Negara: Jalur Gaza

  • Kemhan: TNI siap kirim pasukan ke Gaza setelah dapat lampu hijau PBB

    Kemhan: TNI siap kirim pasukan ke Gaza setelah dapat lampu hijau PBB

    “Pemerintah Indonesia pada prinsipnya bersikap siap berkontribusi sesuai kapasitas dan pengalaman panjang dalam misi perdamaian. Namun seluruh keputusan tetap berada pada arahan presiden,”

    Morowali (ANTARA) – Kepala Biro Informasi Pertahanan Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan (Kemhan) Kolonel (Arm) Rico Sirait mengatakan TNI siap mengirimkan personel ke Gaza untuk melakoni misi perdamaian setelah mendapat lampu hijau dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

    “Pemerintah Indonesia pada prinsipnya bersikap siap berkontribusi sesuai kapasitas dan pengalaman panjang dalam misi perdamaian. Namun seluruh keputusan tetap berada pada arahan presiden,” kata Rico saat dikonfirmasi ANTARA di Morowali, Rabu.

    Saat ini, lanjut Rico, TNI masih fokus dalam persiapan pasukan dan ragam logistik yang akan dikirimkan di Gaza.

    TNI dan Kementerian pertahanan juga belum menentukan skema pemberangkatan pasukan serta jadwal pengirimannya.

    “Seluruh mekanisme dan perencanaan sementara masih berada pada tahap pembahasan internal Kemhan dan TNI, menunggu keputusan Presiden mengenai waktu, bentuk kontribusi, serta skema keterlibatan Indonesia,” jelas Rico.

    Dewan Keamanan PBB, Senin (17/11) mengadopsi resolusi yang disponsori Amerika Serikat (AS) untuk membentuk ISF di Jalur Gaza. Menurut resolusi tersebut, ISF akan beroperasi di Gaza melalui kerja sama dengan Israel dan Mesir, serta dengan mandat awal selama dua tahun.

    Pasukan tersebut bertugas mengamankan perbatasan Gaza, melindungi warga sipil, menyalurkan bantuan kemanusiaan, melatih kembali kepolisian Palestina, serta mengawasi proses pelucutan senjata Hamas dan kelompok bersenjata lainnya.

    Sebanyak 13 negara anggota DK PBB mendukung resolusi tersebut, sementara Rusia dan China menyatakan abstain.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kenapa Rusia Tak Bersikap saat Voting DK PBB Atas Resolusi Damai Gaza?

    Kenapa Rusia Tak Bersikap saat Voting DK PBB Atas Resolusi Damai Gaza?

    Jakarta

    Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui resolusi terkait perdamaian di Gaza yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Rusia dan China memilih untuk tidak bersikap atau abstain.

    Dilansir AFP, Selasa (18/11/2025), resolusi itu berhasil disetujui dengan 13 suara dukungan, dari total 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, dalam voting pada Senin (17/11) waktu setempat. Tidak ada veto, namun dua suara abstain diberikan oleh China dan Rusia.

    Resolusi itu, yang direvisi beberapa kali sebagai hasil negosiasi berisiko tinggi, “mendukung” rencana perdamaian usulan Trump, yang mewujudkan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza sejak 10 Oktober lalu.

    Alasan Rusia Pilih Abstain

    Rusia, yang memiliki hak veto dan memilih abstain, sempat mengedarkan draf resolusi untuk menyaingi resolusi rancangan AS tersebut. Moskow beralasan bahwa resolusi yang dirancang oleh Washington tidak cukup mendukung pembentukan negara Palestina.

    Draf resolusi yang disusun Rusia, yang telah dilihat oleh AFP, meminta Dewan Keamanan PBB untuk menyatakan “komitmen teguh terhadap visi solusi dua negara”.

    Resolusi usulan Moskow itu tidak mengatur soal pembentukan Dewan Perdamaian atau pengerahan pasukan internasional untuk saat ini, melainkan meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menawarkan “sejumlah opsi” terkait isu-isu tersebut.

    “Para anggota Dewan Keamanan, dalam praktiknya, tidak diberi waktu untuk melakukan pekerjaan dengan itikad baik,” kata Duta Besar Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya, dalam pernyataannya

    “Dokumen AS itu seperti babi dalam kantong. Intinya, Dewan memberikan restunya kepada inisiatif AS berdasarkan janji-janji Washington, dengan memberikan kendali penuh atas Jalur Gaza kepada Dewan Perdamaian,” ucap Nebenzya mengkritik resolusi rancangan AS.

    Istilah “babi dalam kantong” merujuk pada idiom yang berarti menerima sesuatu tanpa mengetahui sifat asli atau tanpa memeriksanya terlebih dahulu.

    Resolusi Dewan Keamanan PBB itu mendukung rencana perdamaian Gaza yang mengatur pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang akan bekerja sama dengan Israel dan Mesir, serta polisi Palestina yang baru dilatih, untuk mengamankan wilayah perbatasan dan demiliterisasi Jalur Gaza.

    Resolusi itu juga mendukung pembentukan Dewan Perdamaian, badan pemerintahan transisi untuk Gaza — yang secara teoretis akan diketuai Trump — dengan mandat yang berlaku hingga akhir tahun 2027.

    Resolusi rancangan AS itu menyebutkan kemungkinan negara Palestina di masa depan, namun dengan bahasa yang berbelit-belit.

    Disebutkan dalam resolusi itu bahwa setelah Otoritas Palestina melaksanakan reformasi yang diminta dan pembangunan kembali Gaza berlangsung, “kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan status negara Palestina”.

    Resolusi PBB soal Gaza

    Dilansir Middle East Eye, resolusi tersebut, yang kini dijuluki DK PBB 2803, menyatakan bahwa “kondisi saat ini memungkinkan menentukan jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina” jika Otoritas Palestina (PA) menjalani reformasi, dan pembangunan kembali Gaza “telah maju”.

    Washington awalnya tidak memasukkan referensi tentang penentuan nasib sendiri Palestina, tetapi membuat perubahan tersebut untuk menenangkan negara-negara Muslim dan Arab, yang diharapkan akan menyediakan pasukan untuk “Pasukan Stabilisasi Internasional” di wilayah kantong tersebut.

    Secara resmi, baik Israel maupun AS telah mempertahankan kebijakan di atas kertas sejak awal 1990-an yang mengupayakan solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Namun, koalisi sayap kanan Netanyahu, serta pemerintahan sayap kanan Trump, secara efektif telah sepenuhnya menepis gagasan tersebut.

    Untuk diketahui, resolusi AS ini terdiri dari rencana 20 poin Trump untuk wilayah Gaza. Dalam resolusi itu, tertulis aturan pasukan keamanan akan melapor kepada “dewan perdamaian” mengenai kondisi Gaza. Dewan Perdamaian itu diketuai oleh Trump.

    AS juga telah mendirikan pusat koordinasi militer di Israel untuk mengawasi gencatan senjata, meskipun, kata Hamas, Israel telah melanggar gencatan senjata tersebut lebih dari 250 kali.

    Hamas Tolak Resolusi untuk Gaza

    Hamas mengatakan mereka menolak resolusi PBB. Resolusi PBB itu menyerukan pengerahan pasukan internasional di Gaza. Apa alasannya?

    Hamas menilai resolusi itu gagal menghormati “tuntutan dan hak” rakyat Palestina. Dia mengatakan resolusi itu sama sekali tidak memenuhi tuntutan dan hak rakyat Palestina.

    “Resolusi ini tidak memenuhi tuntutan dan hak politik serta kemanusiaan rakyat Palestina kami,” kata kelompok militan tersebut.

    Pernyataan tersebut juga mengecam pembentukan pasukan internasional yang “misinya mencakup pelucutan senjata” kelompok-kelompok Palestina di Gaza.

    “Resolusi tersebut memaksakan perwalian internasional di Jalur Gaza, yang ditolak oleh rakyat kami, pasukannya, dan kelompok-kelompok konstituennya,” lanjut pernyataan tersebut.

    Palestina Sambut Resolusi PBB

    Otoritas Palestina menyambut baik resolusi DK PBB yang mendukung rencana perdamaian Gaza yang diusulkan Donald Trump untuk mengakhiri perang.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Palestina, Varsen Aghabekian Shahin, seperti dilansir Reuters, Selasa (18/11), menyebut resolusi yang didukung mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB itu menjadi langkah awal yang penting dalam perjalanan panjang menuju perdamaian.

    “Resolusi PBB itu merupakan langkah awal dalam perjalanan panjang menuju perdamaian,” sebut Shahin saat berbicara kepada wartawan di sela-sela kunjungan ke Manila.

    “Langkah itu diperlukan karena kita tidak dapat memulai apa pun sebelum kita mencapai gencatan senjata,” ujarnya.

    Shahin mengatakan bahwa masih ada isu-isu lainnya yang perlu dibahas, termasuk penentuan nasib sendiri oleh rakyat Palestina dan kemungkinan kemerdekaan Palestina. Dia juga menyebut proses implementasi rencana perdamaian Trump harus diatur oleh hukum internasional.

    Lebih lanjut dikatakan oleh Shahin bahwa meskipun rencana Trump mengisyaratkan kemungkinan pembentukan negara Palestina, yang hanya terjadi setelah Otoritas Palestina melakukan reformasi, isu tersebut dapat dibahas kemudian.

    “Selama elemen-elemen ini ada, kami senang dengan langkah pertama ini,” katanya.

    Otoritas Palestina, yang berbasis di Ramallah, menyambut baik resolusi Dewan Keamanan PBB itu dan menyatakan kesiapan untuk berpartisipasi dalam rencana perdamaian Trump, yang tidak menguraikan peran yang jelas bagi Otoritas Palestina dan hanya merujuk secara samar-samar mengenai status negara Palestina.

    Lihat juga Video: Para Menlu OKI ke Rusia Bahas Gencatan Senjata Hamas-Israel

    Halaman 2 dari 3

    (lir/lir)

  • Palestina Sambut Resolusi PBB Soal Gaza: Langkah Awal Perdamaian

    Palestina Sambut Resolusi PBB Soal Gaza: Langkah Awal Perdamaian

    Ramallah

    Otoritas Palestina menyambut baik resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendukung rencana perdamaian Gaza yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakhiri perang.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Palestina, Varsen Aghabekian Shahin, seperti dilansir Reuters, Selasa (18/11/2025), menyebut resolusi yang didukung mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB itu menjadi langkah awal yang penting dalam perjalanan panjang menuju perdamaian.

    Dewan Keamanan PBB, pada Senin (17/11) waktu setempat, mengadopsi resolusi rancangan AS itu, yang mengatur pengerahan pasukan keamanan multinasional ke Jalur Gaza dan memberlakukan mekanisme perlindungan internasional untuk wilayah yang porak-poranda akibat perang selama dua tahun terakhir.

    “Resolusi PBB itu merupakan langkah awal dalam perjalanan panjang menuju perdamaian,” sebut Shahin saat berbicara kepada wartawan di sela-sela kunjungan ke Manila.

    “Langkah itu diperlukan karena kita tidak dapat memulai apa pun sebelum kita mencapai gencatan senjata,” ujarnya.

    Shahin mengatakan bahwa masih ada isu-isu lainnya yang perlu dibahas, termasuk penentuan nasib sendiri oleh rakyat Palestina dan kemungkinan kemerdekaan Palestina. Dia juga menyebut proses implementasi rencana perdamaian Trump harus diatur oleh hukum internasional.

    Lebih lanjut dikatakan oleh Shahin bahwa meskipun rencana Trump mengisyaratkan kemungkinan pembentukan negara Palestina, yang hanya terjadi setelah Otoritas Palestina melakukan reformasi, isu tersebut dapat dibahas kemudian.

    “Selama elemen-elemen ini ada, kami senang dengan langkah pertama ini,” katanya.

    Otoritas Palestina, yang berbasis di Ramallah, menyambut baik resolusi Dewan Keamanan PBB itu dan menyatakan kesiapan untuk berpartisipasi dalam rencana perdamaian Trump, yang tidak menguraikan peran yang jelas bagi Otoritas Palestina dan hanya merujuk secara samar-samar mengenai status negara Palestina.

    Negara-negara Eropa dan Arab menyatakan bahwa Jalur Gaza harus diperintah oleh Otoritas Palestina, dan harus ada jalur yang jelas menuju kemerdekaan Palestina.

    Pemerintah Israel, yang menentang gagasan negara Palestina merdeka, menolak keterlibatan apa pun dari Otoritas Palestina.

    Lihat Video: Tok! PBB Setujui Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Penerbangan Misterius ke Afsel, Warga Gaza Ngaku Bayar Rp 33 Juta

    Penerbangan Misterius ke Afsel, Warga Gaza Ngaku Bayar Rp 33 Juta

    Johannesburg

    Warga Gaza, yang tiba secara misterius di Afrika Selatan (Afsel) pekan lalu, mengatakan bahwa mereka telah membayar sebesar US$ 2.000 (Rp 33,5 juta) per kursi untuk bisa terbang ke negara tersebut, meninggalkan daerah kantong Palestina yang dilanda perang.

    Penerbangan itu diatur oleh sebuah organisasi yang menawarkan jalan keluar dari Jalur Gaza yang hancur akibat perang antara Israel dan Hamas.

    Pada Kamis (13/11) pekan lalu, pesawat carteran yang mengangkut 153 warga Gaza mendarat di Johannesburg. Warga Gaza itu sempat tertahan 12 jam di dalam pesawat, karena tidak memiliki kelengkapan dokumen resmi untuk masuk ke wilayah Afsel, sebelum diperbolehkan turun.

    Otoritas Afsel, seperti dilansir Reuters, Selasa (18/11/2025), menduga penerbangan semacam itu merupakan bagian dari upaya untuk mengusir warga Palestina dari Jalur Gaza.

    Dua warga Palestina di antaranya yang diwawancarai Reuters mengatakan bahwa mereka melihat iklan online dari sebuah organisasi bernama Al-Majd Europe yang menawarkan kesempatan untuk meninggalkan Jalur Gaza. Mereka mengakui mendaftar sekitar enam bulan lalu.

    Penawaran itu hanya terbuka untuk keluarga dan mengharuskan para pemohon memiliki paspor.

    Saat mencoba menghubungi organisasi itu, Reuters tidak mendapatkan respons. Namun menurut penuturan dua warga Palestina itu, mereka menerima pesan dari Al-Majd Europe melalui WhatsApp yang memberitahu mereka bahwa izin keamanan telah diterbitkan.

    Mereka, bersama warga Palestina lainnya, meninggalkan Jalur Gaza dengan bus dengan melewati perlintasan perbatasan Kerem Shalom yang dikontrol Israel, sebelum diterbangkan keluar dari Bandara Ramon. Mereka tiba di Afsel pada 13 November lalu.

    Dari 153 warga Gaza yang mendarat di Afsel, sebanyak 130 orang di antaranya diproses untuk masuk ke negara itu dengan visa 90 hari. Sedangkan 23 orang lainnya melanjutkan penerbangan ke tujuan akhir mereka.

    Afrika Selatan Selidiki Kedatangan Misterius Warga Gaza

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Afsel, Ronald Lamola, mengatakan bahwa pemerintahannya sedang menyelidiki apa yang disebutnya sebagai keadaan yang mencurigakan dari kedatangan pesawat yang membawa banyak warga Gaza tersebut.

    “Tampaknya ini merupakan agenda yang lebih luas untuk mengusir warga Palestina dari wilayah Palestina,” sebut Lamola dalam sebuah jumpa pers.

    COGAT, badan militer Israel yang mengawasi urusan sipil di Gaza, mengatakan bahwa warga Gaza itu pergi setelah menerima persetujuan dari negara ketiga, yang tidak disebut namanya, untuk menerima mereka, dan mereka memiliki visa yang sah.

    Diklaim oleh COGAT bahwa persyaratan keberangkatan mereka mencakup “dokumen yang mengonfirmasi otorisasi untuk mendarat di Afrika Selatan”.

    Namun, Lamola mengatakan sebaliknya. “Pada tahap ini, informasi yang kami miliki adalah bahwa mereka tidak memiliki persetujuan dan izin yang diperlukan,” tegasnya.

    Lihat juga Video: Sudah 266 Warga Palestina Tewas Sejak Penerapan Gencatan Senjata

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Menteri Israel Desak Netanyahu Tangkap Abbas Jika PBB Dukung Palestina

    Menteri Israel Desak Netanyahu Tangkap Abbas Jika PBB Dukung Palestina

    Tel Aviv

    Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang dikenal kontroversial, mendesak Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menangkap Presiden Palestina Mahmoud Abbas, jika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung pembentukan negara Palestina.

    Desakan Ben-Gvir ini, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Selasa (18/11/2025), disampaikan pada hari yang sama ketika mayoritas negara anggota Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi yang diajukan Amerika Serikat (AS) untuk mendukung rencana perdamaian Gaza usulan Presiden Donald Trump.

    Tidak seperti draf resolusi sebelumnya, versi terbaru dari resolusi usulan Washington, yang didukung Dewan Keamanan PBB dalam voting pada Senin (17/11) waktu setempat itu, menyebutkan kemungkinan negara Palestina di masa depan.

    Ben-Gvir, dalam pernyataannya, tidak hanya mendesak Netanyahu menangkap Abbas, tetapi juga secara terang-terangan menyerukan pembunuhan para pejabat senior Otoritas Palestina.

    “Jika mereka mempercepat pengakuan negara yang direkayasa ini, jika PBB mengakuinya, maka Anda, Bapak Perdana Menteri, harus memerintahkan pembunuhan yang ditargetkan terhadap sejumlah pejabat senior Otoritas Palestina, yang merupakan teroris dalam segala hal, dan Anda… harus memerintahkan penangkapan Abu Mazen (Abbas-red),” kata Ben Gvir dalam konferensi pers di parlemen Israel, Knesset.

    Otoritas Palestina mengecam keras seruan Ben-Gvir tersebut.

    “Negara Palestina menegaskan bahwa penghasutan sistematis semacam itu menunjukkan mentalitas politik yang menolak perdamaian dan mengancam keamanan regional dan internasional,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina, yang berbasis di Ramallah, Tepi Barat.

    Kementerian Luar Negeri Palestina mendesak negara-negara untuk mengambil “langkah-langkah konkret dan mendesak untuk menghentikan eskalasi ini, mengaktifkan mekanisme akuntabilitas, dan menolak penggunaan bahasa dan penghasutan teroris sebagai alat pemerintahan”.

    Resolusi yang disetujui Dewan Keamanan PBB itu memberikan restu untuk pembentukan pemerintahan transisi dan pengerahan pasukan keamanan internasional ke Jalur Gaza, yang menandai dimulainya tahap kedua dari kesepakatan yang dimediasi AS yang dicapai bulan lalu, yang menghentikan perang selama dua tahun.

    Resolusi rancangan AS itu juga menyebutkan kemungkinan negara Palestina di masa depan, meskipun dengan bahasa yang berbelit-belit.

    Disebutkan dalam resolusi itu bahwa setelah Otoritas Palestina melaksanakan reformasi yang diminta dan pembangunan kembali Gaza sedang berlangsung, “kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan status negara Palestina”.

    Para pemimpin Israel telah sepakat menolak segala kemungkinan berdirinya negara Palestina.

    “Penolakan kami terhadap negara Palestina di wilayah mana pun tidak berubah,” tegas Netanyahu dalam rapat kabinet Israel pada Minggu (16/11).

    Tonton juga video “Tok! PBB Setujui Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Alasan Rusia Abstain di Voting DK PBB Atas Resolusi Damai Gaza

    Alasan Rusia Abstain di Voting DK PBB Atas Resolusi Damai Gaza

    New York

    Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui resolusi rancangan Amerika Serikat (AS) yang memperkuat rencana perdamaian Gaza usulan Presiden Donald Trump. Mayoritas negara anggota Dewan Keamanan PBB mendukung kecuali dua negara yang memilih abstain yakni China dan Rusia.

    Resolusi itu, seperti dilansir AFP, Selasa (18/11/2025), berhasil disetujui dengan 13 suara dukungan, dari total 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, dalam voting pada Senin (17/11) waktu setempat. Tidak ada veto, namun dua suara abstain diberikan oleh China dan Rusia.

    Resolusi itu, yang direvisi beberapa kali sebagai hasil negosiasi berisiko tinggi, “mendukung” rencana perdamaian usulan Trump, yang mewujudkan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza sejak 10 Oktober lalu.

    Rusia, yang memiliki hak veto dan memilih abstain, sempat mengedarkan draf resolusi untuk menyaingi resolusi rancangan AS tersebut. Moskow beralasan bahwa resolusi yang dirancang oleh Washington tidak cukup mendukung pembentukan negara Palestina.

    Draf resolusi yang disusun Rusia, yang telah dilihat oleh AFP, meminta Dewan Keamanan PBB untuk menyatakan “komitmen teguh terhadap visi solusi dua negara”.

    Resolusi usulan Moskow itu tidak mengatur soal pembentukan Dewan Perdamaian atau pengerahan pasukan internasional untuk saat ini, melainkan meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menawarkan “sejumlah opsi” terkait isu-isu tersebut.

    “Para anggota Dewan Keamanan, dalam praktiknya, tidak diberi waktu untuk melakukan pekerjaan dengan itikad baik,” kata Duta Besar Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya, dalam pernyataannya

    “Dokumen AS itu seperti babi dalam kantong. Intinya, Dewan memberikan restunya kepada inisiatif AS berdasarkan janji-janji Washington, dengan memberikan kendali penuh atas Jalur Gaza kepada Dewan Perdamaian,” ucap Nebenzya mengkritik resolusi rancangan AS.

    Istilah “babi dalam kantong” merujuk pada idiom yang berarti menerima sesuatu tanpa mengetahui sifat asli atau tanpa memeriksanya terlebih dahulu.

    Resolusi Dewan Keamanan PBB itu mendukung rencana perdamaian Gaza yang mengatur pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang akan bekerja sama dengan Israel dan Mesir, serta polisi Palestina yang baru dilatih, untuk mengamankan wilayah perbatasan dan demiliterisasi Jalur Gaza.

    Resolusi itu juga mendukung pembentukan Dewan Perdamaian, badan pemerintahan transisi untuk Gaza — yang secara teoretis akan diketuai Trump — dengan mandat yang berlaku hingga akhir tahun 2027.

    Resolusi rancangan AS itu menyebutkan kemungkinan negara Palestina di masa depan, namun dengan bahasa yang berbelit-belit.

    Disebutkan dalam resolusi itu bahwa setelah Otoritas Palestina melaksanakan reformasi yang diminta dan pembangunan kembali Gaza berlangsung, “kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan status negara Palestina”.

    Tonton juga video “Tok! PBB Setujui Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Netanyahu Kecam Pemukim Ekstremis Israel di Tepi Barat

    Netanyahu Kecam Pemukim Ekstremis Israel di Tepi Barat

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengecam para pemukim Yahudi yang terlibat rentetan bentrokan dan serangan di Tepi Barat beberapa waktu terakhir. Netanyahu berjanji akan menangani apa yang disebutnya sebagai “segelintir ekstremis” di antara para pemukim Israel yang ada di Tepi Barat.

    Dalam serangan terbaru pada Senin (17/11) malam, sejumlah rumah dan kendaraan yang ada di sebuah desa Palestina di Tepi Barat dibakar dan dirusak, beberapa jam setelah sejumlah anggota gerakan yang disebut Hilltop Youth terlibat bentrok dengan pasukan keamanan yang membongkar pos pemukim ilegal.

    Tindak kekerasan di Tepi Barat telah melonjak sejak perang antara Israel dan Hamas berkecamuk di Jalur Gaza pada Oktober 2023 lalu.

    Dalam beberapa pekan terakhir, serangan-serangan yang dikaitkan dengan para pemukim Yahudi telah meningkat di Tepi Barat, yang menargetkan warga Palestina dan terkadang tentara Israel.

    “Saya memandang dengan sangat serius kerusuhan yang disertai kekerasan dan upaya segelintir ekstremis untuk main hakim sendiri,” kata Netanyahu dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Selasa (18/11/2025).

    Dia menyebut para pelaku kekerasan di Tepi Barat sebagai “kelompok yang tidak mewakili” para pemukim Israel lainnya yang ada di wilayah tersebut

    “Saya menyerukan kepada aparat penegak hukum untuk menindak para perusuh semaksimal mungkin sesuai hukum,” tegas Netanyahu.

    “Saya bermaksud untuk menangani ini secara pribadi, dan segera memanggil para menteri terkait untuk mengatasi fenomena serius ini,” ujarnya.

    Netanyahu juga mengatakan bahwa militer dan pasukan keamanan Israel akan terus mengambil tindakan tegas untuk menjaga ketertiban.

    Pasukan keamanan Israel dikerahkan dalam jumlah ratusan personel pada Senin (17/11) pagi untuk mengevakuasi dan menghancurkan permukiman Tzur Misgavi yang ilegal di area Gush Etzion, dekat kota Sair, Palestina.

    Mereka menembakkan gas air mata dan granat kejut saat bentrokan terjadi dengan para aktivis pemukim ekstremis Yahudi, yang berniat mengusir para penduduk Palestina dan membangun permukiman di Tepi Barat tanpa persetujuan pemerintah.

    Personel militer Israel bersama personel kepolisian dikerahkan ke desa Palestina terdekat, Jab’a, menyusul laporan tentang “puluhan warga sipil Israel yang membakar dan merusak rumah serta kendaraan”.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa bulan Oktober merupakan bulan terburuk bagi kekerasan pemukim Israel di Tepi Barat, sejak pencatatan insiden semacam itu dimulai tahun 2006 lalu. Laporan PBB mencatat 264 serangan yang menyebabkan korban jiwa atau kerusakan properti.

    Namun hampir tidak ada pelaku kekerasan yang dimintai pertanggungjawaban oleh otoritas Israel.

    Tonton juga video “Netanyahu Tolak Negara Palestina: Saya Menolak Upaya Ini!”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Jerman Cabut Larangan Parsial Penjualan Senjata ke Israel

    Jerman Cabut Larangan Parsial Penjualan Senjata ke Israel

    Jakarta

    Pemerintah Jerman mengumumkan pada Senin (17/11) bahwa mereka akan mengakhiri penangguhan parsial pengiriman senjata ke Israel untuk digunakan di Gaza.

    “Pemerintah menyambut gencatan senjata di Gaza yang mulai berlaku pada 10 Oktober dan yang telah stabil dalam beberapa minggu terakhir,” kata juru bicara Stefan Kornelius.

    “Pemerintah kembali meninjau ekspor senjata berdasarkan kasus per kasus dan akan merespons perkembangan lebih lanjut,” tambah Kornelius.

    Kanselir Friedrich Merz mengumumkan penangguhan parsial pengiriman senjata pada Agustus mengingat tingginya jumlah warga sipil yang tewas akibat serangan Israel.

    Gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah sering dilanggar, dengan ratusan warga Palestina tewas akibat serangan Israel sejak 10 Oktober.

    Penangguhan ekspor senjata ke Israel, yang sempat dikritik karena tidak mencakup semua pengiriman senjata, akan dicabut pada 24 November.

    Mengapa Jerman menangguhkan penjualan senjata ke Israel?

    Penangguhan awal menandai perubahan besar dalam sikap Jerman terhadap Israel, di mana Berlin secara tradisional merupakan salah satu sekutu terdekat dan paling mendukung Israel.

    Di tengah kecaman yang semakin meningkat terhadap pendekatan agresif Israel di Jalur Gaza dan hanya beberapa hari sebelum rencana ofensif darat baru, Jerman mengubah kebijakan dan mengatakan akan menghentikan pengiriman senjata untuk digunakan di Gaza.

    Tidak semua pengiriman dihentikan, dan bulan berikutnya, peralatan militer senilai setidaknya €2,46 juta (sekitar Rp 47,77 miliar) mendapat persetujuan pemerintah. Namun, jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan €250 juta (sekitar Rp 4,855 triliun) yang disetujui untuk ekspor antara 1 Januari hingga 8 Agustus 2025.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rahka Susanto
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Sudah 266 Warga Palestina Tewas Sejak Penerapan Gencatan Senjata”

    (ita/ita)

  • Tak Penuhi Hak Warga Palestina

    Tak Penuhi Hak Warga Palestina

    Jakarta

    Hamas mengatakan mereka menolak resolusi PBB yang dikeluarkan beberapa hari lalu. Resolusi PBB itu menyerukan pengerahan pasukan internasional di Gaza. Apa alasannya?

    Dilansir AFP, Selasa (18/11/2025), Hamas menilai resolusi itu gagal menghormati “tuntutan dan hak” rakyat Palestina. Dia mengatakan resolusi itu sama sekali tidak memenuhi tuntutan dan hak rakyat Palestina.

    “Resolusi ini tidak memenuhi tuntutan dan hak politik serta kemanusiaan rakyat Palestina kami,” kata kelompok militan tersebut.

    Pernyataan tersebut juga mengecam pembentukan pasukan internasional yang “misinya mencakup pelucutan senjata” kelompok-kelompok Palestina di Gaza.

    “Resolusi tersebut memaksakan perwalian internasional di Jalur Gaza, yang ditolak oleh rakyat kami, pasukannya, dan kelompok-kelompok konstituennya,” lanjut pernyataan tersebut.

    Terdapat 13 suara yang mendukung teks tersebut, yang digembar-gemborkan Washington setelah pemungutan suara sebagai “bersejarah dan konstruktif,” sementara hanya Rusia dan Tiongkok yang abstain — tanpa veto.

    Resolusi PBB itu berupaya menghidupkan kembali solusi dua negara tanpa melibatkan Hamas.

    Lihat Video ‘Netanyahu Tolak Negara Palestina: Saya Menolak Upaya Ini!’:

    (zap/yld)

  • DK PBB Setujui Rencana Trump soal Pengerahan Pasukan Stabilisasi di Gaza

    DK PBB Setujui Rencana Trump soal Pengerahan Pasukan Stabilisasi di Gaza

    Jakarta

    Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi Amerika Serikat (AS) yang memperkuat rencana Presiden AS Donald Trump terkait pengerahan pasukan internasional di jalur Gaza. Namun, masih ada beberapa negara yang menolak rencana tersebut.

    Dilansir AFP, Selasa (18/11/2025), terdapat 13 suara yang mendukung teks tersebut, yang digembar-gemborkan AS setelah pemungutan suara sebagai “bersejarah dan konstruktif,” sementara Rusia dan Tiongkok abstain dan tidak ada veto.

    Sementara itu, dilansir Middle East Eye, resolusi tersebut, yang kini dijuluki DK PBB 2803, menyatakan bahwa “kondisi saat ini memungkinkan menentukan jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina” jika Otoritas Palestina (PA) menjalani reformasi, dan pembangunan kembali Gaza “telah maju”.

    Washington awalnya tidak memasukkan referensi tentang penentuan nasib sendiri Palestina, tetapi membuat perubahan tersebut untuk menenangkan negara-negara Muslim dan Arab, yang diharapkan akan menyediakan pasukan untuk “Pasukan Stabilisasi Internasional” di wilayah kantong tersebut.

    Secara resmi, baik Israel maupun AS telah mempertahankan kebijakan di atas kertas sejak awal 1990-an yang mengupayakan solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Namun, koalisi sayap kanan Netanyahu, serta pemerintahan sayap kanan Trump, secara efektif telah sepenuhnya menepis gagasan tersebut.

    AS juga telah mendirikan pusat koordinasi militer di Israel untuk mengawasi gencatan senjata, meskipun, kata Hamas, Israel telah melanggar gencatan senjata tersebut lebih dari 250 kali.

    Lihat juga Video ‘Pasokan yang Masih Diblokir Masuk Gaza: Jarum Suntik-Alat Sekolah’:

    (zap/yld)