bantuan Afsel, Gift of the Givers, Imtiaz Suleiman, mengatakan bahwa kesaksian para penumpang menyebut Israel membantu mereka meninggalkan Jalur Gaza tanpa membubuhkan stempel di paspor mereka, sehingga mereka terdampar di negara ketiga.

    COGAT yang mengkoordinasikan aktivitas Israel di wilayah Palestina mengklaim bahwa negara ketiga telah setuju untuk menerima warga Palestina. Namun, Presiden Afsel Cyril Ramaphosa, seperti dikutip France24 dan AFP, mengatakan bahwa warga Gaza itu tampak “seperti diusir keluar”.

    “Mereka adalah orang-orang dari Gaza yang entah bagaimana secara misterius dinaikkan ke pesawat yang melewati Nairobi dan tiba di sini,” ucapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Tangis Warga Gaza di Tenda Pengungsian Banjir

    Tangis Warga Gaza di Tenda Pengungsian Banjir

    Jakarta

    Nasib pilu kembali dirasakan warga di Gaza, Palestina. Baru bernapas lega usai gencatan senjata berlangsung, kini tempat pengungsian mereka diterjang banjir.

    Hujan deras mengguyur Gaza sejak Jumat (14/11). Saat para pengungsi terbangun, banjir sudah menggenangi kawasan pengungsian.

    Dilansir kantor berita CNN, Minggu (16/11/2025), hujan lebat melanda Gaza hingga membuat tempat berlindung dan barang-barang warga Gaza di pengungsian basah pada Jumat (14/11). Tidak ada cara untuk mengeringkannya.

    Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza Mahmoud Basal mengatakan para pejabat di Gaza telah menerima ratusan permohonan bantuan. Namun, katanya, sumber dayanya tidak ada.

    “Ratusan permohonan bantuan, namun sumber dayanya tidak ada,” ujarnya.

    Mahmoud mengatakan kasur para pengungsi basah kuyup. Kata dia, tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan para pengungsi karena semuanya telah dihancurkan oleh Israel.

    “Seluruh pusat penampungan telah menyaksikan ketinggian air naik hingga lebih dari 10 sentimeter (3,94 inci). Kasur basah kuyup, selimut basah kuyup, dan tidak ada pilihan tersisa – karena semua pilihan telah dihancurkan oleh Israel,” ujarnya.

    Tenda Pengungsian Roboh Akibat Hujan Deras

    Warga Palestina yang mengungsi di Kota Gaza mengatakan kepada CNN bahwa tenda-tenda yang mereka tempati sudah usang, beberapa di antaranya roboh karena terjangan hujan deras.

    “Kami dan anak-anak kecil kami kebanjiran karena hujan,” kata Raed Al-Alayan.

    “Tenda kami kebanjiran. Tidak ada atap yang melindungi kami dari hujan,” imbuhnya.

    Badai biasa terjadi di Gaza saat ini, tetapi dengan ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi dari tempat berlindung permanen, bahkan curah hujan normal pun dapat membanjiri penduduk dan memperburuk kondisi yang sudah buruk.

    Seorang perempuan memandu CNN berkeliling dan masuk ke tenda-tenda keluarganya yang basah kuyup, tempat ia mengaku mengungsi bersama 20 anak, termasuk bayi yang baru lahir. Ia mulai meratap dan menjerit kesakitan saat menggambarkan kondisi yang dialaminya.

    “Kita harus ke mana?” tanyanya beberapa kali. “Putraku yang terbunuh membangun tenda-tenda ini untuk kita. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” imbuhnya.

    Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stéphane Dujarric, mengatakan ratusan tenda dan tempat penampungan sementara terendam banjir. Ia mengatakan kepada para wartawan bahwa mitra PBB yang bekerja di bidang penampungan mengatakan Gaza tidak memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk pencegahan banjir yang memadai, seperti peralatan untuk menguras air dari tenda dan untuk membersihkan sampah padat serta puing-puing.

    Tangis Warga Gaza Ratapi Banjir

    Dilansir Aljazeera, Minggu (16/11/2025), warga Palestina di Gaza berupaya menggali parit di sekitar tenda mereka agar air tidak membanjiri tenda. Sementara warga lainnya berlindung di bangunan-bangunan yang hancur, bahkan yang berisiko runtuh.

    Seorang warga Palestina mengaku sedih akibat tendanya terendam banjir tersebut.

    “Saya menangis sejak pagi,” kata seorang ibu dua anak Palestina yang mengungsi, sambil menunjuk ke tenda keluarganya, yang telah terendam banjir akibat hujan deras semalaman.

    Wanita yang tidak disebutkan namanya itu mengatakan ia kesulitan menafkahi anak-anaknya setelah beberapa anggota keluarganya, termasuk suaminya, tewas dalam perang genosida Israel, yang dimulai pada Oktober 2023.

    “Saya meminta bantuan untuk mendapatkan tenda, kasur, dan selimut yang layak. Saya ingin anak-anak saya memiliki pakaian yang layak,” katanya.

    “Saya tidak punya siapa pun untuk dimintai tolong… Tidak ada yang bisa membantu saya,” imbuhnya.

    Sebelumnya kelompok kemanusiaan telah mendesak Israel untuk mencabut semua pembatasan bantuan ke Jalur Gaza. Akan tetapi pemerintah Israel tetap mempertahankan pembatasan ketat terhadap aliran bantuan kemanusiaan meskipun ada kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok Palestina, Hamas, yang mulai berlaku pada 10 Oktober.

    Kelompok penyalur bantuan mengatakan sekitar 260.000 keluarga Palestina di Gaza berada dalam kondisi rentan menjelang musim dingin.

    Pada saat yang sama, Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan pihaknya memiliki cukup pasokan tempat tinggal untuk membantu sebanyak 1,3 juta warga Palestina. Akan tetapi UNRWA tidak dapat mengirimkan bantuan ke Gaza akibat pembatasan yang diberlakukan Israel.

    Kepala UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan pengiriman bantuan menjadi lebih penting dari sebelumnya karena musim dingin ini bertepatan dengan krisis pengungsian di Gaza.

    “Dingin dan basah di Gaza. Para pengungsi kini menghadapi musim dingin yang keras tanpa kebutuhan dasar untuk melindungi mereka dari hujan dan dingin,” ujarnya dalam sebuah unggahan di media sosial.

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/lir)

  • Warga Gaza Menangis, Banjir Rendam Tenda Pengungsian

    Warga Gaza Menangis, Banjir Rendam Tenda Pengungsian

    Jakarta

    Banjir merendam kamp pengungsi di Gaza, Palestina. Suhu dingin dan hujan deras memperburuk kondisi yang sudah memprihatinkan bagi warga Palestina yang mengungsi di Gaza, karena Israel terus memblokir pengiriman bantuan tenda dan pasokan lainnya ke wilayah yang terkepung.

    Dilansir Aljazeera, Minggu (16/11/2025), warga Palestina di Gaza berupaya menggali parit di sekitar tenda mereka agar air tidak membanjiri tenda. Sementara warga lainnya berlindung di bangunan-bangunan yang hancur, bahkan yang berisiko runtuh.

    Seorang warga Palestina mengaku sedih akibat tendanya terendam banjir tersebut.

    “Saya menangis sejak pagi,” kata seorang ibu dua anak Palestina yang mengungsi, sambil menunjuk ke tenda keluarganya, yang telah terendam banjir akibat hujan deras semalaman.

    Wanita yang tidak disebutkan namanya itu mengatakan ia kesulitan menafkahi anak-anaknya setelah beberapa anggota keluarganya, termasuk suaminya, tewas dalam perang genosida Israel, yang dimulai pada Oktober 2023.

    “Saya meminta bantuan untuk mendapatkan tenda, kasur, dan selimut yang layak. Saya ingin anak-anak saya memiliki pakaian yang layak,” katanya.

    Sebelumnya kelompok kemanusiaan telah mendesak Israel untuk mencabut semua pembatasan bantuan ke Jalur Gaza. Akan tetapi pemerintah Israel tetap mempertahankan pembatasan ketat terhadap aliran bantuan kemanusiaan meskipun ada kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok Palestina, Hamas, yang mulai berlaku pada 10 Oktober.

    Kelompok penyalur bantuan mengatakan sekitar 260.000 keluarga Palestina di Gaza berada dalam kondisi rentan menjelang musim dingin.

    Pada saat yang sama, Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan pihaknya memiliki cukup pasokan tempat tinggal untuk membantu sebanyak 1,3 juta warga Palestina. Akan tetapi UNRWA tidak dapat mengirimkan bantuan ke Gaza akibat pembatasan yang diberlakukan Israel.

    Kepala UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan pengiriman bantuan menjadi lebih penting dari sebelumnya karena musim dingin ini bertepatan dengan krisis pengungsian di Gaza.

    “Dingin dan basah di Gaza. Para pengungsi kini menghadapi musim dingin yang keras tanpa kebutuhan dasar untuk melindungi mereka dari hujan dan dingin,” ujarnya dalam sebuah unggahan di media sosial.

    Tonton juga video “Gaza Kebanjiran, Jutaan Bantuan Tertahan di Yordania, Mesir dan Israel”

    (yld/yld)

  • Indonesia Harapkan Rancangan Resolusi DK PBB Dapat Menjembatani Perdamaian di Palestina

    Indonesia Harapkan Rancangan Resolusi DK PBB Dapat Menjembatani Perdamaian di Palestina

    JAKARTA – Indonesia mengharapkan rancangan resolusi mengenai Jalur Gaza yang tengah dibahas oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjembatani perdamaian di dunia.

    Amerika Serikat pekan ini dilaporkan telah mengedarkan draft resolusi DK PBB yang telah direvisi yang akan mengesahkan mandat dua tahun bagi pemerintahan di Gaza, hingga pembentukan pasukan internasional untuk mengawasi keamanan dan demiliterisasi

    Juru Bicara I Kementerian Luar Negeri RI Yvonne Mewengkan mengatakan, seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri RI Sugiono, pembicaraan mengenai rancangan resolusi telah dilakukan di Istanbul, Turki dan dilanjutkan di New York, Amerika Serikat.

    “Indonesia mengharapkan sekiranya diadopsi, rancangan resolusi tersebut dapat menjembatani upaya menuju perdamaian di Palestina, termasuk mendorong kelancaran masuknya bantuan kemanusiaan ke Palestina, dan penguatan kapasitas otoritas Palestina serta pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping) yang imparsial dengan mandat PBB,” jelas Yvonne kepada VOI.id melalui pesan singkat, Sabtu 15 November.

    Diberitakan sebelumnya, Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty dalam keterangan pers bersama Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan pada Hari Rabu mengatakan draft baru mengenai resolusi DK PBB tengah dibahas di New York.

    Ilustrasi pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB. (UN Photo/Loey Felipe)

    “Di New York, draft baru sedang dipersiapkan. Unit-unit tertentu akan dibentuk dan mandat mereka perlu dijelaskan dengan jelas. Kita perlu menyempurnakan detail ini untuk melindungi hak-hak rakyat Palestina,” jelasnya dikutip dari The National.

    Kendati demikian, Menlu Abdelatty tidak merinci apakah draft baru tersebut sepenuhnya berbeda dari versi yang diedarkan minggu lalu oleh AS, yang akan mengesahkan mandat dua tahun bagi pemerintahan transisi di Gaza dan pasukan internasional untuk mengawasi keamanan dan demiliterisasi.

    Draft tersebut dibagikan kepada 10 anggota terpilih Dewan Keamanan PBB, serta mitra regional seperti UEA, Arab Saudi, Mesir, Qatar dan Turki.

    “Ini proses yang rumit, dan jelas rencana ini harus dapat diimplementasikan,” ungkapnya.

    Setelahnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marco Rubio optimis rancangan resolusi tersebut dalam diselesaikan DK PBB.

    The National yang mengetahui draft tersebut menyebutkan bahasa eksplisit yang menghubungkan kemajuan di Jalur Gaza dengan proses politik menuju kenegaraan Palestina.

    Draft tersebut menyatakan, setelah program reformasi untuk Otoritas Palestina “dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan pembangunan kembali Gaza telah maju, kondisi-kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina”.

    Rancangan ini juga mewajibkan Washington untuk “membangun dialog antara Israel dan Palestina guna menyepakati cakrawala politik untuk hidup berdampingan secara damai dan sejahtera”.

    Rancangan tersebut berupaya untuk lebih memperkuat gencatan senjata dalam resolusi tersebut, dengan menyatakan bahwa dewan “mendukung Rencana Komprehensif, mengakui para pihak telah menerimanya, dan menyerukan semua pihak untuk melaksanakannya secara menyeluruh, termasuk mempertahankan gencatan senjata, dengan itikad baik dan tanpa penundaan”.

    Lebih jauh dikatakan, proposal tersebut akan menugaskan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) untuk mengamankan Gaza dan mengawasi proses demiliterisasi.

    Kata-kata baru dalam rancangan tersebut mengklarifikasi pasukan Israel akan mundur secara bertahap seiring dengan perluasan kendali ISF.

    “Seiring ISF membangun kendali dan stabilitas, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan menarik diri dari Jalur Gaza berdasarkan standar, tonggak sejarah, dan kerangka waktu terkait demiliterisasi yang akan disepakati antara IDF, ISF, para penjamin, dan Amerika Serikat,” demikian bunyi teks tersebut.

    Teks tersebut juga mencatat perimeter keamanan terbatas akan tetap berlaku “hingga Gaza benar-benar aman dari ancaman teror yang muncul kembali”.

    Yvonne menegaskan, Indonesia konsisten mengenai kemerdekaan Palestina dan terwujudnya Solusi Dua Negara.

    “Pemerintah Indonesia konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina termasuk terwujudnya solusi dua negara, dan siap berkontribusi guna mendukung upaya tersebut dan menciptakan perdamaian di kawasan,” tegas Yvonne.

  • UNRWA Membutuhkan Pendanaan untuk Membantu Jutaan Warga Palestina

    UNRWA Membutuhkan Pendanaan untuk Membantu Jutaan Warga Palestina

    JAKARTA – Pendanaan sangat penting bagi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang tidak lagi menerima dukungan Amerika Serikat, ujar kepala badan tersebut Philippe Lazzarini.

    Operasional badan yang mendukung jutaan warga Palestina ini dapat semakin terpuruk tanpa arus kas, kata Lazzarini.

    Di sisi lain, mandat dan operasinya sangat penting bagi solusi politik bagi konflik Palestina-Israel, tambahnya.

    “Kami beroperasi minggu demi minggu, bulan demi bulan. Saya tahu mulai hari ini, kami akan dapat memproses gaji kami pada Bulan November, tetapi tidak tahu apakah kami akan dapat memproses gaji kami pada bulan Desember,” kata Lazzarini, dilansir dari The National 14 November.

    Israel diketahui telah melarang UNRWA beroperasi di wilayahnya setelah menuduh beberapa staf badan tersebut berpartisipasi dalam serangan Oktober 2023 oleh Hamas, yang memicu konflik berdarah di Gaza.

    Setelah tuduhan tersebut, AS, yang secara historis merupakan donor terbesar badan tersebut, menangguhkan dukungannya.

    Setelah keputusan Israel, UNRWA terpaksa memulangkan staf internasionalnya dari Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, sehingga membatasi kemampuan distribusi bantuan pangannya.

    Namun, UNRWA masih mempekerjakan 12.000 orang di wilayah Palestina dan layanannya sangat vital, ujar Lazzarini.

    “Sekitar 75.000 orang ditampung di 100 lokasi kami di Jalur Gaza,” ujarnya di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat Hari Kamis.

    “Selama dua tahun terakhir, kami telah menyediakan lebih dari 15 juta konsultasi kesehatan primer. Saat ini, rata-ratanya sekitar 14.000 per hari,” tandasnya.

    Dalam perkembangan lain, Lazzarini mengatakan telah memberi tahu “Majelis Umum PBB, menjaga mandat dan operasi UNRWA sangat penting bagi kelangsungan hidup jutaan warga Palestina, penting bagi solusi politik yang sangat dibutuhkan”.

    “Saya menyoroti upaya terbaru serangan disinformasi berkelanjutan yang bertujuan untuk mendiskreditkan dan membubarkan badan tersebut,” tambahnya.

  • Hamas Diam-diam Perluas Kendali Atas Gaza Saat Gencatan Senjata

    Hamas Diam-diam Perluas Kendali Atas Gaza Saat Gencatan Senjata

    Gaza City

    Kelompok Hamas sedang berupaya memperluas kendali mereka atas Jalur Gaza, saat upaya mewujudkan rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk masa depan daerah kantong Palestina itu mengalami penundaan untuk terwujud.

    Informasi terbaru ini, seperti dilansir Reuters, Jumat (14/11/2025), didapatkan dari belasan warga Gaza yang berbicara kepada kantor berita Reuters. Hal ini semakin menambah keraguan soal apakah Hamas sungguh-sungguh akan menyerahkan kekuasaan atas Gaza seperti yang mereka janjikan sebelumnya.

    Penuturan sejumlah warga Gaza menyebut Hamas mulai mengatur harga barang, mencakup harga ayam, hingga mengenakan pajak untuk rokok.

    Setelah gencatan senjata Gaza dimulai 10 Oktober lalu, Hamas dengan cepat membangun kembali kekuasaannya atas wilayah-wilayah yang ditinggalkan pasukan militer Israel. Mereka menewaskan puluhan warga Palestina yang dituduh bersekongkol dengan Israel, melakukan pencurian, atau kejahatan lainnya.

    Kekuatan asing menuntut Hamas melucuti senjata mereka dan meninggalkan kekuasaan, namun kelompok yang didukung Iran ini belum menyepakati siapa yang akan menggantikan mereka memerintah Gaza.

    Kini, belasan warga Gaza mengakui bahwa mereka semakin merasakan kendali Hamas dalam banyak hal. Disebutkan bahwa otoritas Hamas memantau segala sesuatu yang masuk ke Jalur Gaza, mengenakan pajak pada beberapa barang impor swasta, termasuk bahan bakar serta rokok, dan menjatuhkan denda kepada para pedagang yang dianggap menetapkan harga terlalu tinggi.

    Informasi itu diungkapkan oleh 10 warga Gaza, dengan tiga orang di antaranya merupakan pedagang yang merasakan langsung situasi tersebut.

    Kepala kantor media pemerintahan Hamas, Ismail Al-Tawabta, dalam tanggapannya menyebut laporan soal kelompoknya mengenakan pajak rokok dan bahan bakar tidaklah akurat. Dia membantah pemerintah Hamas menaikkan pajak.

    Dijelaskan Al-Tawabta bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan administratif yang mendesak, sembari melakukan “upaya keras” untuk mengendalikan harga. Dia kembali menegaskan kesiapan Hamas untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan teknokratis baru.

    Al-Tawabta mengatakan bahwa pihaknya hanya bermaksud menghindari kekacauan di Jalur Gaza. “Tujuan kami adalah agar transisi berjalan lancar,” ucapnya.

    Rencana perdamaian Gaza yang diusulkan Trump menyerukan pembentukan otoritas transisi, pengerahan pasukan keamanan multinasional, perlucutan senjata Hamas, dan dimulainya rekonstruksi di daerah kantong Palestina yang hancur akibat perang tersebut.

    Ketika diminta komentar mengenai laporan soal upaya Hamas memperluas kendali atas Jalur Gaza tersebut, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan: “Inilah mengapa Hamas tidak bisa dan tidak akan memerintah di Gaza.”

    Pemerintahan baru di Jalur Gaza, sebut juru bicara Departemen Luar Negeri AS, dapat dibentuk setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui rencana Trump.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • 153 Warga Palestina Terjebak 12 Jam di Pesawat Usai Mendarat di Afsel

    153 Warga Palestina Terjebak 12 Jam di Pesawat Usai Mendarat di Afsel

    Johannesburg

    Lebih dari 150 warga Palestina terjebak selama 12 jam di dalam pesawat setelah mendarat di bandara Afrika Selatan (Afsel) pada Kamis (13/11) waktu setempat. Kepolisian perbatasan Afsel tidak mengizinkan mereka turun dari pesawat karena mereka tidak memiliki kelengkapan dokumen untuk masuk ke negara tersebut.

    Kepolisan perbatasan Afsel, seperti dilansir AFP, Jumat (14/11/2025), mengatakan bahwa pesawat carteran yang membawa 153 warga Palestina itu mendarat di Bandara Internasional OR Tambo tak lama setelah pukul 08.00 pagi, pada Kamis (13/11) waktu setempat.

    Dijelaskan oleh kepolisan perbatasan Afsel bahwa para penumpang tidak diizinkan meninggalkan pesawat karena mereka “tidak memiliki stempel keberangkatan yang lazim di paspor mereka”. Disebutkan juga bahwa tidak ada dari penumpang Palestina itu yang “menyatakan niat untuk mengajukan suaka”.

    Kementerian Dalam Negeri Afsel akhirnya mengizinkan warga Palestina itu turun dari pesawat setelah LSM yang berbasis di Afrika, Gift of the Givers, menjamin akan menyediakan akomodasi bagi mereka.

    Sebanyak 153 warga Palestina itu akhirnya turun dari pesawat pada Kamis (13/11) malam waktu setempat, setelah berada di dalam sejak pagi, atau selama 12 jam.

    Menurut kepolisian perbatasan Afsel, sebanyak 130 warga Palestina memasuki negara tersebut, sedangkan 23 orang lainnya menunggu penerbangan lanjutan ke tujuan lainnya sesuai pilihan mereka.

    Kepolisian perbatasan Afsel menambahkan bahwa pesawat carteran itu dioperasikan oleh maskapai penerbangan Global Airways, dan berangkat dari Kenya. Namun tidak diketahui secara jelas dalam kondisi apa warga Palestina itu berangkat dan rute pasti dari pesawat tersebut.

    Pendiri Gift of the Givers, Imtiaz Sooliman, mengatakan kepada televisi lokal SABC bahwa dirinya tidak mengetahui siapa yang menyewa pesawat tersebut.

    Sooliman menyebut bahwa pesawat pertama yang membawa 176 warga Palestina telah mendarat di Johannesburg pada 28 Oktober lalu, dengan beberapa penumpang di antaranya telah berangkat ke negara-negara lainnya.

    “Keluarga dari kelompok pertama ini memberitahu kami kemarin bahwa anggota keluarga mereka akan datang dengan pesawat kedua dan tidak ada yang tahu tentang pesawat tersebut,” katanya.

    “Pemerintah harus menyelidiki bagaimana orang-orang datang dengan pesawat carteran tanpa stempel. Israel tidak membubuhkan stempel pada paspor mereka sehingga mereka bepergian secara ilegal,” cetus Sooliman.

    Afsel, yang menampung komunitas Yahudi terbesar di Afrika sub-Sahara, sebagian besar mendukung perjuangan Palestina. Pemerintah Afsel mengajukan gugatan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2023 lalu, menuduhnya melakukan genosida di Jalur Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Bukan Hanya Disiksa, Aparat Israel Perkosa Tahanan Palestina Pakai Anjing

    Bukan Hanya Disiksa, Aparat Israel Perkosa Tahanan Palestina Pakai Anjing

    GELORA.CO – Bukan hanya disiksa, tahanan Palestina juga diperkosa oleh anjing Israel.

    Kekerasan seksual itu terungkap usai sejumlah tahanan Palestina dibebaskan sesuai dengan perjanjian gencatan senjata. 

    Dilaporkan media Qudsnen, para tahanan wanita Palestina diperkosa menggunakan benda hingga anjing oleh pihak Israel. 

    Tahanan tersebut biasanya diculik dari Jalur Gaza oleh pasukan Israel.

    Seorang tahanan pun mengungkapkan praktik penyiksaan seksual yang terorganisir dan sistematis yang dilakukan pihak Israel.

    Termasuk pemerkosaan dan penyerangan seksual dengan benda dan anjing, serta penghinaan psikologis yang disengaja.

    Kekerasan seksual tersebut dilakukan di penjara-penjara Israel.

    Hal itu diungkapkan dalam laporan terbaru Pusat Hak Asasi Manusia Palestina (PCHR).

    Laporan tersebut mengungkapkan pemerkosaan, pemaksaan menelanjangi, pemaksaan merekam, penyerangan seksual dengan menggunakan benda dan anjing.

    Pihak Israel juga melakukan penghinaan psikologis yang disengaja yang bertujuan untuk “menghancurkan martabat manusia dan menghapus identitas individu sepenuhnya.”

    PCHR telah menegaskan bahwa kesaksian yang “mengerikan” tersebut tidak mencerminkan insiden yang terisolasi.

    Namun diduga hal itu dilakukan karena kebijakan sistematis yang dipraktikkan dalam konteks kejahatan genosida yang sedang berlangsung terhadap lebih dari dua juta orang.

    PCHR mencatat bahwa penangkapan tersebut, termasuk terhadap perempuan.

    Hukuman kolektif yang dirancang itu untuk mempermalukan warga Palestina dan menimbulkan kerugian psikologis dan fisik yang maksimal pada mereka.

    Kekejaman Israel itu diceritakan oleh mantan tahanan inisial NA.

    NA merupakan seorang perempuan Palestina berusia 42 tahun, ditangkap di sebuah pos pemeriksaan Israel di Gaza utara pada November 2024. 

    Ia melaporkan kepada PCHR bahwa ia berulang kali diperkosa, dipukuli, disetrum, dilecehkan secara verbal, ditelanjangi, dan direkam oleh tentara Israel selama penahanannya. 

    Ia tetap dalam kondisi ini selama beberapa hari sebelum dipindahkan ke ruangan lain.

    Pemerkosaan berlangsung selama 10 menit kemudian para aparat Israel itu meninggalkannya selama satu jam dengan posisi tangan diborgol di tempat tidur.

    “Pemerkosaan itu berlangsung sekitar 10 menit. Setelah itu, mereka meninggalkan saya selama satu jam dalam posisi yang sama, dengan tangan saya diborgol ke tempat tidur dengan borgol logam, wajah saya di tempat tidur, kaki saya di lantai, dan saya benar-benar telanjang,” ujarnya, seraya menambahkan,”

    Saat itu NA selalu merindukan kematian di dalam sel tahanan Israel.

    “Saya selalu menginginkan kematian,” kisah NA.

    Kisah-kisah ini mengonfirmasi insiden pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan tentara Israel terhadap tahanan Palestina yang telah lama dilaporkan dan terdokumentasi dengan baik.

    Laporan tersebut menyimpulkan bahwa perlakuan yang dilakukan oleh IOF, badan intelijen, dan pegawai Dinas Penjara Israel tidak hanya memenuhi unsur-unsur penyiksaan menurut hukum internasional, tetapi juga mencapai tingkat genosida.

    Khususnya tindakan genosida berikut: (1) menyebabkan kerugian fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; dan (2) dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan pada kelompok tersebut yang diperkirakan akan mengakibatkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian.

  • Tentara Israel Tewaskan 3 Militan Saat Bongkar Terowongan di Rafah

    Tentara Israel Tewaskan 3 Militan Saat Bongkar Terowongan di Rafah

    Gaza City

    Militer Israel mengatakan pasukannya telah menewaskan tiga militan di area Rafah, Jalur Gaza bagian selatan. Hal itu terjadi saat pasukan Tel Aviv membongkar terowongan bawah tanah di area Rafah yang mereka kuasai.

    Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata di Jalur Gaza yang menghentikan sebagian besar pertempuran sejak 10 Oktober lalu, meskipun insiden kekerasan terus terjadi dan seringkali mengakibatkan korban jiwa.

    Militer Israel dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Kamis (13/11/2025), menyebut pasukannya melakukan konfrontasi dengan sejumlah militan bersenjata ketika melakukan pembongkaran terowongan di area Rafah pada Rabu (12/11) waktu setempat.

    “Pasukan IDF (Angkatan Bersenjata Israel) yang beroperasi di area Rafah untuk membongkar infrastruktur bawah tanah… mengidentifikasi empat teroris bersenjata di sisi timur garis kuning, yang berada dalam kendali operasional Israel,” kata militer Israel, merujuk pada zona tempat pasukannya ditempatkan.

    “Setelah identifikasi tersebut, IDF menyerang dan menghabisi tiga teroris bersenjata,” sebut militer Israel dalam pernyataannya.

    Ditekankan oleh militer Israel bahwa tidak ada korban jiwa dari pihaknya dalam konfrontasi tersebut.

    Sejak gencatan senjata Gaza berlaku, baik Israel maupun Hamas telah berulang kali saling melontarkan tuduhan pelanggaran.

    Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, yang beroperasi di bawah wewenang Hamas, sedikitnya 245 warga Palestina tewas akibat rentetan serangan Israel sejak gencatan senjata dimulai.

    Sementara militer Israel melaporkan tiga tentaranya tewas dalam serangan di Jalur Gaza selama periode yang sama.

    Gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS), Qatar, dan Mesir sejauh ini telah menghasilkan pembebasan 20 sandera yang masih hidup dari Jalur Gaza. Hamas juga telah memulangkan 24 jenazah sandera yang tewas, dengan empat jenazah sandera lainnya masih berada di Jalur Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Jerman Tangkap Anggota Sel Hamas Rencanakan Serangan

    Jerman Tangkap Anggota Sel Hamas Rencanakan Serangan

    Berlin

    Kepolisian Jerman menangkap seorang tersangka anggota sel kelompok Hamas di wilayahnya. Tersangka yang ditangkap itu diduga kuat sedang merencanakan serangan terhadap institusi Israel atau Yahudi yang ada di wilayah Jerman.

    Kantor jaksa federal Jerman yang mengumumkan penangkapan itu, seperti dilansir AFP, Kamis (13/11/2025), mengatakan bahwa tersangka diidentifikasi sebagai seorang pria kelahiran Lebanon, yang bernama Borhan El-K.

    Tersangka ditangkap pada Selasa (11/11) tengah malam, ketika memasuki wilayah Jerman dari Republik Ceko.

    Jaksa federal Jerman menuduh tersangka telah berhasil mendapatkan berbagai senjata api pada Agustus lalu.

    “Dia memperoleh senapan otomatis, delapan pistol Glock, dan lebih dari 600 butir amunisi di Jerman,” sebut kantor jaksa federal Jerman dalam pernyataannya.

    Persenjataan yang didapatkan tersangka itu, sebut kantor jaksa federal Jerman, telah diserahkan kepada seorang tersangka lainnya bernama Wael F.

    Wael merupakan salah satu dari tiga tersangka yang ditangkap di Berlin bulan lalu, atas kecurigaan memiliki senjata api dan amunisi.

    Sementara itu, Kepolisian Denmark melakukan penggeledahan terhadap sejumlah alamat di area ibu kota Kopenhagen dan sekitarnya yang masih terkait dengan Borhan El-K dan seorang tersangka lainnya.

    Satu tersangka lainnya ditangkap pekan lalu di London, ibu kota Inggris, atas permintaan otoritas Jerman.

    Kelompok Hamas, yang bermarkas di Jalur Gaza, membantah adanya hubungan dengan dugaan rencana serangan di Jerman tersebut.

    Lihat juga Video ‘Israel Tuduh Hamas Rekayasa Pengambilan Sisa Jenazah Sandera’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)