Negara: Jalur Gaza

  • Trump Kembali Nyatakan AS Ingin Ambil Alih Gaza Meski Dikecam Dunia

    Trump Kembali Nyatakan AS Ingin Ambil Alih Gaza Meski Dikecam Dunia

    Jakarta

    Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Gaza, Palestina, mendapatkan kecaman keras dari berbagai pihak. Trump kembali menegaskan AS tetap akan mengambil alih Gaza

    Dilansir BBC, Kamis (6/2/2025), Trump menyampaikan hal tersebut di platform Truth Social miliknya. Dia menyebut Israel akan menyerahkan Gaza kepada AS.

    “Jalur Gaza akan diserahkan ke Amerika Serikat oleh Israel pada akhir pertempuran. Warga Palestina, seperti Chuck Schumer (nama politikus AS), sudah akan dimukimkan kembali di komunitas yang jauh lebih aman dan indah, dengan rumah-rumah baru dan modern, di kawasan tersebut,” tulis Trump.

    Diketahui, Chuck Schumer adalah pemimpin minoritas di Senat dan seorang Demokrat. Dalam pidatonya pekan lalu, Schumer mengkritik Trump ‘sembrono dan melanggar hukum’.

    Kembali ke Trump, dia mengatakan orang-orang akan bahagia dan aman jika rencananya terwujud. Meski demikian, Trump mengatakan dirinya tak berencana mengirim tentara AS ke Gaza.

    “Mereka benar-benar memiliki kesempatan untuk bahagia, aman, dan bebas. AS, bekerja sama dengan tim pembangunan yang hebat dari seluruh dunia, akan perlahan dan hati-hati memulai pembangunan yang akan menjadi salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia. Tidak diperlukan tentara dari AS! Stabilitas kawasan akan berkuasa!!!,” jelas Trump.

    Sebelumnya, Trump mengumumkan AS akan mengambil alih Gaza saat menerima kunjungan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa (4/2). Sontak pernyataan Trump ini mendapatkan reaksi keras dari sejumlah negara, salah satunya Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

    “Presiden Mahmoud Abbas dan para pemimpin Palestina menyatakan penolakan keras mereka terhadap seruan untuk merebut Jalur Gaza dan mengusir warga Palestina dari tanah air mereka,” demikian pernyataan kantor kepresidenan Palestina.

    Seruan Trump itu, jelas Abbas, adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Perdamaian tidak akan tercapai tanpa berdirinya negara Palestina.

    “Kami tidak akan membiarkan hak-hak rakyat kami, yang telah kami perjuangkan selama beberapa dekade, dilanggar,” tegas Abbas dalam pernyataannya.

    Salah satu warga Palestina, Amir Karaja mengatakan kepada CNN bahwa ia lebih baik memakan puing-puing daripada dipaksa meninggalkan tanah airnya.

    “Kami teguh di sini,” kata Karaja kepada CNN pada hari Rabu (5/2).

    Karaja sedang membersihkan sisa-sisa puing di rumahnya di kamp Nuseirat di Gaza tengah. Bangunan itu menyerupai rumah boneka setelah seluruh dinding depannya runtuh dan memperlihatkan bagian dalam interior yang rusak.

    “Ini tanah kami, dan kami adalah pemilik tanah yang jujur dan sejati. Saya tidak akan tergusur. Tidak (Trump) atau siapa pun dapat mencabut kami dari Gaza,” kata Karaja.

    Rencana Trump itu juga ditentang oleh banyak negara seperti Iran, Jerman, Prancis, bahkan PBB. Indonesia juga menjadi salah satu yang menolak rencana Trump.

    (isa/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Letkol IDF Brigade Givati Israel Tewas Tertimpa Derek yang Ambruk Tertiup Angin di Gaza Utara – Halaman all

    Letkol IDF Brigade Givati Israel Tewas Tertimpa Derek yang Ambruk Tertiup Angin di Gaza Utara – Halaman all

    Letkol IDF dan Tentara Israel Brigade Givati Tewas Tertimpa Derek yang Ambruk Tertiup Angin di Gaza Utara

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Israel (IDF) mengonfirmasi pada Kamis (6/2/2025) kalau seorang perwira berpangkat letnan kolonel dan seorang prajurit tewas, tertimpa derek (crane) yang ambruk di Gaza Utara.

    Peristiwa itu juga mengakibatkan delapan tentara Israel terluka.

    “Militer Israel menyatakan bahwa salah satu korban adalah seorang letnan kolonel yang bertugas di pasukan cadangan pada Batalyon 51 di Brigade Golani,” kata laporan RNTV, dikutip Kamis.

    Lembaga penyiaran publik Israel, KAN melaporkan kalau derek tersebut ambruk akibat angin kencang dan menghantam tenda tempat para tentara Israel berada di dalamnya.

    Otoritas penyiaran mencatat bahwa IDF sedang menyelidiki insiden tersebut, dengan momfokuskan pada kurangnya persiapan terhadap kondisi cuaca buruk.

    Peristiwa ini terjadi saat Jalur Gaza dan daerah sekitarnya mengalami sistem tekanan rendah disertai hujan lebat dan angin kencang.

    BRIGADE GIVATI – Personel Brigade Givati dari Batalyon Shaked Tentara Israel (IDF) saat bermanuver di Gaza Utara. Brigade pasukan Israel ini sebagian besar sudah ditarik mundur dari Gaza Utara seiring terjadinya gencatan senjata dengan Hamas. (anews/tangkap layar)

    Brigade Givati Remuk

    Pada Januari silam, IDF juga mengungkapkan kerugian yang diderita Brigade Givati, pasukan infanteri Israel yang sebagian besar sudah ditarik mundur dari Jalur Gaza.

    Dikutip Khaberni, Brigade Givati diakui IDF kehilangan 86 prajurit dan perwira tingginya, termasuk sejumlah komandan di pasukan tersebut.

    Kematian personel Brigade Givati terjadi selama pertempuran di Jalur Gaza dan dalam serangan Banjir Al-Aqsa Hamas pada 7 Oktober 2023.

    Tentara IDF menambahkan dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada Rabu (22/1/2025), “Pasukan Brigade Givati ​​​​di bawah komando Divisi 162 sedang mempersiapkan misi yang akan datang setelah berminggu-minggu pertempuran di wilayah Jabalia di Jalur Gaza utara”.

    Brigade Givati ​​​​adalah salah satu dari lima brigade infanteri di ketentaraan Israel.

    Mereka mundur dari Jalur Gaza utara dengan berlakunya perjanjian gencatan senjata antara Gerakan Perlawanan Palestina Hamas dan Israel pada Minggu lalu.

    Sebelumnya, media Israel memberitakan Brigade Givati ​​​​mundur dari Gaza, tanpa mendapat perintah untuk bersiap kembali lagi.

    Faksi-faksi milisi perlawanan Palestina menimbulkan kerugian besar pada tentara pendudukan Israel selama serangan dahsyat yang dilancarkan di Jalur Gaza utara selama lebih dari 100 hari.

    Sejak awal perang pada Oktober 2023, jumlah perwira dan tentara yang tewas di tentara Israel – yang namanya boleh dipublikasikan – telah mencapai 841 orang tewas, dan 5.656 orang terluka, namun laporan Palestina dan Israel menunjukkan bahwa jumlah korban sebenarnya adalah lebih tinggi dari itu.

    Banyak Kaki Tentara Brigade Givati Diamputasi

    Pada Februari 2024 silam, seorang perwira militer IDF, mengakui situasi sulit yang dialami pasukannya dalam pertempuran melawan kelompok perlawanan Palestina.

    Dilansir PT, dia mengakui kalau pasukan Israel, setiap hari masuk perangkap Hamas.

    Perwira tersebut adalah Kapten Avihai Sorshan, perwira militer Israel, dari Brigade Givati, pasukan infanteri Israel.

    Pada Selasa (6/2/2024) Sorshan mengatakan kalau dalam pertempuran, Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas dan Brigade Al Quds, sayap militer PIJ, menghujani mereka dengan tembakan roket yang mematikan.

    “Roket-roket layaknya hujan deras menimpa kepala kami, oleh karena itu banyak tentara kami yang terbunuh, dan terluka,” katanya.

    Selain banyak yang terbunuh, tentara IDF juga banyak yang mengalami cacat seumur hidup karena serangan tersebut.

    “Banyak tentara di Brigade Givati, kehilangan kakinya, dan harus diamputasi, dan tidak ada yang bisa menghalangi neraka jahanam ini. Mereka kehilangan nyawanya demi para tawanan, dan kami setiap hari masuk perangkap Hamas.”

    Gadi Eisenkot, seorang anggota Knesset dan Kabinet Perang Israel mengumumkan, Israel, dalam proses pertukaran tawanan dengan Hamas, akan membayar biaya yang sangat besar, dan mengerikan.

    Tentara Israel membawa peti jenazah tentara IDF yang tewas di wilayah Al Quds, Palestina, pada 9 November 2023. (tangkap layar AP/Al-Mayadeen)

    Sementara itu, Juru bicara Angkatan Bersenjata Rezim Zionis, Daniel Hagari, mengatakan, baru-baru ini 31 tawanan Israel, terbunuh di Jalur Gaza per Februari 2024.

    Terkait hal ini, Hamas berulangkali mengumumkan, puluhan tawanan Israel, di Gaza, terbunuh karena serangan, dan pemboman pasukan IDF sendiri.

    Di sisi lain, Militer Israel, mengabarkan, Mayor David Shakori, Wakil Komandan Batalyon ke-601, Angkatan Bersenjata Israel, terbunuh dalam pertempuran di utara Jalur Gaza.

    Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Herzi Halevi, menghadiri upacara peletakan karangan bunga untuk memperingati Hari Peringatan Holocaust bagi enam juta orang Yahudi yang tewas dalam Perang Dunia II, di Monumen Holocaust Yad Vashem di Yerusalem pada 6 Mei 2024. (AMIR COHEN / POOL / AFP)

    Israel Gagal Capai Target Perang

    Pengumuman IDF tentang kerugian yang dialami Brigade Givati datang setelah pengakuan Kepala IDF saat itu, Letnan Jenderal Herzi Halevi atas kegagalan lainnya militer Israel di Perang Gaza.

    Halevi yang sudah mengundurkan diri, mengatakan mereka belum mencapai semua tujuan militernya di Gaza.

    “Tujuan perang belum semuanya tercapai. Militer akan terus berjuang untuk lebih menghancurkan Hamas dan kemampuan pemerintahannya, memastikan kembalinya para sandera dan memungkinkan warga Israel yang mengungsi untuk kembali ke rumah,” katanya dalam surat pengunduran dirinya.

    Dalam surat pengunduran dirinya yang dirilis oleh militer, Halevi mengatakan kalau dia mengundurkan diri, “Karena pengakuan saya atas tanggung jawab atas kegagalan (militer) pada tanggal 7 Oktober.”

    Pemimpin oposisi “Israel” Yair Lapid memuji Halevi karena mengundurkan diri dan meminta Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melakukan hal yang sama.

    “Sekarang, saatnya bagi mereka untuk bertanggung jawab dan mengundurkan diri — perdana menteri dan seluruh pemerintahannya yang membawa bencana,” katanya.

    Mayor Jenderal Yaron Finkelman, kepala komando militer selatan Israel, yang bertanggung jawab atas Gaza, juga mengundurkan diri.

    Herzi Halevi meminta untuk meninggalkan jabatannya pada tanggal 6 Maret, dengan mengatakan, “Sampai saat itu, saya akan menyelesaikan penyelidikan atas peristiwa tanggal 7 Oktober dan memperkuat kesiapan (militer)”.

     

    (oln/khbrn/pt/*)

     

  • Menhan Israel Perintahkan IDF Siapkan Rencana Pemindahan Warga Palestina dari Gaza – Halaman all

    Menhan Israel Perintahkan IDF Siapkan Rencana Pemindahan Warga Palestina dari Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Pertahanan Israel Katz memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk menyiapkan rencana yang memungkinkan warga Palestina meninggalkan Jalur Gaza “secara sukarela”.

    Perintah itu disampaikan Katz pada hari Kamis, (6/5/2025) atau dua hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengungkapkan rencana pemindahan warga Gaza.

    “Saya menyambut baik rencana berani Presiden Trump itu, yang memungkinkan banyak penduduk Gaza untuk meninggalkan tempat itu dan pergi ke berbagai tempat di seluruh dunia,” katanya dikutip dari media Israel Yedioth Ahronoth.

    “Saya telah memerintahkan IDF untuk menyiapkan rencana yang akan memungkinkan setiap penduduk Gaza yang tertarik pindah untuk pergi ke tempat mana pun di dunia ini yang bersedia menerima mereka.”

    Satuan Penanganan Terorisme di Kementerian Pertahanan Israel diduga akan mengurus hal ini. Namun, Katz mengarahkan perhatiannya kepada IDF.

    Katz meminta IDF untuk menyiapkan opsi pintu keluar bagi warga Gaza dari darat, laut, dan udara.

    Dia juga merinci daftar negara yang menurut dia harus mengizinkan masuknya warga Gaza.

    “Negara-negara seperti Spanyol, Irlandia, Norwegia, dan lainnya yang sudah membuat tudingan palsu dan rencana jahat terhadap Israel karena aktivitasnya di Gaza, secara hukum diwajibkan untuk mengizinkan setiap warga Gaza memasuki wilayahnya, dan kemunafikan mereka akan terungkap jika mereka menolaknya,” ujar Katz.

    “Ada negara-negara seperti Kanada yang punya program imigrasi teregulasi dan sudah mengungkapkan keinginan untuk menerima penduduk Gaza. Warga Gaza harus diizinkan menikmati kebebasan untuk pergi, dan imigrasi seperti ini lazim di mana pun di seluruh dunia.”

    Menurut Katz, usulan Trump bisa memunculkan banyak kemungkinan mengenai pindahnya warga Gaza secara sukarela. Di samping itu, usulan tersebut akan memungkinkan percepatan rencana pembangunan kembali Gaza.

    SALING MEMUJI – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu saling memuji saat bertemu di Gedung Putih, Washington DC, AS, Rabu (5/2/2025). (Khaberni)

    Sosok di balik rencana pemindahan warga Gaza

    Trump disebut bukan inisiator rencana pemindahan paksa warga  Gaza dan penguasaan tanah Palestina itu oleh AS.

    Dilaporkan bahwa inisiator itu ialah Jared Kushner, menantu Trump sekaligus penasihat senior Gedung Putih.

    Kushner pernah menjadi utusan tidak resmi Trump untuk urusan Timur Tengah. Dia juga bertanggung jawab atas rencana perdamaian di kawasan itu.

    Narasumber yang didapatkan Puck News mengklaim Kushner terlibat perumusan pernyataan Trump tentang rencana masa depan Gaza. Pernyataan disampaikan hari Selasa, (4/2/2025), di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

    Puck menyebut Netanyahu sebelumnya tidak pernah meminta Trump untuk menerapkan rencana seperti itu.

    Adapun ide pemindahan warga Gaza sudah pernah diungkapkan oleh Kushner dalam pidatonya pada bulan Februari 2024 lalu di Universitas Harvard.

    “Properti di tepi laut Gaza, itu bisa sangat bernilai jika orang-orang berfokus membangun mata pencaharian,” kata Kushner dikutip dari The Times of Israel yang mengutip Puck News.

    “Situasi di sana agak kurang menguntungkan, tetapi saya pikir dari sudut pandang Israel, saya akan berusaha yang terbaik untuk memindahkan orang-orang dari sana dan kemudian membersihkannya.”

    “Tetapi, saya tidak berpikir Israel telah mengatakan mereka tidak menginginkan orang-orang itu kembali ke sana setelahnya.”

    Kushner menyarankan warga Gaza dievakuasi ke dua tempat, yakni di Mesir dan Gurun Negev di Israel.

    “Saya hanya perlu mendorong buldoser ke Negev, berupaya memindahkan orang-orang ke sana.”

    “Saya tahu hal itu tak akan banyak disukai, tetapi itu adalah opsi yang lebih baik sehingga kita bisa masuk dan merampungkan pekerjaan.”

    (*)

  • Mantan Bos Intelijen Arab Saudi Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza    
        Mantan Bos Intelijen Arab Saudi Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza

    Mantan Bos Intelijen Arab Saudi Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza Mantan Bos Intelijen Arab Saudi Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza

    Riyadh

    Mantan kepala intelijen Arab Saudi, Pangeran Turki Al-Faisal, mengecam Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump atas rencananya mengambil alih Jalur Gaza. Pangeran Turki menyebut rencana Trump itu sebagai bentuk pembersihan etnis.

    “Apa yang terlontar dari Tuan Trump tidak dapat dicerna. Saya dengan hormat menolak untuk menambahkan komentar-komentar yang lebih tidak sopan untuk hal tersebut, namun merupakan khayalan jika berpikir bahwa pembersihan etnis pada abad ke-21 dapat dimaafkan oleh komunitas dunia yang tetap berada di belakangnya dan tidak menanggapi hal tersebut,” kata Pangeran Turki kepada media terkemuka CNN, seperti dilansir Al Arabiya, Kamis (6/2/2025).

    Trump, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa (4/2), secara mengejutkan mencetuskan AS “akan mengambil alih” dan “memiliki” Jalur Gaza, kemudian mengembangkannya secara ekonomi, setelah merelokasi warga Gaza ke negara-negara lainnya.

    Dia bahkan menyebut relokasi warga Gaza itu akan dilakukan “secara permanen”. Hal ini melampaui gagasan sebelumnya yang telah ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin negara Arab.

    Rencana itu menuai penolakan dari para pemimpin negara Arab dan pemimpin dunia, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan soal “pembersihan etnis” di wilayah Palestina.

    Pangeran Turki yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Saudi untuk AS ini mengatakan bahwa masalah di Palestina bukanlah pada orang Palestina. “Ini adalah masalah pendudukan Israel, dan hal ini sudah jelas dan dipahami oleh semua orang,” tegasnya.

    Meskipun AS dan Israel telah menyatakan harapan untuk normalisasi antara Riyadh dan Tel Aviv, Saudi berulang kali menekankan pendiriannya bahwa tidak akan ada normalisasi tanpa terbentuknya negara Palestina yang berdasarkan perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

    Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

    AS mengadopsi posisi serupa selama beberapa dekade, hingga pernyataan kontroversial disampaikan Trump.

    “Semua hal ini adalah kebijakan Amerika hingga kata-kata terbaru yang dipilih Tuan Trump dalam mengklaim bahwa dia ingin memperbaiki keadaan, padahal hal itu justru akan mengubah keadaan menjadi lebih banyak konflik dan pertumpahan darah,” ucap Pangeran Turki dalam pernyataannya.

    Trump mengatakan dirinya bersedia mengunjungi Riyadh dalam kunjungan luar negeri pertama pada masa jabatan keduanya ini, jika Saudi menginvestasikan sejumlah uang di AS. Saudi disebut menjanjikan jumlah yang lebih tinggi dari yang diinginkan Presiden AS itu.

    “Jika dia benar-benar datang (ke Saudi), dia akan mendapatkan banyak wejangan dari para pemimpin di sini tentang ketidakbijaksanaan dari apa yang dia usulkan dan ketidakadilan yang benar-benar nyata dan sepenuhnya ditempatkan dalam proposal pembersihan etnis tidak hanya di Gaza, tetapi juga apa yang terjadi di Tepi Barat,” ujar Pangeran Turki.

    Ketika ditanya soal apa yang terjadi selanjutnya, Pangeran Turki mengantisipasi tindakan kolektif dari dunia Arab dan Muslim, bersama Eropa dan negara-negara lainnya yang meyakini solusi dua negara, dalam forum PBB. Meskipun adanya hak veto AS kemungkinan besar tidak memungkinkan resolusi apa pun disetujui.

    “Meskipun demikian, ini akan menunjukkan bahwa dunia menentang rencana pembersihan etnis gila yang diusulkan oleh Presiden Amerika,” ucapnya.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Nasib Apes Tentara Israel: Crane Tiba-Tiba Ambruk di Gaza, 2 Tentara Tewas, 8 Terluka – Halaman all

    Nasib Apes Tentara Israel: Crane Tiba-Tiba Ambruk di Gaza, 2 Tentara Tewas, 8 Terluka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Israel mengatakan dua tentara Israel di Jalur Gaza tewas karena sebuah crane atau derek ambruk Rabu malam, (5/2/2025).

    Kedua tentara itu adalah Sersan Nadav Cohen (21) yang berasal dari Beit Hanan dan Staf Sersan Refael Ben Ami (20) dari Eilat. Dua orang itu sama-sama bertugas di Batalion Ke-51 Brigade Golan.

    Ambruknya crane itu juga menyebabkan delapan tentara Israel terluka. Salah satunya dalam kondisi parah.

    Militer Israel menyebut peristiwa itu terjadi tengah malam di dekat perbatasan Israel-Gaza.

    Menurut hasil penyelidikan awal IDF, crane yang dioperasikan tentara Israel itu ambruk karena angin kencang pada malam hari. Crane menimpa tenda yang berisi para tentara.

    Sebelum ambruk, crane itu disebut menahan platform yang berisi peralatan pengintaian dan antena. Piranti itu digunakan IDF untuk melakukan pengamatan saat perang.

    IDF sudah membuka penyelidikan tentang kecelakaan itu. IDF akan mencari alasan para tentara tidak mempertimbangkan situasi cuaca atau mengamankan crane itu.

    Sebelum crane ambruk, tidak ada tanda-tanda crane akan jatuh. Angin kencang selama beberapa detik lalu membuat crane itu ambruk di dekat pagar perbatasan di Kfar Aza.

    Setelah peristiwa itu, IDF meminta semua penggunaan crane dihentikan di area tersebut.

    Keluarga korban mengaku kecewa dan berkata seharusnya kecelakaan itu tidak terjadi.

    “Kami mengira segalanya telah dilalui, kemudian bencana ini muncul,” kata Amit Cohen, paman korban yang bernama Nadav.

    “Itu sangat mengerikan, mengerikan,” katanya.

    Informasi resmi dari Israel menyebutkan jumlah tentara Israel yang tewas selama perang di Gaza mencapai 410 orang.

    Adapun saat ini Israel dan Hamas memberlakukan gencatan senjata. Israel secara perlahan akan menarik pasukannya dari tanah Palestina itu.

    (*)

  • Pemimpin Oposisi Australia Sebut Rencana AS Ambil Alih Gaza Taktik Negosiasi    
        Pemimpin Oposisi Australia Sebut Rencana AS Ambil Alih Gaza Taktik Negosiasi

    Pemimpin Oposisi Australia Sebut Rencana AS Ambil Alih Gaza Taktik Negosiasi Pemimpin Oposisi Australia Sebut Rencana AS Ambil Alih Gaza Taktik Negosiasi

    Canberra

    Pemimpin oposisi Australia, Peter Dutton, menilai rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza hanyalah “taktik negosiasi”. Dutton memuji Trump sebagai “pemikir besar” dan “pembuat kesepakatan” ulung.

    Pernyataan Dutton ini disampaikan saat Perdana Menteri (PM) Australia, Anthony Albanese, menolak untuk berkomentar langsung terhadap rencana kontroversial Trump, dan hanya menegaskan kembali soal komitmen Canberra untuk solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina.

    Dutton yang mantan Menteri Pertahanan dan mantan Menteri Dalam Negeri Australia ini, dalam wawancara dengan radio 2GB seperti dilansir The Guardian, Kamis (6/2/2025), tidak secara tegas menentang pernyataan kontroversial Trump, dan justru terkesan mendukung pernyataan itu.

    Dia menyebut pernyataan Trump yang menghasut itu bisa menjadi taktik negosiasi untuk membuat negara-negara lainnya di kawasan Timur Tengah untuk “mengambil tindakan” dan membantu membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat pengeboman Israel.

    “Dia ingin negara-negara lainnya di kawasan itu mengambil tindakan dan mengambil tanggung jawab, seperti yang dia lakukan dengan NATO di Eropa,” kata Dutton dalam pernyataannya.

    “Dia seorang pemikir besar dan pembuat kesepakatan. Dia tidak menjadi Presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya hanya karena dia lihai. Anda telah melihatnya dalam kehidupan bisnisnya, dan seni membuat kesepakatan sangat penting baginya,” sebutnya memuji Trump.

    “Saya pikir ada keinginan untuk perdamaian di sini dari setiap orang yang berakal sehat, dan mudah-mudahan hal itu dapat tercapai,” ucapnya.

    Menurut Dutton, pernyataan Trump itu membawa “keseriusan” di panggung internasional.

    Dia juga mengatakan bahwa “sangat masuk akal jika Trump mencoba memanfaatkan negara-negara tetangga” di kawasan Timur Tengah untuk berkontribusi pada upaya rekonstruksi Gaza.

    “Orang-orang yang menolak Presiden Trump dan mengatakan bahwa dia tidak serius, atau komentar menghina apa pun yang ingin mereka katakan, menurut saya hal itu bertentangan dengan realitas keseriusan yang dibawa Trump ke dalam situasi ini, kekuatan Amerika Serikat yang bekerja sama dengan sekutu seperti Israel dan Yordania dan Mesir dan negara-negara lainnya yang, menurut penilaiannya, harus berkontribusi dalam pembangunan kembali kawasan ini,” kata Dutton.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Iran Tolak Mentah-mentah Rencana Trump Ambil Alih Gaza    
        Iran Tolak Mentah-mentah Rencana Trump Ambil Alih Gaza

    Iran Tolak Mentah-mentah Rencana Trump Ambil Alih Gaza Iran Tolak Mentah-mentah Rencana Trump Ambil Alih Gaza

    Teheran

    Iran menolak apa yang disebutnya sebagai rencana “mengejutkan” yang dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza. Teheran menyebut rencana itu sama saja “memindahkan secara paksa” warga Palestina dari wilayah pesisir tersebut.

    “Rencana untuk membersihkan Gaza dan memindahkan secara paksa rakyat Palestina ke negara-negara tetangga dianggap sebagai kelanjutan dari rencana yang ditargetkan rezim Zionis (Israel-red) untuk sepenuhnya memusnahkan bangsa Palestina, dan ditolak mentah-mentah dan dikutuk,” tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baqaei, seperti dilansir AFP, Kamis (6/2/2025).

    Rencana kontroversial itu diumumkan Trump dalam konferensi pers dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa (4/2) waktu setempat.

    Trump tidak hanya mengatakan bahwa AS “akan mengambil alih” Jalur Gaza, tapi juga akan “memilikinya” dan mengembangkannya secara ekonomi, setelah merelokasi warga Palestina yang ada di sana ke negara-negara lainnya. Dia bahkan menyebut relokasi warga Gaza itu akan dilakukan “secara permanen”.

    Hal ini melampaui gagasan sebelumnya yang telah ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin negara Arab.

    Rencana itu menuai penolakan dari para pemimpin negara Arab dan pemimpin dunia, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan soal “pembersihan etnis” di wilayah Palestina.

    Gedung Putih tampak berupaya meredakan kehebohan dan penolakan global yang muncul, dengan Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menarik kembali pernyataan Trump soal warga Gaza akan direlokasi secara permanen. Dia mengatakan bahwa warga Gaza harus “direlokasi sementara” untuk proses pembangunan kembali.

    Pernyataan serupa juga disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio yang menegaskan bahwa gagasannya adalah warga Gaza meninggalkan wilayah itu untuk periode “sementara” selama rekonstruksi dan pembersihan puing berlangsung.

    Baqaei menggambarkan rencana Trump sebagai “serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap prinsip-prinsip dasar dan landasan hukum internasional dan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.

    Dia kemudian menyerukan komunitas internasional untuk mengakui “hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan membebaskan mereka dari… pendudukan dan apartheid”.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Sekjen PBB, Antonio Guterres Peringatkan Donald Trump untuk Menghindari Pembersihan Etnis di Gaza – Halaman all

    Sekjen PBB, Antonio Guterres Peringatkan Donald Trump untuk Menghindari Pembersihan Etnis di Gaza – Halaman all

    Sekjen PBB Peringatkan Donald Trump untuk Menghindari Pembersihan Etnis di Gaza, Jangan Perburuk Masalah

    TRIBUNNEWS.COM- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan kepada Presiden Donald Trump pada hari Rabu untuk menghindari pembersihan etnis di Gaza.

    Setelah pemimpin AS tersebut mengusulkan agar warga Palestina diusir dan Amerika Serikat mengambil alih daerah kantong yang dilanda perang tersebut.

    “Dalam mencari solusi, kita tidak boleh memperburuk masalah. Sangat penting untuk tetap setia pada dasar hukum internasional. Sangat penting untuk menghindari segala bentuk pembersihan etnis,” kata Guterres dalam pertemuan komite PBB yang telah direncanakan sebelumnya.

    “Kita harus menegaskan kembali solusi dua negara,” katanya.

    Sekretaris Jenderal PBB mengatakan solusi tidak boleh “memperburuk masalah” saat ia menanggapi usulan Presiden AS Donald Trump untuk menduduki Gaza.

    Meskipun Guterres tidak menyebutkan Trump atau usulannya mengenai Gaza selama pidatonya di hadapan Komite tentang Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina, juru bicaranya Stephane Dujarric mengatakan kepada wartawan sebelumnya bahwa akan menjadi “asumsi yang adil” untuk memandang pernyataan Guterres sebagai sebuah tanggapan.

    Sebelumnya pada hari Rabu Guterres juga berbicara dengan Raja Yordania Abdullah tentang situasi di kawasan itu, kata Dujarric.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa telah lama mendukung visi dua negara yang hidup berdampingan dalam batas-batas yang aman dan diakui. 

    Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, semua wilayah yang diduduki secara ilegal oleh Israel sejak 1967.

    “Setiap perdamaian yang langgeng akan memerlukan kemajuan yang nyata, tidak dapat diubah, dan permanen menuju solusi dua negara, diakhirinya pendudukan, dan didirikannya negara Palestina yang merdeka, dengan Gaza sebagai bagian integralnya,” kata Guterres.

    “Negara Palestina yang layak dan berdaulat, yang hidup berdampingan secara damai dan aman dengan Israel adalah satu-satunya solusi berkelanjutan bagi stabilitas Timur Tengah,” katanya.

    Israel menarik tentara dan pemukim dari Gaza pada tahun 2005. 

    Wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hamas sejak tahun 2007 tetapi masih dianggap berada di bawah pendudukan Israel oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Israel dan Mesir mengendalikan akses.

     

    SUMBER: THE NEW ARAB

     

  • Trump Ingin Ambil Alih Gaza, Bisakah Dia Melakukannya?

    Trump Ingin Ambil Alih Gaza, Bisakah Dia Melakukannya?

    Washington DC

    Perkataan Presiden Donald Trump bahwa Amerika Serikat dapat “mengambil alih” dan “memiliki” Gaza sekaligus menempatkan penduduknya di tempat lain menuai kecaman dari berbagai pihak.

    Komentar Trump muncul saat gencatan senjata sedang berlangsung antara Hamas dan Israel serta di tengah kebimbangan tentang masa depan Gaza.

    PBB memperkirakan sekitar dua pertiga bangunan di Jalur Gaza telah hancur atau rusak setelah 15 bulan pertempuran.

    Usulan Trump dapat menandakan perubahan terbesar dalam kebijakan AS di Timur Tengah selama beberapa dekade.

    Jika benar-benar terwujud, perubahan itu bakal menjungkirbalikkan konsensus internasional tentang perlunya negara Palestina terdiri dari Gaza dan Tepi Barat yang hidup berdampingan dengan Israel.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan perkataan Trump itu “layak diperhatikan”.

    Di sisi lain, wacana tersebut ditolak mentah-mentah oleh negara-negara Arab, Indonesia, dan beberapa sekutu AS.

    Mengapa Trump melontarkan wacana pengambilalihan Gaza?

    Donald Trump benar tentang satu hal, yaitu diplomasi AS terhadap Israel dan Palestina selama puluhan tahun gagal menyelesaikan konflik.

    Berbagai proposal perdamaian dan presiden telah datang dan pergi tetapi masalah di wilayah itu justru memburuk.

    Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang kemudian memicu pertikaian di Gaza adalah contohnya.

    Trump, yang menghasilkan jutaan dolar sebagai pengembang property, membuat pengamatan valid: jika Gaza akan dibangun kembali bahkan di beberapa lokasi harus dibangun dari awal tidak masuk akal bagi ratusan ribu warga sipil menghuni di antara reruntuhan.

    Pembangunan ulang Gaza akan sangat monumental. Amunisi yang tidak meledak dan tumpukan puing harus disingkirkan.

    Saluran air dan listrik harus diperbaiki. Sekolah, rumah sakit, dan toko perlu dibangun kembali.

    BBC

    Utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengatakan bahwa proses pembangunan bisa memakan waktu bertahun-tahun dan selagi pembangunan berlanjut, warga Palestina harus pergi ke suatu tempat.

    Namun, alih-alih mencari cara agar warga Jalur Gaza tetap tinggal di dekat rumah mereka, yang kemungkinan besar di kamp-kamp di bagian tengah dan selatan Jalur Gaza, Trump mengatakan mereka harus didorong untuk pergi secara permanen.

    Trump percaya bahwa tanpa kehadiran mereka, “Riviera Timur Tengah” milik Amerika yang indah akan bangkit dari abu sehingga bisa menyediakan ribuan pekerjaan, peluang investasi, dan tempat bagi “masyarakat dunia untuk hidup”.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Usulan Trump ditolak berbagai pihak, termasuk Indonesia.

    Dalam pernyataannya melalui media sosial X, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan “Indonesia dengan tegas menolak segala upaya untuk secara paksa merelokasi warga Palestina atau mengubah komposisi demografis Wilayah Pendudukan Palestina.”

    Tindakan itu, menurut Kemlu RI, “akan menghambat terwujudnya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan oleh Solusi Dua Negara berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”

    Mengapa komentar Trump begitu kontroversial?

    Bagi seorang presiden yang menghabiskan sebagian besar masa jabatan pertamanya berupaya mengubah kebijakan AS di Timur Tengah termasuk memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki usulan mengambil alih Jalur Gaza tergolong mengejutkan.

    Tidak pernah ada presiden AS yang pernah berpikir bahwa menyelesaikan konflik Israel-Palestina akan melibatkan pengambilalihan sebagian wilayah Palestina dan pengusiran penduduknya.

    Pengusiran paksa penduduk Jalur Gaza tergolong pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

    Beberapa warga Palestina kemungkinan akan memilih untuk meninggalkan Gaza dan membangun kembali kehidupan mereka di tempat lain. Sejak Oktober 2023, sebanyak 150.000 orang telah melakukannya.

    Tetapi sebagian lainnya tidak dapat atau tidak mau, baik karena mereka tidak memiliki sarana keuangan untuk melakukannya atau karena keterikatan mereka dengan Gaza yang merupakan bagian dari tanah yang mereka sebut Palestina.

    PBB memperkirakan dua pertiga dari seluruh bangunan di Gaza telah hancur atau rusak parah (Reuters)

    Banyak warga Gaza adalah keturunan orang-orang yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka saat pembentukan negara Israel pada 1948periode yang disebut warga Palestina dengan istilah Nakba, kata dalam bahasa Arab yang berarti malapetaka.

    Bagi warga Palestina yang memimpikan punya negara sendiri, kehilangan sebagian wilayahnya akan terasa seperti amputasi. Apalagi Gaza telah terpisah secara fisik dari Tepi Barat sejak 1948.

    Putaran negosiasi sebelumnya, serta “Visi Perdamaian” Trump tahun 2020, mencakup rencana pembuatan terowongan atau rel kereta api yang dapat menghubungkan kedua wilayah.

    Kini, Trump justru memberi tahu warga Palestina untuk menyerahkan Gaza untuk selamanya.

    Walau Trump tidak secara eksplisit mendorong deportasi paksa warga sipil yang bertentangan dengan hukum internasional Trump jelas menganjurkan warga Palestina untuk pergi.

    Pejabat Palestina telah menuduh Israel memblokir pasokan dari puluhan ribu karavan yang dapat membantu warga Gaza untuk tetap tinggal di wilayah yang tidak terlalu rusak selagi pembangunan berlangsung.

    Negara-negara Arab, yang menurut Trump harus menerima sebanyak 1,8 juta pengungsi Gaza, terutama Mesir dan Yordania, telah menyatakan kemarahannya.

    Keduanya memiliki cukup banyak masalah tanpa beban tambahan ini.

    Bagaimana status Gaza?

    Gaza diduduki oleh Mesir selama 19 tahun. Israel kemudian merebutnya dalam Perang Enam Hari tahun 1967.

    Berdasarkan hukum internasional, Gaza masih dianggap diduduki oleh Israel. Namun, anggapan itu dibantah Israel. Negara itu berkilah bahwa pendudukan di Gaza berakhir pada 2005, ketika Israel secara sepihak membongkar permukiman Yahudi dan menarik militernya.

    Sekitar tiga perempat anggota PBB mengakui Gaza sebagai bagian dari negara berdaulat Palestina, meskipun AS tidak.

    BBC

    Terputus dari dunia luar oleh tembok dan blokade maritim Israel, Gaza tidak pernah terasa seperti tempat yang benar-benar merdeka.

    Tidak ada seorang pun yang bergerak masuk atau keluar Gaza tanpa izin Israel. Bandara internasional yang dibuka di tengah keriuhan pada 1998 dihancurkan oleh Israel pada 2001 selama pemberontakan Palestina kedua.

    Israel dan Mesir memberlakukan blokade terhadap Gaza dengan alasan keamanan setelah Hamas memenangkan pemilihan Palestina pada 2006. Hamas mengusir para rival politiknya dari wilayah tersebut setelah pertempuran sengit tahun berikutnya.

    Hingga saat ini warga Palestina menganggap Gaza sebagai penjara terbuka.

    Dapatkah Trump mengambil alih Gaza jika dia menginginkannya?

    AS tidak memiliki dalih hukum untuk mengklaim Jalur Gaza dan sama sekali tidak jelas bagaimana Trump memakai kekuatan Amerika Serikat untuk mengambil alih wilayah tersebut.

    Seperti klaimnya tentang Greenland atau Terusan Panama, belum jelas apakah Trump memang bersungguh-sungguh atau apakah komentar tersebut merupakan posisi tawar yang mengada-ada menjelang serangkaian negosiasi tentang masa depan Gaza.

    Berbagai rencana telah dibahas untuk membentuk pemerintahan di Gaza pascaperang.

    Pada bulan Desember, dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, sepakat membentuk komite gabungan untuk menciptakan pemerintahan bersatu. Namun, sejauh ini kesepakatan tersebut tidak membuahkan hasil.

    Di waktu lain, diskusi difokuskan pada pembentukan pasukan penjaga perdamaian internasional, yang mungkin terdiri dari pasukan negara-negara Arab.

    Trump melontarkan wacana soal pengambilalihan Gaza dalam jumpa pers di Washington, pada Selasa (04/02) (EPA)

    Bulan lalu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa Uni Emirat Arab, AS, dan Israel telah membahas pembentukan pemerintahan sementara di Gaza sampai Otoritas Palestina (PA) yang menguasai sebagian wilayah Tepi Barat siap mengambil alih.

    Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka menegaskan bahwa PA tidak akan memiliki peran dalam mengelola Gaza pascaperang.

    Apakah Trump hendak mengerahkan militer AS?

    Pasukan AS sejatinya sudah ada di lapangan. Sebuah perusahaan keamanan AS telah mempekerjakan sekitar 100 mantan pasukan khusus AS untuk menjaga pos pemeriksaan di selatan Kota Gaza. Mereka bertugas memeriksa kendaraan warga Palestina yang kembali ke bagian utara Gaza.

    Personel keamanan Mesir juga terlihat di pos pemeriksaan yang sama.

    Ini bisa menjadi tanda-tanda awal perluasan kehadiran pasukan internasional yang mungkin dipimpin ASdi Gaza.

    Meski demikian, itu bukanlah pengambilalihan AS sebab langkah tersebut membutuhkan intervensi militer skala besar di Timur Tengah sesuatu yang menurut Trump akan dia hindari.

    Apakah wacana Trump bisa berdampak pada gencatan senjata Israel-Hamas?

    Negosiasi tahap kedua dari gencatan senjata dua minggu antara Israel dan Hamas baru saja dimulai, tetapi sulit untuk melihat bagaimana pernyataan mengejutkan Trump akan membantu perwujudan gencatan tersebut.

    Jika Hamas merasa hasil akhir dari seluruh proses ini adalah Gaza yang tidak berpenghuni tidak hanya tanpa Hamas, tetapi juga semua warga Palestina Hamas mungkin menyimpulkan tidak ada yang perlu dibicarakan dan menahan para sandera Israel yang tersisa.

    Para pengkritik Netanyahu menuduh sang perdana menteri mencari alasan untuk menggagalkan negosiasi dan melanjutkan perang. Mereka pasti akan menyimpulkan bahwa, dengan melontarkan komentar-komentar ini, Trump sengaja membantu Netanyahu.

    Di sisi lain, pendukung sayap kanan Netanyahu mengaku puas dengan rencana pengambilalihan Gaza oleh AS. Sebab langkah itu berpotensi mengurangi risiko pengunduran diri kabinet dan membuat masa depan politik Netanyahu tampak lebih terjamin.

    Dalam hal itu, Trump telah memberi Netanyahu insentif yang kuat untuk mempertahankan gencatan senjata.

    Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata, namun pasukan Israel belum sepenuhnya ditarik dari Gaza (Reuters)

    Apa yang Trump katakan soal Tepi Barat?

    Ketika Trump ditanya apakah dia setuju AS harus mengakui kedaulatan Israel atas Tepi Barat, Trump mengatakan dia belum mengambil sikap. Menurutnya, keputusan akan diumumkan dalam waktu empat minggu.

    Pernyataan itu telah membuat warga Palestina khawatir. Sebab, Trump bisa saja mematikan rencana pendirian negara Palestina yang berdampingan dengan Israel.

    Mengakui legitimasi permukiman Israel di Tepi Barat juga akan menjadi keputusan yang sangat penting.

    Sebagian besar khalayak paham bahwa permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, meskipun Israel membantahnya.

    Selama putaran perundingan perdamaian sebelumnya, para negosiator mengakui bahwa Israel akan dapat mempertahankan blok permukiman besar sebagai bagian dari perjanjian akhir, mungkin dengan imbalan sebagian kecil wilayah Israel.

    Pada tahun 2020, Trump menjadi perantara Perjanjian Abraham, yang mengamankan normalisasi hubungan bersejarah antara Israel dan dua negara Arab, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.

    UEA menandatangani perjanjian tersebut dengan kesepahaman bahwa Israel tidak akan mencaplok wilayah Tepi Barat. Namun, kesepahaman ini mungkin sedang terancam.

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Netanyahu Puji Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Gagasan Luar Biasa!    
        Netanyahu Puji Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Gagasan Luar Biasa!

    Netanyahu Puji Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Gagasan Luar Biasa! Netanyahu Puji Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Gagasan Luar Biasa!

    Washington DC

    Saat dunia menolak, pujian dilontarkan oleh Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu terhadap rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza setelah merelokasi warganya. Netanyahu mengatakan tidak ada yang salah dengan gagasan Trump tersebut.

    Pujian Netanyahu itu, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Kamis (6/2/2025), dilontarkan dalam wawancara dengan media terkemuka AS, Fox News, pada Rabu (5/2) waktu setempat.

    “Gagasan sebenarnya adalah mengizinkan warga Gaza yang ingin pergi untuk pergi. Maksud saya, apa yang salah dengan hal itu? Mereka bisa pergi, lalu mereka bisa kembali lagi, mereka bisa relokasi dan kembali lagi. Tapi Anda harus membangun kembali Gaza,” ucap Netanyahu dalam wawancara tersebut.

    “Itu adalah gagasan yang luar biasa dan saya pikir hal ini harus benar-benar diupayakan, dikaji, diupayakan dan dilakukan, karena menurut saya, hal ini akan menciptakan masa depan yang berbeda untuk semua orang,” ujarnya, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

    Rencana kontroversial untuk mengambil alih Gaza itu diumumkan Trump dalam konferensi pers bersama dengan Netanyahu yang berkunjung ke Gedung Putih pada Selasa (4/2) waktu setempat.

    Trump tidak hanya menyebut AS “akan mengambil alih” Jalur Gaza, tapi juga akan “memilikinya” dan mengembangkannya secara ekonomi, setelah merelokasi warga Palestina yang ada di sana ke negara-negara lainnya. Dia bahkan menyebut relokasi warga Gaza itu akan dilakukan “secara permanen”.

    Rencana Trump itu menghancurkan kebijakan AS sejak lama yang memegang teguh solusi dia negara sebagai satu-satunya solusi untuk konflik Israel-Palestina.

    Dalam konferensi pers pada Rabu (5/2), Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menarik kembali pernyataan Trump soal warga Gaza akan direlokasi secara permanen. Dia mengatakan bahwa warga Gaza harus “direlokasi sementara” untuk proses pembangunan kembali.

    Pernyataan serupa juga disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio yang menegaskan bahwa gagasannya adalah warga Gaza meninggalkan wilayah itu untuk periode “sementara” selama rekonstruksi dan pembersihan puing berlangsung.

    Tidak diketahui secara jelas apakah Trump akan melanjutkan gagasannya itu, atau sesuai dengan citranya sebagai pembuat kesepakatan yang cerdik, Trump hanya melontarkan langkah ekstrem itu sebagai taktik tawar-menawar.

    Masa jabatan pertama Trump, menurut para pengkritik, dipenuhi pernyataan kebijakan luar negeri yang berlebihan, dan banyak yang tidak pernah dilaksanakan.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu