Negara: Israel

  • Palestina Sesalkan Veto AS di DK PBB Soal Gencatan Senjata Gaza

    Palestina Sesalkan Veto AS di DK PBB Soal Gencatan Senjata Gaza

    Ramallah

    Otoritas Palestina menyesalkan dan mengecam veto yang digunakan Amerika Serikat (AS) terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal gencatan senjata Gaza. Palestina menyebut veto AS hanya akan semakin mendorong Israel untuk melanjutkan kejahatan di wilayahnya.

    “Kami menyampaikan penyesalan dan keheranan kami bahwa pemerintah AS sekali lagi memblokir resolusi gencatan senjata, meskipun semua anggota Dewan Keamanan telah menyetujui rancangan tersebut,” kata juru bicara kantor kepresidenan Otoritas Palestina, Nabil Abu Rudeineh, seperti dilansir Anadolu Agency, Jumat (19/9/2025).

    Dalam voting pada Kamis (18/9), sebanyak 14 negara anggota Dewan Keamanan PBB mendukung resolusi terbaru yang menuntut gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen di Jalur Gaza, serta agar Israel mencabut semua pembatasan pengiriman bantuan ke daerah kantong Palestina tersebut.

    Draft resolusi terbaru yang disusun oleh 10 anggota terpilih dari total 15 negara anggota DK PBB tersebut, juga menuntut pembebasan segera, secara bermartabat, dan tanpa syarat semua sandera yang masih ditahan oleh Hamas dan kelompok militan lainnya di Jalur Gaza.

    Satu-satunya anggota yang tidak mendukung resolusi itu adalah AS, yang kembali menggunakan hak vetonya. Ini berarti sudah enam kali AS menggunakan hak veto saat voting resolusi DK PBB menyangkut soal perang Gaza yang sudah berkecamuk selama hampir dua tahun terakhir antara Israel dan Hamas.

    Abu Rudeineh dalam pernyataannya menyebut resolusi terbaru Dewan Keamanan PBB itu telah “secara eksplisit menyerukan gencatan senjata dan diakhirinya genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina”.

    Dia mengatakan bahwa veto AS hanya akan “mendorong pendudukan Israel untuk melanjutkan kejahatannya terhadap rakyat Palestina dan melawan semua legitimasi dan hukum internasional”.

    Lebih lanjut, Abu Rudeineh menyerukan Washington untuk “meninjau kembali keputusannya demi menegakkan hukum internasional”.

    Draf resolusi terbaru itu menyatakan “kekhawatiran mendalam atas perluasan operasi militer Israel yang terus berlanjut di Gaza dan semakin mendalamnya penderitaan warga sipil sebagai dampaknya”.

    Abu Rudeineh juga mendesak otoritas Israel untuk segera membatalkan keputusan mereka untuk melanjutkan operasi militer di Jalur Gaza. Dia menegaskan Palestina menolak “segala upaya perubahan demografis atau teritorial” di wilayah tersebut.

    Lihat juga Video: Diserang Israel, Qatar Tegaskan Tetap Mediasi Gencatan Senjata Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Kini Punya Senjata Laser untuk Tembak Jatuh Rudal

    Israel Kini Punya Senjata Laser untuk Tembak Jatuh Rudal

    Tel Aviv

    Kementerian Pertahanan Israel mengumumkan bahwa pengembangan senjata laser yang berkekuatan tinggi telah selesai dilakukan. Senjata laser itu disebut akan mulai beroperasi pada akhir tahun ini untuk memperkuat sistem pertahanan udara multi-level yang melindungi negara Yahudi itu dari serangan.

    Dikatakan oleh Kementerian Pertahanan Israel, seperti dilansir Bloomberg dan Al Arabiya, Jumat (19/9/2025), senjata laser bernama Iron Beam, yang dikembangkan oleh Rafael Advanced Defense Systems dan Elbit Systems Ltd itu, memiliki kekuatan 100 kilowatt.

    Senjata laser itu telah menjalani uji coba di wilayah Israel bagian selatan, dengan Kementerian Pertahanan Israel mengklaim Iron Beam berhasil mencegat drone, roket, mortir, dan pesawat dalam uji coba tersebut.

    Senjata laser tersebut akan diintegrasikan ke dalam perisai pertahanan rudal Israel, Iron Dome, dalam beberapa bulan ke depan. Hal tersebut dinilai akan memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi negara Yahudi yang marak dilanda serangan drone dan rudal.

    Kementerian Pertahanan Israel tidak mengungkapkan lebih lanjut soal tingkat pencegatan sistem laser tersebut, yang memiliki banyak keterbatasan teknis dan tidak dapat berfungsi dalam kondisi cuaca berawan.

    Teknologi laser semacam itu disebut-sebut sebagai cara yang lebih murah untuk menangkal drone dan proyektil lainnya, dengan biaya setiap pencegatan disebut kurang dari US$ 5 (Rp 83.000). Sistem pertahanan udara berbasis rudal yang saat ini digunakan Israel diketahui menghabiskan biaya puluhan ribu dolar, atau ratusan juta rupiah, untuk setiap pencegatan.

    Negara-negara di seluruh dunia telah mengembangkan senjata berenergi terarah untuk menggantikan amunisi yang mahal, tetapi teknologinya terbukti sulit untuk ditingkatkan.

    Israel mengklaim mereka menjadi negara pertama yang mencapai garis akhir dengan sistem barunya, namun status proyek negara-negara lainnya belum jelas.

    Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, dalam pernyataannya memuji “pencegatan cepat dan tepat sasaran dengan biaya marginal yang menggabungkan sistem pertahanan kita yang ada dan mengubah persamaan ancaman”.

    Israel, awal tahun ini, mengakui telah menggunakan versi sistem yang kurang kuat dalam pertempuran.

    Sejak kelompok Hamas menembus pertahanan Israel sambil menembakkan 3.000 orang dalam serangan 7 Oktober 2023 lalu, Tel Aviv terlibat dalam perang multi-front di mana puluhan ribu proyektil telah ditembakkan ke arah Israel. Mengembangkan perisai laser yang murah dan efektif dapat terbukti signifikan.

    Pengumuman soal senjata laser itu disampaikan setelah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menekankan bahwa imbas dari meningkatnya isolasi, maka Israel harus mengejar kemandirian keamanan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Penampakan Iron Beam, Laser Canggih Penangkal Rudal Milik Israel

    Penampakan Iron Beam, Laser Canggih Penangkal Rudal Milik Israel

    HOME

    MARKET

    MY MONEY

    NEWS

    TECH

    LIFESTYLE

    SHARIA

    ENTREPRENEUR

    CUAP CUAP CUAN

    CNBC TV

    Loading…

    `

    $(‘#loaderAuth’).remove()
    const dcUrl=”https://connect.detik.com/dashboard/”;

    if (data.is_login) {
    $(‘#connectDetikAvatar’).html(`

    `);
    $(‘#UserMenu’).append(`
    ${prefix}

    My Profile

    Logout

    ${suffix}
    `);

    $(“#alloCardIframe”).iFrameResize();

    } else {
    prefix = “

    $(‘#connectDetikAvatar’).html(`

    `);
    $(‘#UserMenu’).append(`
    ${prefix}

    REGISTER

    LOGIN
    ${suffix}
    `);
    }
    }

  • Pertama Kali, Senator AS Sebut Israel Lakukan Genosida di Gaza

    Pertama Kali, Senator AS Sebut Israel Lakukan Genosida di Gaza

    Washington DC

    Senator Amerika Serikat (AS), Bernie Sanders, menyebut Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza. Sanders yang seorang penganut Yahudi ini, menjadi Senator pertama AS yang menyampaikan pernyataan semacam itu kepada publik.

    Pernyataan itu, seperti dilansir Anadolu Agency dan Al Jazeera, Jumat (19/9/2025), disampaikan Sanders dalam tulisan opini yang dipublikasikan pada situs resminya pada Rabu (17/9). Dia memberi judul “Ini Genosida” untuk tulisannya tersebut.

    Sanders mengutip semakin banyaknya bukti dari para pakar hukum internasional, organisasi hak asasi manusia, dan penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tulisannya.

    Dia menuduh pemerintah Israel yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu telah melancarkan “perang habis-habisan terhadap seluruh rakyat Palestina” alih-alih hanya membela diri dari kelompok Hamas.

    Meskipun dia mengakui hak Israel untuk membela diri dalam merespons serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Sanders juga berpendapat bahwa cakupan, skala, dan durasi operasi militer Israel di Gaza telah sejak lama melampaui batas pembelaan diri. Dia menyebut operasi militer Israel itu sebagai “kebijakan pembunuhan massal, kelaparan, dan penghancuran”.

    “Niatnya sudah jelas. Kesimpulannya tidak terelakkan: Israel sedang melakukan genosida di Gaza,” tegas Sanders, seorang Senator Vermont, dalam tulisannya.

    “Saya menyadari bahwa banyak orang mungkin tidak setuju dengan kesimpulan ini. Sebenarnya, entah Anda menyebutnya genosida, pembersihan etnis, kekejaman massal, atau kejahatan perang, jalan ke depan sudah jelas,” imbuhnya.

    Sanders menjadi Senator pertama di AS yang menyebut perang Israel di Gaza sebagai genosida.

    Sanders Kritik AS Memungkinkan Perang Israel di Gaza

    Sanders mengkritik negaranya sendiri telah memungkinkan perang melalui penjualan senjata dan dukungan diplomatik yang berkelanjutan. Dia menuntut penghentian segera semua penjualan senjata ofensif ke Israel, dan mendesak pemerintahan Presiden Donald Trump serta Kongres AS “mengakhiri keterlibatan kita dalam pembantaian rakyat Palestina”.

    Dia juga menyebut pemerintahan Netanyahu sebagai “pemerintahan genosida”.

    “Setelah menyebutnya genosida, kita harus menggunakan seluruh kekuatan kita untuk menuntut gencatan senjata segera, lonjakan bantuan kemanusiaan besar-besaran yang difasilitasi oleh PBB, dan langkah-langkah awal untuk memberikan Palestina negara mereka sendiri,” tegas Sanders.

    Sanders menempatkan krisis ini dalam konteks global lebih luas. Dia memperingatkan bahwa pengikisan norma internasional, khususnya larangan genosida, mengancam nilai demokrasi di seluruh dunia.

    “Jangan lakukan kesalahan. Jika tidak ada akuntabilitas untuk Netanyahu dan rekan-rekan penjahat perangnya, para demagog lain yang akan melakukan hal yang sama,” sebutnya.

    “Sejarah menuntut dunia untuk bertindak dengan satu suara dan mengatakan: Sudah cukup. Tidak ada lagi genosida,” tegas Sanders.

    Lihat Video ‘Nasib Rumah Sakit yang Tersisa di Gaza Kini di Ujung Tanduk’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Beda Pandangan Jerman dan Spanyol Soal Konflik Gaza

    Beda Pandangan Jerman dan Spanyol Soal Konflik Gaza

    Jakarta

    Kanselir Jerman Friedrich Merz mengatakan bahwa Jerman dan Spanyol mengakui adanya “perbedaan pandangan” serta memiliki “penilaian yang berbeda” terkait konflik di Gaza.

    Pernyataan ini disampaikan Merz saat bertemu dengan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez di Madrid pada hari Kamis (18/09), di tengah pembahasan mengenai kemungkinan sanksi terhadap Israel atas krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Palestina.

    Sejumlah negara anggota Uni Eropa telah menyatakan dukungan untuk sanksi, sementara Jerman tetap menjadi penentang utama.

    Merz, yang berasal dari kubu konservatif, menegaskan bahwa Jerman berpihak pada Israel, meski menyebut respons militer Israel di Gaza sebagai tindakan yang tidak proporsional.

    Sementara itu, pemerintahan sayap kiri Spanyol di bawah Sanchez menjadi salah satu pengkritik paling vokal terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan operasi militer Israel di Gaza.

    “Kita boleh mengkritik pemerintah Israel, tetapi kita tidak boleh membiarkan kritik itu digunakan untuk menghasut kebencian terhadap orang Yahudi,” kata Merz, seraya menambahkan bahwa dirinya dan Sánchez sependapat dalam hal ini.

    Namun, Merz juga menegaskan bahwa Jerman tidak berencana mengikuti langkah Spanyol yang telah mengakui negara Palestina pada tahun 2024. Sánchez bahkan menyebut tindakan Israel di Gaza sebagai “genosida” dan menyerukan pelarangan atlet Israel di ajang olahraga internasional.

    Jerman masih belum putuskan soal sanksi terhadap Israel

    Merz mengatakan bahwa Jerman akan menentukan sikapnya terkait sanksi Uni Eropa terhadap Israel sebelum pertemuan Uni Eropa di Kopenhagen pada Oktober mendatang. Ia menyebut bahwa tindakan Israel di Gaza tidak sebanding dengan tujuan yang diklaim.

    Namun, Jerman tidak sepakat bahwa tindakan tersebut merupakan genosida. Ia juga menambahkan bahwa pengakuan terhadap negara Palestina belum menjadi opsi bagi Jerman saat ini.

    “Pemerintah Jerman akan segera menentukan sikap resmi terkait isu ini, yang kini jadi pembahasan di tingkat Uni Eropa. Minggu depan, kami akan membahasnya di kabinet, dan saya perkirakan kami sudah punya keputusan sebelum pertemuan dewan informal Uni Eropa pada 1 Oktober di Kopenhagen,” ujar Merz.

    Pelabuhan Italia blokir pengiriman bahan peledak ke Israel

    Sementara itu, di Italia, pemerintah Kota Ravenna mengumumkan bahwa mereka telah memblokir pengiriman bahan peledak yang ditujukan ke Israel.

    Ravenna, yang berada di wilayah Emilia-Romagna dan dipimpin oleh Partai Demokrat (oposisi kiri-tengah), mengambil langkah ini setelah mendapat informasi dari para pekerja pelabuhan.

    “Berkat keberanian para pekerja pelabuhan, kami mendapat informasi semalam tentang kedatangan dua kontainer hari ini,” kata Wali Kota Ravenna Alessandro Barattoni dalam pernyataan video yang diunggah di media sosial.

    Pemerintah Perdana Menteri Giorgia Meloni belum memberikan komentar langsung. Sebelumnya, Meloni menyatakan keprihatinan mendalam atas rencana Israel untuk menduduki Kota Gaza, dan memperingatkan bahwa hal tersebut bisa memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah parah.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Pratama Indra

    Editor: Hani Anggraini

    (ita/ita)

  • Hasil Kawin Campur Manusia dan Spesies Lain Diungkap Peneliti Israel

    Hasil Kawin Campur Manusia dan Spesies Lain Diungkap Peneliti Israel

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah fosil anak berusia lima tahun ditemukan dan jadi bukti perkawinan campur antar dua spesies manusia. Fosil itu jadi bukti bahwa persilangan itu terjadi 100 ribu tahun lebih awal dari yang dipercaya sebelumnya.

    Fosil itu ditemukan oleh Universitas Tel Aviv dan National Centre for Scientific Research Perancis pada 90 tahun di Gua Skhul, Gunung Carmel. Karakteristik dari fosil tersebut berasal dari Homo Sapiens dengan Neanderthal.

    Menurut peneliti, fosil itu memiliki karakteristik unik seperti bentuk tengkorak bulat menyerupai manusia modern. Sementara rahang dan struktur telinga persis seperti dari Neanderthal.

    Dari hasil penelitian disebutkan migrasi nenek moyang manusia modern pergi dari Afrika lebih awal dari yang diperkirakan. Migrasi yang dilakukan sering terjadi dan bukan sebuah peristiwa yang besar.

    Sementara pada studi yang diterbitkan pada 2024, Neaderthal ditemukan pada DNA Homo Sapiens selama 50 ribu tahun terakhir. Jadi fosil anak lima tahun yang ditemukan di Israel bukanlah nenek moyang yang ada di dunia.

    “Studi genetika dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa kedua kelompok bertukar gen,” kata Israel Hershkovitz dari Universitas Tel Aviv.

    “Sampai hari ini, 40.000 tahun setelah Neanderthal terakhir punah, bagian dari genom kita, 2 hingga 6 persen, berasal dari Neanderthal. Namun, pertukaran ini terjadi jauh setelahnya, antara 60.000 hingga 40.000 tahun silam. Fosil ini, usianya 140.000 tahun,” imbuhnya.

    Pertemuan kedua spesies disebutkan berada di Nesher Ramla, yakni situs arkeologi di Israel pada 200 ribu tahun. Hasil perkawinan silang berkembang biak dengan spesies lainnya.

    “Fosil yang kami pelajari adalah bukti paling awal perkawinan antara Neanderthal dan Homo sapiens,” kata Hershkovitz.

    Sebagai informasi, Neanderthal adalah spesies homonin berevolusi di Eropa. Spesies itu ditemukan melakukan migrasi ke wilayah yang diklaim Israel pada 70 ribu tahun lalu.

    Sebelumnya juga pernah ditemukan anak hasil campur antara manusia modern dan Neanderthal pada 1998 di Portugal. Fosil bernama anak Lembah Lapedo ini berusia 28 ribu atau 100 ribu tahun lebih muda dari anak di gua Skhul.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Lagi-lagi, AS Veto Resolusi DK PBB Tuntut Gencatan Senjata Gaza

    Lagi-lagi, AS Veto Resolusi DK PBB Tuntut Gencatan Senjata Gaza

    New York

    Amerika Serikat (AS) kembali menggunakan hak veto terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menuntut gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen di Jalur Gaza, serta agar Israel mencabut semua pembatasan pengiriman bantuan ke daerah kantong Palestina tersebut.

    Draft resolusi terbaru yang disusun oleh 10 anggota terpilih dari total 15 negara anggota DK PBB itu, seperti dilansir Reuters, Jumat (19/9/2025), juga menuntut pembebasan segera, secara bermartabat, dan tanpa syarat semua sandera yang masih ditahan oleh Hamas dan militan lainnya di Jalur Gaza.

    Resolusi yang divoting oleh DK PBB pada Kamis (18/9) waktu setempat itu mendapatkan dukungan 14 negara anggota, kecuali AS.

    Ini berarti sudah keenam kalinya AS menggunakan hak veto dalam voting resolusi DK PBB menyangkut perang Gaza yang berkecamuk selama hampir dua tahun terakhir antara Israel dan Hamas.

    “Kelaparan telah dipastikan terjadi di Gaza — tidak diproyeksikan, tidak dideklarasikan, tetapi terkonfirmasi,” kata Duta Besar Denmark untuk PBB, Christina Markus Lassen, di hadapan para anggota DK PBB sebelum voting digelar.

    “Sementara itu, Israel telah memperluas operasi militernya di Kota Gaza, yang semakin memperparah penderitaan warga sipil. Akibatnya, terjadinya situasi bencana ini, kegagalan kemanusiaan, yang memaksa kita untuk bertindak hari ini,” tegasnya.

    AS selalu melindungi Israel, sekutu dekatnya, dalam forum PBB. Meskipun pekan lalu, Washington mendukung pernyataan bersama DK PBB yang mengecam serangan Tel Aviv terhadap Qatar, meskipun pernyataan itu tidak menyebut langsung Israel yang bertanggung jawab.

    Langkah itu mencerminkan ketidakpuasan Presiden Donald Trump dengan serangan yang diperintahkan oleh Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.

    Namun, veto yang diberikan AS dalam voting pada Kamis (18/9) menunjukkan bahwa sepekan kemudian, Washington kembali dengan teguh memberikan perlindungan diplomatik kepada Israel.

    Konselor Misi AS untuk PBB, Morgan Ortagus, yang juga Wakil Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, dalam pernyataannya di forum DK PBB mengatakan bahwa resolusi terbaru ini gagal mengecam Hamas atau mengakui hak Israel untuk melindungi diri.

    “Sikap AS menentang resolusi ini bukanlah hal yang mengejutkan. Resolusi ini gagal mengutuk Hamas atau mengakui hak Israel untuk membela diri, dan secara keliru melegitimasi narasi palsu yang menguntungkan Hamas, yang sayangnya telah beredar luas di Dewan ini,” sebutnya.

    “Hamas bertanggung jawab atas dimulainya dan berlanjutnya perang ini. Israel telah menerima usulan persyaratan yang akan mengakhiri perang, tetapi Hamas terus menolaknya. Perang ini dapat berakhir hari ini jika Hamas membebaskan para sandera dan meletakkan senjatanya,” kata Ortagus.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Pasukan Israel Masuki Kota Gaza, PBB: Jalur Kehidupan Hampir Runtuh

    Pasukan Israel Masuki Kota Gaza, PBB: Jalur Kehidupan Hampir Runtuh

    GELORA.CO – – Situasi kemanusiaan di Kota Gaza semakin memburuk akibat operasi serangan darat besar-besaran pasukan Israel pada Kamis (18/9/2025) malam. Kantor Kemanusiaan PBB (OCHA) memperingatkan, jalur terakhir kehidupan bagi ratusan ribu warga yang masih bertahan di kota itu sedang runtuh.

    Menurut OCHA, Israel secara sistematis menghalangi upaya penyaluran bantuan dengan menutup penyeberangan Zikim di wilayah utara Gaza. Padahal, penduduk di kawasan tersebut dilanda kelaparan parah akibat pengepungan dan serangan udara tanpa henti.

    “Jalur terakhir kehidupan di Kota Gaza kini hampir sepenuhnya terputus. Tanpa akses bantuan, warga yang masih bertahan di sana menghadapi risiko kelaparan massal,” bunyi pernyataan OCHA, dikutip Jumat (19/9/2025).

    Sementara itu, pasukan Israel terus melancarkan operasi militer di pusat Kota Gaza. Tentara infanteri, tank, dan artileri bergerak dari dua arah, didukung pengeboman udara yang memaksa ribuan warga sipil melarikan diri menuju pesisir. 

    Serangan ke Kota Gaza tersebut, menurut Kementerian Kesehatan Palestina, menewaskan sedikitnya 40 orang dalam satu hari.

    Al Jazeera melaporkan, warga panik dan berbondong-bondong meninggalkan rumah setelah kawasan permukiman dibombardir dengan jet tempur, drone, hingga robot penghancur yang dikendalikan dari jarak jauh.

    Data Biro Pusat Statistik Palestina mencatat, sekitar 740.000 penduduk masih berada di Kota Gaza awal pekan ini. Namun jumlah itu terus menurun karena eksodus paksa akibat gempuran Israel.

    PBB menegaskan bahwa krisis ini bukan hanya soal serangan militer, melainkan juga upaya terstruktur memutus jalur kemanusiaan.

    “Tanpa langkah segera untuk membuka akses bantuan, konsekuensinya bisa menjadi bencana kemanusiaan yang lebih besar,” demikian pernyataan OCHA

  • Macron: Mengakui Negara Palestina Cara Terbaik Isolasi Hamas

    Macron: Mengakui Negara Palestina Cara Terbaik Isolasi Hamas

    Paris

    Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa pengakuan untuk negara Palestina akan menjadi cara terbaik untuk mengisolasi kelompok Hamas. Dia juga menegaskan kembali kecamannya terhadap serangan Israel yang menghancurkan di Jalur Gaza.

    Penegasan tersebut, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (19/9/2025), disampaikan oleh Macron dalam wawancara terbaru dalam bahasa Inggris dengan televisi Israel, Channel 12.

    “Mengakui negara Palestina sama saja dengan memutuskan untuk mengatakan: ‘Perspektif sah rakyat Palestina dan penderitaan mereka saat ini tidak ada hubungannya dengan Hamas’,” kata Macron dalam wawancara pada Kamis (18/9).

    “Pengakuan negara Palestina merupakan cara terbaik untuk mengisolasi Hamas,” tegasnya.

    Prancis menjadi salah satu negara Eropa yang berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina dalam forum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menggelar sidang bulan ini.

    Rencana pengakuan itu bertujuan untuk menyingkirkan Hamas dan memungkinkan solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun — proposal yang ditolak oleh Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu.

    Dengan para pemukim Israel yang mendesak pendudukan wilayah Palestina di Tepi Barat, Macron mengatakan bahwa sekaranglah “menit terakhir sebelum mengusulkan dua negara akan menjadi sama sekali mustahil”.

    Tank-tank dan jet tempur Israel menggempur Kota Gaza, kota terbesar di Jalur Gaza, pada Kamis (18/9) dalam serangan darat besar-besaran yang diklaim bertujuan menghancurkan militan-militan Hamas yang ada di area tersebut.

    Ini menjadi fase terbaru dari rentetan serangan yang dilancarkan Tel Aviv terhadap daerah kantong Palestina tersebut selama hampir dua tahun terakhir.

    Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan Gaza, yang dianggap kredibel oleh PBB, sedikitnya 65.141 orang, yang sebagian besar warga sipil, tewas akibat serangan-serangan Israel.

    “Operasi semacam ini di Gaza benar-benar kontraproduktif dan gagal,” sebut Macron dalam pernyataannya.

    “Anda benar-benar menghancurkan citra dan kredibilitas Israel, tidak hanya di kawasan ini, tetapi juga dalam opini publik di mana pun,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Setelah PBB Bilang Israel Genosida di Gaza, Lantas Apa?

    Setelah PBB Bilang Israel Genosida di Gaza, Lantas Apa?

    Jakarta

    Komisi Penyelidik PBB telah menyatakan Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. PBB menilai Israel telah memenuhi empat dari lima kriteria tindakan yang dikatergorikan hukum internasional sebagai genosida.

    Seperti dikutip BBC, Rabu (17/9), keempat kriteria tersebut mencakup membunuh sejumlah anggota sebuah kelompok, menyebabkan penderitaan fisik serta mental secara serius, sengaja menciptakan kondisi yang bisa menghancurkan kelompok tersebut, dan mencegah kelahiran. Komisi Penyelidik PBB juga mengutip pernyataan sejumlah pemimpin Israel dan menjabarkan pola militer yang mereka lakukan di Gaza untuk membuktikan genosida di Gaza.

    Kementerian Luar Negeri Israel tak terima dan menyangkal laporan tersebut dengan menyebutnya ‘menyimpang dan palsu’. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel juga menuding tiga pakar dalam komisi itu sebagai ‘proksi Hamas’ dan hanya mengandalkan ‘kebohongan Hamas yang telah berulang kali dipatahkan’.

    “Berbanding terbalik dengan kebohongan dalam laporan itu, Hamas lah yang justru mencoba melakukan genosida di Israel membunuh 1.200 orang, memerkosa perempuan, membakar keluarga hidup-hidup, dan secara terbuka menyatakan tujuannya membunuh setiap orang Yahudi,” lanjut Kementerian Luar Negeri Israel.

    Militer Israel melancarkan serangan ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 yang diklaim sebagai respons atas serangan Hamas ke Israel Selatan. Ribuan orang tewas dan ratusan orang disandera.

    Menurut Kementerian Kesehatan Hamas, serangan Israel membuat mayoritas penduduk Gaza mengungsi, lebih dari 90% rumah rusak atau hancur dan sistem kebersihan, kesehatan, dan air kolaps.

    Komisi Penyelidik Internasional Independen (COI) untuk Wilayah Palestina dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada 2021 untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional dan HAM. Komisi ini dipimpin Navi Pillay, mantan Ketua HAM PBB asal Afrika Selatan yang juga sempat memimpin pengadilan internasional soal genosida di Rwanda.

    Komisi kemudian menganalisis pernyataan para pemimpin Israel. Komisi mendapati bahwa para pemimpin Israel seperti Presiden Isaac Herzog, PM Benjamin Netanyahu, dan mantan Menhan Yoav Gallant telah “menghasut terjadinya genosida”.

    Dalam kesimpulannya, komisi itu juga menyebut “niat genosida adalah satu-satunya kesimpulan yang masuk akal” dari pola dan tindakan otoritas serta militer Israel di Gaza.

    “Sejak 7 Oktober 2023, Perdana Menteri [Benjamin] Netanyahu berjanji bakal melakukan ‘balas dendam besar’ ke ‘semua tempat di mana Hamas bersembunyi, kota terkutuk itu, akan kami jadikan puing’,” kata Pillay ke BBC.

    “Frasa ‘kota terkutuk’ dalam pernyataan yang sama juga menyiratkan bahwa seluruh Gaza dianggap [Netanyahu] bersalah dan dijadikan target balas dendam. Ia juga menyebut warga Palestina harus ‘segera pergi karena kami akan beroperasi dengan keras di mana-mana’.”

    Pillay menambahkan, “Perlu dua tahun buat kami [Komisi Penyelidik] mengumpulkan semua bukti dan memastikan faktanya Dan Konvensi Genosida baru bisa dipakai kalau tindakan-tindakan itu memang dilakukan dengan niat tersebut.”

    Ia menyebut, tindakan para pemimpin politik dan militer Israel dapat “dihubungkan langsung ke negara Israel”,

    Dengan demikian, terang Komisi Penyelidik PBB, Israel “bertanggung jawab atas kegagalan mencegah genosida, melakukan genosida, dan gagal menghukum pelakunya.”

    Selain itu, Komisi juga memperingatkan negara lain untuk ‘mencegah dan menghukum kejahatan genosida’ dengan segala cara yang ada. Kalau tidak, terang Komisi, negara-negara itu bisa dianggap ikut terlibat.

    “Kami belum sejauh itu untuk menyebut pihak mana yang ikut bersekongkol atau terlibat genosida. Namun, itu bagian dari kerja kami yang masih berjalan. Nanti akan sampai ke sana,” kata Pillay.

    Tudingan genosida terhadap Israel seperti disampaikan Komisi Penyelidik PBB bukan yang pertama. Sebelumnya, sejumlah organisasi HAM internasional, pakar independen PBB, serta akademisi juga menuding Israel telah melakukan genosida di Gaza.

    Harap Pimpinan Israel Segera Diadili

    Pillay mengatakan dirinya melihat kesamaan apa yang terjadi di Gaza dengan pembantaian yang terjadi di Rwanda. Pillay mengharapkan para pemimpin Israel akan diadili dan dijebloskan ke penjara.

    Pillay pernah memimpin pengadilan internasional untuk genosida Rwanda tahun 1994 silam dan juga menjabat sebagai kepala hak asasi manusia PBB. Dalam wawancara dengan AFP, Pillay mengakui keadilan merupakan “proses yang lambat”. Namun dia mengutip pernyataan mendiang ikon anti-apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang mengatakan bahwa “selalu terasa mustahil sampai hal itu terjadi”.

    “Saya menganggap bukannya tidak mungkin akan ada penangkapan dan pengadilan (di masa mendatang),” katanya.

    Namun bagi Pillay, kesamaan apa yang terjadi di Jalur Gaza dengan Rwanda — tempat sekitar 800.000 orang, sebagian besar etnis Tutsi dan Hutu, dibantai — sudah jelas. Sebagai ketua Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda, Pillay mengatakan dirinya menyaksikan rekaman warga sipil dibunuh dan disiksa yang membekas “seumur hidup” baginya.

    Dikatakan oleh Pillay bahwa “saya melihat kemiripan” dengan apa yang terjadi di Jalur Gaza dan Rwanda. Dia juga menyebut soal “metode yang sama”.

    “Semua bukti (menunjukkan) bahwa Palestina sebagai kelompok yang menjadi sasaran (di Jalur Gaza),” sebutnya.

    Dalam kedua kasus itu, menurut Pillay, populasi yang menjadi target telah mengalami “dehumanisasi” atau dihilangkan harkat kemanusiaannya, yang menandakan bahwa “tidak apa-apa untuk membunuh mereka”.

    Akan Susun Daftar Tersangka untuk Pelanggaran di Gaza

    Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah merilis surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant atas dugaan kejahatan perang. Pillay mengakui mengamankan akuntabilitas tidak akan mudah, dan menekankan bahwa ICC “tidak memiliki sheriff atau kepolisian sendiri untuk melakukan penangkapan”

    Namun dia juga menekankan bahwa tuntutan rakyat dapat membawa perubahan mendadak, seperti yang terjadi di negara asalnya, Afrika Selatan. “Saya tidak pernah menyangka apartheid akan berakhir semasa hidup saya,” ucapnya.

    Pillay menambahkan bahwa ke depannya, COI akan menyusun daftar tersangka pelaku pelanggaran-pelanggaran di Jalur Gaza, dan juga menyelidiki dugaan “keterlibatan” negara-negara pendukung Israel.

    Namun pekerjaan itu sementara akan diserahkan kepada penggantinya, karena Pillay yang berusia 83 tahun ini akan meninggalkan COI pada November, dengan alasan usia dan masalah kesehatannya.

    Israel, seperti pernyataan yang sudah-sudah menyebut kasus itu “sama sekali tidak berdasar” dan dibangun di atas “klaim palsu dan bias”.

    Mereka pun berkeras bahwa operasi militer yang dilakukan hanya ditujukan untuk melumpuhkan Hamas bukan warga Gaza. Mereka juga mengklaim para tentara telah mengikuti hukum internasional dan berusaha meminimalisasi jatuhnya korban sipil.

    Halaman 2 dari 3

    (idn/rfs)