Negara: Jalur Gaza

  • Hamas Tolak Perpanjangan Tahap I Gencatan Senjata, Israel Tak Mau Mundur dari Koridor Philadelphia – Halaman all

    Hamas Tolak Perpanjangan Tahap I Gencatan Senjata, Israel Tak Mau Mundur dari Koridor Philadelphia – Halaman all

    Hamas Tolak Perpanjangan Tahap I Gencatan Senjata, Israel Tak Mau Mundur dari Koridor Philadelphia

    TRIBUNNEWS.COM – Gerakan Pembebasan Palestina, Hamas dilaporkan menolak usulan Israel yang hendak memperpanjang tahap pertama gencatan senjata dalam kerangka pertukaran sandera Israel dan tahanan Palestina, media Times of Israel melaporkan, Jumat (28/2/2025).

    Seperti diketahui, tahap pertama (Fase I) gencatan senjata Perang Gaza berakhir pada 28 Februari 2025.

    Israel sempat mengindikasikan ogah meneruskan negosiasi dan bersiap memulai kembali perang Gaza.

    Namun belakangan, Israel melunak namun tetap enggan meneruskan negosiasi dengan lebih mempertimbangkan opsi perpanjangan gencatan senjata tahap pertama. 

    Sempat mengulur negoisiasi dengan menunda pembebasan ratusan tahanan Palestina, Israel akhirnya mengirimkan delegasinya ke Kairo untuk berunding dengan mediasi dari Mesir dan Qatar.

    Dalam negosiasi yang berlangsung, sumber-sumber Hamas yang dikutip oleh Haaretz berpendapat kalau jika kelompok perlawanan Palestina itu setuju untuk memperpanjang tahap pertama dengan terus membebaskan sejumlah sandera, maka mereka akan kehilangan satu-satunya ‘daya tawar’ utama yang dimilikinya saat ini.

    Hamas sepertinya secara pintar membaca strategi Israel yang ingin memperpanjang tahap pertama gencatan senjata. Kalau dituruti, Hamas bisa kehilangan kartu As mereka saat ini, para sandera Israel yang masih tersisa di tangan mereka.

    “Jika tidak ada batas waktu yang jelas untuk mengakhiri perang dan penarikan penuh (IDF), pembebasan semua sandera tidak dapat diharapkan,” kata seorang sumber dari Hamas yang tidak disebutkan namanya.

    Sumber-sumber Hamas tersebut mengusulkan kompromi potensial seperti usulan pembebasan sandera Israel yang sakit atau pengembalian jasad sandera yang sudah terbunuh sebagai ganti pembebasan tahanan Palestina yang menjalani hukuman penjara yang panjang.

    Sumber mengatakan Hamas juga meminta perbaikan kondisi para narapidana dan diizinkannya lebih banyak bantuan yang masuk ke Gaza.

    Koridor Philadelphia yang memisahkan antara wilayah Mesir dengan wilayah Rafah, Palestina yang diduduki Israel. (khaberni/tangkap layar)

    IDF Tak Akan Mundur dari Koridor Philadelphia

    Satu di antara hambatan yang dihadapi dalam negosiasi tahap II gencatan senjata Gaza adalah penarikan pasukan Israel (IDF) dari perbatasan Gaza dan Mesir yang dikenal dengan nama Koridor Philadelphia.

    Menteri Energi dan Infrastruktur Pendudukan Israel Eli Cohen mengklaim kalau syarat yang diminta Tel Aviv untuk pasukan IDF tetap berada di Koridor Philadelphia merupakan “kebutuhan keamanan.”

    Ia menekankan kalau Pasukan IDF tidak akan mundur dari daerah perbatasan antara Gaza dan Mesir sampai tiga tujuan utama tercapai.

    Dalam sebuah pernyataan pada Kamis, Cohen mengatakan tujuan-tujuan tersebut adalah pengembalian semua tawanan, menyingkirkan Hamas dari kekuasaan, dan melucuti senjata sepenuhnya di Jalur Gaza, menurut klaimnya.

    Ia lebih lanjut menyatakan bahwa mempertahankan kendali atas Koridor Philadelphia sangat penting demi keamanan, dan menyatakan bahwa hal itu merupakan bagian dari strategi pendudukan Israel untuk mencegah ancaman apa pun dari Jalur Gaza di masa mendatang.

    Mesir Mencak-mencak

    Israel bersikeras untuk memegang kendali Koridor Philadelphia ini karena menilai poros ini menjadi lalu-lintas senjata bagi Hamas dari luar Gaza.

    Dalam banyak kesempatan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berbicara panjang lebar untuk membenarkan keberadaan pendudukan pasukan Israel di Koridor Philadelphia.

    Hal ini memantik kemarahan Mesir yang pada September 2024 silam secara resmi menyatakan kemarahandan bantahan tegas atas pernyataan Netanyahu.

    Pemerintah Mesir telah menandatangani perjanjian dengan rezim Israel, yang berupaya mengelola urusan Koridor Philadelphia, sebuah wilayah di sisi Palestina dari perbatasan Palestina-Mesir di Jalur Gaza selatan.

    Pada  Mei 2024 lalu, pasukan pendudukan Israel melancarkan invasi darat mereka ke Rafah dan memfokuskan upaya mereka untuk menduduki Koridor Philadelphia, termasuk perlintasan perbatasan Rafah.

    Netanyahu menyebutkan Mesir dalam beberapa kesempatan “mengalihkan opini publik Israel, menghalangi tercapainya kesepakatan gencatan senjata, dan menghalangi upaya mediasi Mesir, Qatar, dan Amerika,”.

    Netanyahu mengkritik Mesir dalam pidatonya dan mengklaim kalau Mesir gagal mengamankan perbatasannya dengan Jalur Gaza, yang membuat milisi Perlawanan Palestina semakin berani.

    Netanyahu juga menyoroti pentingnya secara strategis untuk mempertahankan kendali Israel atas Koridor Philadelphia, sebidang tanah sempit di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir.

    Netanyahu menggambarkan Koridor Philadelphia sebagai “jalur hidup Hamas untuk senjata.”

    Ia mengakui adanya perbedaan pendapat internal dalam pemerintahannya mengenai keberadaan militer yang berkelanjutan di koridor ini tetapi bersikeras bahwa hal itu penting bagi keamanan Israel.

    Seperti diketahui, setelah rezim Israel memutuskan untuk menarik diri secara sepihak dari Jalur Gaza pada tahun 2005, otoritas Palestina mengambil alih kendali yang sah atas Koridor Philadelphia dan perlintasan perbatasan Rafah.

    Mesir menyatakan bahwa pemerintah Israel bertanggung jawab atas “konsekuensi dari pernyataan yang memperburuk situasi, yang bertujuan untuk membenarkan kebijakan yang agresif dan menghasut, dan menyebabkan eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.”

    “Republik Arab Mesir menegaskan komitmennya untuk melanjutkan peran historisnya dalam memimpin proses perdamaian di kawasan tersebut, yang berkontribusi dalam menjaga perdamaian dan keamanan regional serta mencapai stabilitas bagi semua masyarakat di kawasan tersebut,” pernyataan tersebut menyimpulkan.

    Peta koridor Philadelphia (X/jordannewsdaily)

    Koridor yang Dipenuhi Jenazah

    Terkait keberadaan pasukan Israel di Koridor Philadelphia, media Israel, Haaretz dalam sebuah analisis melaporkan kalau Netanyahu dan para menterinya sebenarnya tahu bahwa kehadiran tentara Israel di perbatasan Gaza-Mesir tidak pernah menjadi elemen pencegah aksi gangguan keamanan Israel. 

    Tujuan sebenarnya, menurut surat kabar Israel, adalah untuk mempertahankan keberadaan Israel di Gaza selamanya. Media itu kemudian menyatakan niatan ini sebagai “jahat”.

    Haaretz menyalahkan Netanyahu karena secara sistematis menciptakan kondisi yang menyebabkan terbunuhnya para sandera Israel.

    “Dengan PM Israel menganggap kendali atas rute Philadelphia sebagai “masalah diplomatik dan strategis” dan kabinet keamanan memberikan suara mendukung untuk membiarkan pasukan Israel di sana, hasilnya adalah lebih banyak jenazah sandera Israel,” tulis laporan Haarezt.

    Surat kabar itu menegaskan bahwa keputusan kabinet keamanan agar IDF tetap di Koridor Philadelphia mencerminkan aib mereka yang memprioritaskan apa yang disebutnya “strategi kosong” daripada nyawa dan hidup manusia.

    Selain itu, keputusan para politikus Israel itu dianggap mengabaikan sikap IDF dan orang-orang Shin Bet yang percaya kalau Israel seharusnya melepaskan kendali atas koridor Philadelphia, setidaknya untuk waktu yang terbatas.

    (oln/rntv/khbrn/almydn/*)

  • Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu Mesir Abdelatty Membahas Gencatan Senjata di Gaza – Halaman all

    Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu Mesir Abdelatty Membahas Gencatan Senjata di Gaza – Halaman all

    Menlu Rusia dan Mesir Membahas Gencatan Senjata di Gaza

    TRIBUNNEWS.COM- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov membahas implementasi perjanjian gencatan senjata Gaza dengan mitranya dari Mesir Badr Ahmed Mohamed Abdelatty selama panggilan telepon hari ini.

    “Selama percakapan tersebut, terjadi pertukaran pandangan yang konstruktif mengenai isu-isu regional yang mendesak, dengan fokus pada situasi di zona konflik Palestina-Israel,” kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan.

    Pernyataan itu menekankan perlunya mengintensifkan upaya internasional untuk memastikan kelanjutan pelaksanaan perjanjian gencatan senjata tiga tahap di Jalur Gaza, memfasilitasi pertukaran tahanan, dan memperluas pengiriman bantuan kemanusiaan kepada penduduk daerah kantong tersebut.

    Lavrov juga menyampaikan penilaian Rusia mengenai perkembangan terkini dalam konflik Ukraina.

    “Para menteri juga meninjau proyek-proyek dan jalan yang menjanjikan untuk lebih memperkuat hubungan yang selama ini telah terjalin baik antara Rusia dan Mesir. Mereka menegaskan kembali komitmen bersama untuk menjaga dialog politik yang saling percaya, memperluas hubungan perdagangan, ekonomi, dan kemanusiaan, serta meningkatkan koordinasi di dalam PBB,” kata kementerian tersebut.

    Hamas menyerahkan jenazah empat tawanan Israel sebagai ganti lebih dari 600 tahanan Palestina dalam pertukaran terakhir yang direncanakan pada tahap pertama gencatan senjata, yang berakhir akhir pekan ini.

    Pada tahap kedua, Hamas diharapkan membebaskan semua tawanan yang tersisa dengan imbalan ratusan tahanan lagi, penarikan penuh Israel dari Gaza dan penghentian permanen pertempuran.

    Namun, para analis yakin Israel tidak berusaha untuk mengadakan pembicaraan tentang tahap kedua karena pemerintah sayap kanan Tel Aviv terus menyerukan agar pemboman genosida di Gaza dilanjutkan dengan dukungan dari pemerintahan baru AS di bawah Donald Trump.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR

  • 10 Warga Israel Ambruk dalam Serangan Karkur, Hamas Kirim Pesan Perlawanan Sudah di Dalam Israel – Halaman all

    10 Warga Israel Ambruk dalam Serangan Karkur, Hamas Kirim Pesan Perlawanan Sudah di Dalam Israel – Halaman all

    10 Warga Israel Terluka dalam Serangan Karkur, Hamas Kirim Pesan Perlawanan Sudah Masuk Israel

    TRIBUNNEWS.COM – Sepuluh warga Israel terluka dalam serangan penabrakan kendaraan dan penikaman di Karkur, sebelah selatan Haifa, Palestina yang diduduki Israel, Kamis (27/2/2025).

    Operasi penyerangan ini membuat dua orang dalam kondisi kritis, media Israel melaporkan.

    Operasi tersebut, yang berlangsung di area perbelanjaan, merupakan yang terbaru dalam serangkaian aksi perlawanan di dalam Israel sejak dimulainya perang genosida di Gaza.

    Menurut Channel 13 Israel, terduga pelaku merupakan seorang pria yang mengendarai sebuah kendaraan roda empat.

    Aksi pernyerangan, pertama-tama dilakukan dengan menabrak sekelompok orang, kemudian menabrak kendaraan polisi,

    Terduga pelaku kemudian keluar dari mobil dan menikam dua polisi Israel.

    Channel 12 Israel mengonfirmasi kalau pasukan Israel menembak dan membunuh pelaku di tempat kejadian.

    Radio Angkatan Darat Israel mengidentifikasi pelaku operasi tersebut sebagai warga Palestina berusia 24 tahun yang memegang kewarganegaraan Israel dari kota Umm al-Fahm, Haifa.

    Polisi Israel mengatakan mereka sedang menyisir daerah tersebut untuk mencari tersangka lainnya.

    Hamas Kirim Pesan 

    Gerakan Perlawanan Palestina Hamas menggambarkan operasi tersebut sebagai pesan kalau gerakan perlawanan di seluruh Palestina sedang berlangsung, meskipun ada eskalasi militer Israel (IDF) di Gaza dan penindasan IDF di Tepi Barat.

    Hamas mengatakan dalam sebuah pernyataan kalau operasi penyerangan tersebut membuktikan kalau upaya pendudukan Israel untuk mematahkan keinginan rakyat Palestina telah gagal.

    Selama dua tahun terakhir, operasi perlawanan di dalam Israel dan Tepi Barat yang diduduki telah mengalami peningkatan yang signifikan.

    Menurut sebuah laporan oleh Institut Studi Keamanan Nasional Israel, 82 operasi dilakukan di dalam apa yang disebut Garis Hijau selama periode ini, dari Katzrin di utara hingga Beersheba di selatan — dengan konsentrasi terbesar di Tel Aviv dan daerah sekitarnya.

    Peningkatan operasi mencerminkan pergeseran geografi perlawanan Palestina, yang meluas melampaui Tepi Barat yang diduduki ke daerah-daerah di dalam wilayah 1948, meskipun ada kampanye militer Israel dan penangkapan yang meluas.

    Meningkatnya aksi perlawanan Palestina terjadi seiring makin masifnya operasi militer Pasukan Israel (IDF) di Tepi Barat.

    Dalam laporan baru-baru ini, IDF dilaporkan meledakkan pintu-pintu sebuah masjid di Nablus dalam sebuah penyerbuan di Tepi Barat

    “Pasukan Israel telah menyerbu Masjid Imam Ali di kota Nablus, Tepi Barat utara, dan menyita rekaman kamera pengawas yang terpasang di sana,” tulis laporan PressTV, dikutip Selasa (25/2/2025).

    Dalam agresi militer yang kian brutal tersebut, laporan tersebut juga mengatakan kalau tentara pendudukan meledakkan pintu-pintu masjid yang berada di Jalan al-Mamoun.

    Pasukan IDF juga melakukan penyerbuan ke wilayah utara Nablus dan mengepung sebuah rumah di kota Zababdeh, tenggara Jenin, Tepi Barat.

    Juga pada Selasa, Faisal Salama, kepala Komite Rakyat untuk Layanan Kamp Tulkarm, mengatakan pasukan Israel telah secara paksa merelokasi lebih dari 12.000 penduduk kamp pengungsi selama bulan lalu.

    Pasukan Israel juga menghancurkan 40 bangunan tempat tinggal serta 300 toko.

    “Israel “berusaha – sebagaimana yang jelas – untuk mencapai tujuan politik dan media … dengan mengosongkannya (kamp pengungsi) dari penduduknya, … menghancurkan dan membakar sebanyak mungkin rumah, dan menghilangkan layanan dasar,” tulis laporan tersebut

    Militer Israel melancarkan serangan terhadap Tepi Barat yang diduduki pada 21 Januari, dengan klaim bahwa serangan itu menargetkan pejuang perlawanan dari Batalyon Jenin.

    Israel telah meningkatkan kekerasan di Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023, ketika melancarkan perang genosida di Jalur Gaza. Sejak saat itu, pasukan rezim telah menewaskan sedikitnya 923 warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki.

    Pada hari Senin, tentara pendudukan menyerbu kota Tulkarm, serta kota Yatma, Beit Ummar, Kafil Haris, Qabatiya, dan Ni’lin, serta desa Marka dan Wadi al-Far’a. Serangan lainnya menargetkan kamp Fawwar, Jalazone, dan Tulkarm.

    Tangkap 365 Warga Palestina dari Tulkarem, Jenin, Tepi Barat Sejak Januari

    Dalam agresi brutal bertajuk ‘Operasi Tembok Besi tersebut, Militer Israel menangkap sedikitnya 365 warga Palestina dari provinsi Jenin dan Tulkarem sejak dimulainya serangannya di Tepi Barat utara pada 21 Januari, Anadolu Agency melaporkan.

    “Israel terus meningkatkan operasi penangkapan dan investigasi di tempat, khususnya di provinsi Jenin dan kamp pengungsi, serta di Tulkarem dan kamp-kampnya, sejak dimulainya agresi saat ini,” kata Masyarakat Tahanan Palestina dalam sebuah pernyataan.

    Kelompok tersebut menggambarkan operasi Israel sebagai “perpanjangan dari kebijakan penangkapan sistematis, yang telah meningkat intensitasnya sejak perang genosida.”

    Pernyataan tersebut mencatat bahwa operasi penangkapan yang sedang berlangsung dan meningkat disertai dengan “eksekusi cepat, penembakan langsung atau ancaman penembakan, serta pemukulan parah dan investigasi di tempat yang memengaruhi ratusan orang.”

    Sementara itu, militer Israel telah menangkap warga Palestina sebagai sandera dengan mengepung rumah-rumah dengan barak militer. Militer menargetkan rumah-rumah lain untuk dihancurkan, dinamit, dan dibakar, selain penghancuran infrastruktur yang disengaja, menurut masyarakat.

    Dikatakan juga bahwa Israel telah menangkap hampir 14.500 warga negara dari Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023.

    Tentara Israel telah melancarkan operasi militer di Tepi Barat utara sejak 21 Januari, menewaskan sedikitnya 61 warga Palestina dan membuat ribuan orang mengungsi.

    Serangan itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan di Tepi Barat yang diduduki, tempat sedikitnya 923 warga Palestina tewas dan hampir 7.000 lainnya terluka dalam serangan oleh tentara Israel dan pemukim ilegal sejak dimulainya perang Gaza pada 7 Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan.

    LAWAN AGRESI – Para petempur dari faksi-faksi milisi perlawanan Palestina dari Brigade Al Qassam, Brigade Al-Quds, dan Brigade Al Aqsa di Tepi Barat. (khaberni)

    Melawan, Brigade Al-Quds Lukai Sejumlah Pasukan IDF

    Agresi IDF di Tepi Barat ini mendapat perlawanan dari faksi-faksi milisi perlawanan Palestina.

    Sayap bersenjata Jihad Islam Palestina, Brigade Al-Quds terlibat pertempuran dengan Pasukan Israel di Jenin, Tepi Barat.

    Dalam pernyataan yang diunggah di Telegram, Brigade Al-Quds mengumumkan mereka sukses menargetkan tentara Israel dengan alat peledak yang sudah dipasang di lingkungan Silat al-Harithiya, Jenin.

    Setelah serangan tersebut, para petempur terlibat baku tembak dengan pasukan Israel di daerah yang sama.

    Al-Quds mengklaim beberapa tentara Israel terluka dalam insiden tersebut.

    Operasi itu terjadi di waktu yang sama ketika Israel menggerakkan tank-tank dan kendaraan militer berat ke wilayah utara Tepi Barat yang diduduki.

    Selain pertempuran di Jenin, pasukan Israel dilaporkan menyerang Kota Burqin, sebelah barat Jenin, yang mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur kota.

    Rekaman yang dirilis Jaringan Berita Quds dan Pusat Informasi Palestina menunjukkan kehancuran di persimpangan jalan utama akibat operasi Israel menggunakan alat berat pada malam hari.

    Alat-alat itu terlihat menggali jalan di Bundaran al-Abarah, yang mengakibatkan tumpukan besar tanah dan menghentikan akses ke persimpangan tersebut.

    Beberapa lokasi yang menjadi target serangan termasuk Kota Hebron, kamp pengungsi Nur Shams yang terletak di sebelah timur Tulkarem, serta lingkungan Beitunia di kota Ramallah.

    Selain Silat al-Harithiya di utara Ramallah, pasukan Israel juga melakukan penggerebekan di Kota Kobar, Silwad, serta menyerbu Kota Qabatiya di selatan Jenin, yang menyebabkan penghancuran lebih lanjut pada infrastruktur di sana.

    Kelompok Hamas mengutuk keras ekspansi operasi militer Israel di provinsi Jenin dan wilayah utara Tepi Barat yang diduduki.

    Hamas menyebut tindakan ini sebagai bagian dari niat kolonial Israel untuk mencaplok wilayah tersebut secara de jure.

     

  • Delegasi Israel Temui Hamas di Mesir, Gencatan Senjata Berlanjut?

    Delegasi Israel Temui Hamas di Mesir, Gencatan Senjata Berlanjut?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Delegasi Israel berangkat menuju Mesir untuk melanjutkan perundingan kelanjutan gencatan senjata di Gaza antara Tel Aviv dengan milisi Palestina, Hamas, Kamis (27/2/2025). Hal ini terjadi saat gencatan senjata tahap pertama antara kedua belah pihak berakhir berakhir.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan tim Israel dijadwalkan tiba pada Kamis malam di Kairo. Pengumuman itu dibuat sehari setelah Hamas menyerahkan jenazah empat sandera Israel dalam gelombang terakhir sesuai kesepakatan gencatan senjata awal.

    Dari sisi Israel, 600 tahanan Palestina yang seharusnya dibebaskan selama akhir pekan dibebaskan pada Rabu malam, 46 di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Beberapa anggota tubuhnya diamputasi saat berada dalam tahanan Israel, dan banyak yang kurus kering.

    Tahap pertama gencatan senjata akan berakhir pada 2 Maret. Negosiasi tentang cara melaksanakan tahap kedua, yang akan berujung pada akhir perang secara permanen, seharusnya sudah dimulai beberapa minggu lalu, tetapi telah berulang kali ditunda karena gencatan senjata yang rapuh itu telah berubah dari satu krisis ke krisis lainnya.

    Kedua belah pihak saling menuduh pihak lain berulang kali melanggar perjanjian, yang sempat menghentikan pertempuran selama 15 bulan. Di sisi lain, Israel terus melancarkan aksi militernya ke wilayah lain di Palestina, Tepi Barat, yang saat ini dalam pendudukan Negeri Zionis itu.

    Israel sendiri mengklaim menginginkan perpanjangan tahap pertama dari kesepakatan tersebut dalam perundingan yang diperbarui. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, mengatakan kepada wartawan bahwa delegasi akan melakukan perjalanan ke Mesir untuk melihat apakah ada titik temu untuk merundingkan perpanjangan.

    “Kami mengatakan kami siap untuk memperpanjang kerangka kerja dengan imbalan membebaskan lebih banyak sandera. Jika memungkinkan, kami akan melakukannya,” katanya dikutip The Guardian.

    Jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar warga Israel mendukung gencatan senjata untuk membebaskan 59 sandera yang tersisa, setidaknya 39 di antaranya diyakini telah tewas.

    Namun, Netanyahu enggan berkomitmen pada tahap kedua gencatan senjata karena tekanan dari sebagian besar pemerintahan sayap kanannya untuk memenuhi tujuan perang yang dinyatakan yaitu ‘kemenangan total’ atas Hamas. Bahkan, mitranya di koalisi mengancam akan meruntuhkan pemerintahan jika Israel tidak kembali berperang.

    Di sisi lain, dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, Hamas menyatakan siap untuk memulai pembicaraan pada tahap kedua. Mereka menyebut bahwa satu-satunya cara sandera yang tersisa di Gaza akan dibebaskan adalah melalui “komitmen pada gencatan senjata”.

    The Associated Press melaporkan pada Kamis bahwa pejabat Israel mengkonfirmasi bahwa negara itu tidak akan menarik pasukannya dari zona perbatasan Gaza-Mesir, sesuai dengan perjanjian gencatan senjata. Hal ini pun dapat membahayakan masa depan gencatan senjata.

    Pada tahap kedua kesepakatan tersebut, yang durasinya tidak pasti, Israel seharusnya menarik pasukannya sepenuhnya dari Gaza, yang pada dasarnya mengakhiri perang, dan pembicaraan tentang tata kelola masa depan jalur tersebut harus dimulai. Rekonstruksi akan dimulai pada tahap ketiga, tetapi ada perbedaan besar di kedua belah pihak tentang masa depan Gaza.

    Hamas mengatakan bersedia menyerahkan kendali Jalur Gaza kepada warga Palestina lainnya, tetapi para pemimpinnya menolak untuk mengasingkan diri. Israel menegaskan bahwa mereka tidak akan mengizinkan Hamas atau Otoritas Palestina yang berpusat di Tepi Barat untuk mengelola wilayah tersebut saat perang berakhir.

    Perang terbaru Israel-Hamas pecah pada 7 Oktober 2023 setelah serangan Hamas ke sejumlah daerah di Negeri Yahudi itu. Sekitar 1.200 orang tewas dan 250 orang Israel disandera dalam serangan tersebut.

    Di sisi lain, serangan balik Israel telah menewaskan 48.000 orang di Gaza. Selain itu, serbuan Tel Aviv juga membuat hampir 75% infrastruktur di wilayah pesisir Palestina itu hancur.

     

    (luc/luc)

  • AS Sebut Lebanon dan Suriah Bisa Segera Berdamai dengan Israel, Arab Saudi Jadi Kunci – Halaman all

    AS Sebut Lebanon dan Suriah Bisa Segera Berdamai dengan Israel, Arab Saudi Jadi Kunci – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Utusan Amerika Serikat (AS) untuk urusan Timur Tengah, Steve Witkoff, mengklaim Lebanon dan Suriah bisa segera menormalisasi hubungan dengan Israel.

    Klaim itu disampaikan Witkoff pada acara yang digelar oleh Komite Yahudi Amerika hari Senin, (24/2/2025).

    Witkoff yang baru saja diangkat oleh Presiden AS Donald Trump itu berujar transformasi politik di Timur Tengah mungkin “meluas hingga Lebanon dan Suriah”.

    Dia lalu menyinggung tantangan yang harus dihadapi, yakni faksi-faksi di kedua negara itu yang terkait dengan Iran.

    “Mengenai bulan sabit Iran, hal itu pada dasarnya sudah dihancurkan. Lihatlah apa yang terjadi di Suriah, kita melihat pemilu yang hebat di Lebanon, dan banyak hal yang terjadi,” katanya dikutip dari The New Arab.

    Bulan sabit Iran yang dimaksud Witkoff adalah wilayah berbentuk bulan sabit di Timur Tengah yang memiliki banyak penganut Islam Syiah atau berada di bawah pengaruh Iran.

    Dia menyebut Lebanon dan Suriah bisa saja dimasukkan ke dalam Abraham Accord atau perjanjian normalisasi antara Israel dan negara-negara Timur Tengah.

    “Jadi, banyak perubahan besar yang sedang terjadi,” katanya.

    Ide tentang normalisasi itu awalnya disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Israel Katz pada bulan Oktober 2024. Dia mengatakan Lebanon bisa memiliki hubungan diplomatik dengan Israel apabila Arab Saudi mengawalinya.

    Hingga saat ini Lebanon tidak mengakui negara Israel. Setiap warga Lebanon juga dilarang pergi ke Israel, sedangkan setiap orang yang punya paspor Israel dilarang memasuki Lebanon.

    Seorang pakar politik Palestina bernama Yasser Zaatreh mengkritik pedas pernyataan Witkoff. Menurutnya, ucapan Witkoff adalah suatu “tragedi”, mengingat Israel belum lama menginvasi Lebanon dan Suriah.

    “Trump dan geng penjahatnya berpikir mereka para dewa di alam semesta, mereka memberikan perintah dan dipatuhi,” kata Zaatreh.

    Lebanon dan Suriah turut terdampak oleh perang yang dikobarkan Israel di Jalur Gaza selama 1,5 tahun belakangan.

    Israel dan kelompok Hizbullah di Lebanon saling menyerang di perbatasan setelah perang Gaza meletus. Konflik Israel-Hizbullah membesar menjadi perang mulai September 2024 dan menewaskan lebih dari 4.000 warga Lebanon.

    Israel menyerbu Lebanon selatan bulan Oktober tahun kemarin. Lalu, gencatan senjata Israel-Hizbullah disepakati tanggal 27 November.

    Sementara itu, pasukan Israel di Suriah menyerang target yang disebutnya terkait dengan Hizbullah dan Iran.

    Israel juga menduduki zona penyangga di Suriah selatan yang berdekatan dengan Dataran Tinggi Golan setelah rezim Bashar Al Assad tumbang akhir tahun lalu.

    Pemerintahan sementara di Suriah sudah berulang kali meminta Israel untuk menarik pasukannya dari Suriah dan berhenti menyerang. Namun, rezim baru itu tidak bisa membalas Israel karena tidak mempunyai militer kuat dan masih berada dalam masa transisi.

    Sementara itu, Arab Saudi sudah lama dirumorkan ingin menormalisasi hubungan dengan Israel setelah Maroko, Uni Emirat Arab, dan Bahrain melakukannya.

    Namun, Arab Saudi juga berulang kali berkata tak ingin menormalisasi hubungan dengan Israel jika negara Palestina yang merdeka belum didirikan.

    Adapun pada bulan Januari lalu Trump sudah mengaku bakal membuat Arab Saudi menormalisasi hubungan.

    (*)

  • Israel Berlakukan Pembatasan Keamanan di Al-Aqsa Selama Ramadan

    Israel Berlakukan Pembatasan Keamanan di Al-Aqsa Selama Ramadan

    Yerusalem

    Pemerintah Israel mengumumkan akan menerapkan apa yang disebutnya sebagai “pembatasan keamanan” di kompleks Masjid Al-Aqsa yang ada di Kota Tua, Yerusalem, selama bulan suci Ramadan, yang akan dimulai pada akhir pekan.

    Ratusan ribu warga Palestina, seperti dilansir AFP, Jumat (28/2/2025), datang ke kompleks Masjid Al-Aqsa untuk menjalankan salat selama Ramadan. Kompleks Masjid Al-Aqsa, merupakan situs tersuci ketiga dalam Islam, terletak di Yerusalem Timur yang diduduki dan dianeksasi Israel.

    Tahun ini, bulan suci Ramadan bertepatan dengan gencatan senjata Gaza yang rapuh, yang menghentikan sebagian besar pertempuran antara Israel dan Hamas setelah perang dahsyat menewaskan puluhan ribu orang di daerah kantong Palestina tersebut.

    “Pembatasan yang biasa dilakukan demi keselamatan publik akan diberlakukan seperti yang terjadi setiap tahun,” kata juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, dalam pengarahan online kepada wartawan.

    Tahun lalu, di tengah perang Gaza, pemerintah Israel memberlakukan pembatasan terhadap pengunjung yang datang ke Al-Aqsa, khususnya bagi warga Palestina yang datang dari Tepi Barat.

    Hanya pria berusia 55 tahun ke atas dan wanita berusia 50 tahun ke atas yang diizinkan memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa “untuk alasan keamanan”. Sementara ribuan polisi Israel dikerahkan di seluruh area Kota Tua, Yerusalem.

    Mencer mengindikasikan dalam pernyataannya bahwa tindakan pencegahan akan diambil lagi tahun ini.

    “Tentu saja, yang tidak akan kami biarkan dan tidak akan disetujui oleh negara mana pun adalah orang-orang yang berusaha memicu kekerasan dan serangan terhadap orang lain,” katanya, tanpa merinci soal pengerahan polisi tahun ini.

    Kompleks Masjid Al-Aqsa merupakan simbol identitas nasional Palestina.

    Namun kompleks suci itu juga merupakan tempat tersuci bagi agama Yahudi, yang menyebutnya sebagai Temple Mount. Berdasarkan konvensi lama, umat Yahudi diperbolehkan berkunjung tetapi tidak diizinkan berdoa di kompleks suci tersebut.

    Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak ultranasionalis Yahudi yang menentang aturan tersebut, termasuk politisi sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir yang secara terang-terangan berdoa di kompleks Al-Aqsa saat menjabat Menteri Keamanan Nasional tahun 2023-2024.

    Pemerintah Israel telah berulang kali menegaskan akan mempertahankan status quo di kompleks suci itu. Namun kekhawatiran warga Palestina mengenai masa depan Al-Aqsa telah menjadikannya titik rawan kekerasan.

    Tahun lalu, Tel Aviv mengizinkan umat Muslim menjalankan salat di Masjid Al-Aqsa dalam jumlah yang sama seperti tahun sebelumnya meskipun perang berkecamuk di Jalur Gaza.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Akui Gagal Total Cegah Serangan 7 Oktober, Remehkan Hamas

    Israel Akui Gagal Total Cegah Serangan 7 Oktober, Remehkan Hamas

    Tel Aviv

    Militer Israel mengakui “kegagalan total” dalam mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sedikitnya 1.200 orang di wilayahnya. Militer Israel juga mengakui bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah meremehkan kemampuan Hamas yang menguasai Jalur Gaza.

    Pengakuan soal “kegagalan total” ini, seperti dilansir AFP, Jumat (28/2/2025), disampaikan dalam laporan investigasi internal militer Israel terhadap serangan 7 Oktober, yang memicu perang dahsyat di Jalur Gaza yang menewaskan puluhan ribu warga Palestina.

    “Tanggal 7 Oktober adalah kegagalan total, IDF (Angkatan Bersenjata Israel) gagal memenuhi misinya untuk melindungi warga sipil Israel,” kata seorang pejabat senior militer Israel, tanpa menyebut nama sesuai protokol militer, saat memberi penjelasan kepada wartawan soal temuan penyelidikan internal itu.

    “Terlalu banyak warga sipil yang tewas pada hari ini bertanya dalam hari atau dengan lantang, di mana IDF,” ucap pejabat senior militer Israel tersebut.

    Dalam ringkasan laporan yang dibagikan kepada jurnalis, militer Israel mengatakan: “Angkatan Bersenjata Israel gagal melindungi warga Israel. Divisi Gaza dikuasai pada dini hari perang, ketika teroris mengambil kendali dan melakukan pembantaian di komunitas-komunitas dan jalanan di wilayah tersebut.”

    Pejabat militer itu menjelaskan bahwa militer Israel “terlalu percaya diri” dan telah keliru dalam mengkalkulasi kemampuan militer Hamas sebelum serangan terjadi.

    Diungkapkan pejabat militer Israel itu bahwa penyelidikan dilakukan selama 15 bulan terakhir, yang fokus pada empat area utama, yakni persepsi militer menjelang 7 Oktober, kegagalan intelijen, peristiwa malam hari sebelum serangan terjadi, dan tindakan militer saat serangan terjadi serta upaya merebut kembali kendali.

    “Kami bahkan tidak membayangkan skenario seperti itu,” kata pejabat militer Israel, sembari menyebut perhatian Tel Aviv saat itu tertuju pada ancaman dari Iran dan Hizbullah.

    Lihat juga Video ‘Pertukaran Tahanan Terakhir, Warga Palestina Tinggalkan Penjara Israel’:

    Menurut pejabat militer Israel itu, militer Tel Aviv tidak memiliki “pemahaman komprehensif mengenai kemampuan militer musuh” dan “terlalu percaya diri dengan pengetahuannya”.

    Persepsi militer Israel pada saat itu, menurut laporan investigasi internal itu, adalah Hamas tidak tertarik pada konflik skala penuh. Militer Israel dinilai kurang persiapan dan kemampuan untuk merespons serangan.

    “Keyakinannya adalah Hamas dapat dipengaruhi melalui tekanan yang akan mengurangi motivasi perang, terutama dengan memperbaiki kondisi kehidupa di laur Gaza,” sebut laporan tersebut, seperti dilansir Reuters.

    Serangan Hamas itu menewaskan sedikitnya 1.218 orang di Israel, yang sebagian besar warga sipil. Sebanyak 251 orang lainnya disandera Hamas, dengan saat ini masih ada 58 sandera yang ditahan di Jalur Gaza, termasuk 34 orang yang diyakini sudah tewas.

    “Ini adalah salah satu peristiwa paling mengerikan yang pernah terjadi di Israel. Ini adalah salah satu kegagalan terbesar IDF,” sebut pejabat militer senior Israel itu.

    Lihat juga Video ‘Pertukaran Tahanan Terakhir, Warga Palestina Tinggalkan Penjara Israel’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Akui Gagal Total, Hasil Investigasi 7 Oktober Ungkap Cara Hamas Lumpuhkan IDF – Halaman all

    Israel Akui Gagal Total, Hasil Investigasi 7 Oktober Ungkap Cara Hamas Lumpuhkan IDF – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Israel (IDF) mengungkap hasil investigasi sementara mengenai Operasi Banjir Al-Aqsa yang diluncurkan oleh Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.

    Seorang pejabat militer Israel mengakui kegagalan total untuk mencegah serangan tersebut.

    “Tanggal 7 Oktober (2023) adalah kegagalan total dan tentara gagal melaksanakan misinya untuk melindungi warga sipil Israel,” kata pejabat IDF kepada wartawan, Kamis (27/2/2025).

    “Banyak warga sipil terbunuh hari itu sambil bertanya pada diri sendiri atau dengan lantang, di manakah tentara Israel?” tanyanya.

    Investigasi yang diterbitkan oleh militer Israel menyoroti kegagalan strategis dan intelijen utama yang memungkinkan Hamas melancarkan serangan terbesar terhadap Israel dalam sejarahnya.

    Militer Israel mengatakan dalam ringkasan laporan kepada media bahwa pasukannya gagal melindungi warga Israel.

    “Divisi Gaza (Israel) kalah dalam beberapa jam pertama perang, dengan teroris menguasai (wilayah tersebut), dan melakukan pembantaian di masyarakat dan di jalan-jalan di daerah tersebut,” menurut laporan IDF yang diberitakan oleh Yedioth Ahronoth.

    Sementara itu pejabat IDF mengakui tentara Israel terlalu percaya diri dan salah menilai kemampuan Hamas sebelum melancarkan serangan.

    Penyelidikan Israel menemukan serangan itu dilakukan dalam 3 kelompok, yang melibatkan hampir 5.000 pejuang Hamas.

    “Gelombang pertama mencakup lebih dari 1.000 pejuang dari unit elit Hamas yang menyusup di bawah perlindungan tembakan gencar,” katanya.

    “Gelombang kedua mencakup 2.000 pejuang, sementara gelombang ketiga mencakup masuknya ratusan pejuang,” lanjutnya.

    Investigasi militer Israel menyatakan Divisi Gaza berhasil ditundukkan pada jam-jam pertama serangan dan perlawanan dimulai pada sore hari.

    Hamas menyerang pasukan dan perwira senior militer Israel yang dikirim, serta mengganggu sistem komando dan kontrol.

    Militer Israel mengakui harga yang mereka bayar pada tanggal 7 Oktober 2023 tidak tertahankan dalam hal korban tewas dan luka-luka.

    “Hamas mengejutkan angkatan udara Israel dengan kemampuannya mengangkut militannya dengan parasut terbang, dan angkatan udara Israel tidak memiliki rencana darurat untuk skenario invasi darat,” lapor Yedioth Ahronoth, mengutip seorang pejabat IDF.

    “Kekacauan yang terjadi setelah serangan 7 Oktober menyebabkan insiden tembakan dari kawan sendiri, tetapi jumlahnya tidak banyak,” kata pejabat itu.

    “Para pemimpin militer memperkirakan invasi darat dari delapan titik perbatasan, tetapi Hamas menyerang dari lebih dari 60 titik, dan intelijen kami menunjukkan bahwa perencanaan serangan dimulai pada tahun 2017,” tambahnya.

    Surat kabar itu melaporkan Hamas menunda penyerbuan wilayah Gaza pada tahun 2023 untuk mempersiapkan pasukan elit dengan lebih baik dan berencana menyerbu selama hari raya Paskah Yahudi pada tahun 2023.

    Yedioth Ahronoth mengutip hasil penyelidikan yang mengatakan kegagalan intelijen Israel adalah akibat dari masalah mendalam pada inti sistem intelijen.

    Selain itu, pejabat IDF menjelaskan kegagalan Hizbullah Lebanon untuk bergabung dalam pertempuran bersama Hamas sejak awal disebabkan oleh kurangnya koordinasi.

    Sementara itu, The Times of Israel melaporkan bahwa sebagian besar perwira angkatan udara tidak berada di wilayah selatan karena sedang libur.

    Namun, angkatan udara Israel kemudian melancarkan operasi ‘Pedang Damocles’ untuk menyerang beberapa pemimpin Hamas dan markas besarnya. 

    Sementara itu, Kepala Staf IDF yang akan lengser, Herzi Halevy mengakui kegagalannya.

    “Kami tidak memiliki masalah untuk mengatakan bahwa kami telah melakukan kesalahan pada tanggal 7 Oktober dan saya bertanggung jawab,” kata Herzi Halevy mengomentari penyelidikan itu.

    Hasil penyelidikan menyimpulkan perlu untuk merekomendasikan penerapan kebijakan pertahanan ofensif dan meningkatkan kekuatan dan sumber daya tentara untuk melindungi perbatasan Israel.

    Tentara Israel juga harus selalu siap menghadapi serangan besar-besaran dan mendadak.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Delegasi Israel ke Kairo, Hamas Sekali Lagi Bikin Zionis Tak Punya Pilihan Selain Berunding – Halaman all

    Delegasi Israel ke Kairo, Hamas Sekali Lagi Bikin Zionis Tak Punya Pilihan Selain Berunding – Halaman all

    Delegasi Israel ke Kairo, Hamas Sekali Lagi Sukses Bikin Zionis Tak Punya Pilihan Selain Berunding

    TRIBUNNEWS.COM – Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, Kamis (27/2/2025) mengeluarkan pernyataan terkait situasi konflik yang terjadi di Jalur Gaza.

    Pada pernyataan itu, Hamas menegaskan kembali komitmennya terhadap perjanjian gencatan senjata Gaza, dengan mengatakan upaya Israel untuk menghalangi pembebasan tahanan telah gagal.

    Israel membebaskan 596 tahanan Palestina semalam setelah Hamas menyerahkan jenazah empat tawanan Israel. Tel Aviv juga diperkirakan akan membebaskan 46 tahanan Palestina pada hari Kamis.

    “Kami melakukan pembebasan tahanan heroik kami bersamaan dengan penyerahan sisa-sisa tawanan musuh (Zionis) untuk mencegah pendudukan (Israel) terus menghindari persyaratan perjanjian,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan dilansir Anews.

    Israel diketahui memang sempat mengulur pembebasan ratusan tahanan Palestina dalam putaran ketujuh pertukaran sandera-tahanan dalam kerangka tahap pertama (Fase I) Gencatan Senjata yang akan berakhir pada Sabtu (28/2/2025).

    Manuver Israel itu diiringi ancaman kalau gencatan senjata bisa sewaktu-waktu berhenti dan perang Gaza bisa dimulai kapan saja.

    Namun, dengan pembebasan tahanan Palestina ini, Hamas mengklaim kalau Israel sekali lagi tidak punya pilihan kecuali untuk berunding.

    “Upaya Israel untuk menghalangi pembebasan tahanan kami telah gagal. Musuh tidak punya pilihan lain selain memulai negosiasi tahap kedua” dari perjanjian tersebut, tambahnya.

    Kelompok Perlawanan Palestina itu menegaskan komitmennya terhadap kesepakatan gencatan senjata dan kesiapan untuk memulai negosiasi tahap kedua.

    “Satu-satunya cara untuk membebaskan tawanan pendudukan di Gaza adalah melalui negosiasi dan kepatuhan terhadap apa yang telah disepakati,” tegasnya.

    “Setiap upaya oleh (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu dan pemerintahannya untuk membatalkan atau menghalangi perjanjian tersebut hanya akan menyebabkan lebih banyak penderitaan bagi para tawanan (sandera Israel) dan keluarga mereka.”

    Sejauh ini, 25 tawanan Israel dan delapan jenazah sandera Israel telah dikembalikan dari Gaza sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina di bawah tahap pertama gencatan senjata Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan.

    Perjanjian tersebut, yang mulai berlaku pada 19 Januari, menghentikan perang destruktif Israel di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 48.300 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan daerah kantong itu dalam reruntuhan.

    Israel memperkirakan bahwa 59 sandera masih ditawan di Gaza, dengan sedikitnya 20 di antaranya masih hidup, dan mereka diperkirakan akan dibebaskan pada fase kedua gencatan senjata, yang mengharuskan Israel menarik pasukannya sepenuhnya dari Gaza dan mengakhiri perang secara permanen.

    KONDISI MEMPRIHATINKAN – Sejumlah tahanan Palestina yang dibebaskan Israel dilaporkan berada dalam kondisi terluka dan memprihatinkan saat tiba dengan bus di Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 27 Februari 2025. Pembebasan ini dilakukan Israel setalah Hamas kembali menyerahkan empat jenazah sandera Israel.

    Kondisi Parah Para Tahanan Palestina yang Dibebaskan Israel

    Israel pada Kamis ini membebaskan 596 warga Palestina yang ditahan di penjara sebagai bagian dari pertukaran ketujuh di bawah gencatan senjata Gaza dan kesepakatan tahanan-sandera dengan Hamas .

    Peristiwa ini terjadi setelah kelompok Palestina menyerahkan jasad empat sandera Israel kepada Palang Merah .

    Menurut kantor berita resmi Palestina Wafa, 37 warga Palestina dibebaskan di Ramallah, Tepi Barat yang diduduki tengah dan lima di Yerusalem Timur.

    Seorang tahanan yang diterima oleh Bulan Sabit Merah Palestina, dalam keadaan koma, dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Tepi Barat.

    Sebanyak 456 warga Palestina dibebaskan dan dipindahkan ke Jalur Gaza, menurut Saleh Al-Hams, direktur keperawatan di Rumah Sakit Eropa Gaza di Khan Younis.

    “Para tahanan berada dalam kondisi sangat kurus kering, beberapa di antaranya tidak dapat berjalan karena pemukulan dan penyiksaan hebat yang mereka alami,” kata Hams.

    Ia menambahkan bahwa “sebagian besar tahanan menderita penyakit kulit, dan satu kasus dirawat di rumah sakit semalam karena fibrosis paru-paru.”

    Pejabat kesehatan mencatat bahwa di antara yang dibebaskan terdapat 15 staf kesehatan, yang ditahan dari rumah sakit selama perang Israel di Gaza.

    Menurut Hamas, 11 dari mereka yang dibebaskan ke Jalur Gaza adalah tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup atau jangka panjang yang telah ditangkap sebelum 7 Oktober 2023, sementara yang lainnya ditahan oleh tentara Israel di Gaza setelah itu.

    Hamas menambahkan bahwa 97 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup atau hukuman jangka panjang juga dideportasi ke Mesir.

    Amani Sarahneh dari Masyarakat Tahanan Palestina mengatakan kepada Anadolu bahwa otoritas Israel telah memblokir pembebasan 46 tahanan anak-anak dan wanita.

    Ia menambahkan bahwa otoritas Israel menunda pembebasan mereka sampai verifikasi penuh atas jenazah yang diterima dari Gaza.

    Dengan pemindahan empat jenazah lagi pada Rabu malam, Hamas menyelesaikan pembebasan 33 warga Israel, termasuk delapan jenazah, di bawah fase pertama, 42 hari gencatan senjata yang berakhir akhir pekan ini.

    Delegasi Israel ke Kairo

    Terkait dengan negosiasi tahap II gencatan senjata Gaza, Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar mengatakan pada hari Kamis bahwa delegasi Israel akan pergi ke Kairo untuk melihat apakah ada titik temu untuk dinegosiasikan.

    Pada tahap pertama gencatan senjata, Mesir bersama Qatar dan campur tangan Amerika Serikat (AS) menjadi mediator gencatan senjata Hamas-Israel dalam kerangka pertukaran sandera Israel dan tahanan Palestina.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya menginstruksikan delegasi negosiasinya untuk berangkat ke Kairo pada Kamis untuk melanjutkan perundingan gencatan senjata Gaza, kantornya mengatakan dalam sebuah pernyataan.

    Langkah ini menunjukkan kalau niat Tel Aviv melanjutkan perang di Gaza untuk menuntaskan target perang yang belum tercapai, mulai memudar.

    Selama agresi militer 15 bulan di Gaza, militer Israel (IDF) belum mampu memenuhi tujuan perang, yaitu memberangus Hamas dan mengembalikan sandera Israel yang ditahan Hamas di Gaza.

    Meski telah melakukan bombardemen buta, Israel nyatanya harus melalui perundingan untuk mendapatkan warga negara mereka kembali dari tangan Hamas.

    Sebaliknya, November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.

    (oln/anews/*)

     

  • Potret Anak-Anak Gaza Kembali Sekolah di Tengah Ancaman Maut

    Potret Anak-Anak Gaza Kembali Sekolah di Tengah Ancaman Maut

    Tahun ajaran baru sekolah di Jalur Gaza kembali dimulai pada Selasa (25/2/2025) kemarin, setelah Israel dan Hamas resmi memulai gencatan senjata pada Januari lalu. Belum ada kejelasan apakah gencatan senjata ini akan berlangsung permanen sehingga ancaman eskalasi perang masih menghantui. (REUTERS/Dawoud Abu Alkas)