Negara: Jalur Gaza

  • Tentara Israel Dijegal Krisis Parah Anggaran Perang Saat Bersiap Lanjutkan Agresi Militer di Gaza – Halaman all

    Tentara Israel Dijegal Krisis Parah Anggaran Perang Saat Bersiap Lanjutkan Agresi Militer di Gaza – Halaman all

    Tentara Israel Dijegal Krisis Keuangan Parah Saat Bersiap Lanjutkan Perang Gila-gilaan di Gaza

    TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeluarkan pernyataan terkait situasi kelanjutan negosiasi gencatan senjata di Gaza dengan Gerakan Hamas.

    Setelah melakukan rapat dengan kabinet perangnya, Rabu (12/2/2025), Netanyahu dan kabinet perangnya, merujuk laporan media Israel, akan mengikuti pernyataan Presiden Donald Trump.

    Trump menyebut, jika sandera Israel yang berada di tangan Hamas tidak dibebaskan pada Sabtu (15/2/2025), sesuai jadwal, maka akan tercipta ‘Hell on Earth’ di Gaza, merujuk pada penggunaan kekuatan militer kembali ke wilayah kantung Palestina tersebut.

    “Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kabinet Perangnya mematuhi pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai pembebasan semua tahanan yang tersisa Sabtu depan,” tulis laporan media Israel dikutip Khaberni, Rabu.

    Pihak Israel juga menilai, seruan Trump soal pengusiran warga Gaza ke lokasi lain, merupakan visi revolusioner.

    “Jika Hamas tidak membebaskan tentara kami yang diculik paling lambat Sabtu sore, gencatan senjata akan berakhir dan tentara akan kembali bertempur,” ancam Netanyahu.

    SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN – Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (8/2/2025), memperlihatkan tiga sandera Israel (kiri-kanan); Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, Or Levy, berdiri dengan masing-masing diapit oleh dua anggota Brigade Al-Qassam selama pertukaran tahanan ke-5 pada Sabtu (8/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza, dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Alasan Hamas Menunda Pembebasan Sandera Israel

    Gerakan pembebasan Palestina, Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan berikutnya sandera Israel yang dijadwalkan berlansung pada Sabtu (15/2/2025) pekan ini.

    Penundaan ini membuat gencatan senjata sementara yang terjadi makin rapuh. Terlebih, komentar-komentar terbuka Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump justru makin meriuhkan tensi saat Israel dan Hamas tengah gusar menanti langkah-langkah berikutnya.

    Pengumuman Hamas ini dilakukan Senin (10/2/2025), hanya beberapa hari sebelum jadwal pembebasan kelompok sandera berikutnya.

    Juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Obaida, dalam salah satu pernyataan resminya yang dirilis di Telegram kelompok tersebut, menyebut penundaan dilakukan karena Israel melakukan sejumlah pelanggaran mencolok dalam gencatan senjata.

    Dia menyatakan pengumumannya sebagai “peringatan” bagi Israel dan mengatakan kalau mereka memberi mediator perundingan “cukup waktu untuk menekan pendudukan (Israel) agar memenuhi kewajibannya (dalam gencatan senjata) “.

    Dikatakannya “pintu tetap terbuka” untuk rilis (pembebasan sandera Israel) terjadwal berikutnya yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu.

    Kelompok perlawanan Palestina tersebut tampaknya memberi waktu agar kebuntuan itu terselesaikan.

    Terjegal Krisis Keuangan Parah

    Ancaman Netanyahu yang mendapat dukungan Donald Trump plus sikap teguh Hamas, menjadi indikasi kuat kalau gencatan senjata segera berakhir dan Perang Gaza akan berlanjut.

    Hanya, Tentara Israel menghadapi krisis pendanaan yang parah yang dapat menghambat rencana memulai kembali perang di Gaza, menurut laporan di surat kabar Israel “The Marker”.

    “Meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk melenyapkan Hamas, anggaran negara tahun 2025 didasarkan pada asumsi kalau intensitas pertempuran akan mereda. Turunnya nilai anggaran ini dapat menyebabkan militer Israel menghadapi lubang keuangan besar jika perang kembali ke tingkat sebelum gencatan senjata,” kata laporan itu.

    Menurut harian bisnis Israel, anggaran pertahanan Israel untuk tahun 2025, setelah dikurangi bantuan AS, adalah sekitar NIS 107 miliar ($28,8 miliar setara Rp 471,3 Triliun), dengan tambahan NIS 10 miliar ($2,7 miliar) sebagai cadangan jika terjadi eskalasi perang.

    Akan tetapi, laporan surat kabar tersebut memperkirakan bahwa jumlah ini tidak cukup untuk menutupi pengeluaran militer jika perang melawan Hamas berlanjut dengan intensitas yang sama seperti awalnya.

    LARAS TANK MERKAVA – Foto tangkap layar Khaberni, Rabu (12/2/2025) menunjukkan pasukan Israel (IDF) menjejerkan posisi laras meriam tank Merkava dalam agresi militer di Gaza. Pasukan Israel dijegal krisis keuangan saat mereka berniat melanjutkan perang di Gaza karena potensi berakhirnya gencatan senjata dengan Hamas.

    Peningkatan Tajam Pengeluaran

    Diperkirakan, kembalinya terjadinya pertempuran intensif akan menyebabkan peningkatan tajam dalam pengeluaran militer.

    “Tingginya pengeluaran militer yang dapat memperburuk krisis ekonomi di Israel dan merugikan peringkat kreditnya, yang telah diturunkan selama perang, selain berdampak negatif pada investasi asing,” kata laporan itu.

    Untuk menggambarkan biaya perang, laporan surat kabar mengindikasikan kalau Israel menghabiskan sekitar 1,8 miliar shekel ($485 juta atau setara Rp 7,9 Triliun) per hari untuk pertempuran selama bulan-bulan pertama perang.

    “Namun pengeluaran ini turun menjadi hanya 300 juta shekel per hari ($81 juta) di bawah penerapan gencatan senjata,” kata laporan tersebut.

    Dalam konteks yang sama, agresi militer darat di Lebanon musim panas lalu menghabiskan biaya lebih dari 500 juta shekel per hari ($135 juta).

    “Data tambahan ini menunjukkan bahwa setiap eskalasi tambahan, baik di Gaza maupun di perbatasan Lebanon, akan meningkatkan beban keuangan secara signifikan,” tambah laporan tersebut.

    Biaya Prajurit Cadangan (Reserve Division)

    Laporan itu juga menunjukkan kalau salah satu faktor utama pendorong kenaikan pengeluaran militer adalah ketergantungan yang besar militer Israel (IDF) pada prajurit cadangan.

    Laporan tersebut menunjukkan, ketentaraan Israel saat ini memiliki sekitar 60.000 tentara cadangan, jumlah yang 10 kali lebih tinggi daripada jumlah sebelum perang.

    “IDF memperkirakan bahwa setiap eskalasi baru akan memerlukan pemeliharaan jumlah ini atau bahkan peningkatannya dengan tambahan 5.000 hingga 10.000 prajurit,” kata laporan tersebut.

    “Meskipun pemerintah berupaya meloloskan undang-undang baru yang memperpanjang masa dinas wajib menjadi 36 bulan, menunda persetujuannya di Knesset dapat memaksa tentara untuk memanggil lebih banyak cadangan, yang berarti biaya tambahan yang akan meningkatkan tekanan keuangan pada anggaran IDF,” tambah laporan tersebut.

    Sebagai catatan, prajurit cadangan (reserve division) IDF berasal dari warga sipil yang direkrut dalam kerangka wajib militer.

    Biaya pelatihan dan tunjangan bagi personel IDF di reserve division ini lebih tinggi dari prajurit yang berasal dari kedinasan.

    Lazimnya, prajurit cadangan akan ditempatkan di lapangan sebagai personel tempur baik di satuan infanteri maupun satuan teknis lain di lapangan.

    Sebaliknya, tentara Israel yang berada di jalur kedinasan cenderung di tempat di ‘back office’ sebagai administrator.

    Laporan tersebut memperkirakan anggaran pertahanan akan meningkat sekitar NIS 4 miliar ($1,08 miliar) untuk meningkatkan kemampuan (personel) angkatan darat, di samping tantangan lain yang ada. 

    “Sebuah komite yang dipimpin oleh Profesor Yaakov Nagel telah merekomendasikan peningkatan jumlah tersebut menjadi NIS 6 miliar ($1,62 miliar), tetapi Kementerian Keuangan Israel menentang hal ini, dan peningkatan yang lebih moderat disetujui,” papar laporan tersebut.

    “Selain peningkatan ini, tambahan NIS 3 miliar ($810 juta) akan dialokasikan untuk membiayai kontrak militer di masa mendatang, meskipun pengeluaran aktual untuk kontrak tersebut akan dilakukan pada tahun-tahun mendatang dan bukan pada tahun 2025,” sebut laporan tersebut.

    Penundaan Bantuan AS

    Laporan tersebut menyoroti tantangan keamanan yang sedang dihadapi Israel di perbatasan dengan Yordania.

    “Itulah sebabnya Israel mempertimbangkan untuk mempercepat pembangunan penghalang perbatasan timur dengan Yordania dengan total biaya yang diperkirakan sekitar 5,2 miliar shekel ($1,4 miliar),” sebut laporan itu.

    Daripada menyebarkan pengeluaran untuk proyek tersebut selama satu dekade, perkiraan menunjukkan pemerintah dapat mengalokasikan setengah dari jumlah tersebut dalam anggaran 2025, yang menambah tekanan keuangan pada anggaran pertahanan.

    Di antara solusi yang sedang dipertimbangkan oleh lembaga keamanan Israel untuk mengatasi kekurangan dana adalah meningkatkan kemandirian Israel dalam produksi senjata.

    Menurut kesimpulan Komite Nagel, sekitar NIS 12 miliar ($3,24 miliar) akan dialokasikan untuk tujuan ini selama dekade berikutnya, sambil mempelajari kemungkinan membangun jalur produksi amunisi lokal alih-alih mengandalkan impor.

    Israel selama ini sangat bergantung pada bantuan AS untuk membiayai sebagian besar pengeluaran pertahanannya.

    Laporan tersebut mengatakan bahwa pada tahun 2024 Israel menerima $3,5 miliar dari $8,7 miliar bantuan darurat yang dialokasikan oleh Amerika Serikat untuk mendukung operasi militernya, dengan mencatat, “Keterlambatan pencairan $5,2 miliar dari bantuan ini meningkatkan defisit keuangan pemerintah Israel dan memaksanya untuk mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menyeimbangkan pengeluaran.”

    Hal ini juga mengungkap bahwa pemerintah Israel menerima $2 miliar dari tunggakan ini pada awal tahun 2025.

    Jumlah sisanya diharapkan akan ditransfer pada tahun 2026, tetapi penundaan ini berarti bahwa militer tidak akan dapat mengandalkan dana ini dalam waktu dekat.

    Laporan surat kabar tersebut menyimpulkan bahwa semua data keuangan ini akan menempatkan setiap keputusan untuk mengembalikan perang ke tingkat maksimum di Israel di hadapan tantangan keuangan yang besar, terutama dengan keterlambatan bantuan dan kenaikan biaya cadangan.

    “Defisit anggaran ini membuat pemerintah Israel kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tentara tanpa menyebabkan kerugian pada ekonomi Israel secara keseluruhan,” kata laporan tersebut.

     
     

     

  • Situasi Gaza Panas, Militer Israel Kerahkan Pasukan Tambahan Buntut Penundaan Pembebasan Sandera – Halaman all

    Situasi Gaza Panas, Militer Israel Kerahkan Pasukan Tambahan Buntut Penundaan Pembebasan Sandera – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Situasi di Gaza memanas, militer Israel mengumumkan siap mengerahkan pasukan tambahan ke Gaza buntut penundaan pembebasan sandera.

    Peningkatan kesiagaan ini melibatkan pengiriman pasukan tambahan, termasuk pasukan cadangan, sebagai bagian dari persiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan skenario, TASS melaporkan.

    Layanan pers Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengungkapkan perintah ini menyasar Komando Selatan, yang bertanggung jawab atas daerah berbatasan dengan Gaza. 

    Langkah ini diambil menyusul pidato Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

    Netanyahu mengancam akan melanjutkan pertempuran di Gaza, jika Hamas tidak membebaskan sekelompok sandera Israel paling lambat 15 Februari 2025, Suspilne melaporkan.

    Sebelumnya, pada Minggu (9/2/2025), Hamas mengumumkan mereka menunda pembebasan sandera yang dijadwalkan pada Sabtu (10/2/2025).

    Alasannya Hamas menemukan ada pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang dilakukan oleh Israel.

    Perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani antara Israel dan Hamas pada 15 Januari 2025 memiliki tiga tahap.

    Tahap pertama mencakup penghentian total pertempuran, penarikan pasukan Israel dari daerah padat penduduk Gaza, serta pembebasan sejumlah sandera.

    Penundaan pembebasan sandera oleh Hamas mengancam kelangsungan kesepakatan ini.

    Pada tahap kedua perjanjian, yang dijadwalkan akan dimulai setelah tahap pertama, diperkirakan akan melibatkan pembebasan lebih banyak sandera dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza.

    Sementara itu, tahap ketiga akan mencakup rekonstruksi Gaza yang hancur.

    Cuti Prajurit Dibatalkan

    Sebagai langkah antisipasi terhadap potensi kekacauan, IDF membatalkan cuti bagi prajurit yang tergabung dalam “Divisi Gaza” dan meningkatkan kewaspadaan di pasukan yang ditempatkan di sekitar Gaza.

    Sumber dari militer Israel mengatakan peningkatan kesiagaan ini tidak serta merta menunjukkan akan adanya tindakan militer besar-besaran, kecuali jika jelas terbukti bahwa Hamas tidak mematuhi perjanjian gencatan senjata.

    Pejabat militer menekankan bahwa mereka akan terus mengamati situasi dan bersiap untuk melanjutkan operasi jika diperlukan, Barrons melaporkan.

    Perjalanan Penuh Ketegangan

    Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan invasi ke wilayah Israel dari Jalur Gaza.

    Israel kemudian melancarkan serangkaian operasi militer, mengklaim sebagai upaya membasmi kelompok militan Hamas.

    Konflik antara keduanya menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan Gaza, memicu krisis kemanusiaan yang mendalam.

    Perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada Januari 2025 bertujuan untuk membawa perdamaian, namun pelaksanaan gencatan senjata ini terus terancam dengan adanya penundaan yang dilakukan oleh Hamas.

    Dalam pertempuran yang sudah merenggut lebih dari 48.000 nyawa, ketidakpastian masa depan membuat para pemimpin internasional semakin khawatir, Anadolu Ajansi melaporkan.

    Badan-badan internasional, seperti Pengadilan Kriminal Internasional, juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pejabat Israel atas dugaan kejahatan perang.

    Israel menghadapi tekanan besar untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, sementara Hamas tetap terlibat dalam negosiasi yang penuh ketegangan.

    Pada saat yang sama, situasi ini membawa tantangan besar bagi Yordania dan Mesir, negara-negara yang berbatasan dengan Gaza.

    Kedua negara ini menghindari menerima lebih banyak pengungsi Palestina dari Gaza, yang dapat memperburuk stabilitas politik dan sosial domestik mereka.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Israel Gempur Gaza, Targetkan Drone    
        Israel Gempur Gaza, Targetkan Drone

    Israel Gempur Gaza, Targetkan Drone Israel Gempur Gaza, Targetkan Drone

    Gaza City

    Militer Israel melancarkan serangan udara terbaru di wilayah Jalur Gaza pada Rabu (12/2) waktu setempat. Tel Aviv mengklaim gempurannya itu menargetkan dua orang yang berupaya mengambil drone yang masuk ke daerah kantong Palestina tersebut.

    Disebutkan oleh militer Israel dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Rabu (12/2/2025), bahwa drone itu terbang dari wilayah Israel dan menjadi target pesawat militer Israel di wilayah Jalur Gaza bagian selatan.

    “Baru-baru ini, beberapa upaya penyelundupan senjata ke Jalur Gaza menggunakan drone telah terdeteksi,” sebut militer Israel dalam pernyataannya.

    “IDF (Angkatan Bersenjata Israel) menyerang drone di Gaza bagian selatan, bersama dengan dua tersangka lainnya yang berusaha mengambilnya,” imbuh pernyataan itu.

    Tidak disebutkan lebih lanjut soal kondisi dua orang yang berupaya mengambil drone itu di dalam wilayah Jalur Gaza.

    Militer Israel sebelumnya mengatakan pihaknya menggagalkan upaya serupa untuk menyelundupkan senjata dengan drone. Pada Minggu (9/2) waktu setempat, Tel Aviv mengidentifikasi sebuah drone yang mengudara dari wilayah Mesir ke Israel.

    “Setelah pengejaran di area tersebut, penyelundupan senjata berhasil digagalkan oleh pasukan,” sebut militer Israel pada saat itu.

    Tidak diketahui secara jelas apakah serangan udara Israel pada Rabu (12/2) waktu setempat merupakan serangan pertama yang dilancarkan Tel Aviv di Jalur Gaza sejak gencatan senjata tahap pertama, yang berlangsung selama 42 hari, berlaku pada 19 Januari lalu.

    Israel dan Hamas menyetujui gencatan senjata setelah negosiasi yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS).

    Sejak gencatan senjata dimulai, kedua pihak telah melakukan lima kali pertukaran sandera-tahanan, dengan Hamas membebaskan 16 sandera Israel yang dibalas dengan pembebasan ratusan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel.

    Namun gencatan senjata Gaza semakin mendapat tekanan setelah Israel mengancam akan melanjutkan pertempuran jika Hamas tidak membebaskan lebih banyak sandera pada akhir pekan ini.

    Menanggapi ancaman itu, Hamas menegaskan kembali komitmennya terhadap gencatan senjata Gaza dan menuduh Israel telah melakukan pelanggaran.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Atas Inisiasi Iran, OKI Akan Gelar Rapat Darurat Terkait Rencana Trump untuk Relokasi Warga Gaza – Halaman all

    Atas Inisiasi Iran, OKI Akan Gelar Rapat Darurat Terkait Rencana Trump untuk Relokasi Warga Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dikabarkan akan mengadakan pertemuan darurat para menteri luar negeri untuk membahas rencana Presiden AS Donald Trump terkait pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza.

    Pertemuan ini diinisiasi oleh Iran sebagai respons diplomatik terhadap rencana tersebut.

    Mengutip PressTV, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan bahwa dirinya telah melakukan upaya diplomatik yang intens selama beberapa hari terakhir.

    Araghchi berdiskusi dengan para menteri luar negeri dari Arab Saudi, Mesir, Aljazair, Turki, Pakistan, Malaysia, dan Gambia, yang saat ini memegang jabatan sebagai presiden bergilir OKI.

    Dalam surat resmi kepada Sekretaris Jenderal OKI, Hissein Brahim Taha, Araghchi menekankan pentingnya mengadakan pertemuan guna membahas dan menghadapi upaya kolonial yang bertujuan untuk memindahkan paksa penduduk Palestina dari Jalur Gaza.

    Usulan Iran ini mendapatkan dukungan luas dari negara-negara anggota OKI.

    Waktu pasti pelaksanaan pertemuan tersebut belum diumumkan, tetapi pertemuan diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan, menurut seorang koresponden IRNA pada Rabu (12/2/2025) yang mengutip sumber dari Kementerian Luar Negeri Iran.

    Sebelumnya, Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah mengumumkan atau mendukung rencana eksodus paksa warga Gaza ke negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan bahkan Arab Saudi.

    Iran mendesak negara-negara Muslim untuk bersatu dan mengambil sikap kolektif terhadap tindakan ini.

    “Rencana pemindahan paksa ini adalah kelanjutan dari upaya kolonial untuk menghapus Palestina,” kata Araghchi, menekankan pentingnya tindakan internasional yang cepat dan tegas.

    Ia juga mengutuk upaya terang-terangan untuk menormalisasi genosida dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh rezim pendudukan.

    Araghchi lebih lanjut mengecam pernyataan Perdana Menteri Israel yang menyarankan “pembentukan negara Palestina di wilayah Saudi.”

    Ia menyebut pernyataan ini sebagai bentuk agresi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sebagai ancaman serius bagi perdamaian serta keamanan regional.

    Menegaskan kembali pentingnya tindakan kolektif, Araghchi mendorong OKI untuk mengambil langkah signifikan dalam menghadapi skema gabungan AS-Israel tersebut.

    “Masyarakat internasional, khususnya negara-negara regional dan Islam, harus segera mengambil langkah-langkah mendesak untuk mencegah legitimasi tindakan kriminal ini,” tegasnya.

    Pengamat mengatakan bahwa pertemuan OKI mendatang akan menjadi platform penting bagi negara-negara anggota untuk mengoordinasikan respons mereka terhadap krisis yang berkembang, serta memperkuat dukungan mereka terhadap kedaulatan Palestina.

    Daftar Anggota OKI

    Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah organisasi antarpemerintah dengan 57 negara anggota yang memiliki perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa.

    OKI Didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam.

    Pertemuan itu digelar sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsa oleh Israel. 

    OKI mengubah namanya dari sebelumnya Organisasi Konferensi Islam pada 28 Juni 2011 pada saat pertemuan 38 dewan Menteri Luar Negeri di Astana, Kazakhstan.

    OKI saat ini mempunyai 57 negara anggota. Beberapa di antaranya bukan merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim.

    Berikut daftar negara anggota OKI.

    Afghanistan (Diskors 1980–Maret 1989)
    Aljazair 
    Chad 
    Guinea 
    Indonesia 
    Iran 
    Kuwait 
    Lebanon 
    Libya 
    Malaysia 
    Mali 
    Maroko 
    Mauritania 
    Mesir (Diskors Mei 1979–Maret 1984)
    Niger 
    Pakistan (Menghalangi keanggotaan India)
    Palestina
    Arab Saudi 
    Senegal 
    Sudan 
    Somalia 
    Tunisia 
    Turki 
    Yaman
    Yordania 
    Bahrain 
    Oman 
    Qatar 
    Suriah 
    Uni Emirat Arab 
    Sierra Leone 
    Bangladesh 
    Gabon 
    Gambia 
    Guinea-Bissau 
    Uganda 
    Burkina Faso 
    Kamerun 
    Komoro 
    Irak 
    Maladewa 
    Jibuti 
    Benin 
    Brunei Darussalam 
    Nigeria 
    Azerbaijan 
    Albania 
    Kirgizstan 
    Tajikistan 
    Turkmenistan 
    Mozambik 
    Kazakhstan 
    Uzbekistan 
    Suriname 
    Togo 
    Guyana 
    Pantai Gading

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • China Tegaskan Gaza Milik Palestina, Tolak Pemindahan Paksa    
        China Tegaskan Gaza Milik Palestina, Tolak Pemindahan Paksa

    China Tegaskan Gaza Milik Palestina, Tolak Pemindahan Paksa China Tegaskan Gaza Milik Palestina, Tolak Pemindahan Paksa

    Beijing

    China kembali menegaskan penolakan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “pemindahan paksa” terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Beijing bahkan menegaskan bahwa Jalur Gaza merupakan milik rakyat Palestina.

    Penegasan itu, seperti dilansir AFP, Rabu (12/2/2025), disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, ketika ditanya oleh wartawan dalam konferensi pers soal rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza ke negara-negara lainnya.

    “Gaza adalah milik rakyat Palestina dan merupakan bagian integral dari wilayah Palestina,” ucap Guo dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu (12/2) waktu setempat.

    “Kami menentang pemindahan paksa warga Gaza,” tegasnya merujuk pada posisi pemerintah China dalam persoalan ini.

    Trump mengejutkan dunia dengan mencetuskan gagasan kontroversial pekan lalu agar AS “mengambil alih” Gaza, dan bahkan mengusulkan “kepemilikan” atas Gaza. Dia membayangkan AS akan membangun kembali secara ekonomi wilayah yang hancur akibat perang itu.

    Namun rencana Trump itu hanya dilakukan setelah merelokasi sebanyak 2,2 juta jiwa penduduk Gaza ke negara-negara lainnya, seperti Yordania dan Mesir, tanpa ada rencana bagi mereka untuk kembali tinggal di sana.

    Gagasan Trump itu langsung menuai penolakan dunia, termasuk pemerintah China yang pekan lalu menyatakan pihaknya menentang rencana pemindahan paksa terhadap warga Gaza.

    Beijing juga mengharapkan semua pihak akan berpegang teguh pada gencatan senjata dan pemerintahan pascaperang sebagai peluang membawa masalah Palestina pada jalur penyelesaian politik yang benar berdasarkan solusi dua negara.

    Kecaman dan penolakan dunia itu seolah tak dipedulikan Trump, dengan baru-baru ini, dia menyebut Gaza sebagai lokasi “pengembangan real estate untuk masa depan”, dan menegaskan warga Palestina tidak memiliki hak untuk kembali berdasarkan rencana pengambilalihan yang dilakukan AS.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Houthi Ancam Serang Israel Jika Gaza Kembali Digempur    
        Houthi Ancam Serang Israel Jika Gaza Kembali Digempur

    Houthi Ancam Serang Israel Jika Gaza Kembali Digempur Houthi Ancam Serang Israel Jika Gaza Kembali Digempur

    Sanaa

    Kelompok Houthi, yang bermarkas di Yaman, mengancam akan menyerang Israel jika negara itu kembali melancarkan serangan terhadap Jalur Gaza dan tidak berkomitmen terhadap perjanjian gencatan senjata dengan Hamas.

    “Tangan kami ada pada pelatuk dan kami siap untuk segera melakukan eskalasi melawan musuh Israel jika eskalasi kembali terjadi di Jalur Gaza,” kata pemimpin Houthi, Abdulmalik al-Houthi, dalam pidato terbarunya yang disiarkan televisi yang dikelola kelompok itu, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Rabu (12/2/2025).

    Houthi telah melancarkan rentetan serangan terhadap kapal-kapal Israel dan kapal-kapal lainnya di Laut Merah, yang mengganggu jalur pelayaran global. Kelompok yang didukung Iran itu menyebut serangannya sebagai tindakan solidaritas terhadap warga Palestina di Jalur Gaza yang diserang Israel.

    Houthi juga melancarkan serangan rudal dan drone ke arah wilayah Israel, yang berjarak ratusan kilometer di sebelah utara Yaman.

    Kesepakatan gencatan senjata Gaza yang berlaku sejak 19 Januari lalu tampak semakin rapuh setelah Hamas mengumumkan penundaan pembebasan sandera Israel dan menuduh Tel Aviv telah melanggar gencatan senjata itu.

    Merespons pengumuman Hamas itu, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengancam akan mengakhiri gencatan senjata yang rapuh di Jalur Gaza dan militer Tel Aviv akan melanjutkan serangan terhadap daerah kantong Palestina tersebut hingga Hamas dikalahkan.

    “Menyoroti pengumuman Hamas mengenai keputusannya melanggar perjanjian dan tidak membebaskan para sandera kami, tadi malam saya memerintahkan (militer Israel) untuk mengumpulkan pasukan di dalam dan di sekitar Jalur Gaza,” kata Netanyahu setelah menggelar rapat kabinet keamanan.

    “Operasi ini sedang berlangsung saat ini. Itu akan diselesaikan dalam waktu dekat,” ujarnya.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bahkan menginstruksikan pasukan militer negara itu untuk berada pada tingkat kesiapan tertinggi di Jalur Gaza dan untuk pertahanan dalam negeri.

    Tak lama setelah pernyataan Netanyahu itu, Hamas menegaskan kembali komitmennya terhadap perjanjian gencatan senjata Gaza, dengan mengatakan kelompoknya menuntut Israel untuk bertanggung jawab atas segala “komplikasi atau penundaan” yang terjadi.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Korut Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Menggelikan!    
        Korut Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Menggelikan!

    Korut Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Menggelikan! Korut Kecam Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Menggelikan!

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) turut mengecam rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi warganya ke negara-negara lainnya. Pyongyang menyebut gagasan Trump itu menggelikan dan menuduh AS melakukan pemerasan.

    Kantor berita resmi Korut, Korean Central News Agency (KCNA), dalam laporannya seperti dilansir Reuters, Rabu (12/2/2024), menyebut harapan tipis warga Palestina untuk keselamatan dan perdamaian dihancurkan oleh gagasan tersebut, namun tanpa secara langsung menyebut nama Trump.

    “Dunia kini mendidih seperti panci bubur karena deklarasi mengejutkan AS,” sebut KCNA dalam laporannya.

    Komentar media pemerintah Korut itu mengomentari gagasan mengejutkan Trump bahwa AS akan merelokasi penduduk Gaza dan membangun kembali secara ekonomi wilayah Palestina yang hancur akibat perang itu.

    Komentar KCNA itu juga mengkritik pemerintahan Trump atas seruan untuk mengambil alih Terusan Panama dan Greenland, serta keputusannya mengubah nama “Teluk Meksiko” menjadi “Teluk Amerika”.

    “AS seharusnya bangun dari khayalan anakronistiknya dan segera berhenti melanggar martabat dan kedaulatan negara-negara lainnya dan rakyatnya,” sebut laporan KCNA, yang menyebut AS sebagai “pelaku pemerasan”.

    Trump, pada masa jabatan pertamanya, melakukan pertemuan puncak dengan pemimpin Korut Kim Jong Un dan membanggakan hubungan mereka. Baru-baru ini, Trump mengatakan dirinya akan melakukan kontak kembali dengan Kim Jong Un.

    Namun sejauh ini, media pemerintah Pyongyang tidak mengomentari masa jabatan kedua Trump dan terus mengecam apa yang mereka pandang sebagai ancaman keamanan besar yang ditimbulkan oleh Washington dan sekutu-sekutunya.

    Korut, yang sering menentang pandangan Barat mengenai isu-isu internasional, telah secara blak-blakan mengomentari situasi Gaza, menyalahkan Israel atas pertumpahan darah yang terjadi, dan menyebut AS sebagai “komplotan” Israel.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini    
        Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini

    Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menegaskan gagasannya untuk merelokasi warga Palestina dan membangun kembali Gaza di bawah kepemilikan AS. Gagasan itu ditolak keras oleh Raja Yordania Abdullah II, yang bertemu langsung dengan Trump di Gedung Putih pada Selasa (11/2) waktu setempat.

    Raja Abdullah II, seperti dilansir AFP, Rabu (12/2/2025), menjelaskan bahwa dirinya menegaskan posisi kuat Yordania menolak relokasi warga Palestina dari Jalur Gaza, seperti yang dicetuskan Trump beberapa waktu terakhir.

    “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania terhadap pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Ini adalah posisi Arab yang bersatu,” tegas Raja Abdullah II dalam pernyataannya via media sosial setelah melakukan pembicaraan dengan Trump.

    “Membangun kembali Gaza tanpa menggusur warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas semua pihak,” cetusnya.

    Namun, Raja Abdullah II juga mengatakan kepada Trump bahwa Mesir sedang menyusun rencana soal bagaimana negara-negara di kawasan Timur Tengah dapat “bekerja” dengan Trump soal gagasan mengejutkan tersebut.

    Dalam pembicaraan di Gedung Putih, Raja Abdullah II tampaknya berhasil membujuk Trump, yang sebelumnya melontarkan kemungkinan menghentikan bantuan AS ke Yordania jika negara itu tidak mau menampung warga Gaza.

    “Salah satu hal yang bisa kita lakukan segera adalah merawat 2.000 anak, anak-anak penderita kanker yang berada dalam kondisi sakit parah. Itu dimungkinkan untuk terjadi,” kata Raja Abdullah II ketika Trump menyambut dirinya dan Putra Mahkota Hussein di Ruang Oval Gedung Putih.

    Trump menjawab bahwa hal tersebut merupakan “tindakan yang sangat indah” dan mengakui dirinya tidak mengetahuinya sebelum kedatangan Raja Yordania di Gedung Putih.

    Lihat Video: Bertemu Trump, Yordania Akan Terima 2 Ribu Anak Gaza yang Sakit

    Trump mengejutkan dunia dengan mencetuskan gagasan kontroversial pekan lalu agar AS “mengambil alih” Gaza, dan bahkan mengusulkan “kepemilikan” atas Gaza. Dia membayangkan AS akan membangun kembali secara ekonomi wilayah yang hancur akibat perang itu.

    Namun rencana Trump itu hanya dilakukan setelah merelokasi warga Gaza ke negara-negara lainnya, seperti Yordania dan Mesir, tanpa ada rencana bagi mereka untuk kembali tinggal di sana.

    Raja Abdullah II mendesak agar bersabar dan mengatakan Mesir akan memberikan respons, kemudian negara-negara Arab akan membahasnya dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi.

    “Mari kita tunggu sampai Mesir bisa datang dan menyampaikan hal ini kepada presiden dan tidak terburu-buru,” ucapnya.

    Trump, di hadapan Raja Abdullah II, menarik kembali pernyataannya soal penghentian bantuan ke Yordania dan Mesir, dengan mengatakan: “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita lebih baik dari hal semacam itu.”

    Lihat Video: Bertemu Trump, Yordania Akan Terima 2 Ribu Anak Gaza yang Sakit

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami?    
        Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami?

    Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami? Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami?

    Gaza City

    Warga Palestina menolak keras untuk meninggalkan Jalur Gaza meskipun wilayah itu mengalami kehancuran besar-besaran akibat perang antara Hamas dan Israel. Mereka mengecam rencana Trump untuk memiliki Gaza dan merelokasi warganya ke lokasi-lokasi lainnya.

    Warga Gaza juga mengecam ancaman Trump soal kekacauan akan terjadi jika para sandera Israel yang tersisa tidak dibebaskan, setelah Hamas mengatakan akan menunda pembebasan sandera karena ada pelanggaran kesepakatan gencatan senjata oleh Israel.

    “Apa yang lebih buruk dari yang sudah kami alami? Apa yang lebih buruk dari pembunuhan?” ucap seorang warga Palestina bernama Jomaa Abu Kosh, yang berasal dari Rafah, Gaza bagian selatan, seperti dilansir Reuters, Rabu (12/2/2025). Dia berbicara di samping rumah-rumah yang hancur akibat gempuran Israel.

    “Kami dipermalukan, anjing jalanan menjalani kehidupan yang lebih baik dari kami,” ujar seorang warga Gaza lainnya, Samira Al-Sabea.

    “Dan Trump ingin menjadikan Gaza seperti neraka? Ini tidak akan pernah terjadi,” tegasnya.

    Di bawah gagasan Trump, sebanyak 2,2 juta jiwa penduduk Gaza akan direlokasi ke negara-negara lainnya dan AS akan mengambil alih kendali, bahkan mengambil alih kepemilikan atas Gaza, untuk mengembangkan wilayah Palestina itu secara ekonomi.

    Baru-baru ini, Trump bahkan menyebut Gaza sebagai lokasi “pengembangan real estate untuk masa depan”, dan menegaskan warga Palestina tidak memiliki hak untuk kembali berdasarkan rencana pengambilalihan yang dilakukan AS.

    Lihat juga Video Trump soal Rencana Relokasi Warga Gaza: Mereka Hidup di Neraka

    Rencana semacam ini menuai penolakan keras di kalangan warga Gaza.

    “Gagasan menjual rumah atau sebidang tanah yang saya miliki kepada perusahaan asing untuk meninggalkan tanah air dan tidak pernah kembali sepenuhnya ditolak. Saya mengakar kuat di tanah air saya dan akan selalu demikian,” tegas salah satu warga Gaza bernama Shaban Shaqaleh (47).

    Warga Palestina khawatir jika rencana Trump akan memicu terjadinya Nakba baru, yang mengingatkan pada peristiwa tahun 1948 silam ketika mereka mengalami pengusiran massal saat berdirinya Israel.

    “Kami tidak ingin meninggalkan negara kami, tetapi juga membutuhkan solusi. Para pemimpin kami — Hamas, PA (Otoritas Palestina), dan faksi-faksi lainnya — harus mencari solusi,” ucap seorang warga Gaza bernama Jehad (40), yang berprofesi sebagai tukang kayu.

    Rencana Trump menguasai Gaza juga ditolak warga Palestina di Tepi Barat. “Apakah dia menguasai Gaza sehingga meminta orang-orang meninggalkannya? Soal Trump, saya hanya menyalahkan rakyat Amerika. Bagaimana bisa negara seperti itu, negara adidaya, menerima orang seperti Trump?” kata warga Tepi Barat bernama Nader Imam.

    “Apa yang akan dilakukan Trump? Tidak ada rasa takut, kami mengandalkan Tuhan,” ucap warga Tepi Barat lainnya, Mohammed Salah Tamimi.

    Lihat juga Video Trump soal Rencana Relokasi Warga Gaza: Mereka Hidup di Neraka

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Tolak Rencana Trump, Warga Gaza Khawatir Peristiwa Nakba 1948 Terulang: Ini Tanah Air Saya – Halaman all

    Tolak Rencana Trump, Warga Gaza Khawatir Peristiwa Nakba 1948 Terulang: Ini Tanah Air Saya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Warga Gaza bernama Shaban Shaqaleh (47) dengan tegas menolak rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengusir penduduk Palestina dari Jalur Gaza.

    Setelah rumahnya di Gaza hancur dalam serangan militer Israel, Shaban Shaqaleh bermaksud membawa keluarganya berlibur ke Mesir setelah gencatan senjata Hamas-Israel benar-benar berlaku.

    Namun, ia berubah pikiran setelah Donald Trump mengumumkan rencana untuk memindahkan penduduk Palestina dari Gaza dan membangun kembali daerah kantong itu.

    Trump juga menyatakan penduduk Palestina di Gaza seharusnya tidak memiliki hak untuk kembali.

    Kini warga Palestina khawatir rencana Trump akan seperti peristiwa Nakba atau Malapetaka lainnya, ketika mereka mengalami pengusiran massal pada tahun 1948 dengan pembentukan Israel.

    “Kami ngeri dengan kehancuran, pengungsian berulang kali, dan kematian, dan saya ingin pergi agar saya dapat mengamankan masa depan yang aman dan lebih baik untuk anak-anak saya — sampai Trump mengatakan apa yang dikatakannya,” kata Shaqaleh kepada Reuters.

    “Setelah pernyataan Trump, saya membatalkan rencana itu. Saya takut pergi dan tidak akan pernah bisa kembali. Ini Tanah Air saya,” tegasnya.

    Di bawah skema Trump, sekitar 2,2 juta warga Palestina di Gaza akan dimukimkan kembali dan Amerika Serikat akan mengambil alih kendali dan kepemilikan wilayah pesisir tersebut.

    AS kemudian berencana membangun kembali Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”.

    “Ide menjual rumah saya atau sebidang tanah yang saya miliki kepada perusahaan asing untuk meninggalkan tanah air dan tidak pernah kembali sama sekali ditolak.”

    “Saya berakar dalam di tanah tanah air saya dan akan selalu demikian,” jelas Shaqaleh.

    Adapun lingkungan Tel Al-Hawa di Kota Gaza, menjadi tempat puluhan gedung bertingkat dulu berdiri, kini sebagian besar kosong.

    Tidak ada air bersih atau listrik dan seperti kebanyakan bangunan di sana, rumah Shaqaleh hancur.

    Trump Temui Raja Yordania

    Pada Selasa (11/2/2025), Donald Trump menjamu Raja Yordania Abdullah II di Gedung Putih dan mengulangi desakannya bahwa Gaza entah bagaimana dapat dikosongkan dari semua penduduk, dikontrol oleh AS, dan dibangun kembali sebagai kawasan wisata.

    Dilansir AP News, ini adalah skema yang berani, tetapi sangat tidak mungkin, untuk mengubah Timur Tengah secara dramatis dan akan mengharuskan Yordania dan negara-negara Arab lainnya untuk menerima lebih banyak warga Gaza — sesuatu yang ditegaskan Abdullah setelah pertemuan mereka yang ia tentang.

    Pasangan itu bertemu di Ruang Oval dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio yang juga hadir.

    Trump mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menahan bantuan AS ke Yordania atau Mesir jika mereka tidak setuju untuk secara drastis meningkatkan jumlah orang dari Gaza yang mereka tampung.

    “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita berada di atas itu,” kata Trump.

    Hal itu bertentangan dengan usulan presiden dari Partai Republik sebelumnya bahwa menahan bantuan dari Washington adalah suatu kemungkinan.

    Sementara itu, Abdullah berulang kali ditanya tentang rencana Trump untuk membersihkan Gaza dan mengubahnya menjadi resor di Laut Mediterania.

    Ia tidak memberikan komentar substantif tentang hal itu dan tidak berkomitmen pada gagasan bahwa negaranya dapat menerima sejumlah besar warga Gaza.

    Namun, ia mengatakan bahwa Yordania bersedia “segera” menerima sebanyak 2.000 anak di Gaza yang menderita kanker atau sakit lainnya.

    “Saya akhirnya melihat seseorang yang dapat membawa kita melewati garis akhir untuk membawa stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bagi kita semua di kawasan ini,” kata Abdullah tentang Trump dalam pernyataannya di awal pertemuan.

    DONALD TRUMP – Foto ini diambil pada Selasa (11/2/2025) dari publikasi resmi Donald J. Trump pada 20 November 2024 setelah memenangkan Pilpres Amerika Serikat. Pada 10 Februari 2025, Presiden AS Donald Trump mengancam Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dengan neraka di Jalur Gaza jika Hamas menunda pembebasan sandera Israel pada Sabtu (15/2/2025). (Facebook Donald J. Trump)

    Abdullah meninggalkan Gedung Putih setelah sekitar dua jam dan menuju Capitol Hill untuk bertemu dengan sekelompok anggota parlemen bipartisan.

    Ia mengunggah di X bahwa selama pertemuannya dengan Trump, “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania dalam menentang pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.”

    “Ini adalah posisi Arab yang bersatu. Membangun kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas bagi semua pihak,” ungkap Abdullah.

    Yordania adalah rumah bagi lebih dari 2 juta warga Palestina.

    Menteri luar negeri Yordania, Ayman Safadi, mengatakan minggu lalu bahwa penentangan negaranya terhadap gagasan Trump tentang pemindahan penduduk Gaza adalah “tegas dan tidak tergoyahkan.”

    Selain kekhawatiran akan membahayakan tujuan jangka panjang solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, Mesir dan Yordania secara pribadi telah mengemukakan kekhawatiran keamanan tentang penerimaan sejumlah besar pengungsi tambahan ke negara mereka, meskipun untuk sementara.

    Trump sebelumnya mengisyaratkan bahwa penduduk Gaza bisa saja mengungsi sementara atau permanen, sebuah gagasan yang ditegur keras oleh para pemimpin di seluruh dunia Arab.

    Selain itu, Trump kembali mengusulkan bahwa gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel dapat dibatalkan jika Hamas tidak membebaskan semua sandera yang masih ditahannya paling lambat Sabtu (15/2/2025) siang.

    Perkembangan Terkini Konflik Palestina Vs Israel

    Dikutip dari Al Jazeera, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam akan melanjutkan “pertempuran sengit” di Gaza jika Hamas gagal membebaskan tawanan yang ditahan di sana paling lambat Sabtu siang.

    Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada wartawan “kami akan mengambil alih” Gaza dan mendesak Raja Yordania Abdullah untuk mengalokasikan tanah bagi warga Palestina yang mengungsi paksa.

    Abdullah mengatakan ia menentang segala bentuk pemindahan warga Palestina dan mengatakan negara-negara Arab akan datang ke AS untuk menanggapi rencana pengambilalihan oleh Washington.

    Mesir mengatakan “rencana komprehensif” tersebut akan berupaya membangun kembali Gaza tanpa memukimkan kembali warga Palestina.

    Di kota Tulkarem, pasukan Israel menyerbu sebuah masjid tempat warga Palestina terlantar dari kamp pengungsi Tulkarem dan Nur Shams yang berdekatan menginap, dan menangkap beberapa orang, Wafa melaporkan.

    Di kota Ramin, timur Tulkarem, tentara Israel menangkap seorang wanita Palestina berusia 45 tahun, Wafa melaporkan.

    Di kota terdekat Kafr al-Labad, pasukan Israel menembak dan melukai seorang pemuda Palestina di kaki.

    Militer Israel juga mengirim bala bantuan militer tambahan ke kamp pengungsi Jenin, Al Jazeera Arabic melaporkan.

    Ada beberapa serangan di kota-kota lain, termasuk Azzun, timur Qalqilya; ad-Dhahiriya, selatan Hebron; dan Urif dan Beita, selatan Nablus, menurut Al Jazeera Arabic.

    Kantor Media Pemerintah Gaza telah memperbarui jumlah korban tewas menjadi sebanyak 61.709 orang, dengan mengatakan ribuan orang yang hilang di bawah reruntuhan kini diduga tewas.

    Sebanyak 1.139 orang tewas di Israel selama serangan 7 Oktober 2023 dan lebih dari 200 orang ditawan.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina Vs Israel