Negara: Jalur Gaza

  • Respons Puan Terkait Isu Amerika Serikat yang Ingin Relokasi Warga Gaza ke Indonesia – Page 3

    Respons Puan Terkait Isu Amerika Serikat yang Ingin Relokasi Warga Gaza ke Indonesia – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi dan mengevakuasi warga Gaza, Palestina ke beberapa negara, termasuk Indonesia, tengah mendapatkan sejumlah perhatian dari publik. Terkait isu tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani, turut memberikan tanggapannya.

    “Mungkin kita akan bahas di Komisi I, dan bagaimana sikap Pemerintah, (serta) DPR,” kata Puan di Gedung DPR, Selasa (21/1).

    Isu relokasi 2 juta warga sipil Palestina dari Jalur Gaza ke Indonesia pertama kali muncul dalam laporan NBC News. Media Amerika tersebut menyebutkan bahwa Presiden Trump, melalui utusannya untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengabarkan wacana tersebut.

    Namun, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI telah membantah kabar tersebut. Kemenlu menyatakan tidak ada pembicaraan resmi terkait relokasi 2 juta warga Gaza ke Indonesia setelah kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Kemenlu juga mengimbau Pemerintah dan masyarakat tidak berspekulasi tanpa informasi yang valid.

    Meski adanya isu tersebut, Puan menegaskan bahwa sikap Indonesia terkait Palestina tetap konsisten.

    “Sikap dari Indonesia tetap mendukung Pemerintahan Palestina,” tegasnya.

  • Iran Ejek Trump, Usul Kirim Warga Israel ke Greenland

    Iran Ejek Trump, Usul Kirim Warga Israel ke Greenland

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, baru-baru ini menyampaikan kritik pedas terhadap rencana relokasi warga Palestina dari Jalur Gaza yang diusulkan oleh Donald Trump.

    Araghchi juga menyoroti tantangan yang akan dihadapi dalam negosiasi nuklir antara Iran dan AS di masa depan.

    Menanggapi rencana relokasi warga Palestina, Araghchi dengan sarkastis menyarankan agar warga Israel yang direlokasi ke Greenland.

    Komentar ini merupakan bentuk protes terhadap usulan yang dianggap tidak manusiawi dan tidak adil bagi rakyat Palestina.

    “Saran saya berbeda. Alih-alih orang Palestina, usir saja orang Israel dan kirim mereka ke Greenland sehingga mereka bisa membunuh dua burung dengan satu batu,” kata Araghchi dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Iran International.

    Komentar ini muncul setelah adanya laporan bahwa Donald Trump telah berdiskusi dengan Raja Yordania Abdullah II tentang pembangunan perumahan untuk memindahkan lebih dari 1 juta warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga.

    Usulan ini pun telah ditolak mentah-mentah oleh Otoritas Palestina (PA) yang berpusat di Ramallah.

    Tantangan Negosiasi Nuklir

    Mengenai kemungkinan negosiasi ulang terkait program nuklir Iran, Araghchi menyatakan bahwa meskipun Teheran bersedia mendengarkan AS, mencapai kesepakatan baru akan jauh lebih menantang daripada tahun 2015, ketika kesepakatan nuklir awal berhasil dicapai.

    “Situasinya berbeda dan jauh lebih sulit daripada sebelumnya. Banyak hal yang harus dilakukan oleh pihak lain untuk mendapatkan kepercayaan kami… Kami belum mendengar apa pun kecuali kata ‘baik’, dan ini jelas tidak cukup,” katanya.

    Pernyataan ini menyiratkan bahwa Iran tidak akan terburu-buru untuk kembali ke meja perundingan tanpa adanya jaminan yang jelas dan langkah-langkah konkrit dari pihak AS untuk membangun kembali kepercayaan.

    Sikap Tegas Iran

    Araghchi juga menegaskan bahwa setiap serangan terhadap fasilitas nuklir Iran akan mendapatkan respons langsung.

    Ia menyebut tindakan semacam itu sebagai tindakan “gila” yang tidak akan membawa keuntungan bagi siapa pun.

    Sikap tegas Iran ini menunjukkan bahwa negara tersebut tidak akan ragu untuk mempertahankan kedaulatannya dan kepentingan nasionalnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Benarkah AS Habiskan Rp812 Miliar untuk Sediakan Kond*m di Gaza?

    Benarkah AS Habiskan Rp812 Miliar untuk Sediakan Kond*m di Gaza?

    GELORA.CO  – Pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah disorot karena Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengklaim AS mengirimkan dana $50 juta atau Rp812 miliar demi penyediaan kondom di Jalur Gaza.

    Klaim itu disampaikan Leavitt saat konferensi, Selasa (28/1/2025). Awalnya, dia menyebut AS memangkas hampir semua bantuan untuk negara lain, kecuali Israel dan Mesir.

    Menurut Leavitt, Kementerian Efisiensi Pemerintahan (DOGE) yang dikepalai oleh Elon Musk menemukan data tentang alat kontrasepsi.

    “Bahwa ada sekitar $50 juta uang pajak yang dikeluarkan untuk mendanai kondom di Gaza,” katanya.

    “Tidak masuk akal, ini membuang-buang uang para pembayar pajak,” kata dia.

    Pernyataan Leavitt itu dibantah oleh Matthew Miller, mantan juru bicara Kementerian Luar negeri, melalui media sosial X.

    “Gedung Putih tak bisa membaca tabel sederhana tentang pengeluaran atau Gedung Putih sedang berbohong,” ujar Miller.

    Media AS meragukannya

    Media-media AS meragukan kebenaran klaim Leavitt tentang dana penyediaan kondom di Gaza.

    Kantor berita Associated Press menyebut tidak ada bukti nyata yang mendukung pernyataan itu.

    “Klaim: Pemerintah Trump menghentikan penyaluran dana $50 juta ke Gaza guna membeli kondom untuk Hamas,” kata media itu.

    “Faktanya: Sepertinya Trump dan juru bicaranya merujuk kepada dana hibah sebesar $102,2 yang diberikan USAID kepada kelompok yang disebut Korps Kesehatan Internasional untuk menyediakan layanan kesehatan dan penanganan trauma di Gaza.”

    Sementara itu, Kemenlu AS pada Rabu, menyebut penyaluran dana hibah itu merupakan contoh “pendanaan yang mengerikan” dan tidak sesuai kepentingan AS.

    Adapun sehari sebelumnya juru bicara Kemenlu AS, Tammy Bruce, mengatakan pihaknya telah mencegah keluarnya “dana $102 juta untuk pendanaan yang tidak dibenarkan kepada seorang kontraktor di Gaza, termasuk uang untuk kontrasepsi.”

    Menurut media itu, sebagian besar dana tersebut digunakan untuk mendanai rumah sakit darurat, pusat penanganan trauma, dan tenaga kesehatan untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza.

    “Ini termasuk air, sanitasi, layanan kebersihan, layanan sebelum bersalin dan setelah bersalin.”

    “Jika kondom termasuk bagian dari komponen kesehatan, kondom itu akan mencapai hampir setengah dari dana hibah itu.”

    Bantahan juga disampaikan oleh Presiden Pengungsi Internasional, Jeremy Konyndyk, yang mengawasi bantuan USAID untuk penanganan Covid-19 pada masa pemerintahan Presiden AS Joe Biden.  

    “USAID mendapatkan kondom dengan harga sekitar $0,05 per buah,” kata Konydyk.

    “$50 juta akan menjadi satu miliar kondom. Apa yang tengah terjadi di sini BUKANLAH satu miliar kondom untuk Gaza. Tampaknya yang terjadi di sini adalah orang-orang di DOGE tidak bisa membaca dokumen pemerintah.”

    Menurut laporan keuangan USAID tahun 2023 tentang pengiriman kondom dan alat kontrasepsi lainnya, Yordania menjadi satu-satunya negara Timur Tengah yang mendapatkan kiriman kontrasepsi oral dan suntik bernilai $45.680 untuk program pemerintah saja.

    Pengiriman itu juga merupakan yang pertama kali dilakukan USAID ke Timur Tengah sejak 2019.

    Dengan menyatakan lima alasannya, CNN turut meragukan klaim Gedung Putih tentang kondom.

    Pertama, Gedung Putih tidak memberikan bukti pendukung.

    Kedua, selama tiga tahun sebelumnya di bawah Biden, USAID tidak mengeluarkan dana untuk penyediaan kondom di seluruh Timur Tengah.

    Ketiga, total kondom yang disalurkan USAID ke seluruh dunia jauh di bawah angka $50 juta.

    Keempat, Kemenlu AS tidak mengulang-ulang klaim Leavitt.

    Kelima, para pakar sudah meragukan atau membantah klaim Leavitt

  • Trump Akan Deportasi WNA Pro-Palestina dan Pro-Hamas yang Kritik Serangan Israel di Gaza – Halaman all

    Trump Akan Deportasi WNA Pro-Palestina dan Pro-Hamas yang Kritik Serangan Israel di Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump akan menandatangani perintah eksekutif yang dapat membatalkan visa pelajar bagi mahasiswa asing dan warga negara asing di AS yang bersimpati kepada Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) atau mengikuti demonstrasi pro-Palestina.

    Kabar ini muncul di tengah meluasnya demonstrasi pro-Palestina yang mengkritik dukungan penuh, baik militer mau pun finansial, dari pemerintah AS kepada sekutunya, Israel.

    “Kepada semua penduduk asing yang bergabung dalam protes pro-jihadis, kami memberi tahu Anda: mulai tahun 2025, kami akan menemukan Anda, dan kami akan mendeportasi Anda,” kata Donald Trump dalam lembar fakta pada perintah tersebut.

    Keputusan tersebut mencakup deportasi mahasiswa asing dan penduduk asing lainnya yang berpartisipasi dalam protes pro-Palestina selama agresi brutal Israel di Jalur Gaza.

    “Saya juga akan segera membatalkan visa pelajar semua simpatisan Hamas di kampus-kampus, yang telah dipenuhi dengan radikalisme yang belum pernah terjadi sebelumnya,” lanjutnya.

    Donald Trump mengklaim perintah tersebut untuk memerangi “anti-Semitisme” yang bertujuan melindungi Yahudi Amerika.

    “Presiden AS akan mengarahkan perintah kepada Kementerian Kehakiman untuk menindak tegas ancaman teroris, pembakaran, vandalisme, dan kekerasan terhadap orang Yahudi Amerika,” menurut laporan Reuters, Rabu (29/1/2025) mengutip lembar fakta yang tercantum dalam perintah tersebut.

    Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan Donald Trump mungkin akan menandatangani perintah tersebut pada Rabu malam.

    Dewan Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok advokasi muslim besar, akan mempertimbangkan untuk menantang perintah tersebut di pengadilan jika Trump mencoba menerapkannya.

    Perintah ini muncul beberapa hari setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih setelah upacara pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 pada 20 Januari 2025.

    Sehari sebelumnya, Israel dan Hamas mulai menerapkan perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza dengan membebaskan tiga tahanan wanita Israel dengan imbalan 90 tahanan Palestina.

    Amerika Serikat menyaksikan protes mahasiswa yang meluas untuk mendukung rakyat Palestina di Jalur Gaza, yang menjadi sasaran perang genosida yang dilakukan oleh pendudukan Israel selama 15 bulan setelah 7 Oktober 2023.

    Pemerintah AS merupakan sekutu utama Israel dan pendonor terbesar untuk militer Israel sejak pendirian negara tersebut di Palestina pada 1948 dan menyalurkan bantuan militer per tahun ke Israel.

    Saat ini proses pencarian korban tewas di Jalur Gaza masih berlangsung sejak gencatan senjata Israel-Hamas mulai berlaku pada 19 Januari lalu, yang menambah jumlah kematian warga Palestina.

    Jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 47.417 jiwa dan 111.571 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Rabu (29/1/2025) menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sementara itu pencarian korban yang tertimbun reruntuhan masih berlanjut, menurut laporan Anadolu Agency.

    Sebelumnya, Israel mulai menyerang Jalur Gaza setelah Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) memulai Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak pendirian Israel di Palestina pada 1948.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Jarak Israel ke Greenland 6 Ribu Km Sejauh Jogja ke Afghanistan, Sindiran Menlu Iran ke Trump – Halaman all

    Jarak Israel ke Greenland 6 Ribu Km Sejauh Jogja ke Afghanistan, Sindiran Menlu Iran ke Trump – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Nama Greenland menjadi sorotan belakangan setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membidik untuk membelinya.

    Seiring dengan hal itu, Greenland disebut menjadi lokasi yang pas untuk ditinggali warga Israel seperti yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, belum lama ini.

    Demikian sebagai sindiran Araghchi sekaligus kepada Donald Trump yang sebelumnya menginginkan perpindahan warga Gaza, Palestina ke Mesir dan Yordania dengan dalih keamanan.

    Di sisi lain, jika usulan Araghchi menyarankan warga Israel pindah ke Greenland terjadi, maka jarak yang ditempuh tidaklah pendek.

    Jarak Israel ke Greenland sekitar 6.400 kilometer jauhnya, melewati Benua Eropa dari Asia untuk sampai ke sana.

    Kemudian jika dibandingkan, jarak tersebut sama seperti dari Yogyakarta (Jogja) sampai ke Kabul, Afghanistan.

    Itupun juga harus melewati beberapa negara besar, seperti India hingga Pakistan.

    Adapun dalam wawancara eksklusif dengan Sky News, Araghchi berbicara tentang konflik antara Israel dan Hamas dan mengusulkan ide untuk “membunuh dua burung dengan satu batu” setelah gencatan senjata.

    Newsweek telah menghubungi Gedung Putih, Misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah Greenland, dan Kedutaan Besar Israel di London untuk memberikan komentar melalui email. 

    Usulan terbaru Trump untuk “membersihkan” Gaza dengan menempatkan warga Palestina di Mesir dan Yordania telah memicu reaksi keras dari negara-negara Arab yang membutuhkan bantuannya dalam melaksanakan rencana tersebut.

    Dengan komentarnya-yang juga merujuk pada keinginan berulang Trump agar Amerika Serikat membeli Greenland -Araghchi diprediksi telah meningkatkan ketegangan antara Iran dan pemerintahan baru AS. 

    Dalam wawancara yang diterbitkan pada hari Selasa, Dominic Waghorn dari Sky News bertanya kepada Araghchi apa yang akan dilakukan Iran jika usulan Trump untuk merelokasi warga Palestina terwujud.

    Araghchi memberikan jawaban, “Saya pikir ini adalah proyek yang telah dicoba banyak orang di masa lalu, tetapi semuanya gagal. Palestina tidak dapat dihapus dari keputusan ini.  Orang Palestina tidak dapat diusir.”

    Sejurus dirinya justru menyarankan perpindahan warga Israel ke Greenlad.

    “Alih-alih Palestina, cobalah untuk mengusir orang Israel. Bawa mereka ke Greenland sehingga mereka dapat menyelesaikan dua masalah sekaligus. Sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah di Greenland dan Israel. Jadi itu akan menjadi tempat yang baik bagi mereka,” ujarnya diberitakan miamiherald.

    Geger Usulan Trump

    Ketegangan antara Iran dan Israel meningkat baru-baru ini karena kekhawatiran Israel menyerang situs nuklir Teheran, dan gagasan yang sebelumnya didukung Trump. 

    Trump menyampaikan usulannya untuk “membersihkan” Gaza dalam wawancara selama 20 menit dengan wartawan di Air Force One, dengan mengatakan bahwa wilayah tersebut saat ini merupakan “lokasi pembongkaran.” 

    Ia mengusulkan pembangunan perumahan di “lokasi berbeda” dan melibatkan “beberapa negara Arab,” yaitu Yordania dan Mesir.

    “Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kami hanya membersihkan semuanya dan berkata, ‘Anda tahu, ini sudah berakhir.”

    Mesir dan Yordania sama-sama menolak usulan presiden, dan Trump juga menerima reaksi keras atas komentarnya dari sejumlah sejarawan, jurnalis, dan komentator politik .

    Minggu lalu, tujuan Trump untuk membeli Greenland, wilayah otonomi Denmark di Samudra Arktik, mendapat pukulan lagi setelah panggilan telepon dengan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen yang digambarkan oleh beberapa pejabat Eropa sebagai “mengerikan.”

    Trump mengatakan dia ingin AS membeli Greenland demi keamanan nasional dan “ekonomi”.

    Sejumlah tokoh terkemuka di Israel, termasuk jurnalis dan komentator ternama, menanggapi usulan Presiden AS Donald Trump untuk membersihkan Gaza dan memindahkan secara paksa warga Palestina ke Yordania dan Mesir.

    Sebelumnya, pada Sabtu (25/1/2025), kurang dari seminggu setelah gencatan senjata di Gaza, Trump menyebut Jalur Gaza sebagai “lokasi pembongkaran”.

    Dia mengatakan lebih baik jika semuanya dibersihkan.

    “Saya ingin Mesir menerima orang,” kata Trump, dikutip dari Middle East Eye.

    “Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kita membersihkan semuanya dan berkata: ‘Anda tahu, ini sudah berakhir’.”

    Trump menyatakan terima kasihnya kepada Yordania yang telah berhasil menerima pengungsi Palestina.

    Ia mengatakan kepada raja, “Saya ingin Anda menerima lebih banyak orang, karena saya melihat seluruh Jalur Gaza sekarang, dan itu kacau balau. Benar-benar kacau.”

    Trump menambahkan pemindahan itu bisa bersifat sementara atau bisa bersifat jangka panjang.

    Rencana ini mendapat kecaman langsung dari Palestina, serta Yordania dan Mesir.

    EDITORIAL HAARETZ – Tangkapan layar laman media Haaretz yang diambil pada 29 Januari 2025, berisi pandangan editorial mengenai rencana Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza. Pernyataan Trump ditolak dan dikecam secara luas. (Tangkap layar website Haaretz)

    Negara-negara tersebut menolak gagasan Trump karena khawatir Israel tidak akan pernah mengizinkan warga Palestina kembali ke Gaza jika mereka dipaksa untuk pergi.

    Surat kabar resmi Israel, Haaretz, mengeluarkan serangan pedas terhadap usulan kebijakan Trump pada hari Senin (27/1/2025).

    Dewan redaksi Haaretz menyatakan Jalur Gaza adalah rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina.

    “Pada tingkat ini Trump kemungkinan akan mengusulkan agar warga Gaza diluncurkan ‘secara sukarela’ ke luar angkasa dan menetap di Mars, sesuai dengan semangat janjinya dalam pidato pelantikannya,” tulis dewan redaksi.

    “Mengapa tidak bendera Palestina juga? Mungkin saja mitranya Elon Musk sudah mengerjakannya.”

    Chaim Levinson, seorang kolumnis di Haaretz, menulis: 

    “Saya minta maaf, tetapi saya harus mengecewakan Anda. Setelah memeriksa dengan sejumlah pejabat, baik di Israel maupun di negara-negara terkait—termasuk para diplomat yang terlibat dalam negosiasi—tampaknya ini hanya visi seorang taipan properti, tanpa rencana konkret yang nyata.”

    “Orang-orang yang tinggal di Jalur Gaza dianggap sebagai penderita kusta di antara teman-teman mereka dari negara-negara Islam lainnya.”

    “Semua orang membicarakan tentang penderitaan mereka, dari emir Qatar hingga presiden Mesir, yang bersedia mengirimi mereka uang – tetapi menerima orang? Ada batasnya, dan mereka akan dengan tegas mematuhinya.”

    Sementara itu, Zvi Bar’el, kolumnis di Haaretz, mengatakan tidak masuk akal jika Yordania akan menerima lebih banyak warga Palestina, terutama setelah pidato Raja Abdullah pada bulan September lalu di Majelis Umum PBB.

    Raja Abdullah mengatakan Kerajaan Hashemite tidak akan pernah menjadi tanah air alternatif bagi warga Palestina.

    “Selama puluhan tahun, Yordania mencurigai dan memperhatikan wacana Israel tentang pembentukan tanah air alternatif bagi Palestina, dan terus-menerus meminta pernyataan yang jelas dari para pemimpin Israel bahwa mereka tidak berniat menghancurkan identitas demografis kerajaan tersebut,” kata Bar’el.

    “Ketika, selama perang di Gaza, usulan agar ratusan ribu warga Gaza dideportasi ke Mesir dan negara-negara lain kembali diajukan, Yordania dan Mesir menerima jaminan Israel bahwa tidak ada niat untuk memulai pemindahan warga Palestina dari Gaza,” tambahnya.

    Middle East Eye melaporkan sebelumnya, rencana apa pun untuk “membersihkan Gaza” akan menjadi pelanggaran hukum internasional. 

    Ardi Imseis, profesor hukum internasional di Universitas Queen dan mantan pejabat PBB, mengatakan keinginan Trump untuk merelokasi warga Palestina secara massal dari Jalur Gaza yang diduduki adalah ilegal sekaligus angan-angan semata.

    “Berdasarkan hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional, pemindahan paksa secara individu atau massal, serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan ke wilayah kekuasaan pendudukan atau ke wilayah negara lain mana pun, yang diduduki atau tidak, dilarang, apa pun motifnya,” katanya kepada MEE.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha, Tiara Shelavie)

  • Usulkan Warga Israel Diusir ke Greenland daripada Rakyat Gaza, Iran Semprot Trump – Halaman all

    Usulkan Warga Israel Diusir ke Greenland daripada Rakyat Gaza, Iran Semprot Trump – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Iran mengusulkan pengusiran warga Israel ke Greenland sebagai solusi ketegangan di Gaza.

    Hal ini sekaligus untuk menyindir wacana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin merelokasi warga Gaza ke Mesir dan Yordania. 

    Dalam wawancara eksklusif dengan Sky News, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi berbicara tentang konflik antara Israel dan Hamas dan mengusulkan ide untuk “membunuh dua burung dengan satu batu” setelah gencatan senjata.

    Newsweek telah menghubungi Gedung Putih, Misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa , pemerintah Greenland dan Kedutaan Besar Israel di London untuk memberikan komentar melalui email. 

    Usulan terbaru Trump untuk “membersihkan” Gaza dengan menempatkan warga Palestina di Mesir dan Yordania telah memicu reaksi keras dari negara-negara Arab yang membutuhkan bantuannya dalam melaksanakan rencana tersebut.

    Dengan komentarnya-yang juga merujuk pada keinginan berulang Trump agar Amerika Serikat membeli Greenland -Araghchi diprediksi telah meningkatkan ketegangan antara Iran dan pemerintahan baru AS. 

    Dalam wawancara yang diterbitkan pada hari Selasa, Dominic Waghorn dari Sky News bertanya kepada Araghchi apa yang akan dilakukan Iran jika usulan Trump untuk merelokasi warga Palestina terwujud.

    Araghchi memberikan jawaban.

    “Saya pikir ini adalah proyek yang telah dicoba banyak orang di masa lalu, tetapi semuanya gagal. Palestina tidak dapat dihapus dari keputusan ini.  Orang Palestina tidak dapat diusir.”

    Sejurus dirinya justru menyarankan perpindahan warga Israel ke Greenlad.

    “Alih-alih Palestina, cobalah untuk mengusir orang Israel. Bawa mereka ke Greenland sehingga mereka dapat menyelesaikan dua masalah sekaligus. Sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah di Greenland dan Israel. Jadi itu akan menjadi tempat yang baik bagi mereka,” ujarnya diberitakan miamiherald.

    Geger Usulan Trump

    Ketegangan antara Iran dan Israel meningkat baru-baru ini karena kekhawatiran Israel menyerang situs nuklir Teheran , dan gagasan yang sebelumnya didukung Trump. 

    Trump menyampaikan usulannya untuk “membersihkan” Gaza dalam wawancara selama 20 menit dengan wartawan di Air Force One, dengan mengatakan bahwa wilayah tersebut saat ini merupakan “lokasi pembongkaran.” 

    Ia mengusulkan pembangunan perumahan di “lokasi berbeda” dan melibatkan “beberapa negara Arab,” yaitu Yordania dan Mesir.

    “Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kami hanya membersihkan semuanya dan berkata, ‘Anda tahu, ini sudah berakhir.’” 

    Mesir dan Yordania sama-sama menolak usulan presiden, dan Trump juga menerima reaksi keras atas komentarnya dari sejumlah sejarawan, jurnalis, dan komentator politik .

    Minggu lalu, tujuan Trump untuk membeli Greenland, wilayah otonomi Denmark di Samudra Arktik, mendapat pukulan lagi setelah panggilan telepon dengan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen yang digambarkan oleh beberapa pejabat Eropa sebagai “mengerikan.”

    Trump mengatakan dia ingin AS membeli Greenland demi keamanan nasional dan “ekonomi”.

    Sejumlah tokoh terkemuka di Israel, termasuk jurnalis dan komentator ternama, menanggapi usulan Presiden AS Donald Trump untuk membersihkan Gaza dan memindahkan secara paksa warga Palestina ke Yordania dan Mesir.

    Sebelumnya, pada Sabtu (25/1/2025), kurang dari seminggu setelah gencatan senjata di Gaza, Trump menyebut Jalur Gaza sebagai “lokasi pembongkaran”.

    Dia mengatakan bahwa lebih baik jika semuanya dibersihkan.

    “Saya ingin Mesir menerima orang,” kata Trump, mengutip Middle East Eye.

    “Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kita membersihkan semuanya dan berkata: ‘Anda tahu, ini sudah berakhir’.”

    Trump menyatakan terima kasihnya kepada Yordania yang telah berhasil menerima pengungsi Palestina.

    Ia mengatakan kepada raja, “Saya ingin Anda menerima lebih banyak orang, karena saya melihat seluruh Jalur Gaza sekarang, dan itu kacau balau. Benar-benar kacau.”

    Trump menambahkan bahwa pemindahan itu bisa bersifat sementara atau bisa bersifat jangka panjang.

    Rencana ini mendapat kecaman langsung dari Palestina, serta Yordania dan Mesir.

    EDITORIAL HAARETZ – Tangkapan layar laman media Haaretz yang diambil pada 29 Januari 2025, berisi pandangan editorial mengenai rencana Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza. Pernyataan Trump ditolak dan dikecam secara luas. (Tangkap layar website Haaretz)

    Negara-negara tersebut menolak gagasan Trump karena khawatir Israel tidak akan pernah mengizinkan warga Palestina kembali ke Gaza jika mereka dipaksa untuk pergi.

    Surat kabar resmi Israel, Haaretz, mengeluarkan serangan pedas terhadap usulan kebijakan Trump pada hari Senin (27/1/2025).

    Dewan redaksi Haaretz menyatakan bahwa Jalur Gaza adalah rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina.

    “Pada tingkat ini Trump kemungkinan akan mengusulkan agar warga Gaza diluncurkan ‘secara sukarela’ ke luar angkasa dan menetap di Mars, sesuai dengan semangat janjinya dalam pidato pelantikannya,” tulis dewan redaksi.

    “Mengapa tidak bendera Palestina juga? Mungkin saja mitranya Elon Musk sudah mengerjakannya.”

    Chaim Levinson, seorang kolumnis di Haaretz, menulis: 

    “Saya minta maaf, tetapi saya harus mengecewakan Anda. Setelah memeriksa dengan sejumlah pejabat, baik di Israel maupun di negara-negara terkait—termasuk para diplomat yang terlibat dalam negosiasi—tampaknya ini hanya visi seorang taipan properti, tanpa rencana konkret yang nyata.”

    “Orang-orang yang tinggal di Jalur Gaza dianggap sebagai penderita kusta di antara teman-teman mereka dari negara-negara Islam lainnya.”

    “Semua orang membicarakan tentang penderitaan mereka, dari emir Qatar hingga presiden Mesir, yang bersedia mengirimi mereka uang – tetapi menerima orang? Ada batasnya, dan mereka akan dengan tegas mematuhinya.”

    Sementara itu, Zvi Bar’el, kolumnis di Haaretz, mengatakan tidak masuk akal jika Yordania akan menerima lebih banyak warga Palestina, terutama setelah pidato Raja Abdullah pada bulan September lalu di Majelis Umum PBB.

    Raja Abdullah mengatakan Kerajaan Hashemite tidak akan pernah menjadi tanah air alternatif bagi warga Palestina.

    “Selama puluhan tahun, Yordania mencurigai dan memperhatikan wacana Israel tentang pembentukan tanah air alternatif bagi Palestina, dan terus-menerus meminta pernyataan yang jelas dari para pemimpin Israel bahwa mereka tidak berniat menghancurkan identitas demografis kerajaan tersebut,” kata Bar’el.

    “Ketika, selama perang di Gaza, usulan agar ratusan ribu warga Gaza dideportasi ke Mesir dan negara-negara lain kembali diajukan, Yordania dan Mesir menerima jaminan Israel bahwa tidak ada niat untuk memulai pemindahan warga Palestina dari Gaza,” tambahnya.

    Middle East Eye melaporkan sebelumnya bahwa rencana apa pun untuk “membersihkan Gaza” akan menjadi pelanggaran hukum internasional. 

    Ardi Imseis, profesor hukum internasional di Universitas Queen dan mantan pejabat PBB, mengatakan bahwa keinginan Trump untuk merelokasi warga Palestina secara massal dari Jalur Gaza yang diduduki adalah ilegal sekaligus angan-angan semata.

    “Berdasarkan hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional, pemindahan paksa secara individu atau massal, serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan ke wilayah kekuasaan pendudukan atau ke wilayah negara lain mana pun, yang diduduki atau tidak, dilarang, apa pun motifnya,” katanya kepada MEE.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha, Tiara Shelavie)

  • Surat Kabar Israel Tanggapi Rencana Trump untuk Pindahkan Warga Palestina ke Mesir atau Yordania – Halaman all

    Surat Kabar Israel Tanggapi Rencana Trump untuk Pindahkan Warga Palestina ke Mesir atau Yordania – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM –  Sejumlah tokoh terkemuka di Israel, termasuk jurnalis dan komentator ternama, menanggapi usulan Presiden AS Donald Trump untuk membersihkan Gaza dan memindahkan secara paksa warga Palestina ke Yordania dan Mesir.

    Sebelumnya, pada Sabtu (25/1/2025), kurang dari seminggu setelah gencatan senjata di Gaza, Trump menyebut Jalur Gaza sebagai “lokasi pembongkaran”.

    Dia mengatakan bahwa lebih baik jika semuanya dibersihkan.

    “Saya ingin Mesir menerima orang,” kata Trump, mengutip Middle East Eye.

    “Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kita membersihkan semuanya dan berkata: ‘Anda tahu, ini sudah berakhir’.”

    Trump menyatakan terima kasihnya kepada Yordania yang telah berhasil menerima pengungsi Palestina.

    Ia mengatakan kepada raja, “Saya ingin Anda menerima lebih banyak orang, karena saya melihat seluruh Jalur Gaza sekarang, dan itu kacau balau. Benar-benar kacau.”

    Trump menambahkan bahwa pemindahan itu bisa bersifat sementara atau bisa bersifat jangka panjang.

    Rencana ini mendapat kecaman langsung dari Palestina, serta Yordania dan Mesir.

    EDITORIAL HAARETZ – Tangkapan layar laman media Haaretz yang diambil pada 29 Januari 2025, berisi pandangan editorial mengenai rencana Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza. Pernyataan Trump ditolak dan dikecam secara luas. (Tangkap layar website Haaretz)

    Negara-negara tersebut menolak gagasan Trump karena khawatir Israel tidak akan pernah mengizinkan warga Palestina kembali ke Gaza jika mereka dipaksa untuk pergi.

    Surat kabar resmi Israel, Haaretz, mengeluarkan serangan pedas terhadap usulan kebijakan Trump pada hari Senin (27/1/2025).

    Dewan redaksi Haaretz menyatakan bahwa Jalur Gaza adalah rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina.

    “Pada tingkat ini Trump kemungkinan akan mengusulkan agar warga Gaza diluncurkan ‘secara sukarela’ ke luar angkasa dan menetap di Mars, sesuai dengan semangat janjinya dalam pidato pelantikannya,” tulis dewan redaksi.

    “Mengapa tidak bendera Palestina juga? Mungkin saja mitranya Elon Musk sudah mengerjakannya.”

    Chaim Levinson, seorang kolumnis di Haaretz, menulis: 

    “Saya minta maaf, tetapi saya harus mengecewakan Anda. Setelah memeriksa dengan sejumlah pejabat, baik di Israel maupun di negara-negara terkait—termasuk para diplomat yang terlibat dalam negosiasi—tampaknya ini hanya visi seorang taipan properti, tanpa rencana konkret yang nyata.”

    “Orang-orang yang tinggal di Jalur Gaza dianggap sebagai penderita kusta di antara teman-teman mereka dari negara-negara Islam lainnya.”

    “Semua orang membicarakan tentang penderitaan mereka, dari emir Qatar hingga presiden Mesir, yang bersedia mengirimi mereka uang – tetapi menerima orang? Ada batasnya, dan mereka akan dengan tegas mematuhinya.”

    Sementara itu, Zvi Bar’el, kolumnis di Haaretz, mengatakan tidak masuk akal jika Yordania akan menerima lebih banyak warga Palestina, terutama setelah pidato Raja Abdullah pada bulan September lalu di Majelis Umum PBB.

    Raja Abdullah mengatakan Kerajaan Hashemite tidak akan pernah menjadi tanah air alternatif bagi warga Palestina.

    “Selama puluhan tahun, Yordania mencurigai dan memperhatikan wacana Israel tentang pembentukan tanah air alternatif bagi Palestina, dan terus-menerus meminta pernyataan yang jelas dari para pemimpin Israel bahwa mereka tidak berniat menghancurkan identitas demografis kerajaan tersebut,” kata Bar’el.

    “Ketika, selama perang di Gaza, usulan agar ratusan ribu warga Gaza dideportasi ke Mesir dan negara-negara lain kembali diajukan, Yordania dan Mesir menerima jaminan Israel bahwa tidak ada niat untuk memulai pemindahan warga Palestina dari Gaza,” tambahnya.

    Middle East Eye melaporkan sebelumnya bahwa rencana apa pun untuk “membersihkan Gaza” akan menjadi pelanggaran hukum internasional. 

    Ardi Imseis, profesor hukum internasional di Universitas Queen dan mantan pejabat PBB, mengatakan bahwa keinginan Trump untuk merelokasi warga Palestina secara massal dari Jalur Gaza yang diduduki adalah ilegal sekaligus angan-angan semata.

    “Berdasarkan hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional, pemindahan paksa secara individu atau massal, serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan ke wilayah kekuasaan pendudukan atau ke wilayah negara lain mana pun, yang diduduki atau tidak, dilarang, apa pun motifnya,” katanya kepada MEE.

    Pernyataan Trump Memicu Kebingungan

    Yordania sudah menjadi rumah bagi lebih dari dua juta pengungsi Palestina, dan Mesir, yang berbatasan dengan Gaza, telah memperingatkan tentang implikasi keamanan dari pemindahan sejumlah besar warga Palestina ke Semenanjung Sinai di Mesir.

    Saat ini, ada 5,8 juta pengungsi Palestina terdaftar yang tinggal di puluhan kamp di Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon.

    Sekitar 80 persen penduduk Gaza adalah pengungsi atau keturunan pengungsi yang mengungsi sejak Nakba tahun 1948, ketika Israel merebut 78 persen wilayah Palestina yang bersejarah.

    Di AS, bahkan beberapa anggota Partai Republik yang setia kepada Trump kesulitan memahami pernyataannya.

    “Saya benar-benar tidak tahu,” ujar Senator Lindsey Graham kepada CNN ketika ditanya apa yang dimaksud presiden dengan pernyataan “pembersihan” tersebut.

    “Gagasan bahwa semua warga Palestina akan pergi dan pergi ke tempat lain, menurut saya itu tidak terlalu praktis,” kata Graham.

    Ia menambahkan bahwa Trump harus terus berbicara dengan para pemimpin regional, termasuk Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dan pejabat Emirat.

    Pemerintah Jerman juga menolak gagasan pemindahan massal warga Palestina.

    Pada hari Senin, juru bicara kementerian luar negeri Jerman mengatakan kepada wartawan di Berlin bahwa negaranya memiliki pandangan yang sama dengan Uni Eropa, mitra Arab, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Penduduk Palestina tidak boleh diusir dari Gaza dan Gaza tidak boleh diduduki secara permanen atau dijajah kembali oleh Israel, ujar juru bicara tersebut.

    Kanselir Jerman Olaf Scholz pun menyatakan hal yang serupa.

    Ia mengatakan bahwa pengusiran warga Palestina dari Jalur Gaza “tidak dapat diterima”.

    “Mengingat pernyataan publik baru-baru ini, saya katakan dengan sangat jelas bahwa rencana relokasi apa pun, gagasan bahwa warga Gaza akan diusir ke Mesir atau Yordania, tidak dapat diterima,” kata Scholz dalam sebuah acara balai kota di Berlin, Selasa (28/1/2025), mengutip The New Arab.

    Warga Palestina Menolak untuk Dipindahkan

    Sebelumnya pada hari Senin, puluhan ribu warga Palestina membanjiri ke Gaza utara, daerah kantong yang paling parah hancur.

    Massa menyatakan bahwa mereka tidak akan diusir dari tanah mereka.

    Sami Saleh, yang telah mengungsi beberapa kali, mengatakan kepada MEE bahwa meskipun menghadapi periode pengungsian yang sangat sulit selama setahun terakhir, ia gembira bisa kembali ke rumah.

    “Saya tidak akan menyembunyikan perasaan ini, dan saya tidak melebih-lebihkan ketika saya mengatakan ini: Saya ingin terbang ke utara… perasaan ini sudah ada sejak awal.”

    “Terlepas dari semua rasa sakit dan kesulitan, saya harus kembali ke utara apa pun yang terjadi, bahkan jika saya harus berjalan ke sana tanpa alas kaki,” katanya.

    Perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas berlaku sejak 19 Januari 2025.

    Pemerintahan Trump menjanjikan “dukungan yang tak tergoyahkan” untuk Israel tetapi belum menguraikan strategi Timur Tengah yang lebih luas.

    Pada Sabtu, Trump mengonfirmasi bahwa dia telah memerintahkan Pentagon untuk menyetujui pengiriman bom seberat 2.000 pon (907 kg) ke Israel.

    Pengiriman ini sebelumnya ditangguhkan di bawah pemerintahan Joe Biden.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Gaza Butuh Setidaknya 120.000 Tenda, Warga Palestina Kembali ke Gaza Utara yang Hancur oleh Israel – Halaman all

    Gaza Butuh Setidaknya 120.000 Tenda, Warga Palestina Kembali ke Gaza Utara yang Hancur oleh Israel – Halaman all

    Penampungan Mendesak Dibutuhkan saat Warga Palestina Kembali ke Gaza Utara yang Hancur oleh Israel

    TRIBUNNEWS.COM- Ratusan ribu warga sipil Palestina yang mengungsi dan telah kembali ke Gaza utara sangat membutuhkan akomodasi karena besarnya kerusakan yang disebabkan oleh perang genosida Israel. 

    Kantor Media Pemerintah di Gaza mengumumkan pada tanggal 28 Januari bahwa warga Palestina di jalur utara “membutuhkan setidaknya 120.000 tenda.” 

    Warga yang mengungsi ke wilayah utara mengatakan tidak ada listrik dan fasilitas penting telah hancur.

    “Ada ruang operasi yang didedikasikan untuk memantau kondisi para pengungsi. Lebih dari 33 kamp telah disiapkan untuk menampung para pengungsi,” tambahnya, seraya menekankan bahwa “konvoi para pengungsi yang kembali ke utara membentang hingga ratusan meter.”

    Lebih dari  300.000  warga Palestina telah kembali ke wilayah utara yang hancur setelah para pengungsi  mulai membanjiri  kembali kota mereka yang hancur pada hari Senin. 

    Warga sipil yang berbicara dengan Al Jazeera pada hari Selasa mengatakan fasilitas dan infrastruktur hancur total. 

    Mereka mengatakan mereka membutuhkan generator karena tidak ada listrik sama sekali, dan semua tangki air di atap gedung telah hancur atau rusak parah – seraya menambahkan bahwa mereka telah kembali menjadi “tanah terlantar.”

    Rumah sakit, khususnya, berada dalam kondisi yang sangat buruk akibat kampanye Israel terhadap fasilitas medis di seluruh wilayah tersebut – yang meningkat secara signifikan pada bulan-bulan terakhir perang, khususnya di wilayah utara. 

    Sisa wilayah kantong itu juga hancur. Menurut PBB, hampir 70 persen dari semua bangunan di Gaza hancur atau rusak. 

    Di kota paling selatan Rafah, kehancuran tersebar luas, dan persenjataan yang belum meledak menimbulkan ancaman serius bagi penduduk. 

    “Layanan kesehatan, termasuk bantuan kemanusiaan lainnya dan pembangunan kembali kota, dibutuhkan agar kehidupan dapat kembali ke Rafah, tetapi masih terlalu berbahaya bagi orang-orang untuk kembali di sebagian besar wilayah. Saat kami akan mengunjungi bekas klinik MSF Shabboura di Rafah, kami melihat seorang anak bermain dengan granat di wilayah Mawasi. Meskipun kami tidak dapat mendengar bom lagi, masih ada bahaya,” kata pejabat Doctors Without Borders (MSF) Pascale Coissard pada 27 Januari. 

    Rafah sebelumnya menampung kelompok pengungsi Palestina terbesar – sekitar 1,5 juta orang – yang terusir dari berbagai wilayah di Gaza akibat serangan udara Israel, perintah evakuasi paksa, dan operasi darat yang menghancurkan. 

    MSF mengatakan membersihkan persenjataan yang tidak meledak di Rafah saja akan memakan waktu bertahun-tahun. 

    Meskipun mengalami kematian, kehancuran, dan hukuman kolektif, ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi kembali ke lingkungan mereka yang hancur di Gaza Utara, mengalahkan upaya pemerintah Israel untuk melakukan pembersihan etnis di Jalur Gaza.

    Ribuan warga Palestina akhirnya bersatu kembali dengan keluarga mereka. Mereka kembali ke rumah mereka yang hancur dengan tekad penuh untuk membangun kembali kehidupan mereka dan masa depan kebebasan mereka.

    SUMBER: THE CRADLE

  • Hamas Kecam PA Gara-gara Dituduh Ikut Diskusi untuk Bentuk Negara Mini-Palestina – Halaman all

    Hamas Kecam PA Gara-gara Dituduh Ikut Diskusi untuk Bentuk Negara Mini-Palestina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) membantah tuduhan Otoritas Palestina (PA) yang mengatakan Hamas terlibat dalam pembicaraan rahasia untuk membentuk negara mini-Palestina.

    “Kami menyesalkan kepresidenan Otoritas Palestina yang melibatkan nama gerakan tersebut dalam pertemuan mencurigakan untuk membahas gagasan mengenai negara mini-Palestina,” kata juru bicara Hamas, Hazem Qassem, Selasa (28/1/2025) malam.

    “Kami menyerukan kepada pihak berwenang untuk menghentikan kampanye misinformasi dan memberikan prioritas pada kepentingan yang lebih tinggi dan untuk menanggapi seruan kami untuk menertibkan internal dengan cara yang dapat membantu upaya bantuan rakyat kami dan menghilangkan dampak agresi, dan untuk berdiri bersama untuk melindungi rakyat kita dan hak-hak nasional dan sejarah mereka,” lanjutnya.

    Ia juga menekankan tesis ini hanyalah imajinasi beberapa orang berpengaruh yang berkuasa untuk mendistorsi citra Hamas yang berhasil memaksa Zionis Israel untuk menghentikan agresinya di Jalur Gaza.

    Sebelumnya media PA, WAFA, menanggapi laporan media luar yang menuduh Hamas terlibat dalam pembicaraan rahasia bersama sekutu Israel, Amerika Serikat (AS), dan negara lain tentang pembentukan negara mini-Palestina dan pertukaran tanah yang luas dengan Israel.

    “Presidensi Palestina mengeluarkan peringatan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proyek-proyek yang meragukan tersebut, khususnya Hamas, dan mendesak mereka untuk tidak terus terlibat dengan rencana ini,” bunyi laporan WAFA, pada Senin (27/1/2025).

    “Presidensi menegaskan bahwa skema semacam itu merupakan pengkhianatan terhadap darah dan pengorbanan rakyat Palestina, yang telah berjuang selama satu abad untuk mendirikan negara merdeka di seluruh tanah nasional mereka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” lanjutnya.

    Hamas dan Israel mencapai kesepakatan perjanjian gencatan senjata setelah beberapa bulan perundingan intensif di Kota Kairo, Mesir dan di Kota Doha, Qatar dengan partisipasi mediator dari Mesir, Qatar, dan sekutu Israel, AS.

    Implementasi perjanjian gencatan senjata tahap pertama akan berlangsung selama enam minggu atau 42 hari.

    Selama pelaksanaan tahap pertama, Israel dan Hamas akan melakukan pertukaran 33 tahanan Israel dengan imbalan ribuan tahanan Palestina.

    Selain itu, warga Palestina di Jalur Gaza juga diperbolehkan untuk kembali ke Gaza utara.

    Hamas dan Israel memulai implementasi perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza pada 19 Januari 2025, yang diawali dengan pertukaran 3 tahanan Israel dan 90 tahanan Palestina.

    Pertukaran kedua dilakukan pada 25 Januari 2025 dengan menukar empat tentara wanita Israel dan 200 tahanan Palestina, dengan 70 di antaranya dideportasi ke Kairo, Mesir.

    Saat ini, jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 47.306 jiwa dan 111.483 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Minggu (26/1/2025) menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sementara itu pencarian korban yang tertimbun reruntuhan masih berlanjut, menurut laporan Anadolu Agency.

    Sebelumnya, Israel mulai menyerang Jalur Gaza setelah Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) memulai Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak pendirian Israel di Palestina pada 1948.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

  • Ejek Donald Trump, Iran Minta Penduduk Israel Diusir Saja ke Greenland

    Ejek Donald Trump, Iran Minta Penduduk Israel Diusir Saja ke Greenland

    GELORA.CO – Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menanggapi usul Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tentang pemindahan warga Palestina di Jalur Gaza ke Yordania dan Mesir.

    Araghchi menentang tegas usul itu. Dia lalu mengejek Trump dengan cara memintanya mengusir penduduk Israel ke Greenland.

    “Saran saya berbeda. Ketimbang memindahkan warga Palestina, cobalah mengusir penduduk Israel, bawa mereka ke Greenland sehingga mereka bisa membunuh dua lalat dalam satu tepukan,” kata Araghchi saat diwawancarai Sky News di Kota Teheran hari Senin, (28/1/2025), dikutip dari Press TV.

    Trump belakangan ini memang disorot karena berulang kali meminta AS untuk mencaplok Greenland yang menjadi wilayah otonom Denmark.

    Sabtu lalu, (25/1/2025), Trump bahkan meyakini Greenland nantinya akan dimiliki AS.

    “Saya pikir kita akan memilikinya,” kata dia kepada wartawan saat berada di dalam pesawat Air Force One.

    Dia juga mengklaim Greenland yang berpenduduk 57.000 jiwa itu “ingin bergabung” dengan AS.

    Sebelumnya, dalam pembicaraan dengan Trump melalui telepon, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen menegaskan bahwa Greenland tidak dijual.

    Trump memang pernah mengungkapkan kemungkinan pembelian Greenland saat dia menjabat sebagai presiden untuk pertama kalinya, yakni tahun 2019 lalu. Dia mengklaim kendali AS atas Greenland “sangat dibutuhkan” demi keamanan internasional.

    “Saya tidak tahu apa klaim Denmark tentang hal itu, tetapi akan menjadi tindakan yang sangat tidak bersahabat jika mereka tidak mengizinkannya terjadi karena itu demi melindungi dunia yang bebas ini,” ucap Trump.

    Araghchi peringatkan AS-Israel agar tak serang fasilitas nuklir

    Dalam momen yang sama, Araghchi memperingatkan Israel dan AS agar tidak menyerang fasilitas nuklir Iran.

    Menurut Araghchi, jika serangan itu terjadi, akan muncul “bencana sangat mengerikan” di seluruh kawasan Timur Tengah.

    “Serangan apa pun terhadap fasilitas nuklir kami akan segera mendapat balasan tegas,” ujar Araghchi.

    Meski demikian, dia meyakini Israel dan AS tidak akan berani menyerang fasilitas nuklir Iran.

    “Tetapi saya tidak yakin mereka akan melakukan hal yang gila itu. Ini sungguh gila dan ini akan mengubah Timur Tengah menjadi bencana yang sangat buruk,” katanya.

    Untuk menunjukkan bahwa program nuklir bertujuan baik, Iran menandatangani kesepakatan yang disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama tahun 2015.

    Namun, AS menarik diri dari perjanjian itu tahun 2018 dan kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran sehingga masa depan perjanjian itu tidak dapat dipastikan.

    Setahun berselang Iran mencabut batasan-batasan yang diatur dalam JCPOA karena pihak lain tidak memenuhi komitmennya.

    Sementara itu, Presiden AS Donald Trump memberi sinyal bahwa dia menginginkan kesepakatan baru dengan Iran. Dia bahkan mengatakan hal itu akan bagus.

    Araghchi mengaku siap mendengarkan apa kata Trump. Namun, dia berujar perlu lebih dari sekadar kata-kata agar Iran bisa yakin untuk memulai negosiasi dengan AS. Itu karena AS pernah menarik diri dari JCPOA.

    “Situasinya berbeda dan jauh lebih susah daripada yang sebelumnya,” kata dia.

    “Ada banyak hal yang harus diselesaikan oleh pihak lain agar bisa meyakinkan kami. Kami belum mendengar selain kata ‘bagus’ itu, dan sudah jelas bahwa ini tidak cukup.”