Negara: Jalur Gaza

  • PBB Peringatkan Keterlambatan Masuknya Bantuan Kemanusiaan di Gaza

    PBB Peringatkan Keterlambatan Masuknya Bantuan Kemanusiaan di Gaza

    JAKARTA – Kantor koordinasi bantuan kemanusiaan PBB (OCHA) memperingatkan pekan ini, bantuan kemanusiaan di Gaza tertunda karena kargo bantuan secara rutin diprioritaskan lebih rendah daripada barang-barang komersial, karena badai musim dingin terus memperburuk kondisi kehidupan yang sudah mengerikan bagi keluarga pengungsi.

    “Meskipun upaya berkelanjutan oleh PBB dan para mitranya. Kami terus memberikan respons, tetapi kebutuhan melebihi kecepatan respons yang dapat kami berikan,” kata Olga Cherevko, juru bicara OCHA, menurut situs web UN News, seperti dikutip dari WAFA (18/12).

    Lebih jauh dijelaskannya, volume pasokan yang masuk ke Jalur Gaza masih terbatas, dan daftar barang yang terus diblokir oleh otoritas Israel semakin bertambah, termasuk mesin berat, peralatan, dan suku cadang yang dibutuhkan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak.

    Cherevko mengungkapkan, kendala besar masih berlanjut.

    “Di dalam Gaza, jumlah rute yang tersedia untuk mengangkut bantuan masih terbatas, begitu pula dengan jalur penyeberangan yang dapat dilalui pasokan untuk masuk,” ungkapnya.

    “Semua hambatan ini harus dihilangkan,” tegasnya.

    “Kita memiliki kapasitas untuk merespons, tetapi kita terkendala pada saat kebutuhan masyarakat meningkat lebih cepat daripada kemampuan kita untuk memenuhinya,” tandas Cherevko.

  • Penembakan di Bondi, Netanyahu Salahkan PM Australia Akui Palestina

    Penembakan di Bondi, Netanyahu Salahkan PM Australia Akui Palestina

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyalahkan Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese atas penembakan massal di Pantai Bondi, Sydney, yang menewaskan sedikitnya 15 orang. Netanyahu menuduh Albanese semakin “mengobarkan api antisemitisme” dengan mengakui negara Palestina.

    Ini bukan pertama kalinya Netanyahu mengkritik Albanese. Sang PM Israel sebelumnya menyebut Albanese sebagai pemimpin yang lemah, setelah Australia memberikan pengakuan resmi untuk negara Palestina pada September lalu.

    Dalam pidato yang berapi-api, seperti dilansir ABC News dan Sydney Morning Herald, Senin (15/12/2025), Netanyahu mengatakan bahwa “antisemitisme adalah kanker” dan bahwa itu “menyebar ketika para pemimpin tetap diam”. Penembakan di Pantai Bondi itu terjadi saat festival tahunan Yahudi digelar.

    “Saya menyerukan kepada Anda untuk mengganti kelemahan dengan tindakan, sikap lunak dengan tekad. Sebaliknya, Perdana Menteri, Anda mengganti kelemahan dengan kelemahan dan sikap lunak dengan lebih banyak sikap lunak,” kata Netanyahu dalam pidatonya pada Minggu (14/12) waktu setempat.

    “Pemerintah Anda tidak melakukan apa pun untuk menghentikan penyebaran antisemitisme di Australia. Anda tidak melakukan apa pun untuk mengekang sel-sel kanker yang tumbuh di dalam negara Anda,” ucapnya.

    “Anda tidak mengambil tindakan apa pun. Anda membiarkan penyakit itu menyebar dan hasilnya adalah serangan mengerikan terhadap orang-orang Yahudi yang kita lihat hari ini,” kritik Netanyahu dalam pidato yang disampaikan saat rapat pemerintah Israel tersebut

    Australia telah mengakui negara Palestina dalam rangkaian Sidang Umum PBB pada September lalu, setelah Albanese mengumumkan rencana pengakuan itu pada 11 Agustus lalu. Netanyahu, dalam pidatonya, menyinggung surat yang dikirimkannya kepada Albanese pada saat itu.

    “Saya menulis: ‘Seruan Anda untuk negara Palestina justru menyulut api antisemitisme. Itu memberikan hadiah kepada teroris Hamas. Itu memberikan keberanian kepada mereka yang mengancam orang Yahudi Australia dan mendorong kebencian terhadap Yahudi yang kini berkeliaran di jalanan Anda’,” ujar Netanyahu.

    Netanyahu, selama perang Gaza berkecamuk, telah berulang kali mengaitkan seruan luas untuk negara Palestina dan kritikan terhadap serangan militer Israel di Jalur Gaza dengan semakin meningkatnya insiden-insiden antisemitisme di seluruh dunia.

    Albanese tidak menanggapi secara langsung kritikan Netanyahu. Saat berbicara kepada wartawan di Sydney pada Senin (15/12), Albanese mengatakan bahwa sekarang adalah “momen untuk persatuan nasional”.

    “Ini adalah momen untuk persatuan nasional. Ini adalah momen bagi warga Australia untuk bersatu. Itulah tepatnya yang akan kita lakukan,” ucapnya.

    “Apa yang kita lihat kemarin adalah tindak kejahatan murni, tindakan antisemitisme, tindakan terorisme di wilayah kita di lokasi ikonik Australia,” ujar Albanese.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Badai Byron Terjang Kamp Pengungsi Gaza, 12 Orang Tewas-27 Ribu Tenda Rusak

    Badai Byron Terjang Kamp Pengungsi Gaza, 12 Orang Tewas-27 Ribu Tenda Rusak

    Jakarta

    Badai Byron menerjang wilayah Gaza hingga menyebabkan banjir di kamp-kamp pengungsian. Sebanyak 12 orang dilaporkan meninggal dunia.

    “Jumlah korban tewas akibat Badai Byron telah meningkat menjadi 12 orang karena rumah-rumah runtuh akibat angin kencang dan banjir,” bunyi keterangan Kantor Media Pemerintah Gaza dilansir Al Jazeera, Jumat (12/12/2025).

    Badai Byron terjadi di wilayah Gaza pada Kamis (11/12) waktu setempat. Peristiwa itu menyebabkan banjir hingga sejumlah bangunan di kamp pengungsian runtuh.

    “Jalur Gaza telah menyaksikan perkembangan berbahaya, termasuk 12 korban jiwa, termasuk para martir dan orang hilang, sebagai akibat dari dampak badai dan runtuhnya bangunan yang dibom di seluruh provinsi Jalur Gaza,” bunyi pernyataan tersebut.

    Otoritas Gaza mencatat ada 13 rumah warga runtuh diterjang badai Byron. Sementara 27 ribu tenda pengungsi juga dilaporkan rusak.

    “Runtuhnya setidaknya 13 rumah, yang terbaru di lingkungan al-Karama dan Sheikh Radwan di Kota Gaza, dengan tim pertahanan sipil masih menanggapi ratusan panggilan bantuan; banjir dan kerusakan lebih dari 27.000 tenda milik pengungsi, yang terendam, tersapu banjir, atau roboh akibat angin kencang,” tambah keterangan otoritas Gaza.

    Kondisi ini diperparah dengan sikap tentara Israel yang terus memblokir masuknya bantuan ke tempat penampungan di Gaza.

    Dilansir Anadolu Agency, Organisasi Internasional untuk Imigrasi (IOM) mengatakan badai Byron berpotensi menganggu kehidupan 795 ribu pengungsi di Gaza. Dalam sebuah pernyataan, IOM mengatakan bahwa curah hujan lebat telah membanjiri ratusan lokasi pengungsian, di mana bahkan hujan sedang pun dapat dengan cepat menjadi berbahaya.

    Pihak IOM mengatakan meskipun gencatan senjata telah diberlakukan, pengungsi Palestina tetap berada di daerah yang padat penduduk dengan sedikit perlindungan dari naiknya permukaan air.

    Sejak 10 Oktober, badan tersebut mengatakan telah mengirimkan lebih dari 1 juta barang kebutuhan tempat tinggal kepada mitra di Gaza, termasuk tenda tahan air, selimut termal, tikar tidur, dan terpal, tetapi memperingatkan bahwa persediaan ini “tidak dapat menahan banjir.”

    “Orang-orang di Gaza telah hidup dalam kehilangan dan ketakutan terlalu lama,” kata Direktur Jenderal IOM Amy Pope.

    “Sekarang, setelah badai ini menerjang daratan kemarin, keluarga-keluarga berusaha melindungi anak-anak mereka dengan apa pun yang mereka miliki. Mereka pantas mendapatkan lebih dari ketidakpastian ini. Mereka pantas mendapatkan keselamatan,” imbuhnya.

    IOM menyatakan bahwa perlengkapan dasar, karung pasir, pompa air, dan bahan bangunan masih tertunda karena pembatasan akses, meskipun sangat penting untuk memperkuat tempat penampungan dan mengurangi dampak banjir.

    “Kemarin kami menyaksikan banjir yang meluas, dan dengan infrastruktur yang sudah hancur, curah hujan menyebabkan kerusakan parah,” kata Haitham Aqel, pemimpin tim darurat dan bantuan untuk Dewan Perumahan Palestina.

    “Kami menggunakan karung pasir untuk membuat drainase, tetapi banyak tempat tidur dan kasur orang rusak karena air masuk melalui tenda yang sudah usang,” sambungnya.

    Tonton juga video “Badai Claudia Hantam Eropa, Banjir Bandang Terjang Inggris-Portugal”

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/ygs)

  • Hamas Usulkan Pembekuan Senjata di Gaza, Israel Bilang Gini

    Hamas Usulkan Pembekuan Senjata di Gaza, Israel Bilang Gini

    Tel Aviv

    Israel menegaskan bahwa kelompok Hamas “akan dilucuti senjatanya” sebagai bagian dari rencana perdamaian Gaza yang disponsori Amerika Serikat (AS). Penegasan itu disampaikan setelah pemimpin senior Hamas kembali menolak perlucutan senjata, tapi bersedia tidak menggunakan senjatanya alias melakukan pembekuan senjata.

    Gencatan senjata Gaza yang berlangsung sejak 10 Oktober lalu, telah menghentikan perang yang berkecamuk selama lebih dari dua tahun terakhir di daerah kantong Palestina tersebut. Namun, gencatan senjata itu tetap rapuh karena Israel dan Hamas saling menuduh setiap hari soal adanya pelanggaran.

    Pemimpin senior Hamas, Khaled Meshaal, dalam wawancara dengan media terkemuka Al Jazeera sebelumnya mengatakan kelompoknya terbuka untuk “pembekuan” senjata, tetapi menolak tuntutan perlucutan senjata total yang diatur dalam rencana perdamaian usulan Presiden AS Donald Trump untuk Jalur Gaza.

    Seorang pejabat pemerintah Israel, yang tidak disebut namanya, seperti dilansir AFP, Jumat (12/12/2025), menanggapi pernyataan terbaru Meshaal tersebut dengan menegaskan Hamas akan dilucuti senjatanya.

    “Tidak akan ada masa depan bagi Hamas di bawah rencana 20 poin tersebut. Kelompok teror itu akan dilucuti senjatanya dan Gaza akan didemiliterisasi,” tegas pejabat pemerintah Israel tersebut saat berbicara kepada AFP.

    Kesepakatan gencatan senjata Gaza terdiri atas tiga tahap, dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu baru-baru ini mengindikasikan bahwa gencatan senjata akan segera memasuki tahap kedua.

    Pada tahap kedua, pasukan Israel akan bergerak mundur lebih jauh dari posisi mereka saat ini di Jalur Gaza dan digantikan oleh pasukan stabilisasi internasional (ISF), sementara Hamas akan meletakkan senjatanya.

    Namun, Hamas mengindikasikan kelompoknya tidak akan setuju untuk menyerahkan persenjataannya.

    “Gagasan perlucutan senjata total tidak dapat diterima oleh perlawanan (Hamas). Yang diusulkan adalah pembekuan, atau penyimpanan (senjata)… untuk memberikan jaminan agar tidak ada eskalasi militer apa pun dari Gaza dengan pendudukan Israel,” kata Meshaal dalam wawancara dengan Al Jazeera yang ditayangkan pada Rabu (10/12) waktu setempat.

    “Ini adalah gagasan yang sedang kami diskusikan dengan para mediator, dan saya meyakini bahwa dengan pemikiran pragmatis Amerika… visi seperti itu dapat disepakati dengan pemerintahan AS,” ucapnya.

    “Perlucutan senjata bagi seorang Palestina berarti merampas jiwanya sendiri. Mari kita capai tujuan itu dengan cara lainnya,” tegas Meshaal.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Hamas Usulkan ‘Pembekuan’ Senjata Demi Gencatan Jangka Panjang

    Hamas Usulkan ‘Pembekuan’ Senjata Demi Gencatan Jangka Panjang

    Gaza City

    Pemimpin senior Hamas, Khaled Meshaal, menegaskan penolakan kelompoknya terhadap perlucutan senjata yang diatur dalam rencana perdamaian Gaza yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Namun Meshaal juga mengatakan bahwa Hamas terbuka untuk “pembekuan” senjata para petempurnya.

    Penegasan itu, seperti dilansir AFP, Kamis (11/12/2025), disampaikan Meshall dalam wawancara dengan media terkemuka Qatar, Al Jazeera, yang ditayangkan pada Rabu (10/12) waktu setempat.

    “Gagasan perlucutan senjata total tidak dapat diterima oleh perlawanan (Hamas). Yang diusulkan adalah pembekuan, atau penyimpanan (senjata)… untuk memberikan jaminan agar tidak ada eskalasi militer apa pun dari Gaza dengan pendudukan Israel,” kata Meshaal dalam wawancara tersebut.

    “Ini adalah gagasan yang sedang kami diskusikan dengan para mediator, dan saya meyakini bahwa dengan pemikiran pragmatis Amerika… visi seperti itu dapat disepakati dengan pemerintahan AS,” ucapnya.

    Kesepakatan gencatan senjata Gaza, yang berlaku sejak 10 Oktober, menghentikan perang yang dimulai setelah serangan mematikan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Tetapi kesepakatan itu tetap rapuh karena Hamas dan Israel saling menuduh hampir setiap hari soal adanya pelanggaran.

    Kesepakatan itu terdiri atas tiga fase, dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu baru-baru ini mengindikasikan bahwa gencatan senjata akan segera memasuki fase kedua.

    Pada fase kedua, pasukan Israel akan bergerak mundur lebih jauh dari posisi mereka saat ini di Jalur Gaza dan digantikan oleh pasukan stabilisasi internasional (ISF), sementara Hamas akan meletakkan senjatanya.

    Netanyahu diperkirakan akan bertemu kembali dengan Trump dalam kunjungan ke AS pada akhir bulan ini untuk membahas langkah-langkah selanjutnya dalam gencatan senjata Gaza.

    Namun, Hamas mengindikasikan kelompoknya tidak akan setuju untuk menyerahkan persenjataannya. “Perlucutan senjata bagi seorang Palestina berarti merampas jiwanya sendiri. Mari kita capai tujuan itu dengan cara lainnya,” tegas Meshaal.

    Pada fase pertama gencatan senjata, Hamas berkomitmen membebaskan 48 sandera yang masih hidup dan yang telah meninggal. Semua sandera sejauh ini telah dibebaskan, kecuali satu jenazah sandera.

    Sebagai imbalannya, Israel telah membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dari penjara-penjaranya dan memulangkan ratusan jenazah warga Palestina yang meninggal.

    Sementara itu, mengenai kehadiran pasukan internasional, Meshaal mengatakan Hamas terbuka untuk penempatannya di sepanjang perbatasan Jalur Gaza dengan Israel, tetapi tidak akan menyetujuinya beroperasi di dalam wilayah Palestina, yang disebutnya sama saja sebagai “pendudukan”.

    Tonton juga video “Hamas Tolak Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Hamas Akan Serahkan Senjata Jika Pendudukan Israel Diakhiri

    Hamas Akan Serahkan Senjata Jika Pendudukan Israel Diakhiri

    Gaza City

    Kelompok Hamas mengatakan bahwa para petempurnya siap untuk menyerahkan persenjataannya di Jalur Gaza kepada otoritas baru Palestina yang akan memerintah wilayah itu setelah perang berakhir. Namun, dengan syarat pendudukan Israel diakhiri.

    “Senjata kami terkait dengan keberadaan pendudukan dan agresi,” kata kepala negosiator Hamas, Khalil al-Hayya, yang kini juga menjabat sebagai pemimpin Hamas di Jalur Gaza, dalam pernyataannya seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (8/12/2025).

    “Jika pendudukan berakhir, persenjataan ini akan berada di bawah otoritas negara,” tegas Al-Hayya, merujuk pada negara Palestina yang berdaulat dan merdeka.

    Dalam pernyataannya, Al-Hayya mengisyaratkan penolakan terhadap pengerahan pasukan internasional di Jalur Gaza yang salah satu misinya adalah melucuti senjata Hamas. Dia menyinggung soal pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditugaskan mengawasi penerapan gencatan senjata Gaza.

    “Kami menerima pengerahan pasukan PBB sebagai pasukan pemisah, yang bertugas memantau perbatasan dan memastikan kepatuhan terhadap gencatan senjata di Gaza,” tambah Al-Hayya.

    Pernyataan Al-Hayya ini disampaikan setelah pada Jumat (5/12) lalu, seorang pejabat senior Hamas, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan kepada Al Arabiya bahwa Hamas tidak ingin melanjutkan pemerintahan di Jalur Gaza.

    Pejabat senior Hamas itu juga mengatakan bahwa Hamas telah menyetujui pembentukan komite teknokratis untuk mengelola daerah kantong Palestina tersebut pada tahap selanjutnya dalam gencatan senjata.

    Mengenai pasukan internasional yang akan dikerahkan ke Jalur Gaza, pejabat senior Hamas itu mengatakan bahwa pengerahan pasukan internasional akan dibatasi secara ketat untuk memantau gencatan senjata, alih-alih mengelola Jalur Gaza atau mengambil bagian dalam pemerintahan internal.

    Peran pasukan internasional, menurut pejabat senior Hamas itu, adalah untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai dan mencegah bentrokan baru. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Al-Hayya dalam pernyataan terpisah pada Sabtu (6/12).

    Dia menambahkan bahwa negara-negara mediator mendukung pemberian peran pemantauan kepada pasukan internasional mana pun yang nantinya dikerahkan sebagai bagian dari pengaturan gencatan senjata Gaza.

    Kesepakatan gencatan senjata, yang didasarkan pada rencana perdamaian usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, mulai berlaku sejak 10 Oktober lalu. Gencatan senjata ini menghentikan perang selama dua tahun di Jalur Gaza, meskipun kedua pihak saling menuduh adanya pelanggaran.

    Beberapa hari setelah gencatan senjata berlaku, tepatnya pada 12 Oktober lalu, Hamas juga menyatakan bahwa pihaknya tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan di Jalur Gaza pascaperang.

    Hamas, menurut sumber Hamas yang dikutip AFP pada saat itu, mengatakan akan melepaskan kendali atas Jalur Gaza, namun tetap menjadi “bagian fundamental” dari struktur Palestina.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Pimpinan MPR dukung pernyataan bersama tolak pengusiran warga Gaza

    Pimpinan MPR dukung pernyataan bersama tolak pengusiran warga Gaza

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mendukung pernyataan bersama yang secara tegas menolak adanya penggusuran atau pengusiran rakyat Jalur Gaza, Palestina ke luar negeri dengan cara apapun serta dalam bentuk apapun oleh Israel.

    Pernyataan bersama tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono bersama tujuh menteri luar negeri negara Arab-Islam yang terdiri dari Mesir, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Turki, dan Pakistan.

    “Delapan Negara ini melalui menteri luar negerinya, termasuk Indonesia, melakukan langkah yang baik, menolak pengusiran warga Gaza/Palestina dengan cara apapun, tapi agar efektif, negara2 tersebut perlu secara serius mengawal agar benar-benar tidak terjadi pengusiran Rakyat Palestina, termasuk dari Jalur Gaza dengan cara apa pun, seperti yang sudah dilakukan Israel dengan membuka pintu Rafah maupun menerbangkan warga keluar dari Gaza/Palestina ke Afrika Selatan tanpa dokumen apa pun,” kata HWN dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

    Hal tersebut disampaikan setelah Israel memutuskan pembukaan perbatasan Rafah untuk warga Gaza, tapi hanya dibuka untuk keluar dari Gaza dan tidak untuk masuk kembalinya warga Gaza. Itu sama saja pengusiran terselubung. Apalagi dengan terbongkarnya manuver pihak Israel yang terbangkan ratusan warga Gaza/Palestina secara ilegal ke Afrika Selatan.

    Langkah tersebut dicurigai sebagai cara licik dari Israel untuk mengusir warga Palestina dan mengosongkan Jalur Gaza dari penduduk aslinya, yakni bangsa Palestina, agar sepenuhnya mudah dikuasai untuk kepentingan pembentukan negara Israel Raya.

    HNW, sapaan akrabnya, mengatakan perlunya delapan negara tersebut bisa bahu membahu untuk memastikan bahwa pelaksanaan perjanjian perdamaian di Palestina tidak malah merugikan nasib dan perjuangan bangsa dan rakyat Palestina, dan makin menjauhkan mereka dari cita-cita/perjuangan berdirinya negara Palestina merdeka yang sekarang ini sudah diakui oleh lebih dari 156 negara Anggota PBB.

    Apalagi, Israel terus saja melanggar kesepakatan damai termasuk melakukan penyerangan militer dan pengusiran terhadap rakyat Gaza/Palestina dari tanah airnya.

    “Pengusiran rakyat Gaza/Palestina dengan alasan apa pun, sehingga kemudian mereka tidak bisa kembali ke negaranya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat karena itu juga bentuk lain dari praktik genosida yang sangat jahat,” ujarnya.

    Lebih lanjut, HNW mengingatkan perlunya lobi dan komunikasi yang lebih intensif dengan Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara yang mengajukan proposal perdamaian, bahwa dibukanya perbatasan Rafah ke Mesir memang merupakan suatu langkah yang sangat perlu dilakukan tapi agar bantuan kemanusiaan dan proses rekonstruksi Jalur Gaza bisa segera dilakukan.

    “Itu yang menjadi tujuan utama dibukanya perbatasan Rafah. Bukan justru untuk mengusir warga Gaza keluar dari wilayahnya agar kemudian wilayah tersebut dikuasai oleh Israel,” tuturnya.

    HNW menegaskan bahwa delapan negara ini mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam mengimbangi proses pelaksanaan perjanjian perdamaian di Jalur Gaza. Pasalnya, tanpa keterlibatan delapan negara ini, sangat mustahil perjanjian perdamaian yang diusulkan oleh Amerika Serikat bisa berjalan dengan baik.

    Perdamaian di Jalur Gaza, kata NHW, bukan hanya karena peran dari Amerika Serikat, tetapi juga ada peran penting dari delapan negara tersebut. Dan itu pun diakui oleh Presiden AS Donald Trump.

    Sehingga, delapan negara ini juga perlu memastikan bahwa perjanjian perdamaian tidak bergeser ke arah yang salah dengan pengusiran warga Palestina dan terus membiarkan Israel melakukan pelanggaran terhadap proposal perdamaian, karena jelas akan menjadi kontraproduktif dari upaya mewujudkan perdamaian dan keadilan dengan terlaksananya prinsip two state solution yang juga menjadi salah satu Resolusi PBB.

    “Oleh karena itu, Saya mendukung sikap Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono untuk terus bekerja sama maksimal, bahu membahu dengan Menlu dari negara-negara sahabat tersebut, untuk memastikan hal kontraproduktif yang melanggengkan pelanggaran perdamaian, menjauhkan Palestina menjadi negara merdeka, seperti manuver-manuver pengusiran yang dilakukan Israel, tidak terus terjadi, dan bisa dihentikan, agar segera terbayar lunas-lah hutang Indonesia terhadap Palestina berupa hadirnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat,” ujarnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Hamas Kembali Tegaskan Tak Ingin Memerintah Gaza Usai Perang

    Hamas Kembali Tegaskan Tak Ingin Memerintah Gaza Usai Perang

    Gaza City

    Kelompok Hamas kembali menegaskan mereka tidak ingin memerintah atas Jalur Gaza setelah perang melawan Israel berakhir. Hamas juga menyatakan telah menyetujui pembentukan komite teknokratis untuk mengelola daerah kantong Palestina itu pada tahap selanjutnya dalam gencatan senjata Gaza.

    Penegasan tersebut, seperti dilansir Al Arabiya, Sabtu (6/12/2025), disampaikan oleh seorang pejabat senior Hamas, yang enggan disebutkan namanya, yang mengatakan kepada Al Arabiya pada Jumat (5/12) bahwa Hamas tidak ingin melanjutkan pemerintahan di Jalur Gaza.

    Pejabat senior Hamas itu menambahkan bahwa Hamas telah menyetujui pembentukan komite teknokratis untuk mengelola daerah kantong Palestina tersebut pada tahap selanjutnya.

    Diungkapkan oleh pejabat senior itu yang bahwa Hamas juga telah menyetujui semua nama yang diusulkan untuk badan teknokratis tersebut. Pejabat senior Hamas itu menekankan bahwa terdapat kesepakatan internal mengenai daftar tersebut.

    Namun demikian, dikatakan oleh pejabat senior Hamas tersebut bahwa meskipun ada kemajuan dalam perundingan, Israel telah menghalangi implementasi praktis dari langkah-langkah yang disepakati di lapangan.

    Mengenai pasukan internasional yang akan dikerahkan ke Jalur Gaza, pejabat senior Hamas itu mengatakan bahwa pengerahan pasukan internasional akan dibatasi secara ketat untuk memantau gencatan senjata, alih-alih mengelola Jalur Gaza atau mengambil bagian dalam pemerintahan internal.

    Peran pasukan internasional, menurut pejabat senior Hamas, adalah untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai dan mencegah bentrokan baru.

    Dia menambahkan bahwa negara-negara mediator mendukung pemberian peran pemantauan kepada pasukan internasional mana pun yang nantinya dikerahkan sebagai bagian dari pengaturan gencatan senjata Gaza.

    Kesepakatan gencatan senjata, yang didasarkan pada rencana perdamaian usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, mulai berlaku sejak 10 Oktober lalu. Gencatan senjata ini menghentikan perang selama dua tahun di Jalur Gaza, meskipun kedua pihak saling menuduh adanya pelanggaran.

    Beberapa hari setelah gencatan senjata berlaku, tepatnya pada 12 Oktober lalu, Hamas juga menyatakan bahwa pihaknya tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan di Jalur Gaza pascaperang.

    Hamas, menurut sumber Hamas yang dikutip AFP pada saat itu, mengatakan akan melepaskan kendali atas Jalur Gaza, namun tetap menjadi “bagian fundamental” dari struktur Palestina.

    “Bagi Hamas, pemerintahan Jalur Gaza merupakan isu yang sudah diselesaikan. Hamas tidak akan berpartisipasi sama sekali dalam fase transisi, yang berarti telah melepaskan kendali atas Jalur Gaza, tetapi tetap menjadi bagian fundamental dari struktur Palestina,” kata sumber Hamas itu kepada AFP.

    Tonton juga video “Hamas Tolak Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Hamas Usulkan Pembekuan Senjata di Gaza, Israel Bilang Gini

    Pemimpin Kelompok Anti-Hamas Tewas dalam Bentrokan di Gaza

    Gaza City

    Pemimpin milisi bersenjata Palestina, Yasser Abu Shabab, yang dikenal menentang kelompok Hamas, dilaporkan tewas di Jalur Gaza pada Kamis (4/12) waktu setempat. Semasa hidup, sosok Abu Shabab disebut-sebut bekerja sama dengan militer Israel dalam melawan Hamas.

    Kematiannya dinilai menjadi pukulan telak bagi upaya Israel untuk mendukung klan-klan Gaza dalam melawan kelompok Hamas.

    Kelompok Pasukan Populer Gaza, yang dipimpin Abu Shabab, seperti dilansir Reuters dan kantor berita Anadolu Agency, Jumat (5/12/2025), menyebut pemimpin mereka tewas saat memediasi perselisihan keluarga yang diwarnai bentrokan berdarah.

    Abu Shabab yang merupakan pemimpin suku Bedouin yang berbasis di Rafah, yang kini dikuasai Israel, selama ini memimpin kelompok anti-Hamas paling terkemuka dari beberapa kelompok kecil yang muncul di Jalur Gaza selama perang berkecamuk lebih dari dua tahun terakhir.

    Kematiannya dinilai akan menjadi dorongan bagi Hamas, yang telah melabelinya sebagai kolaborator Israel dan memerintahkan para petempurnya untuk membunuh atau menangkapnya.

    Dalam pernyataannya, kelompok Pasukan Populer Gaza menyebut Abu Shabab meninggal dunia akibat luka tembak ketika menengahi pertengkaran keluarga di Gaza. Mereka menepis laporan yang menyebut Hamas berada di balik pembunuhannya, sebagai laporan “menyesatkan”.

    Laporan kematian Abu Shabab sebenarnya pertama kali dilaporkan oleh media-media lokal Israel, termasuk televisi KAN, yang mengutip sejumlah sumber keamanan setempat. Menurut laporan KAN, Abu Shabab tewas dalam bentrokan antarsuku di Jalur Gaza.

    Televisi lokal Israel lainnya, i24, melaporkan bahwa Abu Shabab meninggal dunia akibat luka-luka yang dideritanya saat menjalani perawatan medis di Pusat Medis Soroka, Israel bagian selatan.

    Amit Segal, seorang analis politik Israel untuk Channel 12, menyebut kematian Abu Shabab sebagai “perkembangan buruk bagi Israel” karena “Hamas memandangnya sebagai ancaman strategis terhadap kekuasaannya”.

    Pemerintah Israel sejauh ini menolak untuk berkomentar. Hamas juga belum memberikan tanggapannya.

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, pada Juni lalu, mengakui bahwa Israel telah mempersenjatai klan anti-Hamas, meskipun Israel hanya mengumumkan sedikit rincian lainnya mengenai kebijakan tersebut sejak saat itu.

    Namun kelompok Abu Shabab menyangkal adanya dukungan dari Israel.

    Hamas sebelumnya menuduh kelompok Abu Shabab telah menjarah truk bantuan PBB selama perang Gaza berkecamuk. Tuduhan itu telah dibantah Abu Shabab yang mengklaim kelompoknya justru melindungi dan mengawal truk bantuan kemanusiaan.

    Kelompok Pasukan Populer Gaza, dalam pernyataannya, bersumpah akan melanjutkan jejak Abu Shabab dan “memerangi terorisme” di Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Segera Izinkan Warga Gaza Pergi ke Mesir

    Israel Segera Izinkan Warga Gaza Pergi ke Mesir

    Gaza City

    Pemerintah Israel mengumumkan akan membuka perlintasan perbatasan Rafah, yang menghubungkan wilayah Jalur Gaza dengan Mesir. Pembukaan perlintasan perbatasan ini memungkinkan penduduk Gaza untuk keluar dari daerah kantong Palestina tersebut ke Mesir “dalam beberapa hari mendatang”.

    Pengumuman itu, seperti dilansir AFP, Rabu (3/12/2025), disampaikan oleh COGAT, yang merupakan badan Kementerian Pertahanan Israel yang mengawasi urusan sipil di wilayah Palestina.

    “Sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata… Perlintasan perbatasan Rafah akan dibuka dalam beberapa hari mendatang secara eksklusif untuk keluarnya penduduk dari Jalur Gaza ke Mesir,” kata COGAT dalam pernyataannya pada Rabu (3/12) waktu setempat.

    COGAT menambahkan bahwa perlintasan perbatasan Rafah akan beroperasi di bawah pengawasan Misi Bantuan Perbatasan Uni Eropa, yang “mirip dengan mekanisme yang beroperasi pada Januari 2025”, ketika perbatasan dibuka singkat selama gencatan senjata enam minggu.

    Dua sumber diplomatik Eropa mengatakan kepada AFP bahwa mereka pada awalnya telah mempersiapkan pembukaan perlintasan perbatasan untuk pejalan kaki pada 14 Oktober setelah pengumuman serupa, namun mengalami penundaan.

    Pembukaan kembali perlintasan perbatasan Rafah merupakan bagian dari rencana perdamaian yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk Jalur Gaza. Hal ini juga sejak lama diserukan oleh badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kelompok kemanusiaan lainnya.

    Militer Israel mengambil alih kendali sisi Palestina di perlintasan perbatasan Rafah pada Mei 2024, dengan klaim bahwa perlintasan itu “digunakan untuk tujuan teroris”, dengan kecurigaan perdagangan senjata.

    Perlintasan perbatasan itu sempat dibuka kembali selama gencatan senjata pada 19 Januari lalu, yang awalnya mengizinkan orang-orang untuk meninggalkan Jalur Gaza, sebelum akhirnya mengizinkan truk untuk keluar.

    Perlintasan perbatasan Rafah merupakan titik masuk krusial bagi para pekerja kemanusiaan dan truk-truk pengangkut bantuan, makanan, dan bahan bakar, yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari di wilayah yang kekurangan listrik.

    Untuk waktu yang lama, perlintasan perbatasan itu menjadi titik keluar utama bagi warga Palestina dari Jalur Gaza yang diizinkan meninggalkan wilayah tersebut, yang telah diblokade Israel sejak tahun 2007.

    Tonton juga video “Israel Lancarkan Serangan Udara ke Gaza, 10 Orang Tewas”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)