Negara: Jalur Gaza

  • Pengamat: Netanyahu Merasa Dipermalukan karena Hamas Masih Bertahan – Halaman all

    Pengamat: Netanyahu Merasa Dipermalukan karena Hamas Masih Bertahan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Jasad empat tawanan Israel diserahkan oleh Hamas pada Kamis (27/2/2025) pagi, waktu setempat.

    Penyerahan itu, diikuti pembebasan 600 tahanan Palestina ke Tepi Barat, yang seharusnya dipulangkan pekan lalu.

    Presiden Israel Isaac Herzog mengatakan bahwa identitas keempat jenazah tawanan itu telah diverifikasi.

    Kini, fase pertama gencatan senjata tahap pertama antara Israel dan Hamas pada dasarnya sudah selesai.

    Namun, Antony Loewenstein, seorang jurnalis dan penulis asal Sydney, mengaku merasa khawatir dengan tahap selanjutnya.

    “Saya merasa cemas dengan tahap berikutnya, karena banyak laporan di media Israel yang menunjukkan bahwa Netanyahu dan lingkungannya tidak tertarik untuk melanjutkan ke tahap kedua, apalagi tahap ketiga,” kata Loewenstein kepada Al Jazeera.

    “Tahap ketiga, di akhir kesepakatan ini, seharusnya mencakup penarikan penuh seluruh pasukan Israel dari Gaza,” tambahnya.

    “Saya senang pertukaran tawanan ini terjadi, namun saya yakin Netanyahu merasa dipermalukan karena Hamas masih bertahan.”

    “Mereka masih memiliki pejuang, kekuatan, dan mengendalikan sebagian besar wilayah Gaza.”

    “Ketika kekaisaran merasa marah, mereka sering kali merespons dengan cara yang sangat kejam dan tidak masuk akal.”

    “Kita sudah melihat hal serupa di Irak dan Afghanistan selama 20 tahun terakhir.”

    “Saya rasa itulah yang mungkin akan kita lihat di Gaza dan daerah lain dalam beberapa bulan dan tahun ke depan,” ujar Loewenstein.

    Tahap Kedua Gencatan Senjata Akan Lebih Sulit

    Sementara itu, Stephen Zunes, direktur studi Timur Tengah di Universitas San Francisco, menyatakan kelegaannya setelah pertukaran tawanan dan tahanan berhasil dilakukan sepenuhnya.

    “Namun, fase kedua akan jauh lebih sulit, mengingat kecenderungan Israel untuk mempertahankan wilayah yang telah mereka kuasai,” ujarnya kepada Al Jazeera.

    “Sebagai contoh, mereka menolak mundur dari Lebanon dan memperluas pendudukan di Suriah,” tambah Zunes.

    Ia juga menilai, Netanyahu mungkin menunda mengakhiri perang sepenuhnya untuk menghindari tekanan politik dan pemilu.

    “Masalah utama adalah tidak ada harapan bahwa pemerintahan Trump akan menekan Netanyahu untuk berkompromi.”

    “Trump kemungkinan akan mendukung perang ini tanpa protes, jadi mungkin masyarakat sipil Israel dan tekanan internasionallah yang dapat mendorong perubahan,” tambah Zunes.

    Hamas Siap Bahas Fase Berikutnya Gencatan Senjata

    Dalam perkembangan terbaru, Hamas menyatakan, siap untuk merundingkan fase berikutnya dari gencatan senjata di Jalur Gaza, setelah pertukaran tawanan hari ini, Kamis (27/2/2025), menurut laporan AP News.

    Pertukaran ini, adalah yang terakhir yang disepakati kedua belah pihak sebagai bagian dari gencatan senjata yang akan berakhir akhir pekan ini.

    Negosiasi fase kedua, di mana Hamas akan membebaskan lebih banyak sandera dengan imbalan tahanan tambahan serta gencatan senjata yang lebih panjang, belum dimulai.

    Hamas menyatakan, satu-satunya cara Israel dapat mengamankan pembebasan sandera yang tersisa adalah melalui negosiasi dan mematuhi perjanjian.

    Hamas juga memperingatkan bahwa upaya untuk menarik kembali kesepakatan hanya akan memperburuk penderitaan para tawanan dan keluarga mereka.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Pilu Tujuh Bayi di Gaza Meninggal karena Hipotermia, Tewas Akibat Kedinginan

    Pilu Tujuh Bayi di Gaza Meninggal karena Hipotermia, Tewas Akibat Kedinginan

    Jakarta

    Otoritas Kesehatan Gaza melaporkan setidaknya tujuh bayi meninggal akibat cuaca dingin di Gaza dalam waktu 24 jam terakhir.

    Dr Saeed Salah, direktur medis Patient’s Friends Benevolent Society Hospital (PFBS) Gaza Utara memperingatkan bencana akan kemungkinan meningkatnya jumlah bayi yang meninggal akibat hipotermia saat mereka mencoba bertahan hidup dalam kondisi cuaca dingin ekstrem di tenda pengungsian.

    Diberitakan CNN, dalam dua pekan terakhir, delapan bayi dengan hipotermia dirawat di fasilitas medis di Kota Gaza, kata Dr. Salah. Dari jumlah tersebut, tiga dirawat di unit perawatan intensif dan tiga lainnya meninggal dalam beberapa jam setelah tiba.

    Pada Selasa (25/2), bayi keempat yang baru berusia 69 hari meninggal. Di Gaza Selatan, dua bayi dengan gejala hipotermia meninggal di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis. Selang sehari, angka kematian bayi akibat hipotermia di jalur Gaza naik menjadi tujuh setelah Seela Abdel Qader, yang berusia kurang dari dua bulan, meninggal.

    “Gelombang dingin menyebabkan lebih banyak korban setiap hari, terutama di antara bayi yang baru lahir, karena pendudukan (Israel) menghancurkan fasilitas kesehatan mereka, serta penghancuran peralatan dan perangkat medis untuk bayi yang baru lahir,” kata Dr. Al-Bursh dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh kementerian kesehatan pada hari Rabu.

    Genosida Israel di Gaza telah mendorong banyak warga Palestina mengungsi. Setidaknya 1,9 juta orang telah mengungsi, menurut PBB. Banyak yang mencari perlindungan di area terbuka yang luas, tinggal selama berbulan-bulan di tenda-tenda darurat yang terbuat dari kain dan nilon dengan sedikit akses ke kehangatan, listrik, atau pemanas.

    Dalam kondisi cuaca dingin, bayi baru lahir dan anak-anak hingga tiga bulan termasuk di antara mereka yang paling berisiko terkena infeksi pernapasan, kekurangan pasokan darah, dan infeksi.

    (kna/kna)

  • Mata Buta, Luka Bakar Imbas Bahan Kimia Korosif

    Mata Buta, Luka Bakar Imbas Bahan Kimia Korosif

    PIKIRAN RAKYAT – Penyiksaan terhadap tahanan Palestina oleh pasukan Israel terus terjadi. Kali ini, warga Palestina, Mohammed Abu Tawila yang baru dibebaskan setelah setahun ditahan memperlihatkan bukti kebiadaban pasukan Israel.

    Abu Tawila ditahan di penjara Sde Teiman di Israel selatan selama setahun dan baru dibebaskan seminggu lalu. Kini, dia kembali ke Palestina dengan kondisi yang memprihatinkan.

    Hal ini terungkap lewat gambar-gambar yang dibagikan para jurnalis Gaza Wissam Nassar dan Walid Huran. Terlihat sekujur tubuh Abu Tawila mengalami luka bakar serius akibat bahan kimia.

    Penjara Sde Teiman memang telah dikenal sebagai tempat tahanan disiksa. Abu Tawila mendekam di penjara tersebut dan telah mengalami penyiksaan fisik dan psikologis.

    Abu Tawila yang juga seorang insinyur mengungkap bahwa di penjara tersebut pasukan Israel menggunakan bahan kimia untuk menyiksa warga Palestina yang ditahan.

    Selain bahan kimia korosif, pasukan Israel juga menggunakan sengatan listrik, direndam di air dingin bertekanan, dan pemukulan brutal. Abu Tawila harus kehilangan salah satu matanya serta mengalami luka bakar serius akibat siksaan ini.

    Cara pasukan Israel membebaskan Abu Tawila dan warga Palestina lainnya juga menjadi sorotan. Abu Tawila dipaksa berjalan jauh untuk tiba di Gerbang Perbatasan Kerem Abu Salim. Kondisi kesehatannya juga sangat kritis.

    Saat tiba, Abu Tawila langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung mendapatkan penanganan medis dan psikologis. Namun, kondisi di Jalur Gaza yang fasilitas kesehatannya lumpuh membuat Abu Tawila harus dirawat di luar Gaza.

    Karena kondisinya yang memprihatinkan, lembaga dan organisasi internasional diminta untuk memindahkan Abu Tawila. Hal ini guna memulihkan kesehatan fisik dan psikologisnya.

    Penjara yang mengerikan

    Berdasarkan laporan The New York Times, warga Gaza yang ditahan di penjara Sde Teiman diborgol dan dipaksa duduk diam di tanah area terbuka selama 18 jam sehari pada bulan lalu.

    Warga Palestina yang dibawa ke penjara tersebut akan ditahan di sana selama tiga bulan dan menjadi sasaran perlakuan tak manusiawi pasukan Israel Penyiksaan biasanya dilakukan ketika proses interogasi.

    Beberapa warga Gaza yang ditahan di sini dan kemudian dibebaskan berbicara tentang penyiksaan yang mereka alami di Sde Teiman.

    Sementara itu dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA, lebih dari 640 tahanan Palestina dibebaskan dari penjara Israel pada Kamis, 27 Februari 2025 malam. Ini merupakan bagian dari gelombang ketujuh dan terakhir dari kesepakatan pertukaran fase pertama perjanjian gencatan senjata Gaza.

    Pembebasan itu awalnya dijadwalkan Sabtu pekan sebelumnya tetapi ditunda.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Tepi Barat yang Bisa Menjadi ‘Gaza Baru’ di Palestina

    Tepi Barat yang Bisa Menjadi ‘Gaza Baru’ di Palestina

    PIKIRAN RAKYAT – Lembaga Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) prihatin dengan kondisi masyarakat di Tepi Barat atau West Bank, Palestina.

    Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini mengatakan orang-orang yang berada di Tepi Barat mengalami dampak buruk imbas serangan Israel di wilayah tersebut sejak 5 minggu lalu. 

    Lazzarini mengatakan 60 orang termasuk anak-anak tewas imbas agresi Israel. Selain itu, infrastruktur publik juga mengalami kehancuran dan bisa mengganggu aktivitas warga.

    “Kehidupan masyarakat berubah drastis, trauma dan kehilangan kembali menghantui. Sekitar 40.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka, terutama di kamp pengungsian di wilayah utara,” ujarnya dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA.

    Tak hanya itu, Israel juga telah membatasi aktivitas warga Palestina di Tepi Barat. Hal ini menimbulkan ketakutan, ketidakpastian, dan kesedihan.

    “Lebih dari 5.000 anak yang biasanya bersekolah di sekolah UNRWA telah kehilangan kesempatan pendidikan, beberapa di antaranya telah kehilangan kesempatan pendidikan selama lebih dari 10 minggu,” katanya.

    Belum lagi, pasien-pasien yang dirawat tidak dapat mengakses layanan kesehatan. Juga, warga yang tinggal di Tepi Barat tidak mendapatkan air, listrik, dan layanan dasar lainnya.

    Saat ini semakin banyak orang yang bergantung pada bantuan kemanusiaan di tengah lembaga-lembaga bantuan kewalahan dan sangat kekurangan sumber daya.

    “Tim UNRWA kami melacak orang-orang yang mengungsi dan terus menyediakan mereka makanan yang sangat dibutuhkan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar untuk menjaga mereka tetap hangat,” tutur pejabat PBB tersebut.

    Lazzarini menyebut Tepi Barat saat ini tengah menjadi medan perang dan bisa saja menjadi ‘Gaza Baru’ jika melihat situasi yang ada.

    “Warga Palestina adalah yang paling menderita. Ini harus diakhiri,” katanya.

    Prihatin

    Melihat situasi terkini di Tepi Barat, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyatakan keprihatinan dengan kondisi yang ada.

    “Komite Palang Merah Internasional sangat prihatin dengan dampak operasi keamanan yang sedang berlangsung terhadap penduduk sipil di Jenin dan Tulkarem, Tubas dan lokasi lain di Tepi Barat utara,” kata ICRC dalam sebuah pernyataan dilaporkan Anadolu.

    Operasi yang dilakukan Israel telah menyebabkan warga sipil mengungsi. Tak hanya itu, warga Palestina juga dihadapkan situasi sulit dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, perawatan medis, dan tempat tinggal.

    Tentara Israel melancarkan operasi militer di Tepi Barat utara sejak bulan lalu, menewaskan sedikitnya 60 orang dan membuat ribuan orang mengungsi.

    Itu merupakan serangan militer Israel terbaru dalam eskalasi yang sedang berlangsung di Tepi Barat, di mana sedikitnya 923 warga Palestina tewas dan hampir 7.000 orang terluka dalam serangan tentara Israel dan pemukim ilegal sejak dimulainya serangan Israel terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.

    Mahkamah Internasional pada Juli mengatakan bahwa pendudukan lama Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal, dan menuntut evakuasi semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • PM Israel Netanyahu: Gaza Adalah Penjara Terbuka Terbesar di Dunia, Penduduknya Bisa Pergi Kapan pun – Halaman all

    PM Israel Netanyahu: Gaza Adalah Penjara Terbuka Terbesar di Dunia, Penduduknya Bisa Pergi Kapan pun – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menekankan perlunya mendukung rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengusir penduduk Jalur Gaza dan mengambil alih kawasan tersebut.

    Ia menekankan pentingnya pelaksanaan rencana Trump bagi masa depan Israel.

    “Rencana Trump untuk Jalur Gaza harus didukung dan dilaksanakan,” kata Netanyahu, Rabu (26/2/2025).

    “Semua orang mengatakan bahwa Gaza adalah penjara terbuka terbesar di dunia, jadi kami membiarkan mereka pergi tanpa membayar apa pun,” lanjutnya.

    Netanyahu mengatakan rencana Trump bertujuan memberi kebebasan bagi penduduk Jalur Gaza untuk pergi ke luar kawasan tersebut.

    “Rencana tersebut bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada penduduk Jalur Gaza untuk meninggalkannya,” kata Netanyahu, seraya mencatat bahwa Israel mendukung inisiatif ini.

    Netanyahu menekankan Israel bertekad untuk melenyapkan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dan memastikan Jalur Gaza tidak menjadi ancaman bagi Israel di masa depan.

    “Tujuan utama Israel adalah melenyapkan Hamas, memulangkan para tahanan, dan memastikan bahwa Jalur Gaza tidak akan menjadi ancaman bagi negara tersebut di masa mendatang,” kata Netanyahu.

    “Israel berupaya mengubah wajah Timur Tengah berkat keberanian para pejuangnya dan keputusan para pemimpin politik yang diambil dalam konteks ini,” tambahnya.

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menyerukan pemindahan dan pemukiman sejumlah besar warga Palestina ke Yordania, Mesir, dan negara Arab lainnya.

    Pernyataan tersebut memicu kecaman warga Palestina, Yordania, Mesir, dan Arab yang menolak usulan ini dan menegaskan hak rakyat Palestina untuk mempertahankan tanah mereka dan tetap berada di sana.

    Sementara itu Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, juga mengumumkan bahwa ia telah mengadakan konsultasi dengan mitra-mitra AS di kawasan tersebut, termasuk Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA), mengenai rencana Presiden Donald Trump untuk Jalur Gaza.

    Rubio mengatakan negara-negara tersebut tidak menyetujui rencana yang diusulkan dan ia berharap negara-negara Arab akan menyajikan rencana yang lebih baik untuk rekonstruksi dan pengelolaan Jalur Gaza.

    Sejauh ini, negara Arab, Qatar dan Mesir telah berperan sebagai mediator untuk menengahi perundingan Israel dan Hamas yang menyepakati gencatan senjata pada 19 Januari lalu.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Hamas Serahkan Jenazah 4 Sandera Israel Tanpa Upacara, Al-Qassam: Agar Zionis Tak Cari Alasan Lagi – Halaman all

    Hamas Serahkan Jenazah 4 Sandera Israel Tanpa Upacara, Al-Qassam: Agar Zionis Tak Cari Alasan Lagi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Juru bicara Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), Abu Ubaida, mengumumkan mereka menyerahkan jenazah empat sandera Israel pada Rabu (26/2/2025) sekitar pukul 11 malam waktu setempat.

    Berbeda dengan penyerahan sebelumnya, Hamas tidak melakukan upacara besar untuk menyerahkan jenazah empat sandera Israel kali ini.

    “Penyerahan akan berlangsung tanpa kehadiran publik untuk mencegah pendudukan menemukan dalih apa pun untuk menunda atau menghalangi perjanjian,” kata sumber Brigade Al-Qassam, Rabu, merujuk pada tuduhan Israel pada penyerahan sebelumnya.

    Israel sebelumnya menuduh Hamas melakukan upacara serah terima yang “memalukan”, yang membuat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan untuk menunda pembebasan 620 tahanan Palestina pada pertukaran tahanan pekan lalu, yang membebaskan 6 sandera Israel.

    Adapun identitas jenazah empat sandera Israel yang diserahkan kemarin adalah Itzik Elgarat (68), Shlomo Mansour (85), Tsachi Idan (49), dan Ohad Yahalomi (49) yang ditahan oleh Hamas saat meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023.

    Tsachi Idan, warga negara Israel, ditahan oleh Hamas dari Nahal Oz.

    Shlomo Mansour merupakan warga Israel kelahiran Iraq yang ditahan Hamas dari pemukiman Zionis, Kibbutz Kissufim.

    Ohad Yahalomi merupakan warga negara ganda, Prancis-Israel, yang ditahan oleh Hamas dari pemukiman Zionis, Kibbutz Nir Oz.

    Selain itu, Itzik Elgarat yang merupakan warga negara ganda, Denmark-Israel, juga ditahan dari Kibbutz Nir Oz.

    Penyerahan Jenazah 4 Sandera Israel

    Surat kabar Israel, Israel Hayoum, melaporkan penyerahan tersebut terjadi sekitar pukul 11 malam waktu setempat.

    Menjelang waktu penyerahan, Palang Merah Internasional (ICRC) menuju lokasi di Jalur Gaza untuk mengambil empat jenazah dari Hamas.

    Jenazah-jenazah tersebut nantinya akan diserahkan ke Israel untuk diidentifikasi.

    “Jenazah keempat sandera yang akan dibebaskan malam ini akan menjalani identifikasi awal di perbatasan Kerem Shalom saat mereka meninggalkan Gaza,” menurut laporan Jerusalem Post.

    Kementerian Kesehatan Israel mengatakan identifikasi awal terhadap jenazah keempat sandera di penyeberangan Kerem Shalom akan dilakukan secepat mungkin dengan tetap memperhatikan kepentingan keluarga.

    “Tim dari Pusat Kedokteran Forensik Nasional Kementerian Kesehatan sedang bersiap malam ini untuk membantu mengidentifikasi para sandera yang tewas… dan kemudian mengidentifikasi penyebab kematian,” kata juru bicara Shira Solomon dalam sebuah pernyataan.

    Sementara itu, Israel mulai membebaskan 620 tahanan Palestina yang sebelumnya ditunda pada pertukaran tahanan gelombang ke-7.

    Jumlah tersebut termasuk anak-anak di bawah umur, 400 orang yang ditahan oleh tentara Israel sejak 7 Oktober 2023 dan 50 orang yang dijatuhi hukuman seumur hidup di penjara Israel.

    Sebuah kereta yang menurut Reuters membawa tahanan Palestina, telah meninggalkan Penjara Ofer di Tepi Barat yang diduduki, setelah Hamas menyerahkan jenazah empat sandera Israel.

    Penyerahan empat jenazah tersebut merupakan pertukaran terakhir untuk tahap pertama perjanjian gencatan senjata.

    Sesuai perjanjian yang disepakati pada 19 Januari 2025, Hamas akan menyerahkan 33 sandera Israel, termasuk delapan jenazah, dan Israel akan membebaskan ribuan tahanan Palestina.

    Setelah tahap pertama selesai, Hamas dan Israel melalui mediator Mesir dan Qatar akan melanjutkan perundingan untuk tahap kedua.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Mesir Tolak Tawaran Israel, Tegaskan Ogah Pimpin Gaza Meski Dijanjikan Hadiah Fantastis – Halaman all

    Mesir Tolak Tawaran Israel, Tegaskan Ogah Pimpin Gaza Meski Dijanjikan Hadiah Fantastis – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Mesir menolak keras perintah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, untuk memerintah Jalur Gaza seperti yang diminta Israel

    Mesir menegaskan bahwa pihaknya akan teguh pada pendiriannya untuk tidak mengambil alih Gaza, lantaran tanggung jawab tersebut merupakan tanggung Palestina untuk memerintah Gaza.

    Penolakan itu diungkap setelah Pemimpin oposisi Israel Yair Lapid mengatakan bahwa Mesir harus memerintah Jalur Gaza setidaknya selama delapan tahun, setelah perang berakhir.

    Menurut Lapid, Mesir memiliki pengaruh yang lebih besar di wilayah tersebut.

    Jika Mesir terlibat, diharapkan dapat membantu menciptakan kestabilan yang lebih besar.

    Mengingat Mesir juga memiliki kepentingan langsung dalam mencegah kekerasan di perbatasannya.

    Alasan tersebut yang mendorong Lapid untuk menunjuk Mesir agar negara tersebut mau memimpin pasukan perdamaian dan masyarakat internasional untuk mengelola serta membangun kembali Gaza.

    Dengan kepemimpinan Mesir selama periode tersebut akan menciptakan kondisi pemerintahan Gaza yang sehat serta tercapainya proses demiliterisasi Gaza.

    “Solusinya adalah Mesir akan bertanggung jawab atas pengelolaan Jalur Gaza selama delapan tahun dengan opsi untuk memperpanjangnya hingga 15 tahun,” kata Lapid kepada lembaga pemikir Foundation for Defense of Democracies (FDD) yang berhaluan agresif di Washington, seperti dilansir AFP.

    Israel Janjikan Utang Mesir Lunas

    Untuk memikat Mesir agar negara tersebut mau memerintah Jalur Gaza seperti yang diminta Israel, Lapid menjanjikan imbalan yang fantastis.

    Adapun hadiah yang ditawarkan berupa imbalan untuk keringanan utang Mesir.

    Lapid mengusulkan utang luar negeri Mesir akan dibayar oleh komunitas internasional dan sekutu regional jika Mesir bersedia memimpin Gaza.

    Diketahui Mesir menjadi salah satu negara yang terlilit utang luar negeri yang besar.

    Per September 2024, utang luar negeri Mesir tercatat sebesar 155,2 miliar dolar AS, meningkat dari 152,9 miliar dolar AS pada Juni 2024.

    Selain itu, Mesir memiliki utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) yang signifikan.

    Pada September 2024, utang Mesir kepada IMF tercatat sebesar 41,88 miliar dolar AS, menjadikannya salah satu negara dengan utang terbesar kepada IMF.

    Dengan total tersebut, maka Utang luar negeri Mesir mewakili sekitar 39,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.

    Meski ditawari dengan imbalan yang fantastis, namun hal tersebut tak membuat pendirian Mesir luntur.

    Mesir bersikukuh untuk menolak tawaran Israel memimpin Gaza.

    Mesir khawatir bahwa keterlibatan langsung di Gaza dapat memperburuk situasi keamanan di wilayahnya sendiri.

    Ini karena Hamas memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok ekstremis lainnya. Mesir tidak ingin mengambil alih tanggung jawab atas wilayah yang penuh dengan ketegangan dan potensi kekerasan.  

    Selain itu jika Mesir memimpin Gaza, negara ini bisa menghadapi tekanan internasional, baik dari Israel maupun negara-negara Barat, yang mungkin melihat peran Mesir sebagai pendukung Hamas.

    Mesir juga tidak ingin menjadi pihak yang disalahkan jika upaya untuk menciptakan perdamaian di Gaza gagal.

    Lantaran hal tersebut bisa merusak hubungan Mesir dengan beberapa negara besar.

    Karena alasan-alasan ini, Mesir memilih untuk tidak mengambil alih pengelolaan Gaza dan lebih memilih untuk berperan sebagai mediator dalam upaya mencapai perdamaian antara Palestina dan Israel.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Hamas Dilaporkan Siap Lanjutkan Pertempuran di Jalur Gaza

    Hamas Dilaporkan Siap Lanjutkan Pertempuran di Jalur Gaza

    JAKARTA – Gerakan perjuangan Palestina, Hamas, dilaporkan sedang bersiap untuk melanjutkan pertempuran di Jalur Gaza karena adanya masalah dalam negosiasi gencatan senjata dengan Israel, menurut laporan surat kabar The Wall Street Journal (WSJ).

    WSJ yang mengutip sejumlah pejabat dari negara-negara Arab secara anonim mengungkapkan bahwa Hamas sedang menyusun kembali kekuatan militernya untuk kemungkinan dimulainya kembali pertempuran di Gaza.

    Selain itu, sayap bersenjata organisasi tersebut telah menunjuk komandan baru dan mulai menyusun rencana untuk kemungkinan penempatan pasukannya, kata para pejabat itu.

    Sementara itu, pasukan Israel dilaporkan berupaya mengambil kendali Koridor Netzarim, yang membagi Gaza menjadi utara dan selatan.

    Sebagai bagian dari persiapan pertempuran, Hamas sedang mempersiapkan tim khusus untuk melacak mata-mata Israel yang terdapat di Gaza.

    Dilansir ANTARA dari Sputnik-OANA, Rabu, 26 Februari, para pejabat itu mengemukakan Hamas mulai memulihkan terowongan di Gaza dan mengajari anggota barunya cara menggunakan senjata dalam perang gerilya melawan angkatan bersenjata Israel.

    Israel menerima enam sandera dari Hamas pada Sabtu (22/2) tetapi menolak melepaskan lebih dari 600 tahanan Palestina yang dijadwalkan untuk ditukar.

    Kantor pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu mengatakan akan “menunda” pembebasan tahanan Palestina sampai Hamas menjamin pembebasan sandera Israel berikutnya “tanpa melalui upacara yang memalukan”.

    Gencatan senjata telah berlaku di Jalur Gaza sejak 19 Januari sebagai bagian dari kesepakatan antara Israel dan gerakan Palestina Hamas untuk membebaskan sandera Israel dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina.

    Penjamin perjanjian tersebut adalah Qatar, Mesir dan Amerika Serikat, yang telah mendirikan pusat koordinasi di Kairo.

    Kesepakatan ini adalah gencatan senjata kedua selama konflik berlangsung. Tahap pertama selesai pada November 2023 dan hanya berlangsung selama enam hari.

  • Suhu Udara Jalur Gaza 10 Derajat Celcius, Bayi-bayi Meninggal Akibat Hipotermia – Halaman all

    Suhu Udara Jalur Gaza 10 Derajat Celcius, Bayi-bayi Meninggal Akibat Hipotermia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Suhu udara di Jalur Gaza telah menurun drastis dalam beberapa hari terakhir hingga mencapai di bawah 10 derajat Celsius pada malam hari.

    Sedikitnya enam bayi baru lahir meninggal dunia akibat hipotermia dalam dua minggu terakhir, VOA melaporkan.

    Dr Ahmed al-Farah, Kepala Departemen Anak-Anak di Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis, melaporkan pada Selasa (25/2/2025), seorang bayi perempuan berusia dua bulan meninggal akibat penurunan suhu yang tajam di tenda pengungsi.

    “Bayi tersebut tidak memiliki riwayat penyakit atau masalah kesehatan sebelumnya,” ungkap Dr al-Farah.

    Ayah bayi tersebut, Yusuf al-Shinbari, menemukan bayinya sudah tidak bernapas dan membeku di tengah malam.

    Selain itu, Dr al-Farah mencatat bahwa dua bayi lainnya sedang dirawat di rumah sakit karena radang dingin, dengan salah satunya berada di ruang perawatan intensif.

    Dr Saeed Salah dari Rumah Sakit Patients Friends di Kota Gaza melaporkan lima bayi lainnya yang berusia satu bulan atau lebih muda juga meninggal akibat kedinginan dalam dua minggu terakhir.

    “Sebagian besar dari mereka tinggal di kamp pengungsi dan sekolah yang dijadikan tempat penampungan.

    “Suhu yang sangat dingin dan tidak adanya alat penghangat memperburuk kondisi mereka,” jelasnya.

    Pemerintah Gaza mencatat setidaknya 15 kematian akibat hipotermia, semuanya melibatkan anak-anak.

    Permohonan Bantuan

    Dikutip dari AP News, tidak ada aliran listrik di Gaza sejak beberapa hari pertama perang, dan bahan bakar untuk generator sangat langka.

    Ratusan ribu orang yang tinggal di tenda pengungsian dan reruntuhan gedung yang rusak akibat perang antara Israel dan Hamas kini terpapar suhu ekstrem.

    Banyak keluarga terpaksa bertahan di atas pasir lembap atau reruntuhan beton tanpa perlindungan dari cuaca ekstrem.

    Pejabat kesehatan di Gaza meminta bantuan lebih lanjut, termasuk rumah mobil untuk menampung lebih dari 280.000 keluarga yang kehilangan tempat tinggal dan bahan bakar untuk pemanas.

    Gencatan senjata yang ditandatangani oleh Israel dan Hamas memberi harapan untuk penyelesaian sementara, namun kedua belah pihak masih saling menuduh melakukan pelanggaran.

    Hamas mengkritik Israel karena menghalangi masuknya bantuan, termasuk rumah mobil, yang disebutnya sebagai kebijakan kriminal.

    Israel belum memberikan komentar terkait laporan kematian bayi tersebut.

    Sementara itu, pegiat bantuan internasional mengonfirmasi bahwa meskipun ada tantangan logistik, bantuan tetap masuk ke Gaza.

    Namun, mereka menekankan bahwa lebih banyak bantuan masih diperlukan untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang terus berlangsung.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Respons Mesir yang Diminta Israel Kelola Gaza Selama 15 Tahun dengan Imbalan Keringanan Utang – Halaman all

    Respons Mesir yang Diminta Israel Kelola Gaza Selama 15 Tahun dengan Imbalan Keringanan Utang – Halaman all

    Respons Mesir yang Diminta Israel Kelola Gaza Selama 15 Tahun dengan Imbalan Keringanan Utang

    TRIBUNNEWS.COM – Mesir, Rabu (26/2/2025) menyatakan, menolak usulan untuk mengelola Gaza karena mengganggap wacara itu sebagai hal yang ‘tidak dapat diterima’

    Mesir tidak mau mengambil alih pemerintahan Gaza, dengan menyebut gagasan tersebut bertentangan dengan sikap posisi Mesir dan negara-negara Arab yang telah lama berlaku terkait masalah Palestina.

    Mesir dan negara-negara Arab ingin masalah Palestina dikendalikan oleh faksi dan entitas Palestina dan terus mendorong ‘Solusi Dua Negara’ dengan Israel.

    “Setiap gagasan atau usulan yang menyimpang dari pendirian Mesir dan Arab [tentang Gaza]… ditolak dan tidak dapat diterima,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tamim Khalaf seperti dikutip kantor berita negara, MENA.

    Pernyataan ini dilontarkan sehari setelah pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid melontarkan gagasan tersebut.

    Mantan perdana menteri Israel dan pemimpin oposisi Yair Lapid mengadakan konferensi pers tentang anggaran negara yang akan datang, di Tel Aviv pada 16 Mei 2023. (JACK GUEZ / AFP)

    Imbalan Keringanan Utang

    Yair Lapid, Selasa, mengusulkan agar Mesir mengambil alih kendali administratif Jalur Gaza hingga 15 tahun dengan imbalan keringanan utang luar negerinya yang bernilai lebih dari 150 miliar dolar AS.

    Rencana tersebut mengusulkan  Mesir bertanggung jawab mengelola daerah kantong tersebut selama delapan tahun, dengan opsi untuk memperpanjangnya hingga 15 tahun.

    Lapid mengumumkan rencana tersebut saat berpidato di Foundation for Defense of Democracies (FDD) di Washington, DC dan kemudian mengunggahnya di X, menurut surat kabar Maariv, Israel.

    “Saya baru-baru ini menyampaikan rencana di Washington untuk hari setelah perang di Gaza,” tulisnya.

    “Inti dari rencana tersebut: Mesir akan memikul tanggung jawab atas Gaza selama (hingga) 15 tahun, sementara pada saat yang sama utang luar negerinya sebesar $155 miliar akan dibatalkan oleh masyarakat internasional.”

    “Setelah hampir satu setengah tahun pertempuran, dunia terkejut mengetahui bahwa Hamas masih menguasai Gaza,” tambahnya.

    Lapid menyalahkan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena gagal membangun “pemerintahan efektif di Gaza yang akan mengusir Hamas,”.

    Lapid juga mengatakan kalau Israel menghadapi dua masalah keamanan utama di sepanjang perbatasan selatannya.

    Masalah pertama Israel menurut dia adalah, “Dunia membutuhkan solusi baru untuk Gaza: Israel tidak dapat setuju Hamas tetap berkuasa, Otoritas Palestina tidak mampu menjalankan Gaza, pendudukan Israel tidak diinginkan, dan kekacauan yang terus berlanjut merupakan ancaman keamanan serius bagi Israel.”

    Masalah kedua, kata Lapid, adalah “ekonomi Mesir berada di ambang kehancuran dan mengancam stabilitas Mesir dan seluruh Timur Tengah: utang luar negeri sebesar $155 miliar tidak memungkinkan Mesir membangun kembali ekonominya dan memperkuat militernya.”

    Ia mengusulkan “satu solusi: Mesir akan memikul tanggung jawab pengelolaan Jalur Gaza selama 15 tahun, sementara utang luar negerinya akan ditanggung oleh masyarakat internasional dan sekutu regionalnya.”

    Selama 18 tahun terakhir, Israel telah memberlakukan blokade terhadap Gaza, yang secara efektif mengubahnya menjadi penjara terbuka.

    Genosida baru-baru ini telah menyebabkan sekitar 1,5 juta dari 2,4 juta penduduk daerah kantong itu mengungsi.

    Seorang warga Palestina berjalan di jalanan berdebu dengan latar belakang kehancuran Gaza karena bombardemen buta Israel selama satu tahun sejak 7 Oktober 2023. (MNA)

    Mesir Pemain Utama Pembangunan Gaza

    Lapid mengklaim bahwa selama 15 tahun, “Gaza akan dibangun kembali dan kondisi untuk pemerintahan sendiri akan tercipta. Mesir akan menjadi pemain utama dan akan mengawasi rekonstruksi, yang selanjutnya akan memperkuat ekonominya.”

    “Solusi ini memiliki preseden historis,” katanya.

    “Mesir pernah menguasai Gaza di masa lalu. Ini dilakukan dengan dukungan Liga Arab, dengan pemahaman bahwa ini adalah situasi sementara. Mesir melindungi Jalur Gaza atas nama Palestina. Inilah yang perlu terjadi lagi hari ini.”

    Mesir menguasai Jalur Gaza selama hampir dua dekade setelah berdirinya Israel pada tahun 1948, ketika milisi Zionis merebut tanah Palestina dan melakukan pembantaian yang menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.

    Hamas sebelumnya menolak rencana untuk melucuti senjata atau dipindahkan dari Gaza, dengan menyatakan bahwa masa depan daerah kantong itu harus ditentukan melalui konsensus nasional Palestina.

    Israel terus menduduki wilayah Palestina, Suriah, dan Lebanon, menolak untuk menarik diri atau mengakui negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya dalam batas-batas sebelum tahun 1967.

    Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan telah berlaku di Gaza sejak bulan lalu, menghentikan perang Israel, yang telah menewaskan hampir 48.350 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan daerah kantong itu dalam reruntuhan.

    November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

     

    (oln/thntnl/anadolu/*)